You are on page 1of 8

Teori Kebijakan Publik

Dilema Pembebasan Bea Impor Kedelai

Oleh: Meyrza Ashrie Tristyana Dio Safrial Truna Ahmad Primadi Rizkal Ula Patriot Mariefulsyah Deddy Prasetya Maharani Nikolas Lucky Permadi Nasoeka Adiyana Dahlan Bagus Wiendra Winaya 070913042 070913100 070913086 070913014 070913028 070913001 070913087 070913009 070913088

Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNIVERSITAS AIRLANGA 2012

Artikel: Kedelai Mahal, Importir Dicurigai Bermain. Kamis, 26 Juli 2012 , 14:58:00 WIB Oleh: Zulhidayat Siregar, dalam Rakyat Merdeka Online (http://www.rmol.co/read/2012/07/26/72397/Kedelai-Mahal,-Importir-Dicurigai-Bermain-)

Sebanyak 75 persen kebutuhan kedelai dalam negeri dipasok dari luar negeri, yang didominasi Amerika Serikat. Saat ini, negara Paman Sam tersebut, sedang mengalami kekeringan sehingga mengganggu pasokan kedelai dalam negeri. "Mahalnya harga kedelai ini karena tingginya ketergantungan pemerintah akan impor kedelai," ujar pengamat ekonomi-politik Syahganda Nainggolan. Saat ini banyak perajin tahu tempe mogok karena mahalnya harga kedelai sebagai bahan baku. Bahkan, harga kedelai sampai Rp 8 ribu per kilogram. Di samping itu, Syahganda mencurigai permainan importir kedelai yang suka memainkan harga pada saat orang butuh ketenangan dan kestabilan harga, seperti ketika Ramadhan dan Lebaran saat ini. "(Tapi) sekarang tidak hanya kartel kedelai, tapi semuanya juga bermain dalam situasi sekarang. Importir gula, semua mainanlah. Jadi perlu diselidiki keterlibatan importir yang memainkan harga," ungkapnya. Menurutnya, pasti ada kaitan antara kekeringan yang melanda negara produsen dengan permainan importir. "Pasti ada kaitan dua-duanya. Dimana ada kejadian seperti ini para pemain cari keuntungan," tandasnya.

Pembahasan: Garis besar perkembangan elit Indonesia adalah dari yang bersifat tradisional yang berorientasi kosmologis, dan berdasarkan keturunan kepada elit modern yang berorientasi

kepada negara kemakmuran, berdasarkan pendidikan. Elit modern ini jauh lebih beraneka ragam daripada elit tradisional1. Secara struktural ada disebutkan tenatang administratur-administratur, pegawaipegawai pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang profesional, dan para intelektual, tetapi pada akhirnya perbedaan utama yang dapat dibuat adalah antara elit fungsional dan elit politik. Yang dimaksud dengan elit fungsional adalah pemimpin-pemimpin yang baik pada masa lalu maupun masa sekarang mengabdikan diri untuk kelangsungan berfungsinya suatu negara dan masyarakat yang modern, sedangkan elit politik adalah orang-orang (Indonesia) yang terlibat dalam aktivitas politik untuk berbagai tujuan tapi biasanya bertalian dengan sekedar perubahan politik. Kelompok pertama berlainan dengan yang biasa ditafsirkan, menjalankan fungsi sosial yang lebih besar dengan bertindak sebagai pembawa perubahan, sedangkan golongan ke dua lebih mempunyai arti simbolis daripada praktis2. Elit politik yang dimaksud adalah individu atau kelompok elit yang memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan politik. Suzanne Keller mengelompokkan ahli yang mengkaji elit politik ke dalam dua golongan. Pertama, ahli yang beranggapan bahwa golongan elite itu adalah tunggal yang biasa disebut elit politik (Aristoteles, Gaetano Mosca dan Pareto). Kedua, ahli yang beranggapan bahwa ada sejumlah kaum elit yang berkoeksistensi, berbagi kekuasaan, tanggung jawab, dan hak-hak atau imbalan. (ahlinya adalah Saint Simon, Karl Mainnheim, dan Raymond Aron). Menurut Aristoteles, elit adalah sejumlah kecil individu yang memikul semua atau hampir semua tanggung jawab kemasyarakatan. Definisi elit yang dikemukakan oleh Aristoteles merupakan penegasan lebih lanjut dari pernyataan Plato tentang dalil inti teori demokrasi elitis klasik bahwa di setiap masyarakat, suatu minoritas membuat keputusankeputusan besar. Konsep teoritis yang dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles kemudian diperluas kajiannya oleh dua sosiolog politik Italias, yakni Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca. Pareto menyatakan bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan dalam kehidupan sosial dan politik. Kelompok kessil itu disebut dengan elit, yang mampu menjangkau pusat kekuasaan. Elit adalah orangorang berhasil yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto
1 2

