You are on page 1of 40

USULAN PENELITIAN

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN TBC-PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BOLANGITANG KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW UTARA TAHUN 2010

AKBAR 2651076

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS GORONTALO 2010

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL ..................................................................................... HALAMAN SAMPUL DALAM ..................................................................... HALAMAN PERNYATAAN .......................................................................... LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................. LEMBAR PENGESAHAN USULAN PENELITIAN ................................... KATA PENGANTAR ....................................................................................... DAFTAR ISI ..................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang................................................................................ B. Rumusan Masalah........................................................................... C. Tujuan Penelitian............................................................................. D. Manfaat Penelitian.......................................................................... BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Kajian Pustaka................................................................................ 1. Penyebab TBC Paru.................................................................. 2. Cara Penularan.......................................................................... 3. Riwayat terjadinya TBC Paru................................................... 4. Penemuan Penderita.................................................................. 5. Penegakan Diagnosa................................................................. 6. Pemeriksaan Radiologis (Foto Rontgen).................................. B. Kerangka Konseptual Penelitian..................................................... 1. Dasar Pemikiran........................................................................ 2. Bagan Kerangka Konseptual Penelitian................................... C. Hipotesis Penelitian.......................................................................... BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian............................................................................... B. Waktu dan Lokasi Penelitian.......................................................... 1. Waktu Penelitian....................................................................... 2. Lokasi Penelitian....................................................................... C. Populasi dan Sampel....................................................................... 1. Populasi .................................................................................... 2. Sampel...................................................................................... i ii iii iv vi vii viii

D. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif.................................... 1. Kejadian TBC Paru BTA (+).................................................... 2. Kontak Serumah....................................................................... 3. Lama Kontak............................................................................. 4. Kepadatan Penghuni Rumah..................................................... E. Teknik Pengumpulan Data.............................................................. F. Teknik Analisis Data ....................................................................... DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN

C. Latar Belakang Penyakit Tuberkulosis paru masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dunia. Penyakit tuberkulosis paru banyak menyerang usia kerja produktif, kebanyakan dari kelompok sosial ekonomi rendah dan berpendidikan rendah. Meningkatnya kasus HIV/AIDS yang menurunkan daya tubuh juga menyebabkan meningkatnya kembali penyakit TBC dinegara-negara yang sudah berhasil mengendalikan penyakit. Banyak penderita yang tidak berhasil disembuhkan, penderita dengan basil tahan asam (BTA) positif berisiko menularkan penyakit pada orang lainnya. Tahun 1993, WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TBC. Diperkirakan setiap tahun ada 9 juta penderita TBC baru dengan kematian 3 juta orang. 95% penderita TBC berada di negara berkembang dan beban terbesar terutama adalah di Asia Tenggara. Di negaranegara berkembang kematian ini merupakan 25% dari kematian penyakit yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan (Depkes, 2000). Indonesia merupakan negara terpadat nomor 4 di dunia dengan jumlah penduduk 210 juta pada tahun 2004, penyakit TBC menduduki tempat ke 3 terbesar didunia setelah China dan India. Dari hasil survey kesehatan rumah tangga , penyakit TBC merupakan penyebab kematian nomor tiga terbesar setelah penyakit Kardiovasculer dan penyakit saluran pernapasan atas (ISPA) pada semua

golongan umur dan penyebab penyakit nomor satu pada kelompok penyakit infeksi.(Depkes 2004) WHO memperkirakan bahwa di Indonesia setiap tahun terjadi 583.000 kasus untuk semua jenis TBC dan 282.000 kasus baru dengan BTA (+). Prevalensi kasus TBCC-Paru BTA (+) diperkirakan 715.000 dengan kematian sekitar 140.000 atau secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita TBC-Paru baru dengan BTA (+) dan menyerang sebagian besar usia produktif, kelompok ekonomi lemah dan berpendidikan rendah (Depkes 2000). Dalam upaya penanggulangan TBC di Indonesia telah ditetapkan tujuan program pemberantasan yang meliputi tujuan jangka panjang yaitu menurunkan angka kesakitan, kematian dan penularan TBC dengan cara memutuskan rantai penularan sehingga penyakit TBC tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, dan tujuan jangka pendek yaitu menyembuhkan minimal 85% penderita baru BTA (+) yang ditemukan, tercapinya cakupan penemuan penderita secara bertahap sampai dengan tahun 2007, 70% mencegah timbulnya resistensi obat TBC di masyarakat (Depkes, 1999). Sejak tahun 1995 pemerintah telah berusaha melakukan pemberantasan penyakit tuberkulosis dengan melaksanakan strategi DOTS yang

direkomendasikan oleh WHO. Dengan strategi DOTS diharapkan dapat memberikan angka penemuan dan kesembuhan yang tinggi untuk menurunkan angka kesakitan dan angka kematian akibat penyakit tuberkulosis.

