You are on page 1of 52

KOMPLIKASI YANG TERJADI PADA TRAUMA KAPITIS

Komplikasi 1 2 3 Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal. Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini, minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis meyulitkan penghentian sekresi hormone antidiupetik.

Penatalaksanaan Medik Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik seperti hipotesis atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan otak (Tunner, 2000). Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada pendertia cedera kepala (Turner, 2000). Penatalaksanaan umum adalah sebagai berikut : Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi. Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma. Berikan oksigenasi. Awasi tekanan darah Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neuregenik. Atasi shock Awasi kemungkinan munculnya kejang. Penatalaksanaan lainnya: 1 2 3 4 5 6 Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi. Pemberian analgetika Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin). Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5% , aminofusin, aminofel (18 jam pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikana makanan lunak. Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp). Pemberian protein tergantung nilai urea N. CT Scan : mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran ventrikel pergeseran cairan otak. MRI : sama dengan CT Scan dengan atau tanpa kontraks. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma. serebral seperti

Pemeriksaan Dianostik: 1 2 3

4 5 6 otak.. 7 8 9 10 11 12

EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang). BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada otak. Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam peningkatan TIK. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang. Pada kontusio segera terjadi kehilangan kesadaran. Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal. Respon pupil mungkn lenyap. Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap seiring dengan peningkatan TIK. Dapat timbul mual-muntah akibat peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat timbul segera atau secara lambat.

Gambaran klinis secara umum pada trauma kapitis : ; ; ; ; ; ;

Mekanisme cedera kepala 1 2 3 Akselerasi, ketika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam. Contoh : akibat pukulan lemparan. Deselerasi. Contoh : kepala membentur aspal. Deformitas. Dihubungkan dengan perubahan bentuk atau gangguan integritas bagan tubuh yang dipengaruhi oleh kekuatan pada tengkorak.

Tipe-Tipe Trauma :

Trauma Kepala Terbuka: Faktur linear daerah temporal menyebabkan pendarahan epidural, Faktur Fosa anterior dan hidung dan hematom faktur lonsitudinal. Menyebabkan kerusakan meatus auditorius internal dan eustachius. Trauma Kepala Tertutup Comosio Cerebri, yaitu trauma Kapitis ringan, pingsan + 10 menit, pusing dapat menyebabkan kerusakan struktur otak.

2 ;

; ;

Contusio / memar, yaitu pendarahan kecil di jaringan otak akibat pecahnya pembuluh darah kapiler dapat menyebabkan edema otak dan peningkatan TIK. Pendarahan Intrakranial, dapat menyebabkan penurunan kesadaran, Hematoma yang berkembang dalam kubah tengkorak akibat dari cedera otak. Hematoma disebut sebagai epidural, Subdural, atau Intra serebral tergantung pada lokasinya.

Ada berbagai klasifikasi yang di pakai dalam penentuan derajat kepala. The Traumatic Coma Data Bank mendefinisakan berdasarkan skor Skala Koma Glasgow (cited in Mansjoer, dkk, 2000: 4): Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah) ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan orientatif) Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi) Tidak ada intoksikasi alkohaolatau obat terlarang Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit kepala Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat. Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor) Konkusi Amnesia pasca trauma Muntah Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle,mata rabun,hemotimpanum,otorhea atau rinorhea cairan serebrospinal). Skor skala koma glasglow 3-8 (koma) Penurunan derajat kesadaran secara progresif Tanda neurologis fokal Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.

Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)

Cidera kepala berat (kelompok resiko berat) ; ; ; ;

Menurut Keperawatan Klinis dengan pendekatan holistik (1995: 226): Cidera kepala ringan /minor ; ; SKG 13-15 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.Tidak ada fraktur tengkorak,tidak ada kontusio cerebral,dan hematoma. SKG 9-12 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.Dapat mengalami fraktur tengkorak. SKG 3-8

Cidera kepala sedang ; ;

Cidera kepala berat ;

Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam,juga meliputi kontusio serebral,laserasi atau hematoma intrakranial.

Annegers ( 1998 ) membagi trauma kepala berdasarkan lama tak sadar dan lama amnesia pasca trauma yang di bagi menjadi : 1 2 3 Cidera kepala ringan,apabila kehilangan kesadaran atau amnesia berlangsung kurang dari 30 menit Cidera kepala sedang,apabila kehilangan kesadaran atau amnesia terjadi 30 menit sampai 24 jam atau adanya fraktur tengkorak Cidera kepala berat,apabiula kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam,perdarahan subdural dan kontusio serebri.

Data tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan cedera dan mungkin diperlukan oleh cedera tambahan pada organ-organ vital. Aktivitas/ Istirahat Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan. Tanda : Perubahan kesehatan, letargi Hemiparase, quadrepelgia Ataksia cara berjalan tak tegap Masalah dalam keseimbangan Cedera (trauma) ortopedi Kehilangan tonus otot, otot spastik Sirkulasi Gejala : Perubahan darah atau normal (hipertensi) Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi bradikardia disritmia). Integritas Ego Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis) Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung depresi dan impulsif. Eliminasi Gejala : Inkontenensia kandung kemih/ usus atau mengalami gngguan fungsi. Makanan/ cairan Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera. Tanda : Muntah (mungkin proyektil) Gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia). Neurosensoris Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus kehilangan pendengaran, fingking, baal pada ekstremitas. Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma Perubahan status mental Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri) Wajah tidak simetri Genggaman lemah, tidak seimbang Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah Apraksia, hemiparese, Quadreplegia Nyeri/ Kenyamanan Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda biasanya koma. Tnda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.

Pernapasan Tanda : Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Nafas berbunyi stridor, terdesak Ronki, mengi positif Keamanan Gejala : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan Tanda : Fraktur/ dislokasi Gangguan penglihatan Gangguan kognitif Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekutan secara umum mengalami paralisis Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh Interaksi Sosial Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang.

TRAUMA KAPITIS
Posted in Neurologi by DokMud's Blog

3 Votes

PENDAHULUAN(4) Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan resusitasi, anamnesis dan pemeriksaan fisis umum serta neurologis harus dilakukan secara serentak. Pendekatan yang sistematis dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital. Tingkat keparahan cedera kepala, menjadi ringan segera ditentukan saat pasien tiba di rumah sakit. DEFINISI Trauma kapitis adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi neurologis. (1) SINONIM (1) Cedera kepala, Cranicerebral trauma, Head injury

PATOFISIOLOGI (1) Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis bergantung pada : 1. Besar dan kekuatan benturan 2. Arah dan tempat benturan 3. Sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima benturan Sehubungan dengan pelbagai aspek benturan tersebut maka dapat mengakibatkan lesi otak berupa : Lesi bentur (Coup) Lesi antara (akibat pergeseran tulang, dasar tengkorak yang menonjol/falx dengan otak, peregangan dan robeknya pembuluh darah dan lain-lain = lesi media) Lesi kontra (counter coup) Lesi benturan otak menimbulkan beberapa kejadian berupa : 1. Gangguan neurotransmitter sehingga terjadi blok depolarisasi pada sistem ARAS (Ascending Reticular Activating System yang bermula dari brain stem) 2. Retensi cairan dan elektrolit pada hari pertama kejadian 3. Peninggian tekanan intra kranial ( + edema serebri) 4. Perdarahan petechiae parenchym ataupun perdarahan besar 5. Kerusakan otak primer berupa cedera pada akson yang bisa merupakan peregangan ataupun sampai robeknya akson di substansia alba yang bisa meluas secara difus ke hemisfer sampai ke batang otak 6. Kerusakan otak sekunder akibat proses desak ruang yang meninggi dan komplikasi sistemik hipotensi, hipoksemia dan asidosis Akibat adanya cedera otak maka pembuluh darah otak akan melepaskan serotonin bebas yang berperan akan melonggarkan hubungan antara endotel dinding pembuluh darah sehingga lebih perniabel, maka Blood Brain Barrier pun akan terganggu, dan terjadilah oedema otak regional atau diffus (vasogenik oedem serebri) Oedema serebri lokal akan terbentuk 30 menit sesudah mendapat trauma dan kemudian oedema akan menyebar membesar. Oedema otak lebih banyak melibatkan sel-sel glia, terutama pada sel astrosit (intraseluler) dan ekstraseluler di substansia alba. Dan ternyata oedema serebri itu meluas berturut-turut akan mengakibatkan tekanan intra kranial meninggi, kemudian terjadi kompresi dan hypoxic iskhemik hemisfer dan batang otak dan akibat selanjutnya bisa menimbulkan herniasi transtetorial ataupun serebellar yang berakibat fatal. Ada sekitar 60-80 % pasien yang meninggal dikarenakan menderita trantetorial herniasi dan kelainan batang otak tanpa adanya lesi primer akibat trauma langsung pada batang otak. Kerusakan yang hebat yang disertai dengan kerusakan batang otak akibata proses diatas mengakibatkan kelainan patologis nekroskortikal, demyelinisasi diffus, banyak neuron yang rusak dan proses gliosis, sehingga jika penderita tidal meninggal maka bisa terjadi suatu keadaan vegetatif dimana penderita hanya dapat membuka matanya tanpa ada daya apapun (akinetic-mutism/coma vigil, apallic state, locked in syndrome). Akinetic mutism coma vigil lesi terutama terjadi pada daerah basal frontal yang bilateral dan/atau daerah mesensefalon posterior. Locked in syndrome kerusakan terutama pada eferen motor pathway dan daerah depan pons. Apallic states kerusakan luas pada daerah korteks serebri. Sistem peredaran darah otak mempunyai sistem autoregulasi untuk mempertahankan Cerebral Blood Flow (CBF) yang optimal sehingga Tekanan Perfusi Otak (TPO) juga adekuat (TPO minimal adalah sekitar 40-50 mmHg untuk mensuplai seluruh daerah otak). Jika Tekanan Intra Kranial (TIK) meninggi maka menekan kapiler serebral sehingga terjadi serebral hipoksia diffus mengakibatkan kesadaran akan menurun. Peninggian TIK mengakibatkan CBF dan TPO menurun, maka akan terjadi kompensasi (Cushing respons), penekanan pada daerah medulla oblongata, hipoksia pusat vasomotor,

sehingga mengakibatkan kompensasi vasokonstriksi perifer (peninggian tekanan darah sistemik) bradikardi,, pernafasan yang melambat dan muntah-muntah. TIK yang meninggi mengakibatkan hypoxemia dan respiratori alkalosis (PO2 menurun dan PCO2 meninggi) akibatnya terjadi vasodilatasi kapiler serebral. Selama pembuluh darah tersebut masih sensitif terhadap tekanan CO2), maka CBF dan TPO akan tercukupi. Jika kenaikan TIK terlalu cepat maka Cushing respons tidaklah bisa selalu terjadi. Demikian pula jika penurunan tekanan darah sistemik terlalu cepat dan terlalu rendah maka sistem autoregulasi tidak dapat berfungsi dan CBF pun akan menurun sehingga fungsi serebral terganggu. Selain yang tersebut diatas peninggian TIK juga dapat menyebabkan gangguan konduksi pada pusat respirasi dan pusat kardiovaskuler di batang otak. Akibatnya pols berubah cepat dan lemah serta tekanan darah sistemik akan drops menurun secara drastis. Respirasi akan berubah irreguler, melambat dan steatorous. Pada cedera otak berat terjadi gangguan koordinasi di antara pusat pernafasan volunter di korteks dengan pusat pernafasan automatik di batang otak. Ternyata bahwa herniasi serebellar tonsil ke bawah yang melewati foramen magnum hanya mempunyai efek yang minimal terhadap sistem kecepatan dan ritme pernafasan, kecuali jika herniasinya memang sudah terlalu besar maka tiba-tiba saja bisa terjadi respiratory arrest. MONITORING KLINIS(1,5) Untuk memudahkan para perawat memonitor secara intensif perkembangan tingkat kesadaran penderita per-jam dan per-hari secara ketat, dibuatlah suatu Skala Koma Glasgow (oleh Bryan Jennett) yang menyangkut masalah buka mata, repons verbal dan respons motorik. Pelaksanaannya sangat mudah sehingga bisa cepat di mengeti dan diterapkan oleh para perawat. Jika pengamatan tingkat kesadaran penderita trauma kapitis tidak cukup lengkap atau hanya dengan SKG, maka belumlah dapat menggambarkan keadaan neurologik penderita yang sebenarnya. Observasi neurologik terus menerus penderita koma haruslah disertai dengan : 1. Monitor fungsi batang otak Besar dan reaksi pupil Okulosefalik respons (Dolls eye phenomen) Okulovestibuler respons/okuloauditorik respons 2. Monitor pola pernafasan (untuk melihat lesi-proses lesi) Cheyne Stokes : lesi di hemisfer atau mesensefalon atas Central neurogenic hyperventilation : lesi dibatas mesensefalon dengan pons Apneustic breathing : lesi di pons Ataxic breathing : lesi di medulla oblongata 3. Pemeriksaan fungsi motorik Kekuatan otot Refleks tendon, tonus otot 4. Pemeriksaan funduskopi 5. Pemeriksaan radiologi : X foto tengkorak, CT-Scan, MRI atau kalau perlu EEG Meskipun kenyataan bahwa 70 % X foto tengkorak yang dilakukan pada semua kasus trauma kapitis adalah normal tetapi demi kepentingan medikolegal X-ray foto tengkorak wajib rutin dilakukan. SKALA KOMA GLASGOW(1,4,5) Nilai Buka Mata Spontan 4 Atas perintah 3 Terhadap nyeri 2

Tak ada reaksi 1 Respons Verbal Orientasi baik 5 Bingung-bingung 4 Kata-kata ngawur 3 Kata-kata tak dimengerti 2 Tak ada reaksi 1 Respons Motorik Gerak turut perintah 6 Menghindari terhadap nyeri 5 Flexi withdrawal 4 Flexi abnormal 3 Ekstensi terhadap nyeri 2 Tak ada reaksi 1 Dengan bantuan pemeriksaan radiologi X foto polos/Brain CT-Scan/MRI dapat melihat kelainan-kelainan berupa fraktur, edema, kontusio jaringan, hematoma intrakranial dan lainlain. KLASIFIKASI(1,3,4) Ada beberapa jenis klasifikasi trauma kapitis, tetapi dengan pelbagai pertimbangan dari berbagai aspek, maka bagian neurologi menganut pembagian sebagai berikut : a. Trauma kapitis yang tidak membutuhkan tindakan operatif (95%) terdiri atas : 1. Komosio serebri 2. Kontusio serebri 3. impressi fraktur tanpa gejala neurologis (< 1 cm) 4. Fraktur basis kranii 5. Fraktur kranii tertutup b. Trauma kapitis yang memerlukan tindakan operatif (1-5%) 1. Hematoma intra kranial yang lebih besar dari 75 cc Epidural Subdural Intraserebral 2. Fraktur kranii terbuka ( + laserasio serebri) 3. Impressi fraktur dengan gejala neurologis ( > 1 cm) 4. Likuorrhoe yang tidak berhenti dengan pengobatan konservatif Sebagai penambah pengetahuan perlu dijelaskan bahwa ada beberapa sentra yang membagi klasifikasi atas dasar sehubungan dengan Skala Koma Glasgow-nya yaitu : Mild head injury SKG score : 13-15 Moderate head injury SKG score : 9-13 Severe head injury SKG score : < 8 Jika angka SKG dibawah 8 dan komanya lebih dari 6 jam maka menunjukkan kerusakan otak yang parah dan prognosa biasanya jelek. Lebih dalam dan lama komanya juga menggambarkan atau mempunyai korelasi dengan lebih dalamnya letak kerusakan otaknya. 1. KOMOSIO SEREBRI (1,2) (gegar otak, insiden : 80 %) Komosio serebri yaitu disfungsi neuron otak sementara yang disebabkan oleh trauma kapitis tanpa menunjukkan kelainan mikroskopis jaringan otak. Patologi dan Simptomatologi Benturan pada kepala menimbulkan gelombang tekanan di dalam rongga tengkorak yang kemudian disalurkan ke arah lobang foramen magnum ke arah bawah canalis spinalis dengan demikian batang otak teregang dan menyebabkan lesi iritatif/blokade sistem reversible terhadap sistem ARAS. Pada komosio serebri secara fungsional batang otak lebih menderita daripada fungsi hemisfer. Keadaan ini bisa juga terjadi oleh karena tauma tidak langsung yaitu jatuh terduduk sehingga energi linier pada kolumna vertebralis diteruskan ke atas sehingga juga meregangkan batang otak. Akibat daripada proses patologi di atas maka terjadi gangguan kesadaran (tidak sadar kurang dari 20 menit) bisa diikuti sedikit penurunan tekanan darah, pols dan suhu tubuh. Muntah dapat juga terjadi bila pusat muntah dan keseimbangan di medula oblongata terangsang. Gejala : - pening/nyeri kepala - tidak sadar/pingsan kurang dari 20 menit - amnesia retrograde : hilangnya ingatan pada peristiwa beberapa lama sebelum kejadian kecelakaan (beberapa jam sampai beberapa hari). Hal ini menunjukkan keterlibatan/gangguan pusat-pusat di korteks lobus temporalis. - Post trumatic amnesia :

