Professional Documents
Culture Documents
Nyoman Rudana
NPM 08.D.040
1
Beberapa tantangan dan kendala terkait dengan Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan
Keuangan Daerah 2009 adalah sebagai berikut :
1. Implikasi desentralisasi fiskal terhadap perkembangan ekonomi daerah.
Meskipun peningkatantransfer dari Pemerintah ke daerah diiringi perbaikan tingkat
kesejahteraan masyarakat,perlu diperhatikan kondisi daerah dan korelasi antara transfer
dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dari data Depkeu dan BPS ditemukan bahwa
(1) indikator tingkat kesejahteraan masyarakat secara nasional menunjukkan perbaikan, tetapi
tidak semua daerah mengalami perbaikan. Dari 33 propinsi, terdapat 15 propinsi dengan
penurunan % penduduk miskin dan 18 propinsi dengan peningkatan % penduduk miskin.
(2) Peningkatan transfer diiringi dengan perbaikan tingkat kesejahteraan, tetapi korelasinya
sangat rendah yaitu kurang dari o,5 bahkan mendekati nol. Dari NAPBN 2009 nampak bahwa
beberapa daerah yang rata-rata transfer per kapitanya tinggi justru menunjukkan rata- rata %
penduduk miskin yang tinggi pula. Ini mengindikasikan transfer pemerintah ke daerah masih
terkonsentrasi pada daerah yang tingkat kesejahteraannya masih rendah.
2
dalam anggaran yang efisien, sehingga menghasilkan output dan outcome yang sesuai
dengan perencanaannya. Tantangan dalam proses penyusunan APBD adalah :
(1) Bagaimana menciptakan hubungan yang jelas antara input(anggaran dalam APBD) dengan
output dan outcome dari program dan kegiatan.
(2) Diperlukannya partisipasi masyarakat dan dukungan politik dari DPRD, mengingat kedua hal
tersebut akan menentukan outcome yang akan dicapai dan sekaligus menilai apakah
pemerintah daerah telah berhasil mencapainya.
(3) Kesinambungan antar program dan kegiatan yang disusun dalam APBD tersebut, yang
tercermin dalam pola belanja APBD, karena pada dasarnya sebagian besar program dan
kegiatan tidak akan bisa dilihat dampaknya secara nyata dalam waktu yang singkat, dan juga
harus selalu ditunjang dengan program/kegiatan lain yang saling terkait dalam rentang
waktu yang cukup panjang.
(4) Kurangnya sinergi antara program nasional dan kebijakan di daerah. Pengeluaran APBD
akan menjadi tidak efektif apabila tidak sejalan dengan program pembangunan nasional,
atau sebaliknya. Hal yang sama terhadap APBD kabupaten /kota dimana seringkali tidak
sinkron dengan kebijakan nasional, serta dengan kebijakan di tingkat regional di propinsi
3
Keterlambatan penyerapan APBD ini bisa terjadi karena : (1) kesalahan dari pemda sendiri
dimana pemda terlambat melaporkan perda APBD ke pusat sehingga terkena sangsi oleh
pemerintah pusat dengan ditundanya transfer dana DAU / DAK dari pusat ke daerah. (2)
Kesengajaan daerah yang tidak mau susah payah membuat proyek. (3) Ketakutan aparat
pemda untuk berurusan dengan KPK dalam pelaksanaan program / kegiatan di lapangan
yang rawan terjadi penyimpangan. Oleh sebab itu banyak pemda memilih menternakkan
uangnya di SBI ( Sertifikat Bank Indonesia ). Hal ini membuat gerak pembangunan di daerah
tertahan dan dana yang diinvestasikan dalam SBI membebani keuangan negara karena
bunganya yang tinggi harus dibayar dari APBN.
4
8. Sinkronisasi Dana Desentralisasi dengan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas
Pembantuan.
