You are on page 1of 19

PERAN BUSINESS DEVELOPMENT SERVICE (BDS) DALAM MENINGKATKAN KINERJA ORGANISASI UKM

MOCHAMAD MUCHSON

ABSTRAK

Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia pada tahun 2001 sekitar 40.137.661 unit, merupakan 99,6 % dari keseluruhan populasi pelaku bisnis di Indonesia dan tersebar pada berbagai sector serta bidang usaha yang menyentuh kepentingan orang banyak, memberikan kontribusi dalam penyerapan tenaga kerja sebesar 65.246,294 orang, dan produk nasional bruto sebesar 56,7 %. (Adi Abduddin, 2006). Melihat data tersebut UKM mempunyai peran yang signifikan dalaam pertumbuhan ekonomi nasional dan perlu terus dikembangkan. Tetapi banyak hambatan untuk mewujudkan hal tersebut. Hambatan yang utama adalah UKM sendiri yang mempunyai banyak masalah seperti kecilnya permodalan, sempitnya pangsa pasar, kurangnya dukungan teknologi, sehingga diperlukan dukungan untuk memberdayakan UKM. Pemerintah telah meluncurkan berbagai program untuk menangani masalah tersebut diantaranya dalam bentuk dukungan non financial dan financial. Dukungan non financial dalam bentuk pendirian Bisnis Development Service (BDS) yang mempunyai 10 Layanan kepada UKM antara lain: layanan informasi, layanan konsultasi, layanan pelatihan, melakukan bimbingan/pendampingan, menyelenggarakan kontak bisnis, fasilitasi dalam memperoleh pasar, fasilitasi dalam memperoleh permodalan, fasilitasi dalam pengembangan organisasi dan manajemn, fasilitasi dalam pengembangan teknologi serta penyusunan proposal pengembangan bisnis. Dukungan financial diberikan pada UKM dalam bentuk MAP (Modal Awal Padanan) dengan penyalur KSP/USP. Dari uraian diatas bagaiman peran BDS dalam pemberdayaan UKM?

Kata kunci: Usaha Kecil Menengah (UKM), Bisnis Development Service (BDS), Modal Awal Padanan (MAP), Koperasi/Unit Simpan Pinjam (KSP/USP), Multiplier effect, growth point, sentra, klaster.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Usaha Kecil Menengah mempunyai peran penting dan strategis bagi pertumbuhan ekonomi negara, baik negara berkembang maupun Negara maju. Pada saat krisis ekonomi

berlangsung di Indonesia, Usaha Kecil Menengah merupakan sector ekonomi yang memiliki ketahanan paling baik. Kemampuan Usaha Kecil Menengah perlu diberdayakan dan dikembangkan secara terus menerus dengan berusaha mereduksi kendala yang dialami Usaha Kecil Menengah, sehingga mampu memberikan kontribusi lebih maksimal terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat ( Sutaryo, 2004).

Dengan berbagai spesifikasinya, terutama modalnya kecil, dapat merubah produk dalam waktu tidak terlalu lama dengan manajemen yang relative sederhana serta jumlahnya banyak dan tersebar di wilayah nusantara, menyebabkan Usaha Kecil Menengah memiliki daya tahan yang cukup baik terhadap berbagai gejolak ekonomi. Namun hal ini tidak dapat dianggap bahwa Usaha Kecil Menengah tidak memiliki permasalahan. Berbagai permasalahan mikro yang terdapat pada Usaha Kecil Menengah yang meliputi kecilnya modal, sempitnya pangsa pasar dan kurangnya penguasaan teknologi, dapat menghambat perkembangan Usaha Kecil Menengah dengan baik terutama dalam mengoptimalkan peluang yang ada. Kondisi tersebut memberikan isyarat bahwa Usaha Kecil Menengah sepatutnya diberikan bantuan sesuai dengan kebutuhannya.

Sehubungan dengan permasalahan secara umum yang dialami Usaha Kecil Menengah, permodalan merupakan masalah pokok dalam pengembangan Usaha Kecil Menengah sehingga perlu ditempuh berbagai kebijakan untuk mengatasi masalah tersebut, misalnya mengusulkan penggunaan dana Surat Utang Pemerintah (SUP) dan pemberdayaan lembaga keuangan non bank. Jakarta-PEAC (Promoting Enterprise Acces to Credit) Monas, suatu program kerjasama antara Swisscontect dan IFC Pensa berupaya meningkatkan akses Usaha

Kecil Menengah ke perbankan melalui fasilitasi terhadap para pengelola Business Development Service (BDS).

