You are on page 1of 15

“Orang yang Tidak Berpengalaman” menurut Kitab Amsal

Deky H. Y. Nggadas, M. Div.

Pendahuluan

Secara umum, dapat dikatakan bahwa pokok penekanan kitab Amsal berkenaan dengan

persoalan tentang bagaimana seseorang hidup secara berhikmat.1 Dalam bagian prolognya (Ams.

1:1-4), pokok ini dideskripsikan sebagai tujuan kitab ini ditulis, yaitu untuk mengetahui hikmat dan

didikan, untuk mengerti kata-kata yang bermakna, untuk menerima didikan yang menjadikan

pandai, serta kebenaran, keadilan, dan kejujuran, untuk memberikan kecerdasan kepada orang yang

tidak berpengalaman, dan pengetahuan serta kebijaksanaan kepada orang muda. Menurut para ahli,

misalnya Tremper Longman dan Raymond B. Dillard, bagian prolog ini merupakan tambahan

redaktor terakhir dari kitab ini, mengingat nuansa religius yang tercantum di dalamnya.2 “Takut

akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan”

(Ams. 1:7). Jadi, tujuan ini bukan bersifat etis saja, sebagaimana yang sering terdengar dalam

amsal-amsal ancient Near-East, melainkan juga bersifat teologis.

Adapun tujuan di atas dieksplorasi sang kolektor3 dengan menempatkan amsal-amsal yang

1 Pengertian hm'k.x' terkait dengan “skill, the ability to excel in a particular activity” (R. B. Y. Scott,
Proverbs & Ecclesiastes [The Ancor Bible; New York: Doubleday & Company, Inc., 1965], 23). Meskipun demikian,
harus diakui bahwa “hikmat” memiliki pengertian yang lebih kaya daripada sekadar keahlian praktis (Lihat: Tremper
Longman, How to Read Proverbs [Downers Grove, Illionis: Intervarsity Press, 2002], 14-15
2 Tremper Longman & Raymon B. Dillard, An Introduction to the Old Testament (Grand Rapids, Michigan:
Zondervan, 2006), 268
3 Pendapat para ahli Perjanjian Lama bahwa kitab Amsal adalah sebuah koleksi pertama-tama terkait dengan
sumber-sumber dari materi kitab Amsal. Kitab ini memuat sekitar 300 dari 3000 amsal yang pernah digubah Salomo
(Ams. 10:1 – 22:16; bnd. 1 Raj. 4:32); amsal-amsal orang bijak (Ams. 22:17 – 24:22); amsal-amsal yang dikumpulkan
pegawai Hizkia (Ams. 25:1 – 29:27); perkataan-perkataan Agur bin Yake (Ams. 30:1-33) dan puisi akrostik dari ibu
Lamuel (Ams. 31:1-31). Selain itu, teori koleksi ini juga dikemukan berdasarkan adanya kemiripan (bahkan dapat
dikatakan duplikatif) dari beberapa amsal (mis. Ams. 19:5 dan 19:9) dan persebaran tema-tema kitab ini yang tidak
tersusun secara sistematis. Kenyataan tersebut mengindikasikan adanya periode transmisi atau suatu proses
perkembangan panjang yang berasal dari berbagai sumber, dimana kolektor akhir kitab ini tidak merasa tertarik untuk
menyusun tema-tema tersebut dalam kategori nalar modern yang sistematis. Di samping itu tidak dapat disangkali
bahwa secara historis, pengajaran dalam bentuk amsal-amsal bukan diawali dengan munculnya kitab ini. Mayoritas ahli
Perjanjian Lama menunjukkan bahwa sebelum periode kitab Amsal, telah tersimpan koleksi sastra hikmat yang
berjumlah cukup banyak, termasuk kumpulan teks sastra amsal yang beredar luas dalam kebudayaan Mesopotamia,
Mesir, dan dalam kelompok bahasa Semit Barat Laut sepanjang millennium ketiga sebelum Masehi. Adapun peredaran
amsal-amsal tersebut bersifat lintas-negara (internasional). Itulah sebabnya, tidak tertutup kemungkinan bahwa kitab
Amsal sendiri memiliki keterkaitan dengan amsal-amsal ancient Near-East. Sifat dari keterkaitan itu bukan sekadar
kemiripan, melainkan juga terdapat indikasi kompilatif antara isi kitab Amsal dengan amsal-amsal ancient Near-East.
Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat: Kenton L. Sparks, Ancient Texts for the Study of the Hebrew Bible: A Guide to the
Background Literature (Peabody, Massachusetts: Hendrickson Publishers, 2006), 56-82; bnd. Longman, How to Read
Proverbs, 62-77; William E. Mouser, Getting the Most Out of Proverbs (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Pulishing
House, 1991), 19. Untuk penjelasa mengenai reliabilitas teks literatur hikmat, lihat: Walter C. Kaiser Jr., The Old

1
berbicara tentang tema yang beragam untuk dikaitkan dengan hikmat sebagai tema utama. Eldon

Woodcock menjelaskan, Istilah “hikmat” yang muncul sekitar 101 kali dalam kitab Amsal tidak bisa

tidak harus dilihat sebagai tema utama dari kitab ini” 4 Selain itu, salah satu penekanan yang juga

sering kali muncul dalam kitab ini, yang digunakan sebagai antitesis dari hikmat adalah kebodohan.

