You are on page 1of 50

Tugas Kuliah : Sistem Peradilan Indonesia PERADILAN IN ABSENTIA TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA Oleh

: M. Rainoer

A.

Latar Belakang Tindak pidana korupsi di Indonesia perkembangannya terus meningkat dari tahun

ke tahun, dari segi kuantitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sedangkan jumlah kerugian keuangan negara akibat perbuatan tindak pidana korupsi semakin bertambah besar. Keterpurukan perekonomian diyakini sebagai resultan dari adanya tindak pidana korupsi yang sistematis dan meluas.1 Sistematisnya tindak pidana korupsi sebagai bagian kejahatan terstruktural yang sangat utuh terakar, kuat dan permanen sifatnya, sehingga korupsi sudah menjadi bahagian dari sistem yang ada. 2 Begitu parahnya tindak pidana korupsi telah menempatkan Indonesia pada peringkat tertinggi secara berturut-turut dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari laporan Transparency Internasional (TI) sejak satu dekade terakhir (1998-2008), Indonesia selalu menempati peringkat terkorup di dunia. Tahun 1998 (peringkat 6 terkorup dari 85 negara), tahun 1999 (peringkat 3 terkorup dari 98 negara), tahun 2000 (peringkat 5 terkorup dari 90 negara), tahun 2001(peringkat 4 terkorup dari 91 negara), tahun 2002 (peringkat 6 terkorup dari 102 negara), tahun 2003 (peringkat 6 terkorup dari 133 negara), tahun 2004 (peringkat 5 terkorup dari 146 negara), tahun 2005 (peringkat 5 terkorup dari 158 negara), tahun 2006 (peringkat 7 terkorup dari 163 negara), tahun 2007 (peringkat 10 terkorup dari 179 negara), tahun 2008 (peringkat 15 terkorup dari 180 negara) 3. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2009 mencapai 2,8 atau naik dari 2,6 pada tahun 2008, merupakan gambaran buruknya pelayanan publik.4 Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang1

Terutama di sektor perbankan berupa kredit macet yang pada imbasnya menimbulkan likuidasi terhadap bank-bank bermasalah dan pada akhirnya pemerintahlah yang menanggung beban. 2 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, (Jakarta: Prof. Oemar Seno Adji, SH. & Rekan, 2006), hlm.1. 3 http://www.hupelita.com, diakses tanggal 10 Februari 2013, jam: 14.30 WIB. 4 http://bataviase.co.id, diakses tanggal 10 Februari 2013, jam: 14.30 WIB.

undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan berlakunya perundang-undangan

pemberantasan tindak pidana korupsi serta dibentuknya badan-badan (komisi) pemberantasan tindak pidana korupsi diharapkan akan dapat memberantas tindak pidana korupsi dalam hal pengenaan pidana (deterent effect) maupun pengembalian kerugian keuangan negara5. Namun, sangat disayangkan khusus dalam upaya mengembalikan keuangan negara akibat perbuatan tindak pidana korupsi ternyata belum memberikan hasil yang maksimal. Data dari sumber Kejaksaan Agung di atas menunjukkan upaya pengembalian kerugian keuangan negara masih tergolong rendah, masih di bawah 10% dari jumlah yang seharusnya dikembalikan. Pentingnya pengembalian keuangan negara ini, terutama bagi begara berkembang seperti Indonesia, didasarkan pada kenyataan bahwa tindak pidana korupsi telah merampas kekayaan negara, sementara sumber daya sangat dibutuhkan untuk merekonstruksi dan merehabilitasi masyarakat melalui pembangunan berkelanjutan. Upaya pengembalian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Alasannya adalah, pertama, mengingat jumlah kerugian keuangan negara yang begitu besar; kedua, dana atau aset yang dikorupsi tersebut adalah harta kekayaan negara Indonesia yang seharusnya diperuntukan bagi pembangunan dalam upaya meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Tindak pidana korupsi telah mengakibatkan hilangnya kesempatan rakyat Indonesia untuk menikmati hak-haknya, dan menempatkan sebagian besar rakyat hidup
5

Perlu untuk diimengerti bahwa tujuan terpenting dari pemberantasan tindak pidana korupsi bukanlah hanya ditujukan terhadap pelaku tindak pidana korupsi untuk diberikan sanksi pidana berupa pidana pokok penjara saja (detterence effect), akan tetapi secara sinergis juga ditujukan pada upaya untuk mengembalikan kerugian negara yang telah ditimbulkan akibat perbuatan korupsi. Dengan upaya pengembalian kerugian keuangan tersebut maka diharapkan hasilnya akan dapat menutupi ketidakmampuan negara dalam membiayai berbagai aspek yang sangat dibutuhkan, misalnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, memberikan porsi yang lebih besar pada anggaran pendidikan, serta mewujudkan pemberian subsidi pelayanan kesehatan yang baik dan murah.

di bawah garis kemiskinan; ketiga, negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya melalui alternatif sumber pendanaan. Salah satu sumber pendanaan tersebut harus diambil dari dana atau aset tindak pidana korupsi. Keempat, upaya pengembalian keuangan negara akibat perbuatan tindak pidana korupsi memiliki makna preventif (pencegahan) dan makna represif (pemberantasan)6. Tujuan terpenting dari pemberantasan tindak pidana korupsi adalah upaya pengembalian kerugian keuangan negara selain penjatuhan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi. Oleh karenanya, telah diadakan perumusan Rancangan UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengganti undang-undang terdahulu. Dalam UUPTPK telah diatur mekanisme penyidikan, penuntutan dan

pemeriksaan di sidang persidangan dalam satu bab tersendiri yakni tepatnya pada Bab III, kemajuan yang pesat dalam UU ini adalah diberlakukannya sistem pemeriksaan in absentia terhadap terdakwa.7 Dengan adanya sistem peradilan in absentia dalam UUPTPK ini menunjukkan bahwa aspek terpenting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah upaya pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Dalam rangka upaya pengembalian kerugian keuangan Negara akibat tindak pidana korupsi ini, maka salah satu hambatan yang cukup signifikan dalam proses peradilan tindak pidana korupsi adalah menyangkut dengan ketidakhadiran terdakwa dalam persidangan. Ketidakhadiran terdakwa dalam persidangan dalam hukum acara pidana lazim dikenal dengan istilah peradilan in absentia, yakni mengadili seorang terdakwa dan dapat mengukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa itu sendiri.8 Peradilan in absentia dalam perkara perdata tidak menimbulkan masalah, dikatakan demikian oleh karena mengadili atau menjatuhkan putusan tanpa hadirnya tergugat dapat selalu dilakukan oleh hakim, dimana dalam perkara perdata pada umumnya yang menghadiri sidang pengadilan hanyalah wakil atau kuasa dari pihak-pihak yang berperkara, sedang yang bersangkutan sendiri tidak perlu hadir dalam pemeriksaan sidang tersebut.9
6

Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 2007), hlm.17-18. 7 Secara teologikal dapat kita ketahui bahwa spirit dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah juga mengedepankan upaya pengembalian keuangan negara akibat perbuatan tindak pidana korupsi. Hal ini dapat kita lihat dari konsideran huruf d, dinyatakan: bahwa Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 belum mengatur semua aspek korupsi secara khusus dan menyeluruh. 8 Djoko Prakoso, Peadilan In Absentia di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1984),hlm.54. 9 Loc Cit. 3

Sebaliknya, dalam suatu perkara pidana umumnya menghendaki hadirnya terdakwa dalam pemeriksaan sidang yang bersifat terbuka, bahwa terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.10 Persoalan ketidakhadiran terdakwa dalam pemeriksaan sidang perkara pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi menjadi permasalahan dalam upaya pengembalian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan. Alasan sakit menjadi dalil bagi terdakwa untuk menghindari pemeriksaan pengadilan, sehingga menjadikan pemeriksaan pengadilan berlarut-larut serta pada akhirnya pemeriksaan tidak dapat dilanjutkan. Hal ini terjadi dalam kasus H.M . Soeharto, Zulkifli Harahap dan lain-lain. Apabila pemeriksaan perkara korupsi secara in absentia ini dikaitkan dengan teori keadilan sosial (teori pengembalian aset) dalam rangka upaya mengembalikan kerugian keuangan negara akibat perbuatan tindak pidana korupsi menunjukkan bahwa terdapat hak negara untuk mengupayakan pengembalian keuangan negara11, sedangkan kehadiran terdakwa dalam persidangan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi12. Permasalahan ketidakhadiran terdakwa dalam persidangan

menjadikan perkara tersebut akan berlarut-larut dan tidak menentu, sementara masyarakat menuntut untuk dilakukannya pemberantasan tindak pidana korupsi demi tercapainya rasa keadilan.13 Dalam perkembangannya selama ini, telah ada beberapa perkara tindak pidana korupsi yang telah dilakukan peradilan secara in absentia yaitu terhadap Bambang Sutrisno dan Andrian Kiki Ariawan dalam perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesis (PT Bank Surya) yang merugikan keuangan negara sebanyak Rp.1,5 triliun dan Hendra Rahardja dalam perkara yang sama (PT. Bank Harapan Sentosa) yang merugikan keuangan negara sebanyak Rp.2,65 triliun.14 Ketidakhadiran terdakwa dalam sidang kasus korupsi sudah diantisipasi dengan ketentuan Pasal 38 (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UUPTPK) antara lain menyebutkan bahwa: Dalam hal terdakwa telah dipanggil

10 11

Lihat: Pasal 1 sub 15 KUHAP. Purwaning M. Yanuar, Op. Cit, hlm.107. 12 Lihat: Pasal 154 KUHAP. 13 Lihat: Pertimbangan majelis hakim dalam perkara tindak pidana korupsi atas nama Hendra Rahardja CS, Putusan PN No.1032/PID/B/2001/PN.JKT.PST. 14 Chaerudin et all, Strategi Pencegahan & Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Cet.I (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm.14. 4

secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan di putus tanpa kehadirannya.(garis miring dari penulis) Ketentuan pasal ini yang menyebutkan tanpa alasan yang sah sering

dijadikan perlindungan untuk menghindari proses pengadilan misalnya alasan sakit atau sudah pikun dan sebagainya, agar alasan yang disampaikan seolah-olah sah guna menghindari pemeriksaan sidang pengadilan. Apabila hal ini dikaitkan dengan

ketentuan Pasal 154 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) maka sebenarnya Hakim dapat memerintahkan terdakwa untuk dihadirkan secara paksa (ayat 6), kecuali terdakwa melarikan diri, atau meninggal dunia. Selanjutnya, menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UUKK), menentukan bahwa pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa kecuali apabila undang-undang menentukan lain.15 Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa kehadiran terdakwa di pemeriksaan sidang pengadilan merupakan kewajiban, kecuali apabila undang-undang menentukan lain. Penjabaran lebih lanjut dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) UUKK tersebut - kecuali apabila undang-undang menentukan lain - adalah penjelasan Pasal 154 ayat (4) KUHAP yang menyebutkan bahwa kehadiran terdakwa di sidang merupakan kewajiban dari terdakwa, bukan merupakan hak, jadi terdakwa harus hadir di sidang pengadilan. Dengan demikian kecuali apabila undang-undang menentukan lain tanpa kehadiran terdakwa, maka pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara pidana tidak dapat dilangsungkan.16 Tetapi untuk pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi, terdapat pengecualian, yaitu sebagaimana yang ditentukan di dalam Pasal 38 ayat (1) UUPTPK. Berarti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (1) UUPTPK merupakan sebagai lex specialis dari Pasal 154 ayat (4) KUHAP yang merupakan sebagai lex generalis. Sifat kekhususan yang diatur dalam Pasal 38 ayat (1) UUPTPK menggariskan bahwa ketidakhadiran terdakwa di sidang pengadilan perkara tindak pidana korupsi, dapat berlangsung sebagai berikut: a. ketidakhadiran terdakwa tersebut berlangsung secara terus-menerus, sejak sidang pengadilan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum oleh hakim sampai

15 16

Lihat: Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , Cet. VI (Jakarta: Sinar Grafika 2006), hlm.203. 5

dengan sidang pengadilan ketika hakim menjatuhkan putusannya dalam perkara tindak pidana korupsi, atau b. ketidakhadiran terdakwa tersebut hanya berlangsung pada satu atau beberapa kali di antara sidang-sidang pengadilan sejak sidang pengadilan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum oleh hakim sampai dengan sidang pengadilan ketika hakim menjatuhkan putusannya dalam perkara tindak pidana korupsi. Agar sidang pengadilan dapat dilangsungkan tanpa kehadiran terdakwa, oleh Pasal 38 ayat (1) ditentukan harus dipenuhi beberapa syarat sebagai berikut: a. b. terdakwa telah dipanggil secara sah; terdakwa tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah. Untuk dapat memanggil terdakwa secara sah, Penuntut Umum harus mengikuti beberapa petunjuk sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 145 dan Pasal 146 ayat (1) KUHAP. Sedangkan apa yang dimaksud dengan "tanpa alasan yang sah", baik di dalam KUHAP maupun di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak ada ketentuan yang dapat memberikan petunjuk, sehingga apa yang dimaksud dengan "tanpa alasan yang sah" dalam Pasal 38 ayat (1) sepenuhnya tergantung dari pertimbangan hakim untuk menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan oleh terdakwa.17 Dalam prakteknya faktor-faktor penyebab ketidak hadiran terdakwa dalam pemeriksaan sidang pengadilan ini masih sering terjadi perdebatan penafsiran yang berbeda-beda antara aparat penegak hukum, dan sehingga tidak jarang hal ini menjadi salah satu sebab kasus korupsi tidak dapat diproses lebih lanjut dalam sidang pengadilan. Sehingga upaya pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi mengalami hambatan yang cukup serius dengan tidak hadirnya terdakwa dalam persaidangan. Di samping itu kasus-kasus yang seperti ini menjadi faktor pendorong bagi orang lain untuk ikut melakukan korupsi, baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif.18

B.

