You are on page 1of 24

SEMINAR SKRIPSI MAHASISWA SEKOLAH TINGGI ILMU STATISTIK TAHUN AKADEMIK 2011/2012 Judul : Faktor-faktor Yang Memengaruhi Ketahanan

Bersekolah Siswa Usia 7-15 Tahun di Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 Penyaji : Pray Putra Hasianro Nadeak (09.6087)

Pembimbing : Timbang Sirait, S.Stat, M.Si Waktu Tempat I. : 23 Agustus 2013, pukul 13.45 14.45 : 266

PENDAHULUAN

Pendidikan, terutama pendidikan dasar, sangat penting untuk diperhatikan dalam proses pembangunan sumber daya manusia. Pemenuhan atas hak untuk mendapatkan pendidikan dasar yang bermutu merupakan ukuran keadilan dan pemerataan atas hasil pembangunan dan sekaligus menjadi investasi sumber daya manusia yang diperlukan untuk mendukung proses pembangunan bangsa (Departemen Pendidikan Nasional, 2009). Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2011 persentase Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Pulau Jawa terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar 57,64 persen. Hal ini menunjukkan bahwa Pulau Jawa merupakan kawasan cukup maju perekonomiannya di Indonesia. Tiga provinsi yang menjadikan Pulau Jawa sebagai kontributor terbesar PDB nasional secara berturut-turut yaitu DKI Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat (untuk data yang lebih lengkap, lihat lampiran 1) Berdasarkan publikasi Profil Anak Indonesia 2011, angka putus sekolah untuk jenjang pendidikan dasar di Provinsi Jawa Barat adalah sebesar 0,6 persen untuk usia 712 tahun dan 2,6 persen untuk usia 13-15 tahun. Angka tersebut relatif cukup tinggi bila dibandingkan dengan angka putus sekolah nasional untuk jenjang pendidikan dasar, yaitu

0,7 persen untuk usia 7-12 tahun dan 2,2 persen untuk usia 13-15 tahun. Selanjutnya, angka putus sekolah tersebut belum berhasil mencukupi target angka putus sekolah maksimal yang tertuang dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat 2008-2013, yaitu 0,5 persen untuk jenjang pendidikan SD dan 0,7 persen untuk jenjang pendidikan SMP. Hal ini cukup kontras dengan apa yang disampaikan oleh Astuti (2009) bahwa provinsi dengan tingkat pendapatan rendah cenderung memiliki angka putus sekolah yang tinggi dan sebaliknya provinsi dengan pendapatan yang tinggi cenderung memiliki angka putus sekolah yang rendah. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui karakteristik siswa usia 7-15 tahun di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2011. 2. Mengetahui karakteristik permasalahan putus sekolah dan persebarannya

berdasarkan faktor internal anak, faktor sosial ekonomi rumah tangga dan faktor lingkungan tempat tinggal pada siswa usia 7-15 tahun di provinsi Jawa Barat pada tahun 2011. 3. Mengetahui faktor-faktor yang lebih dominan memengaruhi ketahanan bersekolah siswa usia 7-15 tahun di provinsi Jawa Barat pada tahun 2011. II. KAJIAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN Menurut BPS (2012), putus sekolah didefinisikan sebagai seseorang yang tidak dapat menyelesaikan pendidikan atau berhenti bersekolah dalam suatu jenjang pendidikan sehingga belum memiliki ijazah pada jenjang pendidikan tersebut. Menurut Hadiyanto (1996), dalam kaitannya dengan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, anak yang tidak melanjutkan pendidikan ke SMTP (Sekolah Menengah Tingkat Pertama) dapat dikategorikan putus sekolah, karena hanya mampu menyelesaikan pendidikan 6 tahun dari program yang seharusnya ditempuh (9 tahun). Seorang anak usia 7-15 tahun dikatakan putus sekolah dalam penelitian ini jika anak yang berhenti sekolah tersebut tidak

memperoleh ijazah dan jika anak tersebut tamat SD namun tidak melanjutkan pendidikan ke SMP.