W. S. Lasor, dkk., menyatakan bahwa pengoleksian amsal-amsal tersebut memiliki tendensi yang

kuat untuk “memperlihatkan secara tajam kontras antara akibat mencari dan menemukan hikmat

dengan akibat mengejar kehidupan yang bodoh”.5 Masalah hikmat dan kebodohan mewarnai

seluruh isi kitab Amsal. Tidak heran jika dalam komentar-komentar tentang kitab ini, selalu

disertakan pilihan: mengikuti hikmat atau kebodohan.6

Dalam makalah ini, penulis akan menggunakan pendekatan tematis7, khususnya untuk

meneliti makna “orang bodoh” dalam kitab Amsal. Menurut Denis Green, kitab ini memuat tiga

istilah yang merujuk kepada “orang bodoh” (lywIa/), yakni: orang yang tidak berpengalaman

(ytiP,), orang bebal (lysiK.), dan pencemooh (!Acl').8 Meskipun demikian, penulis akan

membatasi penelitian dan analisis pada istilah “orang yang tidak berpengalaman”. Namun

sebelumnya, penulis akan menguraikan secara ringkas tentang personifikasi hikmat dan kebodohan

dalam kitab ini. Jadi, sistematika penulisan makalah ini adalah: A) Personifikasi Hikmat: Wanita

Bernama Hikmat dan Wanita Bodoh; dan B) Amsal-amsal tentang Bodoh: “Orang yang Tidak

Berpengalaman”

Testament Documents: Are They Reliabile & Relevant? (Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 2001), 147-157
4 Eldon Woodcock, Proverbs: A Topical Study (Bible Study Commentary; Grand Rapids, Michigan:
Zondervan Publishing House, 1988), 34
5 W. S. Lasor, dkk: Pengantar Perjanjian Lama 2: Sastra dan Nubuat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005),
91
6 Para ahli menyebut tendensi ini sebagai “Doktrin Retribusi” yang tidak lain adalah karakteristik utama
traditional wisdom.
7 Studi tematis terhadap kitab Amsal walaupun harus disertai sikap kehati-hatian, namun paling tidak
memiliki dua keuntungan, yakni: “Pertama, studi ini memungkinkan setiap pembaca kitab untuk melibatkan diri dengan
keseluruhan teks, berinteraksi denganya di dalam level yang lebih dalam, dan sekaligus mempelajari prinsip-prinsip
penavigasian hidup yang penting. Kedua, studi jenis ini menyediakan dasar bagi rangkaian pelajaran-pelajaran atau
khotbah-khotbah menarik mengenai berbagai tema yang dibahas dalam kitab Amsal” (Lihat: Longman, How to Read
Proverbs, 118)
8 Lihat: Denis Green, Pembimbing pada Pengenalan Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, 1984), 138-
139
A. Personifikasi Hikmat: Wanita Bernama Hikmat dan Wanita Bodoh

Beberapa paragraf dalam kitab Amsal menampilkan hikmat dengan karakteristik

manusiawi (personifikasi). Hikmat digambarkan sebagai seorang wanita yang berupaya menarik

perhatian orang-orang di jalanan, di lapangan-lapangan, di atas tembok dan di depan pintu gerbang

kota (Ams. 1:20-23) serta menawarkan upah yang menarik bagi mereka yang tertarik kepada

seruannya (Ams. 8:34-35). Mungkin tempat-tempat ini penting untuk didatangi hikmat karena

terkait dengan Social Setting pada waktu itu. Menurut David Atkinson, tempat-tempat ini selain

merupakan pusat keramaian dan kehidupan publik, juga merupakan tempat-tempat di mana

keputusan-keputusan seputar masalah keadilan, dan kesejahteraan rakyat dibicarakan oleh tua-tua

kota.9 Wanita bernama hikmat ini mendatangi tempat-tempat tersebut karena di sana ia dapat

mempengaruhi sebanyak mungkin orang dari semua kalangan. Ia ingin agar sebanyak mungkin

orang menikmati berkat dan kesuksesan karena berelasi dengannya (bnd. 3:13-18).

Selanjutnya, ketika memperkenalkan hubungannya dengan Allah, hikmat menyebut

dirinya sebagai putri kesayangan yang setiap hari bermain dengan riang di hadapan Allah (8:22-30).

Sebelumnya hikmat menginformasikan bahwa ia berasal dari Allah, yakni “sebagai permulaan

pekerjaan-Nya, sebagai perbuatan-Nya yang pertama-tama dahulu kala” (8:22 dst.). Maka kita dapat

memahami mengapa di awal kitab ini diingatkan kedekatan perolehan hikmat dan relasi yang baik

dengan Tuhan (Ams. 1:7; diulangi lagi dalam ps. 9:9). Goldberg 10 menegaskan bahwa salah satu

jalan terpenting yang memimpin seseorang memperoleh hikmat adalah “communion with God”

(selain beajar dari observasi, pengalaman, dan tradisi).11

Di lain pihak, kebodohan juga dibahasakan secara personifikatif (Ams. 9:12-17).

