Professional Documents
Culture Documents
BAB. I
PENDAHULUAN
ditinggalkan, terutama sekali fungsinya sebagai penarik simpati bagai masa yang
ingin ditarik oleh sebuah partai politik. Hal demikian sangat berkembang pesat
pada sekitar awal tahun 1960-an, dimana lembaga kebudayaan partai banyak
tumbuh subur seperti; Lekra (PKI), LKN (PNI), Lesbi (Partindo), Lesbumi (NU),
Laksmi (PSII), Leksi, LKKI (Partai Katolik), ISBM (Muhamadiyah). Saat itu
seniman tidak bisa bersikap untuk netral, karena dituntut sikap loyalitas harus
berpihak hanya kepada partai. Saat itu para seniman tidak bisa bersikap netral atas
perdamaian dan kemanusiaan walaupun lewat sebuah wacana yang tercipta dari
Lekra2 yang menurut kalangan umun disebut sebagai underbouw PKI3 saat
itu seakan menjadi sebuah corong politik untuk menarik simpati kepada rakyat
1
D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail (ed), Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI
dkk. (Bandung: Mizan dan Republika, 1995), hal. 205-207.
2
Lekra didirikan atas inisiatif DN Aidit, Nyoto, MS Ashar, dan AS Dharta pada 17
Agustus 1950. DN Aidit dan Nyoto saat itu adalah para pemimpin PKI ,yang baru dibentuk
kembali setelah kegagalan gerakan Muso . Lekra bekerja khususnya di bidang kebudayaan,
kesenian dan ilmu. Lekra bertujuan menghimpun tenaga dan kegiatan para penulis, seniman, dan
pelaku kebudayaan lainnya, serta berkeyakinan bahwa kebudayaan dan seni tidak bias dipisahkan
dari rakyat. Mukaddimah Lekra , 1950.
3
Ada banyak perbedaan pendapat para ahli mengenai lekra adalah underbouw PKI:
sedikit meluruskan, menurut Kith Foulcher dalam bukunya Social Commitment in Literature and
the Arts: the Indonesia “Institute of People Culture”1950-1965 (Australia: Monash University
-2-
kecil. Lekra pun dikenal sebagai sebuah organisasi kebudayaan Indonesia yang
tak dapat disangsikan lagi bahwa pada akhirnya berkat lembaga budaya (Lekra)
ini, PKI banyak mendapat simpati dari masyarakat terutama kalangan orang-orang
kekacauan perpolitikan dan krisis stabilitas nasional. Bung Karno - pusat dari
seluruh tampuk - nampak akan tak lama lagi duduk di kursinya karena usia, dan
PKI, ABRI, semua, bersiap, saling mendesak dan mengancam. Baik jika PKI yang
menang (banyak tanda bahwa PKI unggul waktu itu), atau pun jika PKI yang
kalah, melalui sebuah pergantian kekuasaan yang waktu itu tak jelas bagaimana
akan terjadi, Indonesia akan berubah benar-benar: mengerikan bagi satu pihak,
menggembirakan bagi pihak lain. Dan itu pun memang terjadi demikian.
penguasa hanya punya satu cara untuk menyelesaikan benturan ide-ide itu dengan
masalah yang terjadi pun dianggap sebagai sebuah kampanye untuk saling tumpas
Press, 1986); mengatakah bahwa: ”…sebenarnya Lekra adalah lebih merupakan lembaga
kebudayaan nasionalis kiri dari pada lembaga kebudayaan komunis,” Disamping itu juga Lekra
merupakan organisasi yang independen, dan sebenranya para anggot PKI (D.N. Aidit dan Njoto)
adalah seorang seniman, namun pada kenyataannya kedua orang itu tak mampu mem-PKI-kan
Lekra, disini bisa terlihat bahwa Lekra sebenarnya adalah lembaga yang berdiri sendiri, hanya
coraknya (kekiri-an) saja yang hampir sehaluan dengan PKI.
4
Goenawan Mohamad , Catatan pinggir, (Jakarta : Gramedia, 1995), hlm.50.
-3-
Salah satu soal paling pelik dalam sejarah Lembaga Kebudayaan Rakyat
Para sarjana telah menulis tentang sejarah organisasi ini dari kelahirannya,
Benarkah LEKRA hanylah ”alat” bagi PKI yang tengah membentuk dirinya
Lekra dilakukan di jalan Madura, di rumah H.B. Jassin, kantor Majalah Kisah,
5
Baca juga misalnya; Keith Foulcher, Social Commitment in Literature and the Arts: the
Indonesia “Institute of People Culture”1950-1965 (Australia: Monash University Press, 1986);
Yahya Ismail. Pertumbuhan, Perkembangan, dan Kejatuhan Lekra di Indonesia: Satu Tinjauan
dari Aspek Sosio-Budaya (Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia, 1972);
Alex Supartono, LEKRA vs MANIKEBU: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965
(Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 2000); D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail (ed), Prahara
Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. (Bandung: Mizan dan Republika, 1995).