Pensa merupakan salah satu fasilitas yang dibangun IFC dan menfokuskan pada bantuan teknis bagi Usaha Kecil Menengah. Pada saat ini pihaknya tengah menjajaki kerja sama dengan beberapa bank untuk menyederhanakan proses pengurusan kredit. Proses pengurusan kredit memang tidak membedakan antara yang diperuntukkan bagi Usaha Kecil Menengah,dari sisi biaya sama, namun yang diupayakan adalah "Bagaimana agar prosesnya lebih cepat ?" (Suara Merdeka Cyber Media, Edisi Selasa, 31 Mei 2005).

Pengembangan Usaha Kecil Menengah di masa mendatang diperlukan adanya bantuan layanan bisnis, baik dari lembaga swasta, pemerintah maupun individu sesuai dengan kekurangan masing-masing. Lembaga pemerintah memberi perhatian serius terhadap kegiatan Usaha Kecil Menengah dalam bentuk penanganan Usaha Kecil Menengah di bidang financial maupun non financial. Penanganan non financial seperti dibentuknya Business Development Service (BDS) yang diharapkan akan membantu kelancaran berbagai proses kegiatan Usaha Kecil Menengah. Sedangkan masalah financial yaitu sumber pembiayaan kredit bagi Usaha Kecil Menengah akan diperbaiki dan diperluas. Hal ini dilakukan akibat Usaha KecilMenengah sulit memperoleh kredit yang diakibatkan ada beberapa perbankan yang mendapat kepercayaan menyalurkan pembiayaan Usaha Kecil Menengah tetapi tidak sanggup menyalurkan kepada Usaha Kecil Menengah.

Program Business Development Service (BDS) dapat ditinjau dari dua aspek . (1) ditinjau dari aspek operasional, Business Development Service merupakan jasa layanan pengembangan usaha untuk meningkatkan perusahaan, akses pasar dan kemampuan bersaing, yang bersifat non financial, dan berfokus pada kebutuhan Usaha Kecil Menengah. (2) ditinjau dari aspek kelembagaannya, Business Development Service merupakan suatu lembaga berbadan hukum yang memberikan layanan pengembangan bisnis dan dapat melakukan pendampingan serta membantu Usaha Kecil Menengah, (Anonimous, 2002). Berasarkan uraian di atas, terdapat suatu masalah, yaitu seberapa besar peranan Business

Development Service untuk menfasilitasi Usaha Kecil Menengah dalam rangka meningkatkan kinerja organisasinya.

B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana peran Business Development Service dalam meningkatkan kinerja organisasi UKM? 2. Pembentukan sentra/klaster sebagai dukungan program Business Development Service?

C. Tujuan Pembahasan Pembahasan ini bertujuan untuk menjelaskan: 1. Peran Business Development Service dalam meningkatkan kinerja organisasi UKM? 2. Pembentukan sentra/klaster sebagai dukungan program Business Development Service?

D. Manfaat Pembahasan. Pembahasan ini bermanfaat untuk: 1. Secara teoritis. Sebagai bahan kajian/model pengembangan kinerja organisasi usaha kecil dan menengah. 2. Secara praktis. Dapat diimplementasikan untuk pengembangan kinerja organisasi usaha kecil dan menengah.

BAB II PEMBAHASAN

A. Business Development Service Business Development Service adalah suatu lembaga berbadan hukum atau bagian dari lembaga berbadan hokum yang memberikan layanan pengembagan bisnis dalam rangka meningkatkan kinerja usaha kecil dan menengah. Lembaga tersebut bukan lembaga keuangan serta dapat memperoleh fee dari jasa layanannya.

Layanan yang diberikan BDS kepada UKM antara lain: layanan informasi, layanan konsultasi, layanan pelatihan, melakukan bimbingan/pendampingan, menyelenggarakan kontak bisnis, fasilitasi dalam memperoleh pasar, fasilitasi dalam memperoleh permodalan, fasilitasi dalam pengembangan organisasi dan manajemn, fasilitasi dalam pengembangan teknologi serta penyusunan proposal pengembangan bisnis.