Identitasnya tidak dijelaskan panjang lebar. Ia hanya digambarkan sebagai seorang wanita yang

“bebal cerewet, sangat tidak berpengalaman ia, dan tidak tahu malu.” Perempuan ini berupaya

menularkan sifat-sifat buruknya dengan panggilan yang menarik perhatian audiensnya. Ia

9 David Atkinson, The Message of Proverbs: Wisdom for Life, ed. J. A. Motyer (InterVarsity Press, 1996),
31
10 Louis Goldberg, Savoring the Wisdom of Proverbs (Chicago: Moody Press, 1990), 29
11 Untuk mendalami topik tentang bagaimana bertumbuh dalam hikmat, lihat: Daniel J. Estes, Hear, My
Son: Teaching and Learning in Proverbs 1-9 (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1998), 87-100

3
menawarkan kenikmatan dari suatu relasi yang intim, padahal kebersediaan untuk mengikutinya

akan menuntun kepada maut.

Para ahli Pernjanjian Lama sampai saat ini masih memperdebatkan tentang identitas

Wanita Hikmat dan Wanita Bodoh. Longman, walaupun mengakui adanya kepelbagaian pendapat

soal identitas mereka, yakin bahwa Wanita Hikmat mewakili Yahweh sendiri, sedangkan Wanita

Bodoh mewakili dewa-dewa Mesir, atau Mesopotamia (dewa-dewi Kanaan yang sering kali

memikat hati Israel adalah Baal dan Asherah). Ia mendasarkan pendapatnya atas deskripsi tentang

tempat tinggal kedua wanita tersebut (bnd. Ams. 9:1-2, 13-18).12 Di lain pihak, tampaknya R. B. Y.

Scott tidak sependapat dengan Longman, karena ia menyatakan, “Personification of wisdom is

indeed poetic and not ontological.”13 Selain itu, B. Lang menyatakan, “Woman Wisdom is a

pedagogical device.”14 Sebenarnya pendapat Lang berpusat pada asumsi tentang monotheisme

patriakhal Israel. Penulis sendiri lebih sependapat dengan Roland E. Murphy, yang menyatakan

“Pendapat yang mengasosiasikan secara ketat Wanita Hikmat dengan YHWH masih membutuhkan

penjelasan lebih lanjut”, karena nuansa teologi Israel yang patriakhal juga tidak dapat diabaikan, 15

selain perspektif puitis yang diungkapkan Scott.

Mengapa hikmat dan kebodohan dipersonifikasikan sebagai wanita? Pertanyaan ini juga

memiliki jawaban yang bervariasi. Salah satu jawaban yang disepakati mayoritas ahli adalah daya

tarik hikmat dan kebodohan sebagai penekanan yang ingin diperlihatkan para penulis kitab Amsal.

Daya tarik tersebut berusaha ditonjolkan dengan menempatkan figur wanita sebagai personifikasi

hikmat maupun kebodohan. Hal ini didukung oleh adanya nuansa seksual di balik undangan hikmat

dan kebodohan.16 Longman, misalnya, menjelaskan bahwa meskipun kedua wanita tersebut

menawarkan sifat jamuan yang bertolak belakang (wanita bernama hikmat menawarkan jamuan

yang bersifat positif, sedangkan wanita bodoh sebaliknya), namun berdasarkan latar belakang

sosialnya, kita dapat memahami bahwa “dalam kebudayaan Timur-Dekat purba, duduk makan
12 Longman, How to Read Proverbs, 33-34
13 Scott, Proverbs & Ecclesiaste, 71
14 Dikutip oleh: Roland E. Murphy, “Proverbs,” dalam Word Biblical Commentary, Logos Library System
(CD-Room; Nashville: Thomas Nelson, 1997; c1992)
15 Ibid.
16 Lihat diskusi tentang hal ini dalam: Ibid.
bersama seseorang adalah suatu bentuk relasi yang intim dengan orang tersebut”.17 Seseorang tidak

dapat bersikap tidak serius terhadap hikmat atau kebodohan. Ini adalah natur dari relasi antara

seseorang dengan kedua wanita tersebut. Itulah sebabnya, Atkinson menekankan, “Personifikasi itu

merefleksikan natur dari relasi dengan keduanya.”18 Ditinjau dari daya tariknya, hikmat dan

kebodohan tidak boleh dianggap hanya sebagai konsep yang abstrak; mereka dapat menjadi nyata

seperti halnya seorang perempuan dengan daya tarik yang sangat kuat, karena keduanya

“embodied”.19

Menarik untuk dicermati bahwa baik wanita bernama hikmat mapun wanita bodoh

mendatangi tempat dan audiens yang sama. Audiens mereka adalah semua orang yang mereka

temui di jalanan, lapangan-lapangan, dan pintu gerbang kota. Hal itu berarti bahwa mereka yang

mendengarkan ajakan kedua wanita itu dapat digambarkan sebagai orang yang berada “di

persimpangan jalan”. Keputusan mereka terhadap ajakan kedua wanita itulah yang nantinya

menentukan identitas apakah yang layak dilekatkan kepada mereka (termasuk konsekuensi dari

keputusan tersebut).

Terkait dengan penjelasan di atas, tampaknya kitab Amsal mencoba memberikan gambaran

lebih jelas mengenai identitas dan akibat yang tersedia bagi mereka yang tidak menghiraukan

undangan hikmat. Orang-orang yang demikian, disebut dengan istilah “orang bodoh”. Itulah

sebabnya, berikut ini penulis akan meneliti lebih lanjut tentang karakteristik dari “identitas” dan

akibat yang tersedia bagi “orang-orang bodoh” tersebut

B. Amsal-amsal tentang Orang Bodoh: “Orang yang Tidak Berpengalaman”

Sebelum masuk ke dalam uraian tentang “orang yang tidak berpengalaman”, terlebih

dahulu penulis akan menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan istilah “orang bodoh” dalam

kitab Amsal.