Putus sekolah disebabkan oleh beberapa faktor, namun karena keterbatasan data maka faktor-faktor yang memengaruhi putus sekolah anak usia 7-15 tahun yang dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Faktor internal, yaitu jenis kelamin siswa, status kerja siswa dan umur siswa. 2. Faktor sosial-ekonomi rumah tangga, yaitu jenis kelamin kepala rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, lapangan pekerjaan rumah tangga, pengeluaran per kapita rumah tangga, dan jumlah anggota rumah tangga. 3. Faktor lingkungan, yaitu klasifikasi daerah tempat tinggal siswa (perkotaan dan perdesaan). Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Siswa laki-laki cenderung perempuan. 2. Siswa yang tidak bekerja atau melakukan kegiatan lainnya cenderung bertahan untuk bersekolah dibandingkan dengan siswa yang bekerja. 3. Umur siswa berpengaruh negatif terhadap ketahanan bersekolah siswa. 4. Jumlah anggota rumah tangga berpengaruh negatif terhadap ketahanan bersekolah siswa usia 7-15 tahun. 5. Pendidikan kepala rumah tangga berpengaruh positif terhadap ketahanan bersekolah siswa usia 7-15 tahun. 6. Siswa yang memiliki kepala rumah tangga yang bekerja di sektor nonpertanian cenderung bertahan untuk bersekolah dibandingkan dengan siswa yang memiliki kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian. 7. Siswa usia 7-15 tahun yang memiliki kepala rumah tangga laki-laki cenderung bertahan untuk bersekolah dibandingkan dengan siswa yang memiliki kepala rumah tangga perempuan. 8. Pengeluaran per kapita rumah tangga berpengaruh positif terhadap ketahanan bersekolah siswa usia 7-15 tahun. 9. Siswa usia 7-15 tahun di perkotaan cenderung bertahan untuk bersekolah dibandingkan dengan siswa usia 7-15 tahun di perdesaan. bertahan untuk bersekolah dibandingkan siswa

Selanjutnya, untuk kerangka teori penelitian dan koding variabel dapat dilihat pada lampiran 2 dan 3. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2011 untuk Provinsi Jawa Barat yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Unit analisis dalam penelitian ini adalah siswa berusia 7-15 tahun di Provinsi Jawa Barat Tahun 2011. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Coxs Proportional Hazard Model. Cox Proportional Model merupakan metode analisis data tahan hidup yang bersifat semiparametrik dan menitikberatkan analisis terhadap fungsi hazard (Kalbfeisch & Prentice, 2002). Untuk mengetahui secara singkat tentang analisis data tahan hidup, lihat pada lampiran 4. Secara matematis, Coxs Proportional Hazard Model dapat dituliskan sebagai berikut (Lee & Wang, 2003). ( | ) ( ) ( ) ( ) ( )

Asumsi yang harus terpenuhi jika ingin menggunakan Coxs Proportional Hazard Model adalah masing-masing kovariat harus bersifat proportional hazard. Pemeriksaan asumsi proportional hazard dapat dilakukan dengan melihat korelasi antara Schoefeld Residual dan ranking waktu ketahanan. Jika korelasinya signifikan, maka asumsi asumsi proportional hazard terlanggar untuk variabel yang bersangkutan. Menurut Kleinbaum & Klein (1996), jika asumsi tersebut tidak terpenuhi pada kovariat tertentu, maka dianjurkan untuk menjadikan masing-masing kategori dalam variabel yang bersangkutan menjadi strata. Secara matematis, Stratified Coxs Proportional Hazard Model dapat dituliskan (Lee & Wang, 2003) menjadi: ( | ) ( ) ( ) ( ) ( )

dengan i = 1, 2, . . . n merupakan kategori variabel yang dijadikan strata.