Fasilitasi perkuatan BDS adalah dukungan dana operasional kepada BDS untuk meningkatkan layanan pengambangan bisnis kepada UKM di dalam sentra terpilih yang penggunaannya harus dipertanggungjawabkan kepada pemerintah cq Kementrian Koperasi dan UKM secara berkala maupun pada masa akhir kontrak. (Kepmenneg Koperasi & UKM RI No.32.1/Kop/M.KUKM/IV/2003)

Business Development Services (BDS) merupakan salah satu strategi dalam pemberdayaan UKM. Selama ini pengembangan lembaga seperti ini telah lama dirintis, mulai dari pusat konsultasi yang melibatkan perguruan tinggi pada tahun 1993, kemudian berubah menjadi Klinik Konsultasi Bisnis (KKB) dan pada tahun 1998 berubah lagi menjadi PER (Pusat Ekonomi Rakyat). Business Development Services (BDS) mulai ditata mulai tahun 2001 ketika Badan

Pengembangan Sumberdaya KUKM (BPS-KUKM) masih ada. Ketika itu sudah dikembangkan 91 BDS yang difasilitasi oleh pemerintah, baik melalui perkuatan pendanaan

ataupun bantuan sarana. Pada tahun 2002 ini dikembangkan lagi sebanyak 332 BDS yang ditugasi mengembangkan 332 sentra bisnis UKM. Pada tahun 2003, akan dikembangkan lagi 500 BDS untuk membina 500 sentra di daerah. Kalau dimasa lalu pemerintah tidak mengarahkan pembinaan KKB maupun PER, maka untuk BDS target binaannya difokuskan pada pengembangan sentra atau klaster. Kalau disimak dari hasil monitoring pada beberapa BDS eks tahun 2001, ada beberapa permasalahan yang harus segera dipecahkan agar BDS yang difasilitasi tersebut mampu memberi makna dalam pengembangan UKM. Secara konsepsi penugasan kepada BDS untuk membina UKM di sentra selain dengan perkuatan modal awal padanan (MAP) lewat koperasi sangatlah ideal, artinya pasarnya sudah disediakan oleh pemerintah beserta dukungan pendanaannya. Permasalahannya, kapasitas BDS yang ditugasi untuk membina UKM disentra belum semuanya memahami atau mampu melaksanakan tugasnya. Selain itu, UKM yang ada disentra merasa tidak ada peran signifikan yang dilakukan oleh BDS. Dengan kata lain, komunikasi antara BDS dengan UKM di sentra tidak atau belum terjadi. Pada sisi lain, banyak BDS yang belum mengetahui medan binaannya. BDS yang dipilih mungkin karena jaraknya (lokasinya) ke sentra terlalu jauh, atau mungkin karena ada perbedaan budaya akibatnya konsultan BDS belum atau jarang sekali mengunjungi UKM di sentra. Mereka datang kesentra hanya diawal proyek, sekedar berkenalan atau kalau ada budget lain dari instansi lain selain dari Menegkop dan UKM. Dengan demikian, belum banyak BDS yang betul-betul secara khusus memberikan layanana bisnis kepada UKM disentra. Beberapa layanan yang sudah dilakukan kepada UKM di sentraa adalah pelatihan manajemen bisnis, informasi bahan baku, dan informasi pasar serta melakukan temu bisnis. Permasalahan lain pada BDS adalah belum semua BDS melakukan mapping terhadap UKM di sentra. Disamping itu konsultan BDS juga memiliki kemampuan terbatas untuk melakukan diagnostik serta memecahkan atau mencari solusi terhadap permasalahan yang dihadapi UKM. Sementara itu, UKM yang ada disentra menuntut bukti nyata dari layanan BDS untuk menjadikan bisnis BDS mendapatkan pengakuan dan dihargai oleh UKM. Inilah beberapa permasalahan yang ditemui di lapangan yang kiranya perlu segera mendapatkan perhatian.

Focusing sebagai salah satu strategi pemberdayaan UKM sangatlah tepat, mengingat jumlah UKM yang sangat banyak. Dari kajian disarankan bahwa fokus pembinaan UKM untuk disentra sebaiknya ditujukan pada 3 sektor prioritas. Ketiga sektor tersebut adalah : (a) sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, (b) sektor industri pengolahan dan (c) sektor perdagangan, hotel dan restoran. Dengan melakukan focusing pemberdayaan UKM disekor tersebut yang ada disentra diharapkan akan terjadi multiplier effect (effek pengganda) yang menggerakkan juga sektorsektor lainnya. Ketiga sektor tersebut sangat strategis karena komposisinya terbesar dalam struktur perekonomian nasional, kontribusinya dalam PDB dan penyerapan tenaga kerja juga sangat dominan. Dengan target group sentra yang bergerak di ketiga sektor tersebut, maka akan terjadi sinergitas pembinaan. Setiap instansi pemerintah dan non pemerintah yang terlibat dalam pemberdayaan UKM harus sepakat untuk melakukan focusing dalam pengembangan UKM yang bergerak di ketiga sektor tersebut melalui pengembangan sentra/kluster. Dengan pendekatan sentra atau kluster, maka akan lebih effektif dan efisien upaya pemberdayaan UKM tersebut. Untuk meningkatkan peran BDS dalam pengembangan sentra UKM, maka ada beberapa langkah yang perlu dilakukan. Langkah-langkah tersebut, adalah : (1). Meningkatkan kapasitas konsultan BDS yang telah difasilitasi, yaitu melalui pelatihan, magang, dan studi banding (2). Memberikan akreditasi kepada BDS untuk mendapatkan pengakuan dari binaannya. (3). Mensosialisasikan peran dan tugas BDS dalam pengembangan UKM kepada publik, khususnya di sentra dan pada UKM lainnya melalui media cetak dan elektronik. (4). Mengikutsertakan BDS pada berbagai event yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya dalam memberikan layanan bisnis pada UKM, termasuk pemanfaatan program pemerintah melalui program voucher.