6
J.J. Kusni, Di Tengah Pergolakan Turba Lekra di Klaten (Yogyakarta: Ombak, Agustus
2005), hlm. xv.
-4-
Jakarta, dihadiri antara lain oleh H.B. Jassin, M. Balfas, Bachrum Rangkuti, M.S.
Ansar, D.N. Aidit dan Njoto serta tokoh-tokoh kebudayaan pada waktu itu.
Lekra adalah lebih merupakan lembaga kebudayaan nasionalis kiri dari pada
dalam konsep-konsep dasar Lekra itu sendiri. Pandangan itu bertolak dari
prasangka didorong oleh situasi politik pada waktu itu8, dan tidak disertai dengan
7
Mengenai hubungan nasionalisme, humanisme, dan komunisme, lebih lanjut lihat
tulisan Mao Zedong “Demokrasi Baru,” “Masyarakat Tiongkok dan Revolusi Tiongkok,” “Pidato
Sastra-Seni Yen An,” pandangan-pandangan Mao tentang hubungan antara nasionalime dan
internasionalis. Pandangan-pandangan Mao Zedong dan pemikir-pemikir Tiongkok seperti Chou
Yang, Lin Mohan, sampai kepada pemikir-pemikir Revolusi Besar Kebudayaan Proletar, dan lain-
lain…mempunyai pengaruh tertentu di kalangan Lekra. LIHAT juga dokumen-dokumen tentang
perdebatan Partai Komunis Tiongkok dan Uni Soviet mengenai masalah revisionionisme dan
Marxisme terbitan Pustaka Bahasa Asia Tiongkok.
8
Orde Baru selalu memberikan stigma secara umum dengan mengaitkan Lekra sebagai
organisasi underbouw dari PKI yang komunis , hal ini sesungguhnya bertentangan dengan
kebenaran sejarah yang ada, bahwa Lekra itu sebenarnya adalah organisasi budaya yang
independent, yang perekrutan anggotannya dilakukan atas dasar suka rela saja. Dampak epilog
kematian peristiwa Gestapu agaknya menyeret Lekra menjadi korban berikutnya setelah PKI untuk
dilenyapkan, oleh penguasa Orde Baru. Banyak para seniman Lekra yang menjadi Tapol dan
menjalani masa tahanan tanpa pengadilan, ada juga yang dibuang di pulau Buru dan Nusa
Kambangan.
9
J.J. Kusni, op.cit., hlm. 11.
-5-
Apa yang berlangsung ketika revolusi bersenjata dari revolusi Agustus, yaitu periode
antara 1945 dan 1950, bergejolak? Periode itu, di bidang kebudayaan, ditandai oleh
banyak seniman, sarjana da pekerja-pekerja kebudayaan lainnya yang memihak pada,
ambil bagaian dalam dan memberikan sumbangannya kepada revolusi. Pekerja-pekerja
kebudayaan satu dengan revolusi, dan karena revolusi 1945 adalah suatu revolusi
kerakyatan maka hal ini berarti, bahwa pekerja-pekerja kebudayaan satu dengan rakyat.
Tetapi, pertisipasi dan kesertaan mereka didalam revolusi masih bersifat spontan.
Kesepontanan ini tentu tidak hanya dilahirkan oleh intuisi, tetapi juga oleh kesadaran
tertentu. Dalam hal ini kesepontanan itu baik. Tetapi ia juga membawa dalam dirinya
seginya yang lain, yaitu: belum teratur, belum terorganisasi, singkatnya, belum
terpimpin, dan sebagai akibatnya belum bersasaran yang tepat, sehingga efek dan
hasilnya belum cukup besar jadinya.Demikianlah, lekra didirikan tepat 5 tahun sesudah
revolusi Agustus pecah, disaat revolusi tertahan oleh rintangan hebat yang berujud
persetujuan KMB, jadi, disaat garis revolusi sedang menurun. Karika itu orang-orang
kebudayaan yang tadinya seolah-olah satu kepalan tangan yang tegak dipihak revolusi,
menjadi tergolong-golong. Mereka yang tidak setia, meyeberang. Yang lemah dan ragu-
ragu seakan-akan putusasa karena tak tahu jalan. Yang taat dan teguh meneruskan
pekerjaannya dengan keyakinan bahwa kekalahan revolusi hanyalah kekalahan
sementara. Lekra didirikan untuk turut mencegah kemerosotan lebih lanjut dari garis
revolusi, karena kita sadar, bahwa tugas ini bukan hanya tugas kaum politisi tetapi juga
tugas pekerja-pekerja kebudayaan. Lekra didirikan untuk menghimpun kekuataan yang
taat dan teguh mendukung revolusi.10
Kelahiran Lekra di sini dapat dinilai sebagai realitas politik kultural yang
politik.11
yaitu panji ”Seni Untuk Seni,” maka semenjak lahirnya Lekra mengibarkan panji
”Seni Untuk Rakyat” yang bisa dikatakan sebagai panji republiken untuk
10
. Laporan Kebudayaan 1959., hlm. 15.
