You are on page 1of 9

Penebangan Liar Hutan

2008

Kelompok Anggota 1.Azzam Fazya 101010 152) 2.Fazil Amris 101010 174)

: :

SINERGI (0707 (0707

3.Fenni Henrizal (0707 101010 149) 4.Mhd.Riza Kurniawan (0707 101010 124) 5.Miftah Farid 101010 109) 6.Nanda Yusrida Putra (0707 101010 115) 7.Rizki Fajri Program Studi Pendidikan Dokter (0707 (0707 101010 123) 101010 142) (0707

Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala 8.T.M.Iqbal Muttaqien

[TYPE THE DOCUMENT TITLE]


[Type the abstract of the document here. The abstract is typically a short summary of the contents of the document. Type the abstract of the document here. The abstract is typically a short summary of the contents of the document.]

PENEBANGAN LIAR HUTAN A. Pengertian Hutan Kata hutan merupakan terjemahan dari kata bos (Belanda) dan forrest (Belanda). Jadi hutan (forrest) adalah daratan tanah yang bergelombang, dan dapat dikembangkan untuk kepentingan di luar kehutanan, seperti pariwisata. Ada 4 unsur yang terkandung dari definisi hutan di atas, yaitu: 1. Unsur lapangan yang cukup luas (minimal hektar), yang disebut tanah hutan. 2. Unsur pohon (kayu, bamboo, palem), flora dan fauna. 3. Unsur lingkungan. 4. Unsur penetapan pemerintah.

B. Fungsi Hutan Fungsi hutan, sbb: 1. Tempat penyimpanan tumbuhan dan hewan yang sudah teruji keberadaannya. 2. Tempat penyangga penyakit dan hama. 3. Penyaring udara. 4. Pelindung terhadap angin. 5. Pengatur tata air.

C. Jenis-Jenis Hutan 1. Menurut pemilikannya (Pasal 2 UU No 5 Thn 1967). Hutan Negara, dan Hutan Milik

2. Menurut fungsinya (Pasal 3 UU No 5 Thn 1996). Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Suaka alam Huta Wisata

3. Hutan menurut peruntukannya (Pasal 4 UU No 5 Thn 1967). Hutan Tetap Hutan Cadangan Hutan Lainnya

PENGERTIAN PENEBANGAN LIAR HUTAN Pembalakan liar atau penebangan liar (bahasa Inggris: illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. FAKTA PENEBANGAN LIAR HUTAN Walaupun angka penebangan liar yang pasti sulit didapatkan karena aktivitasnya yang tidak sah, beberapa sumber terpercaya mengindikasikan bahwa lebih dari setengah semua kegiatan penebangan liar di dunia terjadi di wilayah-wilayah daerah aliran sungai Amazon, Afrika Tengah, Asia Tenggara, Rusia dan beberapa negara-negara, bahkan dunia. Sebuah studi kerjasama antara Britania Raya dengan Indonesia pada 1998 mengindikasikan bahwa sekitar 40% dari seluruh kegiatan penebangan adalah liar, dengan nilai mencapai 365 juta dolar AS.Studi yang lebih baru membandingkan penebangan sah dengan konsumsi domestik ditambah dengan elspor mengindikasikan bahwa 88% dari seluruh kegiatan penebangan adalah merupakan penebangan liar. Malaysia merupakan tempat transit utama dari produk kayu ilegal dari Indonesia. DAMPAK PENEBANGAN LIAR HUTAN 1. Data yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 1985-1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan. 2. Berdasarkan hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumberdaya hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi. 3. Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang sama. Menurut analisis World Bank, hutan di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun 2010.

