You are on page 1of 15

Politik, Gender, dan Demokrasi

GENDER, FEMINISM, AND INTERNATIONAL RELATIONS

Oleh: Finta Nurhadiyanti Demita Widhiani Meyrza Ashrie Tristyana Indriani Puspitaningtyas 070913012 070913029 070913042 070913066

Departemen Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga 2012

GENDER Bab ini dibagi menjadi tiga bagian utama. Bagian pertama membahas secara singkat pendekatan untuk gender. Bagian kedua menguraikan beberapa konsep utama dan ide-ide yang ditemukan di sekolah yang berbeda pemikiran feminis. Bagian terakhir menetapkan ketertarikan gender dan feminisme dalam konteks kontemporer perdebatan dalam teori hubungan internasional. Gender mengacu pada sekumpulan ciri-ciri khas yang dikaitkan dengan jenis kelamin individu (seseorang) dan diarahkan pada peran sosial atau identitasnya dalam masyarakat. Konsep gender berbeda dari seks atau jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) yang bersifat biologis, walaupun dalam pembicaraan sehari-hari seks dan gender dapat saling dipertukarkan. Pada tahun 1920an, konsepsi gender dipahami sebagai suatu perbedaan (differences) antara laki-laki dan perempuan yang sifatnya atribut personal. Pada masa ini konsep gender sangat terkait erat dengan faktor fisik atau biologis. Perbedaan karakteristik fisik antara lakilaki dan perempuan menciptakan konstruksi peran dan fungsi sosial tertentu serta ekspektasi perilaku yang seharusnya ada atau melekat pada laki-laki atau perempuan. Akibatnya, jenis kelamin sebagai sebuah personal traits menghasilkan perbedaan peran sosial dan menentukan pembagian kerja yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa memahami gender sebagai perbedaan tidak lagi hanya terkait dengan hubungan personal tapi juga struktur sosial karena perbedaan gender telah melegitimasi ketidaksetaraan sosial yang lebih menghargai laki-laki daripada perempuan. Penyebab mengapa karakter maskulin mendapat nilai atau status yang lebih tinggi daripada karakter feminitas tidak hanya terkait dengan fakta perbedaan biologis tapi juga karena eksistensi struktur sosial yang melembagakan kontrol laki-laki terhadap perempuan. Pada tahap inilah perbedaan gender telah menciptakan ketidaksetaraan gender (gender inequality) dalam sistem ekonomi, sosial dan politik. Ketidaksetaraan gender akibat perbedaan jenis kelamin kian menjadi persoalan ketika hal tersebut mengakibatkan ketidakadilan gender. Namun dalam perkembangannya, memahami persoalan ketidakadilan gender tidak lagi cukup hanya dengan konsep gender yang sifatnya dikotomis yaitu hanya melihat perbedaan laki-laki dan perempuan. Beberapa ilmuwan menganggap bahwa konsepsi gender sebagai suatu perbedaan antara laki-laki dan perempuan seakan-akan melihat bahwa