Berdasarkan PP no 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan PP Nno
21 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Anggaran dan Kementerian Negara/Lembaga
(RKA-KL), anggaran untuk kementerian negara/ lembaga dibagi menurut anggaran kantor
pusat, anggaran kantor daerah, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Khusus untuk
penganggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan, selain harus mengikuti PP tersebut,
harus mengacu pada PP no 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
dan PP no 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Namun karena
sistem penganggaran tsb masih merupakan baru, masih banyak praktek pendanaan
program/ kegiatan di daerah cenderung tumpang tindih (overlapping), dimana satu
kegiatan yang didanai dari sumber APBN dan APBD. Hal tersebut antara lain :
(1) dalam proses penganggaran kurang memperhatikan aspek pembagian urusan/wewenang dan
aspek akuntabilitas Pagu anggaran sektoral pada kementerian negara/ lembaga belum
dipisahkan secara tepat menurut alokasi dana dekonsentrasi, dana tugas pembantuan, dana
untuk kantor vertikal di daerah, dan dana untuk satuan kerja tertentu, sehingga alokasinya
sulit untuk disinkronkan dengan alokasi dana desentralisasi.
(2) Sebagian kementerian negara/lembaga masih cenderung berpegang pada peraturan
perundang-undangan sektoral walaupun UU no 32 tahun 2004 telah mengamanatkan bahwa
semua undang-undang sektoral yang berkaitan dengan daerah otonom, wajib mendasarkan
dan menyesuaikan pengaturannya dengan ketentuan UU 32 tahun 2004 tersebut.
5
3. Penerapan Standar Pelayanan Minimum ( SPM )
Dalam mengatasi kendala – kendala implementasi SPM, maka pemerintah pusat harus
memprioritaskan pengaturan mengenai kewenangan/urusan wajib yang harus dilaksanakan
sehingga dapat mempertegas pembagian kewenangan antara pemerintah, pemerintah
propinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam memberikan pelayanan publik yang lebih
baik serta menghindari tumpang tindih pendanaan. Untuk itu pemerintah telah menerbitkan
PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
6
tertentu, seperti DAK. Hal ini dilakukan agar daerah dapat mengalokasikan dana tersebut
dalam APBD nya dengan tepat waktu pula.
7
kementerian negara/ lembaga menurut alokasi dana nya, baik desentralisasi, dekonsentrasi,
dana tugas pembantuan dll.
(2) Prinsip money follows function dilakukan dengan memberikan sumber-sumber pendanaan
yang jauh lebih besar kepada daerah dan memberikan kewenangan untuk mengelola sumber
keuangan sendiri, dengan didukung oleh perimbangan keuangan antara Pemerintah dan
daerah.
(3) Kementerian / lembaga harus kembali mengacu kepada UU 32 tahun 2004 dan bukan UU
sektoral terkait daerah otonom dalam proses penyusunan APBN.
8
III. PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH ( PDRD )
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, maka Pemda
diberikan kewenangan untuk menggali potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa pajak
daerah, retribusi daerah, hasil usaha BUMD dan pendapatan asli daerah lainnya. Keseriusan
untuk mendorong Pemda dalam menggali PAD ditunjukkan dengan telah direvisinya UU Nomor
18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000
dan aturan pelaksanaannya berupa PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP
Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
Karena pajak daerah untuk kabupaten/kota tidak bersifat limitatif masih memungkinkan
untuk menetapkan jenis pajak lainnya sesuai kriteria yang ditetapkan dalam pasal 2 ayat 4 UU
Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, yaitu : (1) Bersifat pajak dan bukan
retribusi, (2) Obyek ada di lokasi daerah dan tidak bergerak; (3) Tidak bertentangan dengan
kepentingan umum; (4 ) Bukan obyek pajak propinsi dan pusat; (5 ) Potensi memadai; (6)Tidak
ada dampak negatif ekonomi; (7) Aspek keadilan dan kemampuan masyarakat, (8)Menjaga
kelestarian lingkungan.