Rumusan Masalah Bertitik tolak dari uraian latar belakang dalam penulisan makalah ini, maka

permasalahan pokok dalam penelitian ini terletak pada masalah proses pemeriksaan

17 18

Ibid, hlm. 204. Darwan Prins, Tahun 2000, hlm. 110. 6

secara in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi penulis merumuskan permasalahan antara lain sebagai berikut: 1. Bagaimana kedudukan dan proses pemeriksaan peradilan tanpa dihadiri terdakwa (in absentia) khususnya dalam perkara korupsi? 2. Bagaimana upaya-upaya yang dapat ditempuh berdasarkan peraturan perundangundangan untuk mengatasi permasalahan pemeriksaan in absentia tersebut?

C.

Tinjauan Kepustakaan 1. Kerangka Teori

a.

Teori Keadilan Sosial dan Pengembalian Aset Pengembalian kerugian keuangan negara akibat perbuatan korupsi memberikan

justifikasi kepada negara dalam melakukan pengembalian aset sebagaimana dikemukan oleh Michael Levi sebagai berikut:19 1. alasan pencegahan (prophylactic), yaitu mencegah pelaku tindak pidana memiliki kendali atas dana-dana untuk melakukan kajahatan lain di masa yang akan datang; 2. alasan kepatutan (propriety) yaitu karena pelaku tindak pidana tidak memiliki hak yang pantas atas aset-aset tersebut; 3. alasan prioritas/mendahului (priority) yaitu karena tindak pidana memberikan hak mendahului/prioritas kepada negara untuk menuntut aset hasil tindak pidana daripada yang hak yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana; 4. alasan kepemilikan (proprietary) yaitu karena kenyataannya kekayaan diperoleh melalui tindak pidana, maka negara memiliki kepentingan selaku pemilik kekayaan tersebut. Tindak pidana korupsi adalah tindakan merampas aset yang merupakan hak negara sehingga negara kehilangan kemampuan untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab untuk menyejahterakan masyarakat. Sebagai akibatnya, masyarakat kehilangan hak-hak dasar untuk hidup sejahtera. Justifikasi negara untuk melakukan upaya hukum baik melalui instrumen hukum pidana maupun perdata atas dasar perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi dalam rangka melindungi hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. 20

19

Michael Levi, Tracing and Recovering the Proceeds of Crime, Cardiff University, Wales, UK, Tbilisi, Georgia, June 2004, hlm.17. 20 Lihat: Konsideran huruf b UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 7

Pengembalian kerugian keuangan negara ini merupakan bagian dari tugas dan tanggung jawab negara untuk mewujudkan keadilan sosial, dipandang dari sudut teori keadilan sosial, memberikan justifikasi moral bagi negara untuk melakukan upayaupaya pengembalian tersebut. Hasil penelitian disertasi Purwaning M. Yanuar telah memberikan suatu teori tentang pengembalian kerugian keuangan negara yang dihubungkan dengan teori keadilan sosial, yakni teori pengembalian aset. Teori pengembalian aset adalah teori hukum yang menjelaskan sistem hukum pengembalian aset berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial yang memberikan kemampuan, tugas dan tanggung jawab kepada institusi negara dan institusi hukum untuk memberikan perlindungan dan peluang kepada individu-individu dalam masyarakat dalam mencapai kesejahteraan. Teori ini dilandaskan pada prinsip dasar: berikan kepada negara apa yang menjadi hak negara. Di dalam hak negara terkandung kewajiban negara yang merupakan hak individu masyarakat, sehingga prinsip tersebut setara dan sebangun dengan prinsip berikan kepada rakyat apa yang menjadi hak rakyat.21 Oleh karena tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas dan endemik, merusak sendi-sendi ekonomi nasional, maka berdasarkan teori pengembalian aset memberikan kewenangan kepada institusi negara dan institusi hukum untuk melakukan upaya pengembalian kerugian keuangan negara atas dasar adanya kerugian negara akibat perbuatan korupsi, baik melalui instrument perdata maupun pidana. Sedangkan tugas dan tanggung jawab kepada institusi negara dan institusi hukum untuk memberikan perlindungan sebagaimana disebut di atas tentu mengacu kepada kepentingan korban yang dirugikan, dalam hal ini negara yang mewakili kepentingan hak sosial dan ekonomi masyarakat untuk memberikan peluang kepada individu-individu dalam masyarakat dalam mencapai kesejahteraan.

b.

Sistem Peradilan Pidana Indonesia Berlakunya KUHAP telah menimbulkan perubahan fundamental, baik secara

konsepsional maupun secara implementasi terhadap tata cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Perubahan sistem peradilan ini mengakibatkan pula adanya perubahan dalam cara berpikir, dan mengakibatkan pula perubahan sikap dan cara
21

Purwaning M. Yanuar, Op.Cit, hlm.107. 8

bertindak para aparat penegak hukum secara keseluruhan. Apabila ditelaah secara teliti isi ketentuan dalam KUHAP, maka sistem peradilan pidana di Indonesia terdiri dari komponen Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum. Keempat aparat ini memiliki hubungan sangat erat satu sama lain dan saling menentukan. Sistem peradilan pidana di sini dimaksudkan adalah suatu rangkaian antar unsur/faktor yang saling terkait satu dengan yang lainnya sehingga menciptakan suatu mekanisme sedemikian rupa sehingga sampai tujuan dari sistem tersebut. Adapun tujuan dari sistem peradilan pidana tersebut adalah untuk mencapai suatu masyarakat yang terbebas dari kejahatan, mengjhilangkan kejahatan dan bukan kejahatanya. Sebagaimana diketahui bahwa peradilan pidana merupakan sebagai suatu sistem, maka berkaitan dengan teori sistem ini, Satjipto Rahardjo mendefinisikan sistem sebagai berikut: Sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat kompleks, yang terdiri atas bagianbagian yang berhubungan satu sama lain. Pemahaman yang demikian itu hanya menekankan pada ciri keterhubungan dari bagian-bagiannya, tetapi mengabaikan cirinya yang lain, yaitu bahwa bagian-bagian tersebut bekerja secara aktif untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuan tersebut.22 Lebih lanjut, Shrode & Voich menyatakan bahwa pengertian dasar yang terkandung dalam sistem tersebut adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. Sistem itu berorientasi pada tujuan. Keseluruhan adalah lebih dari sekadar jumlah dari bagian-bagiannya (wholism). Suatu sistem berorientasi dengan sistem yang lebih besar, yaitu

lingkungannya (keterbukaan sistem). 4. Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga (transformasi). 5. 6. Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain (keterhubungan). Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (mekanisme kontrol).23 Selanjutnya, Fuller mengajukan suatu pendapat untuk mengukur apakah kita pada suatu saat dapat berbicara mengenai adanya suatu sistem hukum.24 Ukuran tersebut diletakkannya pada delapan asas yang dinamakan "principle of legality", yaitu:
22 23 24

Satjipto Rahardjo, Imu Hukum, Cet IV (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm.48. Loc Cit. Ibid., hlm. 51. 9

1.

Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, yang dimaksud di sini adalah bahwa ia tidak boleh mengandung sekadar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.

2. 3.

Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian itu tidak ditolak, peraturan itu tidak bisa dipakai untuk menjadi pedoman tingkah laku. Membolehkan pengturan secara berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang.

4. 5.

Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.

6.

Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.

7.

Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga menyebabkan seorang akan kehilangan orientasi.

8.

Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dan pelaksanaannya sehari-hari. Lebih lanjut, Fuller menyatakan bahwa kegagalan untuk menciptakan sistem yang

demikian itu bukan hanya melahirkan sistem hukum yang jelek, melainkan juga suatu yang tidak bisa disebut sebagai sistem hukum sama sekali. Artikulasi sistem ini memiliki makna yang luas dan komprehensif, bahkan dapat dikatakan sebagai suatu proses yang signifikan, khususnya dalam sistem peradilan pidana. Dengan selalu tetap memperhatikan makna "sistem" sebagai suatu proses dari peradilan pidana, tepatlah definisi yang dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro, yaitu salah satu usaha masyarakat untuk dapat mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batasbatas toleransi. Tujuan Sistem Peradilan Pidana (selanjutnya disebut "SPP") seperti dikutip oleh Norval Morris dari University of Chicago memiliki 3 tahap: a) PraAjudikasi: mencegah masyarakat menjadi korban; b) Era-Ajudikasi: menyelesaikan kejahatan yang terjadi dengan memberi putusan (Pengadilan) yang sesuai dengan rasa keadilan; c) Pasca-Ajudikasi: pelaku tidak melakukan kejahatan atau tidak mengulangi kejahatan tersebut. Sebagai suatu kinerja, komponen dari Sistem Peradilan Pidana semula terdiri dari Polisi, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan, ditambah sub-

10

sistem lainnya sebagai komponen, yaitu Jaksa. Sifat keterpaduan di antara sub-sistem dari SPP (Polisi, Jaksa, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan) ini saling pengaruh mempengaruhi, layaknya roda lokomotif yang berirama dan sistematis, tegas Minoru Shikita (mantan Direktur UNAFEI). Dengan berkembangnya SPP, keterbatasan komponen SPP sebagai sub-sistem (Polisi, Jaksa, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) memerlukan peninjauan kembali.25 Proses peradilan pidana adalah dalam arti jalannya suatu peradilan pidana, yakni suatu proses sejak seorang diduga telah melakukan tindak pidana sampai seseorang tersebut dibebaskan kembali setelah melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan kepadanya. Adapun tujuan proses peradilan pidana adalah untuk mencari kebenaran yang materiil dalam melaksanakan hukum pidana. Hal ini berarti harus mencari dan melaksanakan ketentuan tertulis yang ada dalam hukum pidana, mencegah jangan sampai menghukum seorang yang tidak bersalah. Dalam konteks inilah dibicarakan tentang mekanisme peradilan pidana sebagai suatu proses, atau yang disebut criminal justice process. Criminal justice process dimulai dari proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka pengadilan, serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan26 Peranan sistem peradilan sebagai indeks demokrasi menjadi sangat penting, oleh karena dapat meningkatkan wibawa penguasa dan sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat. Akan tetapi jika sistem peradilan gagal dalam pencapaian keadilan (miscarriages of justice) akan rnerusak legitimasi dan integritas sistern peradilan (damaging the integrity of the justice system). Tujuan mendasar dan sistem peradilan pidana ini dapat dirumuskan antara lain sebagai berikut: (a) (b) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; (c) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatan. Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system) menunjukkan mekanisme kerja (interkoneksi) penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan

25 26

Indriyanto Seno Adji, Op. Cit, hlm.3. Romly Atmasasmita, Op. Cit, hlm.70. 11

sistem,

yang

terdiri

dari

lembaga

kepolisian,

kejaksaan,

pengadilan

dan

pemasyarakatan. Sistern peradilan yang baik akan menggambarkan karakteristik sistem yaitu herorientasi pada tujuan yang sama (puposive behavior) pendekatan besifat menyeluruh yang jauh dan sikap fragmentanis (wholism) selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar (openess) operasionalisasi bagian-bagiannya akan dapat menciptakan nilai tertentu (value transformation), adanya unsur keterkaitan dan kecocokan antara sub sistem (interrelatedness,) dan adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian secara terpadu (control mechanism). Dalam kaitannya dengan peradilan pidana, maka dalam implementasinya dilaksanakan dalam suatu sistem peradilan pidana. Tujuan akhir dari peradilan ini tidak lain adalah pencapaian keadilan bagi masyarakat. Keadilan merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang umumnya diakui di semua tempat di dunia ini. Apabila keadilan itu kemudian dikukuhkan ke dalam institusi yang namanya hukum, institusi itu harus mampu untuk menjadi saluran agar keadilan itu dapat diselenggarakan secara saksama dalam masyarakat. Beberapa ciri yang umumnya melekat pada institusi sebagai perlengkapan masyarakat yang demikian itu adalah: 1. Stabilitas. Di sini kelahiran institusi hukum menimbulkan suatu kemantapan dan keteraturan dalam usaha manusia untuk memperoleh keadilan. 2. Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat. Di dalam ruang lingkup kerangka yang telah diberikan dan dibuat oleh masyarakat itu, anggota-anggota masyarakat memenuhi kebutuhannya. 3. Sebagai kerangka sosial untuk kebutuhan manusia itu, maka institusi menampilkan wujudnya dalam bentuk norma-norma. Norma-norma itulah yang merupakan sarana untuk menjamin agar anggota-anggota masyarakat dapat dipenuhi kebutuhannya secara terorganisasi. 4. Jalinan institusi. Sekalipun berbagai institusi dalam masyarakat itu diadakan untuk menyelenggarakan kebutuhan-kebutuhan tertentu, tidak dapat dihindari terjadinya tumpang-tindih di antara mereka.27 Lebih lanjut, dikatakan bahwa posisi hukum sebagai institusi sosial terlihat dengan baik dalam bagan yang dibuat Henry C. Bredemeier yang memanfaatkan kerangka besar sistem masyarakat dari Talcott Parson. Manfaat bagan Bredemeier
27