4. Praktek Illegal logging dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumberdaya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$1.4 milyar setiap tahun. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumberdaya hutan. 5. Penelitian Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai angka 3,8 juta hektar pertahun, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas illegal logging atau penebangan liar (Johnston, 2004). Sedangkan data Badan Penelitian Departemen Kehutanan menunjukan angka Rp. 83 milyar perhari sebagai kerugian finansial akibat penebangan liar (Antara, 2004). PENEBANGAN LIAR HUTAN DI INDONESIA Indonesia adalah pemilik 126,8 juta hektar hutan. Hutan seluas ini merupakan tempat tinggal dan pendukung kehidupan 46 juta penduduk lingkar hutan. Namun, saat ini, hutan kita berada dalam kondisi kritis. Laju perusakan hutan di Indonesia mencapai 2 juta hektar per tahun. Artinya, tiap tahun kita kehilangan areal hutan kurang lebih seluas Pulau Bali. Kerusakan hutan kita dipicu oleh tingginya permintaan pasar dunia terhadap kayu, meluasnya konversi hutan menjadi perkebunan sawit, korupsi dan tidak ada pengakuan terhadap hak rakyat dalam pengelolaan hutan. Maraknya penebangan liar di berbagai area kawasan hutan di Indonesia tak pernah berhenti. Hingga akhir bulan Juli silam, aksi itu menyebabkan 22 juta hektar hutan di Tanah Air ini masuk golongan kritis. Hutan produktif yang rusak berat itu mencapai sekitar 14,5 hektar, hutan konversi sebanyak 5,6 juta hektar, dan bekas tebangan yang perlu direhabilitasi sejumlah 13,7 juta hektar. Akibat kerusakan tersebut, negara dirugikan sebesar Rp 1,2 triliun lantaran kehilangan pemasukan pajak dari sektor kehutanan. Penebangan haram tersebut sejak 10 tahun terakhir tidak pernah teratasi dan bahkan semakin terang-terangan dilakukan. Dokumen-dokumen resmi yang melegalisasi kayu-kayu haram tersebut dan perlindungan militer menyebabkan praktek haram ini semakin sulit diberantas. Sebenarnya, hutan Indonesia hanya mampu memasok 46,77 juta meter kubik kayu bulat tiap tahunnya. Sayangnya, hal ini tak dipahami secara baik oleh pelaku industri kehutanan. Mereka terus saja menambah kapasitasnya tanpa memperhatikan kemampuan alam. Kapasitas industri kayu Indonesia mencapai 96,19 juta meter kubik, dua kali lipat kemampuan hutan Indonesia. Maraknya pembalakan liar adalah akibat dari ketimpangan permintaan dan ketersediaan kayu yang semakin meluluhlantakkan hutan kita. Tercatat total kayu ilegal untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam negeri mencapai 30,18 juta meter kubik, yang telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 36,22 triliun pada tahun 2006. Dalam lima tahun terakhir, kebutuhan bahan baku untuk industri olah kayu secara perlahan tetap meningkat, sementara kayu-kayu semakin sulit diperoleh. Ijin-ijin HPH skala kecil yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah telah mencapai belasan ribu buah di seluruh Indonesia tidak pernah mencukupi kebutuhan kayu nasional. Pabrik-pabrik kertas belum berhasil membangun

hutan-hutan tanaman dan beberapa diantaranya terancam tutup karena tidak mampu menutupi kebutuhan bahan baku. Meskipun telah pernah dilarang, pemerintah kembali mengeluarkan ijin praktek tebang habis (IPK) untuk menyelamatkan industri-industri tersebut. Sertifikasi ekolabel yang diramalkan dapat mendorong pengelolaan hutan lestari gagal, karena kerusakan hutanhutan di 30 konsesi HPH yang telah mendapat sertifikat ekolabel sama parahnya. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dalam laporannya pada tahun 2005 menyatakan bahwa Indonesia telah kehilangan devisa 7 milyar dollar AS per tahun dari sektor ini, dan ratusan ribu pekerja terancam kehilangan pekerjaan dalam dua tahun mendatang. KEUNTUNGAN MENGHENTIKAN PENEBANGAN LIAR HUTAN

Menahan laju kehancuran hutan tropis di Indonesia; Dapat memonitor dan penyergapan penebangan liar; Kesempatan menata industri kehutanan; Mengatur hak tenurial sumber daya hutan; Meningkatkan hasil sumber daya hutan non-kayu; Mengkoreksi distorsi pasar kayu domestik; Restrukturisasi dan rasionalisasi industri olah kayu Mengkoreksi over kapasitas industri Memaksa industri meningkatkan efisiensi pemakaian bahan baku dan membangun hutanhutan tanamannya.

