You are on page 1of 28

REFERAT

ATTENTION DEFICIT HYPERACTIVITY DISORDER (ADHD)

Disusun oleh: Ajeng Pratiwi M B. Zanuar I. Desi Ekawati G0003035 G0005068 G0007055

Pembimbing : IGB. Indro Nugroho, dr., Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2011

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan referat Ilmu Kedokteran Jiwa dengan judul Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) . Referat ini kami susun sebagai tugas dalam menempuh kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran UNS Surakarta/RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Mardiatmi Susilohati, dr., Sp.KJ (K), selaku Kepala SMF Ilmu Kedokteran Jiwa RSUD Dr. Moewardi Surakarta. 2. IGB Indro Nugroho, dr., Sp.KJ, selaku Pembimbing yang telah membimbing dalam penyusunan referat ini. 3. Seluruh staf SMF Ilmu Kedokteran Jiwa, residen psikiatri, dan berbagai pihak yang telah membantu penyusunan referat ini. Penulis menyadari bahwa dalam referat ini, masih banyak kekurangan dan kekeliruan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan penulisan referat ini. Semoga apa yang telah penulis susun dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan menjadi bahan informasi.

Surakarta,

Mei 2011

Penulis

DAFTAR ISI

halaman KATA PENGANTAR ........................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................. .......ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1 B. Tujuan Penulisan ................................................................................ 1 C. Manfaat Penulisan ............................................................................. 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi ............................................................................................... 2 B. Kriteria ............................................................................................... 2 C. Epidemiologi ...................................................................................... 3 D. Etiologi ............................................................................................... 4 E. Diagnosis ............................................................................................ 6 F. Differensial Diagnosis ...................................................................... 10 G. Penatalaksanaan ............................................................................... 11 H. Prognosis .......................................................................................... 22 I. Simpulan .......................................................................................... 22 DAFTAR PUSTAKA 23

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Adanya kesenjangan antara perkembangan fisik, sosial dan psikologik yang berbeda pada masa remaja dapat menyebabkan masalah mental. Dalam proses perkembangannya seorang remaja akan menemukan beberapa peristiwa yang dapat menimbulkan stress dan mereka harus berjuang untuk mengatasinya. Apabila dalam proses perkembangan ini seorang remaja tidak dapat beradaptasi dengan lingkungannya maka keadaan ini dapat

mempengaruhi kesehatan mental baik ringan, sedang atau bahkan dapat menyebabkan gangguan mental (Faraone et al., 2003) Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas, atau sering dikenal dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan gangguan perilaku yang paling banyak didiagnosis pada anak-anak dan remaja (Sign, 2009). Prevalensi ADHD pada anak usia sekolah adalah 8 - 10 persen, hal tersebut menjadikan ADHD sebagai salah satu gangguan yang paling umum pada masa kanak-kanak (Pliszka, 2007; Merikangas, 2001). Gejala inti ADHD meliputi tingkat aktivitas dan impulsivitas yang tidak sesuai perkembangan serta kemampuan mengumpulkan perhatian yang terganggu (Reiff et al., 1993)

B. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan refrat ini adalah untuk mengetahui diagnosis dan penatalaksanaan ADHD.

C. Manfaat Penulisan Manfaat penulisan refrat ini adalah memberi pengetahuan kepada penulis dan pembaca mengenai diagnosis dan penatalaksanaan ADHD.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan gangguan perilaku yang paling banyak didiagnosis pada anak-anak dan remaja. Gejala intinya meliputi tingkat aktivitas dan impulsivitas yang tidak sesuai perkembangan serta kemampuan mengumpulkan perhatian yang terganggu. Anak dan remaja yang menderita gangguan tersebut akan sukar menyesuaikan aktivitas mereka dengan norma yang ada sehingga mereka sering dianggap sebagai anak yang tidak baik di mata orang dewasa maupun teman sebayanya. Mereka sering gagal mencapai potensinya dan memiliki banyak kesulitan komorbid seperti gangguan perkembangan, gangguan belajar spesifik dan gangguan perilaku serta emosional lainnya (Sign, 2009). Definisi terbaru dari ADHD pada edisi keempat Diagnostik dan Statistik Manual of Mental Disorders (DSM-IV; American Psychiatric Association, 1994) membedakan antara subtipe diagnostik ditandai dengan tingkat maladaptif dari kedua kurangnya perhatian dan hiperaktivitasimpulsivitas (tipe gabungan), maladaptif tingkat kurangnya perhatian saja (tipe terutama lalai), dan tingkat maladaptif dari hiperaktivitas-impulsivitas sendirian (tipe hiperaktif-impulsif dominan).

B. Kriteria ADHD adalah gangguan neurobehavioral paling umum dari masa kanak-kanak. ADHD merupakan salah satu kondisi yang paling umum dari kesehatan kronis yang mempengaruhi anak usia sekolah. Gejala inti ADHD yaitu : 1. Inatensi (gangguan pemusatan perhatian) Inatensi adalah bahwa sebagai individu penyandang gangguan ini tampak mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatiannya.

Mereka

sangat

mudah teralihkan oleh rangsangan yang tiba-tiba

diterima oleh alat inderanya atau oleh perasaan yang timbul pada saat itu. Dengan demikian mereka hanya mampu mempertahankan suatu aktivitas atau tugas dalam jangka waktu yang pendek, sehingga akan mempengaruhi proses penerimaan informasi dari

lingkungannya. 2. Hiperaktif (gangguan dengan aktivitas yang berlebihan) Hiperaktivitas adalah suatu gerakan yang berlebuhan melebihi gerakan yang dilakukan secara umum anak seusianya. Biasanya sejak bayi mereka banyak bergerak dan sulit untuk ditenangkan. Jika dibandingkan dengan individu yang aktif tapi produktif, perilaku hiperaktif tampak tidak bertujuan. Mereka tidak mampu mengontrol dan melakukan koordinasi dalam aktivitas motoriknya, sehingga tidak dapat dibedakan gerakan yang penting dan tidak penting. Gerakannya dilakukan terus menerus tanpa lelah, sehingga kesulitan untuk memusatkan perhatian. 3. Impulsivitas (gangguan pengendalian diri) Impulsifitas adalah suatu gangguan perilaku berupa tindakan yang tidak disertai dengan pemikiran. Mereka sangat dikuasai

oleh perasaannya sehingga sangat cepat bereaksi. Mereka sulit untuk memberi prioritas kegiatan, sulit untuk mempertimbangkan atau memikirkan terlebih dahulu perilaku yang akan ditampilkannya. Perilaku ini biasanya menyulitkan yang bersangkutan maupun lingkungannya. (Reiff et al., 1993; Barkley, 1996).