Ibid, hlm. 118-120. 12

terletak pada kemampuannya untuk menunjukkan betapa pekerjaan hukum serta hasilhasilriya tidak hanya merupakan urusan hukum, tetapi juga merupakan bagian dari proses kemasyarakatan yang lebih besar.28

Bagan 1: Posisi Hukum Sebagai Institusi Sosial

Proses Adaptif (Ekonomi)

Organisasi yang efisien

Proses Pencapaian Tujuan (Politik)

HUKUM (mengintegrasikan, mengkoordinasikan)

Legitimasi

Proses Mempertahankan Pola (Budaya)

Keadilan

(Pola yang dibuat oleh Bredemeier ini menempatkan pengadilan sebagai pusat kegiatan)

Hukum membutuhkan kekuasaan, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan kekuasaan itu untuk menguasai hukum. Kekuasaan yang menekan hukum pada akhirnya akan merusak sistem hukum secara keseluruhan.29 Suatu sistem dikatakan hancur manakala sebagai akibat dari pertukarannya dengan perubahan-perubahan tersebut ia tidak mampu mempertahankan eksistensinya sehingga harus mengalah terhadap tekanan tersebut. Sebaliknya, apabila ia sanggup mengatasi tantangan-tantangan tersebut dan mampu beradaptasi dengan baik terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya, sistem itu akan hidup terus.30 Konsekuensi logis dan dianutnya proses hukum yang adil atau layak (due process of law) harus pula didukung oleh sikap batin (penegak hukum) yang menghormati hak-hak warga masyarakat. Dalam pengertian fisik (struktural) sistem peradilan pidana harus diartikan sebagai kerjasama antara
28 29 30

Ibid, hlm.143. Ibid, hlm.146. Ibid, hlm.190. 13

pelbagai sub sistem peradilan

(kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga

pemasyarakatan) untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan jangka pendek adalah untuk resosialisasi pelaku tindak pidana, jangka menengah untuk mencegah kejahatan dan jangka panjang untuk kesejahteraan dan keamanan masyarakat. Dilema dalam sistem peradilan di Indonesia adalah masalah model atau ideologi yang dipakai dalam KUHAP antara Adversary Model dan Non Adversary Model . Meskipun kedua model ini memiliki pandangan yang sama tentang kebenaran suatu proses penyelesaian perkara. pidana, akan tetapi antara keduanya ada perbedaan yang fundamental dalam mengungkapkan nilai nilai kebenaran yaitu bila adversary model berpendapat bahwa kebenaran itu hanya dapat diperoleh melalui atau diungkapkan dengan memberikan kesempatan kepada masing-masing pihak ( tertuduh dan penuntut umum ) untuk mengajukan argumentasi dan bukti. Maka non adversary model berpendapat bahwa kebenaran suatu tindak pidana hanya dapat diperoleh atau diungkapkan melalui suatu penyelidikan oleh pihak pengadilan yang tidak memihak. Sistem pembuktian adveversary model ditujukan untuk mengurangi kemungkinan dituntutnya seseorang yang nyata-nyata tidak bersalah, sekalipun mengandung resiko orang yang bersalah dapat terhindar dari penjatuhan hukuman, sebaliknya sistem non adversary model lebih cenderung ditujukan untuk mencapai kebenaran ( materiil ) dan suatu perkara pidana. 2. Kerangka Pemikiran Bertitik tolak pada ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menyimpang dari ketentuan Pasal 195 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) yang berbunyi sebagai berikut: Bahwa Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain. Demikian juga ketentuan dalam Pasal 214 KUHAP yang menyatakan, bahwa jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan, maka dalam hal ini terdapat kemungkinan proses peradilan pidana in absentia dilakukan. Pemberlakuan proses peradilan in absentia ini apabila terdakwa tidak dapat dihadirkan di depan sidang pengadilan yang disebabkan antara lain karena terdakwa meninggal dunia, terdakwa melarikan diri, atau alasan yang sah lainnya. Penyimpangan pasal 38 UU nomor 31 Tahun 1999 ini, di dalam penjelasannya dimaksudkan untuk menyelamatkan kekayaan negara sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun, perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim. Secara sistematis dapat dijabarkan dalam
14

kerangka pemikiran bahwa pada prinsipnya terdakwa wajib dihadirkan dalam sidang pengadilan baik melalui pemanggilan secara sah maupun dengan paksaan, kecuali ketidakhadiran tersebut antara lain disebabkan terdakwa tidak diketahui alamat yang jelas (melarikan diri), terdakwa sakit ingatan dan alasan yang sah lainnya. Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Bagan 2: Kerangka Pemikiran Peradilan In Absentia Dalam Perkara Korupsi

POLRI TERSANGKA PENYIDIKAN KEJAKSAAN PENGADILAN PENUNTUTAN

TERDAKWA TIDAK HADIR


- Sakit ingatan - Buron - Meninggal

TERDAKWA HADIR

D.

Pembahasan 1. Kedudukan Pemeriksan Peradilan In Absentia Dalam Hukum Acara Pengertian mengadili atau menjatuhkan hukuman secara in absentia adalah

mengadili seorang terdakwa dan dapat menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa itu sendiri.31 Dalam perkara perdata, mengadili atau menjatuhkan putusan tanpa hadirnya tergugat sering kali dilakukan oleh hakim, setelah dilakukan pemanggilan secara sah menurut ketentuan hukum yang berlaku. Dalam perkara perdata pada umumnya, sering hanya diwakilkan pada wakil atau kuasa dari pihak-pihak yang berperkara, sedang yang bersangkutan sendiri tidak perlu hadir dalam pemeriksaan sidang tersebut. 32 Ketentuan ini berbeda dalam perkara pidana pada umumnya menghendaki hadirnya terdakwa dalam pemeriksaan sidang yang bersifat terbuka, sebagaimana diisyaratkan pada Pasal

31 32

Djoko Prakoso, Op. Cit, hlm.54. Loc. Cit. Jadi, dalam perkara perdata permasalahan pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa tidak merupakan permasalahan yang cukup berarti, namun hal ini menjadi berbanding terbalik dalam pemeriksaan dalam perkara pidana khususnya dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi. 15

1 sub 15 KUHAP, bahwa terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan. Prinsip hadirnya terdakwa dalam perkara pidana ini didasarkan atas hak-haknya sebagai manusia yang berhak membela diri dan mempertahankan hak-hak kebebasannya, harta bendannya ataupun kehormatannya. Di samping itu adanya hak terdakwa yang dianggap tidak bersalah sebelum ada hukuman yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau pasti oleh pengadilan, dan dalam istilah asing dikenal dengan asas presumption of innocence. Dalam praktek peradilan pidana, tidak hadirnya terdakwa menyebabkan pemeriksaan ditunda, ini berarti untuk sementara waktu pemeriksaan perkara tidak dilanjutkan. Ketidakhadirnya terdakwa dalam pemeriksaan disebabkan beberapa hal antara lain : tidak diketahui alamat tetap, bertempat tinggal atau pergi keluar negeri, atau sengaja melarikan diri (buron). Dasar hukum peradilan in absentia, memang secara implisit tidak dicantumkan secara tegas dalamKUHAP, baik dalam ketentuan pasal-pasal yang bersangkutan maupun di dalam penjelasannya. Akan tetapi dalam suatu keadaan tertentu, pemeriksaan sidang pengadilan yang memutus perkara pidana dapat mengeyampingkan ketentuan larangan pemeriksaan tanpa hadirnya terdakwa. Hal ini didasarkan pada ketentuan yang terkandung dalam Pasal 196 (1) jo Pasal 214 KUHAP sebagai berikut : Pasal 196 (1) : Pengadilan memutuskan perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain Pasal 214 : (1) Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan; (2) Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan segera disampaikan kepada terpidana. Selain itu ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai peradilan in absentia dalam KUHAP, juga terdapat pengaturan peradilan in absentia dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, dapat dilihat antara lain: Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951, Lembaran Negara No. 9 Tahun 1951. Pasal 16 UU Darurat No. 7 Tahun 1955 (UU Tindak pidana Ekonomi) Penetapan Presiden No. 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi
16

Pasal 23 UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi Pasal 38 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah dirubah dengan Undaang-undang Nomor 20 Tahun 2001.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang peradilan in absentia sebagaimana disebut di atas adalah peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, dengan sifat kekhususannya ini dan berdasarkan asas lex specialis derogat lex generalis, maka ketentuan pasal dalam peraturan perundang-undangan yang khusus ini mengeyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex generali) sebagaimana diatur dalam KUHAP. Adalah suatu pengecualian untuk memberlakukan peradilan in absentia dalam peraturan perundang-undangan yang menyebutkan kebolehan untuk melakukan peradilan in absentia. Kebolehan ini juga diakui dalam KUHAP yang menyebutkan di akhir kalimat Pasal 196 ... kecuali dalam hal undangundang ini menentukan lain, kalimat yang hampir sama juga ditemui dalam Pasal 18 ayat (1) UUKK yang menyatakan: Pengadilan memeriksan dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa kecuali apabila undang-undang menentukan lain. Jadi, jelas bahwa pemeriksaan sidang pengadilan secara in absentia telah mendapatkan legitimasi keberlakuannya dalam perkara-perkara tindak pidana tertentu sepanjang dalam undang-undang tindak pidana tertentu tersebut menyebut tentang kebolehan pemeriksaan secara in absentia. Terlebih lagi dalam perkara tindak pidana korupsi, pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi dengan ketidakhadiran terdakwa menjadi semakin jelas pengaturannya yakni dalam Penjelasan Pasal 38 ayat (1) UUPTPK yang menyebutkan: oleh hakim. Pembentuk undang-undang menyadari bahwa terhadap pemeberantasan tindak pidana korupsi, bukan hanya menjatuhkan hukuman kepada pelaku tindak pidana korupsi melainkan juga adalah mengupayakan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi harus dilakukan mengingat tindak pidana korupsi telah mengakibatkan bencana bagi kehidupan ekonomi nasional dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Adalah sangat beralasan
17

Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menyelamatkan

kekayaan negara, sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun, perkara dapat diperiksa

untuk melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi dengan cara-cara yang luar biasa.
33

Cara-cara yang luar biasa salah satunya adalah penerapan peradilan in

absentia terhadap tersangka atau terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi. 2. Proses Sistem Peradilan In Absentia Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada prinsipnya proses pemeriksaan tindak pidana korupsi di depan sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hukum acara, kecuali undangundang menentukan lain. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 38 UU Nomor 31 Tahun 1999, yang berbunyi : (1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya. (2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dari segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang. (3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya. (4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita. (6) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohon upaya banding. (7) Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 ( tiga puluh ) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

33

Lihat Penjelasan Umum UUPTPK. 18

Ketentuan-ketentuan di atas menunjukkan bahwa pada Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 memungkinkan adanya peradilan in absentia yaitu perkara tindak pidana korupsi dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa. Ditegaskan pula jika terdakwa hadir pada sidang berikutnya maka di samping terdakwa wajib diperiksa, maka keterangan dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap diucapkan dalam sidang tersebut. Menurut penjelasan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, bahwa pelaksanaan peradilan in absentia dimaksudkan adalah untuk menyelamatkan keuangan negara. Akan tetapi dalam pelaksanaannya pasal ini sering disiasati dengan alasan-alasan sakit atau sudah pikun, dengan mengacu pada ketentuan Pasal 44 KUHP. Padahal jika dilihat dari ketentuan Pasal 44 KUHP tersebut, hanya dinyatakan bahwa orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya hanyalah yang melakukan tindak pidana dalam keadaan sakit ingatan . Sebaliknya orang yang setelah melakukan tindak pidana menjadi sakit atau kurang ingatannya tetap dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukannya (contoh; kasus Muchtar Pakpahan dan.A.M. Fatwa). Sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat (2) maka apabila terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa. Artinya, walaupun pada waktu itu acara pemeriksaan sudah sampai pada tahap tuntutan atau pembacaan vonis maka harus ditunda untuk mendengarkan keterangan terdakwa. Meskipun begitu semua keterangan saksi dan surat-surat dalam pemeriksaan terdahulu tidak perlu diulangi lagi dan dianggap sebagai diucapkan dalam sidang pemeriksaan tersebut. Apabila terdakwa tidak hadir maka selanjutnya putusan yang dijatuhkan secara in absentia diumumkan, yaitu mengumumkan petikan surat putusan pengadilan dengan cara menempelkannya pada surat kabar atau ditempelkan di papan pengumuman pengadilan atau ditempat-tempat lainnya. Atas putusan in absentia, maka terdakwa atau kuasa hukumnya dapat mengajukan banding ( Pasal 38 ayat 4 ). Ketentuan ini dalam praktek dapat menimbulkan masalah karena pada ayat ini tidak ditentukan secara tegas apakah permintaan banding itu dapat dilakukan oleh penasihat hukum tanpa kehadiran terdakwa ? Misalnya kasus Tommy Soeharto dimana permintaan peninjauan kembali diajukan oleh penasihat hukumnya karena si terdakwa melarikan diri (buron). Jadi hal ini pula yang dapat mendorong tersangka pelaku tindak pidana korupsi untuk melarikan diri karena merasa hak-haknya sebagai terdakwa tetap dilindungi oleh hukum.
19

