You are on page 1of 5

TANDA BACA

Cin Pratipa Az - Peter Johan

Syarat utama memaknai adalah ketulusan. Baru setelahnya, memahami.


Di luar itu pembacaan akan mengalami kegagalan karena bias ideologi.

! Tanda-Baca-Makna !

Apresiasi adalah usaha untuk menafsir gerak budaya atau geliat kehidupan. Syarat
mendasar untuk membaca tanda tidak lain adalah hasrat untuk mengetahui kehidupan.
Dengan modal ini seorang apresiator akan mampu mengelola sekian tanda di sekelilingnya,
memahami realitas untuk membaca berbagai kemungkinan.

Problem mendasar dari seorang apresiator adalah ia selalu berusaha mencari(-cari) makna
dalam sebuah bentuk kebudayaan, apakah itu seni panggung, musik, iklan, puisi dan sastra,
rupa, dsb, dsb. Padahal yang harus dilihat adalah kondisi, situasi, dan lingkup-lingkup sosial
yang ada di sekitar bentuk kebudayaan itu. Makna muncul karena adanya kekuasaan yang
memproduksi pengetahuan dan perlawanan dari pergerakan pengetahuan masyarakatnya
sendiri.

Salah satu contoh, bagus atau tidaknya sebuah karya puisi bukan sekedar ditentukan dari
hukum-hukum dan kaidah bahasa yang digunakan dalam puisi tersebut. Puisi juga
ditentukan dari isu-isu besar yang sedang berlaku di masyarakat. Ditentukan juga oleh
penerbit (+ media massa, + buku) yang memang memiliki akses dengan pusat modal.
Ditentukan juga oleh intelegensia masyarakatnya.

Jaringan makna ini juga berlaku saat kita melihat apapun juga, karena memahami melihat
bukan sekedar kerja mata, tapi juga kerja-kerja persepsi dan asumsi. Persepsi dan asumsi
ini pun bukan lahir dari kekosongan, tapi dari referensi-referensi yang kita temui sehari-
hari, baik itu TV, koran, majalah, ngobrol ngalor-ngidul, dsb, dsb. Intinya adalah relasi
antar manusia dan lingkungan sosialnya.

Untuk mengurai jaringan makna tersebut, pola sejarah adalah hal yang paling penting untuk
dilihat. Katakanlah seni ketoprak. Kita harus tahu awal adanya ketoprak,
perkembangannya, hubungannya dengan isu-isu yang dibuat, tokoh-tokoh serta siapa saja
yang pernah di-‘recall’ oleh pusat-pusat kekuasaan, dst, dst. Mengapa sejarah? Untuk tahu
seseorang, kita harus tahu latar belakangnya, darimana keluarganya, bagaimana ia hidup
dan berkembang, situasi yang melingkupinya, dst, dst. Istilah orang Jawa untuk mencari
pasangan hidup, kita harus tahu kadar bobot, bibit, dan bebet.

Jadi, sangat jelas bahwa memahami sesuatu kita harus tahu latar belakangnya, agar kita
tahu bagaimana ia akan berkembang. Kata Einstein, segala sesuatu memiliki pola walaupun
ia berserak.
Nah,

Setelah itu, kita juga harus melihat aturan-aturan teknis yang melandasi sebuah hukumnya.
Misalkan seni panggung. Bagaimana pola dan karakter perkembangan seni panggung
Indonesia, siapa yang diacunya, dst, dst. Kalau ini bisa ditemukan dengan lengkap, maka
kita sudah mulai bisa membaca perjalanan sebuah konteks atas teks yang berlaku,
bagaimana hubungan konteks itu memperlakukan teksnya.

Ambil contoh perkembangan seseorang. Kita bisa tahu bagaimana karakter orang yang lahir
tahun 80-an dengan 90-an. 80-an kita mengenal tokoh-tokoh macam Lupus, Catatan si Boy,
Metallica, baju-baju warna pantai, dsb, dsb. Sementara 90-an kita sudah mengenal MTV. Ini
kan juga sudah memiliki perbedaan karakter. Dari sini kita bisa tahu bahwa orang-orang
yang lahir tahun 80-an pada umur-umur belasan sudah mengenal teknologi dan pasar
media. Sementara orang 90-an pada umur belasan mengenal teknik-teknik digitalizing.