C. Epidemiologi Prevalensi yang dilaporkan pada anak yang mengalami ADHD

bervariasi dari 2 sampai 18 persen, tergantung pada kriteria diagnostik dan populasi yang dipelajari (Barabaresi et al., 2004; Froechlich et al., 2007). Prevalensi ADHD pada anak usia sekolah adalah 8 - 10 persen, hal tersebut menjadikan ADHD sebagai salah satu gangguan yang paling

umum pada masa kanak-kanak (Pliszka, 2007; Merikangas et al, 2007) Rasio ADHD pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan yaitu 4:1 ( untuk ADHD yang didominasi oleh hiperaktif) dan 2:1 (untuk ADHD yang didominasi oleh inatensi/kesulitan dalam memusatkan perhatian) (Green et al, 1999). Hasil survey yang dilakukan oleh National Survey of Childrens Health (NSCH) ada tahun 2007, prevalensi ADHD untuk anak laki-laki adalah 13,2 % dan pada anak perempuan 5,6 % (CDC, 2010). Di Inggris, survei dari 10.438 anak-anak antara usia 5 dan 15 tahun menemukan bahwa 3,62% dari anak laki-laki dan 0,85% anak perempuan telah ADHD (Ford dkk, 2003).

D. Etiologi Menurut Philips et al (2007), etiologi ADHD melibatkan saling keterkaitan antara faktor genetik dan lingkungan .
1. Pengaruh genetik

Gejala ADHD menunjukkan pengaruh genetik yang cukup kuat. Twin studi menunjukkan bahwa sekitar 75% dari variasi gejala ADHD di dalam populasi adalah karena faktor genetik (heritabilitas perkiraan 0,7-0,8). Pengaruh genetik tampaknya mempengaruhi distribusi gejala ADHD di seluruh penduduk dan bukan hanya dalam kelompok sub klinis.
2. Pengaruh lingkungan

Berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan otak saat perinatal dan anak usia dini berhubungan dengan peningkatan risiko ADHD tanpa gangguan hiperaktif. Faktor biologis yang berpengaruh terhadap ADHD yaitu ibu yang merokok, mengkonsumsi alkohol, dan mengkonsumsi heroin selama kehamilan; berat lahir sangat rendah dan hipoksia janin; cedera otak; dan terkena racun. Faktor risiko tidak bertindak dalam isolasi, tapi berinteraksi satu sama lain. Sebagai contoh, risiko ADHD terkait dengan konsumsi alkohol ibu pada

kehamilan mungkin lebih kuat pada anak-anak dengan gen transporter dopamin. Hasil penelitian Faron dkk, 2000, Kuntsi dkk, 2000, Barkley, 2003 (dalam MIF Baihaqi &Sugiarmin, 2006), yang mengatakan bahwa ADHD : a. Faktor genetika Bukti penelitian menyatakan bahwa faktor genetika merupakan faktor penting dalam memunculkan tingkah laku ADHD. Satu pertiga dari anggota keluarga ADHD memiliki gangguan, yaitu jika orang tua mengalami ADHD, maka anaknya beresiko terdapat faktor yang berpengaruh terhadap munculnya

ADHD sebesar 60 %. Pada anak kembar, jika salah satu mengalami. ADHD, maka saudaranya 70-80 % juga beresiko mengalami ADHD. Pada studi gen khusus beberapa penemuan menunjukkan bahwa molekul genetika gen-gen tertentu dapat menyebabkan munculnya ADHD. Dengan demikian temuan-temun dari aspek keluarga, anak kembar, dan gen-gen tertentu menyatakan bahwa ADHD ada kaitannya dengan keturunan. b. Faktor neurobiologis Beberapa dugaan dari penemuan tentang neurobiologis diantaranya bahwa terdapat persamaan antara ciri-ciri yang muncul pada ADHD dengan yang muncul pada kerusakan

fungsi lobus prefrontl. Demikian juga penurunan kemampuan pada anak ADHD pada tes neuropsikologis yang

dihubungkan dengan fungsi lobus prefrontal.

Temuan melalui

MRI (pemeriksaan otak dengan teknologi tinggi)menunjukan ada ketidaknormalan pada bagian otak depan. Bagian ini meliputi korteks prefrontal yang saling berhubungan dengan bagian dalam bawah korteks serebral secara kolektif dikenal sebagai basal ganglia. Bagian otak ini berhubungan dengan atensi,

fungsi eksekutif, penundaan respons, dan organisasi respons. Kerusakan-kerusakan daerah serupa dengan ini memunculkan ciri-ciri yang

ciri-ciri pada ADHD. Informasi lain bahwa

anak ADHD mempunyai korteks prefrontal lebih kecil dibanding anak yang tidak ADHD. E. Diagnosis Untuk menemukan kriteria diagnosisnya, penting untuk

mengetahui gejala di bawah ini : 1. 2. 3. Onsetnya sebelum usia 7 tahun (ADHD) atau 6 tahun (HKD) Sudah jelas nampak minimal selama 6 bulan Harus pervasif (ada pada lebih dari 1 setting, misal : rumah, sekolah, lingkungan sosial) 4. 5. Menyebabkan gangguan fungsional yang signifikan Tidak ada penyebab gangguan mental lainnya ( misal : gangguan perkembangan pervasif, skizofrenia, gangguan psikotik lainnya, depresi atau anxietas) 6. Morbiditas penyerta meliputi kegagalan akademis, perilaku antisosial, delinquency/ kenakalan, dan peningkatan resiko

