Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Secara umum, dapat dikatakan bahwa pokok penekanan kitab Amsal berkenaan dengan
persoalan tentang bagaimana seseorang hidup secara berhikmat.1 Dalam bagian prolognya (Ams.
1:1-4), pokok ini dideskripsikan sebagai tujuan kitab ini ditulis, yaitu untuk mengetahui hikmat dan
didikan, untuk mengerti kata-kata yang bermakna, untuk menerima didikan yang menjadikan
pandai, serta kebenaran, keadilan, dan kejujuran, untuk memberikan kecerdasan kepada orang yang
tidak berpengalaman, dan pengetahuan serta kebijaksanaan kepada orang muda. Menurut para ahli,
misalnya Tremper Longman dan Raymond B. Dillard, bagian prolog ini merupakan tambahan
redaktor terakhir dari kitab ini, mengingat nuansa religius yang tercantum di dalamnya.2 “Takut
akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan”
(Ams. 1:7). Jadi, tujuan ini bukan bersifat etis saja, sebagaimana yang sering terdengar dalam
Adapun tujuan di atas dieksplorasi sang kolektor3 dengan menempatkan amsal-amsal yang
1 Pengertian hm'k.x' terkait dengan “skill, the ability to excel in a particular activity” (R. B. Y. Scott,
Proverbs & Ecclesiastes [The Ancor Bible; New York: Doubleday & Company, Inc., 1965], 23). Meskipun demikian,
harus diakui bahwa “hikmat” memiliki pengertian yang lebih kaya daripada sekadar keahlian praktis (Lihat: Tremper
Longman, How to Read Proverbs [Downers Grove, Illionis: Intervarsity Press, 2002], 14-15
2 Tremper Longman & Raymon B. Dillard, An Introduction to the Old Testament (Grand Rapids, Michigan:
Zondervan, 2006), 268
3 Pendapat para ahli Perjanjian Lama bahwa kitab Amsal adalah sebuah koleksi pertama-tama terkait dengan
sumber-sumber dari materi kitab Amsal. Kitab ini memuat sekitar 300 dari 3000 amsal yang pernah digubah Salomo
(Ams. 10:1 – 22:16; bnd. 1 Raj. 4:32); amsal-amsal orang bijak (Ams. 22:17 – 24:22); amsal-amsal yang dikumpulkan
pegawai Hizkia (Ams. 25:1 – 29:27); perkataan-perkataan Agur bin Yake (Ams. 30:1-33) dan puisi akrostik dari ibu
Lamuel (Ams. 31:1-31). Selain itu, teori koleksi ini juga dikemukan berdasarkan adanya kemiripan (bahkan dapat
dikatakan duplikatif) dari beberapa amsal (mis. Ams. 19:5 dan 19:9) dan persebaran tema-tema kitab ini yang tidak
tersusun secara sistematis. Kenyataan tersebut mengindikasikan adanya periode transmisi atau suatu proses
perkembangan panjang yang berasal dari berbagai sumber, dimana kolektor akhir kitab ini tidak merasa tertarik untuk
menyusun tema-tema tersebut dalam kategori nalar modern yang sistematis. Di samping itu tidak dapat disangkali
bahwa secara historis, pengajaran dalam bentuk amsal-amsal bukan diawali dengan munculnya kitab ini. Mayoritas ahli
Perjanjian Lama menunjukkan bahwa sebelum periode kitab Amsal, telah tersimpan koleksi sastra hikmat yang
berjumlah cukup banyak, termasuk kumpulan teks sastra amsal yang beredar luas dalam kebudayaan Mesopotamia,
Mesir, dan dalam kelompok bahasa Semit Barat Laut sepanjang millennium ketiga sebelum Masehi. Adapun peredaran
amsal-amsal tersebut bersifat lintas-negara (internasional). Itulah sebabnya, tidak tertutup kemungkinan bahwa kitab
Amsal sendiri memiliki keterkaitan dengan amsal-amsal ancient Near-East. Sifat dari keterkaitan itu bukan sekadar
kemiripan, melainkan juga terdapat indikasi kompilatif antara isi kitab Amsal dengan amsal-amsal ancient Near-East.
Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat: Kenton L. Sparks, Ancient Texts for the Study of the Hebrew Bible: A Guide to the
Background Literature (Peabody, Massachusetts: Hendrickson Publishers, 2006), 56-82; bnd. Longman, How to Read
Proverbs, 62-77; William E. Mouser, Getting the Most Out of Proverbs (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Pulishing
House, 1991), 19. Untuk penjelasa mengenai reliabilitas teks literatur hikmat, lihat: Walter C. Kaiser Jr., The Old
1
berbicara tentang tema yang beragam untuk dikaitkan dengan hikmat sebagai tema utama. Eldon
Woodcock menjelaskan, Istilah “hikmat” yang muncul sekitar 101 kali dalam kitab Amsal tidak bisa
tidak harus dilihat sebagai tema utama dari kitab ini” 4 Selain itu, salah satu penekanan yang juga
sering kali muncul dalam kitab ini, yang digunakan sebagai antitesis dari hikmat adalah kebodohan.