(anterograde amnesia) lupa peristiwa beberapa saat sesudah trauma. Derajat keparahan trauma yang dialaminya mempunyai korelasi dengan lamanya waktu daripada retrograde amnesia, post traumatic amnesia dan masa-masa confusionnya. Amnesia ringan disebabkan oleh lesi di hipokampus, akan tetapi jika amnesianya berat dan menetap maka lesi bisa meluas dari sirkuit hipokampus ke garis tengah diensefalon dan kemudian ke korteks singulate untuk bergabung dengan lesi diamigdale atau proyeksinya ke arah garis tengah talamus dan dari situ ke korteks orbitofrontal. Amnesi retrograde dan anterograde terjadi secara bersamaan pada sebagian besar pasien (pada kontusio serebri 76 % dan komosio serebri 51 %). Amnesia retrograde lebih sering terjadi daripada amnesia retrograde. Amnesia retrograde lebih cepat pulih dibandingkan dengan amnesia anterograde. Gejala tambahan : bradikardi dan tekanan darah naik sebentar, muntah-muntah, mual, vertigo. (vertigo dirasakan berat bila disertai komosio labirin). Bila terjadi keterlibatan komosio medullae akan terasa ada transient parestesia ke empat ekstremitas. Gejal-gejala penyerta lainnya (sindrom post trauma kapitis), adalah nyeri kepala, nausea, dizziness, sensitif terhadap cahaya dan suara, iritability, kesukaran konsentrasi pikiran, dan gangguan memori. Sesudah beberapa hari atau beberapa minggu ; bisa di dapat gangguan fungsi kognitif (konsentrasi, memori), lamban, sering capek-capek, depresi, iritability. Jika benturan mengenai daerah temporal nampak gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol. Prosedur Diagnostik : 1. X foto tengkorak 2. LP, jernih, tidak ada kelaina 3. EEG normal Terapi untuk komosio serebri yaitu : istirahat, pengobatan simptomatis dan mobilisasi bertahap. Setiap penderita komosio serebri harus dirawat dan diobservasi selama minimal 72 jam. Awasi kesadarannya, pupil dan gejala neurologik fokal, untuk mengantisipasi adanya lusid interval hematom. 2. KONTUSIO SEREBRI (1,2,3) (memar otak, insiden : 15-19 %) Kontusio serebri yaitu suatu keadaan yang disebabkan trauma kapitis yang menimbulkan lesi perdarahan intersitiil nyata pada jaringan otak tanpa terganggunya kontinuitas jaringan dan dapat mengakibatkan gangguan neurologis yang menetap. Jika lesi otak menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan, maka ini disebut laserasio serebri. Patofisiologi dan Gejala : Pasien tidak sadar > 20 menit Fase I = fase shock Keadaan ini terjadi pada awal 2 x 24 jam disebabkan : - kolaps vasomotorik dan kekacauan regulasi sentral vegetatif - temperatur tubuh menurun, kulit dingin, ekstremitas dan muka sianotik - respirasi dangkal dan cepat - nadi lambatsebentar kemudian berubah jadi cepat, lemah dan iregular - tekanan darah menurun - refleks tendon dan kulit menghilang - babinsky refleks positif - pupil dilatasi dan refleks cahaya lemah Fase II = fase hiperaktif central vegetatif - temperatur tubuh meninggi - pernafasan dalam dan cepat - takikardi - sekret bronkhial meningkat berlebihan - tekanan darah menaik lagi dan bisa lebih dari normal - refleks-refleks serebral muncul kembali Fase III = cerebral oedema Fase ini sama bahayanya dengan fase shock dan dapat mendatangkan kematian jika tidak ditanggulangi secepatnya. Fase IV = fase regenerasi/rekonvalesens Temperatur tubuh kembali normal, gejala fokal serebral intensitas berkurang atau menghilang

kecuali lesinya luas. Gejala lain : Fokal neurologik : Hemiplegia, tetraplegia, decerebrate rigidity Babinsky refleks Afasia, hemianopsia, kortikal blindness Komplikasi saraf otak : - fraktur os criribroformis : gangguan N. I (olfaktorius) - fraktur os orbitae : gangguan N. III, IV dan VI - herniasi uncus, gangguan N. III - farktur os petrosum (hematotympani) : gangguan N. VII dan N. VIII - perdarahan tegmentum : batang otak ; opthalmoplegia total - fraktur basis kranii post : gangguan N. X, XI, XII Tanda rangsang meningeal : akibat iritasi daerah yang mengalir ke arachnoid Gangguan organik brain sindroma : delirium Kontusio Serebri pada Anak-anak Kontusio serebri pada anak-anak dibawah 6 tahun kadang-kadang gejalanya berbeda dengan dewasa antara lain : 1. adanya fase latent, dimana anak tersebut tak menunjukkan kelainan kesadaran dan tingkah laku. Fase latent ini dapat berlangsung dampai 16 jam. 2. sesudah fase latent, diikuti serangan akut gejala fokal serebral serta kehilangan kesadaran dan kejang-kejang. 3. jika kondisi kontusionya tidak berat maka sesudah 4 hari sang anak pulih normal bermainmain seakan tidak ada apa-apa lagi. Hal ini disebabkan anak-anak tidak melalui fase I shock, tapi langsung ke fase II. Di duga hal tersebut dikarenakan tulang kranium anak masih elastis sehingga berfungsi sebagai shock absorber yang baik terhadap trauma. Diagnostik bantu : 1. X foto tengkorak polos, Brain CT-Scan, MRI 2. LP bercampur darah 3. EEG abnormal 3. EPIDURAL HEMATOM(1,2,3) Hematoma terjadi karena perdarahan antara tabula interna kranii dengan duramater. Insiden terjadinya 1-3 %. Patofisiologi dan Simptomatologi Hematoma ini disebabkan oleh : 1. pecahnya arteri dan atau vena meningea media 2. perdarahan sinus venosus : misalnya sinus sphenoparietalis, sinus sagitalis posterior. Perdarahn sinus ini bisa bersifat progresif. Berhubung perdarahannya kebanyakan massif atau arteriil maka lucid interval cepat antara beberapa menit, beberapa jam sampai 1-2 hari. Volume darah biasanya setelah mencapai 75 cc dan melepaskan duramater dari ikatannya pada periost baru tampak ada gejala nyata penurunan kesadaran. Lucid interval adalah waktu sadar antara terjadinya trauma sampai timbulnya penurunan kesadaran ulang. Jadi biasanya epidural hematoma sering bersamaan dengan komosio serebri atau kontusio serebri. Jika bersamaan dengan kontusio serebri berat, lusid interval tidak tampak karena gejalanya berhubungan antara superposisi dengan kontusionya. Pada anak-anak jarang terjadi epidural hematom sebab duramaternya masih melekat erat pada

dinding periosteum kranium. Pada dewasa perlekatan duramater paling lemah di daerah temporal. Tanda-tanda yang paling dapat dipercaya suatu epidural hematom apabila ada gejala-gejala seperti dibawah : 1. adanya lucid interval 2. kesadarn yang makin menurun 3. hemiparese yang terlambat kontralateral lesi 4. pupil anisokor. Unilateral midriasis terjadi karena lesi N. III pada sisi akibat penekanan daripada herniasi uncus gyrus hipokampus lobus temporalis sehingga N. III terjerat 5. babinsky unilateral kontralateral lesi (bisa juga bilateral) 6. fraktur kranii yang menyilang pada sisi (sering di temporal) 7. kejang 8. bradikardi Jika epidural hematom terletak pada fossa kranii posterior gejalanya tidak sama dengan yang di atas, tapi sebagai berikut : 1. lusid interval tidak jelas 2. fraktur kranii daerah oksipital 3. kehilangan kesadarannya terjadi cepat 4. terjadi gangguan pernafasan dan serebellum 5. pupil isokor biasanya disebabkan oleh karena sinus transversus atau confluence sinuum pecah maka prognosanya jelek. Diagnosa bantu 1. X foto tengkorak : ada fraktur yang menyilang 2. Brain CT-Scan 3. Arteriografi karotis 4. EEG abnormal 5. LP tekana meninggi jernih 4. SUBDURAL HEMATOMA(1,2,3) Hematoma yang terbentuk karena adanya perdarahn di antara duramater dan arakhnoid. Hygroma subdural yaitu subdural hematom yang diikuti perobekan arakhnoid dan darah bergabung dengan likuor serebrospinal Penyebabnya adalah robeknya bridging vein (vena-vena yang menyebrang dari korteks ke sinus-sinus sagitalis superior) antara lain : 1. trauma kapitis 2. kaheksia 3. gangguan diskrasia darah lokasi : sering di daerah frontal, parietal dan temporal. Subdural hematom sering bersamaan dengan kontusio serebral. Lusid interval pada subdural hematoma lebih lama daripada epidural hematom karena yang mengalami perdarahan adalah pembuluh darah venous kecil akibatnya perdarahannya tidak masif bahkan hematomanya itu sendiri bisa sebagai tampon bagi vena-vena yang robek dimana perdarahan dapat berhenti sendir. Klasifikasi : a. Akut Subdural Hematoma (SDH) : lusid interval 0-5 hari Akut SDH biasanya bersamaan dengan kontusio berat akibatnya lusid interval dan gejala subdural tidak terdeteksi. Biasanya diketahui pada diagnosa postmortem atau pada saat otopsi. Penderita akut SDH langsung jatuh koma, pupil anisokor dan hemiplegia kontralateral. Prognosisnya fatal.

Diagnosis bantu : - CT-Scan - LP berdarah - Arteriografi karotis - EEG abnormal b. Subakut Subdural Hematoma : lusid interval 5-15 hari Gejala nyeri kepala, kesadaran makin lama makin menurun, pelan-pelan visus makin kabur disebabkan papil oedema. Jarang bersamaan dengan kontusio serebri. Kemudian timbul hemiplegia secara perlahan. Diagnosa bantu : sama dengan akut SDH Prognosis sangat baik jika operatif pada subdural yang besar cepat dilakukan 75 % kembali sembuh sempurna. c. Kronik Subdural Hematoma : lusid interval 15 hari sampai bertahun-tahun Pecahnya bridging vein makin lama makin besar dan hematomanya sendiri berfungsi sebagai tampon bagi vena-vena yang pecah akibatnya perdarahn berhenti, hematoma kemudian membeku dan dinding hematoma membentuk jaringan ikat kapsula sebagai pembatas di sekitar hematoma. Gumpalan darah kemudian lisis dengan osmolaritas lebih tinggi dari cairan intersitiil di sekitarnya yang bisa menarik cairan sekitarnya atas dasar beda osmolaritas. Lama kelamaan cairan jumlahnya bertambah sehingga mengakibatkan proses desak ruang dan tekanan intrakranial meninggi. Gejala awal : 1. sefalgia terus menerus intermiten, sebab tertariknya duramater dan kompresi jaringan otak di daerah sekitar hematoma 2. kesadaran makin lama makin menurun samapi koma 3. terjadi perubahan mental dan fungsi intelelek 4. papil oedem, pandangan makin kabur dan diplopia parese N. VI 5. hemiparesis yang pelan-pelan 6. pupil bisa anisokor 7. tekanan LP meninggi 5. INTRASEREBRAL HEMATOMA(1,2,3) Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam jaringan otak, sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat. Hematoma dapat hanya satu saja ataupun multiple. Jika hematoma tunggal dan letaknya di permukaan korteks, tindakan operatif dapat dilakukan. Pada semua kasus intra kranial hematoma, bila hematomanya kecil, pengobatan konservatif dapat dipertimbangkan tanpa memerlukan tindakan operatif. 6. FRAKTUR BASIS KRANII (1,2,3) Fraktur basis kranii dapat dilakukan tanpa diikuti kehilangan kesadaran, kecuali memang diserta adanya komosio ataupun kontusio serebri. Gejala tergantung letak frakturnya. 1. Fraktur basis kranii media biasanya fraktur terjadi pada os petrosum - keluar darah dari telinga dan likuorrhoe - parese N. VII dan VIII sering dijumpai 2. Fraktur basis kranii posterior - unilateral/bilateral orbital hematom (Brills hematom) - gangguan N. II jika fraktur melalui foramen optikum - perdarahan melalui hidung dan likuorrhoe dan diikuti : Anosmia, anosmia akibat trauma bisa persistent, jarang bisa sembuh sempurna. 3. Fraktur basis kranii posterior - gejala lebih berat, kesadaran menurun

- tampak belakang telinga berwarna biru (Battle sign) Diagnosa bantu : 50 % fraktur basis tidak dapat dilihat pada X foto polos basis. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS PADA TRAUMA KAPITIS(1) X Foto Tengkorak Fraktur tengkorak pada trauma kapitis hanya 3-15 % saja dan kasus-kasus yang ada fraktur tidak ada selalu ada kelainan intra kranial yang berarti. Namun demikian X foto polos rutin dilakukan untuk setiap kasus trauma kapitis. Ini penting sebab : 1. Dari semua kematian akibat trauma kepala 80 % didapati fraktur tengkorak 2. Pembuatan X foto tengkorak diperlukan untuk kepentingan medikolegal 3. Tindakan atau pengawasan klinik ditentukan dengan melihat jenis dan lokasi fraktur Jenis foto : 1. Foto antero-posterior 2. Foto lateral 3. Foto Towne : foto ini dibuat seperti foto AP tetapi dengan tabung rontgen diarahkan 30 derajat kraniokaudal. Foto ini penting untuk melihat fraktur di daerah oksipital yang sulit di lihat dengan foto AP 4. Foto Waters : dibuat bila curiga ada fraktur tulang muka 5. Foto basis kranii : dibuat bila curiga ada fraktur basis 6. Foto tangensial : dibuat bila ada fraktur impresi, untuk melihat kedudukan pas fragmen tulang yang melesak masuk Keterangan gambar : 1. epidural hematoma/subdural hematom 2. intra serebral hematoma 3. impresio/depressed fraktur 4. herniasi uncus Jenis-jenis fraktur tengkorak : (1,2,3) 1. Fraktur linier : garis fraktur terlihat lebih radiolusen dibandingkan dengan gambaran pembuluh darah dan sutura, dan biasanya melebar pada bagian tengah dan menyempit pada ujung-ujungnya. Perhatikan juga lokasi pembuluh darah dan sutura mempunyai lokasi anatomis tertentu. 2. Fraktur impressi : jika impressi melebihi 1 cm dapat merobek duramater dan atau jaringan otak dibawahnya. Fraktur impressi terlihat sebagai garis atau daerah yang radiopaque dari tulang sekitarnya disebabkan bertumpuknya tulang. 3. Fraktur diastasis sutura : tampak sebagai pelebaran sutura (dalam keadaan normal sutura tidak melebihi 2 mm) CT-Scan Otak(1) Tidak semua penderita trauma kepala dilakukan CT-Scan otak, penguasaan klinis mengenai trauma kapitis yang kuat dapat secara seleksi menentukan kapan penderita secara tepat dilakukan CT-Scan. Dari CT-Scan dapat dilihat kelainan-kelainan berupa : oedema serebri, kontusio jaringan otak, hemaroma intraserebral, epidural, subdural, fraktur dan lain-lain. Angiografi (1) Sistem rapid serial film 10 film/detik Memakai kontras : angiografin 65 %, conray 60, hypaque sodium dan lain-lain Jenis angiografi : - karotis (paling sering) - vertebralis (jarang) Cara melakukan dengan ; 1. Fungsi langsung (pada a. karotis komunis, sedikit dibawah bifurcatio)