Beberapa langkah yang sudah dilakukan dalam rangka pemberdayaan BDS adalah pelatihan dengan dibiayai oleh JICA (in country training). Pada tahun 2002 sudah ada 30 konsultan BDS yang dilatih melalui bantuan JICA. Pelatihan seperti ini akan diteruskan lagi pada tahun 2003 ini, yaitu pada pertengahan Maret 2003 akan dilatih lagi sekitar 30 konsultan BDS. Disamping itu, untuk penguatan BDS pada tahun anggaran 2002 juga sudah dilatih 100 orang konsultan tempatan BDS yang ditempatkan di sentra. Pelatihan ini dilakukan di 4 wilayah, yaitu Bukit Tinggi untuk wilayah Sumatera, kecuali Lampung, di Depok, Jawa Barat untuk wilayah Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, Lampung dan Kalimantan Barat, di Surabaya untuk wilayah Jateng, Yogya, Jatim, Bali, NTB, NTT, Kalteng, Kaltim dan Kalsel, serta di Makasar untuk wilayah Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, dan Papua. Selain pelatihan tersebut, mulai tahun 2002 telah juga dirintis upaya akreditasi konsultan BDS. Kita mengharapkan para konsultan BDS dapat diakreditasi sesuai standar APEC. Oleh karena itu, mulai tahun 2003 sudah ada 10 konsultan yang akan diakreditasi sesuai standar APEC. Akreditasi ini dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal para konsultan yang diakreditasi telah mendapatkan sertifikat C dab B, yang kalau distandarkan adalah sebagai konsultan daerah (C) dan konsultan nasional (B). Sedangkan sertifikat A (standar APEC) akan diberikan kalau konsultan tersebut mampu memberikan konsultasi sebanyak 400 jam selama 2 tahun dan UKM yang dibimbing mampu meningkatkan kinerjanya. Disamping upaya-upaya tersebut, dalam pengembangan UKM di sentra kedepan juga perlu ditumbuhkembangkan konsultan-konsultan UKM yang baru. Oleh karena itu pendidikan dan pelatihan konsultan UKM menjadi sangat penting untuk dikembangkan. Dalam kaitan ini, perlu diberdayakan BDS-fasilitator (BDS-F) bisa dari perguruan tinggi, LSM, dan pihak swasta. Agar BDS-fasilitator ini dapat berdaya guna untuk menumbuhkembangkan konsultan-konsultan UKM, maka perlu ada capacity building atau peningkatan kapasitas dari lembaga BDS-F yang dikembangkan. Kritik terhadap Business Development Service (BDS)/Layanan Pengembangan Bisnis (LPB)
Pendekatan cluster saat ini begitu tren dalam dunia usaha kecil dan menengah (UKM). Sistem yang kemudian dikenal dengan sebutan Business Development Services (BDS) atau Layanan Pengembangan Bisnis (LPB) ini, menjadi program unggulan untuk mengembangkan UKM.

Pasalnya untuk menjadi LPB boleh dibilang tidak terlalu sulit. Boleh sebuah lembaga atau perseorangan yang bisa menunjukkan bahwa dalam suatu sentra ada UKM yang memiliki keterkaitan sama dalam produksi dan perlu didampingi. Jadi dalam suatu sentra ada UKM yang homogen, misalnya produk makanan, mebel, kulit atau lainnya. Selanjutnya LPB ini hanya menyediakan jasa pendampingan kepada UKM dalam hal konsultasi untuk membantu memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi UKM.

Semua itu tidak gratis, tetapi UKM wajib membayar setiap jasa yang dijual LPB, apakah dalam pelatihan, konsultasi, penyusunan proposal pengembangan bisnis. Hanya saja besarnya tergantung pada kemampuan UKM itu. Mulai dari koperasi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) hingga perguruan tinggi berminat membentuk LPB.