11
Pramoedya Ananta Toer, Realisme-Sosialis dan Sastra Indonesia (Jakarta: Lentera
Dipantera,2000), hlm. 92-94.
-6-
pertama Bung Karno12 rupanya sangat faham, bahwa seni pertunjukan rakyat
merupakan sarana yang sangat efektf bagi berbagai keperluan propaganda. Bukan
saja untuk kepentingan pilitik dalam negeri seni, pertunjukan bisa difungsikan
sebagai media propaganda, tetapi juga untuk kepentingan politik luar negeri.13 Hal
ini tampak sekali ketika Indonesia menjadi mengadaka ajang pertemuan olah raga
Emerging Forces (GANEFO). Pertemuan olah raga ini, senada dengan pergelaran-
sangat semarak karena tontonanan in menjadi rebutan dari berbagai partai politik.
Ada dua partai politik yang memanfaatkan seni pertunjukan sebagi sarana
propaganda, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia
(PNI), dua partai yang saling berupaya untuk merebut simpati massa. Adapun
12
Hanya saja konon para pelukis Lekra, LKN, yang tergabung dalam pelukis rakyat
memiliki kehidupan yang lebih baik. Mereka mendapatkan order dari pemerintah untuk
membangun monumen serta patung selamat datang, patung pembebasan, diorama Monas, dan
lain-lain yang lumayan menyuburkan kehidupan dapur mereka. Bung Karno juga seorang
maesenas senirupa yang besar. Koleksinya ribuan, diambil dari pelukis lokal maupun dunia.
13
Saat soekarno mengkampanyekan “Ganyang Malaysia” Lekra yang dekat dengannya,
rupanya sangat mendukungan gerak politik luar negeri Soekarno. Mereka pun dengan antusias
beraksi dalam berkesenian, maka menjadilah (Ganyang Malaysia) ini adalah salah satu ide dan
inspirasi para seniam Lekra dalam berkarya saat itu. Lekra pun menentang Negara Malaysia yang
identik dengan Barat dan kapitalisme dalam bentuk karya seni yang mencerminkan
pemberontakan.
-7-
genre yang menjadi perhatian kedua partai ini adalah ketoprak dan ludruk.
Ketoprak yang sangat disenangi oleh masyarakat Jawa14 yang berbahasa Jawa
pula dengan ludruk, khusus di Jawa Timur yang penduduknya sebagian besar
Lekra dengan terang-terangan mengibarkan panji ini, mereka dituduh oleh kaum
14
Di daerah Jawa Tengah tahun 1960, mencatat sebanyak tak kurang dari 40 dalang laki-
laki dan perempuan, terkenal dan tidak terkenal.
15
Ketika Lekra Jawa Tengah tahun 1960 menyelenggarakan konferensi dan fesval
pedalangan Jawa Tengah di Salatiga, juga ketika festival pedalangan seluruh Indonesia
diselenggarakan dua tahun kemudian, nama Nartosabdo sebagai dalang belum muncul. Dalang
terbaik pilihan juri ketika itu ada pada Tristu Rachmadi B.A (1960), dan Slamet (1962), dua-
duanya dalang dari Purwadadi. Seandainya pada tahun-tahun itu Nartosabdo sudah terkenal
sebagai dalang wayang kulit, baik karena kreativitas maupun seni pedalangannya, ia pasti akan
pernah dipanggil Bung Karno mendalang di istana. Pada waktu itu Presiden RI yang pecinta berat
wayang kulit ini, setiap malam tujuhbelasan "menanggap wayang" di istana.
Diundangnya para pembesar negeri sipil dan militer, menteri, pemimpin parpol dan ormas
untuk diajaknya menonton wayang bersama-sama dengan dirinya sendiri. Empat dalang terkemuka
di Jawa Tengah yang pernah ditanggap di istana, yaitu Nyi Bardiati dari Klaten (yang dikritiknya -
Bung Karno-kalau memainkan raksasa kurang galak), Drs. Suwarto asisten dosen Fakultas
Pedagogi dan Filsafat UGM Yogya (yang dikritiknya suaranya "kemeng", tidak antap), Ir Sri
Mulyono "Herdalang" (untuk membedakannya dengani Sri Mulyono Herlambang yang AURI),
dan Tristuti Rachmadi BA (yang dikritiknya kurang "greget", kurang tandas). Dalang yang boleh
dikata menjadi langganan Bung Karno ada dua, mula-mula Gitosewoko dan kemudian "Dalang
Borobudur". Ki Dalang Borobudur ini ma diteror dalam tahun 1966, sesudah beberapa saat
sebelumnya di kaki Candi Prambanan, atas prakarsa sendiri ia mendalang ruwatan bagi kedamaian
tanahair (baca The Stranger at the Gate, Malcolm Bosse, 1989).