Kalau ini pun sudah bisa kita temukan, kita bisa mencari sejauh apa sebuah bentuk seni
dipengaruhi oleh sistem politik, budaya, agama, tradisi, ekonomi, dsb, dsb. Intinya
kehidupan bisa kita lihat jika kita tahu lingkungan yang membentuk sebuah cara pandang
akan kehidupan.

Setelah itu baru kita membuat proyeksi atas relasi-relasi makna yang telah kita identifikasi
tersebut. Di sinilah baru kita bisa berbicara tentang kritik dan apresiasi. Mungkin ini bisa
jadi berbentuk ramalan. Kritik amat bergantung pada bagaimana kita melihat sebuah
bentuk karya dengan perkembangan masyarakatnya.

Poinnya adalah kita harus rajin membuat pengamatan atas kondisi sosial. Ini berlaku baik
untuk kritikus ataupun pelaku.

Tapi hati-hati. Kritik seringkali terjebak pada argumentasi-argumentasi yang sifatnya teknis
semata. Contohnya, seringkali orang membuat kritik atas film hanya dengan melihat sejauh
apa kebagusan gambar, bagaimana pencahayaan, narasinya bagaimana, dst, dst. Itu semua
bisa kita kritik bukan pada sang pembuat film, karena toh ia bagian dari sistem besar yang
biasa disebut kesadaran berpengetahuan. Yang harus dikritik adalah bagaimana ia membuat
ide film dan pengolahan ide tersebut. Intinya mengkritik gagasan dan pesan yang
disampaikan.

Contohnya Eiffel I’m In Love, film anak muda dengan setting Paris yang menghabiskan dana
cukup besar. Untuk perkembangan teknis film, film ini sangat baik karena dikerjakan oleh
pelaku-pelaku film yang telah lama terjun di dunia film. Tapi toh isi pesan tak ada, kecuali
bahwa kita masih berada di bawah bayang-bayang kebesaran nama Eropa. Untuk
mengerjakan film pariwisata, kita cukup pergi ke Nias atau Banda, karena di sana setting
sosialnya lebih terasa ketimbang bermimpi menjadi orang Eropa. Tapi mungkin hal ini juga
tidak dapat ditolak, karena toh acuan kemajuan peradaban datang dari belahan bumi
bagian utara bernama Eropa.

Atau film Buruan Cium Gue yang banyak menimbulkan pro kontra di kalangan agamawan
lama. Film yang banyak menyuguhkan adegan ciuman ini cukup keras disoroti Majelis Ulama
Indonesia, dianggap film maksiat. Kita tidak bisa menyalahkan mereka. Yang harus dikritik
adalah bagaimana animo masyarakat yang berbondong-bondong ke bioskop untuk nonton
film ini, mungkin karena larangannya atau karena adegannya. Yang pasti, kita bisa melihat
sejauh apa apresiasi film oleh budaya massa. Umumnya masyarakat masih pasif, melihat
tontonan sebagai sebuah hiburan dan bukan bentuk-bentuk perkembangan kebudayaan.
Selain itu, larangan untuk film ini menjadi tidak kontekstual karena toh kita bisa lihat
sejauh apa kebebasan dimaknai dalam pergaulan anak muda saat ini. Jadi jangan membuat
kritik dengan argumentasi-argumentasi yang sifatnya pahlawan.