KERUGIAN JIKA PENEBANGAN LIAR HUTAN TIDAK DILAKUKAN


Tidak dapat memonitor kegiatan penebangan haram secara efektif; Distorsi pasar tidak dapat diperbaiki dan pemborosan kayu bulat akan terus terjadi; Tidak ada paksaan bagi industri meningkatkan efisiensi, menunda pembangunan hutanhutan tanaman dan terus semakin jauh menghancurkan hutan alam; Defisit industri kehutanan sebesar US$ 2,5 milyar per tahun dari penebangan liar tidak bisa dihentikan; Hutan di Sumatra akan habis paling lama dalam 5 tahun, dan hutan Kalimantan akan habis paling dalam waktu 10 tahun; Kehilangan devisa sebesar US$ 7 milyar dan ratusan ribu pekerja kehilangan pekerjaannya.

Jeda pembalakan kayu [moratorium logging] hanyalah proses, bukan tujuan akhir. Moratorium menawarkan kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan seluruh rencana reformasi dan

pelaksanaan komitmen pemerintah di sektor kehutanan. Moratorium juga menjadi langkah awal bagi pelaksanaan seluruh reformasi tersebut. Langkah-langkah moratorium dapat dilakukan selama dua hingga tiga tahun dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: Tahap I: Penghentian pengeluaran ijin-ijin baru Moratorium atau penghentian pemberian atau perpanjangan ijin-ijin baru HPH, IPK, perkebunan, sambil menghentikan keran ekspor kayu bulat serta mengeluarkan kebijakan impor bagi industri olah kayu. Dalam tahap ini, perlu pula dilakukan penundaan pelaksanaan wewenang untuk pemberian ijin HPH dan IPHH (seluas <1000 Ha dan 100 hektar) oleh Bupati. Ijin-ijin oleh Bupati hanya dapat dikeluarkan bila daerah tersebut telah memiliki prasyarat sebagai berikut: adanya lembaga pengendalian dampak lingkungan tingkat daerah (semacam Bapedalda), adanya sumberdaya keuangan dan sumberdaya manusia untuk menjalankan kebijakan lingkungan daerah. Moratorium perijinan adalah syarat mutlak dan menjadi tahap pertama pelaksanaan moratorium di Indonesia. Tahap II: Pelaksanaan uji menyeluruh kinerja industri kehutanan Dalam waktu 2 bulan setelah moratorium dilaksanakan, penghentian ijin HPH bermasalah terutama yang memiliki kredit macet yang sedang ditangani oleh BPPN. Utang harus dibayar kembali oleh pemilik dan penegakan hukum dilakukan bagi industri-industri yang bermasalah. Pada tahap ini penilaian asset industri-industri bermasalah harus dilaksanakan melalui due diligence secara independen oleh pihak ketiga. Tahap III: Penyelamatan hutan-hutan yang paling terancam Dalam waktu 6 bulan, pemerintah harus menghentikan seluruh penebangan kayu di Sumatra dan Sulawesi, kedua pulau ini hutannya sangat terancam. Penataan kembali wilayah hutan di Sumatra dan Sulawesi serta penanganan masalah sosial akibat moratorium logging dengan mempekerjakan kembali para pekerja pada proyek-proyek penanaman pohon dan pengawasan hutan, seperti yang terjadi di Cina. Tahap IV: Penghentian sementara seluruh penebangan hutan dan penyelesaian masalahmasalah potensi sosial Dalam waktu satu tahun moratorium pembalakan kayu dilaksanakan, pemerintah dapat menghentikan seluruh kegiatan penebangan kayu di Kalimantan dan penanganan masalah sosial yang muncul sejauh ini dan selama masa moratorium dilaksanakan melalui sebuah kebijakan nasional. Tahap V: Larangan sementara penebangan hutan di seluruh Indonesia Dalam waktu 2-3 tahun: penghentian seluruh penebangan kayu di hutan alam untuk jangka waktu yang ditentukan di seluruh Indonesia. Pada masa ini, penebangan kayu hanya diijinkan di hutan-hutan tanaman atau hutan yang dikelola berbasiskan masyarakat lokal. Selama moratorium dijalankan, industri-industri kayu tetap dapat jalan dengan cara mengimpor bahan baku kayu. Dengan melanjutkan penggunaan bahan baku kayu dari dalam negeri, pada dasarnya kita sama saja dengan melakukan bunuh diri. Untuk memudahkan pengawasan