W. S. Lasor, dkk., menyatakan bahwa pengoleksian amsal-amsal tersebut memiliki tendensi yang
kuat untuk “memperlihatkan secara tajam kontras antara akibat mencari dan menemukan hikmat
dengan akibat mengejar kehidupan yang bodoh”.5 Masalah hikmat dan kebodohan mewarnai
seluruh isi kitab Amsal. Tidak heran jika dalam komentar-komentar tentang kitab ini, selalu
Dalam makalah ini, penulis akan menggunakan pendekatan tematis7, khususnya untuk
meneliti makna “orang bodoh” dalam kitab Amsal. Menurut Denis Green, kitab ini memuat tiga
istilah yang merujuk kepada “orang bodoh” (lywIa/), yakni: orang yang tidak berpengalaman
(ytiP,), orang bebal (lysiK.), dan pencemooh (!Acl').8 Meskipun demikian, penulis akan
membatasi penelitian dan analisis pada istilah “orang yang tidak berpengalaman”. Namun
sebelumnya, penulis akan menguraikan secara ringkas tentang personifikasi hikmat dan kebodohan
dalam kitab ini. Jadi, sistematika penulisan makalah ini adalah: A) Personifikasi Hikmat: Wanita
Bernama Hikmat dan Wanita Bodoh; dan B) Amsal-amsal tentang Bodoh: “Orang yang Tidak
Berpengalaman”
Testament Documents: Are They Reliabile & Relevant? (Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 2001), 147-157
4 Eldon Woodcock, Proverbs: A Topical Study (Bible Study Commentary; Grand Rapids, Michigan:
Zondervan Publishing House, 1988), 34
5 W. S. Lasor, dkk: Pengantar Perjanjian Lama 2: Sastra dan Nubuat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005),
91
6 Para ahli menyebut tendensi ini sebagai “Doktrin Retribusi” yang tidak lain adalah karakteristik utama
traditional wisdom.
7 Studi tematis terhadap kitab Amsal walaupun harus disertai sikap kehati-hatian, namun paling tidak
memiliki dua keuntungan, yakni: “Pertama, studi ini memungkinkan setiap pembaca kitab untuk melibatkan diri dengan
keseluruhan teks, berinteraksi denganya di dalam level yang lebih dalam, dan sekaligus mempelajari prinsip-prinsip
penavigasian hidup yang penting. Kedua, studi jenis ini menyediakan dasar bagi rangkaian pelajaran-pelajaran atau
khotbah-khotbah menarik mengenai berbagai tema yang dibahas dalam kitab Amsal” (Lihat: Longman, How to Read
Proverbs, 118)
8 Lihat: Denis Green, Pembimbing pada Pengenalan Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, 1984), 138-
139
A. Personifikasi Hikmat: Wanita Bernama Hikmat dan Wanita Bodoh
manusiawi (personifikasi). Hikmat digambarkan sebagai seorang wanita yang berupaya menarik
perhatian orang-orang di jalanan, di lapangan-lapangan, di atas tembok dan di depan pintu gerbang
kota (Ams. 1:20-23) serta menawarkan upah yang menarik bagi mereka yang tertarik kepada
seruannya (Ams. 8:34-35). Mungkin tempat-tempat ini penting untuk didatangi hikmat karena
terkait dengan Social Setting pada waktu itu. Menurut David Atkinson, tempat-tempat ini selain
merupakan pusat keramaian dan kehidupan publik, juga merupakan tempat-tempat di mana
keputusan-keputusan seputar masalah keadilan, dan kesejahteraan rakyat dibicarakan oleh tua-tua
kota.9 Wanita bernama hikmat ini mendatangi tempat-tempat tersebut karena di sana ia dapat
mempengaruhi sebanyak mungkin orang dari semua kalangan. Ia ingin agar sebanyak mungkin
orang menikmati berkat dan kesuksesan karena berelasi dengannya (bnd. 3:13-18).
dirinya sebagai putri kesayangan yang setiap hari bermain dengan riang di hadapan Allah (8:22-30).