2. Fungsi tak langsung (dengan kateter dari daerah a. femoralis) angiografi pada trauma kapitis penting untuk memperlihatkan epidural atau subdural hematomanya. PRIORITAS PENANGGULANGAN CEDERA KEPALA AKUT(1) a. Perbaiki kardiovaskular (atasi shock) b. Perbaiki keseimbangan respirasi, ventilasi atau jalan nafas yang baik c. Evaluasi tingkat kesadaran d. Amati jejas di kepala, apakah ada impressi fraktur, tanda-tanda fraktur basis kranii, likuorhoe, hati-hati terhadap adanya fraktur servikalis (stabilisasi leher) e. Amati jejas di bagian tubuh lainnya f. Pemeriksaan neurologik lengkap dan X fot kepala, leher, CT-Scan g. Perhatikan pupil h. Atasi oedema serebri i. Perbaiki keseimbangan cairan, elektrolit dan kalori j. Monitor tekanan intra kranial k. Pengobatan simptomatis atau konservatif l. Jika ada pemburukan kesadaran disertai perdarahan intra kranial yang lebih dari 75 cc, perlukaan tembus kranioserebral terbuka, impressi fraktur lebih dari 1 cm secepatnya dilakukan tindakan operatif OEDEMA SEREBRI(1) Meningkatnya massa jaringan otak yang disebabkan peningkatan kadar cairan intraseluler maupun ekstraseluler otak sebagai reaksi daripada proses patologik lokal atau pengaruh umum yang merusak. Jenis-jenis 1. Vasogenik oedema serebri 2. sitotoksik oedema serebri 3. osmotik oedema serebri 4. hidrostatik oedema serebri Vasogenik Sitotoksik Osmotik Hidrostatik Kausa BBB kapiler Sodium pump Osmotik Gangguan absorbsi LSC Lokalisasi Subs. alba Alba + grisea Alba + grisea Subs. Alba Permeabilitas vaskuler Meningkat Normal Normal Normal Histologis Ekstraseluler Interseluler Ekstra / intra Ekstraseluler Unsur Plasma Plasma Air Air + Na Pada oedema serebri tahap permulaan, tekanan intra kranial, tekanan perfusi otak masih dapat dikompensasi dengan mengatur otoregulasi cerebral blood flow, dan volume likuor serebro spinal. Untuk setiap penambahan 1 cc volume intra kranial tekanan intra kranial akan meningkat 10-15 mmHg. 1. Vasogenik oedema serebri Lesi terutama pada sistem Blood Brain Barrier yang dibentuk dari ikatan fusi sel membran endotel kapiler pembuluh darah otak pada keadaan tertentu secara langsung dapat merusak dinding kapiler dan secara tidak langsung dapat menyebabkan pelepasan serotonin, yang mengakibatkan gangguan dan pengurangan eratnya ikatan fusi membran sel. Dengan endotel kapiler cairan plasma dapat mengalir ke jaringan otak dan mengakibatkan terjadi oedema serebri. Vasogenik oedema serebri dapat terjadi pada kasus-kasus : - trauma kapitis - stroke - iskhemia - radang : meningitis, ensefalitis - space occupying lesion : tumor otak

- malignant hipertensi - konvulsi 2. Sitotoksik oedema serebri Ini bisa terjadi bila ada gangguan sodium pump membran sel otak, akibatnya permeabilitas membran terganggu dan akan masuk cairan ke intraseluler otak Sitotoksik oedema serebri dapat terjadi pada kasus-kasus : - neonatal asphyxia - cardiac arrest - zat-zat toksik hexachlorophene, golongan alkyl metal 3. Osmotik oedema serebri Bila osmolaritas plasma dikurangi 12 % atau lebih, maka cairan akan meloloskan diri dari sistem vaskuler dan menyebabkan pembengkakan otak. Ini bisa terjadi apabila membran sel masih intak. Osmotik oedema serebri ini terdapat pada kasus-kasus : - water intoksikasi - hemodialisis yang terlalu cepat 4. Hidrostatik oedema serebri Ini terjadi bila jumlah cairan ekstraseluler berlebihan (cairan likuor serebrospinal). Contohnya pada hidrosefalus. Pengobatan Odema Serebri 1. Hipertonic Solution Therapy Pengobatan cairan hipertonis bertujuan untuk mengurangi oedema serebri dengan cara perbedaan osmolaritas cairan jaringan otak dengan plasma. Contoh cairan hipertonik : a. Manitol b. Glyserol Pemberian cairan hipertonis yang berlebihan dapat menimbulkan bahaya berupa : Dehidrasi berat Pengeluaran Na+ dan Cl- mengakibatkan neuron rusak Timbul rebound phenomen sehingga tekanan intrakranial meninggi Hati-hati pada perdarahan intrakranial sebab : - dengan mengeriputnya jaringan otak akibat cairan hipertonis itu, maka darah akan menempati daerah yang kosong dan dengan demikian akan mengaburkan gejala perdarahan yang sebenarnya - cairan hipertonis bisa mempercepat proses perdarahan itu sendiri - cairan hipertonis bisa mencetuskan proses perdarahan baru Kontraindikasi : Renal Failure Hepatic Failure Congestive Heart Failure Manitol a. Mempunyai efek : - meninggikan cerebral blood flow - meninggikan eksresi Na+ urine - menurunkan tekanan likuor serebro spinal - diuresis secara ekstrem Jika berlebihan dapat menyebabkan : - dehidrasi berat - hipotensi - takikardi - hemokonsentrasi

- overshoot obat masuk intraseluler padahal kadang di plasma sudah menurun maka bisa terjadi rebound phenomen b. Dosis Manitol 20 % dengan dosis 0,25-1 gr/KgBB diberikan cepat dalam 30-60 menit. Efek samping jika diberikan dalam dosis besar : sering nyeri kepala, chest pain. Jarang : kejang, renal failure Gliserol a. Sifat dan kegunaannya : - meninggikan osmolaritas plasma yang lebih berperanan untuk menarik cairan di otak dibandingkan dengan efek diuresisnya - dimetabolisir oleh tubuh sebagai bahan substrat energi - tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap kadar gula darah dan keton bodies darah - tidak mempunyai efek rebound phenomen b. Dosis - per oral : 0,5-1 gr/Kg diberikan setiap 4 jam dalam larutan 50 % gliserol untuk mempertahankan kadar dalam darah. Dalam 30 menit sesudah pemberian akan terlihat efek penurunan tekanan intra kranial - per infus : 1 gr/Kg BB/hari dalam 10 % gliserol diberikan jangan melebihi 5 cc/menit. Efeknya akan kelihatan setelah 1 jam sesudah pemberian dan akan menetap bertahan selama 12 jam Jika infus diberikan dengan dosis melebihi 2,5 cc/menit maka akan terjadi efek diuresis. Jika gliserol diberikan dalam dosis besar akan mempunyai komplikasi : hemolisis intravaskuler hemoglobinuria gastric iritasi nonketotic hiperosmolar hiperglikemia 2. Kortikosteroid Sifat dan kegunaannya : Memperbaiki membran sel yang rusak dengan cara : membentuk ikatan dengan fatty acid atau phospolipid membran melindungi sel otak dari anoksia memperbaiki sistem sodium pump memperbaiki capillary tissue junction dan intercelluler junction sehingga permeabilitas membran sel menjadi normal kembali dan akibatnya BBB pun membaik dan edema sel-sel otak berkurang Dosis : dexamethason : initial 10 mg IV kemudian diikuti dengan pengurangan 4 mg/4 jam/hari dan pengurangan dosis secara tappering off. (diberikan dalam waktu singkat 7-10 hari) methyl prednisolon sodium succinat : initial 60 mg kemudian diikuti 20 mg/6 jam kemudian taffering off Hati-hati pada perdarahan lambung. Akhir-akhir ini penggunaan kortikosteroid pada oedema serebri mulai dipertanyakan. Banyak kontroversi diperdebatkan dalam penggunaannya pada kasus trauma kapitis. 3. Barbiturat Berguna untuk melindungi otak dari kerusakan lebih parah dengan cara : a. menurunkan metabolisme otak b. menstabilkan membran sel c. menurunkan aktivitas lysozim d. menurunkan tekanan intra kranial

e. menurunkan pembentukan oedema otak f. melindungi sel otak terhadap iskhemia Dosis : Tiopental atau pentotal : 3-5 mg/KgBB/hari yang bisa dinaikkan sampai 30-50 mg/KgBB kemudian di monitor terus kadarnya dalam plasma untuk mencapai kadar optimal 2-2,5 mg %. Pemberian barbiturat terapi adalah pilihan terakhir sesudah gagal dalam penggunaan hiperventilasi artifisiil, cairan hiperosmolar dan deksametason. 4. Hipothermi 30 derajat celcius bertujuan mengurangi metabolisme otak dan mengurangi tekanan darah. Penyulit yang timbul adalah timbulnya aritmia cordia dan asidosis biasanya ini dilakukan hanya dalam 5 hari saja. 5. Hiperventilasi Artifisial Memakai alat bantu ventilator melakukan induksi hipokapnia dimana PaCO2 arteri diturunkan dan dipertahankan pada 26-28 mmHg (3,5-3,7 kPa) sehingga cerebral blood flow berkurang dan akibatnya akan menurunkan tekanan intra kranial. PENATALAKSANAAN(4) Pedoman Resusitasi dan Penilaian awal 1. Menilai jalan napas: bersihkan jalan napas, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan, pasang guedel, bila perlu intubasi. 2. Menilai pernapasan: tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. 3. Menilai sirkulasi: otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid, larutan kristaloid (dekstrosa atau dekstrosa dalam salin) dapat menimbulkan eksaserbasi edema otak pasca cedera kepala. 4. Obati kejang: Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit. 5. Menilai tinglcat keparahan Pedoman Penatalaksanaan 1. Pada sernua pasien dengan cedera kepala dan atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal (proyeksi antero-posterior. lateral, dan odontoid), kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal Cl -C7 normal. 2. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut: - Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCI 0,9%) atau larutan Ringer laktat: cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular daripada cairan hipotonis, dan larutan ini tidak menambah edema serebri. - Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah: glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar alkohol bila perlu 3. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto rontgen kepala tidak diperlukan jika CTScan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan cedera kepala ringan, sedang, atau berat, harus dievaluasi adanya: - Hematoma epidural - Darah dalarn subaraknoid dan intraventrikel - Kontusio dan perdarahan jaringan otak - Edema serebri

- Obliterasi sisterna perimesensefalik - Pergeseran garis tengah - Fraktur kranium, cairan dalarn sinus, dan pneumosefalus. 4. Pada pasien yang korna (skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda hemiasi, lakukan tindakan berikut ini : - Elevasi kepala 30o - Hiperventilasi - Berikan manitol 20 % 1g/kgbb intravena dalarn 20-30 menit. Dosis ulangan dapat diberikan 4-6 jam kemudian 1/4 dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama - Pasang kateter Foley - Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi Penatalaksanaan Khusus 1. Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi kriteria berikut: - Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas normal - Foto servika1jelas normal - Ada orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan Kriteria perawatan di rumah sakit: - Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan - Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun - Adanya tanda atau gejala neurologis fokal - Intoksikasi obat atau alkohol - Adanya penyakit medis komorbid yang nyata - Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah. 2. Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan skala korna Glasgow 15 dan CT Scan normal, tidak pertu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko timbuInya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal. 3. Cedera kepala berat: Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif. - Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi - Monitor tekanan darah - Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS < 8, bila memungkinkan. - Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan Ringer laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri. - Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. - Temperatur badan: demam mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin. - Antikejang: fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari intravena. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7- 10 hari. Steroid: steroid

tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan risiko infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu, Steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg intravena sebap 4-6 jam selama 48-72 jam). - Profflaksis trombosis vena dalam - Profilaksis ulkus peptik - Antibiotik masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi risiko meningitis pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial tetapi dapat meningkatkan risiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen. - CT Scan lanjutan Komplikasi Cedera Kepala Berat 1. Kebocoran cairan serebrospinal 2. Fistel karotis-kavemosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis, dan bruit orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera. 3. Diabetes insipidus oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis. 4. Kejang pasca trauma PROGNOSIS(4) Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5 10%. Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala. Sering kali berturnpang-tindih dengan gejala depresi. DAFTAR PUSTAKA 1. Hasan Sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat, Jakarta, 2004 2. Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada Universiti Press, Yogyakarta, 2005 3. Mahar Mardjono, Priguna Sidharta, Neurologi Klinis Dasar, dian Rakyat, Jakarta, 2004 4. Arif Mansjoer dkk Editor, Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta Kedokteran edisi Ketiga jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta, 2000 5. Robert L. Martuza, Telmo M. Aquino, Trauma dalam Manual of Neurologic Therapeutics With Essentials of Diagnosis, 3th ed, Litle Brown & Co, 2000

Epilepsi setelah benturan di kepala : Patofisiologi dan Penatalaksanaan

Epilepsi Post Trauma Kapitis


I. PENDAHULUAN Epilepsi post trauma merupakan teka-teki yang masih dilingkupi misteri. Epilepsi post traumatik atau Post Traumatic Epilepsy (PTE) adalah sindroma klinik dimana seseorang menderita bangkitan berulang setelah trauma/post traumatic seizures (PTS) akibat dari cedera otak traumatik /traumatic brain injury (TBI) atau kerusakan otak yang disebabkan trauma fisik. Epilepsi post trauma merupakan kelainan kronik berulang, diduga penyebabnya adalah adanya trauma otak. Trauma ini dapat disebabkan oleh trauma kepala atau gejala sisa (sequele) dari operasi otak. Istilah epilepsi post trauma harus dibedakan dengan bangkitan

post trauma, yaitu bangkitan yang merupakan sequele dari trauma otak. Jika bangkitan muncul dalam 24 jam setelah trauma, hal itu disebut bangkitan post trauma tipe segera. Bangkitan post trauma yang terjadi 1 minggu setelah trauma disebut bangkitan post trauma tipe awal. Sedangkan bangkitan yang terjadi lebih dari 1 minggu setelah cedera disebut bangkitan post trauma tipe lambat. Sekitar 20% orang yang pernah mengalami 1 kali bangkitan post trauma tipe lambat, selanjutnya tidak pernah mengalaminya lagi, maka ini tidak dapat disebut sebagai epilepsi post trauma. PTE kira-kira 5% dari semua kasus epilepsi dan lebih dari 20% dari kasus epilepsi simtomatik. Trauma kepala, melalui mekanisme yang belum jelas, akan pemicu serangkaian proses yang menghasilkan epileptogenesis. Seseorang yang mengalami trauma kepala memiliki resiko 3 kali lipat lebih tinggi untuk terjadinya bangkitan epilepsi dibanding orang pada umumnya. Seseorang yang mengalami bangkitan karena trauma (PTS) tidak selalu mengalami PTE, namun istilah PTS dan PTE dalam lateratur sering dapat digunakan bergantian. Tulisan kedokteran biasanya mengartikan PTE sebagai "satu atau lebih bangkitan tanpa provokasi (unprovoked) yang terjadi setelah trauma kepala". Tidak diketahui bagaimana memperkirakan siapa yang akan mengalami dan yang tidak akan mengalami epilepsi setelah TBI. Tulisan ini akan membahas berbagai aspek dari epilepsi post trauma, termasuk istilah yang tepat, epidemiologi dari gangguan ini, mekanisme pembentukan epileptogenesis, dan beberapa pertimbangan klinik II. DEFINISI DAN KLASIFIKASI Dengan tujuan untuk mengerti epilepsi post trauma, berbagai bentuk trauma kapitis telah dijelaskan. Trauma kapitis tertutup adalah trauma yang tidak menembus tulang kepala. Trauma-trauma ini sering berakibat kehilangan kesadaran, meskipun sementara dan dapat dihubungkan dengan besarnya kerusakan dari otak tergantung beratnya trauma. Trauma kapitis terbuka adalah trauma dimana tulang kepala ditembus oleh sesuatu obyek, seperti yang terjadi pada luka tembak atau luka benda tajam. Dalam tipe trauma ini, pasien bisa tidak mengalami kehilangan kesadaran meskipun trauma yang berat atau bahkan fatal. Konkusio diartikan sebagai trauma akibat dari goncangan atau getaran yang keras dari otak disertai gangguan fungsional sesaat yang berhubungan (misalnya kehilangan kesadaran, kejang, amnesia, atau kehilangan kemampuan berpikir). Kontusio adalah memar pada jaringan otak dengan masih bertahankan struktur aslinya. Terdapat 2 bentuk kontusio: coup dan counter coup. Cedera Coup dimaksudkan pada trauma otak tepat di bawah dari tempat terjadinya benturan, sebaliknya trauma counter coup adalah trauma terjadi pada bagian distal dari tempat benturan. Hippocampus, tempat yang sangat epileptogenik, sering menjadi sasaran pada trauma counter coup. Ada dua bentuk perdarahan intrakranial yang penting untuk membahas trauma kapitis yaitu hematom epidural dan subdural. Kedua bentuk perdarahan tersebut dapat terjadi bersamaan, hanya berbeda dimana tempat terjadinya. Hematom epidural merupakan perdarahan yang terjadi di atas lapisan duramater dan sering dihubungkan dengan fraktur pada tulang temporal atau parietal dan laserasi dari arteri atau vena meningea media. Pasien tetap sadar saat trauma tetapi secara bertahap mengalami gangguan neurologis yang akan meningkat secara bertahap sampai kehilangan kesadaran dalam beberapa jam atau hari sesudahnya sehingga dapat menimbulkan kematian jika dibiarkan. Hematom subdural merupakan perdarahan yang terjadi di bawah lapisan duramater. Darah cenderung berkumpul dengan cepat pada hematom epidural karena rupturnya arteri sementara hematom subdural dapat berkembang lebih lambat karena ruptur dari vena. Karena hal ini, pengamatan yang cermat setelah trauma kepala perlu