Untuk mengantisipasi desentralisasi dan proses otonomi daerah, tampaknya pungutan pajak
dan retribusi daerah masih belum dapat diandalkan oleh daerah sebagai sumber pembiayaan
desentralisasi. Banyak permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan penggalian dan
peningkatan PAD, terutama hal ini disebabkan oleh :
1. Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah. Berdasarkan UU No.34 Tahun 2000
daerah Kabupaten/Kota dimungkinkan untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru.
Namun karena pajak daerah tidak boleh tumpang tindih dengan Pajak Pusat dan Pajak
Propinsi, diperkirakan daerah memiliki basis pungutan yang relatif rendah dan terbatas, serta
bervariasi antar daerah. Hal ini bagi sementara daerah berarti memperkecil kemampuan
manuver keuangan daerah dalam menghadapi krisis ekonomi.
2. Perannya tergolong kecil dalam total penerimaan daerah. Sebagian besar penerimaan daerah
masih berasal dari bantuan Pusat. Banyaknya bantuan dan subsidi ini mengurangi “usaha”
daerah dalam pemungutan PAD-nya, dan lebih mengandalkan kemampuan “negosiasi”
daerah terhadap Pusat untuk memperoleh tambahan bantuan.
3. Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah yang mengakibatkan
pemungutan pajak cenderung dibebani oleh biaya pungut yang besar. PAD masih tergolong
memiliki tingkat buoyancy yang rendah karena diterapkan sistem “target” dalam pungutan
9
daerah. Akibatnya, beberapa daerah lebih condong memenuhi target, walaupun dari sisi
pertumbuhan ekonomi pemasukkan pajak dan retribusi daerah dapat melampaui target.
4. Adanya aspek teknis seperti tariff, dan dasar penetapan yang kurang mencerminkan asas
kemampuan dan keadilan sehingga menimbulkan hambatan dalam pelaksanaannya misalnya
si wajib pajak/retribusi tidak mampu atau bahkan tidak bersedia membayar pungutan yang
dibebankan kepada mereka.
5. Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah yang mengakibatkan
kebocoran. Selama ini, peranan PAD dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat
kecil kurang dari 10% hingga 50%. Variasi dalam penerimaan ini diperparah lagi dengan
sistem bagi hasil (bagi hasil didasarkan pada daerah penghasil sehingga hanya
menguntungkan daerah tertentu). (2) Distribusi pajak antar daerah timpang karena basis
pajak antar daerah sangat bervariasi (ratio PAD tertinggi dengan terendah mencapai 600. (3)
Adanya perbedaan yang sangat besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak
pada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan masyarakat, sehingga mengakibatkan biaya
penyediaan pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi. (4) ‘Sistem tax assignment’ di
Indonesia yang masih memberikan kewenangan penuh kepada Pemerintah Pusat untuk
mengumpulkan pajak-pajak potensial seperti : pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai
dan bea masuk. Distribusi kewenangan perpajakan antara daerah dan pusat sangat timpang,
penerimaan pajak yang dipungut daerah hanya 3,39% dari total penerimaan pajak (Pajak
Pusat dan Pajak Daerah).
6. Ketimpangan dalam penguasaaan sumber-sumber penerimaan pajak memberikan petunjuk
bahwa perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia dari sisi
revenue assignment masih terlalu ”sentralistis”. Dari gambaran consolidated revenues APBD
dan APBN (APBD Kabupaten/Kota + Provinsi + Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN),
porsi PAD hanya sebesar 5,30% dari total consolidated revenues, di lain pihak pengeluaran
yang menjadi tanggung jawab daerah sekitar 30% dari consolidated expenditures.