Sebelumnya hikmat menginformasikan bahwa ia berasal dari Allah, yakni “sebagai permulaan
pekerjaan-Nya, sebagai perbuatan-Nya yang pertama-tama dahulu kala” (8:22 dst.). Maka kita dapat
memahami mengapa di awal kitab ini diingatkan kedekatan perolehan hikmat dan relasi yang baik
dengan Tuhan (Ams. 1:7; diulangi lagi dalam ps. 9:9). Goldberg 10 menegaskan bahwa salah satu
jalan terpenting yang memimpin seseorang memperoleh hikmat adalah “communion with God”
Identitasnya tidak dijelaskan panjang lebar. Ia hanya digambarkan sebagai seorang wanita yang
“bebal cerewet, sangat tidak berpengalaman ia, dan tidak tahu malu.” Perempuan ini berupaya
9 David Atkinson, The Message of Proverbs: Wisdom for Life, ed. J. A. Motyer (InterVarsity Press, 1996),
31
10 Louis Goldberg, Savoring the Wisdom of Proverbs (Chicago: Moody Press, 1990), 29
11 Untuk mendalami topik tentang bagaimana bertumbuh dalam hikmat, lihat: Daniel J. Estes, Hear, My
Son: Teaching and Learning in Proverbs 1-9 (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1998), 87-100
3
menawarkan kenikmatan dari suatu relasi yang intim, padahal kebersediaan untuk mengikutinya
Para ahli Pernjanjian Lama sampai saat ini masih memperdebatkan tentang identitas
Wanita Hikmat dan Wanita Bodoh. Longman, walaupun mengakui adanya kepelbagaian pendapat
soal identitas mereka, yakin bahwa Wanita Hikmat mewakili Yahweh sendiri, sedangkan Wanita
Bodoh mewakili dewa-dewa Mesir, atau Mesopotamia (dewa-dewi Kanaan yang sering kali
memikat hati Israel adalah Baal dan Asherah). Ia mendasarkan pendapatnya atas deskripsi tentang
tempat tinggal kedua wanita tersebut (bnd. Ams. 9:1-2, 13-18).12 Di lain pihak, tampaknya R. B. Y.
indeed poetic and not ontological.”13 Selain itu, B. Lang menyatakan, “Woman Wisdom is a
pedagogical device.”14 Sebenarnya pendapat Lang berpusat pada asumsi tentang monotheisme
patriakhal Israel. Penulis sendiri lebih sependapat dengan Roland E. Murphy, yang menyatakan
“Pendapat yang mengasosiasikan secara ketat Wanita Hikmat dengan YHWH masih membutuhkan
penjelasan lebih lanjut”, karena nuansa teologi Israel yang patriakhal juga tidak dapat diabaikan, 15
Mengapa hikmat dan kebodohan dipersonifikasikan sebagai wanita? Pertanyaan ini juga
memiliki jawaban yang bervariasi. Salah satu jawaban yang disepakati mayoritas ahli adalah daya
tarik hikmat dan kebodohan sebagai penekanan yang ingin diperlihatkan para penulis kitab Amsal.
Daya tarik tersebut berusaha ditonjolkan dengan menempatkan figur wanita sebagai personifikasi
hikmat maupun kebodohan. Hal ini didukung oleh adanya nuansa seksual di balik undangan hikmat
dan kebodohan.16 Longman, misalnya, menjelaskan bahwa meskipun kedua wanita tersebut
menawarkan sifat jamuan yang bertolak belakang (wanita bernama hikmat menawarkan jamuan
yang bersifat positif, sedangkan wanita bodoh sebaliknya), namun berdasarkan latar belakang
sosialnya, kita dapat memahami bahwa “dalam kebudayaan Timur-Dekat purba, duduk makan
12 Longman, How to Read Proverbs, 33-34
13 Scott, Proverbs & Ecclesiaste, 71
14 Dikutip oleh: Roland E. Murphy, “Proverbs,” dalam Word Biblical Commentary, Logos Library System
(CD-Room; Nashville: Thomas Nelson, 1997; c1992)
15 Ibid.
16 Lihat diskusi tentang hal ini dalam: Ibid.
bersama seseorang adalah suatu bentuk relasi yang intim dengan orang tersebut”.17 Seseorang tidak
dapat bersikap tidak serius terhadap hikmat atau kebodohan. Ini adalah natur dari relasi antara
seseorang dengan kedua wanita tersebut. Itulah sebabnya, Atkinson menekankan, “Personifikasi itu
merefleksikan natur dari relasi dengan keduanya.”18 Ditinjau dari daya tariknya, hikmat dan
kebodohan tidak boleh dianggap hanya sebagai konsep yang abstrak; mereka dapat menjadi nyata
seperti halnya seorang perempuan dengan daya tarik yang sangat kuat, karena keduanya
“embodied”.19
Menarik untuk dicermati bahwa baik wanita bernama hikmat mapun wanita bodoh
mendatangi tempat dan audiens yang sama. Audiens mereka adalah semua orang yang mereka
temui di jalanan, lapangan-lapangan, dan pintu gerbang kota. Hal itu berarti bahwa mereka yang
mendengarkan ajakan kedua wanita itu dapat digambarkan sebagai orang yang berada “di
persimpangan jalan”. Keputusan mereka terhadap ajakan kedua wanita itulah yang nantinya
menentukan identitas apakah yang layak dilekatkan kepada mereka (termasuk konsekuensi dari
keputusan tersebut).