dilakukan untuk mencegah pasien dari krisis neurologis setelah terlihat sembuh total. Manifestasi klinik dari kedua jenis trauma ini dapat saling tumpang tindih dan mengenali jenis trauma ini mungkin tidak dapat dilakukan hingga dilakukan CT-scan atau dilakukan operasi. Setelah trauma kapitis, ada 2 kategori luas dari bangkitan berdasarkan waktu terjadinya : yang dapat terjadi awal atau lanjut. Bangkitan awal adalah bankitan akut yang terjadi sebagai akibat efek fisik dari trauma ( dalam satu atau dua minggu setelah cedera). Bangkitan lambat terjadi setelah pasien sembuh dari akibat trauma dan terjadi berminggu-minggu, berbulanbulan bahkan bertahun-tahun setelah trauma terjadi. Dapat terjadi hanya sekali atau berulang. Serangan lanjut yang berulang yang diperkirakan sebagai epilepsi post trauma. III. EPIDEMIOLOGI Penelitian-penelitian menemukan bahwa insidensi PTE berkisar dalam rentang 1,9 sampai lebih dari 30% dari penderita TBI, dengan bervariasi berdasarkan beratnya trauma dan waktu dari terjadinya TBI. Dewasa muda, adalah kelompok risiko paling tinggi mengalami trauma kapitis, juga memiliki angka PTE yang lebih tinggi. Pada usia yang lebih tua juga mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk menjadi epilepsi, 10% anak-anak dengan TBI berat dan 1620%nya menjai PTE setelah dewasa. PTE lebih umum pada laki-laki dibanding wanita, dan puncak kejadiannya antara usia 15-24 tahun. Tidak jelas mengapa beberapa pasien mengalami PTE, sementara lainnya dengan trauma yang sama tidak. Insiden epilepsi pada populasi umum diperkirakan antara 0,5-2%, insidensi epilepsi post trauma untuk seluruh tipe trauma kapitis adalah 2-2,5% pada penduduk sipil. Insiden ini meningkat hingga 5% pada pasien bedah saraf. Jika hanya trauma kapitis berat (biasanya GCS kurang dari 9) yang diperhitungkan, insidennya adalah 10-15% pada dewasa dan 30-35% pada anak. Insiden bangkitan post trauma mencapai 50% pada anggota militer, studi ini termasuk pasien-pasien dengan trauma kapitis akibat trauma penetrasi. Insidensi epilepsi setelah trauma kapitis ringan tanpa komplikasi sama pada populasi militer dan populasi umum. Jenis dan keparahan dari trauma kapitis juga memegang peranan dalam menentukan risiko menjadi epilepsi. Pada penelitian di Olmsted County, Minnesota, faktor risiko dari bangkitan lanjut (tunggal maupun berulang) adalah kontusio cerebri dengan hematom subdural, fraktur tulang kepala, kehilangan kesadaran, atau amnesia lebih dari satu. Penelitian trauma kapitis di Vietnam juga menemukan bahwa terdapat peningkatan resiko bangkitan jika terdapat pecahan logam yang bertahan di otak, ada hematom intracranial, atau pasien mengalami defisit neurologis menetap setelah trauma. Tingkat dari kehilangan jaringan otak sebagai akibat dari trauma juga secara positif berhubungan dengan kemungkinan terjadi epilepsi. Dilaporkan insidensi PTE bervariasi dari dibawah 5% untuk trauma kapitis secara umum sampai 25-30% untuk trauma kapitis tertutup yang berat dengan hematoma, dan lebih dari 50% pada korban perang yang selamat dari trauma luka tembak. Fraktur kompresi tulang kepala dan hematom intracranial juga berhubungan dengan meningkatnya resiko terjadinya bangkitan lanjut. Risiko yang meningkat setelah hematom intrakranial merupakan hal yang perlu diperhatikan, karena adanya darah pada parenkim otak merupakan salah satu faktor yang sedang diteliti berhubungan dengan epilepsi post trauma. IV. PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN KLINIS Manifestasi klinik bangkitan post trauma bisa berupa apapun dari bangkitan parsial sederhana maupun kompleks, termasuk bangkitan umum sekunder maupun bangkitan umum tonik-klonik, seringkali keduanya bersamaan. Kebanyakan bangkitan post trauma tipe awal adalah bangkitan parsial, sedangkan bangkitan post trauma tipe lambat lebih bervariasi, yang

sering bangkitan umum, baik primer maupun sekunder. Tidak ada penemuan spesifik pada pemeriksaan fisik. Pasien yang datang dengan trauma kapitis sedang dan berat harus dilakukan CT-scan segera, dan harus diulang jika keadaan pasien tidak ada perbaikan. Pemeriksaan imaging juga harus diulang pada cedera ringan dengan komplikasi adanya bangkitan atau perubahan status mental selama masa pemulihan. EEG hanya mempunyai peran terbatas dalam evaluasi pasien dengan bangkitan post trauma awal yang memperlihatkan perubahan perilaku yang berulang. Disini tidak berguna dalam memprediksi terjadinya PTE. Bangkitan post trauma tipe awal lebih sering terjadi pada anak berumur kurang dari 5 tahun, pada pasien dengan defisit neurologis fokal, dan pada pasien dengan fraktur kepala linear dan impresi. V. FAKTOR RISIKO EPILAPSI POST TRAUMA KAPITIS Tidak jelas kenapa beberapa pasien mengalami PTE sementara yang lainnya tidak. Genetik mungkin berperan dalam risiko seseorang mengalami PTE, orangorang dengan alel ApoE-4 mungkin memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap PTE. Alel haptoglobin Hp2-2 dapat menjadi faktor risiko genetik lainnya, mungkin karena ikatanya pada hemoglobin yang rendah dan oleh karena itu dapat menyebabkan lebih banyak besi yang keluar dan merusak jaringan. Namun, sebagian besar penelitian menemukan bahwa memiliki anggota keluarga dengan epilepsi tidak meningkatkan secara bermakna risiko terjadinya PTS. Semakin parah trauma kapitis, semakin besar kemungkinan seseorang mengalami PTE lanjut. Bukti-bukti menunjukkan bahwa trauma kapitis ringan tidak membuat peningkatan risiko terjadi PTE. Kira-kira setengah dari trauma saraf berat mengalami PTE. Perkiraan lainnya menghitung risiko PTE 5% dari semua pasien TBI dan 15-20% untuk TBI berat. Salah satu penelitian menemukan bahwa resiko 30 tahun terjadinya PTE adalah 2,1% pada TBI ringan, 4,2% pada TBI sedang dan 16,7% pada TBI berat, seperti yang terlihat pada tabel.

Kira-kira 50% pasien dengan trauma kapitis tembus akan mengalami PTE, seperti yang banyak terjadi pada orang-orang militer ataupun akibat korban peperangan yang sering dihubungkan juga dengan luasnya lesi di otak. Hematom intracranial merupakan salah satu faktor risiko yang paling penting untuk PTE. Hematom subdural memiliki resiko yang lebih

tinggi terjadinya PTE daripada hematom epidural, mungkin karena menyebabkan kerusakan yang lebih banyak pada jaringan otak. Sebagai tambahan, peluang terjadinya PTE berbedabeda pada lokasi terjadinya lesi di otak, kontusi otak yang terjadi pada salah satu dari lobus parietalis memiliki risiko 19% dan pada lobus temporalis 16%. Bila kontusio terjadi bilateral (pada kedua sisi), resikonya 26% untuk lobus frontalis, 66% untuk parietal dan 31% untuk temporal. Risiko seseorang mengalami PTE akan meningkat jika PTS terjadi, tetapi kejadian PTS tidak berarti kemudian epilepsi pasti akan terjadi. Namun, banyak faktor risiko untuk PTE dan PTS awal yang sama, sehingga tidak diketahui apakah PTS merupakan faktor risiko terhadap PTE. Seseorang yang memiliki bangkiatn tunggal lanjut mempunyai risiko yang lebih tinggi daripada orang-orang yang mengalami PTS awal. Status epileptikus, bangkitan yang terus-menerus atau serangan multipel berturut-turut sering dihubungkan dengan terjadinya PTE, keadaan ini terjadi pada 6% dari semua TBI dan 42% pada PTE. Kecepatan dan ketepatan mengakhiri status epileptikus akan mengurangi kemungkinan terjadinya PTE. Kerusakan pada jaringan setelah pembedahan dapat menyebabkan PTE. Pada pembedahan intrakranial berulang membuat risiko yang lebih tinggi pada PTE lanjut, hal ini mungkin karena pasien-pasien ini lebih memiliki faktor-faktor yang berhubungan dengan trauma otak yang berat, seperti hematom yang besar atau pembengkakan pada otak. VI. PATOFISIOLOGI Terdapat banyak teori yang telah dikembangkan untuk menjelaskan mekanisme yang melatarbelakangi penyebab serangan kronik setelah trauma kapitis. Diantaranya adalah pembentukan radikal bebas yang merusak parenkim otak, peningkatan pada aktifitas eksitasi setelah trauma, dan perubahan pada fungsi inhibisi dari otak. Berbagai bentuk penelitian pada hewan telah dikembangkan untuk menggali kemungkinan dari jenis trauma kapitis yang berbeda dari konkusio sampai trauma kapitis dengan luka tembus. Karena darah pada parenkim otak dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya epilepsi, meskipun mekanisme dari teori ini masih digali. Hemoglobin diteliti sebagai bahan yang terlibat dalam epileptogenesis. Begitu terjadi perdarahan ke dalam jaringan otak, sel darah merah akan mengalami lisis dengan kemudian melepaskan hemoglobin yang akan dipecah menjadi hemin dan besi. Kedua bahan hasil pemecahan tersebut telah terbukti mempengaruhi fungsi fisiologis pada transmisi di sinaps yang dapat menyebabkan penbentukan serangan PTE. Darah yang berkumpul di otak setelah trauma dapat merusak jaringan otak dan berakibat timbulnya epilepsi. Produk hasil-hasil dari penguraian hemoglobin dari darah bersifat toksik terhadap jaringan otak. "The Iron Hypothesis" yang masih dipertahankan bahwa PTE akibat kerusakan oleh radikal bebas oksigen, dimana pembentukannya dikatalisis oleh besi dari darah. Percobaan pada hewan dengan menggunakan tikus menunjukkan bangkitan epileptik dapat dihasilkan dengan menyuntikkan besi ke dalam otak. Besi menyebabkan pembentukan radikal bebas hidroksil melalui reaksi Haber-Weiss. Radikal bebas merusak sel otak dengan melakukan peroksidase terhadap lapisan lipid di membran sel. Besi dari darah juga mengurangi aktifitas dari enzim yang disebut nitrit oxide synthase, sebagai faktor lainnya yang diduga berperan terhadap terjadinya PTE. Seperti halnya bentuk epilepsi yang lain, bangkitan dapat umum atau parsial. Sesaat setelah trauma kapitis, bangkitan biasanya umum, sementara kejadian bangkitan parsial meningkat

sejalan dengan berjalan waktunya setelah trauma. Onset dari PTE dapat terjadi dalam waktu singkat setelah cedera atau berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian setelah trauma kapitis. Untuk alasan yang masih belum diketahui, trauma kapitis dapat menyebabkan perubahan di otak yang menyebabkan timbulnya epilepsi. Ada beberapa mekanisme yang dikemukakan dengan cara bagaimana TBI dapat menyebabkan PTE, lebih dari satu mekanisme tersebut dapat terjadi pada satu pasien. Kindling hipotesis menegaskan bahwa hubungan antar neuron-neuron yang baru dibentuk di otak dan menyebabkan peningkatan eksitabilitas. Sinaps ditata kembali di hipocampus. Penataan kembali dari jaringan saraf-saraf tsb dapat membuatnya lebih mudah dirangsang. Bangkitan yang terjadi sesaat setelah TBI dapat menyusun kembali jaringan saraf yang hal ini selanjutnya akan menimbulkan serangan-serangan kembali yang terjadi secara berulang dan spontan. Neuron-neuron yang dalam keadaan hipereksitabilitas karena trauma dapat membentuk fokus epilepsi di otak yang akan menimbulkan bangkitan dikemudian hari. Sebagai tambahan, neuron-neuron inhibisi kemungkinan akan menghilang. Eksitotoksistas merupakan kemungkinan faktor lain dalam penyebab PTE. TBI menyebabkan jumlah neurotransmitter glutamat dan aspartat banyak dilepaskan, yang mungkin dihubungan dengan timbulnya bangkitan. Sebagai tambahan, pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti GABA dapat berkurang. Overaktivasi dari reseptor biokimiawi dan respon terhadap neurotransmitter eksitasi seperti glutamat menyebabkan pembentukan radikal bebas dan hal ini menyebabkan eksitotoksisitas. Sel otak menjadi rusak karena eksitasi berlebihan dari reseptor untuk asam amino eksitatorik pada membran neuron. Kalsium diduga sebagai ion utama yang terlibat dalam eksitotoksisitas. Reseptor eksitatorik glutamat penting untuk masuknya ion kalsium kedalam sel yang dapat menimbulkan kematian sel, dan dapat menimbulkan efek permanen pada sel sebagai fokus epileptogenik yang kronik akan mengikuti eksitotoksisitas karena pelepasan neurotransmitter eksitasi yang berlebihan saat terjadi bangkitan. Glutamat menyebar luas di otak seperti halnya cairan ektrasel, neurotransmitter ini terlibat dalam banyak fungsi. Glutamat dalam jumlah besar memiliki efek eksitotoksik terhadap otak, pada saat yang bersamaan, glutamat juga berperan sebagai prekursor dari neurotransmitter inhibisi GABA (-aminobutirit acid), sehingga efeknya pada patogenesis epilepsi mungkin lebih rumit. Teori lain menyatakan adanya perubahan pada otak setelah trauma kepala, menyebabkan hilangnya fungsi neurotrasmiter inhibisi GABA yang penting untuk mencegah aktifitas kejang. Teori lain menyatakan fungsi neurotrasmiter inhibisi bukan menghilang, akan tetapi hanya berkurang dengan akibat yang serupa. Aktivitas GABAergik merupakan neurotransmiter inhibisi utama pada fungsi otak normal. Bidang lainnya yang sedang diteliti adalah peran dari inhibisi dalam proses epileptogenesis dan bagimana trauma dapat mengganggu sistem tersebut dan menyebabkan aktifitas serangan muncul. Reaksi dari otak terhadap trauma kelihatannya bermacam-macam dan agak rumit, dengan menggunakan binatang uji coba terbentuknya epileptogenesis hanya akan dapat diterapkan sebagian saja pada manusia karena berbagai gangguan multipel meskipun kecil dapat muncul dari trauma otak. Paling sering, kombinasi dari berbagai faktor mendasari pembentukan aktifitas bangkitan. Satu penelitian yang menarik (meskipun sangat kontroversial) yang diterbitkan akhir-akhir ini menemukan bahwa pencegahan bangkitan dengan fenobarbital dapat menunda perbaikan fungsi setelah adanya trauma pada otak tikus (Montanez et al., 2000). Hal ini menunjukkan bahwa adanya bangkitan itu sendiri mungkin merupakan suatu