Sudah barang tentu apresiasi dan kritik membutuhkan pengalaman subjektif, intuisi, serta
sistem objektifitas yang bekerja dalam diri apresiator. Satu hal yang patut dicatat dalam
kerja-kerja ini adalah logika bebas tafsir. Artinya setiap orang dapat mengambil peran
sama besar. Objektifitas ilmiah menjadi instrumen yang sebenarnya bersifat kaku dan
memenjarakan. Sebab karena pengalaman setiap orang berbeda maka subjektifitas
dibenarkan dalam apresiasi selama ia dapat dipertanggungjawabkan. Argumentasi menjadi
senjata penting untuk memaparkan proses berpikir atau proses kreatif dari kerja apresiator.
Dengan itu sekian apresiasinya dapat dipahami atau paling tidak, tidak bergerak dalam aras
yang tidak jelas.

! Waspadalah…Waspadalah !

Satu hal yang harus diperhatikan adalah ideologi. Banyak kalangan, terutama pengamat
kebudayaan kontemporer menyebut ideologi sebagai sebuah proses perumusan referensi-
pengetahuan oleh pihak-pihak kekuasaan pusat. Tujuannya sebagian besar adalah ekonomi.
Ideologi dalam hubungannya dengan lapangan kebudayaan bertugas mengaburkan hal-hal
yang seharusnya menjadi amat sangat nyata.

Contohnya ketika kita melihat seorang penjual jamu yang sudah berjualan puluhan tahun
dengan sepeda. Seharusnya kita memiliki rasa keberpihakan dengan mereka, karena toh tak
ada orang yang mau seperti penjual jamu tersebut. Namun dengan sekian referensi dan
pengetahuan yang kita terima setiap hari, baik dari TV, koran, majalah, ngobrol ngalor-
ngidul, kita merasa tidak memiliki keterkaitan dengan dunia tukang jamu. Sekedar belas
kasihan muncul, tapi tidak menyentuh intuisi kita. Ini bisa disebabkan ideologi pasar media
yang memisahkan manusia dari realitas, mengaburkan kenyataan lingkungan sosial kita.

Seni sesungguhnya bergerak pada batas-batas yang tidak terbatas. Ia bisa melintasi sekian
ideologi dalam cara berpikir manusia. Mengapa demikian? Hubungan seni dan intuisi
seharusnya memiliki kaitan erat, karena seni amat berelasi dengan keindahan. Keindahan
bukan sekedar keindahan material, tapi keindahan yang mengingatkan pada sesuatu yang
naïf, yang benar-benar tulus, yang utopis, yang jujur, yang bagi sebagian kalangan tidak
pernah ada. Kita harus hati-hati, karena ideologi dan pusat kekuasaan seringkali
mereproduksi keindahan dalam cara berpikir mereka. Banyak kritikus dan pelaku budaya
yang terjebak di wilayah ini.

Filusuf, sastrawan dan pemikir Perancis bernama Albert Camus pernah berpendapat, “Seni
adalah pemberontakan”. Sementara sastrawan Ceko Milan Kundera berkata, “Perjuangan
manusia sesungguhnya adalah perjuangan melawan lupa”. Pramoedya bilang, “Jujur sudah
sejak dalam pikiran”. Dari kutipan ini pun kita bisa memahami bahwa hubungan seni dan
perlawanan adalah satu hal yang hakiki. Dan ketika seni telah tercerabut dan termakan
oleh pola kerja pusat modal-kekuasaan, ia tak lain daripada tukang. Tukang bikin novel,
tukang bikin film, tukang bikin patung, dsb, dsb.
! Pop, Populis, Popular : Politic !

Yang kemudian harus dilihat adalah sejauh apa seni menjadi media perlawanan bagi
penindasan, bukan sekedar perlawanan atas gagasan. Seringkali seni, atau seniman,
dikategorikan sebagai antikemapanan. Ini salah. Seni selalu berusaha membuat antitesis
atas pengetahuan yang sudah berlaku di masyarakat. Ia berusaha memperbaiki apa yang
menjadi kesalahan dalam norma-norma.