Menurut Kleinbaum & Klein (1996), asumsi model tidak mengandung interaksi diperlukan jika menggunakan Stratified Coxs Proportional Hazard Model. Uji yang digunakan adalah Uji Rasio Likelihood antara model tanpa interaksi dengan model yang mengandung interaksi. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan sampel data Susenas 2011, sebanyak 14.642 siswa usia 7-15 tahun yang bertempat tinggal di Jawa Barat dengan sebaran berdasarkan status sekolah, yaitu putus sekolah sebanyak 497 siswa (3,39 persen) dan masih sekolah sebanyak 14.145 siswa (96,61 persen). Sebanyak 7.574 siswa (51,73 persen) diantaranya berjenis kelamin laki-laki sedangkan sisanya 7.068 siswa (48,27 persen) berjenis kelamin perempuan. Selanjutnya, untuk karakteristik lainnya dapat dilihat pada lampiran 5. Berdasarkan model yang telah didapat, diperoleh hasil bahwa variabel umur siswa, status kerja siswa, pendidikan kepala rumah tangga, lapangan pekerjaan kepala rumah tangga, pengeluaran per kapita dan klasifikasi daerah tempat tinggal siswa berpengaruh signifikan terhadap ketahanan bersekolah siswa usia 7-15 tahun pada taraf nyata 5 persen. Koefisien regresi untuk variabel umur siswa bertanda positif. Hal ini menunjukkan bahwa siswa yang berusia 13-15 tahun memiliki kecenderungan untuk putus sekolah lebih besar daripada siswa yang berusia 7-12 tahun. Kecenderungan siswa yang berusia 13-15 tahun untuk putus sekolah sebesar 2,019 kali dari siswa yang berusia 7-12 tahun. Koefisien regresi untuk variabel status kerja siswa bertanda positif. Hal ini menunjukkan bahwa siswa yang bekerja memiliki kecenderungan untuk putus sekolah lebih besar daripada siswa yang melakukan kegiatan lain atau status kerjanya tidak diketahui. Kecenderungan siswa yang bekerja untuk putus sekolah sebesar 11,222 kali dari siswa yang melakukan kegiatan lain atau status kerjanya tidak diketahui. Koefisien regresi untuk variabel pendidikan kepala rumah tangga bertanda negatif. Hal ini menunjukkan bahwa siswa yang memiliki kepala rumah tangga berpendidikan maksimal SD memiliki kecenderungan untuk putus sekolah lebih besar daripada siswa yang memiliki kepala rumah tangga berpendidikan minimal SMP. Kecenderungan siswa yang

memiliki kepala rumah tangga berpendidikan minimal SMP untuk putus sekolah sebesar 0,271 kali dari siswa yang memiliki kepala rumah tangga berpendidikan maksimal SD. Koefisien regresi untuk variabel lapangan pekerjaan kepala rumah tangga bertanda negatif. Hal ini menunjukkan bahwa siswa yang memiliki kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian memiliki kecenderungan untuk putus sekolah lebih besar

daripada siswa yang memiliki kepala rumah tangga yang bekerja di sektor nonpertanian. Kecenderungan siswa yang memiliki kepala rumah tangga yang bekerja di sektor nonpertanian untuk putus sekolah sebesar 0,654 kali dari siswa yang memiliki kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian. Koefisien regresi untuk variabel pengeluaran rumah tangga per kapita bertanda negatif. Hal ini menunjukkan bahwa siswa yang berada dalam rumah tangga dengan pengeluaran per kapita di bawah garis kemiskinan kabupaten memiliki kecenderungan untuk putus sekolah lebih besar daripada siswa yang berada dalam rumah tangga dengan pengeluaran per kapita di atas garis kemiskinan kabupaten. Kecenderungan siswa yang berada dalam rumah tangga dengan pengeluaran per kapita di atas garis kemiskinan kabupaten untuk putus sekolah sebesar 0,438 kali dari siswa yang berada dalam rumah tangga dengan pengeluaran per kapita di bawah garis kemiskinan kabupaten. Koefisien regresi untuk variabel klasifikasi daerah tempat tinggal anak bertanda positif. Hal ini menunjukkan bahwa siswa yang tinggal di perdesaan memiliki kecenderungan untuk putus sekolah lebih besar daripada siswa yang tingga di daerah perkotaan. Kecenderungan siswa yang tinggal di perdesaan untuk putus sekolah sebesar 1,393 kali dari siswa siswa yang tinggal di perkotaan. Berdasarkan hasil pengujian asumsi proportional hazard, diperoleh hasil bahwa variabel status kerja siswa tidak memenuhi asumsi proportional hazard karena koefisien korelasi antara Schoenfeld residual dan ranking lama sekolah siswa signifikan pada taraf nyata 5 persen. Solusi dari pelanggaran asumsi proportional hazard pada variabel status kerja siswa tersebut adalah dengan menjadikan kategori-kategori dalam variabel tersebut sebagai strata. Model ketahanan bersekolah akan dibagi ke dalam dua strata, yaitu model pertama untuk menjelaskan kondisi ketahanan bersekolah bagi anak yang bekerja dan