1. Istilah “Orang Bodoh” dalam Kitab Amsal

17 Longman, How to Read Proverbs, 32


18 Atkinson, The Message of Proverbs, 30
19 Ibid.

5
Saat ini, mayoritas orang memahami bahwa kebodohan lebih terkait dengan intelektualitas

atau aspek kognitif. Pengertian yang demikian juga terlihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

yang mengaitkan pengertian “bodoh” dengan orang yang “tidak mudah tahu atau tidak dapat

mengerjakan sesuatu” dan “tidak memiliki pengetahuan”.20 Tampaknya definisi ini menekankan

tentang kesulitan seseorang dalam hal pengetahuan (knowledge) dan praktiknya. Maka konsekwensi

logis dari penekanan ini menempatkan istilah “bodoh” sebagai antitesis dari “pintar/pandai”. 21

Mungkin presuposisinya adalah bahwa kualitas intelektual seseorang memberikan dampak langsung

kepada kemampuannya untuk mengetahui dan bertindak. Konkretnya, orang yang (mampu untuk)

mengetahui banyak hal, kemungkinan besar dapat mengerjakan sesuatu dengan baik; sedangkan

orang berpengetahuan sedikit akan kesulitan untuk mengerjakan sesuatu. Kualitas intelektual

seseorang sangat menentukan kualitas tindakan atau pekerjaannya.

Dalam TDOT, dijelaskan bahwa Kata Ibrani lywIa/ (“bodoh”; yang digunakan sebanyak

19 kali dalam kitab Amsal), selain digunakan sebagai antitesis untuk hm'k.x' (hikmat), juga

sebagai antitesis dari kata rv'y" (tegak lurus, jujur, tulus) dan kata lk;f' (bijaksana). Arti dari kata

ini berbeda-beda sesuai dengan konteks penggunaannya. Dalam awal sirkulaisinya (mungkin dalam

konteks Mesopotamia, dimana kata ini diasosiasikan dengn dewa Marduk) kata lywIa digunakan

untuk menggambarkan cacat tubuh atau mental. Namun dalam konteks literatur hikmat (khususnya

literatur hikmat PL), istilah ini digunakan sebagai penghinaan yang ditujukan kepada “untactful

babbler of the Wisdom School”. Dalam konteks international wisdom, kata ini hanya digunakan

secara praktis-etis: tidak bertindak benar, mengabaikan nasihat orang tua, dsb. Hal itu berarti bahwa

awalnya istilah “bodoh” tidak berkoneksi dengan Yahweh atau hukum sebagaimana dalam koleksi

hikmat dari Salomo. Selanjutnya, secara teologis, arti kata ini merujuk kepada orang yang

mengabaikan, menolak, menghina Allah dan kebenaran-Nya melalui sikap, tutur kata, maupun

pikiran mereka (bnd. Ul. 28:34; Mzm. 14:1; Yes. 19:11; Yer. 22:16; Hos. 13:13, dsb)22

20 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 159
21 Tidak heran kalau Tim Penyusun KBBI menjelaskan lebih lanjut bahwa sifat utama dari kebodohan
adalah ketidaktahuan (Ibid., 160)
22 Lihat: G. Johannes Botterweck & Helmer Ringren, TDOT, Vol. 1, (trans. John T. Willis, Revised Edition;
Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1974), 137-140
Lasor dkk., menyatakan,

Kebodohan bukanlah ketidaktahuan, melainkan sikap meremehkan prinsip-prinsip moral dan kesalehan
secara sengaja. Kemerosotan moral, hilangnya tanggung jawab rohani dan ketidakpekaan sosial yang
digambarkan dalam Yesaya 32:6 merupakan ringkasan yang cocok untuk pandangan kitab Amsal tentang
orang bodoh.23

Scott menulis, “Sebagaimana hikmat, demikian pula kebodohan terkait dengan nilai-nilai

religius”.24 Jadi, bodoh bukan semata-mata antonim dari “pintar atau pandai”, melainkan dapat juga

dipahami secara etis maupun teologis.

2. Orang yang tidak berpengalaman

Istilah “orang yang tidak berpengalaman” digunakan dalam kitab Amsal sebanyak 14 kali

(Ps. 1:4, 22, 32;7:7; 8:5; 9:4, 13, 16; 14:15, 18; 19:25; 21:11; 22:3; dan 27:12). Kata bahasa Ibrani

yang digunakan dalam bagian-bagian ini adalah: ytiP, yang dapat diterjemahkan sebagai: “simple,

foolish, young, naive person”.25 William Dyrness menjelaskan bahwa sebenarnya secara sederhana,

istilah ini mengindikasikan suatu sikap yang lugu.26 Artinya tidak terdapat nuansa negatif di balik

arti literal istilah ini. Namun dalam perkembangannya, istilah ini digunakan secara idiomatis untuk

orang yang karena terlalu polos sehingga mengabaikan segala pertimbangan yang seharusnya

dilakukan.27 Demikian pula yang dijelaskan dalam TWOT bahwa ide dasar dari istilah ini adalah “be

open, spacious, wide,”. Berdasarkan ide dasarnya, istilah ini kemudian direlasikan dengan

ketidakdewasaan atau orang yang bersikap terbuka terhadap segala sesuatu tanpa mempersoalkan

benar atau salahnya (bnd. Kel. 22:15; Hak. 14:15-16; dan 2 Kor. 18:19-21). 28 Itu berarti terjemahan

