You are on page 1of 7

SAMPLING AUDIT DALAM AUDIT INVESTIGATIF YANG BERMUARA PADA TEMUAN POPULASI Oleh: Nirwan Ristiyanto*)

Abstrak Audit investigatif perlu digalakkan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) karena korupsi dewasa ini bukannya mereda, malah semakin merebak. Seiring dengan pelaksanaan udit investgatif, mengemuka wacana bahwa auditor tidak boleh melakukan auditnya secara sampling. Alasannya, pengadilan perkara korupsi tidak menerima temuan tentang adanya kerugian negara/daerah yang didasarkan pada hasil audit secara sampling. Jika hal ini benar-benar diterapkan, maka audit investigatif tidak akan dapat dilakukan secara efisien. Untuk mengatasi hal ini, penulis mencoba memberikan solusi agar audit investigatif tetap dilaksanakan secara sampling, namun temuan tentang kerugian negara/daerah yang dihasilkan tetap bersifat populasi dan dapat diterima oleh semua pihak, termasuk di dalam persidangan tindak pidana korupsi.

1. Latar Belakang Dalam melakukan audit, pengujian secara sampling merupakan hal yang biasa, bahkan wajib dilakukan karena auditor tidak mungkin dapat melakukan pengujian atas dokumen atau bukti-bukti secara menyeluruh. Ketua tim selaku pihak yang bertanggung jawab atas

keberhasilan pelaksanaan audit harus mampu mencegah terjadinya risiko audit, yakni risiko berupa kesalahan menghasilkan kesimpulan audit yang salah. Risiko audit dapat terjadi antara lain karena kesalahan pengambilan sampel, padahal berdasar hasil audit yang sampling tersebut dimanfaatkan untuk menyimpulkan kondisi keseluruhan yang sifatnya populasi. Untuk audit investigatif, pemeriksaan demikian tidak dapat dilaksanakan, terutama dalam hal penyimpulan atas jumlah kerugian negara/daerah. Berhubung dengan kondisi seperti ini audit investigatif untuk kasus yang lokasinya tersebar tidak dapat meliput seluruh permasalahan yang ada. Akibatnya, simpulan tentang besarnya kerugian negara/daerah terpaksa hanya dibatasi pada jumlah yang benar-benar diuji, yakni sebatas pada kasus yang terjangkau secara sampling. Penyimpulan demikian akan berdampak pada tidak tuntasnya audit. Tulisan ini mencoba memberikan solusi untuk mengatasi masalah tersebut, yakni untuk audit investigatif yang lokasinya terpencar dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat namun dapat menjangkau permasalahan secara menyeluruh. Audit yang demikian berarti lebih efisien dan efektif.

2. Metode Sampling Dalam setiap pelaksanaan audit, baik audit keuangan, operasional maupun audit lain, auditor selalu dihadapkan dengan banyaknya bukti-bukti transaksi yang harus diaudit dalam waktu yang terbatas. Auditor bertanggung jawab atas akurasi simpulan yang dibuatnya. Untuk ini auditor harus merancang pemeriksaan sedemikian rupa agar pemeriksaan yang hanya dilakukan terhadap sebagian bukti atau dokumen yang ada namun tetap dapat mengambil kesimpulan yang sifatnya menyeluruh. Metode yang dapat dilakukan adalah metode sampling audit. Dengan sampling, diharapkan auditor invetigatif tetap dapat memperoleh hasil pengujian yang objektif dengan waktu dan biaya yang minimal, sehingga pekerjaan audit bisa efisien dan efektif.

Sampling adalah metode penelitian untuk dapat menarik kesimpulan secara umum terhadap kondisi populasi sekalipun pengujiannya hanya dilakukan terhadap sejumlah sampel terentu. Sampel adalah bagian atau elemen dari populasi yang dipilih untuk mewakili populasi yang ada. Sedangkan populasi adalah kumpulan objek secara utuh yang menjadi obyek penelitian.