model kedua untuk menjelaskan kondisi ketahanan bersekolah bagi anak yang melakukan kegiatan lain/tidak diketahui status kerjanya. Selanjutnya, hasil uji interaksi menunjukkan bahwa model tidak mengandung interaksi sehingga Stratified Cox Proportional Hazard Model dapat digunakan. Untuk lebih lengkapnya, dapat dilihat pada lampiran 6.

IV.

KESIMPULAN DAN SARAN Hal-hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini:

1. Berdasarkan data Susenas 2011, terdapat 14.642 siswa berusia 7-15 tahun yang bertempat tinggal di Jawa Barat dengan sebaran berdasarkan status sekolah, yaitu putus sekolah sebanyak 497 siswa (3,39 persen) dan masih sekolah sebanyak 14.145 siswa (96,61 persen). 2. Faktor internal siswa dan sosial ekonomi rumah tangga signifikan memengaruhi ketahanan siswa pada program wajib belajar sembilan tahun di Provinsi DKI Jakarta yaitu: a. Faktor internal anak : status kerja anak dan umur anak b. Faktor sosial ekonomi rumah tangga : pendidikan kepala rumah tangga, lapangan pekerjaan rumah tangga, pengeluaran rumah tangga per kapita. c. Faktor lingkungan : klasifikasi daerah tempat tinggal anak 3. Faktor sosial ekonomi rumah tangga lebih dominan memengaruhi ketahanan siswa untuk sekolah dengan variabel yang paling dominan yaitu pendidikan kepala rumah tangga. Sedangkan hal-hal yang disarankan adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah perlu merancang program pengentasan kemiskinan yang lebih baik dan tepat sasaran, karena peningkatan kondisi perekonomian rumah tangga akan berakibat positif terhadap ketahanan sekolah siswa. 2. Pendidikan kepala rumah tangga berdampak terhadap ketahanan bersekolah siswa karena pendidikan mereka merupakan motivasi anak untuk menyelesaikan pendidikannya. Oleh karena itu, pihak sekolah atau dinas pendidikan setempat disarankan untuk memberikan penyuluhan kepada para kepala rumah tangga tentang pentingnya pendidikan dasar. 3. Pemerintah perlu membangun daerah perdesaan lebih baik lagi karena berdasarkan penelitian ini anak putus sekolah lebih banyak ditemui pada anak yang tinggal di perdesaan dengan kondisi kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian, sektor yang pada umumnya mendominasi perekonomian perdesaan.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Palupi Panca. (13 Februari 2009). Putus Sekolah Masih Menjadi Masalah. 18 Mei 2013.http://www.menegpp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id =117:putus-sekolah-masih-menjadi-masalah&catid=39:artikel-anak&Itemid=115 Badan Pusat Statistik. (2012). Profil Anak Indonesia 2012. Jakarta : Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Badan Pusat Statistik. Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Provinsi, 2004 - 2011 (Juta Rupiah). 22 Mei 2013. http://bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=52&notab= 1 Badan Pusat Statistik. Distribusi Persentase Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Provinsi, 2004-2011 (Persen). 22 Mei 2013. http://bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=52&notab= 4 Cox D. R. dan Oakes D. 1984. Analysis of Survival Data. London: Champman and Hall. Departemen Pendidikan Nasional. (2009). Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2010 2014. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional. Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. (2008). Rencana dan Strategi Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2013. Bandung : Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat Hadiyanto. (1996). Faktor-faktor Penyebab Putus Sekolah pada Pendidikan Dasar : Suatu Kajian dalam Rangka Mensukseskan Wajib Belajar 9 Tahun [Laporan Penelitian]. Padang : Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Kalbfeisch, John D. & Prentice, Ross L. (2002). The Statistical Analysis of Failure Time Data (2nd ed). New Jersey : John Wiley and Sons, Inc. Kleinbaum, David G. & Klein, Michael. (2005). Survival Analysis : A Self-Learning Text (2nd ed). New York : Spring Science Lee, Elisa T. & Wang, John Wenyu. (2003). Statistical Methods for Survival Data Analysis. New Jersey : John Wiley and Sons, Inc.