Isu-isu kebebasan, pluralisme, dan berbagai isu yang melanda seni dewasa ini tak bisa
semata-mata kita sebut sebagai seni perlawanan, karena umumnya isu-isu itu adopsi dari
sejumlah isu yang berkembang di masyarakat Barat. Coba perhatikan, isu-isu yang lebih
mengena dan memiliki basis khalayak luas adalah isu yang riil, yang nyata dan mengena
pada kita. Ambil contoh Pram. Atau Romo Mangun. Atau Danarto. Atau Seno Gumira.
Banyak pakar seni menyebut barisan ini sebagai realisme magis.

Mandeknya (atau mbludaknya) seni di Indonesia bisa disebabkan dua hal. Yang pertama
adalah serangan kebudayaan hasil olahan pasar media. Di sini termasuk seni-seni yang lari
dari konteks pergulatan masyarakat Indonesia yang notabene masih banyak buta huruf.
Kesalahan utamanya adalah mereka melupakan faktor ideologi yang membingkai cara
berpikir kita. Seni-seni ini membuat jarak antara realitas dengan masyarakatnya, termasuk
kita. Ini juga berakibat pada reproduksi berpikir kepahlawanan dari satu orang ke orang
lain. Ambil contoh film-film Garin. Ia bagus dalam merespon pluralisme Indonesia, mencoba
mengangkat gen-gen lokal yang ada dalam kandungan bangsa kita. Tapi banyak dari
karyanya adalah pesanan pemodal-pemodal luar, ambil contoh PBB dan Ford Foundation.

Karya-karya Garin ini sedikit banyak akan mempengaruhi cara berpikir Indonesia dalam
sebuah kesatuan yang utuh yang terdiri dari berbagai ras. Ini akan membuat penindasan
baru, paling tidak pesan-pesan dalam filmnya akan menjadi rujukan bagi bangsa Jawa untuk
memandang bangsa Papua sebagai kaum bodoh. Padahal mereka seharusnya memiliki
perkembangan sendiri, evolusi pemikiran sendiri, yang bukan hasil dari kepahlawanan
bangsa-bangsa di luar mereka.

Yang kedua adalah proses politik yang tidak aspiratif. Ideologi telah jauh sampai kepada
pemisahan antara politik dan kehidupan. Padahal keduanya adalah sebuah pertalian yang
tak mungkin bisa dipisah. Setiap orang melakukan keputusan saat berasumsi, di situ pun ia
sudah berpolitik. Pemisahan yang terjadi mengakibatkan hilangnya jalur-jalur hak
berpendapat. Penindasan menjadi begitu sah hingga sampai ke pikiran. Walhasil, seniman
semakin banyak karena seni merupakan wilayah tanpa batas. Dengan membuat puisi di
tembok kamar, membuat lukisan corat-coret di WC, orang sudah menganggap dirinya
seniman. Tak heran, banyak orang dewasa ini berusaha mengidentifikasikan dirinya sebagai
seniman.

Dua hal inilah yang menjadikan posisi seni dalam konteks Indonesia menjadi begitu pop.
Kategori populis bukan lagi mengacu pada kepentingan orang banyak, tapi pasar dengan
target yang seluas-luasnya. Akhirnya toh kita harus bilang, seni modern tanpa manajemen
yang baik hanyalah menjadi seni kamar. Itu berarti harus melibatkan kurator, kritikus,
pengamat, ulasan media, galeri, launching dan diskusi, dsb, dsb. Menghasilkan seni tak lagi
berbeda dengan grup band Peter Pan mengeluarkan kaset.
! Jadilah Orang Baik !

Lalu, mau apa sekarang? Tinggal pilihan kita. Ketika membuat apresiasi, kritik, atau bahkan
menghasilkan bentuk karya, cermin apa yang mau kita gunakan. Apakah itu akan kita
gunakan semata-mata demi meraih sukses. Jalannya telah kita singgung di atas. Atau kita
memilih jalan lain, itu seperti membuka jalur baru di pegunungan yang penuh belukar.

Seperti kata Iwan Fals, keinginan adalah sumber penderitaan. Siapkah kita kehilangan?

CondongCatur, 28 Januari 2005


Kenaifan (juga) sumber penderitaan

You might also like