Strategi DOTS terdiri dari : a) b) Komitmen politisi dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana. Diagnosa TBC paru dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis terhadap semua tersangka TBC diunit pelayanan kesehatan. c) Pengobatan jangka pendek dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan pengawasan langsung oleh PMO (Pengawas Makan Obat). d) e) Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek untuk penderita. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program. Dengan strategi DOTS program sudah masuk keseluruh Puskesmas di Indonesia, namun Rumah Sakit, Poliklinik dan praktek dokter masih sangat sedikit menerapkan program DOTS ini. Dari hasil evaluasi diseluruh Indonesia menunjukkan bahwa dengan strategi DOTS angka kesembuhan (Cure rate) telah mencapai 87% dari target nasional 85%, namun cakupan penemuan (Case detection rate) baru mencapai 10% dari target nasional 70% yang seharusnya dicapai untuk mendapatkan dampak epidemiologis (Info Gerdunas, 2001). Adapun program pemberantasan TBC paru berbasis masyarakat (community based TBC control program) telah meningkatkan jumlah penderita yang ditemukan dan diperiksa dan juga mendekatkan pelayanan pengobatan kepada penderita yang ditemukan tetapi kenaikannya sangat sedikit dan sangat kurang dari target yang diharapkan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Runggu tahun 2003 di Kota Samarinda didapatkan bahwa pendidikan, kontak serumah, lama kontak, kepadatan penghuni dan ventilasi rumah merupakan faktor risiko terhadap kejadian TBC paru dengan nilai OR > 1. Kontak serumah dan lama kontak merupakan faktor risiko tertinggi terhadap kejadian TBC paru. Faktor risiko pendidikan, pekerjaan, kepadatan penghuni dan ventilasi rumah tidak ada pengaruh terhadap kejadian TBC paru. Di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara dengan penduduk 65.452

orang tahun 2007 dengan strategi DOTS perkirakan 531 suspek dan BTA (+) 33 kasus,(0,05%) dari 38 penderita yang diobati 38 sembuh. Tahun 2008 dari jumlah penduduk 66.282 orang perkiraan suspek 796 dan terdapat kasus TBC paru BTA (+) 78 kasus, (0,11%) dari 78 penderita yang diobati 39 orang sembuh. Sedangkan pada Tahun 2009 dengan jumlah penduduk 68.874 orang dan dari perkiraan suspek 977 ditemukan kasus TBC paru BTA (+) 111 kasus (0,16%) dari 94 penderita yang diobati tidak ada yang sembuh. Di wilayah Puskesmas Bolangitang dengan jumlah penduduk 13.166 tahun 2007 dengan perkiraan suspek 113 di temukan kasus TBC paru BTA(+) 11 kasus, (0,08%) dari 9 penderita yang diobati 9 orang sembuh, Tahun 2008 jumlah penduduk 13.521, orang perkiraan suspek 78 terdapat TBC paru BTA (+) 11 kasus, (0,08%) dari 11 penderita yang diobati 5 orang yang sembuh, Tahun 2009 jumlah penduduk 13.830 orang, dengan perkiraan suspek 272 terdapat kasus TBC Paru BTA (+) 22 kasus, (0,15%) dari 22 penderita yang diobati tidak ada yang

sembuh, dan pada tahun 2010 dari januari hingga maret dengan perkiraan suspek 67 terdapat kasus TBC Paru BTA (+) 5 kasus, (0,4%) 5 penderita sementara dalam masa pengobatan dari 13.861 jumlah penduduk, sehingga jika di rata-rata 5 kasus dalam tiap trimester maka akan akan terdapat 20 kasus dalam 1 tahun (Register Puskesmas Bolangitang,2010. Berdasarkan data tersebut, mendorong peneliti untuk mengetahui faktorfaktor yang berhubungan dengan kejadian TBC paru di wilayah kerja Puskesmas Bolangitang Kabupaten Bolaang Mongondow Utara tahun 2010.