mekanisme perlindungan otak dari trauma dan merupakan mekanisme pemulihan. Dengan demikian, ada anggapan bahwa terapi pencegahan bangkitan yang diberikan saat segera setelah cedera kepala (atau profilaksis) dapat memberikan hasil yang lebih merugikan daripada menguntungkan. VII. PENATALAKSANAAN Pasien yang dengan trauma kapitis baik yang ringan atau berat harus dilakukan CT scan sesegera mungkin dan perlu diulang jika keadaan pasien tidak bertambah baik. Pencitraan juga harus diulang pada kasus trauma kapitis ringan yang disertai kejang atau hal-hal yang tidak terduga (misalnya perubahan akut gangguan perilaku/mental) selama masa penyembuhan pasien. EEG (elektroencephalogram) hanya memiliki peran yang terbatas dalam evaluasi pasien dengan PTE yang mengalami perubahan tingkah laku yang berulang, demikian juga EEG tidak berguna dalam memprediksi perkembangan PTE. Pada pasien dengan trauma kapitis berat, terapi standar penggunaan fenitoin untuk profilaksis terhadap kejang dalam penatalaksanaan akut dari pasien. Jika serangan tidak terjadi, disarankan untuk menghentikan pengobatan setelah 1-2 minggu (Langendorf dan Pedley, 1997). Akan tetapi berdasarkan studi terbaru menunjukkan bahwa pencegahan awal terhadap kejang setelah trauma kapitis dapat mengakibatkan penyembuhan yang tertunda, hal ini perlu pengamatan yang sangat cermat untuk aplikasi klinis selanjutnya. Pengobatan awal dengan fenitoin belum terbukti mengurangi insidensi serangan lanjut, yang mengindikasikan bahwa obat ini tidak memiliki efek pada pembentukan PTE. Sehingga saat ini banyak diterapkan dalam praktek adalah menyediakan terapi awal selama beberapa minggu pada pasien dengan trauma kapitis sedang hingga trauma berat untuk mencegah kejang post trauma awal yang dapat sebagai komplikasi akut dari pasien tetapi tidak dapat digunakan untuk pencegahan jangka panjang. Pada orang-orang dengan bangkitan tunggal tanpa diketahui penyebabnya, keputusan akan dimulai atau tidak pemberian obat anti epilepsi tergantung pada resiko dari seseorang tersebut untuk mengalami bangkitan selanjutnya. Sementara bangkitan awal pertama tidak berhubungan dengan bangkitan berulang selanjutnya. Bangkitan lanjut tunggal memiliki 6590% kemungkinan berkembang menjadi bangkitan berulang. Karena risiko ini, pengobatan jangka panjang disarankan pada pasien yang mengalami bangkitan lanjut tunggal. Fenitoin merupakan obat pilihan dalam mengobati dan mencegah bangkitan awal dan lanjut sementara carbamazepine dan valproate juga terbukti berguna dalam pengobatan bangkitan lanjut. Orang-orang dengan PTE dapat diberi obat antiepilepsi (OAE) untuk mencegah bangkitan lebih lanjut. Akan tetapi, meskipun OAE dapat mencegah bangkitan selama dikonsumsi, ternyata OAE tersebut tidak mengurangi terjadinya bangkitan setelah dihentikan. Pasien biasanya resisten terhadap terapi obat-obatan. Obat antiepilepsi dapat menghilangkan bangkitan pada kira-kira 35% orang dengan PTE, sisanya PTE yang tidak respon terhadap pengobatan dapat dilakukan terapi pembedahan untuk menghilangkan fokus epileptogenik di otak, meskipun hal ini lebih sulit dari pada menghilangkan fokus epilepsi karena sebab lainnya. Pembedahan sepertinya kurang berguna pada PTE daripada epilepsi bentuk lainnya karena fokus epiletogenik kurang terlokalisir. Namun, pada orang-orang dengan sklerosis mesial temporal, yang dapat dijumpai pada kirakira sepertiga dari orang dengan PTE yang sulit diatasi dengan OAE, pembedahan sepertinya akan memiliki hasil yang baik. Secara garis besar penatalaksanaan pasien dengan epilepsi post trauma yaitu:

Bila terjadi kejang pada pasient setelah trauma kepala yang baru terjadi, perlu ditentukan adanya perdarahan intrakranial atau adanya perubahan gangguan metabolik lain yang dapat menimbulkan kejang (mis. hiponatremia). Pada pasien dengan kondiosi stabil dan tidak ditemukan gangguan metabolik lain (elektrolit serumnya dalam batas normal) dan status neurologis sama dengan sebelum kejang, pemeriksaan laboratorium lebih lanjut tidak dibutuhkan. Perlu diperhatikan apakah terjadi bangkitan epileptik pertama setelah trauma kepala atau kemungkinan bangkitan susulan selanjutnya. Lakukan MRI otak pada semua pasien dengan kejang post trauma. Jika MRI tidak tersedia, CT scan kepala dapat menggantikan. CT kurang sensitif dibanding MRI, tapi dapat digunakan untuk melihat adanya perdarahan intrakranial yang membutuhkan intervensi segera. EEG berguna terutama untuk menentukan lokasi fokus epilepsi dan untuk membantu menentukan prognosis. EEG tidak berguna dalam memprediksi kemungkinan bangkiatn post trauma, namun, dapat membantu dalam prediksi kemungkinan kambuh sebelum penghentian OAE.

; ; ;

; ;

VIII. PROGNOSIS Prognosis dari PTE lebih buruk bila dibandingkan dengan jenis epilepsi lain yang tidak diketahui sebabnya. Dalam satu studi ditemukan bahwa seseorang yang mengalami trauma otak dengan PTE membutuhkan waktu pemulihan lebih lama, mengalami lebih banyak problem-problem kognitif, kendala motorik dan aktivitas harian dibangdingkan orang dengan trauma yang sama tanpa PTE. Temuan ini menegaskan bahwa PTE merupakan indikator dari trauma otak yang lebih berat, daripada sebagai komplikasi yang memperburuk keluaran. Penelitian lainnya menemukan bahwa PTE berhubungan dengan keluaran sosial dan fungsional yang lebih buruk tetapi tidak memperburuk rehabilitasi pasien atau kembalinya ke pekerjaan. Meskipun orang dengan PTE dapat kesulitan mendapat pekerjaan jika mereka mengakui memiliki kejang, terutama melibatkan pekerjaan pengoperasian mesin-mesin berat. Kira-kira setengah dari kasus PTE mengalami remisi. Semakin lama seseorang tidak mengalami bangkitan, semakin rendah peluang epilepsi terjadi. Namun, kasus-kasus PTE yang onsetnya lama setelah trauma akan memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk mengalami remisi. Pertanyaan yang muncul, berapa lama seseorang dengan PTE masih mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami kejang dibandingkan populasi umum lainnya masih kontroversial. Sebagian besar penderita PTE memiliki serangan pertama dalam 2 tahun setelah TBI, angkanya dapat mencapai 80-90% atau lebih. Orang-orang tanpa serangan dalam 3 tahun setelah trauma memiliki kemungkinan hanya 5% untuk mengalami epilepsi. Salah satu penelitian menemukan bahwa orang yang bertahan dari trauma kepala mengalami peningkatan resiko terjadinya PTE hingga 10 tahun setelah TBI sedang dan lebih dari 20 tahun setelah TBI berat.

DAFTAR PUSTAKA
29 Oct Cedera Kepala SRS

TINJAUAN

PUSTAKA

2.1. DEFINISI Menurut Dawodu (2002) dan Sutantoro (2003), cedera kepala adalah trauma yang mengenai calvaria dan atau basis cranii serta organ-organ di dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif / non-kongenital, yang disebabkan oleh gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan fisik, kognitif maupun sosial serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran.

2.2. PATOFISIOLOGI Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Meskipun otak hanya seberat 2 % dari berat badan orang dewasa, ia menerima 20 % dari curah jantung. Sebagian besar yakni 80 % dari glukosa dan oksigen tersebut dikonsumsi oleh substansi kelabu. Cedera kepala yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera primer. Proses lanjutan yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk sel yaitu oksigen dan nutrien, terutama glukosa. Kekurangan oksigen dapat terjadi karena berkurangnya oksigenasi darah akibat kegagalan fungsi paru, atau karena aliran darah otak menurun, misalnya akibat syok. Karena itu pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak terganggu, sehingga oksigenasi tubuh cukup. Gangguan metabolisme jaringan otak akam menyebabkan edem yang mengakibaykan hernia melalui foramen tentorium, foramen magnum, atau herniasi dibawah falks serebrum. Jika terjadi herniasi jaringan otak yang bersangkutan akan mengalami iskemik sehingga dapat menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang menimbulkan kematian (3).

Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Cedera Primer Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak, robek pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk robeknya duramater, laserasi, kontusio). 2. Cedera Sekunder

Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut melampaui batas kompensasi ruang tengkorak. Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan volumenya tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan parenkim otak. Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal pada tingkat seluler. Cedera CPP CPP MAP ICP : : : Sekunder = Cerebral Mean Intra dan MAP Tekanan Perfusion Arterial Cranial Perfusi : ICP Pressure Pressure Pressure

Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia otak mengakibatkan edema sitotoksik kerusakan seluler yang makin parah (irreversibel). Diperberat oleh kelainan ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi, kejang, dll.

3. Edema Sitotoksik Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis Neurotransmitter yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid a.l. glutamat, aspartat). EAA melalui reseptor AMPA (N-Methyl D-Aspartat) dan NMDA (Amino Methyl Propionat Acid) menyebabkan Ca influks berlebihan yang menimbulkan edema dan mengaktivasi enzym degradatif serta menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-kejang). 4. Kerusakan Membran Sel Dipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym degradatif akan menyebabkan kerusakan DNA, protein, dan membran fosfolipid sel (BBB breakdown) melalui rendahnya CDP cholin (yang berfungsi sebagai prekusor yang banyak diperlukan pada sintesa fosfolipid untuk menjaga integritas dan repair membran tersebut). Melalui rusaknya fosfolipid akan meyebabkan terbentuknya asam arakhidonat yang menghasilkan radikal bebas yang berlebih. 5. Apoptosis Sinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound apoptotic bodies terjadi kondensasi kromatin dan plenotik nuclei, fragmentasi DNA dan akhirnya sel akan mengkerut (shrinkage). Dalam penelitian ternyata program bunuh diri ini merupakan suatu proses yang dapat dihentikan. 2.3. PATOLOGI Dari gambarannya (neuropatologi), kerusakan otak dapat digolongkan menjadi fokal dan difus, walaupun terkadang kedua tipe tersebut muncul bersamaan. Alternatif yang lain menggolongkan kerusakan otak menjadi primer (terjadi sebagai dampak) dan sekunder

(munculnya kerusakan neuronal yang menetap, hematoma, pembengkakan otak, iskemia, atau infeksi).

2.3.1. KERUSAKAN FOKAL 2.3.1.1. Kontusio kortikal dan laserasi Kontusio kortikal dan laserasi bisa terjadi di bawah atau berlawanan (counter-coup) pada sisi yang terkena, tapi kebanyakan melibatkan lobus frontal dan temporal. Kontusio biasanya terjadi multiple dan bilateral. Kontusio multiple tidak depresi pada tingkat kesadaran, tapi hal ini dapat terjadi ketika perdarahan akibat kontusio memproduksi ruang yang menyebabkan hematoma. 2.3.1.2. Hematoma intracranial Perdarahan intracranial dapat terjadi baik di luar (ekstradural) maupun di dalam dura (intradural). Lesi intradural biasanya terdiri dari campuran dari hematoma subdural dan intraserebral, walaupun subdural murni juga terjadi. Kerusakan otak bisa disebabkan direk atau indirek akibat herniasi tentorial atau tonsilar. 2.3.1.3. Intraserebral (Burst lobe) Kontusio di lobus frontal dan temporal sering mengarah pada perdarahan di dalam substansia otak, biasanya dihubungkan dengan hematoma subdural yang hebat. Burst Lobe adalah definisi yang biasanya digunakan untuk menerangkan penampakan dari hematoma intraserebral bercampur dengan jaringan otak yang nekrotik, ruptur keluar ke ruang subdural. 2.3.1.4. Subdural Pada beberapa pasien, dampaknya bisa mengakibatkan ruptur hubungan vena-vena dari permukaan kortikal dengan sinus venosus, memproduksi hematoma subdural murni dengan tidak adanya bukti mendasar adanya kontusio kortikal atau laserasi.

2.3.1.5. Ekstradural Fraktur cranii merobek pembuluh darah meningeal tengah, mengalir ke dalam ruang ekstradural. Hal ini biasanya terjadi pada regio temporal atau temporoparietal. Kadangkadang hematoma ekstradural terjadi akibat kerusakan sinus sagital atau transvesal. 2.3.1.6. Herniasi tentorial/tonsillar (sinonim: cone) Tidak seperti tekanan intrakranial tinggi yang secara direk merusak jaringan neuronal, tapi kerusakan otak terjadi sebagai akibat herniasi tentorial atau tonsillar. Peningkatan tekanan intrakranial yang progresif karena hematoma supratentorial, menyebabkan pergeseran garis tengah (mid line). Herniasi dari lobus temporal medial sampai hiatus tentorial juga terjadi (herniasi tentorial lateral), menyebabkan kompresi dan kerusakan otak tengah.. Herniasi tentorial lateral yang tidak terkontrol atau pembengkakan hemispheric bilateral difus akan mengakibatkan herniasi tentrorial central. Herniasi dari tonsil serebellar melalui foramen magnum (herniasi tonsillar) dan berikut kompresi batang otak bawah bisa diikuti herniasi tentorial central atau yang jarang terjadi,

yaitu

traumatik

posterior

dari

fossa

hematoma.

2.3.2. KERUSAKAN DIFUS 2.3.2.1. Diffused Axonal Injury (DAI) Tekanan yang berkurang menyebabkan kerusakan mekanik akson secara cepat. Lebih dari 48 jam, kerusakan lebih lanjut terjadi melalui pelepasan neurotransmiter eksitotoksik yang menyebabkan influs Ca 2+ ke dalam sel dan memacu kaskade fosfolipid. Kemungkinan genetik diketahui 4, dapat memainkan peranan dalam hal ini.dengan adanya gen APOE Tergantung dari tingkat keparahan dari luka, efek dapat bervariasi dari koma ringan sampai kematian. DAI terjadi pada 10-15% CKB. 60% DAI berakhir dengan kecacatan menetap dan vegetative state, 35-50% berakhir dengan kematian. Dalam proses biomekanis, DAI terjadi karena adanya proses deselerasi yang menyebabkan syringe trauma (tergunting) karena adanya gaya yang simpang siur. 2.3.2.2. Iskemia serebral Iskemia serebral umumnya terjadi setelah cedera kepala berat dan disebabkan baik karena hipoksia atau perfusi serebral yang terganggu/rusak. Pada orang normal, tekanan darah yang rendah tidak mengakibatkan rendahnya perfusi serebral karena adanya autoregulasi, terbukti adanya vasodilatasi serebral. Setelah cedera kepala, bagaimanapun juga sistem autoregulasi sering tidak sempurna/cacat dan hipotensi bisa menyebabkan efek yang drastis. Kelebihan glutamat dan akumulasi radikal bebas juga bisa mengkontribusikan kerusakan neuronal. Penyebab lain iskemia serebral adalah lesi massa yang menyebabkan herniasi tentorial, traksi atau perforasi pembuluh darah, spasme arterial, dan kenaikan TIK karena edema otak. Lokasi iskemia dapat terjadi pada korteks, hipokampus, ganglion basalis dan batang otak. (4,5,6) 2.4. GAMBARAN KLINIS Assesment dan klasifikasi pasien-pasien yang diduga mengalami cedera kepala, harus dipandu secara primer menggunakan Glasgow Coma Scale versi untuk dewasa dan anak-anak dan ini diturunkan dari Glasgow Coma Score. Glasgow Coma Scale bernilai antara 3 dan 15, 3 adalah yang paling buruk dan 15 adalah yang terbaik. Terdiri dari tiga parameter: Respon mata terbaik, respon verbal terbaik, dan respon motor terbaik. Glasgow Respon 4. 3. 2. 1. Respon 5. 4. 3. 2. 1. Respon Coma Mata Mata membuka membuka Mata Verbal Terorientasi Bingung Kata-kata Suara-suara Tidak yang ada Motorik tidak / tidak bisa respon Terbaik Scale Terbaik membuka dengan dengan tidak Terbaik (4) perintah rangsang spontan verbal nyeri membuka (5) baik disorientasi tepat dipahami verbal (6) (Dewasa)

Mata Mata

6. 5. 4. 3. 2. 1. Glasgow Respon 4. 3. 2. 1.