tersebut, maka jenis kayu yang diimpor haruslah berbeda dengan jenis kayu yang ada di Indonesia. Sebagai contoh aktivitas illegal logging di Aceh, yang terbukti telah memicu terjadinya banjir dan tanah longsor di sejumlah daerah, sebagian besar berada di dalam serta di sekitar hulu dan hilir Hak Pengusaha Hutan (HPH), Hak Pengusaha Hutan Tanaman Industri (HPH-TI), dan Hak Guna Usaha (HGU). Mengingat parahnya kondisi hutan di Aceh, maka perlu dilakukan penghijauan kembali hutan. Menanggapi kondisi tersebut, Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf menekankan untuk segera mengimplementasikan konsep Moratorium Hutan Aceh, dan menindak tegas segala bentuk aktivitas illegal di hutan. Sikap Gubernur NAD ini sangat positif, dan sebagai salah satu bentuk keseriusan pemerintah daerah dalam menyelamatkan hutan di Aceh. Masalahnya, sejauhmana keseriusan gubernur ini diikuti dan dipedomani oleh institusi di bawahnya? Tanpa ada sinkronisasi dan keterpaduan, serta inisiatif dan inovasi yang produktif dari jajaran, mustahil gagasan tersebut dapat terealisasi. Gubernur NAD perlu mendorong dan memprakarsai berbagai langkah yang strategis mengatasi hutan, misalnya selain terus mendorong terwujudnya program reboisasi, juga perlu dipertimbangkan adanya kampanye antikerusakan hutan atau berbagai rencana aksi yang dapat menimbulkan kepedulian masyarakat terhadap hutan. Program tersebut dirancang bukan hanya untuk memberi rangsangan dan kesadaran masyarakat bersama-sama pemerintah dan aparat keamanan dalam menjaga dan memelihara kelestarian hutan. Tetapi, jauh dari itu adalah untuk menumbuhkan pemikiran di masyarakat bahwa penyebab utama kehancuran hutan di Aceh, disebabkan lebih terkait persoalan moralitas. Hal ini penting, bukan hanya untuk mengamankan kekayaan sumber daya hutan, tetapi juga untuk meningkatkan public opinion tentang pelestarian hutan di Aceh. Sebab, sudah menjadi rahasia umum bahwasannya dalam berbagai kasus illegal logging dan perdagangan kayu, ikut bermain para cukong atau broker, masyarakat dan oknum petugas negara, baik sipil maupun militer.Tidak kalah pentingnya, pemerintah daerah Aceh perlu menciptakan lapangan pekerjaan baru di daerah sekitar hutan, agar masyarakat setempat tidak tergiur untuk menjadi penebang liar, serta perlunya diupayakan penggalangan terhadap kalangan LSM independen sebagai mitra kerja. Hal ini didorong oleh adanya beberapa kasus yang terungkap menunjukkan bahwa pemanfaatan masyarakat di sekitar hutan menjadi salah satu modus daripada aksi pembalakan hutan. Sementara peran LSM dipandang perlu dilibatkan, selain untuk ikut melakukan monitoring terhadap aksi-aksi kejahatan di hutan, juga sebagai alat kontrol bagi aparatur pemerintah yang diindikasi ikut bermain memuluskan kegiatan illegal logging. Hukum Terkait Penebangan Liar Hutan Dari sejumlah Peraturan Perundang-Undangan yang dapat diidentifikasi dan yang secara langsung berkaitan dengan perbuatan illegal logging pada pokoknya adalah sebagai berikut: 1. Pasal 50 Ayat (3) huruf e Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 menyebutkan, setiap orang[3] dilarang: menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; 2. Pasal 50 Ayat (3) huruf f UUK menyebutkan, setiap orang dilarang: menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan

yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; 3. Pasal 50 Ayat (3) huruf h UUK menyebutkan: setiap orang dilarang: mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;[4] 4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan, Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (emapt) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).

You might also like