3. Perkara Pemeriksaan In Absentia Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 1032/PID/B/2001/ PN. JKT.PST) 1). Kasus Posisi34 Bank Harapan Sentosa (BHS) adalah salah satu bank swasta nasional Indonesia yang sahamnya dimiliki oleh keluarga Rahardja. Sejak berdiri sampai tahun 1996, BHS selalu dinyatakan dalam kondisi baik dan sehat berdasarkan hasil

penelitian/pemeriksaan Tim Pengawasan Bank Indonesia. Pada bulan November 1997, Pemerintah Indonesia mengumumkan 16 (enam belas) bank swasta nasional yang dihentikan pengoperasiannya dan dimasukkan ke dalam program pembubaran usaha (likuidasi) dan BHS termasuk di dalamnya. Pada saat penghentian operasional dan Kkuidasi itu berlangsung, Hendra Raharja berkedudukan sebagai Komisaris sekaligus pemegang saham mayoritas, sedangkan Direksi BHS terdiri dari Andre Widijanto, Sherly Konjongian, Hendro Suwono dan Muhammad Nur Tajeb. Berdasarkan UU Perbankan dan Peraturan Pelaksanaannya, apabila sebuah bank dinyatakan masuk dalam program likuidasi, Pemerintah dan Bank Indonesia akan membekukan operasi bank tersebut. Bank Indonesia kemudian akan membentuk tim likuidasi yang bertanggung jawab untuk melakukan audit atas aset dan tanggung jawab bank tersebut. Sejak likuidasi BHS diumumkan oleh Pemerintah sampai tahun berikutnya, proses audit terhadap aset dan tanggung jawab BHS maupun audit terhadap aset dan tanggung jawab pemilik BHS belum selesai dilakukan.35 Sebagian harta kekayaan BHS maupun harta kekayaan pemegang saham disita oleh Bank Indonesia. Para Direktur BHS ditetapkan sebagai Tersangka dalam perkara tindak pidana di bidang perbankan berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (1) dan (2) b UU Perbankan. Tim Likuidasi Bank Indonesia tidak menyerahkan surat-surat asli kepemilikan aset dan dokumen-dokumen asli BHS kepada kejaksaan untuk dijadikan bukti di pengadilan. Pada waktu itu Bank

34

Dirangkum berdasarkan berkas perkara di tingkat penyidikan, tingkat penuntutan, tingkat pengadilan, putusan pengadilan tingkat pertama, dan memori banding Kantor Hukum O.C. Kaligis. 35 Pada tanggal 3 Juli 1998, pada saat audit Bank Indonesia sedang berlangsung, Mayor Polisi Drs. Mustahari Sembiring membuat Laporan Polisi No.: Pol.LP/182/Vn/1998/Serse.Ek, mengenai terjadinya tindak pidaria korupsi yang terjadi di BHS dengan Hendra Rahardja sebagai tersangka, tetapi Hendra tidak pernah dipanggil untuk diperiksa atau dibuat BAP karena pada saat itu ia berada di Australia. 20

Indonesia sedang melakukan audit.36 Bersamaan dengan itu, Tim Likuidasi Bank Indonesia mengajukan gugatan perdata terhadap para pemegang saham BHS. Gugatan didasarkan pada kewajiban BHS untuk mengembalikan pinjamannya kepada Bank Indonesia. Bersamaan dengan gugatan itu juga dimohonkan sita yang kemudian menjadi dasar bagi pelelangan aset-aset BHS. Setelah BHS dilikuidasi, Hendra Raharja memperlihatkan kerja sama untuk menyelesaikan permasalahan tanggung jawabnya sebagai pemegang saham kepada Tim Likuidasi BI dengan melakukan berbagai perjanjian untuk mengembalikan utang BHS kepada Bank Indonesia. Dalam perjanjian tersebut, Hendra Raharja menyerahkan aset-aset pribadinya kepada Tim Likuidasi dan sebagai gantinya Tim Likuidasi memberikan surat pernyataan release and discharge (R&D), yaitu bahwa dengan penyelesaian dan pemberian aset tersebut, Hendra Raharja dilepaskan dari segala tuntutan. Karena Hendra Rahardja tidak ditahan dan karena adanya Surat Pernyataan release and discharge tersebut, Hendra Raharja kemudian berangkat ke Sydney, Australia, dan bermukim di sana. Perkara tersebut kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Pada tanggal 13 April 1999 Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta mengirimkan surat kepada Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri untuk menyerahkan tersangka kepada Penuntut Umum agar perkara dapat dilimpahkan ke pengadilan.37 Akan tetapi, penyidik tidak menyerahkan tersangka kepada Penuntut Umum dan kemudian meminta bantuan Interpol untuk menangkap dan menahan Hendra Rahardja yang berada di Sydney, Australia. Alasan penangkapan tersebut adalah karena Hendra Rahardja diduga melakukan tindak pidana pencucian uang di Sydney, yang uangnya berasal dari hasil tindak pidana yang dilakukannya di Indonesia. Interpol kemudian mengeluarkan interpol red notice. Pada tanggal 1 Juni 1999 Hendra Rahardja ditahan oleh Australia Federal Police dan 3 (tiga) hari kemudian dipindahkan dari tahanan polisi Sydney ke Penjara Silverwater di Sydney. Surat perintah penahanan Hendra Rahardja baru dikeluarkan di Indonesia pada tanggal 18 Juni 199938 dan kemudian terhadap surat tersebut dimohonkan pemeriksaan Praperadilan. Berdasarkan Putusan Praperadilan tanggal 29

36

Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia: (1) Pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. (2) Bank Indonesia wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka pelaksanaan tugasnya. 37 Hal ini sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) jo Pasal 146 KUHAP. 38 Surat Perintah Penahanan No.Pol.: SPP/R/48/M/VI/1999/Ditserse Ek. 21

Juni 200039, ditetapkan bahwa Surat Perintah Penahanan tertanggal 18 Juni 1999 No. Pol.: SPP/R/48/M/VI/1999/ Ditserse Ek. yang dikeluarkan oleh Direktur Reserse Tindak Pidana Ekonomi Polri adalah tidak sah.40 Hendra Rahardja yang ditahan di Sydney mengajukan keberatan atas penahanannya dan menolak untuk diekstradisi ke Indonesia. Dalam putusan Federal Court of Australia New South Wales District Registry No. N531 of 2000 tertanggal 1 Agustus 2000, Hakim memutuskan untuk tidak mengabulkan permohonan ekstradisi Hendra Rahardja ke Indonesia.41Hendra Rahardja kemudian mengajukan gugatan Habeas Corpus42 atas penahanannya43di New South Wales-Australia. Kasus tersebut menyangkut penahanan Hendra Rahardja yang dilakukan atas permintaan Polri kepada Interpol dan pihak Kepolisian Federal Australia memenuhi permintaan tersebut dan menahannya untuk kemudian diekstradisi ke Indonesia. Hendra Rahardja menolak ekstradisi dengan alasan tidak ada jaminan hak asasi baginya di Indonesia. Pengadilan Australia menunda ekstradisi sampai selesainya pemeriksaan perkara Habeas Corpus yang dilakukan oleh Kuasa Hukum Hendra Rahardja, Brett Walker, di Sydney - NSW. Pelaksanaan ekstradisi tersebut tertunda karena adanya dugaan perlakuan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Kekhawatiran bahwa Hendra Rahardja akan disiksa dan ditekan dalam penyidikan mengakibatkan ia batal diekstradisi, sekalipun antara Pemerintah Australia dan Pemerintah Indonesia telah dibuat perjanjian ekstradisi.44 Pada tanggal 3 Juli 1998, pada saat Bank Indonesia masih melakukan audit terhadap BHS, Mayor Polisi Drs. Mustahari Sembiring mem-buat Laporan Polisi No. Pol.LP/182/Vn/1998/Serse.Ek, mengenai terjadinya tindak pidana korupsi yang terjadi di BHS dengan Hendra Rahardja sebagai tersangka, tetapi Hendra

39 40

Putusan Praperadilan No. 07/Pid/Prap/2000/PN.Jkt Sel. Putusan Praperadilan No. 07/Pid/Prap/2000/PN.Jkt.Sel., tgl. 29 Juni 2000, yang menyatakan Surat Penahanan terhadap Hendra Rahardja tidak sah, diputus oleh Hakim Abdul Madjid Rahim, S.H., O.C. Kaligis, Cross Examination ..., op.cit., hlm. 94-95; Lihat juga Majalah TEMPO, tanggal 2 Juli 2000, "Buron ke Australia, Menuntut di Indonesia", him. 143; Majalah FORUM KEADILAN, No. 18, tanggal 6 Agustus 2000, "Tiga Menguak Hendra", hlm. 63; Majalah TEMPO, tanggal 6 Agustus 2000, "Alotnya Menghukum Hendra", hlm. 129. 41 O.C Kaligis, Cross Examination . . . , Op. Ciit., hlm. 407-409. Kasus ini terjadi di Federal Court of Australia, New South Wales District, perkara No. 531 of 2000, antara Hendra Raharja vs. Negara Republik Indonesia, di mana Indonesia meminta ekstradisi Hendra Raharja untuk kasus korupsi yang didakwakan kepadanya, dipermasalahkan mengenai perlakuan diskriminatif etnis China dalam proses peradilan di Indonesia. 42 Tubuhku adalah milikku. 43 O.C. Kaligis, Cross-Examination, (Bandung: Alumni, 2000), hlm. 262,406-408. 44 UU No. 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Australia. 22

tidak pernah dipanggil untuk diperiksa atau dibuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) karena pada saat itu ia berada di Australia. Hendra Rahardja kemudian diadili secara in absentia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam dugaaan tindak pidana korupsi. Kejaksaan menyatakan bahwa terdakwa tidak diketahui keberadaannya, padahal keberadaan Hendra Rahardja di penjara Silverwater, Sydney, Australia, diketahui oleh pihak Kejaksaan, Departemen Luar Negeri, Mahkamah Agung R.I., Interpol maupun Mabes Polri. Bahkan, mereka telah mengupayakan ekstradisi Hendra Rahardja melalui jalur diplomatik, tetapi ditolak. Hal ini dapat dibuktikan dari berita-berita yang menyangkut persidangan Hendra Rahardja di Australia. Ketidakhadiran terdakwa dalam persidangan tersebut menghasilkan putusan yang menghukum Hendra Rahardja dan menetapkan sita atas seluruh aset Hendra Rahardja di Indonesia. 2). Dakwaan Pasal 1 ayat (1) sub a juncto Pasal 28 juncto Pasal 34 c Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 juncto Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 1 ayat (2) juncto Pasal 55 ayat (1) sub 1e juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. 3). Putusan Perkara pemeriksaan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara in absentia yaitu: Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 1032/PID/B/2001/ PN. JKT.PST. Dalam perkara ini Pengadilan Jakarta Pusat menjatuhkan putusan terhadap terdakwa : 1. HENDRA RAHARDJA, Umur 58 tahun, tempat tanggal lahir Makasar 3 Desember 1942, jenis kelamin laki-laki, berkebangsaan Indonesia, Tempat tinggal Jl. Widya Chandra 5 No. 21 Jakarta Selatan, Agama Budha, Pekerjaan Mantan Komisaris Utama PT. Bank Harapan Santosa. 2. EKO EDI PUTRANTO, Umur 34 tahun, Tempat tanggal lahir Jakarta 9 Maret 1967, Jenis Kelamin Laki-laki, Kebangsaan Indonesia, Tempat tinggal Jl. Widya Chandra 5 No. 21 Jakarta Selatan, Agama Budha, Pekerjaan Mantan Komisaris PT. Bank Harapan Sentosa. 3. SHERNY KOJONGIAN, Umur 38 tahun, Tempat tanggal lahir Manado, Jenis Kelamin Perempuan, Kebangsaan Indonesia, Tempat tinggal Taman Kebon Jeruk Blok 1.8 No. 6 Jakarta Barat, Agama Kristen, Pekerjaan Mantan Direktur PT. Bank Harapan Sentosa.