LAMPIRAN

Lampiran 1. PDRB dan Angka Putus Sekolah di Pulau Jawa Tahun 2011
Angka Putus Sekolah (%) 7-12 13-15 Tahun Tahun
(2) (3)

Provinsi
(1)

PDRB Atas Harga Berlaku (Juta Rupiah)


(4)

Peringkat PDRB Secara Nasional


(5)

DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Indonesia

0,6 0,6 0,5 0,0 0,4 0,5 0,7

1,9 2,6 1,2 0,3 2,2 1,9 2,2

982.540.043,96 861.006.347,79 498.614.636,36 51.782.092,43 884.143.574,81 192.218.910,27

1 3 4 20 2 8

Lampiran 2. Kerangka Teori Penelitian

Lampiran 3. Koding Variabel

Lampiran 4. Sekilas tentang Survival Analysis Analisis tahan hidup (Survival Analysis) adalah suatu metode yang digunakan untuk mengkaji ketahanan hidup satu atau beberapa kelompok individu (Lee & Wang, 2003).

Waktu tahan hidup dicatat sebagai data tentang jangka waktu terjadinya suatu kejadian mulai awal sampai akhir. Hal yang menarik dalam analisis tahan hidup adalah adanya titik kejadian (event point) dalam kelompok atau kelompok-kelompok individu yang disebut gagal (failure), dan waktu bertahannya disebut waktu hidup (life time) (Cox dan Oakes, 1984). Ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam menentukan waktu gagal secara teliti, yaitu: 1. Ada waktu permulaan 2. Satuan pengukuran yang jelas 3. Definisi gagal harus jelas Berdasarkan syarat di atas, data dalam analisis ini dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: 1. Data Lengkap Data lengkap terjadi bila semua individu yang diamati (unit observasi) selama periode penelitian tertentu mengalami kejadian yang diinginkan (kegagalan). Pada akhir periode penelitian, status dari semua unit observasi adalah gagal, sehingga waktu bertahan yang sebenarnya diketahui. Data inilah yang disebut sebagai data tidak tersensor. Jadi, data lengkap adalah data yang semua unit observasinya adalah data tidak tersensor. Pengumpulan data lengkap jarang dilakukan pada penelitian dengan unit observasi yang besar karena dibutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal untuk melakukan penelitian sampai semua unit observasi mengalami kegagalan. 2. Data Tidak Lengkap Data tidak lengkap terjadi bila tidak semua unit observasi yang diamati selama periode penelitian tertentu mengalami kegagalan sehingga waktu bertahan yang sebenarnya dari sebagian observasi tidak diketahui. Individu yang masih hidup pada akhir penelitian (withdrawn alive) dan hilang dari penelitian (lost to follow up) tetap disertakan dalam penelitian. Data dari individu inilah yang disebut sebagai data tersensor. Penyensoran dilakukan untuk menghemat waktu dan biaya. Berikut ini tipe-tipe penyensoran, yaitu:

a. Tersensor tipe I Dikatakan tersensor tipe I jika periode penelitian telah ditentukan dan objek penelitian masuk ke dalam penelitian pada waktu yang sama. Misalnya, dilakukan penelitian waktu ketahanan siswa yang masuk SD pada tahun yang sama. Gambar 3 menunjukkan waktu ketahanan siswa.

Siswa A, B, dan D putus sekolah pada bulan ke 36, 48, dan 84 yang selanjutnya disebut sebagai amatan tidak tersensor dan data ketiga siswa lainnya disebut sebagai amatan tersensor. Siswa C dan E merupakan contoh kasus withdrawn alive sedangkan siswa F merupakan contoh kasus lost to follow up. b. Tersensor tipe II Pada tersensor tipe II, individu masuk ke dalam penelitian pada waktu yang sama dan penelitian dihentikan jika sejumlah individu yang telah ditentukan mati (r individu yang mati dari n individu yang terdapat dalam penelitian dimana r<n). Misalnya pada penelitian yang dilakukan terhadap siswa SD tahun untuk mengetahui waktu ketahanan sekolahnya, penelitian akan dihentikan jika empat siswa putus sekolah. Ternyata pada bulan ke 72 telah terdapat empat siswa yang putus sekolah (A, D, E dan F) sehingga

penelitian dihentikan pada bulan tersebut, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 4.