3. Keterbatasan Sampling Audit dalam Audit Investigatif Jika dari sampling audit pada audit noninvestigatif dapat menarik simpulan untuk diberlakukan pada populasi, untuk audit investigatif ketentuan itu tidak dapat diberlakukan. Jika pada kasus yang data atau lokasinya tersebar dan auditor investigatif hanya dapat melakukan audit secara sampling, maka simpulan yang dibuat hanya berlaku untuk kasus yang terjadi pada sampel saja, tidak dapat diberlakukan untuk seluruh populasi. Sebagai contoh, seandainya auditor dari sampel sebanyak 20% dari populasi menemukan kerugian negara sebesar Rp5 milyar, maka auditor tidak dapat menggross-up atau menarik simpulan secara umum bahwa jumlah kerugian pada obyek pemeriksaan tersebut sebesar: 100/20 X Rp5 milyar = Rp25 milyar. Dalam hal demikian, auditor investigatif hanya dapat menarik simpulan bahwa kerugian negara yang terjadi sekurang-kurangnya sebesar Rp5 milyar. Tidak dapatnya auditor menggross-up kerugian negara tersebut karena di peradilan yang harus dibuktikan adalah kebenaran formil dan materiil. Penjelasan pasal 2 Ayat (1) Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan secara melawan hukum mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil. Pasal 165 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengemukakan bahwa hakim ketua sidang dan hakim anggota dapat minta kepada saksi segala keterangan yang dipandang perlu untuk 2

mendapatkan kebenaran. Pasal 185 (6) undang-undang tersebut juga mengemukakan bahwa dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan: (a) persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; (b) .persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; (c). alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu. Pasal 188 (3) KUHAP juga mengemukakan bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. Dari ketentuan tersebut dapat disintesakan bahwa kerugian negara/daerah yang dapat diakui hanya kerugian yang dapat meyakinkan hakim dan semua pihak bahwa telah terdapat persesuaian antara keterangan dari satu pihak dengan pihak lain sebagai suatu kebulatan. Dengan demikian maka kerugian negara/daerah yang diperoleh dengan cara menggross-up tidak dapat meyakinkan berbagai pihak dalam persidangan tindak pidana korupsi. Hal ini dapat dimengerti karena hasil gross-up tidak didukung fakta-fakta secara nyata. Simpulan berdasar gross-up, di persidangan tindak pidana korupsi hanya merupakan perhitungan matematis yang belum didukung dengan bukti-bukti yang sah dan meyakinkan.

4. Permasalahan Mengingat bahwa auditor pada umumnya dapat dan bahkan harus menerapkan sampling audit, namun pada audit investigatif perhitungan negara/daerah sebagai hasil dari metode sampling tidak diakui di persidangan. Dengan demikian apakah audit investigatif harus dilakukan secara populatif? Jika audit secara populatif tidak efisien dan tidak efektif, apakah audit investigatif yang kasus/lokasinya tersebar akan selalu tidak efisien dan tidak efektif? Permasalahan inilah yang akan diberikan solusinya pada tulisan ini.

5. Solusi Mengatasi Keterbatasan Samping Audit dalam Audit Investigatif Solusi yang dapat diberikan untuk menjawab permasalahan di atas adalah dengan melakukan audit secara sampling sebagaimana lazimnya dilakukan dalam audit, namun setelah mendapatkan indikasi tentang terjadinya tindak pidana korupsi, kerugian negara dihitung dengan melacak aliran keuangan. Dengan melacak aliran keuangan, auditor investigatif dapat menghitung kerugian negara/daerah secara menyeluruh seperti halnya dilakukan pemeriksaan populatif. 3

Hal ini dapat dilakukan jika tersebarnya lokasi kegiatan yang diaudit berasal dari satu manajemen. Dengan satu manajemen auditi, kebijakan yang diberlakukan di seluruh kegiatan adalah seragam. Contoh-contoh kegiatan seperti ini adalah: Proyek penghijauan yang melibatkan banyak wilayah dan banyak peserta proyek di banyak pedesaan; Proyek pembagian dana bantuan tunai seperti yang diberikan oleh pemerintah dalam kaitannya dengan penaikan harga bahan bakar minyak; Proyek pembagian dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) ke sekolah-sekolah; Bantuan sarana produksi pertanian (saprodi) kepada para petani; Proyek pembagian beras kepada masyarakat miskin; dan Proyek bantuan sosial kepada masyarakat miskin; Proyek perkebunan plasma yang melibatkan banyak petani plasma di bawah koordinasi perkebunan besar. Ciri-ciri proyek demikian adalah adanya kebijakan secara terpusat, lokasi proyek terpencar-pencar di berbagai wilayah, dan pihak pelaksana kegiatan atau penerima bantuan adalah masyarakat kalangan bawah. Proyek-proyek demikian pada dasarnya memiliki struktur organsasi yang hierarkhis dari atas sampai ke bawah. Bentuk proyeknya cenderung merupakan pembagian uang atau barang dari pemerintah ke masyarakat yang berhak. Oleh karena itu maka jika ada indikasi tindak pidana korupsi, dapat diduga karena ada pengaturan dari si pembuat kebijakan. Dugaan ini beralasan karena struktur organisasi yang ada merupakan garis lurus atau komando dari atas ke bawah. Dengan demikian maka jika dari pemeriksaan secara sampling diketahui ada penyimpangan di wilayah tertentu, maka diduga penyimpangan serupa juga terjadi di wilayah lain.