16
Prof.Dr. R. M. Soedarsono, Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, da
Ekonomi (Yogyakarta:Gadjah Mada University Press 2003), hlm. 216-217.
17
Politik adalah panglima merupakan semboyan pegangan, agar sebelum melakukan
penggarapan seni, orang harus mengkajinya dari jurusan politik. kesalahan politik jauh lebih sesat
daripada lesalahan artistik. politik harus jadi obor. Njoto dihadapan Kongres Nasional Lekra
mengatakan bahwa: ”Politik itu penting sekali. jika kita menghindarinya, kita akan digilas mati
olehnya. Oleh sebab itu, dalah hal apa pun dan kapan pun, politik harus menuntut segala
kehidupan kita. Dalam pengabdian sastra dan seni untuk rakyatnya, yang dimaksudkan dengan
Politik adalah politik kelas, politik masa, bukannya politik dari segelintir orang yang disebut
negarawan. Politik, apakah ia politik revolusioner atau kontrarevolusioner dalah perjuangan kelas
melawan kelas, bukan dari segelintir individu-individu. Dalam mengusung pola dalam
menghasilkan karya, tak dapat dipungkiri bahwa kecenderungan mereka (para seniman Lekra)
harus berkarya yang tidak hanya bertujuan berkesenian bahwa, ”seni hanya untuk seni” itu sendiri
-8-
sebagai alat, yaitu alat untuk mengabdi politik yang berbakti kepada rakyat.
Kepentingan rakyat bagi Lekra merupakan salah satu tolak ukur dalam menilai
Bahwa garis Lekra disetujui oleh Presiden tak dapat diragukan lagi, seperti
bahwa:
”Seni dan ilmu untuk rakyat hendaknya berisi pengertian ’seni dan ilmu
dari rakyat untuk rakyat’ yang berarti juga mengabdi kepada kepantingan
seluruh rakyat Indonesia.”
Sedang pengabdian pada rakyat itu tidak mungkin terjadi tanpa politik sebagi
panglima, artinya bahwa politik disini adalah politik yang didasarkan atas garis
massa.19
Semarang merupakan salah satu sayap pergerakan basis gerakan kiri yang
punya banyak peran penting dalam perpolitikan Indonesia dan juga dalam sisi
saja, tetapi mereka mempunyai misi dan tujuan, dalam karya selalu mengutamakan bahwa seni itu,
merupakan suatu implementasi nyata, dan suatu alat untuk mengobarkan politik bernegara yang
kerakyatan, sehingga karya seni tersebut diharapkan mampu memperjuangkan realitas seni
kerakyatan (membela rakya) dalam kehidupan masyarakat itu sendiri, yang pada saat itu banyak
rakyat kecil yang tertindas. Mereka (seniman Lekra) banyak melahirkan karya yang mengusung
tema-tema sosial masyarkat dan pembelaan atas ketertindasan rakyat kecil.
18
Muncullah 2 kelompok yang masing-masing gigih dalam memperjuangkan fahamnya
sendiri-sendiri, yaitu kelompok humanis universal yang berhaluan kelompok kanan berseteru
dengan pengikut realisme sosialis yang cenderung mengarah pada kelompok kiri. Beberapa
lembaga kebudayaan pada masa itu terjebak ke dalam perseteruan ideologi politik dalam konteks
budaya, dan bukannya berkompetisi memajukan kebudayaan bangsa. Polemik sastra dan budaya,
makin berkembang pada saat munculnya demokrasi terpimpin, sehingga setiap lembaga budaya di
dalam proses berkebudayaan mereka cenderung kental dengan aroma politik. Suasana kemitraan
sama sekali tidak tampak, melainkan berubah menjadi ajang saling gontok-gontokan. Dalam
upaya menjatuhkan lawannya kelompok kiri menciptakan jargon-jargon yang membuat ‘miris’
banyak orang, seperti: “Ganyang Manikebu”, ‘Manikebu Anthèk Nekolim”, “Politik adalah
Panglima”, “Tujuan Menghalalkan Cara”, dsb. Oleh karena itu masa antara 1956-1965 dapat
dikatakan kegiatan kebudayaan didominasi oleh lembaga kebudayaan partai politik.
19
Pramoedya Ananta Toer, op.cit., hlm. 100-101.