Terkait dengan penjelasan di atas, tampaknya kitab Amsal mencoba memberikan gambaran
lebih jelas mengenai identitas dan akibat yang tersedia bagi mereka yang tidak menghiraukan
undangan hikmat. Orang-orang yang demikian, disebut dengan istilah “orang bodoh”. Itulah
sebabnya, berikut ini penulis akan meneliti lebih lanjut tentang karakteristik dari “identitas” dan
Sebelum masuk ke dalam uraian tentang “orang yang tidak berpengalaman”, terlebih
dahulu penulis akan menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan istilah “orang bodoh” dalam
kitab Amsal.
5
Saat ini, mayoritas orang memahami bahwa kebodohan lebih terkait dengan intelektualitas
atau aspek kognitif. Pengertian yang demikian juga terlihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
yang mengaitkan pengertian “bodoh” dengan orang yang “tidak mudah tahu atau tidak dapat
mengerjakan sesuatu” dan “tidak memiliki pengetahuan”.20 Tampaknya definisi ini menekankan
tentang kesulitan seseorang dalam hal pengetahuan (knowledge) dan praktiknya. Maka konsekwensi
logis dari penekanan ini menempatkan istilah “bodoh” sebagai antitesis dari “pintar/pandai”. 21
Mungkin presuposisinya adalah bahwa kualitas intelektual seseorang memberikan dampak langsung
kepada kemampuannya untuk mengetahui dan bertindak. Konkretnya, orang yang (mampu untuk)
mengetahui banyak hal, kemungkinan besar dapat mengerjakan sesuatu dengan baik; sedangkan
orang berpengetahuan sedikit akan kesulitan untuk mengerjakan sesuatu. Kualitas intelektual
Dalam TDOT, dijelaskan bahwa Kata Ibrani lywIa/ (“bodoh”; yang digunakan sebanyak
19 kali dalam kitab Amsal), selain digunakan sebagai antitesis untuk hm'k.x' (hikmat), juga
sebagai antitesis dari kata rv'y" (tegak lurus, jujur, tulus) dan kata lk;f' (bijaksana). Arti dari kata
ini berbeda-beda sesuai dengan konteks penggunaannya. Dalam awal sirkulaisinya (mungkin dalam
konteks Mesopotamia, dimana kata ini diasosiasikan dengn dewa Marduk) kata lywIa digunakan
untuk menggambarkan cacat tubuh atau mental. Namun dalam konteks literatur hikmat (khususnya
literatur hikmat PL), istilah ini digunakan sebagai penghinaan yang ditujukan kepada “untactful
babbler of the Wisdom School”. Dalam konteks international wisdom, kata ini hanya digunakan
secara praktis-etis: tidak bertindak benar, mengabaikan nasihat orang tua, dsb. Hal itu berarti bahwa
awalnya istilah “bodoh” tidak berkoneksi dengan Yahweh atau hukum sebagaimana dalam koleksi
hikmat dari Salomo. Selanjutnya, secara teologis, arti kata ini merujuk kepada orang yang
mengabaikan, menolak, menghina Allah dan kebenaran-Nya melalui sikap, tutur kata, maupun
pikiran mereka (bnd. Ul. 28:34; Mzm. 14:1; Yes. 19:11; Yer. 22:16; Hos. 13:13, dsb)22
20 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 159
21 Tidak heran kalau Tim Penyusun KBBI menjelaskan lebih lanjut bahwa sifat utama dari kebodohan
adalah ketidaktahuan (Ibid., 160)
22 Lihat: G. Johannes Botterweck & Helmer Ringren, TDOT, Vol. 1, (trans. John T. Willis, Revised Edition;
Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1974), 137-140
Lasor dkk., menyatakan,
Kebodohan bukanlah ketidaktahuan, melainkan sikap meremehkan prinsip-prinsip moral dan kesalehan
secara sengaja. Kemerosotan moral, hilangnya tanggung jawab rohani dan ketidakpekaan sosial yang
digambarkan dalam Yesaya 32:6 merupakan ringkasan yang cocok untuk pandangan kitab Amsal tentang
orang bodoh.23
Scott menulis, “Sebagaimana hikmat, demikian pula kebodohan terkait dengan nilai-nilai
religius”.24 Jadi, bodoh bukan semata-mata antonim dari “pintar atau pandai”, melainkan dapat juga
Istilah “orang yang tidak berpengalaman” digunakan dalam kitab Amsal sebanyak 14 kali
(Ps. 1:4, 22, 32;7:7; 8:5; 9:4, 13, 16; 14:15, 18; 19:25; 21:11; 22:3; dan 27:12). Kata bahasa Ibrani
yang digunakan dalam bagian-bagian ini adalah: ytiP, yang dapat diterjemahkan sebagai: “simple,
foolish, young, naive person”.25 William Dyrness menjelaskan bahwa sebenarnya secara sederhana,
istilah ini mengindikasikan suatu sikap yang lugu.26 Artinya tidak terdapat nuansa negatif di balik
arti literal istilah ini. Namun dalam perkembangannya, istilah ini digunakan secara idiomatis untuk
orang yang karena terlalu polos sehingga mengabaikan segala pertimbangan yang seharusnya
dilakukan.27 Demikian pula yang dijelaskan dalam TWOT bahwa ide dasar dari istilah ini adalah “be
open, spacious, wide,”. Berdasarkan ide dasarnya, istilah ini kemudian direlasikan dengan
ketidakdewasaan atau orang yang bersikap terbuka terhadap segala sesuatu tanpa mempersoalkan
benar atau salahnya (bnd. Kel. 22:15; Hak. 14:15-16; dan 2 Kor. 18:19-21). 28 Itu berarti terjemahan
LAI terhadap kata ini lebih mendekati arti idiomatisnya daripada arti literalnya (beberapa versi
Alkitab, antara lain: NIV, KJV, YLT, ASV, NJB, dsb., menerjemahkan kata ini secara literal:
“simple”)
Paling tidak terdapat tiga karakteristik yang tergambar melalui penggunaannya dalam
7
amsal-amsal tentang orang yang tidak berpengalaman.