D. Rumusan Masalah Berdasarkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TBC paru, maka perumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah faktor kontak serumah berhubungan dengan kejadian TBC Paru di Wilayah kerja Puskesmas Bolangitang Kabupaten Bolaang Mongondow Utara 2010? 2. Apakah faktor lama kontak berhubungan dengan kejadian TBC Paru di

Wilayah kerja Puskesmas Bolangitang Kabupaten Bolaang Mongondow Utara tahun 2010? 3. Apakah faktor kepadatan penghuni rumah berhubungan dengan kejadian TBC Paru di Wilayah kerja Puskesmas Bolangitang Kabupaten Bolaang Mongondow Utara tahun 2010?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian TBC paru di Wilayah Puskesmas Bolangitang Kabupaten Bolaang Mongondow Utara tahun 2010. 2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui hubungan faktor kontak serumah dengan kejadian TBC paru di Wilayah Puskesmas Bolangitang Kabupaten Bolaang Mongondow Utara tahun 2010. 2. Untuk mengetahui hubungan faktor lama kontak dengan kejadian TBC paru di Wilayah Puskesmas Bolangitang Kabupaten Bolaang

Mongondow Utara tahun 2010. 3. Untuk mengetahui hubungan faktor kepadatan penghuni rumah dengan kejadian TBC paru di Wilayah Puskesmas Bolangitang Kabupaten Bolaang Mongondow Utara tahun 2010.

D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah : 1. Manfaat Ilmiah Hasil penelitian sebagai sumbangan ilmiah dan bahan bacaan bagi masyarakat dan peneliti selanjutnya.

2.

Manfaat Institusi Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi pengambil keputusan untuk perbaikan program pemberantasan dan penanggulangan TBC paru.

3.

Manfaat Praktis Hasil penelitian ini sebagai informasi bagi instansi terkait khususnya di Bolaang Mongondow Utara dan Indonesia pada umumnya.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN

B. Kajian Pustaka 6. Penyebab TBC Paru Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium Tuberkulosis), pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882. Ciri-ciri kuman tersebut adalah sebagai berikut : a. Kuman ini berbentuk batang berwarna merah. b. Ukuran panjang sekitar 4 mikron dan tebalnya 0,3 0,6 mikron. c. Mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap penghilangan warna dengan asam dan alkohol pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula dengan Basil Tahan Asam (BTA). Kuman akan tumbuh optimal pada suhu 370 C, dengan PH 6,4 7 (Aditama dkk, 2000). d. Kuman ini cepat mati (sekitar 5 menit) dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang lembab dan gelap. e. Basil ini dilindungi oleh lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid. f. Kuman dapat tertidur lama (dormant) selama beberapa tahun.

7. Cara Penularan Sumber penularan penyakit TBC paru adalah penderita dengan TBC paru BTA (+). Penderita menyebarkan kuman ke udara pada waktu batuk atau bersin dalam bentuk percikan dahak (droplet), percikan yang mengandung kuman tuberkulosis dapat bertahan diudara beberapa jam pada suhu kamar, terhirup oleh orang sehat sewaktu bernapas, selanjutnya akan berkembang biak dalam jaringan paru-paru, kemungkinan pula masuk kebagian tubuh lainnya melalui pembuluh darah, saluran limfe, atau penyebaran langsung ketubuh lainnya (Enarson, 1996). Makin tinggi gradasi kuman BTA hasil pemeriksaan dahak makin menular penderita tersebut, bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman dibawah mikroskop) maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TBC ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Faktor lain yang mempengaruhi seseorang terinfeksi TBC adalah daya tahan tubuh yang rendah diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS (Depkes 2001). Sekitar 80 90% orang telah terinfeksi kuman TBC tetapi belum tentu penderita TBC, untuk sementara waktu kuman yang ada dalam tubuh bisa berada dalam keadaan dormant (tidur), keberadaan kuman dormant dapat diketahui hanya dengan test tuberculin. Apabila penyakit TBCC tidak diobati maka setiap orang dengan penyakit TBC paru BTA (+) akan dapat menularkan kepada sekitar 10 15 orang setiap tahunnya (WHO,1999).