Setiap LPB akan mendapat fasilitas sebesar Rp 50 juta selama terikat kontrak dengan pemerintah dalam hal ini Kantor Menteri Koperasi dan UKM dalam waktu tiga tahun. Ini merupakan program terunggul untuk memperkuat UKM sehingga mampu berkembang secaraprofesional.

Tanpa di duga LPB tumbuh subur. Ketika diresmikan pada 2001 ada 91 LPB yang dibentuk, namun kini berkembang hingga 423 LPB yang tercatat sebagai anggota Asosiasi LPB Indonesia. Jumlah ini belum termasuk LPB yang dibentuk oleh swasta atau tidak terikat kontrakdenganpemerintah.

Harus diakui bentuk dukungan yang paling banyak diberikan pada UKM selama ini adalah dalam hal modal (finansial) meski pada akhirnya bantuan permodalan ini sering kali tidak terealisasi dan tak dirasakan oleh kelompok UKM. Masalah manajemen, seringkali menjadi poin yang dilupakan. Padahal UKM terutama mikro umumnya buta manajemen. Akibatnya, UKM sulit membuka akses pasar, memelihara kontinuitas produk, meningkatkan kualitas atau mengelola keuangan. Masing-masing UKM bergerak sendiri mengembangkan usahanya.

Menurut kajian Deputi Menteri Negara Koperasi dan UKM, UKM menghadapi masalah

yang sangat mendasar dan sulit dihilangkan sampai sekarang, yakni keterbatasan penguasaan modal, rendahnya kemampuan SDM, konsentrasi pada sektor pertanian sehingga sulit melakukan diversifikasi usaha dan kelembagaan usaha belum berkembang secara optimal dalam penyediaan fasilitas bagi kegiatan ekonomi rakyat. Bahkan terhambat perkembangan UKM masih dibebani dengan masalah internal seperti biaya siluman dalam birokrasi, rendahnya nilai komoditi dan terbatasnya pengakuan terhadap UKM.

Persyaratan penting yang sering diabaikan dalam pengembangan UKM adalah fokus, strategi dan pendekatan kolektif. Pendekatan yang paling tepat dilakukan, menurutnya, adalah cluster of small business. Sistem ini dikatakan lebih efektif mengingat dalam suatu sentra memiliki keterkaitan yang kuat sebagai suatu sistem yang produktif. Dengan demikian antara UKM dan pendampingnya bisa menyatu. Cluster merupakan

kecenderungan spontan dari usaha sejenis untuk melakukan kegiatan yangsalingmendekati.

Namun, dalam perjalanannya LPB justru dituding tidak mampu secara maksimal mencapai tujuannya. LPB-LPB yang lahir, terutama yang mendapat fasilitas dari pemerintah, justru menjadi LPB yang tidak layak dalam arti tidak mampu melakukan pendampingan terhadap UKM.

Kajian yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) menghasilkan 90 persen LPB yang berdiri tidak layak. Tidak layak dari segi sumber daya manusia, manajerial dan teknik. LPB diberi uang Rp 50 juta tapi tidak tahu menggunakannya. Mereka melakukan konsultasi kepada UKM, tapi tidak tahu apa yang dikonsultasikan, melakukan pelatihan tapi tidak mengerti apa yang harus dilatih, menyediakan kantor dan peralatan seperti komputer tapi tidak bisa menggunakannya.

LPB yang dibentuk lewat program pemerintah, tegasnya tidak bisa mewakiliki profil LPB yang sebenarnya. LPB ini, jauh tertinggal bila dibandingkan dengan LPB swasta.
Kendala ini berasal dari ketiadaan platform yang jelas mengenai LPB. Tidak ada standardisasi LPB, sehingga menghasilkan LPB yang layak. Berdasarkan konsep sebuah LPB harus mampu melakukan fungsi pendampingan dalam membuka akses pasar, mengembangkan industrinya sendiri dan

meningkatkan kualitas produksi. Akibatnya fungsi tersebut tidak berjalan, karena sulit mendapatkan permodalan, manajemen SDM rendah, dan dibebani biaya administrasi.

LPB belum siap menjual jasa layanan pengembangan UKM dengan prinsip bisnis. Saat ini sangat

ironis karena tidak jarang ada lembaga membentuk LPB hanya untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah tanpa adanya pengalaman bekerja sama dengan UKM. Lihatlah bagaimana mulai dari kalangan perguruan tinggi, LSM maupun koperasi berlomba membentuk LPB.

Padahal, Kantor Mennegkop menetapkan syarat untuk membentuk UKM harus punya pengalaman dengan UKM dalam jangka waktu yang lama dan berbadan hukum.