kecelakaan lalulintas pada remaja. Sebagai tambahan, dapat pula timbul pengaruh yang dramatis di kehidupan keluarga Kriteria diagnosis ADHD and HKD telah diubah dengan masingmasing revisinya di DSM-IV-TR dan ICD10. Mungkin akan ada revisi kriteria selanjutnya untuk menunjukkan permasalahan yang menonjol seperti subtipe gangguan, usia onset dan aplikabilitas kriteria melewati batas kehidupan. Kriteria DSM IV dan ICD-10 saat ini sama, dengan perbedaan secara primer pada derajat beratnya gejala dan pervasiveness. 1. DSM membagi kriteria menjadi 2 : inatentif dan hiperaktif impulsif. Enam dari 9 gejala di tiap seksi harus terdapat tipe kombinasi dari diagnosis ADHD. Jika gejala tidak mencukupi untuk diagnosis kombinasi, maka tersedia diagnosis untuk predominan (ADHDI) dan hiperaktif (ADHD-H). Gejalanya juga harus : kronis (selama 6 bulan),

maladaptif, gangguan secara fungsional pada 2 atau lebih konteks, inkonsisten dengan tingkat perkembangan dan berbeda dengan gangguan mental lainnya. Jadi DSM disini mengidentifikasi 3 subtipe ADHD: tipe predominan inatentif (gejala khas inatensi namun tidak hiperaktivitas/impulsivitas); tipe predominan hiperaktif impulsif (gejala khas hiperaktivitas/impulsivitas) namun tidak inatensi); dan tipe kombinasi (yang tanda gejalanya inatensi dan

hiperaktivitas/impulsivitas). 2. ICD menggunakan nomenklatur yang berbeda; Gejala-gejala yang sama dideskripsikan sebagai bagian dari kelompok gangguan hiperkinetik masa kanak, dan harus ada inatensi, hiperaktivitas dan impulsivitas; jadi hanya mengkualifikasikan ADHD tipe kombinasi. Kriteria diagnosis ICD bersifat lebih terbatas : gejalanya harus ditemukan semua pada lebih dari 1 konteks. Lebih jauh lagi, ada kriteria eksklusi yang sangat terbatas : sedangkan gangguan psikiatrik penyerta yang ada diperbolehkan berdasarkan DSM-IV-TR, diagnosis gangguan hiperkinetik tidak dibuat jika kriteria untuk gangguan tertentu lainnya, meliputi keadaaan anietas ditemukan-kecuali jika gangguan hiperkinetik ini merupakan tambahan dari gangguan lainnya. Maka dari itu gangguan hiperkinetik (ICD-10) menggambarkan suatu kelompok yang membentuk subkelompok berat dari subtipe ADHD kombinasi milik DSM-IV-TR. Gangguan hiperkinetik lebih jauh lagi dibagi menjadi gangguan hiperkinetik dengan atau tanpa gangguan konduksi (gangguan tingkah laku).

Table 1. Kriteria DSM-IV-TR untuk disorder (ADHD) A. Salah satu (1) atau (2)

attention deficit hyperactivity

1. Gangguan pemusatan perhatian (inatensi) : enam (atau lebih) gejala inatensi berikut telah menetap seama sekurang-kurangnya 6 bulan bahkan sampai tingkat yang maladaptif dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan. a. Sering gagal dalam memberikan perhatian pada hal yang detail dan

10

tidak teliti dalam mengerjakan tugas sekolah, pekerjaan atau aktivitas lainnya. b. Sering mengalami kesulitan dalam mempertahankan perhatian terhadap tugas atau aktivitas bermain. c. Sering tidak tampak mendengarkan apabila berbicara langsung d. Sering tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelessaikan tugas sekolah, pekerjaan, atau kewajiban di tempat kerja (bukan karena perilaku menentang atau tidak dapat mengikuti instruksi) e. Sering mengalami kesulitan dalam menyusun tugas dan aktivitas f. Sering menghindari, membenci atau enggan untuk terlibat dalam tugas yang memiliki usaha mental yang lama ( seperti tugas disekolah dan pekerjaan rumah) g. Sering menghilangkan atau ketinggalan hal-hal yang perlu untuk tugas atau aktivitas (misalnya tugas sekolah, pensil, buku ataupun peralatan) h. Sering mudah dialihkan perhatiannya oleh stimuladir dari luar. i. Sering lupa dalam aktivitas sehari-hari 2. Hiperaktivitas impulsivitas : enam (atau lebih) gejala hiperkativitasimplusivitas berikut ini telah menetap selama sekurang-kurangnya enam bulan sampai tingkat yang maladaptif dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan. Hiperaktivitas a. Sering gelisah dengan tangan dan kaki atau sering menggeliat-geliat di tempat duduk b. Sering meninggalkan tempat duduk dikelas atau di dalam situasi yang diharapkan anak tetap duduk c. Sering berlari-lari atau memanjat secara berlebihan dalam situasi yang tidak tepat (pada remaja mungkin terbatas pada perasaan subyektif kegelisahan) d. Sering mengalami kesulitan bermain atau terlibat dalam aktivitas waktu luang secara tenang e. Sering siap-siap pergi atau seakan-akan didorong oleh sebuah gerakan f. Sering berbicara berlebihan Impusivitas g. Sering menjawab pertanyaan tanpa berfikir lebih dahulu sebelum pertanyaan selesai h. Sering sulit menunggu gilirannya i. Sering menyela atau mengganggu orang lain (misalnya : memotong masuk ke percakapan atau permainan) B. Beberapa gejala hiperaktif-impulsif atau inatentif yang menyebabkan gangguan telah ada sebelum usia 7 tahun C. Beberapa gangguan akibat gejala terdapat dalam 2 (dua) atau lebih situasi (misalnya disekolah atau pekerjaan di rumah) D. Harus terdapat bukti yang jelas adanya gangguan yang bermakna secara klinis dalam fungsi sosial, akademik dan fungsi pekerjaan

11

E. Gejala tidak semata-mata selama gangguan perkembangan pervasif, skizopfrenia atau gangguan psikotik lain dan bukan merupakan gangguan mantal lain (gangguan mood, gangguan kecemasan, gangguan disosiatif atau gangguan kepribadian) Adapted from Diagnostic and Statistical Manual of Psychiatric Disorders DSMIV-TR (2000) with permission from the American Psychiatric Association.