LAI terhadap kata ini lebih mendekati arti idiomatisnya daripada arti literalnya (beberapa versi

Alkitab, antara lain: NIV, KJV, YLT, ASV, NJB, dsb., menerjemahkan kata ini secara literal:

“simple”)

Paling tidak terdapat tiga karakteristik yang tergambar melalui penggunaannya dalam

23 Lasor, dkk., Pengantar PL, 92


24 Scott, Proverbs & Ecclesiastes, 16
25 “BDB (Full Lexicon),” dalam BibleWorks LLC Version 6.0.005y
26 William Dyrness, Tema-Tema dalam Teologi Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, 2004), 178
27Jerome H. Smith (ed), “The New Treasury of Scripture Knowledge” dalam Electronic edition of the
revised edition of The treasury of scripture knowledge, Logos Library System, (CD-Room; Nashville: Thomas Nelson,
1997; c1992)
28 “TWOT Hebrew Lexicon” dalam BibleWorks LLC Version 6.0.005y

7
amsal-amsal tentang orang yang tidak berpengalaman.

Pertama, orang tidak berpengalaman adalah orang yang tidak berpikir panjang. Amsal 7:1

dst., mengisahkan tentang nasihat seorang ayah kepada anaknya (atau seorang guru kepada

muridnya)29 agar menjauhi bujuk rayu dari seorang perempuan jalang. Sang ayah menganjurkan

agar anaknya memperhatikan nasihat tersebut dengan serius. Misalnya, dalam ayat 1 & 2, sang ayah

memerintahkan agar anaknya “berpegang” (rmoæv) kepada perkataan-perkataannya (rm,ae

noun common masculine plural construct suffix 1st person cs; LAI menerjemahkannya dalam

bentuk tunggal: “perkataanku”), yang memberikan kesan tentang suatu sikap yang sangat serius

dalam hal memperhatikan, menjaga atau memelihara sesuatu yang sangat berharga “seperti biji

matamu”.30 Namun sebenarnya kesan ini timbul karena pengaruh vokalisasi Masoretik Teks

terhadap frase “the apple of the eye”.31 Pengertian yang sebenarnya dari istilah ini lebih dekat

kepada fungsinya, yaitu sebagai alat penerang di dalam kegelapan (bnd. Ams. 20:20).32 Perintah

sang ayah penting untuk dipelihara karena memiliki manfaat yang signifikan.

Sang ayah menguatkan introductory di atas dengan menceritakan pengalamannya ketika

melihat seorang pemuda mengikuti memasuki rumah seorang wanita jalang yang telah bersuami

(Ams. 7:19).33 Wanita jalang tersebut digambarkan sebagai “woman occasionally or professionally

committing fornication or prostitute”.34 Hal ini terbukti dari cara berpakaian, motif tersembunyi di

balik penampilannya, dan dari cara ia menggoda pemuda tersebut dengan “berbagai-bagai bujukan”

(Ams. 7:22).35

Berdasarkan “profesionalitas” wanita tersebut, kita dapat menduga bahwa perjumpaan

tersebut tidak terjadi secara tiba-tiba. Mungkin tempat wanita tersebut sudah diketahui umum,

29 Perikop ini merupakan “the last of parental instruction” dalam kitab Amsal. Mungkin amsal-amsal dalam
perikop ini digunakan dalam setting keluarga dimana seorang ayah biasanya memberikan nasihat-nasihat kepada
putranya atau bisa juga terjadi dalam setting guru – murid. Pada waktu itu, para pengajar hikmat biasa memanggil
murid-muridnya dengan sebutan “anak” (lihat: Murphy, Proverbs)
30 Murphy, Proverbs
31 Kesan ini juga nyata dalam terjemahan LXX: “ko,raj ovmma,twn” yang merefleksikan keberhargaan
seseorang atau sesuatu hal, misalnya “seorang kekasih” (lihat: “BDAG Lexicon,” dalam BibleWorks LLC Version
6.0.005y)
32 Muphy, Proverbs
33 Genre dari bagian ini biasanya dikenal dengan istilah “Example Story”, yakni suatu ilustrasi yang
mengandung contoh tertentu, biasa dalam bentuk saga (bnd. Ams. 24:30-34; Pkh. 4:13-16)
34 “TWOT,” dalam BibleWorks LLC Version 6.0.005y
35 David Wyrtzen, Raising Wordly-Wise but Innocent Kids (Chicago: Moody Press, 1990), 130-131
termasuk pemuda tersebut sehingga ia “melangkah menuju rumah perempuan semacam itu, pada

waktu petang, senja hari, di malam yang gelap” (Ams. 7:8). Pemuda itu tidak mendapat “serangan

tiba-tiba” yang membuatnya mengikuti perempuan itu “seperti lembu yang dibawa ke pejagalan,

dan seperti orang bodoh yang terbelenggu untuk dihukum” (7:22). Dalam hal ini, penulis tidak

sependapat dengan David Wyrtzen yang menganggap pemuda ini jatuh ke dalam pelukan

perempuan itu karena bepergian tanpa rencana.36 Menurut penulis, kata “tiba-tiba” (~aoït.) dalam

ayat 22 (NAS: “suddenly”; NIV: “all at onces”; dan NJB: “forthwith”) sangat tepat mewakili nuansa