ketidaksetaraan dan ketidakadilan terjadi hanya pada satu jenis laki-laki dan satu jenis perempuan. Maksudnya adalah konsep tersebut mengarah pada generalisasi akan karakteristik laki-laki dan perempuan serta tidak melihat keterkaitan atau relasi antara keduanya. TEORI FEMINIS Kebanyakan definisi feminis atau feminism berpusat pada gagasan tentang kesetaraan antara jenis kelamin atau hak yang sama. Feminisme sering didefinisikan sebagai suatu keyakinan bahwa perempuan berhak untuk menikmati hak-hak yang sama dan hak sebagai laki-laki. Feminisme adalah juga didefinisikan dalam istilah kegiatan politik. Gerakan feminis bertujuan untuk membawa tentang perubahan yang akan mengakhiri praktek-praktek diskriminatif dan menyadari hak yang sama untuk perempuan dalam semua bidang kehidupan. Namun, dengan fokus yang sempit pada masalah hak kekayaan dan keanekaragaman jelas di pemikiran feminis. Dalam pengertian umum, definisi melayani untuk menangkap pentingnya melihat kedua feminisme sebagai rangkaian ide-ide dan gerakan sosial. Memang untuk banyak feminis, kedua kegiatan ini hampir tidak dapat dipisahkan. Menjadi seorang feminis melibatkan perjuangan terus-menerus untuk satu kehidupan yang sesuai dengan prinsip feminis. Gender sebagai kategori sosial dan analitis kategori telah pusat teori feminis. Namun, itu adalah jelas bahwa luar komitmen umum untuk kesetaraan gender yang memberikan feminisme inti identitas dan kekhasan. Feminis sangat memegang pandangan yang berbeda tentang bagaimana hubungan gender dan dibangun, bagaimana mereka dapat berubah dan bagaimana wanita dapat dibebaskan. Selain itu, sementara teori-teori feminis berpusat di sekitar konsep jender, sulit dalam praktek untuk memisahkan jenis kelamin dari aspek lain mengenai identitas dan pengalaman dan bentuk lain dari ketidakadilan sosial yang berakar dalam kelas sosial, mungkin, atau dibenarkan oleh ideologi rasis. Untuk alasan ini, ada banyak feminis. Daripada mencoba untuk mengidentifikasi esensi dari feminisme, atau menetapkan seperangkat nilai-nilai inti feminis dan keyakinan, oleh karena itu, ini mungkin lebih bermanfaat untuk menunjukkan kekayaan dan variasi dalam feminis teori dan praktek dengan membuat sketsa beberapa ide-ide besar yang telah mempengaruhi perkembangan feminisme sebagai aliran pemikiran dan gerakan sosial. Rosemary Tong telah menggariskan klasifikasi yang berguna yang membagi pemikiran

feminis menjadi liberal feminis, radikal feminis, feminis Marxis, sosialis feminis, psikoanalitik feminis berpikir dan feminisme eksistensial dan post-modern. Berikut ini sebagian besar klasifikasi feminis menurut Tong: Feminisme Liberal Akan pemikiran muncul dari pengalaman perempuan yang secara pribadi tidak bebas menentukan hidup. Sejak lahir dalam keluarga, pribadi perempuan sudah diatur kepada bapak, abang, suami, atau laki-laki yang lain. Bahkan, negara juga mengontrol setiap pribadi perempuan. Dalih melindungi kaum perempuan, yang terjadi justru perempuan tidak bebas secara individu. Apa yang disebut sebagai femnisme liberal ialah terdapat pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki. Feminis liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat maskulin, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada di dalam negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai kesetaraan setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara.

Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki. Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria. Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar perempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Feminisme Marxist Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini. Status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus. Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki

kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja. Feminisme Radikal Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal". Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat maskulin, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada di dalam negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai kesetaraan setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara. Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal.

Feminisme Sosial Feminisme sosial muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini hendakmengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuangan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Feminisme Psikoanalitik Teori ini berangkat dari teori Sigmund Freud yang mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak lengkap atau tidak normal. Perempuan merasa dirinya inferior, karena cemburu tidak memiliki apa yang dimiliki oleh laki-laki. Kemudian feminis psikoanalitik menolak teori Freud tentang penentuan biologis manusia sebagai dasar perbedaan seks. Feminisme psikoanalitik dan eksistensialis mengembangkan dimensi psikologis dari ketertindasan perempuan. Pemikiran psikoanalitik dipengaruhi oleh pemikiran Sigmund Freud yang menekankan bahwa seksualitas adalah unsur yang penting dalam pengembangan hubungan gender. Menurut Freud, perbedaan seksualitas laki-laki dan perempuan berakar pada perbedaan psikis (psyche) pria dan wanita, dan ini disebabkan karena perbedaan biologis pria dan wanita. Feminisme psikoanalitik berkembang dengan dua fokus yang berbeda, yaitu analisa pada tahapan pra oedipus kompleks dan analisa pada masa oedipus kompleks. Feminis yang menganalisa pada tahapan pra oedipus kompleks, tahapan dimana hubungan antara ibu dan anak sangat kuat, berasumsi bahwa tahapan psikoseksual tersebut adalah kunci untuk memahami bagaimana seksualitas dan gender yang timpang, pria berada pada posisi yang unggul (superordinat). Pada tahapan oedipus kompleks, anak laki-laki merasa bahwa ada