Robert Van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia, Pustaka jaya, Jakarta, 1984, Hal. 12 Jayadi Nas, Konflik Elit Di Sulawesi Selatan Analisis Pemerintahan dan Politik Lokal, Hal. 33

mempertegas bahwa pada umumnya elit berasal dari kelas yang sama, yaitu orang-orang kaya dan pandai yang mempunyai kelebihan dalam matematika, bidang muasik, karakter moral dan sebagainya. Pareto lebih lanjut membagi masyarakat dalam dua kelas, yaitu pertama elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tiak memerintah (non governing elit). Kedua, lapisan rendah (non-elite) kajian tentang elit politik lebih jauh dilakukan oleh Mosca yang mengembangkan teori elit politik. Menurut Mosca, dalam semua masyarakat, mulai adri yang paling giat mengembangkan diri serta mencapai fajar peradaban, hingga pada masyarakt yang paling maju dan kuat selalu muncul dua kelas, yakni kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah, biasanya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Kelas yang diperintah jumlahnya lebih besar, diatur dan dikontrol oleh kelas yang memerintah. Pareto dan Mosca mendefinisikan elit sebagai kelas penguasa yang secara efektif memonopoli pos-pos kunci dalam masyarakat. Definisi ini kemduain didukung oleh Robert Michel yang berkeyakinan bahwa hukum besi oligarki tak terelakkan. Dalam organisasi apapun, selalu ada kelompok kecil yang kuat, dominan dan mampu mendiktekan kepentingannya sendiri. Sebaliknya, Lasswell berpendapat bahwa elit sebenarnya bersifat pluralistik. Sosoknya tersebar (tidak berupa sosok tunggal), orangnya sendiri beganti-ganti pada setiap tahapan fungsional dalam proses pembuatan keputusan, dan perannya pun bisa naik turun tergantung situasinya. Bagi Lasswell, situasi itu yang lebih penting, dalam situasi peran elit tidak terlalu menonjol dan status elit bisa melekat kepada siapa saja yang kebetuan punya peran penting. Dalam kasus isu kebijakan pembebasan bea impor kedelai, pihak elit dapat berasal dari luar pemerintahan Indonesia sendiri, yakni para importir kedelai. Karena dengan pembebasan bea impor kedelai, mereka dapat menguasai pasar. Hal ini tidak sesuai dengan harapan pemerintah untuk memotivasi para petani kedelai lokal. Saat ini sedang dicari rumusan kebijakan impor kedelai yang dapat mendorong peningkatan produksi dalam negeri. Berdasarkan pengalaman, ada beberapa kemungkinan kebijakan yang dapat digunakan. Program intensifikasi produksi komoditas kedelai dilakukan mulai tahun 1973 lewat program Bimbingan Massal (Bimas) dan Intensifikasi Massal (Inmas) palawija. Pada waktu