ketergesaan untuk memuaskan hasrat seksual yang telah “menawannya” sebelum berjumpa dengan

wanita tersebut. Obsesi terhadap daya tarik seksual si wanita jalang membuat pemuda tersebut,

sebagaimana yang ditulis Charles Bridges, “menyerah seperti prajurit yang tidak bersenjata di

bawah dorongan hasrat seksualnya”.37

Selanjutnya, dua amsal yang isinya identik satu sama lain (27:12 dan 22:3) 38 juga

memberikan penekanan yang kuat akan pengabaian pertimbangan yang matang dalam melakukan

sesuatu. Dalam kedua amsal tersebut, orang yang tidak berpengalaman dikontraskan dengan orang

bijak dalam sikap terhadap malapetaka. Orang bijak akan berupaya sedapat mungkin menghindari

malapetaka sedangkan orang yang tidak berpengalaman menghampirinya. Label “orang bijak” dan

“orang yang tidak berpengalaman” diberikan bukan karena mereka “berani atau tidak berani

menghadapi persoalan”. Jika demikian, orang yang tidak berpengalamanlah yang patut dipuji

karena ia “terus berjalan” menuju malapetaka. Label-label tersebut terkait dengan kemampuan

mereka melihat seberapa besar efek yang merugikan dari malapetaka tersebut. Woodcock

menjelaskan bahwa yang seorang disebut bijak bukan semata-mata karena ia menghindari

malapetaka, melainkan juga karena ia memilih tempat perlindungan yang sesuai yaitu tempat yang

mampu melindunginya dari besarnya malapetaka tersebut. Demikian juga, yang tidak

berpengalaman tidak dipuji karena kenekatannya berhadapan dengan malapetaka, tetapi justru

36 Ibid., 27-28
37 Charles Bridges, A Commentary on Proverbs (Edinburgh: The Banner of Trusth Trust, 1994), 69
38 h['är" ha'är" ~WrÜ[' (Ams. 27:12); h['är" ha'är" Ÿ~WrÜ[' (Ams. 22:3)

9
dicela karena tindakannya itu adalah tindakan yang “blindly plunge into dangers”.39

Jadi, dalam amsal-amsal di atas, sebutan orang yang tidak berpengalaman digunakan bagi

orang yang mengabaikan pertimbangan yang matang atau yang lebih dikuasai oleh keinginan/hasrat

seksualnya. Ia tidak memperhitungkan akibat dari perbuatannya; yang ia pentingkan adalah

bagaimana memuaskan birahinya. Mungkin salah satu contoh terkenal yang dapat digunakan untuk

menggambarkan tipe pemuda seperti di atas adalah Daud. Oleh karena birahinya ketika melihat

Batsyeba, Daud melakukan dosa yang berakibat fatal seumur hidupnya (bnd. 2 Raj. 11:2-27).

Seperti pemuda di atas, sebelum terlibat secara fisik dengan Batsyeba, sesungguhnya Daud telah

“menyerah” kepada tuntutan hawa nafsunya.

Kedua, orang yang tidak berpengalaman adalah orang mudah mempercayai segala sesuatu

(14:15).40 Akar kata Ibrani dari “mempercayai” adalah !m;a'. Dalam ayat ini, kata !m;a'

digunakan dalam bentuk hiphil, yang berarti: “to believe in”.41 Makna yang sama juga terlihat jelas

dalam terjemahan LXX: pisteu,ei (verb indicative present active 3rd person singular) yang

berarti: “believe (in), have faith (in) (with God or Christ as object); believe, believe in; have

confidence (in someone or something), entrust something to another (bnd. Rm. 14.2)”. 42

Selanjutnya, kata “segala perkataan” (ITB; KJV; LXX) di sini sebaiknya diterjemahkan dengan

“segala sesuatu” (NAS; NIV). Oleh karena rb"+D"-lk'l disandingkan dengan Ar*vua]l; yang

secara figuratif mengindikasikan suatu tindakan yang konsisten dengan kehendak Allah (bnd. Ayb.

31:7; Mzm. 17::5; 44:19; 73:2).43 Jadi dari segi literary context-nya, rb"+D"-lk harus dimengerti

dalam pengertian “segala sesuatu”.

Pemuda ini disebut tidak berpengalaman karena ia telah kehilangan filter terhadap segala

sesuatu yang ia lihat, alami, dan dengar. Ketika berhadapan dengan realitas, pemuda ini tidak

memiliki suatu dasar pertimbangan yang dapat dia pakai untuk menilai atau mengevaluasinya.

Kondisi pemuda ini mungkin dapat disamakan dengan “rumah yang telah dibersihkan” dalam
39 Woodcock, Proverbs, 116
40 Mungkin lebih baik menerjemahkan rb"+D"-lk'l dalam ayat ini dengan “segala sesuatu” daripada
“segala perkataan”.
41 “TWOT Hebrew Lexicon,” dalam BibleWorks LLC Version 6.0.005y
42 “UBS Lexicon” dalam BibleWorks LLC Version 6.0.005y
43 “TWOT Hebrew Lexicon,” dalam BibleWorks LLC Version 6.0.005y
perumpamaan Yesus, yang karena tidak berpenghuni maka akhirnya dikuasai kembali oleh

kejahatan (bnd. Mat. 12:43-45; Luk. 11:24-26).44 Salah satu bahaya yang rentan dialami oleh tipe

orang seperti ini adalah sebagaimana yang disebutkan Woodcock, yakni ia adalah “orang yang

mudah ditipu.45 Dalam bagian lain, Yesus juga mengingatkan orang-orang dengan maksud yang

sama seperti yang diantisipasi dalam Amsal 14:15. Jika amsal ini mengungkapkan maksudnya

secara indikatif, maka maksud yang sama juga dikemukakan Yesus dalam bentuk imperatif:

Waspadalah supaya jangan ada orang yang menyesatkan kamu! Sebab banyak orang akan
datang dengan memakai nama-Ku dan berkata: Akulah Mesias, dan mereka akan
menyesatkan banyak orang…. Jadi, apabila orang berkata kepadamu: Lihatlah, Ia ada di
padang gurun, janganlah kamu pergi ke situ; atau: Lihat, Ia ada di dalam bilik, janganlah
kamu percaya (Mat. 24:4, 26).

Rasul Paulus menasihatkan: “ujilah segala sesuatu” (1 Tes 5:21). Demikian pula Yohanes

mengingatkan: “ujilah roh-roh itu apakah mereka berasal dari Allah” (1 Yoh. 4:1). Beberapa kutipan

PB di atas mengasumsikan tentang betapa pentingnya sebuah sikap evaluatif berdasarkan

pertimbangan yang matang dan benar.

Karakteristik-karakteristik yang terlihat dari cara orang yang tidak berpengalaman

menavigasi hidupnya, sebagaimana yang diuraikan di atas, tentu saja tidak bersesuaian dengan

karakteristik-karakteristik dari mereka yang mendedikasikan hidupnya kepada hikmat. Itulah

sebabnya, Amsal 1:32 menggemakan akibat yang akan ditanggung oleh orang yang tidak

berpengalaman dalam kaitan dengan sikap negatifnya terhadap panggilan Wanita Hikmat. Istilah

“keengganan” (hb'Wvm.) di sini berarti “berbalik dalam pengertian kemurtadan” (apostasy).46

Ayat ini ditempatkan dalam konteks panggilan Wanita bernama Hikmat (bnd. Ams. 1:20 dst.). Maka

arti ayat ini merujuk kepada sikap “menolak untuk mengikuti”, atau “upaya yang dilakukan secara

sengaja untuk melarikan diri/berbalik” dari ajakan Wanita Hikmat. Dalam kaitannya dengan

identitas Wanita Hikmat dan Wanita Bodoh, Longman berpendapat bahwa “orang yang tidak

berpengalaman” dalam ayat ini memilih untuk mengikuti Wanita Bodoh. Pilihan yang salah ini

menempatkan orang tersebut pada jalan kematian. Longman melihat bahwa Yeremia 3:2-3

44 Lihat: Dyrness, Tema-Tema dalam Teologi Perjanjian Lama, 178


45 Woodcock, Proverbs, 111
46 “BDB Lexicon” dalam BibleWorks LLC Version 6.0.005y

11
merupakan contoh yang tepat untuk bagian ini. Yeremia menulis tentang “kematian” bagi Israel

akibat menyembah Baal. Dalam hal ini, kematian yang dimaksud adalah musim kekeringan dan

kehancuran Yerusalem akibat serangan tentara Babilon, bahkan mereka dibawa ke pembuangan.47

Contoh lain yang mungkin dapat ditambahkan di sini adalah seperti yang tercantum dalam

Yeremia 2:19, “Kejahatanmu akan menghajar engkau, dan kemurtadanmu akan menyiksa engkau!

Ketahuilah dan lihatlah, betapa jahat dan pedihnya engkau meninggalkan TUHAN, Allahmu;….”

Dalam komentarnya terhadap tulisan Yeremia ini, Craigi menyatakan,

The coming judgment of Israel was not a random act of God but a direct consequence of the nation’s sin.
Israel’s own crimes would return to haunt it; its “defections” from the treaty stipulations would rebuke the
nation in its self-induced judgment. To desert God brings with it the experience of evil and bitterness;
nothing can avert the consequence other than a penitent return to the God of covenant, a theme that is
developed in the next chapter.48

Uraian di atas memperlihatkan bahwa ayat ini menyebutkan “orang yang tidak

berpengalaman” dalam pengertian pengambilan keputusan yang tidak tepat. Seharusnya ia memilih

panggilan Wanita Hikmat daripada yang sebaliknya. Akhirnya ia harus membayar pilihannya sendiri

dengan hukuman. Ajakan Wanita Hikmat adalah ajakan yang tidak mengenal kenetralan.

Barangsiapa menolak hikmat akan mendapatkan celaka, sebaliknya yang menyambut ajakannya

“akan tinggal dengan aman, terlindung dari pada kedahsyatan malapetaka” (Ams. 1:33).

Konklusi

Dalam penelusuran terhadap konteks dan tendensi amsal-amsal yang menyinggung soal

“orang yang tidak berpengalaman” di atas akhirnya memperlihatkan bahwa istilah ini tidak

berasosiasi sama sekali dengan “orang yang belum memiliki banyak pengalaman” (dalam

pengertian kita saat ini). Istilah ini, terkait dengan apakah seseorang dapat menangani atau

menyalurkan impuls-impuls seksualitasnya dalam koridor yang benar atau sebaliknya. Pada saat,

seseorang “menyerah” terhadap hasrat seksualnya dan menyalurkannya secara salah, saat itu

identitas yang layak ia sandang adalah “orang yang tidak berpengalaman”.