jarak antara ia dan ibunya, ibunya adalah sesuatu yang lain dan bukan bagian dari dirinya. Kemudian ia memisahkan diri dari ibunya dan mengidentifikasikan dirinya dengan figur ayah. Feminisme eksistensialis diturunkan dari tokoh filsafat Jerman, Hegel dan Heidegger. Feminisme ini memfokuskan perhatiannya pada hubungan antara psyche individual dan dunia sosial dan juga pada proses dimana manusia mengembangkan kesadaran diri mereka sebagai makhluk yang otonom dan merdeka. Simone De Beauvoir berpendapat bahwa ketertindasan wanita berakar dari the otherness mereka. Perempuan adalah sesuatu yang lain dalam budaya yang didominasi kaum laki-laki, tidak hanya untuk laki-laki tetapi bagi perempuan juga. Perempuan harus menerima dijadikan obyek dan memainkan peran sebagai yang lain sebagaimana didefinisikan oleh laki-laki. Di dunia dimana pria berkuasa dan memuat aturan, pembagian kerja secara seksual antara pria dan wanita nampaknya sebagai sesuatu yang alamiah. Feminisme Post-Modern Feminisme ini ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial. KRITIK DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL Secara umum, feminis mempertanyakan diskriminasi yang dibentuk oleh struktur sosial dimana ruang gerak wanita dalam kancah perpolitikan dan kepemimpinan sangat dibatasi oleh budaya patriarki yang meletakkan wanita sebagai pribadi yang lemah, menurut dan harus dilindungi oleh pria. Kondisi ini dapat dilihat dalam bagaimana sistem perkawinan dan akses pengetahuan yang dirasa tidak merugikan wanita. Feminisme ini kemudian menjadi subjek penting dalam hubungan internasional ketika para feminis muncul dan mempertanyakan subjek kajian hubungan internasional yang hanya fokus pada perang, keamanan, dan rasionalitas yang identik dengan sifat maskulin. Salah satu feminis yang vokal menyuarakan penolakan ordinasi maskulinitas adalah Cynthia Enloe. Enloe menolak asumsi bahwa wanita selama ini tidak memiliki signifikansi dalam hubungan internasional sekaligus menolak pandangan bahwa maskulinitas cukup objektif untuk mengakomodasi pandangan pria dan wanita sekaligus.

Dalam kaitannya dengan luar negeri, studi feminisme melihat bagaimana rasionalitas pria kemudian membawa pada kebijakan decisive atas nama kepentingan nasional. Signifikani lain feminisme pada hubungan internasional adalah bagaimana feminisme dapat meningkatkan tendensi perdamaian dan kooperasi karena pendekatan-pendekatan yang dibawa oleh feminisme yang jauh dari aplikasi kekerasan dan power yang dekstruktif. Pendekatan feminisme dipercaya dapat mengurangi kecenderungan perang, terbukti dalam studi empiris, wanita lebih sedikit terlibat dalam organisasi internasional yang mengeluarkan keputusan untuk perang. Sikap persamaan gender dipercaya akan meningkatkan toleransi dan demokrasi yang akan memperbaiki tatanan sistem internasional. Untuk mewujudkan persamaan sosial seperti yang diharapkan, feminis ini kemudian berusaha terlibat lebih jauh dalam proses pembuatan keputusan ekonomi-politik. Untuk memberikan pondasi kritik yang kuat, para feminis berusaha mendefinisikan dirinya untuk mendapatkan metode yang empiris. Upaya empirisisasi ini kemudian dimanifestasikan ke dalam tiga pengklasifikasian feminisme, yaitu feminisme analitis,empiris dan normatif. Feminisme analitis menggunakan gender sebagai kategori teoretis untuk menyatakan bias dalam konsep hubungan internasional. Dalam perspektif ini, gender dimengerti bukan hanya pembedaan pria-wanita secara biologis namun lebih ke dalam konstruksi sosial yang asimetris tentang maskulinitas-feminisitas. Konsep feminisme dalam hubungan internasional sendiri tidak netral dengan inklusi gender secara murni, namun berasal dari struktur sosial politik dimana unsur hegemoni maskulinitas mengalami institusionalisasi. Secara empiris, para feminis berargumen bahwa terminologi power, kedaulatan, anarki, keamanan dan level analisis dalam hubungan internasional tidak akan terpisahkan dari pemisahan gender tentang sektor privat dan publik di tatanan domestik dan internasional, yaitu bagaimana konsep ini dapat timbul atas eksklusivitas pria dalam ilmu pengetahuan. Entitas yang lebih rendah harus ditempatkan di bawah entitas yang lebih tinggi yaitu rasionalitas dan negara, dalam hal ini direpresentasikan oleh pria. Feminis menentang adanya pemisahan publik-privat ini karena menurut mereka sistem anarki internasional akan berdampak pada sistem gender di ranah domestik dan sebagainya. Dalam level analisis konvensional, negara, individu, dan sistem internasional dipandang sebagai unit yang terpisah. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi para feminis