-9-
kebudayaan juga punya peran yang tak bisa diabaikan begitu saja. Banyak
Wayang orang dan pedalangan, yang pada sekitara tahun 1950-an yang menjadi
seniman dari Semarang dan berbagai daearah lainnya seperti: Yogya , Solo,
Klaten untuk bertukar pikiran dalam berkarya seni, Lekra Semarang banyak
atau yang lebih dikenal pada waktu itu dengan Pasar Ya’ik (jejak lapangan itu
Turba dari para seniman Lekra dari kota ke desa tempat rakyat kecil, ternyata
lisan sebagai sarana ekspresi petani maka Lekra memberikan perhatian khusus
kepadanya. maka Lekra Jateng mengusulkan kepada para petani yang tergabung
dalam BTI supaya tembang-tembang dari kalangan petani ini ditulis. Kaum tani
20
MULAI paroh kedua dasawarsa tahun 1950, terutama sejak sesudah pemilihan umum,
merupakan tahun-tahun ketika kehidupan dan penghidupan rakyat semakin sulit. Korupsi, salah
urus, salah duduk dan "pat-pat gulipat" merajalela. Para seniman Semarang pun tak tinggal diam
saja, maka lahirlah lagu keroncong "TST" (Tahu Sama Tahu, sejenis "KKN"sekarang) gubahan
Oey Giok Siang yang juga penggubah keroncong "Gambang Semarang" dari Seni Karawitan
Studio Tritunggal (Yogya-Solo-Semarang) lahir sejumlah gending-gending "dolanan" (yang berisi
ejekan dan sindiran), seperti "Kae Lho Kae", "Montor-Montor Cilik" dan lain-lain. Suyud, anggota
BPH (Badan Pemerintah Harian) Kotapraja Semarang, yang Wakil Sekretaris Umum Lekra Jawa
Tengah, menggubah gending dan tari "Blanja Wurung".
- 10 -
berksenian bahwa seni itu hanya untuk seni saja, tetapi mereka mulai menjalankan
gerak pedoman Lekra pusat yang kemudian disebut sebagai prinsip Satu Lima
kombinasi, yaitu meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu
beperngaruh besar pada perpolitikan dan social budaya bangsa ini. Tak dapat
dipungkiri salah satu peristiwa sejarah yang berpengaruh besar pada bangsa ini
kecil.
21
J.J. Kusni., op. cit., hal. xviii.
22
J.J. Kusni., op. cit., hal. 286.
23
Beberapa istilah untuk menyebut peristiwan yang terjadi pada tanggal 30 September
1965 itu. Pemerintah menggunakan istilah G.30.S, kemudian mereka menambahkan PKI
dibelakangnya. Istilah G.30.S/PKI lebih merupakan sebuah stigma buruk untuk menyudutkan
bahwa PKI yang menjadi dalang peristiwa itu, hal ini sangat lazim digunakan pada masa Orba.
Selain G.30.S/PKI, juga digunakan istilah Gestapu 1965, kepanjangan dari Gerakan September 30.
Istilah Gestok atau Gerakan Satu Oktober dikemukakan oleh Presiden Soekarno. Ia mengajukan
argumen bahwa penculikan itu terjadi pada tanggal 1 Oktober dini hari. Jadi, tidak tepat jika
dikatakan sebagai Gerakan 30 September. Dalam penulisan ini akan digunakan istilah Gestapu,
merujuk pada pengumuman Letkol. Untung Syamsuri di RRI yang menyebut gerakannya sebagai
Gerakan 30 September.
- 11 -
Hampir setiap ekspresi yang tercetus ke masyarakat luas yang terkait dengan ide-
iden dan karya seni pun mau tak mau terkait, atau mengkaitkan diri, atau dikait-
kaitkan, dengan pergulatan besar itu dan pasti akan tersangkut pula dengan
budayawan yang tergabung dalam lembaga budaya pun banyak yang menjadi
korban, baik itu mereka yang terlibat secara langsung atau pun yang tidak secara
langsung atau pun yang tak terlibat sama sekali karena setiap budayawan selalu
dianggap dinaungi oleh sebuah partai, tak terkecuali pun dengan PKI dan Lekra
Hingga akhir tahun 1965, situasi politik Indonesia banyak diwarnai oleh
di berbagai daerah, pertentangan antara politisi dan sipil, dan terutama pula
konflik sengit antara Angkatan Darat (AD) dengan Partai Komunis Indonesia
politik langsung surut karena PKI dan LEKRA dilarang24, termasuk organisasi
24
Lekra dibubarkan berdasarkan Tap. MPRS No. XXV/MPRS/tahun 1966, tentang
pelarangan ajaran Komunisme, Leninisme, dan pembubaran organisasi PKI beserta organisasi
massanya.
- 12 -
lain yang sehaluan. Yang menarik, lembaga lain yang tidak dilarang pun ikut
tenggelam hilang dari peredaran. Hanya beberapa lembaga kelompok kanan saja
realisme-sosialis.