47 Longman, How to Read Proverbs, 35


48 Peter C. Craigie; Page H. Kelley & Joel F. Drinkard Jr., “Jeremiah 1-25,” dalam Word Biblical
Commentary, Vol. 26, Logos Library System (CD-Room; Dallas, Texas: Word Books, Publisher, 1998)
Demikian pula, penekanan kitab Amsal agar seseorang selalu mempertimbangkan segala

tindak-tanduknya dengan matang termasuk akibat-akibat dari tindakannya, juga menyediakan

predikat “orang yang tidak berpengalaman” bagi mereka yang bertindak sebaliknya. Signifikansi

dari tuntutan tersebut diungkapkan melalui pemberitahuan tentang konsekuensi buruk yang akan

diderita oleh orang yang mengabaikan nasihat-nasihat hikmat. Sebuah komentar yang dapat

digunakan sebagai bahan konklusif untuk hal ini, berbunyi demikian:

…the bitter fruit of living their own way will be the consequence people will experience in this life. Faced
with either choosing God’s wisdom or persisting in rebellious independence, many decide to go it alone. The
problems such people create for themselves will destroy them. Don’t ignore God’s advice even if it is painful
for the present. It will keep you from greater pain in the future.49

Jadi, penggunaan istilah “orang yang tidak berpengalaman” sekaligus mengingatkan kita

akan karakteristik traditional wisdom yang melatarbelakangi kitab Amsal atau yang biasanya

disebut “doktrin retribusi”. Hidup sukses bagi mereka yang mengikuti jalan hikmat, sedangkan

hukuman dan malapetaka bagi mereka yang menempuh jalan kebodohan. Mereka yang memilih

jalan yang terakhir inilah yang disebut “orang yang tidak berpengalaman”.

©Penulis: Dosen Biblika SETIA Jakarta

DAFTAR PUSTAKA

A. Sumber Buku

Atkinson, David, The Message of Proverbs: Wisdom for Life. ed. J. A. Motyer ; InterVarsity Press,
1996
Botterweck, G. Johannes, & Helmer Ringren, TDOT, Vol. 1, trans. John T. Willis, Revised Edition;
Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1974
Bridges, Charles, A Commentary on Proverbs. Edinburgh: The Banner of Trusth Trust, 1994
Dyrness, William, Tema-Tema dalam Teologi Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 2004
Estes, Daniel J., Hear, My Son: Teaching and Learning in Proverbs 1-9. Grand Rapids, Michigan:

49 “The Bible Inshight on Proverbs,” dalam QuikVerse Life Aplication Bible [CD-Room]

13
Eerdmans, 1998
Goldberg, Louis, Savoring the Wisdom of Proverbs. Chicago: Moody Press, 1990
Green, Denis, Pembimbing pada Pengenalan Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 1984
Kaiser Jr., Walter C., The Old Testament Documents: Are They Reliabile & Relevant? Downers
Grove, Illinois: InterVarsity Press, 2001
Lasor, W. S., dkk., Pengantar Perjanjian Lama 2: Sastra dan Nubuat. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2005
Longman, Tremper, How to Read Proverbs. Downers Grove, Illionis: Intervarsity Press, 2002
Longman, Tremper, & Raymon B. Dillard, An Introduction to the Old Testament. Grand Rapids,
Michigan: Zondervan, 2006
Mouser, William E., Getting the Most Out of Proverbs. Grand Rapids, Michigan: Zondervan
Pulishing House, 1991
Penyusun, Tim, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2005
Scott, R. B. Y., Proverbs & Ecclesiastes. The Ancor Bible; New York: Doubleday & Company, Inc.,
1965
Sparks, Kenton L., Ancient Texts for the Study of the Hebrew Bible: A Guide to the Background
Literature. Peabody, Massachusetts: Hendrickson Publishers, 2006
Woodcock, Eldon, Proverbs: A Topical Study. Bible Study Commentary; Grand Rapids, Michigan:
Zondervan Publishing House, 1988
Wyrtzen, David, Raising Wordly-Wise but Innocent Kids. Chicago: Moody Press, 1990

B. Sumber Software

Murphy, Roland E., “Proverbs,” dalam Word Biblical Commentary, Logos Library System. CD-
Room; Nashville: Thomas Nelson, 1997; c1992
“BDB (Full Lexicon),” dalam BibleWorks LLC Version 6.0.005y
Smith, Jerome H. (ed), “The New Treasury of Scripture Knowledge” dalam Electronic edition of
the revised edition of The treasury of scripture knowledge, Logos Library System. CD-
Room; Nashville: Thomas Nelson, 1997; c1992
“TWOT Hebrew Lexicon” dalam BibleWorks LLC Version 6.0.005y
“BDAG Lexicon,” dalam BibleWorks LLC Version 6.0.005y)
“UBS Lexicon” dalam BibleWorks LLC Version 6.0.005y
“BDB Lexicon” dalam BibleWorks LLC Version 6.0.005y
Craigie, Peter C., Page H. Kelley, & Joel F. Drinkard Jr., “Jeremiah 1-25,” dalam Word Biblical
Commentary, Vol. 26, Logos Library System. CD-Room; Dallas, Texas: Word Books,
Publisher, 1998
“The Bible Inshight on Proverbs,” dalam QuikVerse Life Aplication Bible [CD-Room]

15

You might also like