23

Dalam pertimbangannya Majelis Hakim mempertegas pendapat tentang persidangan secara in absentia, bahwa berdasarkan penetapan Hakim Ketua Majelis tertanggal 20 Agustus 2001 Nomor : 1032/Pid.B/2001/PN.JKT.PST., telah

ditetapkan bahwa pemeriksaan dalam perkara ini dilakukan tanpa hadirnya para terdakwa (In Absentia) dengan alasan para Terdakwa telah dipanggil secara patut oleh Jaksa Penuntut Umum dan pula atas perintah Majelis Hakim Jaksa Penuntut Umum telah melakukan pemanggilan melalui surat kabar: MEDIA INDONESIA, TERBIT, REPUBLIKA dan SUARA PEMBARUAN akan tetapi para Terdakwa tidak hadir. Menimbang, bahwa seperti dimaklumi pada saat ini Pemerintah telah berupaya segiat-giatnya memberantas tindak pidana korupsi, akan tetapi ternyata dalam menindaklanjuti seringkali banyak hambatan-hambatan karena terbentur atau adanya kesulitan-kesulitan untuk mendatangkan para Tersangka, mengingat yang bersangkutan tidak berada lagi di Negara Republik Indonesia akan tetapi telah berada di negara lain (luar negeri), sedangkan para Tersangka tersebut telah diduga merugikan keuangan negara yang jumlahnya tidak sedikit serta tidak dapat dipastikan kapan mereka ini kembali ke tanah air (Indonesia). Menimbang, bahwa apabila hal yang demikian ini dibiarkan berlarut-larut yaitu pemeriksaan dalam tahap penyelidikan dan penyidikannya menunggu para Tersangka kembali ke tanah air sedangkan kembalinya belum dapat diketahui, akan mengakibatkan kerugian lebih banyak lagi karena harta kekayaan atau asset-asset yang ada di dalam negeri tidak dapat di apa-apakan, sedangkan di lain pihak masyarakat selalu menuntut agar segala bentuk kejahatan khususnya yang menyangkut tindak pidana korupsi segera diberantas. Menimbang, bahwa dengan adanya hambatan-hambatan dan kesulitan-kesulitan untuk memeriksa orang-orang yang disangka telah melakukan tindak pidana korupsi dengan meninggalkan tanah air, maka Majelis dengan mendasarkan pada

ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1974 yang menentukan bahwa Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Menimbang, bahwa bertitik tolak pada ketentuan tersebut Majelis akan memberikan jalan upaya agar mereka yang berada di luar negeri yang disangka melakukan tindak pidana korupsi dapat diperiksa dan diadili sudah barang tentu dengan tetap berpedoman kepada azas praduga tak bersalah.
24

Menimbang, bahwa jalan atau upaya Majelis Hakim yaitu dengan mengartikan tentang pengertian In Absentia tidak diartikan secara sempit akan tetapi diartikan secara luas, yaitu pemeriksaan In Absetia harus diartikan dan/atau dikenakan kepada siapa saja yang menurut sangkaan dan dugaan telah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi dapat diperiksa secara In Absentia baik orang tersebut diketahui maupun tidak diketahui keberadaannya di luar maupun di dalam negeri dan telah dipanggil secara patut, sehingga hal yang demikian itu akan mempermudah pemerintah untuk memeriksa kepada yang bersangkutan. Menimbang, bahwa selanjutnya mungkin timbul pertanyaan, apakah hal yang demikian itu bukankah merupakan pelanggaran terhadap hak azasi manusia, menurut hemat Majelis adalah tidak, karena yang bersangkutan telah dipanggil secara patut dan dalam hal ini telah diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 oleh karenanya apabila mereka akan menggunakan hak-haknya untuk beracara baik tingkat penyidikan dan penuntutan serta pemeriksaan dimuka persidangan dapat kembali ke tanah air. Dalam amar putusannya Mejelis Hakim mengatakan bahwa para terdakwa bersalah melakukan kejahatan tindak pidana korupsi melanggar pasal 1 ayat (1) sub a jo 28 jo. 34 c Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 pasa 1 ayat (2) jo pasal 55 ayat (1) sub 1 e jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Menghukum para terdakwa : 1. Menyatakan Terdakwa I : Hendra Rahardja dan Terdakwa II Eko Edy Putranto dan terdakwa III Sherly Kojongian yang diadili secara In Absentia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama dan berlanjut,--------------2. Menghukum kepada Para Terdakwa In Absentia tersebut masing-masing : -------------------------------------------------------------------------a) Terdakwa I : HENDRA RAHARDJA dengan Pidana Penjara : seumur hidup ; -----------------------------------------------------------b) Terdakwa II : EKO EDY PUTRANTO dengan Pidana Penjara 20 (dua puluh) tahun ;------------------------------------------------------c) Terdakwa III : SHERNY KOJONGIAN dengan Pidana Penjara 20 (dua puluh) tahun ;-------------------------------------------------------

25

3.

Menghukum para Terdakwa dengan pidana denda masing-masing sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayarkan harus diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan ; --------------------------------------------------------------------------

4.

Menyatakan barang bukti yang berupa Tanah dan Bangunan berikut suratsuratnya yang terlampir dalam daftar barang bukti dan barang bukti pengganti berupa hasil lelang barang bukti sebesar Rp. 13.529.150.800,- (tiga belas milyar lima ratus dua puluh sembilan juta seratus lima puluh ribu delapan ratus rupiah) dirampas untuk Negara, sedangkan yang berupa Dokumen Asli dikembalikan kepada Bank Indonesia dan Tim Likuidasi PT. BHS DL, sedangkan foto copy yang dilegalisir tetap terlampir dalam berkas perkara ; ------------------------------

5.

Menghukum para Terdakwa secara tanggung renteng untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 1.950.995.354.200,- (satu triliyun sembilan ratus lima puluh empat ribu dua ratus rupiah); ------------------------------

6.

Menghukum masing-masing terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah) ;

4).

Analisis Dalam konteks tindak pidana korupsi, pengembalian aset hasil tindak pidana

korupsi mengacu kepada proses pelaku tindak pidana korupsi dicabut, dirampas, dihilangkan haknya atas hasil/keuntungan-keuntungan dari tindak pidana dan/atau dicabut, dirampas, dihilangkan haknya untuk menggunakan hasil/keuntungankeuntungan tersebut sebagai alat/sarana untuk melakukan tindak pidana lain. Dalam kasus Hendra Rahardja CS yang telah diputus oleh Pengadilan secara in absentia telah sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana sebagaimana yang ditentukan dalam KUHAP dan UUPTPK yang menekankan pada upaya pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Dalam Putusan

No.1032/PID/B/2001/PN.JKT.PST, Majelis Hakim berpendapat bahwa: 1. Para terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut oleh Jaksa Penuntut Umum dan pula atas perintah Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum pemanggilan melalui berbagai Surat Kabar; 2. Dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi yang tengah oleh pemerintah serta tuntutan masyarakat luas agar perkara digalakkan tindak pidana telah melakukan

korupsi diberantas berdasarkan asas keadilan selain asas kepastian hukum yang
26

tentu juga tetap dijaga. Untuk memberlakukan peradilan in absentia terhadap tersangka dan/atau terdakwa yang berada di luar negeri seperti contoh Hendra Rahardja, menimbulkan masalah dalam pelaksanaan peradilan yang menuntut diselesaikannya perkara korupsi sesuai dengan asas prioritas. Terlebih lagi kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan tindak pidana korupsi tersebut

sangatlah besar dan terhadap adanya dugaan kerugian keuangan negara ini tidak dapat diapa-apakan. 3. Untuk menuntaskan permasalahan ini, maka Majelis Hakim juga mendasarkan pada ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor yang menentukan bahwa Hakim sebagai penegak hukum 14 Tahun 1974

wajib

menggali,

mengikuti dan menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Sedangkan pemeriksaan secara in absentia tetap praduga tak bersalah. menghormati dan berpedoman kepada asas

Namun, Majelis Hakim juga mengartikan tentang

pengertian In Absentia tidak diartikan secara sempit akan tetapi diartikan secara luas, yaitu pemeriksaan In Absetia harus diartikan dan/atau dikenakan kepada siapa saja yang menurut sangkaan dan dugaan telah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi dapat diperiksa secara In Absentia baik orang tersebut diketahui maupun tidak diketahui keberadaannya di luar maupun di dalam negeri dan telah dipanggil secara patut, sehingga hal yang demikian itu akan mempermudah pemerintah untuk memeriksa kepada yang bersangkutan. 4. Majelis Hakim juga menyatakan bahwa peradilan in absentia bukankah merupakan pelanggaran terhadap hak azasi manusia, karena yang bersangkutan telah dipanggil secara patut dan dalam hal ini telah diatur dalam Pasal 38 ayat

(1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 olehkarenanya apabila mereka akan menggunakan hak-haknya untuk beracara baik tingkat penyidikan dan

penuntutan serta pemeriksaan dimuka persidangan dapat kembali ke tanah air. Selanujtnya, apabila peradilan in absentia ini dihubungkan dengan teori sistem khususnya dalam Sistem Peradilan Pidana45, maka sistem menuntut adanya orientasi kepada tujuan, tujuan yang hendak dicapai dalam Sistem Peradilan Pidana khususnya dalam perkara korupsi berkaitan dengan peradilan in absentia adalah upaya pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi sebagaimana
45

Lihat: Teori Sistem Shrode & Voich sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo, dalam Ilmu HukumOp. Cit, hlm.48. 27

tercantum dalam Penjelasan Pasal 38 UUPTPK. Masing-masing sistem, yakni mulai dari penyidikan hingga pemeriksaan di pengadilan harus cocok satu sama lain dan bersifat keterhubungan, begitu pula dalam peradilan in absentia. Dalam peradilan in absentia sebagai bagian dari suatu sistem peradilan pidana sangatlah beralasan

diberlakukan dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi, dan apabila ditinjau dari teori pengembalian aset yang menekankan kepada keadilan sosial, negara mempunyai justifikasi untuk melakukan berbagai upaya pengembalian kerugian keuangan negara tersebut, termasuk mengajukan tuntutan pidana tanpa hadirnya terdakwa. 4. Permasalahan Dalam Pemeriksaan In Absentia. Dalam pemeriksaan proses peradilan pidana maka terdapat beberapa problematika dalam pemeriksaan in absentia dalam proses peradilan pidana antara lain : 1. Peradilan in absentia menurut ketentuan hukum yang berlaku, hanya dimungkinkan jika terdakwa menderita sakit ingatan atau terganggu jiwanya (Pasal 44 KUHP), terdakwa meninggal dunia (Pasal 77 KUHP) dan atau tidak diketahui tempat tinggalnya. Akan tetapi dalam kenyataan prakteknya, hal ini diperluas dan dijadikan alasan terdakwa untuk tidak hadir dalam sidang, antara lain : alasan sakit, sudah pikun (kasus Soeharto, Zulkifli Harahap, dsb). Para tersangka koruptor umumnya berlindung dibalik kelemahan undang-undang dengan alasan diluar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Disini terlihat bahwa adanya kerancuan dan mencampur adukan didalam penafsirkan antara arti/pengertian tidak mampu bertanggungjawab dengan kewajiban untuk hadir dalam sidang pengadilan. Pasal 44 KUHP menyatakan antara lain sebagai berikut : (1) barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana. (2) jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena penyakit, maka Hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan kedalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
28

(3)

ketentuan tersebut dalam ayat 2 hanya berlaku bagi MA, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.

Dari uraian pasal di atas menunjukan bahwa seseorang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya adalah orang terganggu jiwanya karena tubuhnya (misalnya idiot, embicil, dsb) atau karena penyakit sehingga berubah akalnya (sakit gila, hysterie, epilepsi, dsb)35 Hal disini harus diartika bahwa ketentuan Pasal 44 KUHP menunjukan tidak dapat dipidana seseorang yang sesuai dengan ketentuan pasal ini. Jadi ketentuan ini bukan merupakan alasan untuk tidak hadirnya terdakwa di sidang pengadilan artinya, bahwa terdakwa tetap harus dihadirkan dalam sidang dan hakimlah yang memutuskan apakah terdakwa termasuk dalam ketentuan pasal 44 KUHP ini. Akan tetapi dalam penerapan peradilan di Indonesia seolah-olah hal ini dijadikan alasan untuk tidak mengadili orang yang sedang sakit, sudah tua, pikun, walaupun telah menimbulkan kerugian bagi negara. Terkadang pengadilan dalam penerapannya juga bersifat diskriminatif, misalnya Dr. Muchtar Pakpahan SH,MA dan Drs. A.M Fatwa yang diadili dalam keadaan sakit. Untuk itu Mahkamah Agung seharusnya mengeluarkan fatwa tentang tafsir ketentuan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999., bahwa usia tua, uzur, atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan seperti dialami Soeharto dan Zulkifli Harahap dapat diadili dalam peradilan in absentia. Apabila terdakwa tidak hadir tanpa alasan sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya maka sesuai ketentuan dalam Pasal 154 ayat (6) KUHAP dapat dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya. Sedangkan dalam Pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999, terdakwa tidak hadir tanpa alasan sah setelah dipanggil secara sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadiran terdakwa. Dalam perkara tindak pidana korupsi oleh Hendra Rahardja CS, maka dapat diketahui berbagai upaya pemanggilan telah dilakukan secara patut menurut hukum acara yang berlaku. Pemanggilan oleh Jaksa Penuntut Umum juga atas perintah Majels Hakim, namun tetap saja terdakwa tidak hadir dalam persidangan dengan alasan yang tidak berdasar, terdakwa menolak ektsradisi dengan alasan
35