Faktor-faktor

yang

berpengaruh

terhadap

penyebaran

kuman

tuberkulosis adalah kasus sebagai sumber, faktor lingkungan, kesempatan mendapat pemaparan dan faktor individu.( Hilips C Hopewell) 8. Riwayat terjadinya TBC Paru a. Infeksi Primer Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TBC Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri diparu yang mengakibatkan peradangan didalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4 6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberculin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TBC. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadangkadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan

kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita TBC. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit diperkirakan sekitar 6 bulan. b. Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TBC) Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau setahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberculosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitasi atau efusi pleura. 9. Penemuan Penderita a. Penemuan Penderita Pada Orang Dewasa Penemuan kasus adalah komponen yang sangat penting dalam pemberantasan penyakit tuberkulosis paru dan hampir semua penyakit menular lainnya. Tujuan penemuan kasus adalah untuk menentukan sumber infeksi dalam masyarakat yang berarti mencari orang yang mengeluarkan basis tuberkulosis untuk diobati. Pada program penanggulangan dan pemberantasan TB paru di Indonesia dengan strategi DOTS, angka kesembuhan sudah cukup meningkat namun angka penemuan masih sangat rendah (Info Gerdunas, 2002). Penemuan penderita tuberkulosis pada orang dewasa dilaksanakan secara pasif, artinya penyaringan penderita tersangka TBC paru yang dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan

kesehatan, ini sangat dipengaruhi oleh faktor individu penderita untuk berkunjung ke pelayanan kesehatan. Karena tersangka yang mempunyai gejala TBC dengan kemauan sendiri memeriksakan diri ke sarana kesehatan (Depkes, 2002). Kegiatan ini harus didukung dengan penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun oleh masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan, cara ini disebut passive promotive case finding. b. Penemuan Penderita Pada Anak Penemuan penderita pada anak sebagian besar didasarkan pada gambaran klinis, foto rontgen dan uji tuberculin. 10. Penegakan Diagnosa Penegakan diagnosis penyakit TBC paru dapat dilakukan berdasarkan : a. Gejala Klinis Gejala klinis pada orang dewasa : 1) Batuk terus-menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih 2) Batuk berdahak campur darah merah segar, sesak napas dan rasa nyeri dada 3) Badan lemah, nafsu makan menurun, rasa kurang enak badan (malaise) 4) Berkeringat malam tanpa kegiatan, demam, meriang lebih dari sebulan Lebih menguatkan apabila gejala tersebut diperkuat dengan riwayat kontak dengan seorang penderita TBC paru BTA (+).

b. Pemeriksaan Bakteriologi/Laboratorium Penemuan basil tuberkulosis ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882, dan untuk prinsip penemuan kuman tahan asam ini tetap merupakan pilihan utama walaupun dengan berbagai keterbatasan (Adiatma T.J). Penemuan basil tahan asam merupakan suatu alat penentu yang amat penting dalam diagnosis tuberkulosis paru. Untuk mendapat hasil yang akurat diperlukan rangkaian kegiatan yang akurat mulai dari cara pengumpulan dahak, pemilihan dahak, teknik pewarnaan dan pengolahan sediaan dahak yang diperiksa serta kemampuan membaca hasil pada mikroskopis. Untuk mengetahui adanya kuman TBC dalam dahak diperlukan dahak yang minimal 5000 basi/ml dahak, sedangkan untuk menentukan diagnosis pasti dengan melaksanakan pemeriksaan melalui kultur yang membutuhkan 50 100 kuman/ml dahak. Tujuan pemeriksaan dahak : 1) Menegakkan diagnosis dan klasifikasi 2) Menilai kemajuan pengobatan 3) Menentukan tingkat penularan (Depkes 2000).

Pada pemeriksaan dahak perlu diperhatikan : 1) Pelaksanaan pengumpulan dahak Pemeriksaan dahak dengan mikroskopis yang digunakan oleh program P2TBC paru saat ini sesuai dengan buku pedoman tahun 2002 adalah dengan memeriksa dahak secara mikroskopis pada 3 spesimen yang dikenal dengan istilah SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu). Dahak yang baik untuk diperiksa adalah dahak mukopurulent (nanah berwarna hijau kekuning-kuningan) jumlahnya 3-5 ml tiap pengambilan. Menurut WHO 2001 semua tersangka penderita yang datang dengan kemauan sendiri ke pelayanan kesehatan dengan gejala klinis TBC paru (suspek) pada orang dewasa harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut. a) Sewaktu : Dahak dikumpulkan pada saat suspek TBC datang berkunjung pertama kali datang pelayanan kesehatan. Pada saat pulang suspek membawa sebuah pot untuk mengumpulkan dahak hari kedua. b) Pagi : Dahak dikumpulkan dirumah pada pagi hari kedua segera setelah bangun tidur. Pot tersebut diantar sendiri ke laboratorium pelayanan kesehatan. Volume dahak sebaiknya 3-5 ml. c) Sewaktu : Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua saat menyerahkan dahak pagi. d) Hasil pemeriksaan dinyatakan (+) apabila sedikitnya 2 dari 3 spesimen SPS BTA hasil positip.