Pertama, orang tidak berpengalaman adalah orang yang tidak berpikir panjang. Amsal 7:1
dst., mengisahkan tentang nasihat seorang ayah kepada anaknya (atau seorang guru kepada
muridnya)29 agar menjauhi bujuk rayu dari seorang perempuan jalang. Sang ayah menganjurkan
agar anaknya memperhatikan nasihat tersebut dengan serius. Misalnya, dalam ayat 1 & 2, sang ayah
noun common masculine plural construct suffix 1st person cs; LAI menerjemahkannya dalam
bentuk tunggal: “perkataanku”), yang memberikan kesan tentang suatu sikap yang sangat serius
dalam hal memperhatikan, menjaga atau memelihara sesuatu yang sangat berharga “seperti biji
matamu”.30 Namun sebenarnya kesan ini timbul karena pengaruh vokalisasi Masoretik Teks
terhadap frase “the apple of the eye”.31 Pengertian yang sebenarnya dari istilah ini lebih dekat
kepada fungsinya, yaitu sebagai alat penerang di dalam kegelapan (bnd. Ams. 20:20).32 Perintah
sang ayah penting untuk dipelihara karena memiliki manfaat yang signifikan.
melihat seorang pemuda mengikuti memasuki rumah seorang wanita jalang yang telah bersuami
(Ams. 7:19).33 Wanita jalang tersebut digambarkan sebagai “woman occasionally or professionally
committing fornication or prostitute”.34 Hal ini terbukti dari cara berpakaian, motif tersembunyi di
balik penampilannya, dan dari cara ia menggoda pemuda tersebut dengan “berbagai-bagai bujukan”
(Ams. 7:22).35
tersebut tidak terjadi secara tiba-tiba. Mungkin tempat wanita tersebut sudah diketahui umum,
29 Perikop ini merupakan “the last of parental instruction” dalam kitab Amsal. Mungkin amsal-amsal dalam
perikop ini digunakan dalam setting keluarga dimana seorang ayah biasanya memberikan nasihat-nasihat kepada
putranya atau bisa juga terjadi dalam setting guru – murid. Pada waktu itu, para pengajar hikmat biasa memanggil
murid-muridnya dengan sebutan “anak” (lihat: Murphy, Proverbs)
30 Murphy, Proverbs
31 Kesan ini juga nyata dalam terjemahan LXX: “ko,raj ovmma,twn” yang merefleksikan keberhargaan
seseorang atau sesuatu hal, misalnya “seorang kekasih” (lihat: “BDAG Lexicon,” dalam BibleWorks LLC Version
6.0.005y)
32 Muphy, Proverbs
33 Genre dari bagian ini biasanya dikenal dengan istilah “Example Story”, yakni suatu ilustrasi yang
mengandung contoh tertentu, biasa dalam bentuk saga (bnd. Ams. 24:30-34; Pkh. 4:13-16)
34 “TWOT,” dalam BibleWorks LLC Version 6.0.005y
35 David Wyrtzen, Raising Wordly-Wise but Innocent Kids (Chicago: Moody Press, 1990), 130-131
termasuk pemuda tersebut sehingga ia “melangkah menuju rumah perempuan semacam itu, pada
waktu petang, senja hari, di malam yang gelap” (Ams. 7:8). Pemuda itu tidak mendapat “serangan
tiba-tiba” yang membuatnya mengikuti perempuan itu “seperti lembu yang dibawa ke pejagalan,
dan seperti orang bodoh yang terbelenggu untuk dihukum” (7:22). Dalam hal ini, penulis tidak
sependapat dengan David Wyrtzen yang menganggap pemuda ini jatuh ke dalam pelukan
perempuan itu karena bepergian tanpa rencana.36 Menurut penulis, kata “tiba-tiba” (~aoït.) dalam
ayat 22 (NAS: “suddenly”; NIV: “all at onces”; dan NJB: “forthwith”) sangat tepat mewakili nuansa
ketergesaan untuk memuaskan hasrat seksual yang telah “menawannya” sebelum berjumpa dengan
wanita tersebut. Obsesi terhadap daya tarik seksual si wanita jalang membuat pemuda tersebut,
sebagaimana yang ditulis Charles Bridges, “menyerah seperti prajurit yang tidak bersenjata di