6. Prosedur Audit Prosedur audit yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut. Pertama, lakukan pemilihan sampel. Untuk ini lakukan pengelompokan wilayah yang akan dijadikan sasaran sampel, selanjutnya dipilih sampel pada tingkat paling rendah, yakni pada tingkat pelaksana kegiatan atau penerima bantuan. Sebagai contoh, proyek yang diperiksa adalah Bantuan Sarana Produksi Pertanian (saprodi) kepada para petani. Misalkan, melalui proyek ini Pemda memberikan bantuan berupa bibit jagung hibrida kepada 500 petani. Para petani penerima bantuan bibit berlokasi di lima kecamatan yang tersebar di 13 desa. 4

Anggaplah, auditor telah menetapkan sampal sebanyak 10% dari jumlah penerima bantuan, yakni sebanyak 50 petani. Untuk ini sampel sebanyak 50 petani dialokasikan ke sejumlah kecamatan dan desa secara proprsional. Penetapan nama kecamatan, desa, dan petani hendaknya dipilih secara acak. Kedua, lakukan audit secara sampling pada satu desa yang telah dipilih secara acak. Audit hendaknya mengarah pada konfirmasi tentang terjadinya indikasi kerugian

negara/daerah. Konfirmasi ini harus fokus mengarah ke kemungkinan adanya manipulasi karena sifat audit investigatif memang bertujuan membuktikan kebenaran informasi tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi. Jika dari audit ini diketahui ada indikasi korupsi, maka auditor membuat berita acara (BA) tentang terjadinya indikasi tersebut (BA wawancara) dengan para petani penerima bantuan bibit. Wawancara hendaknya dilakukan pada seluruh responden yang telah ditetapkan yang ada di desa itu. Perlu adanya fleksibilitas penunjukan petani di desa mengingat bahwa kondisi di lapangan sering tidak mudah menemukan nama petani yang diharapkan. Hal-hal yang perlu ditanyakan meliputi: (1) kondisi yang benar-benar terjadi yang menyimpang dari kondisi yang seharusnya atau yang tertuang dalam dokumen formal; (2) siapa yang menyerahkan uang/barang ke responden; (3) dan adanya pesan-pesan dari pihak yang menyerahkan uang/barang ke responden. Hal-hal tersebut harus secara jelas diketahui karena selanjutnya akan dimanfaatlkan untuk menelusur ke mana selisih barang dan mengapa bibit jagung tidak dibagikan sebagaimana mestinya. Dengan pertanyaan butir (1), auditor dapat memeroleh jawaban bahwa petani tidak menerima seperti yang dilaporkan dalam pertanggungjawaban proyek. Anggaplah, dari wawancara diketahui bahwa yang benar-benar diterima oleh petani hanya 50 kg/petani, sedangkan yang tercantum dalam laporan pertanggungjawaban proyek sebanyak 100 kg, berarti ada selisih 50 kg/petani. Dengan pertanyaan butir (2) tentang siapa yang menyerahkan barang ke petani. Anggaplah, yang membagi bibit adalah ketua kelompok tani di desa tersebut. Ketiga, berdasar temuan pada langkah pertama dan kedua, lakukan konfirmasi ke ketua kelompok tani di desa yang bersangkutan. Dengan berbekal BA wawancara dengan para petani, ketua kelompok tidak dapat menyangkal. Ketua kelompok akan membenarkan keterangan para petani. Jika tidak kurangnya pembagian bibit tersebut bukan karena kenakalan ketua kelompok, maka yang bersangkutan akan mengemukakan bahwa bibit tersebut diterimanya dari pejabat yang lebih tinggi, misalnya dari petugas kantor camat. 5