B. Ruang lingkup
sebuah konstruk peristiwa yang runtut dan membentuk satu kesatuan utuh
Semua serpihan kisah dan berita masa lalu itu perlu dicakup dalam lingkup
perbatasan peristiwa itu.25 Ruang lingkup dalam penelitian sejarah ini di perlukan
untuk membatasi lingkup temporal, spasial dan keilmuan. Ruang lingkup ini
agar memiliki arah yang jelas. Pembatasan ruang lingkup ini juga di maksudkan
Lingkup temporal, sangat berguna untuk dapat membatasi penulisan sejarah pada
peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Alasan lain yang paling masuk
akal adalah lingkup temporal membuat penulisan sejarah fokus dan lebih terarah,
sehingga diharapkan tak terjadi loncatan ke ruang waktu lain yang tidak memiliki
yang paling masuk akal. Tahun 1965, seperti telah diketahuui, merupakan waktu
meletusnya Gestapu 1965 di Jakarta dan merupakan titik tolah penggulungan para
kaum kiri di Semarang. Setelah gerakan kontra aksi yang dipimpin oleh Mayjen.
25
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1993), Hal. 18-19.
26
Kartini Kartono, PengantarMetodologiRiset Sosial (Bandung: Mandar Maju, 1990),
hlm.19.
27
September 1965 merupakan tahun meletusnya peristiwa Gestapu 1965 di Jakarta.
Tragedi ini telah memicu gelombang amarah rakyat – dari kalangan lawan politik organisasi Kiri –
pada waktu itu. Antara Tahun 1965-1969 banyak terjadi pembunuhan dan pembantaian besar-
besaran rakyat kiri oleh massa rakyat yang diprofokasi oleh aparat, dengan suka rela mereka
menumpas kaum kiri tersebut, terutama para anggota PKI, BTI, Gerwani termasuk disini adalah
anggota dan seniman Lekra.
- 14 -
Lingkup spasial penelitian ini adalah Semarang. Alasan pemilihan daerah ini
karena Semarang merupakan basis kaum kiri terbesar pada masa itu. Sehingga
Dalam penelitian sejarah ini ruang lingkup keilmuan yang bersangkutan adalah
ilmu politik, sosiologi, budaya dan psikologi sosial. Dalam hal penulisan, Ilmu
kembali peristiwa masa lalu. Selain ilmu sejarah, dalam proses historiografi
digunakan pula beberapa ilmu bantu lainnya, yakni sosiologi, ilmu politik dan
budaya.
sosial, sistem social, dan konflik sosial masyarakat Semarang, baik pada saat
meletus.
pada saat peristiwa pembantaian terjadi, membantu untuk melihat lebih jauh sikap
budaya yang condong kekiri yaitu Lekra yang ada di Semarang, jikadilihat dari
hasil karya mereka dalam pertujukan seni. Melihat seperti apa sepak terjang
mereka dalam menerapkan budaya yang mengarah pada politik, dan perjuangan
mereka sendiri, dengan berbagai cara yang sangat sadis. Hanya karena perbedaan
faham yang sebagian mereka anut. Peran psikologi social sangat penting
C. Tinjauan Pustaka
yang lain. selain itu, tinjauan pustaka dipandang sebagai usaha untuk menghindari
kerancuan obyek studi. Buku-buku yang menjadi acuan dalam penulisan ini
dalam Lekra dan seperti apa bentuk dalam produksi karya-karyanya. Keith
mereka saja. Seperti konsep tentang “rakyat”, apakah hanya “mereka yang
benar-benar politis, yaitu sebagai bagian dari perjuangan Angkatan Darat yang
anti PKI dan gerakan kiri pada umumnya. Keith membuktikannya dengan
adalah orang yang “dengan sukarela bekerja pada badan intelijen militer.”
Tentang Konprensi Karyawan Pengarang (KKPI), Keith pun melihat dari sudut
Namun karena dukungan Jendral Nasution dan segala fasilitas dari militer
akhirnya konferensi itu bisa diselenggarakan. Jadi inti dari munculnya Manifes
kebudayaan bagi Keith Foulcher adalah suatu pamer kekuatan oleh kelompok
- 17 -
luar biasa. Harian Republika sebagai salah satu penerbit menurunkan, sebelum
dan sesudah terbit. empat tulisan selama empat hari berturut-turut membasa buku
ini. Liputan tersebut dimulai dari penglaman Taufik Ismail membaca lembaran-
lembaran budaya dari Koran-koran yang terbit diera 1960- an, sampai tentang
karena tubuh bagian yang kanannya lumpuh akibat stroke. Harian Suara Medeka
juga menurukan tiga tulisan selam tiga hari berurutan berdasarkan tokoh yang
terlibat dalam perdebatan itu; Taufik Ismail, WS Rendra dan Asrul Sani,
ketiganya darikubu Manikebu. Pada saat perluncuran buku ini, hampir seluruh
harian utama ibu kota menuliskan laporan melaporkan cara peluncurannya. Dalam
siaran persnya, Taufik Ismail menyatakan bahwa buku yang ditulisnya ini tidak
bersifat analisis tentang konflik seniman Lekra dan non-Lekra. Buku setebal 469
halaman ini bermaksud menggambarkan peristiwa yang terjadi pada waktu itu
dengan penampilan dokumentasi yang belum diolah, menurut penulis, buku ini
tidak main-main. Karena dia merekam “perang besar” antara seniman budayawan
28
Alex Supartono, Lekra VS Manikebu Perdebatan kebudayaan Indonesia !950-1965
(Jakarta: Driyarkara, 2000), hlm. 14-15.