Selanjutnya, dua amsal yang isinya identik satu sama lain (27:12 dan 22:3) 38 juga
memberikan penekanan yang kuat akan pengabaian pertimbangan yang matang dalam melakukan
sesuatu. Dalam kedua amsal tersebut, orang yang tidak berpengalaman dikontraskan dengan orang
bijak dalam sikap terhadap malapetaka. Orang bijak akan berupaya sedapat mungkin menghindari
malapetaka sedangkan orang yang tidak berpengalaman menghampirinya. Label “orang bijak” dan
“orang yang tidak berpengalaman” diberikan bukan karena mereka “berani atau tidak berani
menghadapi persoalan”. Jika demikian, orang yang tidak berpengalamanlah yang patut dipuji
karena ia “terus berjalan” menuju malapetaka. Label-label tersebut terkait dengan kemampuan
mereka melihat seberapa besar efek yang merugikan dari malapetaka tersebut. Woodcock
menjelaskan bahwa yang seorang disebut bijak bukan semata-mata karena ia menghindari
malapetaka, melainkan juga karena ia memilih tempat perlindungan yang sesuai yaitu tempat yang
mampu melindunginya dari besarnya malapetaka tersebut. Demikian juga, yang tidak
berpengalaman tidak dipuji karena kenekatannya berhadapan dengan malapetaka, tetapi justru
36 Ibid., 27-28
37 Charles Bridges, A Commentary on Proverbs (Edinburgh: The Banner of Trusth Trust, 1994), 69
38 h['är" ha'är" ~WrÜ[' (Ams. 27:12); h['är" ha'är" Ÿ~WrÜ[' (Ams. 22:3)
9
dicela karena tindakannya itu adalah tindakan yang “blindly plunge into dangers”.39
Jadi, dalam amsal-amsal di atas, sebutan orang yang tidak berpengalaman digunakan bagi
orang yang mengabaikan pertimbangan yang matang atau yang lebih dikuasai oleh keinginan/hasrat
bagaimana memuaskan birahinya. Mungkin salah satu contoh terkenal yang dapat digunakan untuk
menggambarkan tipe pemuda seperti di atas adalah Daud. Oleh karena birahinya ketika melihat
Batsyeba, Daud melakukan dosa yang berakibat fatal seumur hidupnya (bnd. 2 Raj. 11:2-27).
Seperti pemuda di atas, sebelum terlibat secara fisik dengan Batsyeba, sesungguhnya Daud telah
Kedua, orang yang tidak berpengalaman adalah orang mudah mempercayai segala sesuatu
(14:15).40 Akar kata Ibrani dari “mempercayai” adalah !m;a'. Dalam ayat ini, kata !m;a'
digunakan dalam bentuk hiphil, yang berarti: “to believe in”.41 Makna yang sama juga terlihat jelas
dalam terjemahan LXX: pisteu,ei (verb indicative present active 3rd person singular) yang
berarti: “believe (in), have faith (in) (with God or Christ as object); believe, believe in; have
confidence (in someone or something), entrust something to another (bnd. Rm. 14.2)”. 42
Selanjutnya, kata “segala perkataan” (ITB; KJV; LXX) di sini sebaiknya diterjemahkan dengan
“segala sesuatu” (NAS; NIV). Oleh karena rb"+D"-lk'l disandingkan dengan Ar*vua]l; yang
secara figuratif mengindikasikan suatu tindakan yang konsisten dengan kehendak Allah (bnd. Ayb.
31:7; Mzm. 17::5; 44:19; 73:2).43 Jadi dari segi literary context-nya, rb"+D"-lk harus dimengerti
Pemuda ini disebut tidak berpengalaman karena ia telah kehilangan filter terhadap segala
sesuatu yang ia lihat, alami, dan dengar. Ketika berhadapan dengan realitas, pemuda ini tidak
memiliki suatu dasar pertimbangan yang dapat dia pakai untuk menilai atau mengevaluasinya.
Kondisi pemuda ini mungkin dapat disamakan dengan “rumah yang telah dibersihkan” dalam
39 Woodcock, Proverbs, 116
40 Mungkin lebih baik menerjemahkan rb"+D"-lk'l dalam ayat ini dengan “segala sesuatu” daripada
“segala perkataan”.