c. Tersensor tipe III Disebut tersensor tipe III jika setiap individu masuk ke dalam penelitian pada waktu yang berbeda-beda selama periode penelitian. Misalnya, dilakukan penelitian waktu ketahanan sekolah siswa. Selama periode 108 bulan penelitian terdapat enam siswa masuk ke dalam pengamatan. Seperti pada Gambar 5 terlihat bahwa siswa A, B, dan E masuk ke dalam pengamatan pada permulaan bulan keduapuluhempat, ketigapuluhenam, dan keduabelas. Pada akhir periode penelitian diketahui bahwa tiga siswa putus sekolah (A, B dan E), sedangkan siswa C dan D withdrawn alive serta siswa F lost to follow up.

Dalam penelitian ini, data yang digunakan merupakan data yang tidak lengkap dengan metode penyensoran tipe III, dimana waktu permulaannya adalah saat siswa masuk SD, skala pengukuran yang dipakai adalah bulan dan gagal (failure) tercapai bila siswa tersebut putus sekolah.

Lampiran 5. Analisis Deskriptif Tabel 1. Karakteristik Siswa Usia 7-15 Tahun di Jawa Barat Tahun 2011 Karakteristik (1) Status sekolah Jenis kelamin siswa Status kerja siswa Kategori (2) Putus sekolah Masih sekolah Laki-laki Perempuan Lainnya / tidak diketahui Bekerja 7-12 tahun 13-15 tahun Laki-laki Perempuan Maksimal SD Minimal SMP Jumlah (3) 497 14.145 7.574 7.068 14.498 144 10.028 4.614 13.576 1.066 10.414 4.228 Persentase (4) 3,39 96,61 51,73 48,27 99,02 0,98 68,49 31,51 90,29 9,71 71,12 28,88

Umur siswa Jenis kelamin kepala rumah tangga Pendidikan kepala rumah tangga

Lapangan kerja kepala rumah tangga Jumlah anggota rumah tangga Pengeluaran rumah tangga per kapita

Daerah tempat tinggal

Pertanian Nonpertanian 4 orang > 4 orang Garis Kemiskinan Kabupaten Garis Kemiskinan Kabupaten Perkotaan Perdesaan

3.070 11.572 7.547 7.095 2.834

20,97 79,03 51,54 48.46 19,36

11.808

80,64

9.520 5.122

65,02 34,88

Gambar 1. Persentase Putus Sekolah Berdasakan Jenis Kelamin Siswa

100% 99% 3.7% 98% 97% 96% 96.3% 95% 94% Laki-laki Perempuan 96.9% 3.1% Putus Sekolah Masih Sekolah

Gambar 2. Persentase Putus Sekolah Berdasarkan Umur Siswa

100% 98% 96% 94% 92% 90% 88% 86%

0.7%

9.2% Putus Sekolah 99.3% Masih Sekolah

90.8%

7-12 tahun

13-15 tahun

Gambar 3. Persentase Putus Sekolah Berdasarkan Status Kerja Siswa

100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%

2.7%

73.6% 97.3% Putus Sekolah Masih Sekolah

26.4%

Bekerja

Lainnya/Tidak Diketahui

Gambar 4. Persentase Putus Sekolah Berdasarkan Jenis Kelamin Kepala Rumah Tangga

100% 99% 98% 97% 96% 95% 94% 93% Laki-laki Perempuan 96.7% 95.4% 3.3% 4.6% Putus Sekolah Masih Sekolah

Gambar 5. Persentase Putus Sekolah Berdasarkan Pendidikan Kepala Rumah Tangga

100% 99% 98% 97% 96% 95% 94% 93% Maksimal SD 95.5% 4.5%

0.7%

Putus Sekolah 99.3% Masih Sekolah

Minimal SMP

Gambar 6.

