You are on page 1of 6

3.1.

Abses peritonsil Abses peritonsil merupakan suatu infeksi akut yang diikuti dengan terkumpulnya pus

pada jaringan ikat longgar antara m. konstriktor faring dengan tonsil pada fosa tonsil. Infeksi ini menembus kapsul tonsil dari kelenjar weber pada kutub atas tonsil. Abses peritonsil merupakan infeksi pada tenggorok yang seringkali merupakan komplikasi dari tonsilitis akut. 3.1.1. Epidemiologi Abses peritonsil sering mengenai orang dewasa pada usia 20 sampai 40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem imunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Insiden abses peritonsil di A.S terjadi 30 per 100.000 orang/ tahun. 3.1.2. Etiopatogenesis Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang supra tonsil yang disebut kelenjar Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah mengeluarkan cairan ludah ke dalam kripta-kripta tonsil, membantu untuk menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris yang terperangkap di dalamnya lalu dievakuasi dan dicerna. Jika terjadi infeksi berulang, dapat terjadi gangguan pada proses tersebut lalu timbul sumbatan terhadap sekresi kelenjar Weber yang mengakibatkan terjadinya pembesaran kelenjar. Jika tidak diobati secara maksimal, akan terjadi infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada kelenjar Weber dan sistem saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus sehingga menyebabkan terjadinya abses. Beberapa penelitian dengan mengisolasi bakteri menunjukkan Streptococcus viridians merupakan penyebab terbanyak infeksi abses peritonsil, diikuti oleh Streptococcus beta hemolyticus grup A. Bakteri anaerob dan Streptococcus gram positif telah diidentifikasi sebagai agen etiologi umum. Apapun bakteri/kuman yang menjadi penyebabnya, proses infeksi ini menunjukkan bahwa mekanisme pertahanan pertama dari orofaring penerima (host) telah ditembus dan sebagai akibatnya mikroorganisme tersebut masuk menembus jaringan orofaring. Ketika bakteri menembus jaringan, tubuh secara alami akan menggerakkan beberapa mekanisme pertahanan.

Secara umum bakteri akan mati oleh aktifitas sel-sel fagosit. Antibodi memainkan peranan penting melawan toksin-toksin bakteri, tetapi bagaimana peranan antibodi dalam melawan bakteri penyebab inflamasi peritonsil akut masih belum diketahui 3.1.3. Gejala Klinis Pembengkakan awal hampir selalu berlokasi pada daerah palatum mole di sebelah atas tonsil yang menyebabkan tonsil membesar ke arah medial. Onset gejala abses peritonsil biasanya dimulai sekitar 3 sampai 5 hari sebelum pemeriksaan dan diagnosis. Gejala klinis berupa rasa sakit di tenggorok yang terus menerus hingga keadaan yang memburuk secara progresif walaupun telah diobati. Rasa nyeri terlokalisir, demam tinggi, (sampai 40C), lemah dan mual. Odinofagi dapat merupakan gejala menonjol dan pasien mungkin mendapatkan kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah. Akibat tidak dapat mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi hipersalivasi dan ludah seringkali menetes keluar. Keluhan lainnya berupa mulut berbau (foetor ex ore), muntah (regurgitasi) sampai nyeri alih ke telinga (otalgi). Trismus akan muncul bila infeksi meluas mengenai otot-otot pterigoid. Penderita mengalami kesulitan berbicara, suara menjadi seperti suara hidung, membesar seperti mengulum kentang panas (hot potatos voice) karena penderita berusaha mengurangi rasa nyeri saat membuka mulut. Seperti dikutip dari Finkelstein, Ferguson mendefinisikan hot potato voice merupakan suatu penebalan pada suara. Pada pemeriksaan tonsil, ada pembengkakan unilateral, karena jarang kedua tonsil terinfeksi pada waktu bersamaan. Bila keduanya terinfeksi maka yang kedua akan membengkak setelah tonsil yang satu membaik. Bila terjadi pembengkakan secara bersamaan, gejala sleep apnea dan obstruksi jalan nafas akan lebih berat. Pada pemeriksaan fisik penderita dapat menunjukkan tanda-tanda dehidrasi dan pembengkakan serta nyeri kelenjar servikal / servikal adenopati. Di saat abses sudah timbul, biasanya akan tampak pembengkakan pada daerah peritonsilar yang terlibat disertai pembesaran pilar-pilar tonsil atau palatum mole yang terkena. Tonsil sendiri pada umumnya tertutup oleh jaringan sekitarnya yang membengkak atau tertutup oleh mukopus. Timbul pembengkakan pada uvula yang mengakibatkan terdorongnya uvula pada sisi yang berlawanan. Paling sering abses peritonsil pada bagian supratonsil atau di belakang tonsil, penyebaran pus ke arah inferior dapat menimbulkan pembengkakan supraglotis dan obstruksi jalan nafas. Pada keadaan ini penderita akan tampak cemas dan sangat ketakutan.

Abses peritonsil yang terjadi pada kutub inferior tidak menunjukkan gejala yang sama dengan pada kutub superior. Umumnya uvula tampak normal dan tidak bergeser, tonsil dan daerah peritonsil superior tampak berukuran normal hanya ditandai dengan kemerahan.