Mematuhi Melokalisasi Menghindari Fleksi Ekstensi Tidak Coma Mata Mata membuka membuka Mata ada terhadap terhadap respon Scale Terbaik membuka dengan perintah dengan rangsang tidak rasa

perintah nyeri nyeri nyeri nyeri motorik (Pediatric) (4) spontan verbal nyeri membuka

Mata Mata

Respon Verbal Terbaik (5) 5. Terjaga, mengoceh, kata/kalimat biasanya sesuai kemampuan. 4. Kurang dari kemampuan biasa dan/atau menangis irritable spontan 3. Menangis tidak tepat 2. Kadang-kadang merengek dan/atau merintih 1. Tidak ada respon vokal Komunikasi dengan infant atau anak-anak diperlukan perhatian yang seksama untuk menentukan respon verbal terbaik yang sesuai. Grimace adalah alternatif dari respon verbal, harus digunakan untuk pre-verbal atau pasien-pasien intubasi. Grimace Response (5) 5. Facial normal spontan/aktifitas oro-motor 4. Kurang dari kemampuan spontan biasa atau hanya respon untuk menyentuh stimuli 3. Menyeringai dengan semangat pada nyeri 2. Menyeringai ringan pada nyeri 1. Tidak ada respon pada nyeri Respon Motor Terbaik (6) 6. Mematuhi perintah atau menunjuukan gerakan spontan normal 5. Melokalisasi rangsang nyeri atau menghindari untuk menyentuh 4. Menghindari rangsang nyeri 3. Fleksi abnormal pada nyeri (decorticate) 2. Ekstensi abnormal pada nyeri (decerebrate) 1. Tidak ada respon pada nyeri Gejala klinis ditentukan oleh derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera otak kurang lebih sesuai dengan tingkat gangguan kesadaran penderita. Tingkat yang paling ringan ialah pada penderita gegar otak, dengan gangguan kesadaran yang berlangsung hanya beberapa menit saja. Atas dasar ini trauma kepala dapat digolongkan menjadi ringan bila derajat koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) total adalah 13-15, sedang bila 9-12, dan berat bila 38. lokasi cedera otak primer dapat ditentukan pada pemeriksaan klinik (7). 2.5. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan morfologi

cedera. a. Mekanisme : * Trauma tumpul kecepatan * Trauma tembus (luka b. * * * Ringan : skala koma Sedang Berat

berdasarkan adanya penetrasi duramter. : kecepatan tinggi (tabrakan). rendah (terjatuh, dipukul) tembus peluru dan cedera tembus lainnya) Keparahan Glasgow (Glasgow : : Coma Scale, GCS GCS GCS) cedera. 14-15 9-13 3-8

c. Morfologi Fraktur tengkorak kraniium linear/stelatum; depresi/non depresi; terbuka/tertutup basis dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII Lesi intracranial fokal epidural, subdural, intraserebral. difus konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus (2). 2.6. DIAGNOSIS 2.6.1. Anamnesis Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan : riwayat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan. Pada orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari tangga, jatuh di kamar mandi atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya, jatuh kemudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh. Anamnesis lebih rinci tentang: a. Sifat kecelakaan. b. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit. c. Ada tidaknya benturan kepala langsung. d. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa. Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang / turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung / disorientasi (kesadaran berubah) 2.6.2. Indikasi Rawat Inap : 1. Perubahan kesadaran saat diperiksa. 2. Fraktur tulang tengkorak. 3. Terdapat defisit neurologik. 4. Kesulitan menilai kesadaran pasien, misalnya pada anak-anak, riwayat minum alkohol, pasien tidak kooperatif. 5. Adanya faktor sosial seperti : a. Kurangnya pengawasan orang tua/keluarga bila dipulangkan. b. Kurangnya pendidikan orang tua/keluarga. c. Sulitnya transportasi ke rumah sakit.

Pasien yang diperbolehkan pulang harus dipesan agar segera kembali ke rumah sakit bila timbul gejala sebagai berikut : 1. Mengantuk berat atau sulit dibangunkan. Penderita harus dibangunkan tiap 2 jam selama periode tidur. 2. Disorientasi, kacau, perubahan tingkah laku 3. Nyeri kepala yang hebat, muntah, demam. 4. Rasa lemah atau rasa baal pada lengan atau tungkai, kelumpuhan, penglihatan kabur. 5. Kejang, pingsan. 6. Keluar darah/cairan dari hidung atau telinga 7. Salah satu pupil lebih besar dari yang lain, gerakan-gerakan aneh bola mata, melihat dobel, atau gangguan penglihatan lain 8. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat atau pola nafas yang tidak biasa Rawat inap mempunyai dua tujuan, yakni observasi (pemantauan) dan perawatan. Observasi ialah usaha untuk menemukan sedini mungkin kemungkinan terjadinya penyulit atau kelainan lain yang tidak segera memberi tanda atau gejala. Pada penderita yang tidak sadar, perawatan merupakan bagian terpenting dari penatalaksanaan. Tindakan pembebasan jalan nafas dan pernapasan mendapat prioritas utama untuk diperhatikan. Penderita harus diletakkan dalam posisi berbaring yang aman (4,5). 2.7. PEMERIKSAAN 2.7.1. Pemeriksaan Fisik Hal terpenting yang pertama kali dinilai bahkan mendahului trias adalah status fungsi vital dan status kesadaran pasien. Status fungsi vital Yang dinilai dalam status fungsi vital adalah: Airway (jalan napas) dibersihkan dari benda asing, lendir atau darah, bila perlu segera dipasang pipa naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen. Manipulasi leher harus berhati-hati bila ada riwayat / dugaan trauma servikal (whiplash injury). Breathing (pernapasan) dapat ditemukan adanya pernapasan Cheyne-Stokes, Biot / hiperventilasi, atau pernapasan ataksik yang menggambarkan makin buruknya tingkat kesadaran. Circulation (nadi dan tekanan darah). Pemantauan dilakukan untuk menduga adanya shock, terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh hematoma epidural. Status kesadaran pasien Cara penilaian kesadaran yang luas digunakan ialah dengan Skala Koma Glasgow; cara ini sederhana tanpa memerlukan alat diagnostik sehingga dapat digunakan balk oleh dokter maupun perawat. Melalui cara ini pula, perkembangan/perubahan kesadaran dari waktu ke waktu dapat diikuti secara akurat. Yang dinilai adalah respon membuka mata, respon verbal dan respon motorik. Status neurologis Pemeriksaan neurologik pada kasus trauma kapitis terutama ditujukan untuk mendeteksi adanya tanda-tanda fokal yang dapat menunjukkan adanya kelainan fokal, dalam hal ini perdarahan intrakranial. Tanda fokal tersebut ialah : anisokori, paresis / paralisis, dan refleks patologis..

Selain trauma kepala, harus diperhatikan adanya kemungkinan cedera di tempat lain seperti trauma thorax, trauma abdomen, fraktur iga atau tulang anggota gerak harus selalu dipikirkan dan dideteksi secepat mungkin 2.7.2. Pemeriksaan Penunjang Foto Rontgen tengkorak (AP Lateral) biasanya dilakukan pada keadaan: defisit neurologik fokal, liquorrhoe, dugaan trauma tembus/fraktur impresi, hematoma luas di daerah kepala. Perdarahan intrakranial dapat dideteksi melalui pemeriksaan arterografi karotis atau CT Scan kepala yang lebih disukai, karena prosedurnya lebih sederhana dan tidak invasif, dan hasilnya lebih akurat. Meskipun demikian pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan di setiap rumah sakit. CT Scan juga dapat dilakukan pada keadaan: perburukan kesadaran, dugaan fraktur basis kranii dan kejang. 2.8. PENANGGULANGAN PERAWATAN Setelah ditentukan fungsi vital, kesadaran, dan status neurologis harus diperhatikan kesembilan aspek sebagai berikut. 1. Pemberian cairan dan elektrolit disesuaikan dengan kebutuhan. Harus dicegah terjadinya hidrasi berlebih dan hiponatremia yang akan memperberat edem otak. 2. Pemasangan kateter kandung kemih diperlukan untuk memantau keseimbangan cairan. 3. Pencegahan terhadapa pneumonia hipostatik dilakukan dengan fisioterapi paru, mengubah secara berkala posisi berbaring, dan mengisap timbunan sekret. 4. Kulit diusahakan tetap tetap bersih dan kering untuk mencegah dekubitus. 5. Anggota gerak digerakkan secara pasif untuk mencegah kontraktur dan hipotrofi. 6. Kornea harus terus menerus dibasahi dengan larutan asam borat 2 % untuk mencegah keratitis. 7. Keadaan gelisah dapat disebabkan oleh perkembangan massa didalam tengkorak, kandung kemih yang penuh, atau nyeri. Setelah ketiga hal tersebut dapat dipastikan dan diatasi, baru boleh diberikan sedatif. Mengikat penderita hanya akan menambah kegelisahan, yang justru akan menaikkan tekanan intrakranial. 8. Kejang-kejang harus segera diatasi karena akan menyebabkna hipoksia otak dan kenaikan tekanan darah serta memperberat edem otak. Hipernatremi dapat timbul pada hari pertama pasca trauma, karena gangguan pada hipotalamus, batang otak, atau dehidrasi. Kenaikan suhu badan setelah hari kedua dapat disebabkan oleh dehidrasi, infeksi paru, infeksi saluran kemih, atau infeksi luka. Reaksi tranfusi dapat juga menimbulkan demam. Pemakaian antibiotik yang berlebihan dapat menyebabkan tumbuhnya kuman yang resisten, mengakibatkan kolitis pseudomembranosa, dan mengundang terjadinya sepsis. (3) 2.9. PENATALAKSANAAN

Pedoman resusitasi dan penilaian awal: 1. Menilai jalan napas : bersihkan jalan napas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jioka cedera orofasial mengganggu jalan napas, maka pasien harus diintubasi. 2. Menilai pernapasan : tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika tidak, beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks, hemopneumotoraks, pneumotoraks tensif. 3. Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intraabdominal atau

dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jatung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan larutan kristaloid (dekstrosa atau dekstrosa dalam salin) menimbulkan eksaserbasi edem otak pasca cedera kepala. 4. Obati kejang : kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala. Mula-mula berikan diazepam 10 mg iv perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan iv perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit. 5. Menilai tingkat keparahan a. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah) Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, atentif, dan orientatif) Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi) Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematom kulit kepala. Tidak ada criteria cedera kepala sedang-berat. b. Cedera kepala sedang (kelompok risiko sedang) Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor) Konkusi Amnesia pasca-trauma Muntah Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea, atau rinorea cairan serebrospinal) Kejang c. Cedera Skor Penurunan Cedera kepala berat (kelompok risiko skala koma Glasgow 3-8 derajat kesadaran secara Tanda neurologist kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi berat) (koma) progresif fokal kranium.

Pedoman umum penatalaksanaan: 1. Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal, kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal. 2. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur : - pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan Ringer Laktet : cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan cairan ii tidak menambah edem serebri. - Lakukan pemeriksaan hamatokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah : glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar alcohol bila perlu. 2.10. 1. 2. Memperbaiki / Mengurangi mempertahankan edema fungsi otak PENGOBATAN vital (ingat dengan ABC) cara:

Hiperventilasi. Bertujuan untuk menurunkan PO2darah sehingga men-cegah vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, PO2dipertahankan > 100 mmHg dan PCO2di antara 2530 mmHg. Cairan hiperosmoler. Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus untuk "menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol harus diberikan dalam dosis yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan 0,51 g/kgBB dalam 1030 menit. Kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid tidak / kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak. Barbiturat digunakan untuk mem"bius" pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang ketat. Pada 2448 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 15002000 ml/24 jam agar tidak memperberat edema jaringan. 3. Obat-obatan neuroprotectan seperti piritinol, piracetam dan citicholine dikatakan dapat membantu mengatasi kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma. 4. Perawatan luka da pencegahan dekubitus harus dilakukan sejak dini 5. Hemostatik tidak digunakan secara rutin; pasien trauma kepala umumnya sehat dengan fungsi pembekuan normal. Perdarahan intrakranial tidak bisa diatasi hanya dengan hemostatik. 6. Antikonvulsan diberikan bila pasien mengalami kejang, atau pada trauma tembus kepala dan fraktur impresi; preparat parenteral yang ada ialah fenitoin, dapat diberikan dengan dosis awa1250 mg intravena dalam waktu 10 menit diikuti dengan 250-500 mg fenitoin per infus selama 4 jam. Setelah itu diberi- kan 3 dd 100 mg/hari per oral atau intravena. Diazepam 10 mg iv diberikan bila terjadi kejang. Phenobarbital tidak dianjurkan karena efek sampingnya berupa penurunan kesadaran dan depresi pernapasan 2.11. PROGNOSIS

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi. Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehinnga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang. Penderita cedera kepala berat kadang mengalami amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran. Jika kesadaran telah kembali pada minggu pertama, maka biasanya ingatan penderita akan pulih kembali. Penderita bisa mengalami sindroma pasca konkusio, dimana sakit kepala terus menerus dirasakan dan terjadi gangguan ingatan. Status vegetatif kronis merupakan keadaan tak sadarkan diri dalam waktu yang lama, yang disertai dengan siklus bangun dan tidur yang mendekati normal. Keadaan ini merupakan akibat yang paling serius dari cedera kepala yang non-fatal. Penyebabnya adalah kerusakan pada bagian atas dari otak (yang mengendalikan fungsi mental), sedangkan talamus dan batang otak (yang mengatur siklus tidur, suhu tubuh,

pernafasan dan denyut jantung) tetap utuh. Jika status vegetatif terus berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, maka kemungkinan untuk sadar kembali sangat kecil. 2.12. KEGAWATDARURATAN CEDERA KEPALA