e) Bila hanya 1 dari pemeriksaan SPS positif maka pemeriksaan lanjut dengan foto rontgen dada, apabila hasil rontgen mendukung TBC maka penderita di diagnosis TBC paru BTA positip. f) Hasil rontgen tidak mendukung maka di diagnosis bukan penderita TBC. Untuk mendapat kualitas dahak yang baik beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh petugas kesehatan yaitu : a) Memberikan penjelasan kepada penderita mengenai pentingnya pemeriksaan dahak, baik pemeriksaan dahak pertama maupun pemeriksaan dahak ulang. b) Memberi penjelasan kepada penderita tentang cara batuk yang benar untuk mendapat dahak yang kental dan purulen. c) Petugas memeriksa kekentalan, warna dan volume dahak, warna dahak yang baik untuk pemeriksaan adalah warna kuning kehijau-hijauan (mukopurulen), kental dengan warna 3-5 ml, bila volume kurang, petugas harus meminta penderita batuk lagi sampai volume dahak cukup. d) Jika tidak ada dahak yang keluar, pot dahak dianggap sudah terpakai dan harus dimusnahkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya kontaminasi kuman TBC. Bila sulit mengeluarkan dahak dapat dilakukan dengan :

a) Malam hari sebelum tidur, minum satu gelas teh manis atau menelan tablet gliseril guayacolat 200 mg. b) Melakukan olah raga ringan (lari-lari kecil) kemudian menarik nafas dalam beberapa kali. Bila terasa agak batuk, nafas ditahan selama mungkin lalu penderita disuruh batuk. Pengumpulan dahak dilakukan sebagai berikut : a) Beri label pada dinding pot yang memuat nomor identitas sediaan dahak. b) Buka pot dahak pegang tutupnya dan berikan pot itu kepada suspek. c) Berdiri dibelakang suspek, minta dia memegang pot dekat ke bibirnya dan membatukkan dahak kedalam pot. d) Tutup pot dengan erat. 2) Pembacaan hasil pemeriksaan Pembacaan hasil pemeriksaan sediaan dilakukan dengan

menggunakan skala International Union Againt Tuberculosis and Lung Diseases (IUATLD) dan diperiksa paling sedikit 100 lapang pandang atau dalam waktu kurang lebih 10 menit sebagai berikut : a) Tidak ditemukan BTA per 100 lapang pandang = negatif. b) Ditemukan 1-9 BTA per 100 lapang pandang = ditulis jumlah kuman yang ditemukan. c) Ditemukan 10-99BTA per 100 lapang pandang = + atau 1+. d) Ditemukan 1-10 BTA per 1 lapang pandang = ++ atau 2+

e) Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang = +++ atau 3+. Bila ditemukan 1-3 BTA dalam 100 lapang pandang, pemeriksaan harus diulang dengan spesimen dahak yang baru, bila hasilnya tetap 13 BTA maka hasilnya dilaporkan negatif, bila hasilnya 4-9 BTA dilaporkan positif. 7. Pemeriksaan Radiologis (Foto Rontgen) Pemeriksaan rontgen ini membantu penegakan diagnosis TBC bila dari 3 kali pemeriksaan dahak BTA hanya 1 negatif atau semuanya negatif sedangkan secara klinis mendukung sebagai TBCC, maka perlu pemeriksaan rontgen. a. Klasifikasi Penyakit TBC Menurut Depkes pada Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis tahun 2000 bahwa klasifikasi penyakit tuberkulosis perlu ditentukan sebelum pengobatan dengan tujuan untuk menetapkan panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Klasifikasi penyakit TBC sebagai berikut : 1) Tuberkulosis paru adalah bentuk yang sering dijumpai yaitu sekitar 80 % dari semua penderita tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) merupakan bentuk dari TBC yang dapat menular.