Menurutnya, indikator kelaikan sebuah LPB lebih dinilai dari kemampuannya menghasilkan revenue dari jasa yang dijual kepada UKM. Dengan kata lain, LPB bisa mandiri dari jasa yang disediakan. Tetapi, dalam soal revenue, LPB diungkapkannya banyak yang gagal dan masih harus disubsidi.

Sebuah LPB yang berhasil harus mampu menjaga dinamika sentra dan mampu bertahan setelah kontrak tiga tahun selesai. Karena, dalam masa kontrak LPB itu dianggap sudah memperkuat UKM yang didampingi, sehingga mampu mengakses informasi secara luas dan permodalan.

Seharusnya pemerintah bisa segera bertindak cepat melakukan pendataan terhadap keberadaan LPB ini. Mana LPB yang bisa melakukan pendampingan, sehingga UKM yang didampingi bisa berhasil dan modal yang dikeluarkan bisa kembali dalam dua tahun. Supaya greget LPB lebih bagus sebaiknya diadakan rating. LPB yang bagus adalah modal kembali sedangkan UKM juga berkembang.

Ada pendapat kalangan perguruan tinggi tidak ikut-ikutan dalam mengelola LPB. Akan lebih efektif apabila LPB ditangani praktisi dan fungsi perguruan tinggi pada pembuatan sistem pengawasan atau membangun konsep LPB yang tepat. Tetapi jangan hanya menilai LPB secara jelek. Sebagai profesi yang baru, LPB sebaiknya diberi kesempatan tumbuh dan berkembang sehingga produknya layak dijual.

Kemenkop UKM Ubah Paradigma Pengembangan BDS-P

Kementerian Koperasi

dan UKM

mengubah paradigma pengembangan

Busines

Development Services - Provider (BDS-P/Layanan Pengembangan Bisnis/LPB) Koperasi dan UKM dari yang begitu tergantung kepada pemerintah menjadi lebih mandiri dan profesional serta mampu menjadi mitra UKM di daerah. Hal ini didasarkan pada kinerja BDS yang secara umum belum maksimal. Hanya sebagian kecil BDS yang dapat melaksanakan peran layanan dengan hasil nyata bagi kemanfaatan UKM binaan. Sedangkan mayoritas BDS-P masih belum mampu melaksanakan tugas pokok dan fungsi konsultasinya dengan efektif. Akibatnya ada BDS yang sudah mampu membawa binaannya hingga ke pasar internasional, namun jumlahnya ini begitu sedikit. Sementara yang terjadi justru lebih banyak lagi yang belum mampu melaksanakan tugas pokok dan fungsi konsultasinya dengan efektif. Kondisi lama BDS secara umum adalah mayoritas kurang memiliki kompetensi dan kesiapan SDM sehingga kurang mampu melakukan peran layanan usaha bagi UKM. Selain itu mereka juga menggantungkan proyek atau anggaran pemerintah. Sementara paradigma baru yang akan dilaksanakan adalah bagaimana membuat BDS mampu hidup sebagai organisasi yang mandiri dan profesional, atas dasar kemampuan dan keunggulan yang dimiliki dan menjadi mitra UKM di daerah. BDS/LPB pada dasarnya menjalankan fungsi pelayanan usaha bagi UKM seperti jasa konsultasi, menyusun rencana usaha, memperbaiki organisasi dan manajemen, pengelolaan permodalan dan kemungkinan kerjasama dengan mintra lainnya. Sejak pengembangan awalnya tahun 2001/2002 hingga saat ini jumlah BDS mencapai 957 unit dan tersebar di 33 provinsi. Dari jumlah BDS itu, katanya, hanya sekitar 35 persen saja yang mampu melaksanakan tugas. Itu pun dengan kompetensi rendah sampai sedang.

Pada awal pengembangannya setiap BDS memperoleh dana Rp50 juta sebagai modal dari pemerintah untuk masa tiga tahun. Namun setelah berakhirnya pemberian dana tersebut, masih banyak BDS yang mempertanyakan kembali apakah pemerintah akan menggulirkan kembali dana untuk gelombang kedua. Kedepan, Kemenkop UKM tidak lagi memprogramkan lagi kucuran dana tersebut kecuali ada strategi pengembangan lainnya dan mengharapkan agar BDS bisa menjadi lebih profesional, mandiri dan mempunyai jaringan usaha. Untuk menjadi lebuh profesional maka BDS tidak lagi harus menjadi "generalis" tapi sudah bisa masuk ke hal-hal yang khusus (spesialis). Sementara untuk kemandirian, kementrian UKM tidak lagi akan menggulirkan dana Rp50 juta namun mengharapkan agar ada suatu kesepakatan bersama soal besaran fee yang harus diterima BDS oleh pengguna jasa. Untuk masalah jaringan usaha, asosiasi BDS harus lebih dapat mengembangkan diri seperti menyuarakann suara-suara UKM baik di legislatif maupun juga masukan kepada eksekutif. "Bentuknya bisa seperti memberikan masukan kepada DPR untuk penyusunan RUU UKM atau soal Perpres Pencadangan Usaha. Asosiasi BDS bisa membuat rating BDS yang diharapkan mampu menarik unit-init lain yang belum bisa menjalankan perannya secara maksimal.