yaitu bagaimana medekonstruksi masing-masing level analisis itu. Dekonstruksi feminis terhadap realis juga menyentuh masalah power karena feminis menganggap power sebagai suatu identitas yang kompleks dan yang membentuk personalitas khusus dan bukan akumulasi pengaruh oleh pandangan realis. Perspektif feminisme normatif tidak lagi melihat diskriminasi dalam bentuk oposisi biologis ataupun pemikiran maskulin-feminin. Lebih jauh, feminis normatif melihat politik pengetahuan, yaitu bagaimana dan darimana posisi tertentu didapatkan dari suatu hirarki. Misalnya bagaimana wanita yang memiliki pemikiran kebijakan luar negeri maskulin dipandang lebih tinggi dari pria yang memiliki kebijakan luar negeri feminine. Selain penggolongan di atas, bagaimana timbulnya suatu diskriminasi juga membentuk taksonomi tersendiri dalam dunia feminisme. Feminisme liberal memandang manusia terlahir dengan hak-hak yang sama, oleh karena itu mereka memperjuangkan hakhak yang sama bagi laki-laki dan perempuan. Bentuk feminisme yang lain, feminisme marxisme memandang ketidakadilan terbentuk dari struktur kapitalisme yang eksploitatif sehingga dalam mengatasinya, wanita harus mampu mengambil peran dalam sistem kapitalis itu. Feminisme yang terakhir, feminisme radikal, menolak segala bentuk kerjasama laki-laki dan perempuan karena fokusnya adalah pergeseran ordinasi perempuan menggantikan dominasi laki-laki. Secara keseluruhan, agenda dan tujuan feminisme memang merupakan perjuangan yang patut didukung karena dapat mensejajarkan posisi pria dan wanita, terutama terkait dengan kenyataan bahwa talenta dan kemampuan yang dimiliki wanita sering melampui kapasitas pria. Namun feminisme ini masih perlu pengembangan lebih jauh lagi dengan konsep agenda yang lebih jelas, yaitu bagaimana cara konkret untuk mensejajarkan posisi dua gender tersebut. ANALISA KASUS DI INDONESIA Kasus gender dan feminism dalam hubungan internasional di Indonesia dapat dicontohkan dengan pengiriman Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri. Namun, di luar negeri, para wanita ini tidak jarang mengalami kekerasan dan diperlakukan dengan tidak pantas. Di Arab Saudi, seorang wanita berusia 24 tahun yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) jadi korban perkosaan di rumah majikannya pada 23 Juni 2008. Selain itu, ada lagi pengakuan dari Maryati seorang pembantu asal Cilacap, Jawa Tengah, mengaku tidak menerima gaji selama 24 bulan (dua tahun) sejak bekerja dengan majikannya, bahkan