- 18 -
Buku ini berusaha mengungkap perang budaya dari kedua pihak tanpa
sensor sama sekali. Pada saat peluncuran, Taufik Ismail menyatakan bahwa dia
sama sekali tidak bermaksud balas dendam. “Ini adalah karya yang dengan
salah satu pemicunya diselesaikannya buku ini adalah keresahan Taufik Ismail
akan adanya usaha pembohongan fakta sejarah. Dewasa ini para pelaku prahara
jaman domkrasi terpimpin yang belum tersingkap selama ini. Sejauh ini dapat
dilihat bahwa intens utama penerbitan buku Prahara Budaya adalah kekhawatiran
bahwa orang akan melupakan apa yang terjadi pada wilayah kebudayaan di era
60-an. Dimana perdebatan pandangan tidak lagi muncul sebagai perdebatan atau
polemic, tapi sudah menjadi saling fitnah dan tuding. Bahkan sampai terjadi
pengganyangan oleh kelompok yang kelompok yang lebih kecil dan jauh dari
kekuasaan. Agar menjadi lebih jelas, selanjutnya kita akan masuk pada buku ini
yang melihat langsung seberapa besar prahara yang terjadi lewat dokumentasi
yang sisajikan didalamnya. Isi dari Prahara Budaya Anak judul dari buku Prahara
Budaya adalah kilas balik ofensif Lekra/PKI dkk.. mengikuti judul, kita akan
membayangkan isi buku yang penuh dengan aksi-aksi Lekra /PKI dan kawan-
paparan suasana dan isi perdebatan kebudayaan tahun-tahun itu bisa muncul.
Selain ketidak setujuan terhadap Marxisme secara umum dengan harga mati,
dalam seluruh ketidak setujuan didasarkan pada iman dan pengalaman subyektif.
Tidak ada argument ilmiah yang bisa diperdebatkan dalam ketidak setujuan itu.
Lewat bahan-bahan yang dikumpulkan dalam buku ini, diharapkan pembaca bisa
melihat “tabrakan ideologi” yang terjadi pada masa itu, yang menurut dia ”titik
pusat asal-usul bencana semuanya ini utama adalah Marx.” Sebuah implifikasi
Agustus 2005) karya J.J. Kusni mantan seniman LEKRA yang kini tinggal di
Prancis. dalam karyanya ini Kusni membahas bagaimana prinsip LEKRA dalam
kita tentang LEKRA, karena isi dan sifat-sifatnya yang berbeda dan tak jarang
yang menulis tentang sejarah LEKRA. Dengan mengikuti rentang waktu peristiwa
buku J.J. Kusni ini(1963-1964), kita akan mulai dengan bebrapa gagasan pokok
LEKRA yang muncul pada periode kedua sejarahnya: kedua sejarahnya: iode
29
Alex Supartono, op. cit., hlm. 34-35.
30
J.J. Kusni, op.cit., hlm.xv
- 20 -
Buku ini juga berisi tentang kisah pengalman J.J. Kusni soal Turba yang
dilakukannya di daearah Klaten, hal ini merupakan suatu pemaparan paling rinci
tentang Turba yang pernah diterbitkan. Kusni mencoba mengangkat Aksi Sepihak
Boyolali. Aksi ini berlangsung pada tahun 1963, peristiwa ini menurut Kusni
Bayangkan saja, Jawa, khususnya Jawa Tengah yang kecil tapi padat
penduduknya, kaum tani pedesaannya bagkit dan melancarkan suatu aksi yang
tersusun rapi, jelas sasarannya, jelas tujuan dan tahap-tahapnya. kebagkitan kaum
D. Pendekatan
Teori yang digunakan dalam kajian penelitian sejarah ini adalah teori konflik,
politik, sosiologi, budaya dan teori psikologi dalam tindak kekerasan massal. Ada
dua teori yang digunakan dalam penulisan ini. Yang pertama ialah Teori
Propaganda milik Lasswell; dan kedua adalah Teori Genocyde yang dikemukakan
oleh Hellen Fein. Alasan digunakannya kedua teori ini secara sekaligus ialah,
31
J.J. Kusni, op.cit.,hlm. x.