Asosiasi LPB Indonesia, tengah membuat aturan dan standar minum konsultan pendamping dan memberi pelatihan terhadap UKM. Dengan demikian adanya aturan dan standar itu, dapat diketahui kelayakan LPB dalam memberikan pendampingan, pelatihan atau jasa pengembangan usaha lain. B. Pembentukan Sentra/Cluster Sebagai Pendukung Program Business Development Service Sentra adalah pusat kegiatan di kawasan/lokasi tertentu dimana terdapat UKM yang

menggunakan bahan baku/sarana yang sama, menghasilkan produk yang sama/sejenis serta memiliki prospek untuk dikembangkan menjadi klaster.

Klaster adalah pusat kegiatan UKM pada sentra yang telah berkembang ditandai oleh munculnya pengusaha-pengusaha yang lebih maju, terjadi spesialisasi proses produksi pada masing-masing UKM dan kegiatan ekonominya saling terkait dan saling mendukung. (Kepmenneg Koperasi & UKM RI No.32.1/Kop/M.KUKM/IV/2003)

Pemberdayaan UKM dilakukan dengan menetapkan sentra UKM sebagai titik masuk (entry point). Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran untuk memberikan layanan kepada UKM secara lebih fokus, kolektif dan efisien, karena dengan sumberdaya yang terbatas mampu menjangkau kelompok UKM yang lebih luas. Pendekatan ini juga mempunyai efektifitas yang tinggi, karena jelas sasarannya dan unit usaha yang ada pada sentra umumnya dicirikan dengan kebutuhan dan permasalahan yang sama, baik dari sisi produksi, pemasaran, teknologi dan lain-lain. Di samping itu, sentra-sentra UKM akan menjadi titik pertumbuhan (growth point) di daerahnya, sehingga mampu mendukung upaya peningkatan penyerapan tenaga kerja dan peningkatan nilai tambah. Adapun beberapa hal penting yang harus diperhatikan sebagai persyaratan dasar sebuah sentra, agar dapat berkembang secara sehat: a. Dalam setiap sentra yang akan ditumbuhkan sebagai klaster harus memiliki satu usaha sejenis yang prospek pasarnya jelas. Sekurang-kurangnya terdapat 50 unit usaha kecil yang melakukan kegiatan sejenis. b. Omset dari keseluruhan unit usaha dalam sentra tersebut paling sedikit Rp. 500 juta/bulan. Angka ini akan memungkinkan timbulnya pasar jasa pengembangan yang dapat tumbuh secara sehat, industri pendukung yang terdorong masuk dan pengembangan outlet yang layak. Dari segi finansial dengan total transaksi semacam itu akan menjamin tumbuhnya jasa perkreditan koperasi yang layak. c. Telah terjadi sentuhan teknologi yang memungkinkan tercapainya peningkatan Produktivitas. Sentuhan teknologi harus menjadi elemen penting untuk melaksanakan perubahan bagi usaha kecil dan menengah. d. Persyaratan lain yang berkaitan dengan infrastruktur, jaringan pasar, ketersediaan lembaga keuangan dan lain-lain merupakan syarat tambahan yang menyediakan daya tarik sentra bersangkutan melalui jaringan informasi.

Berikut ini pendekatan pengambangan UKM melalui sentra/klaster:

JARINGAN IT-NET

Kementrian Koperasi UKM-Kebijakan

Bank/lembaga keuangan-MAP

SENTRA/USAHA SEJENIS (KLASTER)

JASA BDS: Konsultasi manajemen, informasi, teknnologi, jaringan pasar

Lembaga pelatihan swastaLSM/NGO: pelatihan/pendampingan, advokasi.