Persentase Putus Sekolah Berdasarkan Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga

100% 98% 96% 94% 92% 90% 88% Pertanian 93.3% 6.7%

2.5%

Putus Sekolah 97.5% Masih Sekolah

Non Pertanian

Gambar 7. Persentase Putus Sekolah Berdasarkan Jumlah Anggota Rumah Tangga

100% 99% 98% 97% 96% 95% 94% 93% <= 4 orang > 4 orang 97.2% 96.0% 2.8% 4.0% Putus Sekolah Masih Sekolah

Gambar 8. Persentase Putus Sekolah Berdasarkan Pengeluaran per Kapita Rumah Tangga

100% 98% 96% 94% 92% 90% 88% Di bawah Garis Kemiskinan Kabupaten 92.5% 7.5%

2.4%

97.6%

Putus Sekolah Masih Sekolah

Di atas Garis Kemiskinan Kabupaten

Gambar 9. Persentase Putus Sekolah Berdasarkan Klasifikasi Daerah Tempat Tinggal Anak

100% 99% 98% 97% 96% 95% 94% 93% 92% Perkotaan Perdesaan 97.4% 95.1% 2.6% 4.9% Putus Sekolah Masih Sekolah

Lampiran 5. Output Analisis Inferensia Tabel 2. Hasil Overall Test sebelum model distratifikasi

Tabel 3. Model Sebelum Stratifikasi

(t ) exp(0,145 JK 0,703UMUR _ SISWA * 2,418KERJA * h (t | x) h 0 1 0,161JK _ KRT 1,307 PDDKN _ KRT *1 0,424 LAP _ KRT1 * 0,110 ART 0,825EXPKAB 1 * 0,331DAERAH 1 *) * Signifikan pada taraf nyata 5%

Tabel 4. Hasil Pengujian Asumsi Proportional Hazard


. stphtest, rank detail Test of proportional-hazards assumption Time: Rank(t) rho JK KERJA KELUM JK_KRT PDDKN_KRT LAP_KRT ART EXPKAB DAERAH global test -0.01965 -0.16012 0.04033 -0.00262 -0.02389 0.03859 -0.06889 -0.02112 0.07853 chi2 0.19 14.10 0.79 0.00 0.28 0.78 2.43 0.23 3.11 23.58 df 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9 Prob>chi2 0.6604 0.0002 0.3749 0.9533 0.5957 0.3782 0.1191 0.6306 0.0778 0.0050

Kesimpulan : variabel KERJA tidak memenuhi asumsi proportional hazard pada taraf nyata 5% Tabel 5. Status Strata

Tabel 6. Hasil Overall Test setelah model distratifikasi

Tabel 7 Model Setelah Stratifikasi

Model yang terbentuk untuk strata 1 : (t ) exp(0,145 JK 0,703UMUR _ SISWA * 0,161JK _ KRT h1 (t | x) h 01 1 1 1

1,307 PDDKN _ KRT *1 0,424 LAP _ KRT1 * 0,110 ART1 0,825EXPKAB 1 * 0,331DAERAH 1 *)
Model yang terbentuk untuk strata 2 : (t ) exp(0,145 JK 0,703UMUR _ SISWA * 0,161JK _ KRT h2 (t | x) h 02 2 2 2

1,307 PDDKN _ KRT *2 0,424 LAP _ KRT2 * 0,110 ART 2 0,825EXPKAB 2 * 0,331DAERAH 2 *) * Signifikan pada taraf nyata 5%

Gambar 10. Kurva Ketahanan Bersekolah Siswa 7-15 Tahun

Gambar 11. Kurva Ketahanan Bersekolah Berdasarkan Strata Status Kerja Siswa

Lampiran 6. Hasil Uji Interaksi Model tanpa interaksi

-2LogLikelihood model tanpa interaksi = -2 ln LR = 7997,889 Model dengan interaksi

-2LogLikelihood model dengan interaksi = -2 ln LF = 7953,089 H0 : model tidak mengandung interaksi H1 : model mengandung interaksi Tolak H0 jika LR ; p ( k * 1) p = banyaknya parameter k* = banyaknya strata

LR 0,05;9( 21)

LR 53,4623
Uji Statistik : LR = -2 ln LR (-2 ln LF ) = 7997,889 - 7953,089 = 44,8 Keputusan : Terima H0 karena LR 53,4623 Kesimpulan : model tidak mengandung interaksi

You might also like