Table 2. Kriteria ICD-10 untuk gangguan hiperkinetik 1. Kekurangan perhatian - Setidaknya enam gejala perhatian telah berlangsung selama minimal 6 bulan, untuk tingkat yang maladaptif dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan anak: a. Sering gagal untuk memberikan perhatian dekat dengan rincian, atau membuat kesalahan ceroboh dalam pekerjaan sekolah b. pekerjaan atau kegiatan lain c. Sering gagal mempertahankan perhatian dalam tugas-tugas atau kegiatan bermain d. Sering tampak tidak mendengarkan apa yang dikatakan kepadanya e. Sering gagal menindaklanjuti instruksi atau untuk menyelesaikan tugas sekolah, tugas atau tugas di tempat kerja (bukan karena perilaku oposisi atau kegagalan untuk memahami instruksi) f. Apakah sering terganggu dalam mengatur tugas dan kegiatan g. Sering menghindari atau sangat tidak menyukai tugas-tugas, seperti pekerjaan rumah, yang memerlukan berkelanjutan mental usaha h. Sering kehilangan hal yang diperlukan untuk tugas-tugas tertentu dan kegiatan, seperti sekolah, tugas, pensil, buku, mainan atau alat i. Apakah sering mudah terganggu oleh rangsangan eksternal j. Apakah sering pelupa dalam rangka kegiatan sehari-hari 2. Hiperaktif - Setidaknya tiga gejala hiperaktif telah berlangsung selama minimal 6 bulan, untuk tingkat yang maladaptif dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan anak: a. Sering gelisah dengan tangan atau kaki atau menggeliat di tempat duduk b. Sering meninggalkan tempat duduk di kelas atau dalam situasi lain di mana sisa duduk adalah diharapkan c. Sering berjalan sekitar atau memanjat berlebihan dalam situasi di mana tidak patut (dalam remaja atau orang dewasa, hanya perasaan gelisah dapat hadir d. Apakah sering terlalu berisik dalam bermain atau memiliki kesulitan dalam melakukan tenang di waktu luang kegiatan

12

e. Sering menunjukkan pola gigih dari aktivitas motorik yang berlebihan yang tidak substansial diubah oleh konteks sosial atau tuntutan 3. Impulsif - Setidaknya salah satu gejala berikut impulsif telah berlangsung selama minimal 6 bulan, untuk tingkat yang maladaptif dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan anak: a. Sering blurts keluar jawaban sebelum pertanyaan yang telah diselesaikan b. Sering gagal menunggu di garis atau menunggu putaran dalam permainan atau situasi kelompok c. Sering menyela atau intrudes pada orang lain (misalnya, puntung ke percakapan orang lain atau permainan) d. Sering berbicara berlebihan tanpa respon yang tepat untuk kendala sosial 4. Timbulnya gangguan tersebut tidak lebih dari usia 7 tahun. 5. Pervasiveness - Kriteria harus dipenuhi lebih dari situasi tunggal, misalnya, kombinasi dari kurangnya perhatian dan hiperaktif harus hadir baik di rumah maupun di sekolah, atau di sekolah baik dan pengaturan lain mana anak-anak yang diamati, seperti klinik. (Bukti untuk crosssituationality biasanya akan membutuhkan informasi dari lebih dari satu sumber, laporan orang tua tentang perilaku kelas, misalnya, tidak akan cukup.) 6. Gejala dalam 1 dan 3 menyebabkan distress klinis signifikan atau penurunan fungsi sosial, akademis atau pekerjaan. Adapted from ICD10: Classification of Mental and Behavioural Disorders (1992) with permission from the World Health Organization F. Differensial Diagnosis 1. Gangguan tingkah laku (anti sosial) 2. Ansietas 3. Gangguan belajar

13

G. Tatalaksana Algoritma dasar untuk tatalaksana ADHD (Hill and Taylor, 2001)

14

1. Terapi non farmakologis 1) Intervensi Psikososial a. Intervensi psikososial berdasarkan klinis i. Intervensi psikososial keluarga Intervensi psikososial tipe bahavioral yang didasarkan pada keluarga komorbid. ii. Terapi individual Intervensi psikososial individual tidak direkomendasikan rutin. b. Intervensi psikososial berdasarkan sekolah Anak dengan ADHD/ gangguan hiperkinetik membutuhkan program intervensi sekolah individual meliputi intervensi direkomendasikan untuk terapi behavioral

behavioral dan akademik. 2) Intervensi diet Ada sedikit bukti mengenai keuntungan pemberian suplemen mineral (besi, magnesium, seng) pada ADHD/gangguan hiperkinetik. Beberapa bukti menyebutkan kadar seng yang rendah pada rambut dan urin berkaitan dengan respon yang buruk terhadap

methylphenidate, meskipun belum terdapat studi yang menyebutkan bahwa suplementasi seng dapat memperbaiki respon terhadap obat. Suplementasi asam lemak esensial mungkin bermanfaat, khususnya pada individu yang kadar asam lemak tak jenuhnya rendah. Namun belum ada bukti yang cukup untuk mendukung pemakaian rutin suplementasi mineral untuk manajemen ADHD (Konofal et al., 2008). Permasalahan mengenai gula halus dan zat makanan tambahan buatan memiliki efek samping pada perilaku anak, masih menjadi konflik. Dalam bukti sekarang ini, tidaklah mungkin

merekomendasikan restriksi atau eliminasi makanan pada anak dengan ADHD (MrCann et al , 2007).