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. (Bogor : Politea, 1983),hlm. 61. 29

tidak ada jaminan hak asasi baginya di Indonesia. Terlebih lagi dengan adanya putusan Pengadilan Australia yang menunda ekstradisi, dan pada akhirnya pelaksanaan ekstradisi ini tertunda dengan adanya dugaan perlakuan diskriminatif terhadap etnis tionghoa di Indonesia. Jelas hal yang demikian akan menjadikan perkara menjadi berlarut-larut, sedangkan terdakwa telah diduga merugikan keuangan negara yang jumlahnya tidak sedikit serta tidak dapat dipastikan kapan mereka ini kembali ke Indonesia. Apabila hal ini dibiarkan beralrut-larut, menunggu mereka kembali ke Indonesia sedangkan kembalinya belum dapat diketahui, tentu akan mengakibatkanb kerugian yang lebih banyak lagi karena harta kekayaan atau aset-aset yang ada di dalam negeri tidak dapat diapa-apakan, sementara di lain pihak masyarakat selalu menuntut agar segala bentuk kejahatan khususnya yang menyangkut tindak pidana korupsi segera diberantas. 2. Adanya ketidaksamaan persepsi didalam menyikapi aturan-aturan hukum yang berlaku, terutama tindak pidana korupsi, sehingga hal ini menimbulkan tidak berjalannya sistem peradilan pidana. Dalam sistem peradilan pidana maka semua unsur yang terkait dalam proses peradilan pidana harus mempunyai persepsi yang sama terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Akan tetapi dalam praktek sering terjadi ketidaksamaan persepsi atau perbedaan persepsi tentang suatu tindak pidana maupun di dalam mengkaji ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dapat menyebabkan proses peradilan pidana tidak dapat mencapai kebenaran materil yang diharapkan, terutama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Adanya persepsi yang berbeda dalam menyikapi ketentuan-ketentuan yang berlaku, misalnya dalam hal penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh beberapa orang terdakwa. Dalam hal ini JPU dapat menjadikan dalam satu berkas penuntutan atau dapat dipecah-pecah menjadi beberapa berkas perkara. Biasanya pemecahan perkara ini dilakukan apabila kekurangan saksi-saksi, sehingga perlu diadakan saksi mahkota, dimana pelaku yang 1 (satu) menjadi saksi untuk pelaku yang lainnya. Dalam praktek sering terjadi perbedaan persepsi dimana hal pemecahan perkara (splitsing) tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 168 c KUHAP yang menentukan sebagai berikut, bahwa tidak boleh didengar sebagai saksi dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi adalah suami/isteri terdakwa. Ketentuan tentang suami atau isteri terdakwa mudah dimengerti, tetapi yang bersama-sama sebagai terdakwa dalam satu
30

perkara korupsi masih sering ada perbedaan persepsi antara penegak hukum dalam prakteknya. 3. Terjadinya tumpang tindih kewenangan penyidikan dalam kasus korupsi. Hal ini dapat terlihat dalam UU No. 8 tahun 1981 (KUHAP) diisyaratkan bahwa polisi mempunyai kewenangan dalam hal penyidikan terhadap tindak pidana. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada lagi penyidikan lanjutan sehingga menimbulkan ketidak pastian hukum. Akan tetapi dalam Pasal 284 KUHAP disebutkan bahwa untuk perkara Tindak Pidana Khusus misalnya tindak pidana subversi, tindak pidana ekonomi, dan tindak pidana korupsi maka Kejaksaan dalam waktu dua tahun masih diberikan wewenang untuk melakukan penyidikan. Hal ini kemudian diperkuat dengan UU Kejaksaan No. 5 Tahun 1991 dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang menyatakan bahwa Kejaksaan diberikan wewenang untuk melakukan penyidikan. Di sisi lain menurut UU No. 28 Tahun 1997 dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, maka polisi mempunyai wewenang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundangundangan lainnya. Hal inilah sering menjadi kendala di dalam penyidikan tindak pidana korupsi, dan bahkan tidak jarang menyebabkan terkatung-katungnya penyelesaian perkara-perkara korupsi. 4. Adanya ketentuan bahwa apabila terdakwa dijatuhi putusan secara in absentia, maka terdakwa atau kuasa hukumnya dapat mengajukan banding , atau bahkan melakukan peninjauan kembali . Pada Pasal 38 a yat 4 memang tidak menentukan secara tegas siapa yang mempunyai hak untuk mengajukan banding / peninjauan kembali, sehingga dalam praktek sering ditafsirkan bahwa upaya hukum ini dapat dilakukan oleh kuasa atau penasihat hukumnya tanpa kehadiran terdakwa, misalnya kasus Tommy Soeharto. Hal ini dapat menyebabkan dan mendorong tersangka pelaku tindak pidana korupsi untuk melarikan diri ( buron ), karena hak-haknya sebagai terdakwa tetap dilindungi oleh hukum. Dalam Pasal 38 ayat (4) tidak ada penjelasan secara tegas, sehingga sering ditafsirkan hal ini dapat dilakukan tanpa kehadiran terdakwa. Secara implisit ketentuan banding ini dapat dilihat dalam Pasal 233 KUHAP, menyebutkan :

31

(1)

Permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat diajukan ke Pengadilan Tinggi oleh terdakwa atau yang khususnya dikuasakan untuk itu atau penuntut umum;

(2)

Hanya permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) boleh diterima oleh Panitera PN dalam waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2);

(3). Tentang permintaan itu oleh panitera dibuat sebuah surat

keterangan

yang ditandatangani olehnya dan juga oleh pemohon serta tembusannya diberikan kepada pemohon yang bersangkutan. (4). Dalam hal pemohon tidak dapat menghadap, hal ini harus dicatat oleh panitera dengan disertai alasannya dan catatan harus dilampirkan dalam berkas perkara serta juga ditulis dalam daftar perkara pidana Melihat ketentuan dalam Pasal 233 KUHAP tersebut, maka untuk tindak pidana korupsi yang diputus tanpa kehadiran atau dihadiri terdakwa (in absentia), terdakwa melalui kuasa hukumnya dapat mengajukan banding sesuai ketentuan itu. Memang akibatnya lebih jauh menjadi faktor pendorong bagi terdakwa untuk tidak hadir dalam sidang pengadilan mislanya dengan melarikan diri (buron). Hal ini dimungkinkan karena tanpa kehadiranpun, maka hak-hak terdakwa tetap dilindungi oleh ketentuan hukum yang berlaku (Pasal 38 ayat 4 UU No. 31 Tahun 1999). 5. Adanya kewajiban bagi Terdakwa untuk membuktikan sebaliknya pula dari tindak pidana korupsi. Apabila tidak dapat membuktikan maka harta benda tersebut dapat dirampas untuk negara. Ketentuan ini dalam praktek sering ditafsirkan bahwa hal ini bertentangan dengan kepastian hukum maupun perlindungan hukum bagi terdakwa.Demikian juga adanya ketentuan bahwa negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya apabila masih diketahui terdapat harta benda yang belum dikenakan perampasan untuk negara, meskipun telah ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. ( Pasal 38 C UU Nomor 20 Tahun 2001 ). 6. Adanya kecenderungan untuk mengulur-ngulur proses persidangan perkara korupsi, dengan memanfaatkan ketentuan Pasal 156 KUHAP dimana modusnya yaitu melakukan eksepsi terhadap surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa
32

Penuntut Umum. Hal ini dapat menyebabkan Hakim menyatakan surat dakwaan tidak dapat diterima, atau dibatalkan atau tidak sempurna misalnya kasus Beddu Amang, Tomy Soeharto, Ricardo Galael, dsb. Atas putusan itu maka Jaksa Penuntut Umum mengajukan verzet (perlawanan). Dan atas putusan Pengadilan Tinggi, terdakwa menyatakan kasasi. Padahal jika Jaksa memperbaiki surat dakwaannya hanya memerlukan waktu singkat saja. 7. Adanya pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) seperti yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu dengan adanya kewajiban terdakwa untuk membuktikan bahwa gratifikasi yang diterimanya bukan suap. Di sisi lain ketidak konsistensinya ketentuan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 hanya membebani sistem pembuktian terbalik ini untuk tindak pidana korupsi yang nilainya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) atau lebih saja maka penerima wajib membuktikan bukan sebagai suap. 5. Analisis Pemecahan Masalah Peradilan In Absentia Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Menurut UUPTPK 1). Legitimasi Peradilan In Absentia Dalam UUPTPK Pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi di sidang pengadilan merupakan hukum acara khusus, sehingga dengan demikian ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHAP dikesampingkan terkait dengan sifat kekhususan yang ada dalam UUPTPK, termasuk pemeriksaan secara in absentia. Dalam Pasal 38 UUPTPK diatur tentang pelaksanaan pemeriksaan secara in absentia, sebagai berikut: Ayat (1): Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya. Ayat (2): Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa dan segala keterangan saksi suratsurat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang. Ayat (3): Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya. Ayat (4): Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
33

Ayat (5): Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita. Ayat (6): Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya banding. Ayat (7): Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). Pada dasarnya pemeriksaan terhadap terdakwa dalam sidang pengadilan mengharuskan kehadiran terdakwa, hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 154 ayat (4) KUHAP serta Pasal 18 ayat (1) UUKK. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUKK menentukan bahwa pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa kecuali apabila undang-undang menentukan lain. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa kehadiran terdakwa di sidang pengadilan merupakan suatu keharusan atau kewajiban. Namun, undang-undang juga menentukan adanya pengecualian jika undang-undang yang berlaku khusus menentukan lain. Penjabaran lebih lanjut dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) UUKK tersebut, yakni menyangkut ketentuan adanya pengecualian dalam undang-undang khusus yang menentukan lain adalah menunjuk pula pada penjelasan Pasal 154 ayat (4) KUHAP yang menyebutkan bahwa kehadiran terdakwa di sidang merupakan kewajiban terdakwa, bukan merupakan hak, jadi terdakwa harus hadir di sidang pengadilan. Dengan demikian, tanpa kehadiran terdakwa, pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana tidak dapat dilangsungkan. Terkecuali apabila undang-undang menentukan lain, maksud lain dari undang-undang yang bersifat khusus ini adalah adanya pengecualian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa pemeriksaan terus berlanjut sampai dengan penjatuhan hukuman tanpa hadirnya terdakwa. Pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi, terdapat perkecualian, yaitu seperti yang ditentukan di dalam 38 ayat (1). Penjelasan Pasal 38 ayat (1) menyebutkan: "Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menyelamatkan kekayaan negara, sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun, perkara dapat diperiksa oleh hakim."
34

Ketidakhadiran terdakwa di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi, dapat berlangsung dengan kondisi sebagai berikut: a. ketidakhadiran terdakwa tersebut berlangsung secara terus-menerus sejak sidang pengadilan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum oleh hakim46 sampai dengan sidang pengadilan ketika hakim menjatuhkan putusannya dalam perkara tindak pidana korupsi, atau b. ketidakhadiran terdakwa tersebut hanya berlangsung pada satu beberapa kali di antara sidang-sidang pengadilan sejak sidang pengadilan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum oleh hakim47 sampai dengan sidang pengadilan ketika hakim menjatuhkan putusannya dalam perkara tindak pidana korupsi. Agar sidang pengadilan dapat dilangsungkan tanpa kehadiran terdakwa, oleh Pasal 38 ayat (1) ditentukan harus dipenuhi beberapa syarat sebagai berikut: a. b. terdakwa telah dipanggil secara sah; terdakwa tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah. Untuk dapat memanggil terdakwa secara sah, Penuntut Umum harus mengikuti beberapa petunjuk sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 145 dan Pasal 146 ayat (1) KUHAP. Sedangkan apa yang dimaksud dengan "tanpa alasan yang sah", baik di dalam KUHAP maupun di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak ada ketentuan yang dapat memberikan petunjuk, sehingga apa yang dimaksud dengan "tanpa alasan yang sah" dalam Pasal 38 ayat (1) sepenuhnya tergantung dari pertimbangan hakim untuk menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan oleh terdakwa.48 Menurut Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 2 Februari 2001 Nomor 1846 K/Pid/2000,49 keterangan sakit dari dokter merupakan alasan yang sah untuk tidak hadir di sidang pengadilan, karena di samping sudah selayaknya setiap orang menghormati, mempercayai pendapat professional dokter, yang merupakan wewenangnya untuk menyatakan seseorang sakit atau tidak, juga doktrin berpendapat bilamana seseorang pada saat proses persidangan di pengadilan menderita sakit, maka penyidangan perkaranya harus ditunggu sampai ia sembuh dan memenuhi persyaratan untuk disidangkan. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana jika terdakwa sejak sidang

46 47

Lihat: Pasal 153 ayat (3) KUHAP. Lihat: Pasal 153 ayat (3) KUHAP. 48 M Yahya Harahap, Op.Cit, h,654. 49 Indriyanto Seno Adji dan Juan Felix Tampubolon, Perkara H.M. Soeharlo, (Jakarta: Multi Mediametri, 2001), hlm. 156. 35

pengadilan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum oleh hakim (Pasal 153 ayat (3) KUHAP), secara terus-menerus tidak dapat hadir dengan alasan yang sah, apakah sidang pengadilan dapat berlangsung terus tanpa kehadiran terdakwa? Yang jelas

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) tidak dapat diterapkan, karena tidak dipenuhinya salah satu syarat, yaitu tidak hadirnya terdakwa tersebut di sidang pengadilan harus tanpa alasan yang sah. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengikuti Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 2 Februari 2001 Nomor 1846 K/Pid/2000,50 yaitu karena terdakwa terusmenerus tidak dapat hadir di sidang pengadilan dengan alasan yang sah, maka tuntutan Penuntut Umum dinyatakan tidak dapat diterima. Sebelum putusan Mahkamah Agung RI tersebut, telah ada Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 23 Desember 1980 Nomor 121 K/Kr/1980 dan atas dasar putusan Mahkamah Agung RI ini, Mahkamah Agung RI lalu memberikan petunjuk seperti tertuang di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 22 Januari 1981 Nomor 1 Tahun 1981,51 yaitu dalam hal perkara yang diajukan oleh Penuntut Umum, terdakwanya sejak semula tidak hadir dan sejak semula tidak ada jaminan bahwa terdakwa dapat dihadapkan di persidangan, perkara demikian dinyatakan tidak dapat diterima. Sebagaimana telah ditentukan, yang dimaksud tanpa kehadiran terdakwa di sidang pengadilan seperti yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (1) adalah termasuk tanpa kehadiran terdakwa pada satu atau beberapa kali di antara sidang-sidang pengadilan sejak sidang pengadilan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum oleh hakim sampai dengan sidang pengadilan ketika hakim menjatuhkan putusannya dalam perkara tindak pidana korupsi. Dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), dapat diketahui bahwa jika terdakwa yang semula tidak (pernah) hadir di sidang pengadilan dan kemudian hadir di sidang pengadilan, maka pada waktu terdakwa hadir di sidang pengadilan, wajib dilakukan pemeriksaan oleh hakim. Jadi, meskipun diperkenankan adanya sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi, tetapi jika sampai terdakwa hadir di sidang pengadilan, terdakwa wajib diperiksa oleh hakim. Dalam sidang pengadilan tersebut, yaitu pada waktu terdakwa hadir Pasal 38 ayat (2) ditentukan lebih lanjut sebagai berikut.
50 51

Ibid. Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Tahun 1979-1985, hlm.84. 36

a.