Konfirmasi ke ketua kelompok ini diarahkan untuk mengetahui aliran barang secara keseluruhan. Dari sini akan diketahui seluruh jumlah barang yang diterimanya dari atas dan yang disalurkannya ke anggota kelompok. Dengan demikian auditor telah dapat meningkatkan jumlah temuannya. Ketika auditor mewawancarai petani, misalnya hanya empat orang petani, auditor dapat mengetahui aliran barang untuk seluruh anggota kelompok tani di desa tersebut, misalnya sepuluh petani. Atas pengakuan ini auditor harus membuat berita acara wawancara. Data pendukung terkait seperti data tentang jumah bibit yang sebenarnya diterima dari petugas kantor camat, dokumen serah terima bibit, cara pembuatan dokumen yang menyatakan petani menerima bibit 100 kg/petani, dan nama petugas di kantor camat yang menyerahkan bibit ke ketua kelompok tani di desa itu, harus dimiliki oleh auditor. Keempat, lakukan audit serupa untuk desa lain. Jika diperoleh temuan yang sama, lakukan lagi ke desa lain di wilayah kecamatan yang sama. Jika dari pemeriksaan ini diperoleh temuan yang sama, berarti tidak diserahkannya sebagian bibit memang ada pengaturan dari manajemen tingkat atas. Kelima, konfirmasi ke petugas kantor camat. Karena auditor telah memiliki bukti-bukti kuat bahwa beberapa kelompok tani di beberapa desa memberikan pernyataan tidak menerima secara lengkap bantuan bibit jagung disertai dokumen-dokumen pendukungnya, petugas kantor camat pun tidak akan dapat mengelak, melainkan. Petugas ini akan membenarkan keterangan yang ada. Auditor harus mendapatkan aliran barang secara keseluruhan, bukan hanya yang terkait dengan desa yang telah diambil sebagai sampel. Jika di wilayah kecamatan ini hanya disampling dua desa, aliran barang yang kita dapatkan harus meliputi seluruh desa penerima bantuan, misalnya enam desa. Aliran barang tersebut meliputi jumlah barang yang diterimanya dari tingkat kabupaten, penyerahannya ke desa-desa, disertai dengan bukti-bukti pendukungnya. Hal yang tidak boleh dilupakan adalah diperolehnya informasi tentang dari siapa barang tersebut diterimanya dari tingkat kabupaten. Keenam, lakukan audit serupa mulai dari tingkat petani, ketua kelompok tani desa yang bersangkutan, petugas kantor camat di kecamatan lain. Temuan yang diharapkan adalah sama dengan kejadian di kecamatan lain. Ketujuh, berdasarkan data-data dari kecamatan yang terpilih sebagai sampel, lakukan konfirmasi ke pejabat penanggung jawab penyaluran barang di tingkat kabupaten. Pejabat tingkat kabupaten pun tidak akan dapat mengelak. Berbekal data yang dimiliki auditor, pejabat ini akan mengemukakan aliran barang yang sebenarnya di tingkat 6

kabupaten. Dari konfirmasi ini auditor harus mendapatkan informasi tentang: (1) berapa jumlah barang yang dimanipulasi untuk seluruh wilayah kabupaten, (2) jumlah kerugian negara /daerah, dan (3) siapa saja pihak-pihak yang bertanggung jawab atas temuan yang ada. Kedelapan, kesembilan, dan seterusnya auditor menelusur pihak yang paling bertanggung jawab atas terjadinya penyimpangan.

7. Simpulan Dengan melakukan prosedur tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa auditor investigatif yang hanya melakukan auditnya secara sampling ternyata dapat menarik simpulan tentang jumlah kerugian negara/daerah secara keseluruhan. Penyimpulan secara menyeluruh tersebut tidak dilakukan melalui gross-up, melainkan benar-benar didukung bukti-bukti yang diperlukan di persidangan tindak pidana korupsi secara lengkap. Ciawi, 4 Juni 2013

Daftar Pustaka Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. 2008. Sampling Audit. Diklat Penjenjangan Auditor Ketua Tim. Revisi Ketiga Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

*)

Nirwan Ristiyanto, Widyaiswara Utama Pusdiklatwas BPKP

You might also like