15

Hal-hal o o o o

yang

bisa

diperhatikan

dari

diet

untu

anak

ADHD/gangguan hiperkinetik, antara lain : Bahan makanan aditif Suplementasi asam lemak omega-3 dan omega-6 (Clayton et al., 2007) Suplementasi besi, seng, magnesium (Bilici et al., 2004) Antioksidan (Bateman et al., 2004)

3) Intervensi komplementer dan alternatif Di antaranya meliputi : o Bach flower remedies (Pintof et al., 2005) o Homeopathy (Coulter et al., 2007) o Massage theraphy (Khilnani et al., 2003) o Neurofeedback (Beauregard et al., 2006) 4) Intervensi sosial dan komunitas 5) Intervensi multimodal

2. Terapi Farmakologis Terdapat 3 obat lisensi untuk terapi ADHD/ gangguan hiperkinetik di Amerika Serikat : methylphenidate hydrochloride, dexamfetamine sulphate dan atomoxetine. Methylphenidate dan atomoxetine digunakan untuk usia 6 tahun atau lebih, sedangkan dexamphetamine untuk usia 3 tahun atau lebih. Medikasi tidak direkomendasikan untuk usia pre sekolah. Inisiasi terapi farmakologis anak ADHD harus di bawah kendali dokter spesialis, baik psikiatrik anak dan remaja maupun pediatrik, yang telah menjalani pelatihan penggunaan dan monitoring medikasi

psikotropik. Harus dilakukan penilaian fisik dasar terlebih dahulu sebelum terapi farmakologis dimulai, minimal meliputi : nadi, tekanan darah, berat dan tinggi badan dengan grafik centile yang sesuai dalam ukuran parameter. EKG sebaiknya dipertimbangkan pada kasus-kasus tertentu. Klinisi harus menginformasikan keuntungan potensial dan efek samping

16

medikasi. Keuntungan lanjutan dan kebutuhan untuk medikasi dinilai minimal 1 tahun sekali. 1) Psikostimulan Studi-studi metanalisis dengan kualitas yang tinggi (durasi minimal 2 minggu) menggunakan psikostimulan (methylphenidate dan dexamphetamine) atau psikostimulant (atomoxetine), menyimpulkan bahwa keduanya efektif untuk terapi ADHD, meskipun psikostimulan memiliki pengaruh yang lebih besar. Psikostimulan yang biasa digunakan di USA adalah methylphenidate (MPH) dan

dexamphetamine (DEX). Methylphenidate tersedia dalam bentuk immediate atau modified release untuk memfasilitasi medikasi sepanjang hari. DEH digunakan untuk anak usia 2 tahun atau lebih, sedangkan MPH untuk usia 6 tahun atau lebih. DEX efektif untuk mengatasi gejala inti ADHD/ gangguan hiperkinetik. Psikostimulan merupakan terapi lini pertama untuk mengatasi gejala inti ADHD atau gangguan hiperkinetik. Efek samping yang paling sering muncul : insomnia, nafsu makan berkurang, nyeri perut, sakit kepala dan pening. Sebagian besar efek samping psikostimulan jangka pendek sering berkaitan dengan dosis dan bersifat subyektif. Efek samping akan berkurang dalam waktu 1-2 minggu dari awal terapi dan akan hilang jika terapi dihentikan atau dosisnya diturunkan dan biasanya nampak pada anak usia pre-sekolah. Saat pertama kali memberikan dan menitrasi psikostimulan, kontak reguler antara keluarga dan klinisi sangatlah penting karena berkaitan dengan pertanyaan dan penilaian yang diperlukan.

Tabel 3 : Efek samping psikostimulan dan pilihan manajemen yang disarankan Efek samping Pilihan manajemen Anoreksia, nausea, Berikan obat bersama makanan penurunan berat badan Pertimbangkan reduksi dosis atau penghentian obat Monitor berat dan tinggi badan menggunakan grafik persentil 17

Edukasi diet, tambahan kalori menyangkut Jika signifikan (jarang dalam jangka panjang) atau menyebabkan kecemasan pada orang tuanya, upayakan penghentian medikasi saat akhir minggu atau liburan. Kesulitan tidur (bandingkan Berikan edukasi sleep hygiene dengan kesulitan tidur Kurangi atau hilangkan medikasi malam atau sebelum terapi) akhir sore (namun catat bahwa beberapa pasien membaik dengan medikasi malam tambahan). Pertimbangkan penggantian ke atomoxetine Pening dan sakit kepala Bersifat sementara. Jika persisten, monitor teliti (cek tekanan darah), turunkan dosis/hentikan medikasi, pastikan obat dimakan dengan makanan dan edukasi intake cairan. Jika persisten, Pergerakan involunter, Tics Kurangi, atau jika persisten, hentikan dan sindrom Tourette medikasi. Monitoring pre dan post terapi tics. Pertimbangkan alternatif lainnya (misal TCA) jika gejalanya berat. Hilangnya spontanitas, Turunkan atau hentikan medikasi (hentikan disforia, agitasi jika timbul gangguan piir atau suspek psikosisjarang terjadi) Iritabilitas, behavioural Monitor ketat, kurangi atau overlap dosis sore rebound hari; evaluasi komorbid (ODD/CD) Hal yang pertumbuhan Jika telah diberikan dosis efektif, maka perlu dilakukan review secara teratur untuk mengecek tingkat perilaku dan efek sampingnya, tinggi/berat badan dan tekanan darah. Keadaan berat badan ideal serta pengukuran tinggi badan dan penghitungan centil velocity memungkinkan untuk deteksi dini masalah pertumbuhan yang signifikan, meskipun ini jarang terjadi. Tes darah sebaiknya dilakukan berdasarkan kebijakan klinisis dan hanya jika diindikasikan secara klinis. Pemberian resep psikostimulan dimulai dengan dosis sekecil mungkin dan titrasi dengan jadwal 2-3 kali sehari, tingkatkan dosis dengan interval per minggu sampai didapatkan respon yang memuaskan atau efek samping yang mengganggu. Perlu diingat bahwa efek samping psikostimulan berkaitan dengan dosis, maka tentukan dosis efektif terendah yang menghasilkan efek terapeutik maksimum dan efek samping