Gambar 14. Abses peritonsil

3.1.5. Diagnosis Menegakkan diagnosis penderita dengan abses peritonsil dapat dilakukan berdasarkan anamnesis tentang riwayat penyakit, gejala klinis dan pemeriksaan fisik penderita. Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi merupakan tindakan diagnosis yang akurat untuk memastikan abses peritonsil. Seperti dikutip dari Hanna, Similarly Snow dkk berpendapat untuk mengetahui jenis kuman pada abses peritonsil tidak dapat dilakukan dengan cara usap tenggorok. Pemeriksaan penunjang akan sangat membantu selain untuk diagnosis juga untuk perencanaan penatalaksanaan. Pemeriksaan secara klinis seringkali sukar dilakukan karena adanya trismus. Palatum mole tampak menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus, terdorong ke arah tengah, depan dan bawah. Uvula terdorong ke arah kontra lateral. Gejala lain untuk diagnosis sesuai dengan gejala klinisnya. Pemeriksaan laboratorium darah berupa faal hemostasis, terutama adanya leukositosis sangat membantu diagnosis. Pemeriksaan radiologi berupa foto rontgen polos, ultrasonografi dan tomografi komputer. Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapat mendiagnosis abses peritonsil secara spesifik dan mungkin dapat digunakan sebagai alternatif pemeriksaan. Mayoritas kasus yang diperiksa menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran sentral hypoechoic.

Gambaran tersebut kurang dapat dideteksi bila volume relatif pus dalam seluruh abses adalah kurang dari 10% pada penampakan tomografi komputer. Penentuan lokasi abses yang akurat, membedakan antara selulitis dan abses peritonsil serta menunjukkan gambaran penyebaran sekunder dari infeksi ini merupakan kelebihan penggunaan tomografi komputer. Khusus untuk diagnosis abses peritonsil di daerah kutub bawah tonsil akan sangat terbantu dengan tomografi komputer. Fasano mengatakan bahwa pemeriksaan dengan menggunakan foto rontgen polos dalam mengevaluasi abses peritonsil terbatas. Tomografi komputer dan ultrasonografi dapat membantu untuk membedakan antara abses peritonsil dengan selulitis tonsil.

Gambar 15. Gambaran CT-scan dari abses peritonsil yang mengalami pergeseran ke medial dibawah jaringan lunak tonsil. Jaringan lemak parafaring (panah) tidak terdapat kelainan. 3.1.6. Diagnosis Banding Infiltrat peritonsil, tumor, abses retrofaring, abses parafaring, aneurisma arteri karotis interna, infeksi mastoid, mononucleosis, infeksi kelenjar liur, infeksi gigi, dan adenitis tonsil. Kelainan-kelainan ini dapat dibedakan dari abses peritonsil melalui pemeriksaan darah, biopsi dan pemeriksaan diagnostik lain. Tidak ada kriteria spesifik yang dianjurkan untuk membedakan selulitis dan abses peritonsil. Karena itu disepakati bahwa, kecuali pada kasus yang sangat ringan, semua penderita dengan gejala infeksi daerah peritonsil harus menjalani aspirasi/punksi. Apabila hasil aspirasi

positif (terdapat pus), berarti abses, maka penatalaksanaan selanjutnya dapat dilakukan. Bila hasil aspirasi negatif (pus tidak ada), pasien mungkin dapat didiagnosis sebagai selulitis peritonsil. 3.1.7. Terapi Terapi antibiotika Antibiotika pada gejala awal diberikan dalam dosis tinggi disertai obat simptomatik, kumurkumur dengan cairan hangat dan kompres hangat pada leher (untuk mengendurkan tegangan otot). Dengan mengutamakan pemeriksaan kultur dan sensitifitas, pemberian terapi antibiotika ditunjukkan pada jenis bakteri mana yang lebih banyak muncul. Penisilin dan sefalosporin (generasi pertama kedua atau ketiga) biasanya merupakan obat pilihan. Penisilin dalam dosis tinggi sebagai obat pilihan diberikan dengan mempertimbangkan kontra indikasi seperti alergi atau timbulnya kemungkinan adanya reaksi koagulasi organisme. Penisilin dapat digunakan pada penderita abses peritonsil yang diperkirakan disebabkan oleh kuman staphylococcus. Metronidazol merupakan antimikroba yang sangat baik untuk infeksi anaerob. Tetrasiklin merupakan antibiotika alternatif yang sangat baik bagi orang dewasa, meskipun klindamisin saat ini dipertimbangkan sebagai antibiotik pilihan untuk menangani bakteri yang memproduksi beta laktamase.

Insisi dan drainase Abses peritonsil merupakan suatu indikasi tindakan yang juga disebut intraoral drainase. Tujuan utama tindakan ini adalah mendapatkan drainase abses yang adekuat dan terlokalisir secara cepat. Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada pembengkakan di daerah pilar pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah paling berfluktuasi.

Teknik aspirasi Tindakan dilakukan menggunakan semprit 10 ml, dan jarum no.18 setelah pemberian anestesi topikal (misalnya xylocain spray) dan infiltrasi anestesi lokal (misalnya lidokain).

Gambar 12: Tindakan Aspirasi abses peritonsil

Lokasi aspirasi pertama adalah pada titik atau daerah paling berfluktuasi atau pada tempat pembengkakan maksimum. Bila tidak ditemukan pus, aspirasi kedua dapat dilakukan 1 cm di bawahnya atau bagian tengah tonsil.

Tonsilektomi Waktu pelaksanaan tonsilektomi sebagai terapi abses peritonsil, bervariasi : 1. Tonsilektomi a chaud: dilakukan segera /bersamaan dengan drainase abses. 2. Tonsilektomi a tiede : dilakukan 3-4 hari setelah insisi dan drainase. 3. Tonsilektomi a froid : dilakukan 4-6 minggu setelah drainase. 3.1.8. Komplikasi Komplikasi yang mungkin terjadi ialah: 1. 2. Abses pecah spontan, mengakibatkan terjadi perdarahan, aspirasi paru atau piemia. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga terjadi mediastinitis. 3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.6 3.1.9. Prognosis Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi. Tonsilektomi sebaiknya ditunda sampai 6 minggu setelah episode infeksi. Pada saat tersebut peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat operasi.6

You might also like