dia diperkosa dua kali pada 2 Agustus 2010, di rumah majikannya saat anak-anak majikan pergi sekolah dan majikan wanita pergi ke kantor. Pemasalahan seperti yang dipaparkan di atas sudah tidak asing lagi di media massa. Awalnya kasus-kasus di atas memang akan diusut. Namun, kebanyakan akan berakhir gantung tanpa penyelesaian yang jelas mengenai tanggung jawab si pemerkosa. Perlindungan tenaga kerja wanita Indonesia yang bekerja di luar negeri masih lemah. Kondisi demikian tidak sebanding dengan antusiasme menjadi TKW. Banyak remaja dan ibu rumah tangga memilih bekerja sebagai pembantu rumah tangga di negeri orang. Mereka berharap dapat memperbaiki ekonomi keluarga serta mendapat upah yang besar. Korban TKW yang disiksa, dibunuh oleh majikan hampir selalu ada dan disiarkan berulang di berbagai media. Pemerintah hampir selalu ikut turun tangan dan angkat bicara. Namun ironisnya kejadian tersebut selalu terulang dan TKW terlanjur menjadi korbannya. Kekerasan, pelecehan, dan perampasan hak TKW ternyata masih belum mampu menjadikan pemerintah memberikan perlindungan rasa aman terhadap tenaga kerja wanita. Pemerintah hanya mampu menjadi mediator sesaat dalam hal perlindungan tenaga kerja wanita saat mereka bermasalah per individu per kasus. Bukti ketidakseriusan pemerintah dalam memberi perlindungan tenaga kerja wanita adalah terjadinya kekerasan berulang pada TKW yang ada di luar negeri. Kasus demi kasus kekerasan yang menimpa para tenaga kerja Indonesia di luar negeri terus saja terjadi. Naluri kita sebagai bangsa terusik mendengar dan melihat dari tayangan televisi tentang penderitaan secara fisik dan psikis yang dialami saudara-saudara kita di negeri orang demi sesuap nasi untuk menyambung hidup. Beberapa di antaranya malah ada yang meninggal dunia. Belum lagi yang mengalami pelecehan seksual sampai ada yang pulang membawa anak tanpa ayah yang jelas. Kekerasan yang menimpa para tenaga kerja di luar negeri sungguh membuat martabat dan harga diri bangsa ini sedemikian rendah. Kasus yang menimpa Sumiati, warga Kabupaten Dompu, NTB baru-baru ini memperpanjang daftar keprihatinan kita yang mendalam. Perlindungan terhadap TKI dari pemerintah, dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja, juga sangat lemah, sehingga setelah ada kejadian pemerintah baru ramai-ramai mengambil langkah penyelesaian. Kesannya pemerintah sangat reaktif dan tidak antisipatif. Satu-satunya cara untuk mengikat kepedulian mereka dan bisa dituntut secara hukum apabila dilanggar adalah dengan melakukan perjanjian tertulis, baik perjanjian antara

Indonesia dan negara pengguna TKI maupun pemerintah Indonesia dengan pihakpihak yang berkepentingan menggunakan jasa TKI. Di dalam Perpres No 81 Tahun 2006 berkaitan dengan tugas Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), hanya disebutkan dua jenis perjanjian tertulis, yaitu perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan negara tujuan penempatan TKI atau pemerintah negara Indonesia dengan pengguna yang berbadan hukum di negara tujuan penempatan TKI. Sedangkan Inpres No 6 Tahun 2006 menyebutkan hanya satu jenis perjanjian, yaitu perjanjian antara pemerintah negara Indonesia dan negara penerima TKI. Kedua peraturan itu sama sekali tidak mempersyaratkan dibuatnya perjanjian yang lebih khusus dengan pihak pengguna langsung, seperti unit-unit rumah tangga untuk sektor TKI pembantu rumah tangga. Sebab, permasalahannya selama ini justru pada tingkat pengguna langsung TKI di tingkat rumah tangga. Inilah yang sering bermasalah. Ketiadaan persyaratan perjanjian secara langsung ini menyebabkan lemahnya posisi tawar dan perlindungan hak asasi TKI pembantu rumah tangga kala berhadapan dengan pihak majikannya. Dari berbagai persoalan saja membelit TKI sampai saat ini, sudah saatnya ada kebijakan-kebijakan tertentu dari negara yang benar-benar menjamin keberadaan TKI di luar negeri, apalagi bermukim untuk waktu yang lama. Cerita miris nasib tenaga kerja wanita di luar negeri, seakan tak ada habisnya. Baru saja kita dengar di media beberapa waktu yang lalu berita tentang kekerasan tenaga kerja wanita di luar negeri. Salah satu contohnya adalah cerita tentang Karni binti Yono, TKW asal Kuningan, Jawa Barat, yang mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dari majikannya yang tinggal di kota Abha, Arab Saudi. Tidak hanya kekerasan fisik, perempuan 35 tahun itu juga mendapat kekerasan seksual. Tidak bisa dipungkiri menjadi pembantu atau pekerja kasar di Timur Tengah memang dihargai lebih baik ketimbang di negeri sendiri. Banyak sekali wanita-wanita yang tergiur untuk bekerja di luar negeri karena upah yang di terima memang jauh lebih besar dibandingkan jika bekerja di dalam negeri. Selain itu, keterbatasan kesempatan kerja di Indonesia semakin memotivasi wanita-wanita ini untuk bekerja di luar negeri. Tetapi tidak semua TKW bisa bernasib baik karena pada kenyataannnya banyak sekali kasus-kasus yang ditemukan tentang kekerasan yang dialami oleh TKW yang bekerja di luar negeri terutama di Arab Saudi. Lalu sebenarnya apakah yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan seksual pada TKW di Arab Saudi.