18

minimum. Rekomendasi dosis terutama dosis harian maksimum yang disarankan, belum ditentukan oleh penelitian. Secara tradisional

pendekatan pada jadwal obat yang teliti telah dianjurkan dengan regimen yang ditentukan secara empiris. Respon terhadap MPH dan DEX bervariasi dan tidak dapat diprediksi dengan dasar suatu dosis atau berat badan. Keduanya merupakan obat polar yang diekskresikan dengan cepat dan tidak terakumulasi di lemak tubuh. Pemberian berdasarkan sifat respon psikostimulan yang bervariasi memberikan keuntungan bagi beberapa anak yang memerlukan dosis lebih tinggi. Jadwal dosis berdasarkan berat dapat membatasi titrasi dosis yang pas utuk anak yang membutuhkan dosis yang lebih tinggi untuk mengontrol gejala mereka. Sebaliknya, metode titrasi dosis tipe pil (fixed pill-type dose titration methods) dapat memaparkan anak yang kecil ke dosis yang tinggi, dan potensial menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan. Tabel 4: Dose Ranges in Literature for Psychostimulant Treatment Source Block, 1998 123 Findling and Dogin, 1998 124 Pliszka, 1998 125 AACAP, 199730 NHMRC(Ausi),1996 126 Methylphenidate 0.3 - 0.6 mg/kg/dose 0.3 - 0.8 mg/kg/dose Up to 1 mg/kg/dose 0.3 - 0.7 mg/kg/dose Max 1.5 mg/kg/day Dexamphetamine 0.15 - 0.3 mg/kg/dose 0.15 - 0.35 mg/kg/dose Max 0.75 mg/kg/day

Frekuensi dosis sebaiknya ditentukan berdasarkan masing-masing individu. Pemberian 3 x sehari dan bukannya 2 x sehari memberikan keuntungan pencapaian efek terapi di malam hari, yang mungkin diinginkan untuk proyek PR atau kegiatan malam hari yang sudah direncanakan. Ada sedikit bukti obyektif interferensi mayor pemakaian regimen ini terhadap tidur. Bagaimanapun juga jika terjadi gangguan tidur, maka dosis akhir petang dapat diturunkan atau dihentikan. Beberapa guru melaporkan bahwa efek dosis dini hari hilang pada pertengahan pagi. Pada

19

kasus yang demikian dosis pertengahan pagi dapat dijadwalkan pada jam 10.30 11 am, dengan dosis pertama pada hari tersebut diberikan antara jam 7 dan jam 8 pagi. Pada sebagian besar kasus, medikasi diteruskan selama 7 hari per minggu untuk memperoleh keuntungan maksimum dengan memperhatikan masalah kontrol perilaku yang terjadi di rumah, sekolah dan masyarakat. Drug holidays selama akhir minggu atau liburan mungkin diperlukan jika terjadi hal serius yang menyangkut pertumbuhan anak. Jika terdapat gangguan hiperkinetik/ADHD persisten sampai pada usia dewasa atau pada kasus-kasus dimana gejala inti cepat timbul kembali bila psikostimulan dihentikan, maka diperlukan terapi jangka panjang. Jika tidak ada perbedaan berarti pada perilaku anak saat ia menjalani/ tidak menjalani pengobatan, maka terapi bisa dihentikan untk periode yang lama. Jika tak ada perbedaan yang besar pada anak yang menjalani terapi dan kesukaran perilaku tetap berlanjut, maka perlu untuk mengevaluasi kembali dosisnya, mengganti dengan medikasi lain, atau mengevaluasi ulang strategi psikologis dan behavioralnya. Psikostimulan tak perlu dihentikan pada onset pubertas karena keefektifannya baik pada remaja dan dewasa. 2) Atomoxetine Peresepan atomoxetine untuk individu dibawah 70 kg didasarkan pada berat badannya. Atomoxetine dimulai dengan dosis awal rendah 0,5 mg/kg/hari minimal 7 hari sebelum ditingkatkan ke dosis maintanance 1,2 mg/kg/hari. Pengaruh atomoxetine bisa tidak nampak selama 4 minggu atau lebih. Saat terapi dimulai, keefektifannya akan timbul selama periode 24 jam atau lebih dengan kemungkinan efek yang lebih besar pada 12 jam atau lebih dari waktu setelah minum obat. Kombinasi awal jangka pendek medikasi psikostimulan mungkin perlu selama fase transisi.

20

Tabel 5: Manajemen efek samping atomoxetin Side effects Anorexia, nausea, weight loss, growth concerns Management options Gastrointestinal effects may be temporary during first few days of treatment. Administer medication with food. Consider dose reduction. Monitor height and weight using centile charts. Provide dietetic advice; caloric augmentation. Stop medication immediately and seek specialist help. Monitor for suicidal ideation, clinical worsening of mood and unusual changes in behaviour. New onset of suicidal behaviour should prompt discontinuation of medication pending further assessment. Administer at a different time of day or reduce dose. Reduce dose and monitor effect. Investigate and consider discontinuation or dose reduction. Stop medication immediately and seek specialist advice.

Jaundice, signs of liver disease or biliary obstruction Self harm or suicidal ideation

Somnolence Dysphoria, agitation Tachycardia, hypertension Syncope suspected to have cardiac origin

Atomoxetine direkomendasikan untuk terapi gejala inti ADHD/ gangguan hiperkinetik pada anak yang tidak cocok, intoleransi atau

inefektif dengan medikasi psikostimulan. Pada pemberian atomoxetin, klinisi harus mereview minimal selama 6 bulan, meliputi penilaian keefektifan, efek samping dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan, nadi, tekanan darah menggunakan grafik persentil. Monitoring tambahan diperlukan pada penderita yang memiliki resiko kardiovaskuler,

hepatobilier, kejang dan resiko bunuh diri besar. 3) Antidepresan trisiklik (TCAs) Merupakan obat yang paling banyak ditemukan dan medikasi nonstimulan yang banyak dipelajari untuk terapi ADHD/ gangguan