itu Departemen Pertanian mengingatkan Bulog untuk membatasi impor palawija agar tidak memukul produksi petani. Maka, langkah Bulog saat itu hanya mengawasi impornya. Selanjutnya tahun 1978 disepakati harga dasar kedelai dan jagung. Soedarsono Hadisapoetro, Menteri Pertanian saat itu, mengajukan rumusan dengan rasio harga gabah : jagung : kedelai > 1 : 1 : 2,5. Tahun 1979/1980 berlangsung program intensifikasi dan ekstensifikasi dengan penanaman kedelai secara besar-besaran. Selain itu juga dilakukan Program Intensifikasi Khusus (Insus) dengan perlakuan khusus pada Program Bimas dan untuk daerah baru ada Operasi Khusus (Opsus). Tahun 1980 Bulog diminta mengendalikan impor kedelai secara penuh. Sebagai tindak lanjut kewenangan Bulog, maka penjualan kedelai hanya untuk penggunanya, yaitu Koperasi Perajin Tahu dan Tempe Indonesia (Kopti). Daerah penyaluran juga dibatasi untuk daerah bukan sentra produksi kedelai. Untuk menjaga agar harga kedelai tetap baik, Bulog hanya mengimpor 70-80 persen dari kebutuhan. Semua program simultan untuk kedelai tersebut memberi hasil cukup

menggembirakan. Areal panen berkembang dari 745.000 hektar tahun 1973, naik menjadi 2,5 kali lipat pada tahun 1992. Produksi juga meningkat menjadi 1,8 juta ton tahun 1992 dibandingkan tahap awal Bimas/Inmas yang hanya 541.000 ton atau naik 3,5 kali. Kunci keberhasilan peningkatan produksi ini adalah keseriusan pemerintah dalam program peningkatan produksi, dukungan petani dan masyarakat. Selain itu juga ada insentif harga melalui pembatasan impor kedelai yang ketat dan insentif nonharga berupa Program Bimas/Inmas dilengkapi dengan Program Insus dan Opsus. Untuk menjaga agar harga tetap merangsang petani berproduksi ada berbagai cara: pengenaan bea masuk, pembatasan impor, dan impor hanya oleh lembaga yang ditunjuk pemerintah. Dari pengalaman, yang paling efektif untuk menjaga harga kedelai adalah model ketiga meski tampaknya sekarang kurang disukai. Kebijakan pengenaan bea masuk digunakan sejak tahun 2000 sampai sekarang. Semula kedelai kena bea masuk 10 persen, tetapi dengan adanya krisis harga kedelai tahun 2008 bea masuk impor kedelai diturunkan menjadi 5 persen. Bea masuk impor ini diturunkan lagi menjadi 0 persen tahun 2012 gara-gara perajin tahu dan tempe mogok berproduksi.

Dalam kenyataannya, model ini gagal menjalankan misi merangsang petani meningkatkan produksi. Produksi kedelai dalam negeri hancur, tinggal 600.000- 800.000 ton. Kebijakan impor kedelai dibatasi dengan kuota. Model ini dikembangkan tahun 1973 sampai 1979. Bulog bertugas mengawasi impor kedelai. Untuk memudahkan pengawasan, importir kedelai dihimpun dalam asosiasi importir kedelai. Asosiasi melapor ke Bulog tentang jumlah kedelai yang diimpor. Ternyata importir kedelai mengimpor lebih besar dari yang dilaporkan. Akhirnya untuk mengawasi jumlah yang diimpor, importir hanya dapat membuka letter of credit (L/C) pada bank yang ditunjuk oleh Bulog. Perkembangan selanjutnya sesuai dengan ketentuan pada saat itu: setelah diberlakukan harga dasar kedelai, Bulog ditugaskan menjadi importir tunggal kedelai. Kebijakan terakhir adalah pemberlakuan harga dasar dengan kombinasi hak eksklusif impor pada lembaga yang ditunjuk dan pembatasan impor. Memang kebijakan ini paling efektif menjaga harga yang ideal untuk petani. Dengan keseriusan pemerintah meningkatkan produksi, produksi kedelai sampai pada tingkat yang paling tinggi sepanjang sejarah perkedelaian. Karena harga pasar selalu di atas harga dasar, mulai tahun 1988 harga dasar kedelai dihapus. Untuk menilai efektivitas kebijakan impor terhadap pembentukan harga kedelai sebagai dasar evaluasi digunakan rasio harga beras dan kedelai di tingkat grosir. Kebijakan impor dengan pengenaan bea masuk yang berlaku dari tahun 2000 sampai sekarang, ternyata rasionya selalu di bawah 1,3 bahkan pada 2006 mendekati 1. Yang lebih memprihatinkan lagi tahun 2007 rasionya di bawah 1. Artinya, harga kedelai lebih murah dibandingkan harga beras. Saat berlakunya kebijakan Bulog sebagai importir tunggal yang dibarengi pembatasan jumlah impor, 1980-1997, angka rasionya dapat dipertahankan di atas 1,4 bahkan pada 1992 mencapai 1,5. Artinya, apabila dihitung dalam bentuk gabah, rasionya mencapai 2,2-2,4, mendekati rumusan ideal Prof Soedarsono. Kebijakan impor kedelai dengan cara pengawasan impor yang berlaku tahun 19731979 angka rasionya rata-rata 1,31, bahkan tahun 1979 angka rasionya hanya 1,08.