Saksi yang telah memberikan keterangan di sidang pengadilan pada waktu terdakwa tidak hadir dianggap telah memberikan keterangannya di sidang pengadilan pada waktu terdakwa hadir. Jadi, saksi tidak perlu dipanggil lagi untuk diminta keterangannya dan hakim dapat menolak jika ada permintaan dari terdakwa agar saksi tersebut dipanggil lagi.

b.

Surat-surat yang dibacakan di sidang pengadilan pada waktu terdakwa tidak hadir, dianggap telah dibacakan di sidang pengadilan pada waktu terdakwa hadir. Jadi, surat-surat tidak perlu dibaca lagi dan hakim dapat menolak jika ada permintaan dari terdakwa agar surat-surat tersebut dibaca lagi. Berhubung ketentuan tentang saksi dan surat-surat sebagaimana yang dimaksud

dalam Pasal 38 ayat (2) sifatnya tidak imperatif, maka dapat saja hakim memenuhi apa yang diminta oleh terdakwa seperti di atas, hanya jika sampai hakim memenuhi permintaan terdakwa tersebut, asas peradilan yang dilakukan dengan cepat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UUKKberkurang fungsinya. Yang dimaksud dengan "tanpa kehadiran terdakwa" dalam Pasal 38 ayat (3) adalah tanpa kehadiran terdakwa di sidang pengadilan tanpa alasan sah ketika hakim menjatuhkan putusannya, meskipun terdakwa tersebut telah dipanggil secara sah. Tidak menjadi masalah apakah tidak hadirnya terdakwa tersebut berlangsung secara terus-menerus atau hanya pada satu atau beberapa kali sidang pengadilan, tetapi yang menjadi tolok ukur adalah ketika hakim menjatuhkan putusan terdakwa tidak hadir tanpa alasan yang sah, meskipun terdakwa tersebut telah dipanggil secara sah. Setelah hakim menjatuhkan putusannya, tindak lanjut dari Penuntut Umum adalah seperti yang ditentukan juga dalam Pasal 38 ayat (3), yaitu dengan alternatif sebagai berikut: a. mengumumkan putusan hakim tersebut pada: 1). papan pengumuman pengadilan, tentunya yang dimaksud adalah papan pengumuman Pengadilan Negeri, 2). b. papan pengumuman pada kantor Pemerintah Daerah, atau terdakwa.

putusan hakim tersebut diberitahukan kepada kuasa dari

Putusan hakim yang diumumkan atau yang diberitahukan kepada kuasa dari terdakwa tersebut, oleh penjelasan Pasal 38 ayat (3) cukup berupa petikan surat putusan pengadilan, yaitu seperti yang dimaksud oleh ketentuan yang terdapat dalam Pasal 226 ayat (1) KUHAP. Jika pemeriksaan sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi, terdakwanya lebih dari seorang dan ketika hakim menjatuhkan putusan ada
37

terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah, meskipun terdakwa tersebut telah dipanggil secara sah, menurut hemat penulis tindak lanjut dari Penuntut Umum adalah juga seperti yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (3). Dalam perkara tindak pidana korupsi, terdakwa yang hadir di sidang pengadilan setelah hakim menjatuhkan putusan berupa pidana, menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (3) huruf d KUHAP dapat mengajukan permohonan banding terhadap putusan hakim tersebut. Upaya hukum yang berupa banding ini, menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (4) juga dapat diajukan oleh terdakwa yang tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, meskipun terdakwa tersebut telah dipanggil secara sah.52 Dengan demikian, dalam perkara tindak pidana korupsi, apakah terdakwa hadir atau tidak hadir di sidang pengadilan dan ketidakhadirannya tanpa alasan yang sah, terdakwa dapat mengajukan upaya hukum, yaitu permohonan banding terhadap putusan hakim tersebut. Adanya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4), menurut hemat penulis secara langsung akan mendorong terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi untuk tidak hadir di sidang pengadilan dengan berbagai macam alasan, karena dengan melalui kuasanya terdakwa masih dapat mengajukan permohonan banding. Dalam rangka menerapkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) tersebut, perlu diingatkan kepada para hakim adanya Surat Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 10 Desember 1988 Nomor 6 Tahun 1988 yang antara lain meminta perhatian kepada para hakim agar menolak atau tidak melayani penasihat hukum atau pengacara dari terdakwa yang tidak hadir di sidang pengadilan, meskipun telah dipanggil dengan sah atau semestinya.53 Perlu diperhatikan bahwa di dalam pertimbangan hukum dari Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1846 K/Pid/200054 disebutkan bahwa terhadap penetapan Pengadilan Negeri yang menentukan tuntutan Penuntut Umum tidak diterima, tidak dimungkinkan adanya suatu perlawanan atau banding. Dalam perkara tindak pidana yang bukan pidana korupsi, jika pada waktu pemeriksaan di sidang pengadilan terdakwa meninggal dunia, hakim akan mengeluarkan putusan yang menyatakan gugurnya tuntutan hukum terhadap perbuatan

52

Perhatikan perumusan Pasal 38 ayat (4) yang menentukan: " ... atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)". 53 Abstrak Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 1982-1993, hlm. 149-150. 54 Indriyanto Seno Adji dan Juan Felix Tampubolon, Loc.Cit. 38

yang didakwakan kepada terdakwa seperti yang terdapat putusan Mahkamah Agung RI tanggal 30 September 1975 Nomor 18 1975.55 Untuk perkara tindak pidana korupsi, jika sebelum pengadilan menjatuhkan putusannya, terdakwa telah meninggal dunia, tetapi terdapat "bukti yang cukup kuat bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi", oleh Pasal ayat (5) ditentukan bahwa atas tuntutan Penuntut Umum, hakim mengeluarkan penetapan tentang perampasan barang-barang yang disita. Meskipun tuntutan dari Penuntut Umum tersebut, belum tentu dapat dikabulkan oleh hakim, tetapi tanpa adanya tuntutan dari Penuntut Umum, hakim tidak dapat langsung mengeluarkan penetapan yang merampas barang-barang yang telah disita. Seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 38 ayat (5), agar hakim dapat mengeluarkan penetapan tentang perampasan barang-barang yang telah disita perlu terdapat "bukti yang cukup kuat bahwa terdakwa telah melakukan pidana korupsi". Untuk sampai terdapat "bukti yang cukup kuat bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi", sebelum mengeluarkan penetapan tersebut, hakim semestinya memperhatikan dan memenuhi ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 183KUHAP. Dengan demikian perampasan barang-barang yang telah disita tersebut, dapat ditetapkan oleh hakim apabila dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana korupsi benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya. Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP tersebut, yang sering menjadi perdebatan atau diskusi adalah apakah keterangan 2 (dua) orang saksi sudah memenuhi pengertian 2 (dua) alat bukti yang sah? Di dalam buku Himpunan Tanya-Jawab tentang Hukum Pidana,56 atas pertanyaan dari Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dan Pengadilan Tinggi Mataram, Mahkamah Agung RI memberi petunjuk bahwa keterangan dari 2 (dua) orang saksi sudah memenuhi pengertian 2 (dua) alat bukti yang sah. Dari petunjuk tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan "sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah" dalam Pasal 183 KUHAP adalah sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti seperti yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, meskipun kedua alat bukti tersebut sama jenisnya atau macamnya.

55 56

P.A.F. Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Cet.III (Bandung: Sinar Baru, 1990), hlm.75. Ibid, h.75 dan 123. 39

Sebagai penetapan pengadilan, maka sudah tepat jika Pasal 38 ayat (6) menentukan bahwa penetapan perampasan barang-barang sebagaimana yang dimaksud Pasal 38 ayat (5) tidak dapat dimohonkan banding, karena yang dapat dimohonkan banding menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 67 KUHAP hanya putusan pengadilan. Terhadap adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (6) tersebut, dapat diberikan beberapa catatan sebagai berikut. a. Dengan meninggal dunianya terdakwa, dengan sendirinya almarhum tidak akan mungkin mengajukan permohonan banding terhadap penetapan pengadilan mengenai perampasan barang-barang yang telah disita. Di dalam KUHAP57 tidak ada ketentuan yang memberi hak kepada ahli waris dari almarhum untuk mengajukan permohonan banding terhadap penetapan yang dikeluarkan oleh hakim. Dengan demikian, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (6), ditinjau dari sudut kepentingan almarhum terdakwa merupakan ketentuan yang berlebihan. b. Penetapan hakim mengenai perampasan barang-barang yang telah disita, baru dapat dikeluarkan, apabila ada tuntutan dari Penuntut Umum. Masalahnya adalah Penuntut Umum tidak mempunyai upaya hukum biasa yang dapat dipergunakan jika penetapan hakim mengenai perampasan barang-barang yang telah disita tersebut tidak sama dengan tuntutan dari Penuntut Umum. Penjelasan Pasal 38 ayat (7) menyebutkan bahwa ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi pihak ketiga yang beriktikad baik. Dengan adanya penjelasan Pasal 38 ayat (7) seperti di atas, dapat diketahui bahwa sebenarnya yang dimaksud dengan kalimat "orang yang berkepentingan" dalam Pasal 38 ayat (7) adalah pihak ketiga yang beriktikad baik. Dengan demikian, jika ketentuan yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (7) dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 19 ayat (2), akan ditemui persamaan dan perbedaan antara lain sebagai berikut: a. Persamaan 1). baik ketentuan yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (7) maupun ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 19 ayat (2) memberikan hak kepada pihak ketiga untuk mengajukan keberatan terhadap putusan atau penetapan pengadilan tentang perampasan barang-barang, karena ternyata terdapat barang-barang kepunyaan yang didapat dengan iktikad baik;
57

Lihat: Pasal 233 ayat (1) KUHAP. 40

2).

keberatan diajukan oleh pihak ketiga ke pengadilan yang telah menjatuhkan putusan atau penetapan perampasan barang-bara karena ternyata terdapat barang-barang kepunyaannya yang didapat dengan iktikad baik.

b.

Perbedaan 1). tenggang waktu yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (7) untuk mengajukan keberatan adalah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman penetapan yang dikeluarkan pengadilan tanpa kehadiran terdakwa, sedang tenggang waktu yang ditentukan dalam Pasal 19 ayat (2) untuk mengajukan keberatan adalah dalam waktu 2 (dua) bulan setelah putusan pengadilan diucapkan di sidang terbuka untuk umum; 2). apa yang dikeluarkan oleh pengadilan atas dasar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (7) adalah berbentuk penetapan, sedangkan apa yang dijatuhkan oleh pengadilan atas dasar Pasal 19 ayat (2) adalah berbentuk putusan; 3). pada waktu pengadilan mengeluarkan penetapan tentang perampasan barang-barang seperti yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (2) terdakwa telah meninggal dunia sebelum penetapan pengadilan dikeluarkan, sedangkan pada waktu pengadilan menjatuhkan putusan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang seperti yang ditentukan dalam Pasal 19 ayat (2), terdakwa belum meninggal dunia. Jika ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (7), kemudian

dikaitkan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) dan (5), akan diperoleh petunjuk sebagai berikut. a). Jika keberatan diajukan masih dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman penetapan pengadilan oleh Penuntut

Umum pada papan pengumumanpengadilan, kantor pemerintah daerah atau sejak diberitahukan kepada kuasa terdakwa, maka pemeriksaan terhadap keberatan dilakukan oleh pengadilan yang telah mengeluarkan penetapan tersebut. b). Jika keberatan ternyata tidak benar, pengadilan mengeluarkan penetapan yang isinya menolak keberatan tersebut. Terhadap penetapan pengadilan ini oleh Pasal 38 tidak ditentukan adanya suatu upaya hukum yang dapat dipergunakan oleh pihak ketiga yang telah mengajukan keberatan.

41

c).

Jika keberatan ternyata diterima, pengadilan mengeluarkan penetapan yang isinya membenarkan keberatan tersebut. Menurut hemat penulis, penetapan ini oleh jaksa dapat dipergunakan sebagai dasar hukum untuk tidak melaksanakan penetapan pengadilan tentang perampasan barang-barang yang terbatas hanya yang disebutkan dalam penetapan pengadilan yang membenarkan keberatan tersebut.

d).