21

hiperkinetik. TCAs meliputi : imipramine, desipramine, amitriptyline, nortriptyline and clomipramine. TCAs dipetimbangkan untuk terapi gejala behavioral ADHD/ gangguan hiperkinetik. Kelompok obat ini lebih berpengaruh pada gejala behavioralnya daripada terhadapa gejala kognitifnya. TCAs memiliki batas keamana yang lebih sempit daripada psikostimulan, disertai dengan rentang efek samping potensial yang lebih lebar. Antidepresan trisiklik tidak boleh digunakan rutin untuk terapi ADHD/ gangguan hiperkinetik pada anak dan hanya digunakan pada anak yang tidak respon terhadap medikasi yang dianjurkan. Efek samping yang biasanya muncul meliputi anoreksia, mulut kering ( dengan rasa logam dan asam), pening, ngantuk, letargi dan insomnia, disertai dengan gejala antikolinergik lainnya. Iritabilitas, mania, mudah lupa, dan bingung merupakan tanda-tanda toksisitas sistem saraf pusat. TCAs khususnya desipramine, memiliki potensi kardiotoksik. Belum ada konsensus maupun penelitian yang menentukan rekomendasi terapi TCAs dan regimen dosis optimumnya. Dosis harian total rata-rata berdasarkan trial klinis 2,2 mg.kg/hari, dengan rentang 0,7-6,3 mg/kg.hari untuk imipramine, desipramine, amitriptilin dan klormipramin, sedang 0,4-4,5 mg/kg/ hari untuk nortriptilin. Rencana terapi didasarkan pada kondisi masing-masing individu, namun sebaiknya tetap dilakukan pengukuran berikut : Vital sign, pemeriksaan kardiovaskuler, dan EKG (nb. EKG belum berarti bebas dari efek kardiotoksik). Monitoring EKG sebaiknya dilakukan sebelum dan sesudah terapi. Dan hati-hati pada pasien yang memiliki riwayat penyakit jantung personal dan keluarga. Mulai dengan dosis terbagi yang rendah dari imipramine atau amitriptiline (10-25 mg/hari) atau nortriptiline (5-10 mg/hari) dan peringatkan akan efek samping yang mungkin timbul.

22

Titrasi dosis sedikit demi sedikit dengan interval beberapa hari sambil dimonitor efek sampingnya sampai target kira-kira 1-2 mg/kg/hari untuk imipramin dan amitriptilin serta 0,5-1 mg/kg/ hari untuk nortriptilin.

Jika tingkat dosis telah ditentukan, nilai ulang dan tanyakan mengenai efek samping dan perilakunya secara klinis. Disarankan mengecek EKG dan serum level jika menggunakan dosis di luar batas. Pemakaian jangka panjang memerlukan re-evaluasi periodik berkaitan dengan perumbuhan dan perkembangan anak. Reaksi withdrawal TCAs yang cepat perlu dihindari untuk mencegah influenza like symptoms karena cholinergic rebound. Hal ini meliputi malaise, menggigil, gejala coryzal, sakit kepala, muntah dan nyeri otot. Social withdrawal, hiperaktivitas, depresi, agitasi, dan insomnia juga dapat terjadi. Pasien dengan compliance yang rendah dapat mengalami periodic self-induced acute withdrawal yang dapat disalahartikan sebagai efek samping obat, dosis yang tidah adekuat, gangguan psikiatrik yang memburuk. Dan hal ini membuat manajemen menjadi sukar.

4) Obat lainnya Pemakaian sejumlah obat alternatif lain dalam manajemen ADHD/ gangguan hiperkinetik harus di bawah pengawasan dokter spesialis. Obat alternatif tersebut meliputi : klonidin, guanfacine, buproprion, venlafaxine, SSRIs dan neuroleptik. Pemakaian obat alternatif dipertimbangkan jika terdapat gangguan komorbid (misal anxietas, depresi, tics, respon kurang atau efek samping psikostimulan atau TCA). a. Alpha-2-agonist a) Klonidin Klonidin merupakan agonis alpha-2 adrenergik, dikenal sebagai antihipertensi. Obat ini dapat mengurangi gejala ADHD, dan terdapat penurunan yang besar saat dikombinasikan dengan methylphenidate dibandingkan jika diberikan sendiri. Diberikan 3 kali sehari dengan dosis

23

maksimum 0,6 mg per hari tergantung respon dan efek samping yang muncul, atau 2 kali sehari dengan dosis total 0,10-0,20 mg/kg/ hari. Dalam sebuah studi,individu yang menerima klonidin mengalami penurunan tekanan sistolik yang lebih besar dibanding kontrol dan mengalami sedasi transien serta pening. Klonidin dipertimbangkan untuk anak yang tak responsif atau tidak toleransi terhadap psikostimulan atau atomoxetine. dikombinasikan Dapat dengan digunakan sendiri maupun disesuaikan

methylphenidate

dengan kasus masing-masing individu. Klinisi harus memonitor tekanan darah dan nadi serta tanda-tanda oversedasi. Penghentian klonidin harus bertahap untuk menghindari adanya rebound phenomenon. b) Guanfacine Efek samping mayor dari guanfacine adalah sedasi dan fatigue. Makin ditingkatkan dosisnya, tekanan darah dan nadi akan makin rendah. Belum ada cukup data untuk merekomendasikan obat ini. b. Antidepresan selain TCAs (reboxetine, selegiline, bupropion) c. Antipsikotik d. Modafinil e. Nikotin 5) Terapi obat kombinasi Kombinasi obat meningkatkan resiko interaksi efek samping potensial, misal pada peningkatan TCAs pada pemakaian bersama psikostimulan, toksisitas potensial pada kombinasi klonidin dan

psikostimulan, intraventricular conduction delays pada pimozide dan TCAs, dan interferensi dengan metabolisme obat seperti warfarin dan beberapa antiepileptik. Fluoxetin (SSRI) dilaporkan efektif tanpa efek samping berlebih, jika dikombinasikan dengan psikostimulan untuk

24

sejumlah kesil anak dengan ADH/ gangguan hiperknetik dan depresi komorbid, ODD, CD atau gangguan obsesif kompulsif.

H. Prognosis Gejala hiperaktif akan berkurang pada masa adolescence, sedangkan gejala impulsive dan emosi yang labil akan menetap. Anak dengan ADHD pada waktu dewasa sering masih mempunyai gejala agresif dan menjadi pencandu minuman keras/alkoholisme).