Dari pengalaman, kebijakan impor kedelai eksklusif dengan menunjuk lembaga pemerintah atau BUMN tertentu memang paling efektif menjaga harga dan produksi. Namun, cara ini harus dibarengi dengan program pemerintah secara besar-besaran untuk mendongkrak produksi kedelai, terutama untuk daerah-daerah baru. Saat ini diperkirakan kendala yang dihadapi sebenarnya sangat klasik, yaitu terbatasnya anggaran untuk intensifikasi dan ekstensifikasi kedelai. Oleh karena itu, disarankan pengaturan kebijakan dengan asumsi terdapat keterbatasan anggaran pemerintah untuk peningkatan produksi kedelai sebagai berikut. Kebijakan model pertama, ada kuota impor kedelai disertai kewajiban importir untuk membantu petani. Berdasarkan ketentuan, perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial membantu masyarakat sekitar. Ketentuan inilah yang dipakai sebagai dasar mewajibkan para importir kedelai membantu petani. Tentang bentuk bantuan dan cara membantu, secara teknis dapat dibicarakan dengan importir dan berlangsung bertahap. Yang penting adalah ada kesediaan untuk membantu petani. Kuota seperti hanya impor gula akan membuat harga tetap merangsang petani menanam kedelai. Kebijakan model kedua, impor kedelai dikaitkan dengan kesediaan importir untuk menyerap produksi lokal atau yang dikenal dengan busep atau bukti serap. Model ini pernah dilakukan pada industri pengolahan susu untuk menyerap susu dari peternak sapi. Kebijakan yang sama, impor kedelai dapat dilakukan kalau importir menunjukkan bukti telah membeli kedelai produksi petani. Hal ini secara teknis dapat dibicarakan dengan importir, berapa ketentuan harga untuk membeli kedelai dalam negeri, berapa perbandingan antara produksi lokal dan impor serta bagaimana verifikasinya. Yang penting di sini adalah kesediaan untuk menyerap produksi yang dikaitkan dengan izin impor. Yang jelas, kedua kebijakan tersebut diperkirakan akan mendapat reaksi dari mereka yang selama ini menikmati manisnya madu dari bebasnya impor kedelai. Mereka akan melawan kebijakan tersebut dengan berbagai cara, termasuk memengaruhi perajin tahu dan tempe. Untuk itu, diperlukan pemutus kebijakan yang berani melawan arus yang semuanya demi keberpihakan kepada petani.

Rakyat juga menunggu keberanian gubernur daerah produksi kedelai untuk menolak kedelai impor masuk ke daerahnya, apabila importir tidak mau menyerap kedelai lokal dengan harga yang disepakati oleh daerah. Perlu ditambahkan pengaturan impor kedelai hanya merupakan salah satu faktor pendorong bangkitnya produksi dalam negeri. Selain itu juga diperlukan keseriusan pemerintah pusat dan daerah untuk bertekad meningkatkan produksi kedelai. Mudahmudahan asumsi keterbatasan anggaran untuk peningkatan produksi kedelai tersebut salah dan semoga pemerintah lebih percaya diri menghadapi tekanan dari luar.

You might also like