Jika keberatan diajukan sudah lewat tenggang waktu 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman penetapan oleh Penuntut Umum pada papan

pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah atau sejak diberitahukan kepada kuasa terdakwa, keberatan diajukan dengan cara gugatan perdata ke Pengadilan Negeri sesuai dengan kompetensi relatifnya58 Oleh penjelasan Pasal 38 ayat (7) disebutkan bahwa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut dimaksudkan untuk menjamin pelaksanaan putusan pengadilan tentang perampasan barang-barang yang memang berasal dari tindak pidana korupsi. Dengan adanya penjelasan Pasal 38 ayat (7) tersebut, menurut hemat penulis sebelum lewat tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman penetapan tentang perampasan barang-barang, jaksa sebaiknya jangan melaksanakan penetapan pengadilan tersebut, karena masih dimungkinkan pihak ketiga mengajukan keberatan dan keberatan masih dimungkinkan diterima oleh pengadilan, tetapi jika tenggang waktu sudah lewat, jaksa tidak perlu khawatir untuk melaksanakan penetapan pengadilan yang dimaksud. Di dalam penjelasan Pasal 38 ayat (7) tidak disebutkan seperti halnya pada penjelasan Pasal 19 ayat (3) bahwa apabila keberatan pihak ketiga diterima oleh hakim setelah pelaksanaan penetapan pengadilan, negara berkewajiban mengganti kerugian kepada pihak ketiga sebesar nilai hasil lelang atas barang-barang yang dirampas. Menurut hemat penulis, apa yang menjadi isi dari penjelasan Pasal 19 ayat (3) tersebut dapat diterapkan pada pelaksanaan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 38 ayat (7), karena dengan diterimanya keberatan, pihak ketiga yang beriktikad baik harus mendapat perlindungan hukum seperti yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 19 ayat (3), yaitu negara mengganti kerugian kepada pihak ketiga sebesar nilai hasil lelang atas barang-barang yang dirampas.

58

Pasal 118 HIR- Pasal 142 Rbg. 42

2).

Strategi Mengantisipasi Pelarian Tersangka ke Luar Negeri Dalam rangka mengupayakan pemberantasan tindak pidana korupsi, maka

diperlukan suatu kebijakan yang mengatur tentang strategi terhadap pelaksanaan sistem peradilan, terutama menyangkut antisipasi pelarian para tersangka atau terdakwa ke luar negeri dengan melakukan cekal.59 Dalam hal ini, proses mencegah atau menangkal orang pun tidak bisa dilakukan dengan sewenang-wenang, dan instansi yang boleh meminta pencegahan dan penangkalanpun dibatasi. Permintaan pencegahan dan penangkalan terhadap seseorang hanya bisa dikeluarkan dari empat instansi, yakni Menteri Kehakiman, Menteri Keuangan, Jaksa Agung, dan Panglima TNI. Permintaan pencegahan, menurut Pasal 12 UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, harus ditetapkan dengan sebuah keputusan tertulis dengan memuat hal-hal yang berkaitan antara lain, identitas orang yang terkena pencegahan, alasan-alasan yang menjadi dasar pencegahan dan jangka waktu pencegahan. Masa pencegahan-penangkalan, menurut UU Keimigrasian, juga ada batasnya. Artinya, tidak dibenarkan praktik pencegahan seumur hidup atau dalam batas waktu yang tidak ditentukan. Untuk pecegahan karena alasan keimigrasian atau menyangkut piutang negara, ditetapkan paling lama enam bulan dan dapat diperpanjang untuk paling banyak dua kali masing-masing tidak lebih dari enam bulan. Sedang pencegahan yang dilakukan Jaksa Agung terhadap orangorang karena keterlibatannya dalam perkara pidana, tidak diatur secara jelas mengenai berapa lama pencegahannya. Dalam pasal hanya disebutkan sesuai dengan Keputusan Jaksa Agung. Sampai saat ini berkenaan dengan pencegahan dan penangkalan, Kejaksaan Agung masih mengacu kepada Keputusan Jaksa Agung Nomor: KEP-030/J.A/3/1994 yang kemudian diubah dengan Keputusan Jaksa Agung Nomor: 017A/J.A/01/1996 tentang Ketentuan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Jaksa Agung untuk Melakukan Pencegahan dan Penangkalan. Dalam monitoring pelaksanaan Agenda 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu Kejaksaan Agung Rl, khususnya dalam bidang Intelijen diupayakan peningkatan peran Kejaksaan dalam pelaksanaan Cegah Tangkal terhadap tersangka, terdakwa ataupun
59

Istilah "cekal" sebenarnya merupakan kependekan dari cegah tangkal. Yang dimaksud dengan pencegahan adalah larangan bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk ke luar Indonesia berdasarkan alasan-alasan tertentu, sedangkan penangkalan adalah larangan sementara terhadap orang tertentu untuk masuk ke wilayah Indonesia juga berdasarkan alasan-alasan tertentu (vide Pasal 1 UndangUndang Nomor 9Tahun 1992 tentang Keimigrasian).

43

terpidana.Tindakan yang dilakukan dalam peningkatan peran tersebut adalah me-review mekanisme proses Cegah-Tangkal yang diatur dalam Kepja No.030/J.A/03/1994 tangal 28 Maret 1994 dan Kepja No. 017/A/J.A/01/1996 tanggal 31 Januari 1996 tersebut. Untuk sementara upaya yang telah dilakukan dalam rangka pencegahan dan penangkalan adalah: 1. Menginstruksikan kepada para Kajati agar orang-orang asing yang kejahatan yang menjadi perhatian masyarakat banyak seperti melakukan pidana

tindak

Narkoba,Terorisme, Money Laundring, Penyelundupan, Penodaan Agama, agar terhadap pelaku dilakukan penangkalan. 2. Mengintensifkan kegiatan personil Kejaksaan pada pos Kejaksaan di Bandar Soekarno Hatta untuk berkoordinasi dengan pihak Imigrasi Cekal. 3. Membuat daftar Cekal dengan memuat identitas orang-orang yang dicekal serta dalam pelaksanaan

tenggang waktu berakhirnya masa cekal yang dibuat/ disusun setiap bulan. Sedangkan permasalahan yang dihadapi dalam upaya pencegahan dan penangkalan: 1. Terdapat instansi pemohon terlambat atau tidak mengajukan perpanjangan Cekal dengan berbagai alasan. 2. Pelaksanaan pencegahan yang dilakukan oleh pihak Imigrasi di lapangan/bandara belum efektif yang ternyata ada orang yang masih Jaksa Agung tapi ternyata lolos ke luar negeri. 3. 4. Adanya Pemalsuan paspor oleh orang yang dicegah. Belum semua orang yang dicegah ke luar negeri ditahan/ditarik oleh pihak imigrasi. Mengacu kepada upaya yang telah dilakukan sebagai rencana tindak lanjut akan dilakukan evaluasi terhadap instruksi yang telah diberikan kepada para Kajati, di samping itu juga memberikan instruksi kepada para Kajati agar mengantisipasi paspornya dalam status cegah oleh

kemungkinan adanya pengalihan/penangguhan penahanan oleh pihak pengadilan terhadap perkara-perkara tindak pidana korupsi/tindak pidana umum yang menarik perhatian yang sedang dalam proses persidangan agardimintakan ke Jaksa Agung, guna mencegah yang bersangkutan ke luar negeri sehinga menyulitkan eksekusi pada saatnya. Rencana tindak lanjut lain adalah menambah pos-pos baru yang diharapkan

44

dapat menunjang rencana tindakan cekal ini, antara lain di bandara internasional seperti Medan, Surabaya, Batam dan Denpasar. Kemudian, dalam rangka program Kabinet Indonesia Bersatu dalam Bidang Penegakan Hukum perlu dituntaskan eksekusi terhadap putusan pengadilan/Mahkamah Agung Rl yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, akan tetapi para terpidana belum dapat dieksekusi karena keberadaannya tidak diketahui dan atau telah berada di luar negeri. Untuk itu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan telah mengeluarkan Keputusan Nomor: KEP-54/MENKO/POLHUKAM/1 2/2004 tantang Pembentukan Tim Terpadu Pencari Terpidana Perkara Tindak Pidana Korupsi yang terdiri dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Kejaksaan Agung Rl, Mabes Polri serta Departemen Hukum dan HAM. Upaya untuk memburu koruptor yang buron telah pula diantisipasi oleh pihak Interpol, International Criminal Police Organization (ICPO) melalui database koruptor di seluruh dunia termasuk Indonesia. Database tersebut diperkenalkan dalam Konferensi Interpol se-Asia ke-19 di Jakarta tahun 2007, dan dapat diakses oleh 184 negara anggota Interpol, akan tetapi langkah eksekusinya harus dilandasi dengan kerjasama yang konkrit antarnegara melalui perjanjian ekstradisi. Langkah maju ini disambut baik oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, karena masalah korupsi merupakan musuh publik, dan upaya pemberantasannya memerlukan waktu yang cukup lama karena terkait masalah struktur dan budaya. Keseriusan pemerintah Indonesia untuk memberantas korupsi melalui media kerjasama antarnegara diwujudkan pula dengan ditandatanganinya perjanjian ekstradisi antara pemerintah Indonesia dan Singapura, 27 April 2007 di Bali.

D.

Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap masalah yang ada, maka

dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Dalam praktek sering terjadi alasan ketidakhadiran terdakwa dalam proses pemeriksaan semata-mata hanya karena untuk menghindari proses peradilan, dengan alasan-alasan yang diperluas, misalnya usia tua, sudah uzur dan pikun atau menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Dalam kasus Hendra Rahardja CS, alasan untuk tidak hadir dalam persidangan ternyata lebih diarahkan kepada upaya menghindarkan diri dari pemeriksaan di persidangan
45

dengan alasan bahwa tidak ada jaminan hak asasi atas dirinya.Adanya faktor yang mendorong untuk tidak hadir dalam proses pemeriksaan tindak pidana korupsi ( melarikan diri / buron), dengan memanfaatkan ketentuan pada pasal 38 ayat (4) dimana hak untuk mengajukan banding dapat saja dilakukan oleh kuasa/penasihat hukum terdakwa tanpa kehadiran terdakwa. 2. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi pemeriksaan in absentia antara lain sebagai berikut : Meningkatkan sikap dan kemampuan

profesionalitas aparat penegak hukum yang terkait dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa-fatwa mengenai ketentuan-ketentuan yang belum secara jelas, sehingga dapat dijadikan pegangan bagi aparat untuk menyelesaikan kasus tindak pidana korupsi.

E.

Saran-Saran Dari hasil pembahasan, maka pada kesempatan ini peneliti mencoba memberikan

saran-saran yang relevan antara lain : 1. Diperlukan adanya komitmen semua lapisan masyarakat untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, sesuai dengan hak, kewajiban dan kewenangan. Tindak lanjut komitmen ini terus menerus ditanamkan dan disosialisasikan melalui pendidikan formal maupun non formal. Peningkatan sikap dan kemampuan profesionalitas terutama aparat hukum terkait, dengan melalui program studi lanjut, pelatihan, penataran, diskusi dan sebagainya. Perlu dilakukannya petunjuk teknis pengawasan internal maupun eksternal, secara vertikal maupun horizontal dalam dan antar instansi-instansi pemerintah terkait maupun swasta. 2. Perlu dibuat peraturan-peraturan pelaksana untuk dapat lebih operasional dalam proses peradilan pidana maupun yang mengatur lebih jauh keikut sertaan aktif masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

46

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia,1999. Black, Henry Campell Blacks Law Dictionary, Edisi VI , West Publishing, St. Paul Minesota, 1990. Chaerudin et all, Strategi Pencegahan & Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Cet.I , Bandung: Refika Aditama, 2008. Darwan Prins, Tahun 2000. Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, tt. Djoko Prakoso, Peadilan In Absentia di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia,1984. Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Jakarta: Prof. Oemar Seno Adji, SH. & Rekan, 2006 Indriyanto Seno Adji dan Juan Felix Tampubolon, Perkara H.M. Soeharlo, Jakarta: Multi Mediametri, 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997. Levi, Michael, Tracing and Recovering the Proceeds of Crime, Cardiff University, Wales, UK, Tbilisi, Georgia, June 2004. Lilik Muliady, Tindak Pidana Korupsi, Bandung : Citra Adytia Bakti, 2000. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, Cet.IV, Jakarta: Sinar Grafika, 2003. Mochtar Lubis, Bunga Rampai Mengenai Etika Pegawai Negeri, Indonesia,1977. Mubyarto dalam bukunya Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan Keadilan, Yogyakarta: UII Press,1980. O.C. Kaligis, Cross-Examination, Bandung: Alumni, 2000. P.A.F. Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Cet.III , Bandung: Sinar Baru, 1990. Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1976. Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, Bandung: Alumni, 2007. Jakarta: Ghalia

47

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor : Politea, 1983. R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , Cet. VI, Jakarta: Sinar Grafika 2006. Satjipto Rahardjo, Imu Hukum, Cet IV, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996. Sudarto,Hukum dan Hukum Pidana, Cet. IV, Bandung: Alumni, 1996. Syed Hussien Alatas, Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelasan Dengan Data Kontemporer, Tahun 1987. ________, Korupsi Sifat, Sebab dan Akibat, Jakarta : LP3ES, 1987. Yudi Kristiana, Independensi Kejaksaan Dalam Penyidikan Korupsi, Cet. I Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.

B. Dokumen Putusan PN No.1032/PID/B/2001/PN.JKT.PST. Putusan Praperadilan No. 07/Pid/Prap/2000/PN.Jkt.Sel., tgl. 29 Juni 2000, Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Tahun 1979-1985, Abstrak Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 1982-1993. Surat Perintah Penahanan No.Pol.: SPP/R/48/M/VI/1999/Ditserse Ek.

C. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945 Ketetapan MPR RI Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Het Herziene Inlan Reglement (HIR) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor .31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.

48

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggraan Negara Yang Bersih Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-Undang No. 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Australia. Undang-Undang Nomor 9Tahun 1992 tentang Keimigrasian. Peraturan Pelaksanaan KUHAP.

49

50

You might also like