Beberapa hal yang disukai dan tidak disukai oleh orang-orang Timur Tengah, Mereka sangat senang terhadap orang asing yg bisa berbahasa Arab, karena komunikasi bisa menjadikan manusia lebih akrab. Kebanyakan orang Arab senang terhadap hal yang pasti,tidak ragu-ragu dan merespon pertanyaan mereka dengan cepat. Mereka (orang Arab) akan senang jika kita menjadi pendengar yang baik ketika mereka berbicara. Mereka sangat menghormati orang yg jujur. Sedangkan hal yang tidak disukai orang Arab adalah mereka tidak suka dibohongi. Tidak suka kepada orang yang peragu, jadi harus tegas dan pasti. Tidak suka terhadap orang yang mencampuri urusan mereka dan lain-lain. Tetapi secara umum sikap mereka sama dengan orang Indonesia kebanyakan,namun yang paling perlu adalah penguasaan bahasa Arab sehingga tidak ada miskomunikasi karena bisa saja masalah timbul akibat miskomunikasi. Selain itu, kurangnya ketrampilan yang dimiliki oleh TKW yang bekerja membuat mereka menjadi semakin mudah untuk mendapatkan kekerasan dari majikan mereka. Kurangnya perhatian pemerintah juga menjadi salah satu penyebabnya. Migrasi TKW merupakan bisnis pengiriman tenaga kerja ke luar negeri yang dimulai sejak 1979. Ketika komposisi buruh migran berubah tajam dengan melonjaknya jumlah perempuan. Negara paling banyak yang memperjakan perempuan (TKW) adalah Arab Saudi. Pengiriman TKW ke luar negeri, khusunya pembantu rumah tangga (PRT), tidak berpendidikan tetap melahirkan permasalahan. Demikian juga dengan jumlah TKW ilegal yang dikirim ke luar negeri jauh lebih banyak dari tenaga kerja asing yang dibutuhkan negara penerima. Masih banyak pembenahan ke dalam menyangkut perbaikan penyaluran tenaga kerja ke luar negeri. Lebih lanjut pembinaaan TKW di luar negeri menjadi tugas setiap KBRI dan agen PJTKI di negara masing-masing. Tapi tugas tersbut tidak dapat dijalankan secara intensif. Sebab banyaknya jumlah TKW yang bekerja di sektor domestik, sehingga kita mempercayakan sepenuhnya kepada majikan. Pengiriman TKW ke luar negeri memang memberikan keuntungan besar bagi negara. Tetapi, persoalannya masalah TKW terus muncul dan sulit diselesaikan per kasus karena menyangkut berbagai kepentingan, yang bersifat darurat dan lebih mengamankan investasi. Tidak mengherankan kepentingan TKW sangat terbatas dibandingkan kepentingan negara dan pengusaha. Serta tidak adanya sanksi tegas bagi lembaga yang mengurusi TKW. Peran negara jika melakukan kesalahan atau pelanggaran. Perizinan bagi pengerahan tenaga kerja yang akan dikirim ke luar negeri masih banyak kelemahan. Misalnya, nilai investasi pekerja