2.12.1. KOMOSIO SEREBRI Komosio serebri atau gegar otak adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin mutah, tampak pucat. Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada komosio serebri mungkin pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya rekaman kejadian antaranya di daerah lobus temporalis. Pemeriksaan yang selalu dibuat adalah: foto tengkorak, EEG, pemeriksaan memori. Terapinya simptomatis dengan mobilisasi secepatnya setelah keluhan-keluhan menghilang. (8) 2.12.2. EDEMA SEREBRI TRAUMATIK Otak dapat menjadi sembab tanpa disertai perdarahan pada trauma kapitis terutama pada anak-anak. Pada keadaan ini pingsan berlangsung lebih dari 10 menit dan pada pemeriksaan neurologik tidak dijumpai tanda-tanda kerusakan jaringan otak. Pasien mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah. Pada pemeriksaan cairan otak mungkin hanya dijumpai tekanan yang agak meingkat. Pada petinju mungkin terjadi keadaan grogi dengan kesadaran yang menurun ringan, tampak seperti linglung, gerakan tidak teratur, tidak efisien, kurang cepat, keseimbangan sedikit terganggu, mungkin hanay mengeluh sedikit nyeri kepala dan pusing. Keadaan demikian dapat berlangsung sebebntar atau hingga berhari-hari. Pada keadaan ini batang otak mengalami edema. Setelah membaik, penderita tidak ingat dengan baik apa yang telah dialaminya. Pemeriksaan tambahan yang dilakukan yang diperlukan sama dengan komosio serebri, bila mungkin ditambah dengan CT-Scan kepala. Terapi hanya istirahat dan simptomatis. (8) 2.12.3. KONTUSIO SEREBRI Pada kontusio serebri atau memar otak terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Pada trauma yang membentur dahi, kontusio terjadi di daerah otak yang mengalami benturan. Pada benturan di daerah parietal, temporalis dan occipital selain ditempat benturan dapat pula terjadi kontusio pada sisi yang bertentangan pada jalan garis benturan. Lesi kedua ini disebu lesi kontra benturan (contra-coup). Perdarahan mungkin pula terjadi di sepanjang garis gaya benturan ini, dan ada permukaan bagian otak yang menggeser karena gerakan akibat benturan ini. Pada pemeriksaan neurologik pada kontusio ringan mungkin tidak dijumpai kelainan neurologik yang jelas kecuali kesadaran yang menurun. Pada kontusio serebri dengan penurunan kesadaran yang berlangsung berjam-jam pada pemeriksaan dapat atau dijumpai defisit neurologik. Pada kontusio serebri yang berlangsung 6 jam penurunan kesadarannya, biasanya selalu dijumpai defisit neurologik neurologik yang jelas. Gejala-gejalanya bergantung pada lokasi dan luasnya daerah lesi. Keadaan klinis yang berat terjadi pada perdarahan besar atau tersebar di dalam jaringan otak, sering pula disertai perdarahan

subarakhnoidal atau kontusio pada batang otak. Edema otak yang menyertainya tidak jarang berat dan menyebabkan meningkatnya tekanan intra kranial. Tekanan intra kranial yang meninggi menimbulakan gangguan mikrosirkulasi otak dengan akibat menghebatnya edema. Dengan demikian timbullah lingkaran setan yang erakhir dengan kematian bila tidak diputus. Pada perdarahan dan edema di daerah diensefalon, pernapasan biasa atau bersifat CheyneStokes, pupil mengecil, reaksi cahaya baik. Mungkin terjadi rigiditas dekortikasi yaitu kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam sikap fleksi pada sendi siku. Pada gangguan di daerah mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun hingga koma, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan mata diskonjugat, tidak teratur, pernapasan hiperventilasi, motorik menunjukkan rigidiras deserebrasi dengan keempa ekstremitas kaku dalam sikap ekstensi. Pada lesi pons bagian bawah bila nuklei vestibularis terganggu bilateral, gerakan kompensasi bola mata pada gerakan kepala menghilang. Pernapasan tidak teratur. Bila medulla oblongata terganggu, pernapasan melambat tak teratur, tersengal-sengal menjelang kematian. Pemeriksaan tambahan yang perlu dilakukan adalah: foto Rontgen polos, bila mungkin CTScan, EEG, pungsi lumbal. Terapi: Tindakan yang diambil pada keadaan kontusio berat ditujukan untuk mencegah menigginya tekanan intra kranial. a. usahakan jalan napas yang lapang dengan: membersihkan hidung dan mulut dari darah dan muntahan melonggarkan pakaian yang ketat menghisap lendir dari mulut, tenggorok dan hidung untuk amannya gigi palsu perlu dikeluarkan bila perlu pasang pipa endotrakeal atau lakukan trakeotomi O2 diberikan bila tidak ada hiperventilasi b. hentikan perdarahan c. bila ada fraktur pasang bidai untuk fiksasi d. letakkan pasien dalam posisi miring hingga bila muntah dapat bebas keluar dan tidak mengganggu jalan napas e. berikan profilaksis antibiotik bila ada luka-luka yang berat f. bila ada syok, infus dipasang untuk memberikan cairan yang sesuai. Bila tidak ada syok, pemasangan infus tidak perlu dilakukan dengan segera dan dapat menunggu hingga keesokan harinya. Pada hari I pemberian infus diberikan 1,5 liter cairan / hari, yang 0,5 liter adalah NaCl 0.9%. Bila digunakan glukosa, pakailah yang 1% untuk mencegah menghebatnya edema otak dan kemungkinan timbulk=nya edem pulmonum. Setelah hari ke IV jumlah cairan perlu ditambah hingga 2,5 liter / 24 jam. Bila bising usus sudah terdengar, dapat diberi makanan cair per sonde. g. Pada keadaan edema otak yang hebat diberikan mannitol 20% dalam infus sebanyak 250cc dalam waktu 30 menit yang dapat diulang tiap 12-24 jam. h. Furosemid intramuskular 20mg per 24 jam, selain meningkatkan diuresis berkhasiat juga mengurangi pembentukan cairan otak. i. Untuk menghambat pembentukan edema serebri diberikan deksametason dalam rangkaian pengobatan sebagai berikut: Hari I : 10mg iv diikuti 5mg tiap 4 jam Hari II : 5mg iv tiap 6 jam Hari III: 5mg iv tiap 8 jam

Hari IV: 5mg im tiap 12 jam Hari V : 5mg im j. Pemantauan keadaan penderita selain keadaan umumnya perlu diperiksa secara teratur PCO2 dan PO2 darah. Keadaan yang normal ialah PCO2 sekitar 42mmHg dan PO2 diatas 70mmHg. Selanjutnya ialah perawatan dalam keadaan koma. (8,9) 2.12.4. EPIDURAL HEMATOMA Pada hematom epidural terjadi perdarahan diantara tengkorak dan duramater akibat robeknya arteri meningea media atau cabang-cabangnya. Arteri terletak diantara meningens dan tulang tengkorak. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar. Kelainan pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda. Baru setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan peningkatan tekanan intra kranial. Penderita akan mengalami sakit kepala, mual dan muntah dan diikuti oleh penurunan kesadaran. Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata anisokor yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada sisi kontra lateral dari benturan timbul gejala-gejala terganggunya traktus kortikospinalis, misalnya reflek tendo tinggi, reflek patologis positif dan hemiparese. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam, pupil kontra lateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkanreaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Ciri khas pada epidural hematoma murni adalah terdapatnya interval bebas antara dua penurunan kesadaran yang disebut lucid interval. Jika epidural hematoma disertai cedera otak seperti memar otak, lucid interval tidak akan terlihat sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur. Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergency dalam bedah saraf karena progresifitasnya yang cepat. Duramater melekat erat pada sutura sehingga langsung mendesak ke parenkim otak yang memudahkan terjadinya herniasi trans dan infra tentorial, sehingga jika penanganan terlambat maka pasien dapat meninggal. Diagnosis didasarkan pada gejala klinis serta pemeriksaan penunjang seperti foto Rontgen kepala. Adanya garis fraktur menyokong diagnosis epidural hematoma bila sisi fraktur yang terletak ipsilateral dengan pupil yang melebar. Garis fraktur juga dapat menunjukkan lokasi hematoma. Bila memungkinkan dapat dilakukan CT-Scan. Penanganan untuk epidural hematoma: a. Penanganan darurat: dengan trepanasi sederhana (boor hole) atau kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma b. Indikasi operasi dibidang bedah saraf: untuk life-saving dan untuk functional saving. Indikasi life-saving adalah jika lesi desak ruang bervolume >5cc (desak ruang thalamus), >10cc (desak ruang infra tentorial) dan >25cc (desak ruang supra tentorial). c. Indikasi evakuasi: efek massa yang signifikan yaitu penurunan klinis, efek massa dengan volume >20cc dengan midline shift >5mm dengan penurunan klinis yang progresif atau jika tebal EDH >1cm dengan midline shift >5mm dengan penurunan klinis yang progresif (3,5,8,10) 2.12.5. SUBDURAL HEMATOMA Subdural hematoma disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan robeknya vena dalam ruang subarakhnoid. Pembesaran hematoma kerana robeknya vena akan memerlukan waktu yang lama, sehari sampai beberapa minggu.

Subdural hematoma dibagi menjadi hematoma subdural akut bila gejala timbul pada hari pertama sampai ketiga, subakut bila timbula antara hari ketiga hingga minggu ketiga, dan kronis apabila timbul sesudah minggu ketiga. Subdural hematoma akut secara klinis sukaar dibedakan dengan epidural hematoma yang berkembang lambat. Subdural hematoma akut dan kronik memberi gambaran klinis suatu proses desak ruang yang progresif sehingga tidak jarang dianggap sebagai neoplasma atau dementia. Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah: sakit kepala yang menetap rasa mengantuk yang hilang-timbul linglung perubahan ingatan kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan. Subdural hematoma yang besar memberi gejala seperti hematom epidural. Pada perdarahan yang ringan memberi gejala permulaan yang ringan dan setelah beberapa waktu secara perlahan gejala menjadi berat dan sifatnya progresif. Nyeri kepala hebat, muntah. Gangguan penglihatan karena edem dari papil N II. - Pada sisi kontralateral hematom terdapat gangguan traktus piramidalis. Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan yaitu dengan Rontgen tengkorak AP-Lateral dengan sisi daerah trauma pada film. Jika memungkinkan dapat dilakukan CT-Scan dan EEG. Pada CT-Scan akan terlihat gambaran hiperdens berbentuk bulan sabit. Jika disertai kontusio serebri akan tampak pula bercak-bercak hiperdens di parenkim otak (salt and pepper). Pungsi lumbal tidak dilakukan karena tekanan intra kranial yang tinggi dapat menimbulkan herniasi tentorial. Penanggulangan terdiri dari trepanasi dan evakuasi hematoma. Karena subdural hematoma sering disertai cedera otak berat lain, maka dibandingkan dengan epidural hematoma, prognosisnya lebih jelek. (5,11) 2.12.6. SUBARAKHNOID HEMATOMA Perdarahan terjadi di rongga subarachnoid, sering menyertai kontusio serebri. Pada pungsi lumbal ditemukan cairan serebrospinal berdarah. Cairan serebrospinal yang berdarah tersebut dapat merangsang selaput otak sehingga timbul kaku kuduk. Penatalaksanaan seperti pada kontusio serebri. (2,3,5,12) 2.12.7. KERUSAKAN PADA BAGIAN OTAK TERTENTU Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri) biasanya akan mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.

2.12.7.1. Kerusakan Lobus Frontalis Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik (misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengelai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang. Kerusakan pada lobus frontalis dapat mengakibatkan kelainan yang berhubungan dengan hal ikhwal tingkah laku (kurang kontrol, agresif, anti-sosial), dementia, gerakan halus yang kurang lancar, gerakan yang kurang ritmis, dan afasia. 2.12.7.2. Kerusakan Lobus Parietalis Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan pada lobus parietalis dapat mengakibatkan apraksia, agnosia, disorientasi, gangguan body image, emiparesis, hemihipestesia dan hemianopsia. 2.12.7.3. Kerusakan Lobus Temporalis Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.(8)

2.13.

KELAINAN-KELAINAN

AKIBAT

CEDERA

KEPALA

2.13.1. EPILEPSI PASCA TRAUMA Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang merupakan respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak. Kejang terjadi padda sekitar 10% penderita yang mengalami cedera kepala hebat tanpa

adanya luka tembus di kepala dan pada sekitar 40% penderita yang memiliki luka tembus di kepala. Kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah terjadinya cedera. Obat-obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau valproat) biasanya dapat mengatasi kejang pasca trauma. Obat-obat tersebut sering diberikan kepada seseorang yang mengalami cedera kepala yang serius, untuk mencegah terjadinya kejang. Pengobatan ini seringkali berlanjut selama beberapa tahun atau sampai waktu yang tak terhingga. 2.13.2. AFASIA fasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami atau mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah kiri dan bagian lobus frontalis di sebelahnya. Kerusakan pada bagian manapun dari area tersebut karena stroke, tumor, cedera kepala atau infeksi, akan mempengaruhi beberapa aspek dari fungsi bahasa. Gangguan bahasa bisa berupa: - Aleksia, hilangnya kemampuan untuk memahami kata-kata yang tertulis - Anomia, hilangnya kemampuan untuk mengingat atau mengucapkan nama-nama benda. Beberapa penderita anomia tidak dapat mengingat kata-kata yang tepat, sedangkan penderita yang lainnya dapat mengingat kata-kata dalam fikirannya, tetapi tidak mampu mengucapkannya. Disartria merupakan ketidakmampuan untuk mengartikulasikan kata-kata dengan tepat. Penyebabnya adalah kerusakan pada bagian otak yang mengendalikan otot-otot yang digunakan untuk menghasilkan suara atau mengatur gerakan dari alat-alat vokal. Afasia Wernicke merupakan suatu keadaan yang terjadi setelah adanya kerusakan pada lobus temporalis. Penderita tampaknya lancar berbicara, tetapi kalimat yang keluar kacau (disebut juga gado-gado kata). Penderita menjawab pertanyaan dengan ragu-ragu tetapi masuk akal. Pertanyaan : Ini gambar apa? (anjing mengonggong) Jawaban : A-a-an-j-j-, eh bukan, a-a..aduh..b-b-bin, ya binatang, binatang..b-b..berisik Pada afasia Broca (afasi ekspresif), penderita memahami arti kata-kata dan mengetahui bagaimana mereka ingin memberikan jawaban, tetapi mengalami kesulitan dalam mengucapkan kata-kata. Kata-kata keluar dengan perlahan dan diucapkan sekuat tenaga, seringkali diselingi oleh ungkapan yang tidak memiliki arti. Penderita menjawab pertanyaan dengan lancar, tetapi tidak masuk akal. Pertanyaan : Bagaimana kabarmu hari ini? Jawaban : Kapan? Mudah sekali untuk melakukannya tapi semua tidak terjadi ketika matahari terbenam. Tabel: Penetapan Jenis berdasarkan Afasia kemampuan

Bicara spontan Pengertian berbahasa Pengulangan kata / kalimat Penyebutan nama benda Wernicle Broca Konduksi Global Anomi Lancar Tak lancar

Lancar Tak Lancar Baik Baik Buruk Baik Buruk Buruk Buruk Baik Buruk Baik Buruk Buruk Dasar Anterior Laju Upaya Aliran Isi Panjang Parafasia Meningkat Berkurang Substantif Pendek Jarang Normal Meningkat Gramatikal Panjang Ada: lancar (Broca) dan tak Posterior lancar

lancar Buruk

Buruk

Buruk

ialah (Wernicle) curahan wicara frase Berkurang

ada

Normal

meningkat (logorea)

ketiga

tipe

2.13.3. APRAKSIA Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis atau lobus frontalis. Ingatan akan serangkaian gerakan yang diperlukan untuk melakukan tugas yang rumit hilang; lengan atau tungkai tidak memiliki kelainan fisik yang bisa menjelaskan mengapa tugas tersebut tidak dapat dilakukan. Jenis-jenis apraksia ada 5 yaitu apraksia ideal, apraksia ideomotorik, apraksia kinetik, dressing apraksia, dan apraksia konstruksi. Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang mendasarinya, yang telah menyebabkan kelainan fungsi otak. 2.13.4. AGNOSIA

Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran atau fungsi normal dari benda tersebut, atau dengan kata lain ketidakmampuan untuk mengenal dan menginterpretasi rangsang indera. Penderita tidak dapat mengenali wajah-wajah yang dulu dikenalnya dengan baik atau bendabenda umum (misalnya sendok atau pensil), meskipun mereka dapat melihat dan menggambarkan benda-benda tersebut. Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus parietalis dan temporalis, dimana ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya disimpan. Agnosia seringkali terjadi segera setelah cedera kepala atau stroke. Tidak ada pengobatan khusus, beberapa penderita mengalami perbaikan secara spontan. 2.13.5. AMNESIA Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu. Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Cedera pada otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan akan peristiwa yang terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi retrograd) atau peristiwa yang terjadi segera setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca trauma). Amnesia hanya berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung kepada beratnya cedera) dan akan menghilang dengan sendirinya. Pada cedera otak yang hebat, amnesia bisa bersifat menetap. Mekanisme otak untuk menerima informasi dan mengingatnya kembali dari memori terutama terletak di dalam lobus oksipitalis, lobus parietalis dan lobus temporalis. Amnesia menyeluruh sekejap merupakan serangan lupa akan waktu, tempat dan orang, yang terjadi secara mendadak dan berat. Serangan bisa hanya terjadi satu kali seumur hidup, atau bisa juga berulang. Serangan berlangsung selama 30 menit sampai 12 jam atau lebih. Arteri kecil di otak mungkin mengalami penyumbatan sementara sebagai akibat dari aterosklerosis. Pada penderita muda, sakit kepala migren (yang untuk sementara waktu menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak) bisa menyebabkan anemia menyeluruh sekejap. Peminum alkohol atau pemakai obat penenang dalam jumlah yang berlebihan (misalnya barbiturat dan benzodiazepin), juga bisa mengalami serangan ini. Penderita bisa mengalami kehilangan orientasi ruang dan waktu secara total serta ingatan akan peristiwa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya. Setelah suatu serangan, kebingungan biasanya akan segera menghilang dan penderita sembuh total. Alkoholik dan penderita kekurangan gizi lainnya bisa mengalami amnesia yang disebut sindroma Wernicke-Korsakoff. Sindroma ini terdiri dari kebingungan akut (sejenis ensefalopati) dan amnesia yang berlangsung lama. Kedua hal tersebut terjadi karena kelainan fungsi otak akibat kekurang vitamin B1 (tiamin). Mengkonsumsi sejumlah besar alkohol tanpa memakan makanan yang mengandung tiamin menyebabkan berkurangnya pasokan vitamin ini ke otak. Penderita kekurangan gizi yang mengkonsumsi sejumlah besar cairan lainnya atau sejumlah besar cairan infus setelah pembedahan, juga bisa mengalami ensefalopati Wernicke. Penderita ensefalopai Wernicke akut mengalami kelainan mata (misalnya kelumpuhan pergerakan mata, penglihatan ganda atau nistagmus), tatapan matanya kosong, linglung dan mengantuk. Untuk mengatasi masalah ini biasanya diberikan infus tiamin. Jika tidak diobati bisa berakibat fatal. Amnesia Korsakoff terjadi bersamaan dengan ensefalopati Wernicke. Jika serangan ensefalopati terjadi berulang dan berat atau jika terjadi gejala putus alkohol, maka amnesia Korsakoff bisa bersifat menetap. Hilangnya ingatan yang berat disertai dengan agitasi dan

delirium. Penderita mampu mengadakan interaksi sosial dan mengadakan perbincangan yang masuk akal meskipun tidak mampu mengingat peristiwa yang terjadi beberapa hari, bulan atau tahun, bahkan beberapa menit sebelumnya. Amnesia Korsakoff juga bisa terjadi setelah cedera kepala yang hebat, cardiac arrest atau ensefalitis akut. Pemberian tiamin kepada alkoholik kadang bisa memperbaiki ensefalopati Wernicke, tetapi tidak selalu dapat memperbaiki amnesi Korsakoff. Jika pemakaian alkohol dihentikan atau penyakit yang mendasarinya diobati, kadang kelainan ini menghilang dengan sendirinya. (8 DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim._____. Cedera Kepala: Penatalaksanaan Fase Akut. http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/16PenatalaksanaanFaseAkut077.pdf/16Penatalaks anaanFaseAkut077.html 2. Arif, et al, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta. 3. Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong, 1997, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta. 4. Basuki, Endro, Sp.BS,dr; 2003, Materi Pelatihan GELS (General Emergency Life Support), Tim Brigade Siaga Bencana (BSB), Jogjakarta. 5. Sari, et al. 2005. Chirurgica Re-Package+ Edition. Jogjakarta, Tosca Enterprise. 6. http://www.fleshandbones.com/readingroom/pdf/883.pdf 7. http://www.boa.ac.uk/PDF%20files/NICE/NICE%20head%20injury%20guidelines.pdf 8. Harsono, 2000. Kapita Selekta Neurologi. Jogjakarta, Gajah Mada University Press. 9. Morales, D. 2005. Brain Contusion. www.emedicine.com 10. McDonald, D.K., 2006. Epidural Hematoma. www.emedicine.com 11. Wagner, A.L., 2005. Subdural Hematoma. www.emedicine.com 12. Gershon, A. 2005. Subarachnoid Hematoma. www.emedicine.com sorces : http://sanirachman.blogspot.com/2009/10/cedera-kepala_29.html#ixzz2Zp9ZfwSy Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial

Trauma Kapitis
Pengertian Trauma merupakan penyebab utama kematian pada populasi dibawah umur 45 tahun dan merupakan penyebab kematian no. 4 pada seluruh populasi. Lebih dari 50% kematian disebabkan oleh cidera kepala. Kecelakaan kendaraan bermotor menrupakan penyebab cedera kepala pada lebih dari 2 juta orang setiap tahunnya, 75.000 orang meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang selamat akan mengalami disabilitas permanent (York, 2000). Sedangkan menurut Brunner & Suddarth (2000), trauma capitis adalah gangguan traumatic yang menyebabkan gangguan fungsi otak disertai atau tanpa disertai perdarahan in testina dan tidak mengganggu jaringan otak tanpa disertai pendarahan in testina dan tidak mengganggu jaringan otak Tipe-Tipe Trauma : 1 Trauma Kepala Terbuka: Faktur linear daerah temporal menyebabkan pendarahan epidural, Faktur Fosa anterior dan hidung dan hematom faktur lonsitudinal. Menyebabkan kerusakan meatus auditorius internal dan eustachius. Trauma Kepala Tertutup

; ; ;

Comosio Cerebri, yaitu trauma Kapitis ringan, pingsan + 10 menit, pusing dapat menyebabkan kerusakan struktur otak. Contusio / memar, yaitu pendarahan kecil di jaringan otak akibat pecahnya pembuluh darah kapiler dapat menyebabkan edema otak dan peningkatan TIK. Pendarahan Intrakranial, dapat menyebabkan penurunan kesadaran, Hematoma yang berkembang dalam kubah tengkorak akibat dari cedera otak. Hematoma disebut sebagai epidural, Subdural, atau Intra serebral tergantung pada lokasinya.

Ada berbagai klasifikasi yang di pakai dalam penentuan derajat kepala. The Traumatic Coma Data Bank mendefinisakan berdasarkan skor Skala Koma Glasgow (cited in Mansjoer, dkk, 2000: 4): Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah) ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan orientatif) Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi) Tidak ada intoksikasi alkohaolatau obat terlarang Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit kepala Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat. Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor) Konkusi Amnesia pasca trauma Muntah Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle,mata rabun,hemotimpanum,otorhea atau rinorhea cairan serebrospinal). Skor skala koma glasglow 3-8 (koma) Penurunan derajat kesadaran secara progresif Tanda neurologis fokal Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.

Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)

Cidera kepala berat (kelompok resiko berat) ; ; ; ;

Menurut Keperawatan Klinis dengan pendekatan holistik (1995: 226): Cidera kepala ringan /minor ; ; SKG 13-15 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.Tidak ada fraktur tengkorak,tidak ada kontusio cerebral,dan hematoma. SKG 9-12 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.Dapat mengalami fraktur tengkorak.

Cidera kepala sedang ; ;

Cidera kepala berat

; ;

SKG 3-8 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam,juga meliputi kontusio serebral,laserasi atau hematoma intrakranial.

Annegers ( 1998 ) membagi trauma kepala berdasarkan lama tak sadar dan lama amnesia pasca trauma yang di bagi menjadi : 1 2 3 Cidera kepala ringan,apabila kehilangan kesadaran atau amnesia berlangsung kurang dari 30 menit Cidera kepala sedang,apabila kehilangan kesadaran atau amnesia terjadi 30 menit sampai 24 jam atau adanya fraktur tengkorak Cidera kepala berat,apabiula kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam,perdarahan subdural dan kontusio serebri.

Arif mansjoer, dkk (2000) mengklasifikasikan cidera kepala berdasarakan mekanisme, keparahan dan morfologi cidera. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi durameter: v Trauma tumpul : Kecepatan tinggi(tabrakan mobil). : Kecepatan rendah(terjatuh,di pukul). v Trauma tembus(luka tembus peluru dan cidera tembus lainnya. Keparahan cidera v Ringan : Skala koma glasgow(GCS) 14-15. v Sedang : GCS 9-13. v Berat : GCS 3-8. Morfologi v Fraktur tengkorak : kranium: linear/stelatum; depresi/non depresi; terbuka/tertutup. Basis:dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal, dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII. v Lesi intrakranial : Fokal: epidural, subdural, intraserebral. Difus: konkusi ringan, konkusi klasik, cidera difus. Jenis-jenis cidera kepala (Suddarth, dkk, 2000, l2210-2213) 1 Cidera kulit kepala. Cidera pada bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala berdarah bila cidera dalam. Luka kulit kepala maupun tempat masuknya infeksi intrakranial. Trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi atau avulsi. Fraktur tengkorak. Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak di sebabkan oleh trauma. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka dan tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura rusak dan fraktur tertutup keadaan dura tidak rusak. Cidera Otak. Cidera otak serius dapat tejadi dengan atau tanpa fraktur tengkorak, setelah pukulan atau cidera pada kepala yang menimbulkan kontusio, laserasi dan hemoragi otak. Kerusakan tidak dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir berhenti hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi.

Komosio. Komosio umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam waktu yang berakhir selama beberapa detik sampai beberapa menit. Komosio dipertimbangkan sebagai cidera kepala minor dan dianggap tanpa sekuele yang berarti. Pada pasien dengan komosio sering ada gangguan dan kadang efek residu dengan mencakup kurang perhatian, kesulitan memori dan gangguan dalam kebiasaan kerja. Kontusio. Kontusio serebral merupakan didera kepala berat, dimana otak mengalami memar, dengan kemungkinan adanya daerah haemoragi. Pasien tidak sadarkan dari, pasien terbaring dan kehilangan gerakkan, denyut nadi lemah, pernafsan dangkal, kulit dingin dan pucat, sering defekasi dan berkemih tanpa di sadari. Haemoragi intrakranial. Hematoma (pengumpulan darah) yang terjadi di dalam kubah kranial adalah akibat paling serius dari cidera kepala, efek utama adalah seringkali lambat sampai hematoma tersebut cukup besar untuk menyebabkan distorsi dan herniasi otak serta peningkatan TIK. Hematoma epidural (hamatoma ekstradural atau haemoragi). Setelah cidera kepala, darah berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak dan dura. Keadaan ini karena fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal tengah putus /rusak (laserasi), dimana arteri ini berada di dura dan tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis tulang temporal; haemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak. Hematoma sub dural. Hematoma sub dural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar, suatu ruang yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hematoma sub dural dapat terjadi akut, sub akut atau kronik. Tergantung ukuran pembuluh darah yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada. Hematoma sub dural akut d hubungkan dengan cidera kepala mayor yang meliputi kontusio dan laserasi. Sedangkan Hematoma sub dural sub akut adalah sekuele kontusio sedikit berat dan di curigai pada pasien gangguan gagal meningkatkan kesadaran setelah trauma kepala. Dan Hematoma sub dural kronik dapat terjadi karena cidera kepala minor dan terjadi paling sering pada lansia. Haemoragi intraserebral dan hematoma. Hemoragi intraserebral adalah perdaraan ke dalam substansi otak. Haemoragi ini biasanya terjadi pada cidera kepala dimana tekanan mendesak ke kepala sampai daerah kecil (cidera peluru atau luka tembak; cidera kumpil).

Etiologi Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua hal antara lain : 1 2 Benda Tajam. Trauma benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat. Benda Tumpul, dapat menyebabkan cedera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/ kekuatan diteruskan kepada otak.

Kerusakan jaringan otak karena benda tumpul tergantung pada : v Lokasi v Kekuatan v Fraktur infeksi/ kompresi v Rotasi v Delarasi dan deselarasi

Mekanisme cedera kepala 1 2 3 Akselerasi, ketika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam. Contoh : akibat pukulan lemparan. Deselerasi. Contoh : kepala membentur aspal. Deformitas. Dihubungkan dengan perubahan bentuk atau gangguan integritas bagan tubuh yang dipengaruhi oleh kekuatan pada tengkorak.

Tanda dan Gejala Tanda dan gejala cedera kepala dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama ( Hoffman, dkk, 1996): 1 2 3 ; ; ; ; ; ; Tanda dan gejala fisik/somatik: nyeri kepala, dizziness, nausea, vomitus Tanda dan gejala kognitif: gangguan memori, gangguan perhatian dan berfikir kompleks Tanda dan gejala emosional/kepribadian: kecemasan, iritabilitas Pada kontusio segera terjadi kehilangan kesadaran. Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal. Respon pupil mungkn lenyap. Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap seiring dengan peningkatan TIK. Dapat timbul mual-muntah akibat peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat timbul segera atau secara lambat. CT Scan : mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran ventrikel pergeseran cairan otak. MRI : sama dengan CT Scan dengan atau tanpa kontraks. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang). BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang otak.. 7 8 9 10 PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada otak. Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam peningkatan TIK. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK.

Gambaran klinis secara umum pada trauma kapitis :

Pemeriksaan Dianostik: 1 2 3 4 5 6

11 12

Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang. Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal. Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini, minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis meyulitkan penghentian sekresi hormone antidiupetik.

Komplikasi 1 2 3

Penatalaksanaan Medik Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik seperti hipotesis atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan otak (Tunner, 2000). Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada pendertia cedera kepala (Turner, 2000). Penatalaksanaan umum adalah sebagai berikut : Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi. Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma. Berikan oksigenasi. Awasi tekanan darah Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neuregenik. Atasi shock Awasi kemungkinan munculnya kejang. Penatalaksanaan lainnya: 1 2 3 4 5 6 Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi. Pemberian analgetika Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin). Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5% , aminofusin, aminofel (18 jam pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikana makanan lunak. Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp). Pemberian protein tergantung nilai urea N.

Tindakan terhadap peningktatan TIK

1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6

Pemantauan TIK dengan ketat. Oksigenisasi adekuat. Pemberian manitol. Penggunaan steroid. Peningkatan kepala tempat tidur. Bedah neuro. dukungan ventilasi. Pencegahan kejang. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi. Terapi anti konvulsan. Klorpromazin untuk menenangkan pasien. Pemasangan selang nasogastrik.

Tindakan pendukung lain

Pengkajian Keperawatan Data tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan cedera dan mungkin diperlukan oleh cedera tambahan pada organ-organ vital. Aktivitas/ Istirahat Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan. Tanda : Perubahan kesehatan, letargi Hemiparase, quadrepelgia Ataksia cara berjalan tak tegap Masalah dalam keseimbangan Cedera (trauma) ortopedi Kehilangan tonus otot, otot spastik Sirkulasi Gejala : Perubahan darah atau normal (hipertensi) Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi bradikardia disritmia). Integritas Ego Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis) Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung depresi dan impulsif. Eliminasi Gejala : Inkontenensia kandung kemih/ usus atau mengalami gngguan fungsi. Makanan/ cairan Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera. Tanda : Muntah (mungkin proyektil) Gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia). Neurosensoris

Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus kehilangan pendengaran, fingking, baal pada ekstremitas. Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma Perubahan status mental Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri) Wajah tidak simetri Genggaman lemah, tidak seimbang Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah Apraksia, hemiparese, Quadreplegia Nyeri/ Kenyamanan Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda biasanya koma. Tnda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih. Pernapasan Tanda : Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Nafas berbunyi stridor, terdesak Ronki, mengi positif Keamanan Gejala : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan Tanda : Fraktur/ dislokasi Gangguan penglihatan Gangguan kognitif Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekutan secara umum mengalami paralisis Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh Interaksi Sosial Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang. Diagnosa Keperawatan 1 2 3 4 5 6 Perfusi jaringan serebral tidak efektif b/d interupsi aliran darah Resiko terhadap ketidakefektifan pola nafas b/d kerusakan neurovaskuler, kerusakan persepsi atau kognitif, obstruksi trakeo bronkial Perubahan persepsi sensori b/d perubahan resepsi sensori, transmisi. Perubahan proses pikir b/d perubahan fisiologis, konflik psikologis. Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan kekuatan. Resiko infeksi b/d jaringan trauma, penurunan kerja silia, kekurangan nutrisi, respon inflamasi tertekan.

You might also like