LKM/KSP MAP

Dalam sebuah sentra dapat dikembangkan menjadi sebuah klaster. Seperti definisi diatas klaster adalah pusat kegiatan UKM pada sentra yang telah berkembang yang ditandai oleh munculnya pengusaha-pengusaha baru yang lebih maju dan terdapat spesialisasi proses produksi dan dalam skala ekonomi terdapat hubungan yang saling terkait dan mendukung. Dari beberapa penelitian dalam satu sentra yang baik mempunyai jumlah anggota antara 40 sampai 50 unit usaha yang sejenis, dalam arti mempunyai kesamaan bahan baku/sarana dan produk yang sama. Dari segi pembinaan organisasi jumlah sentra yang banyak ini harus disatukan agar lebih efisien dan efektif karena biasanya dalam satu sentra terdapat

permasalahan yang sama baik dari sisi perolehan baku, proses produksi, pemasaran, SDM dan manajemen. Terdapat beberapa model pembentukan klaster dalam suatu sentra misalnya dengan dibentuk showroom yang memberikan informasi tentang produk, harga, R&D, teknologi dan lain-lain. Model lain adalah dengan menunjuk salah satu pengusaha yang lebih maju dan representative untuk mewakili klaster dalam berbagai kegiatan, selanjutnya pengusaha ini akan menyebarluaskan informasi tentang kegiatan yang telah diikutinya.

BAB III PENUTUP

A.

Kesimpulan 1. Business Development Service adalah suatu lembaga berbadan hukum atau bagian dari lembaga berbadan hokum yang memberikan layanan pengembagan bisnis dalam rangka meningkatkan kinerja usaha kecil dan menengah. Lembaga tersebut bukan lembaga keuangan serta dapat memperoleh fee dari jasa layanannya. 2. Layanan yang diberikan BDS kepada UKM antara lain: layanan informasi, layanan konsultasi, layanan pelatihan, melakukan bimbingan/pendampingan,

menyelenggarakan kontak bisnis, fasilitasi dalam memperoleh pasar, fasilitasi dalam memperoleh permodalan, fasilitasi dalam pengembangan organisasi dan manajemn, fasilitasi dalam pengembangan teknologi serta penyusunan proposal pengembangan bisnis. 3. Kementerian Koperasi dan UKM mengubah paradigma pengembangan Business Development Services - Provider (BDS-P/Lembaga Pelayanan Bisnis/LPB) Koperasi dan UKM dari yang begitu tergantung kepada pemerintah menjadi lebih mandiri dan profesional serta mampu menjadi mitra UKM di daerah. 4. Sentra adalah pusat kegiatan di kawasan/lokasi tertentu dimana terdapat UKM yang menggunakan bahan baku/sarana yang sama, menghasilkan produk yang sama/sejenis serta memiliki prospek untuk dikembangkan menjadi klaster. 5. Klaster adalah pusat kegiatan UKM pada sentra yang telah berkembang ditandai oleh munculnya pengusaha-pengusaha yang lebih maju, terjadi spesialisasi proses produksi pada masing-masing UKM dan kegiatan ekonominya saling terkait dan saling mendukung. 6. Dari beberapa penelitian dalam satu sentra yang baik mempunyai jumlah anggota antara 40 sampai 50 unit usaha yang sejenis, dalam arti mempunyai kesamaan bahan baku/sarana dan produk yang sama. Dari segi pembinaan organisasi jumlah sentra yang banyak ini harus disatukan agar lebih efisien dan efektif karena biasanya dalam

satu sentra terdapat permasalahan yang sama baik dari sisi perolehan baku, proses produksi, pemasaran, SDM dan manajemen.

B. Rekomendasi 1. Hendaknya BDS/LPB tidak hanya menfokuskan kegiatan pada pemberian layanan bisnis, tapi yang lebih penting adalah tindak lanjut dari kegiatan tersebut agar tujuan dari pemberdayaan UKM dapat terwujud yaitu UKM yang mempunyai kinerja yang baik, daya saing tinggi, akses pasar dan mampu memanfaatkan teknologi informasi. 2. Di masing-masing daerah sebagian besar telah mempunyai sentra UKM baik dalam sector industry, perdagangan, jasa maupun pertanian. Agar sentra tersebut lebih efisien dan efektif dalam pemberian layanan bisnis perlu dibentuk klaster sebagai representasi dari sentra.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 2002. Strategi Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah. Bandung, Rineka Cipta. Adi Abduddin, 2009. Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM Nomor 1 tahun 1 2006, Departemen Koperasi dan UKM Kepmenneg Koperasi & UKM RI (No.32.1/Kop/M.KUKM/IV/2003). Petunjuk Teknis Business Development Service (BDS) Sutaryo, 2004. Pengembangan Sentra/Klaster Usaha Kecil dan Menengah. Jakarta, Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Suara Merdeka Cyber Media, Edisi Selasa, 31 Mei 2005.

You might also like