41 “TWOT Hebrew Lexicon,” dalam BibleWorks LLC Version 6.0.005y
42 “UBS Lexicon” dalam BibleWorks LLC Version 6.0.005y
43 “TWOT Hebrew Lexicon,” dalam BibleWorks LLC Version 6.0.005y
perumpamaan Yesus, yang karena tidak berpenghuni maka akhirnya dikuasai kembali oleh
kejahatan (bnd. Mat. 12:43-45; Luk. 11:24-26).44 Salah satu bahaya yang rentan dialami oleh tipe
orang seperti ini adalah sebagaimana yang disebutkan Woodcock, yakni ia adalah “orang yang
mudah ditipu.45 Dalam bagian lain, Yesus juga mengingatkan orang-orang dengan maksud yang
sama seperti yang diantisipasi dalam Amsal 14:15. Jika amsal ini mengungkapkan maksudnya
secara indikatif, maka maksud yang sama juga dikemukakan Yesus dalam bentuk imperatif:
Waspadalah supaya jangan ada orang yang menyesatkan kamu! Sebab banyak orang akan
datang dengan memakai nama-Ku dan berkata: Akulah Mesias, dan mereka akan
menyesatkan banyak orang…. Jadi, apabila orang berkata kepadamu: Lihatlah, Ia ada di
padang gurun, janganlah kamu pergi ke situ; atau: Lihat, Ia ada di dalam bilik, janganlah
kamu percaya (Mat. 24:4, 26).
Rasul Paulus menasihatkan: “ujilah segala sesuatu” (1 Tes 5:21). Demikian pula Yohanes
mengingatkan: “ujilah roh-roh itu apakah mereka berasal dari Allah” (1 Yoh. 4:1). Beberapa kutipan
menavigasi hidupnya, sebagaimana yang diuraikan di atas, tentu saja tidak bersesuaian dengan
sebabnya, Amsal 1:32 menggemakan akibat yang akan ditanggung oleh orang yang tidak
berpengalaman dalam kaitan dengan sikap negatifnya terhadap panggilan Wanita Hikmat. Istilah
Ayat ini ditempatkan dalam konteks panggilan Wanita bernama Hikmat (bnd. Ams. 1:20 dst.). Maka
arti ayat ini merujuk kepada sikap “menolak untuk mengikuti”, atau “upaya yang dilakukan secara
sengaja untuk melarikan diri/berbalik” dari ajakan Wanita Hikmat. Dalam kaitannya dengan
identitas Wanita Hikmat dan Wanita Bodoh, Longman berpendapat bahwa “orang yang tidak
berpengalaman” dalam ayat ini memilih untuk mengikuti Wanita Bodoh. Pilihan yang salah ini
menempatkan orang tersebut pada jalan kematian. Longman melihat bahwa Yeremia 3:2-3
11
merupakan contoh yang tepat untuk bagian ini. Yeremia menulis tentang “kematian” bagi Israel
akibat menyembah Baal. Dalam hal ini, kematian yang dimaksud adalah musim kekeringan dan
kehancuran Yerusalem akibat serangan tentara Babilon, bahkan mereka dibawa ke pembuangan.47
Contoh lain yang mungkin dapat ditambahkan di sini adalah seperti yang tercantum dalam
Yeremia 2:19, “Kejahatanmu akan menghajar engkau, dan kemurtadanmu akan menyiksa engkau!
Ketahuilah dan lihatlah, betapa jahat dan pedihnya engkau meninggalkan TUHAN, Allahmu;….”
The coming judgment of Israel was not a random act of God but a direct consequence of the nation’s sin.
Israel’s own crimes would return to haunt it; its “defections” from the treaty stipulations would rebuke the
nation in its self-induced judgment. To desert God brings with it the experience of evil and bitterness;
nothing can avert the consequence other than a penitent return to the God of covenant, a theme that is
developed in the next chapter.48
Uraian di atas memperlihatkan bahwa ayat ini menyebutkan “orang yang tidak
berpengalaman” dalam pengertian pengambilan keputusan yang tidak tepat. Seharusnya ia memilih
panggilan Wanita Hikmat daripada yang sebaliknya. Akhirnya ia harus membayar pilihannya sendiri
dengan hukuman. Ajakan Wanita Hikmat adalah ajakan yang tidak mengenal kenetralan.
Barangsiapa menolak hikmat akan mendapatkan celaka, sebaliknya yang menyambut ajakannya
“akan tinggal dengan aman, terlindung dari pada kedahsyatan malapetaka” (Ams. 1:33).