- 21 -
kedua teori ini, kedalaman serta deskripsi peristiwa dapat tersajikan secara
Teori elit politik Lasswell membahas mengenai perilaku elit politik dalam
perilaku sosial32. Kemudian teori propaganda Lasswell yang menjadi alat bagi
sosial. Keterliban itu mengarah pada goyahnya sistem dalam masyarakat meski
kemudian juga diarahkan ke penyelesaian yang sifatnya direktif oleh golongan elit
berbau kekerasan fisik. Secara umum salah satu sebab terjadinya sebuah konflik
adalah adanya reaksi terhadap keterbatasan bahan atau sumber untuk memenuhi
Suatu konflik dapat disebut berkadar rendah jika masih terbatas pada
perbedaan kepentingan, pendapat atau ide. Kadar konflik akan meningkat jika
menjelma dalam bentuk pertentangan ide dan kepentingan. Sedangkan pada taraf
tertinggi konflik dapat muncul dalam corak konfrontasi atau bentrokkan fisik yang
32
SP. Varma, Teori Politik Modern (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1987), hlm. 199.
33
Ibid., hlm. 250
- 22 -
menurut Helen Fein adalah suatu strategi berupa pembunuhan, bukan semata-
mata karena benci atau dendam, terhadap sekelompok orang yang bersifat ras,
suku, dan politik untuk meniadakan ancaman dari kelompok itu terhadap
Orde baru sebagai kekuatan yang baru tumbuh membutuhkan sebuah cara
yang efektif untuk menumbangkan kekuatan orde lama yang bisa saja – suatu saat
Penggunaan teori ini diarahkan untuk memahami lanskap politik pada era
peralihan kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru. Teori Genocide ini pun berguna
peralihan kekuasaan.
34
Helen Fein, Revolutionary and Antirevolutionary Genocides: A Comparison of State
Murders in Democratic Kampuchea, 1975 to 1979, and In Indonesia. 1965 to 1966, dalam
Contemporary Studies of Society and History, Vol. 35, No. 4, October 1993, hlm. 813.
34
Bruce J. Cohen, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta :Rajawali Press, 1996) Hal. 347
- 23 -
oleh orang-orang.
Jakarta. Monopoli informasi yang dengan sengaja melarang terbit surat kabar
E. Metode Penelitian
suatu penelitian. Metode penelitian dalam penelitian sejarah ini adalah dengan
menggunakan metode sejarah yaitu metode yang mencakup empat tahap, yaitu:
Pada tahap awal adalah dengan melakukan pengumpulan sumber. Baik itu
sumber yang berasal dari sumber primer maupun sekunder, tertulis maupun tidak
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan PKI dan Lekra; beberapa harian seperti
arsip-arsip yang berhubungan dengan Lekra, PKI dan organisasi Kiri lainnya.
KOTI.
Untuk melengkapi studi ini, metode sejarah lisan digunakan sebagai cara
Sebagai sebuah studi sejarah lokal yang banyak bersandar kepada sumber
lisan, ingatan manusia menjadi penting. Oral History dalam tahap heuristik ini
sejarah lokal. Melalui metode wawancara pada saksi mata yang mengalami dan
ikut terlibat langsung dalam kegiatan budaya Lekra, hingga munculnya peristiwa
F. Sistematika Penulisan
pembahasan dalam sebuah studi. Dengan dilakukannya hal ini, penulisan ilmiah
Bab pertama sebagai bab pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang
penulisan.
Struktur sosial dan budaya, polarisasi kekuatan politik, serta keresahan sosial yang
terdapat disini.
Di Bab ketiga, akan mengkaji bagaimana pada tahun 1950 hingga 1965
bagaimana sepak terjang Lekra di Semarang dalam proses budaya mereka pada
organisasi mereka sendiri juga kepada masyarakat desa terutama rakya kecil,
yang mana banyak seniman Lekra yang sangat punya hubungan kerjasama dengan
Kapitalisme. Tidak hanya itu saja, dalam bab ini akan dibahas pula mengenai
situasi yang terjadi di Semarang pada tanggal 1 Oktober 1965 dan pasca peristiwa
terutama terhadap para panggota Lekra yang menjadi korban di dalamnya. Juga
Baru, reaksi luar negeri, dan kisah keluarga yang ditinggalkan oleh salah seorang
anggotanya, bagaimana dan seperti apa kisah para tahanan politik anggota Lekra
yang berasal dari wilayah Semarang yang pernah menjalani penjara dan
Bab kelima ialah bab yang memuat kesimpulan. Dalam bab ini akan
permasalahan dalam skripsi mulai dari bab pertama sampai terakhir. Pada bab
pembahasan sebelumnya.
- 27 -
DAFTAR PUSTAKA
David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: LP3ES, 1987), cet. 2, hlm.
399-408. (Talcott Parsons, The Social System, (New York, Free Press,
1951).
Ismail, Taufiq, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. (Bandung:
Mizan dan Republika, 1995).
Varma, SP, Teori Politik Modern (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1987).
Ananta Toer, Pramoedya, Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total (Bintang Timoer:
LENTERA, 9 Mei 1965).
“Gedung Sobokartti” dalam Jejak Kiri di Semarang, Hayam Wuruk, no.2 Th.xiv/
2004.
- 29 -
DAFTAR INFORMAN