Selain itu dilihat dari pelaksanaannya, UUno 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah ( PDRD ) mempunyai beberapa kelemahan :
1. Ulah daerah yang berlebihan dalam mengartikan desentralisasi fiskal dimana terjadi
euphoria dalam arti sempit. Kebebasan menetapkan PDRD di luar yang ditetapkan secara
eksplisit dalam undang-undang tersebut telah dimanfaatkan oleh daerah untuk membuat
Perda mengenai PDRD yang bertentangan dengan apa yang diatur dalam undang-undang
10
tersebut dan menciptakan pungutan yang merugikan perekonomian daerah dengan
membebani masyarakat
2. Hal tsb menyebabkan banyak keluhan dari para pelaku usaha di daerah yang merasa
terganggu oleh banyaknya pungutan terutama PDRD yang meningkatkan compliance cost
( biaya pemenuhan perpajakan dan retribusi ) dalam melakukan kegiatan usaha di daerah.
Hal ini akan menurunkan daya saing invstasi daerah ybs.
3. Sistem dan prosedur pemungutan yang masih konvensional dan masih banyaknya sistem
berjalan secara parsial, sehingga besar kemungkinan informasi yang disampaikan tidak
konsisten, versi data yang berbeda dan data tidak up-to-date.
4. Dalam UU No. 34 tahun 2000 tidak diatur sanksi terhadap daerah yang menetapkan Perda
yang bertentangan dengan aturan perundang-undangan serta mengganggu kepentingan
umum, sehingga daerah seenaknya menetapkan PDRD di daerah mereka. Pengawasan yang
represif namun tidak disertai sangsi atas pelanggaran pemungutan pajak dan retribusi
menyebabkan beberapa daerah yang Perda PDRD-nya dibatalkan masih berani melakukan
pungutan walau Perdanya secara hukum sudah dibatalkan
5. Lemahnya pengawasan juga menyebabkan banyak daerah yang tidak menyampaikan Perda
mengenai pajak daerah dan retribusi daerah kepada pemerintah untuk menghindari
pembatalan.
6. Banyaknya Perda yang dibuat oleh daerah adalah karena misalnya pejabat pemerintah
daerah dibebani target oleh DPRD untuk meningkatkan PAD yang dijadikan sebagai tolok
ukur keberhasilan kinerja aparat daerah.
7. Retribusi beberapa Pemda yang dikenakan kepada industri pertambangan menyangkut pajak
lingkungan, padahal sejak awal sebelum industri tambang berdiri, perusahaan sudah melalui
berbagai kontrol dan monitoring dari pemerintah. Selain itu perusahaan menyediakan dana
untuk CSR ( Corporate Social Responsibility ).
11
pemungutan pajak dan retribusi daerah. Implementasi kebijakannya dapat dilakukan antara lain
dengan cara sebagai berikut.
1. Perluasan basis pajak daerah, untuk :
(1) memudahkan daerah untuk menyesuaikan pendapatannya, juga untuk mengurangi grey
area antara perpajakan pusat dan daerah.
(2) meningkatkan keadilan dalam perpajakan
Misalnya dalam : perluasan objek pajak kendaraan bermotor atas kendaraan, perluasan
objek pajak hotel, restoran
2. Penetapan tarif
Pemerintah daerah perlu diberi kewenangan untuk menetapkan tarif pajak sesuai dengan
tarif maksimal yang ditetapkan dalam undang-undang. Dalam rangka transparansi dan
akuntabilitas, pemerintah daerah harus dapat memberikan alasan yang kuat tentang
besarnya tarif yang ditetapkan.
12
6 .Pengawasan
Daerah harus diawasi secara lebih ketat dalam pemungutan pajak dan retribusi. Pemerintah,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Pengawasan dilakukan secara
preventif dan represif. Hasil evaluasi perda dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan.
(1) Kepada daerah juga dikenakan sanksi apabila tidak menyampaikan perda kepada
Pemerintah, atau bagi daerah yang tetap melaksanakan perda yang telah dibatalkan,
dengan melakukan penundaan penyaluran transfer ke daerah.
(2) Pembatalan perda atau meminta pemda merevisi Perda yang dianggap memberatkan
pengusaha dan berlebihan serta tidak sesuai dengan UU no 34 tahun 2000.
7. Mengidentifikasi pembayar pajak baru/potensial dan memperbaiki basis data wajib pajak
13
14
15