Prognosis lebih baik bila didapatkan fungsi intelektual yang tinggi, dukungan yang kuat dari keluarga, temen teman yang baik, diterima di kelompoknya dan diasuh oleh gurunya serta tidak mempunyai satu atau lebih komorbid gangguan psikiatri.

I. Simpulan ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders) merupakan suatu peningkatan aktifitas motorik hingga pada tingkatan tertentu yang menyebabkan gangguan perilaku yang terjadi, setidaknya padadua tempat dan suasana yang berbeda dan kondisi yang sangat umum di antara anakanak. Penyebab pasti dan patologi ADHD masih belum terungkap secara jelas. Seperti halnya gangguan autism, ADHD merupakan statu kelainan yang bersifat multi faktorial. Banyak faktoryang dianggap sebagai penyebab gangguan ini, diantaranya adalah faktor genetik,perkembangan otak saat kehamilan, perkembangan disfungsi otak saat perinatal, tingkat

kecerdasan(IQ),

terjadinya

metabolisme,

ketidakteraturan

hormonal, lingkungan fisik, sosial danpola pengasuhan anak oleh orang tua, guru dan orang-orang yang berpengaruh di sekitarnya. Melihat penyebab ADHD yang belum pasti terungkap dan ada beberapa teori penyebabnya, maka tentunya terdapat banyak terapi atau cara

dalam penanganannya sesuai dengan landasan teori penyebabnya.

25

DAFTAR PUSTAKA

Barbaresi W, Katusic S, Colligan R, et al. How common is attentiondeficit/hyperactivity disorder? Towards resolution of the controversy: results from a population-based study. Acta Paediatr Suppl 2004; 93:55. Barkley RA. Attention Deficit Hyperactivity Disorder: A Handbook for Diagnosis and Treatment. 2nd ed. New York, NY: Guilford Press; 1996 Bateman B, Warner JO, Hutchinson E, Dean T, Rowlandson P, Grant C, et al. The effects of a double blind, placebo controlled, artificial food colourings and benzoate preservative challenge on hyperactivity in a general population sample of preschool children. Archives of Disease in Childhood 2004;89(6):506-11. Beauregard M, Levesque J. Functional magnetic resonance imaging investigation of the effects of neurofeedback training on the neural bases of selective attention and response inhibition in children with attention-deficit/hyperactivity disorder. Applied Psychophysiology & Biofeedback 2006;31(1):3-20. Bilici M, Yildirim F, Kandil S, Bekarolu M, Yildirmi S, Deer O,et al. Double-blind, placebo-controlled study of zinc sulfate in the treatment of attention deficit hyperactivity disorder. Progress in Neuro-Psychopharmacology and Biological Psychiatry.2004;28(1):181-90. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Increasing prevalence of parentreported attention-deficit/hyperactivity disorder among children --- United States, 2003 and 2007. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 2010; 59:1439. Clayton EH, Hanstock TL, Garg ML, Hazell PL. Long chain omega-3 polyunsaturated fatty acids in the treatment of psychiatric illnesses in children and adolescents. Acta Neuropsychiatrica. 2007;19(2):92-103. Coulter MK, Dean ME. Homeopathy for attention deficit/hyperactivity disorder or hyperkinetic disorder. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2007(4):(CD005648). Eric Taylor, Tim Kendall , Philip Asherson et al. 2008. Attention deficit hyperactivity disorder: Diagnosis and management of ADHD in children, young people and adults. Faraone SV, Sergent J, Gillberg C, Biederman J. The worldwide prevalence of ADHD : is it an American condition?. World Psychiatry. 2003 ; 2: 104-13.

26

Froehlich TE, Lanphear BP, Epstein JN, et al. Prevalence, recognition, and treatment of attention-deficit/hyperactivity disorder in a national sample of US children. Arch Pediatr Adolesc Med 2007; 161:857. Green, M, Wong, M, Atkins, D, et al. Diagnosis of Attention Deficit/Hyperactivity Disorder: Technical Review 3. US Department of Health and Human Services, Agency for Health Care Policy and Research; Rockville, MD, 1999. Hill P., Taylor, E. 2001. An auditable protocol for treating attention decit/hyperactivity disorder. London UK. Arch Dis Child. 84: pp 404409 Khilnani S, Field T, Hernandez-Reif M, Schanberg S. Massage therapy improves mood and behavior of students with attentiondeficit/hyperactivity disorder. Adolescence 2003;38(152):623 Konofal E, Lecendreux M, Deron J, Marchand M, Cortese S, Zaim M, et al. Effects of iron supplementation on attention deficit hyperactivity disorder in children. Pediatr Neurol 2008;38(1):20-6. McCann D, Barrett A, Cooper A, Crumpler D, Dalen L, Grimshaw K, et al. Food additives and hyperactive behaviourin 3-year-old and 8/9-year-old children in the community: a randomised, double-blind Merikangas KR, He JP, Brody D, et al. Prevalence and treatment of mental disorders among US children in the 2001-2004 NHANES. Pediatrics 2010; 125:75. Moore, David P. Eds. 2006. Little Black Book of Psychiatry. Jones and Bartlett Publishers. The 3rd Edition, pp: 45-48. Moore. Kent L. Recent advances in the genetics off attention deficit hyperactivity disorder. Curr Psychiatry Res 2004; 6: 143. Philip Asherson, Simon Bailey, Karen Bretherton et al. Diagnosis and management of ADHD in children, young people and adults. 2008 Pintov S, Hochman M, Livne A, Heyman E, Lahat E. Bach flowerremedies used for attention deficit hyperactivity disorder inchildren - a prospective double blind controlled study. European Journal of Paediatric Neurology 2005;9(6):395-8. Pliszka S, AACAP Work Group on Quality Issues. Practice parameter for the assessment and treatment of children and adolescents with attentiondeficit/hyperactivity disorder. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry 2007; 46:894. Reiff MI, Banez GA, Culbert TP. Children who have attentional disorders: diagnosis and evaluation. Pediatr Rev. 1993;14:455465

27

SIGN. Management of attention deficit and hyperkinetic disorders in children and young people. Edinburgh: Scottish Intercollegiate Guidelines Network. 2009

28

You might also like