terhadap PJTKI, persoalan asuransi, tidak ada jaminan yang transparan untuk melindungi dari proses rekruitmen, hingga penempatan kembali TKW ke tempat tinggalnnya. Sedangkan kesalahan PJTKI selama ini sebagai agen penyalur tenaga kerja dalam merekrut manusia yang akan dipekerjakan dilakukan dengan cara merekrut sebanyak mungkin, tanpa adanya job order. Ketika ada job order dari negara yang membutuhkan (penerima), banyak TKW yang berebut dan tidak mendapatkan kesempatan karena tidak adanya tempat. Sehingga sebagian pekerja menunggu untuk mendapatkan panggilan. Tindakan kekerasan yang sering dialami TKW sering jadi fokus perhatian kita. Persoalannya, selama ini pemerintah tidak pernah dapat melindungi hak pekerja di luar negeri. Seperti diskriminasi berdasarkan gender yang terus berlangsung dari pelanggaran hakhak TKW dalam berbagai bentuk. Sumbangan TKW yang sangat besar tidak diimbangi dengan upaya perlindungan yang memadai. Sepanjang tahun kasus-kasus buruh migran dari tindakan kekeraasan yang berakibat kematiaan dan kasus pemerkosaan/pelecehan seksual dari TKW terus berlangsung. Memperlihatkan betapa pemerintah tidak berdaya dan membiarkan dengan mengorbankan warga negaranya untuk menanggung beban. Rendahnya kualitas sumber daya manusia TKW, kurangnya komitmen pemerintah untuk melindungi warga negaranya, dan ketimpangan hubungan Indonesia dengan negara penerima TKW. Sehingga negara penerima bertindak sewenang-wenang terhadap TKW. Jika dilihat perspektif feminisme pemerintah termasuk ke dalam feminisme sosialis karena pemerintah berusaha untuk menyetarakan peran antara laki-laki dan perempuan dan berusaha untuk membangun keadilan dan kesetaraan gender, selain itu pemerintah juga berusaha untuk membebaskan perempuan dari diskriminasi gender yang terjadi salah satunya adalah kekerasan seksual yang saat ini sedang marak terjadi. Sedangkan PJTKI sebagai agen penyalur tenaga kerja wanita Indonesia keluar negeri termasuk ke dalam feminisme liberal di mana perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual merupakan akibat dari keterbatasan kemampuan permpuan itu sendiri dalam hal ketrampilan, berkomunikasi, dan lain-lain. Solusi yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah kekerasan seksual pada TKW di Arab Saudi adalah dengan melakukan pengetatan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Arab Saudi. Pengetatan tersebut berupa seleksi yang lebih ketat untuk mengirimkan TKW yang memiliki kualifikasi yang dibutuhkan. Pengetatan pemberangkatan TKW tersebut merupakan langkah menuju pemberhentian pengiriman sementara atau moratorium. Akan

tetapi, pemerintah masih akan melakukan berbagai kajian sebelum benar-benar memutuskan untuk melakukan moratorium. Solusi lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan memberikan pelatihan keterampilan kepada calon TKW. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya pelatihan ini banyak dilanggar karena banyaknya sertifikat palsu yang dapat memungkinkan calon TKW diterima menjadi TKW tanpa melalui pelatihan keterampilan tersebut. Untuk TKI yang telah berangkat ke luar negeri, pemerintah harus melakukan pembenahan sistem pelaporan, termasuk menambah jumlah tenaga pengawas di atas ketenagakerjaan di Kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi. Menteri Tenaga Kerja dan transmigrasi, akan menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen) yang menjadi rujukan pencegahan pelecehan seksual di tempat kerja. Kepmen tersebut semacam pedoman awal yang memberikan pedoman dan menjadi ancaman agar pelecehan seksual tidak dilakukan. Dalam rangka menyusun program tersebut,

Kemenakertrans bekerjasama dengan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) untuk menyelenggarakan seminar Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja dengan narasumber dari Asosiasi Pengusaha Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Kementrian Pemberdayaan Perempuan, dan dari ILO. Solusi terakhir yang dapat dilakukan oleh TKW korban pelecehan seksual tersebut adalah dengan melaporkan hal tersebut kepada pihak berwajib agar segera mendapatkan proses hukum. Dalam banyak kasus pelecehan, korban seringkali diam dan tidak melapor karena merasa malu dan tidak percaya diri bahwa dirinya akan mendapatkan bantuan secara hukum.

You might also like