Konklusi
Dalam penelusuran terhadap konteks dan tendensi amsal-amsal yang menyinggung soal
“orang yang tidak berpengalaman” di atas akhirnya memperlihatkan bahwa istilah ini tidak
berasosiasi sama sekali dengan “orang yang belum memiliki banyak pengalaman” (dalam
pengertian kita saat ini). Istilah ini, terkait dengan apakah seseorang dapat menangani atau
menyalurkan impuls-impuls seksualitasnya dalam koridor yang benar atau sebaliknya. Pada saat,
seseorang “menyerah” terhadap hasrat seksualnya dan menyalurkannya secara salah, saat itu
predikat “orang yang tidak berpengalaman” bagi mereka yang bertindak sebaliknya. Signifikansi
dari tuntutan tersebut diungkapkan melalui pemberitahuan tentang konsekuensi buruk yang akan
diderita oleh orang yang mengabaikan nasihat-nasihat hikmat. Sebuah komentar yang dapat
…the bitter fruit of living their own way will be the consequence people will experience in this life. Faced
with either choosing God’s wisdom or persisting in rebellious independence, many decide to go it alone. The
problems such people create for themselves will destroy them. Don’t ignore God’s advice even if it is painful
for the present. It will keep you from greater pain in the future.49
Jadi, penggunaan istilah “orang yang tidak berpengalaman” sekaligus mengingatkan kita
akan karakteristik traditional wisdom yang melatarbelakangi kitab Amsal atau yang biasanya
disebut “doktrin retribusi”. Hidup sukses bagi mereka yang mengikuti jalan hikmat, sedangkan
hukuman dan malapetaka bagi mereka yang menempuh jalan kebodohan. Mereka yang memilih
jalan yang terakhir inilah yang disebut “orang yang tidak berpengalaman”.
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Buku
Atkinson, David, The Message of Proverbs: Wisdom for Life. ed. J. A. Motyer ; InterVarsity Press,
1996
Botterweck, G. Johannes, & Helmer Ringren, TDOT, Vol. 1, trans. John T. Willis, Revised Edition;
Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1974
Bridges, Charles, A Commentary on Proverbs. Edinburgh: The Banner of Trusth Trust, 1994
Dyrness, William, Tema-Tema dalam Teologi Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 2004
Estes, Daniel J., Hear, My Son: Teaching and Learning in Proverbs 1-9. Grand Rapids, Michigan:
49 “The Bible Inshight on Proverbs,” dalam QuikVerse Life Aplication Bible [CD-Room]
13
Eerdmans, 1998
Goldberg, Louis, Savoring the Wisdom of Proverbs. Chicago: Moody Press, 1990
Green, Denis, Pembimbing pada Pengenalan Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 1984
Kaiser Jr., Walter C., The Old Testament Documents: Are They Reliabile & Relevant? Downers
Grove, Illinois: InterVarsity Press, 2001
Lasor, W. S., dkk., Pengantar Perjanjian Lama 2: Sastra dan Nubuat. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2005
Longman, Tremper, How to Read Proverbs. Downers Grove, Illionis: Intervarsity Press, 2002
Longman, Tremper, & Raymon B. Dillard, An Introduction to the Old Testament. Grand Rapids,
Michigan: Zondervan, 2006
Mouser, William E., Getting the Most Out of Proverbs. Grand Rapids, Michigan: Zondervan
Pulishing House, 1991
Penyusun, Tim, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2005
Scott, R. B. Y., Proverbs & Ecclesiastes. The Ancor Bible; New York: Doubleday & Company, Inc.,
1965
Sparks, Kenton L., Ancient Texts for the Study of the Hebrew Bible: A Guide to the Background
Literature. Peabody, Massachusetts: Hendrickson Publishers, 2006
Woodcock, Eldon, Proverbs: A Topical Study. Bible Study Commentary; Grand Rapids, Michigan:
Zondervan Publishing House, 1988
Wyrtzen, David, Raising Wordly-Wise but Innocent Kids. Chicago: Moody Press, 1990
B. Sumber Software
Murphy, Roland E., “Proverbs,” dalam Word Biblical Commentary, Logos Library System. CD-
Room; Nashville: Thomas Nelson, 1997; c1992
“BDB (Full Lexicon),” dalam BibleWorks LLC Version 6.0.005y
Smith, Jerome H. (ed), “The New Treasury of Scripture Knowledge” dalam Electronic edition of
the revised edition of The treasury of scripture knowledge, Logos Library System. CD-
Room; Nashville: Thomas Nelson, 1997; c1992
“TWOT Hebrew Lexicon” dalam BibleWorks LLC Version 6.0.005y
“BDAG Lexicon,” dalam BibleWorks LLC Version 6.0.005y)
“UBS Lexicon” dalam BibleWorks LLC Version 6.0.005y
“BDB Lexicon” dalam BibleWorks LLC Version 6.0.005y
Craigie, Peter C., Page H. Kelley, & Joel F. Drinkard Jr., “Jeremiah 1-25,” dalam Word Biblical
Commentary, Vol. 26, Logos Library System. CD-Room; Dallas, Texas: Word Books,
Publisher, 1998
“The Bible Inshight on Proverbs,” dalam QuikVerse Life Aplication Bible [CD-Room]
15