Berdasarkan pemeriksaan dahak TBC paru dibagi dalam : a) Tuberkulosis paru BTA (+) yaitu : (1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. (2) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan rontgen menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. b) Tuberkulosis paru BTA (-) yaitu dari pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen menunjukkan gambaran tuberkulosis. TBC paru BTA negatif, rontgen positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya yaitu berat dan ringan. Berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas dan keadaan umum penderita buruk. 2) Tuberkulosis extra paru Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru seperti pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang belakang, persendian, kulit, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lainlain. b. Tipe Penderita Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu :

1) Kasus baru adalah penderita tuberkulosis yang belum pernah dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan. 2) Kambuh (relaps) adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. 3) Pindahan (transfer in) adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu Kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke Kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindahan (Form TBC 09). 4) Kasus berobat setelah lalai (pengobatan setelah default/drop-out) adalah penderita yang kembali berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif setelah putus berobat (drop-out) 2 bulan atau lebih. 5) Gagal adalah : (a) Penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke 5 atau lebih. (b) Penderita BTA negatif, rontgen positif yang menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan. 6) Lain-lain Semua penderita lain yang tidak memenuhi persyaratan tersebut di atas, termasuk dalam kelompok ini adalah kasus kronik yaitu penderita

yang masih BTA positif setelah menyelesaikan pengobatan ulang dengan kategori 2. c. Pengobatan TBC Paru Pengobatan tuberkulosis sudah dimulai sejak tahun 1882, sejak Robert Koch menemukan basil tuberkulosis. Di Indonesia menurut Maidin program penanggulangan TBC paru secara nasional telah dilaksanakan pengobatan TBC paru 3 tahap yaitu : 1) Obat jangka panjang (1969-1978) 2) Obat jangka menengah (1978-1995) 3) Obat jangka pendek 3 kategori dengan strategi DOTS (1995sekarang). Tujuan pengobatan TBC paru adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan risiko penularan (Depkes 2001). Pengobatan yang dianjurkan oleh WHO dan IULTLD tahun 1996 dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) standar yang terdiri dari : Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, Streptomycin dan Ethambutol dengan standar yang dinyatakan dalam kategori 1, kategori 2, kategori 3 dan sisipan. Berdasarkan paduan obat tersebut diatas maka program TBC paru di Indonesia menggunakan paduan OAT yang disediakan dalam bentuk paket dengan tujuan memudahkan pemberian obat kepada penderita dan

menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai satu paket untuk setiap penderita dalam satu masa pengobatan. Pada pengobatan dengan strategi DOTS OAT dibagi dalam 3 kategori yaitu : 1) Kategori 1 (2HRZE/4H3R3) Pada tahap intensif obat ini terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirasinamid dan Etambuto. Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan (2 HRZE). Kemudian dilanjutkan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid dan Rifampisisn diberikan 3 kali dalam seminggu selama 4 bulan. Obat ini diberikan untuk penderita : (a) Penderita baru TBC paru BTA positif. (b) Penderita baru TBC paru BTA negatif, rontgen positif yang sakit berat. (c) Penderita TBC extra paru berat. Untuk seorang penderita baru BTA positif diberikan satu paket kombipak kategori 1 berisi 114 blister harian yang terdiri 60 blister HRZE untuk tahap awal (intensif) dan 54 blister HR untuk tahap lanjutan masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar. Fase pengobatan pada kategori 1 :

(a) Pengobatan fase intensif yaitu pemberian OAT setiap hari selama 2 bulan (2 HRZE). Bila hasil pemeriksaan dahak ulang BTA positif pada akhir bulan ke 2 maka pengobatan diteruskan dengan obat sisipan (HRZE) selama 1 bulan. Setelah pengobatan sisipan maka dilakukan pemeriksaan dahak ulang, kemudian diteruskan dengan fase lanjutan tanpa melihat hasil pemeriksaan BTA. (b) Pengobatan fase lanjutan bila pemeriksaan dahak ulang BTA (-) pada akhir bulan ke 2 maka diteruskan dengan pengobatan (4 H3R3) fase lanjutan selama 4 bulan diberikan 3 kali dalam seminggu, demikian pula fase lain untuk diberikan pada yang telah selesai OAT. 2) Kategori 2 (2HRZES/HRSE/5H3R3E3) OAT ketegori 2 ini diberikan untuk penderita BTA positif yang sudah pernah makan OAT selama lebih sebulan yaitu : a) Penderita kambuh (relaps) b) Penderita gagal (failure) c) Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default) Fase pengobatan ketegori 2 yaitu : a) Pengobatan fase intensif yaitu pemberian OAT setiap hari selama 3 bulan terdiri dari 2 bulan diberikan HRZE dan suntikan Streptomycin setiap hari, suntikan diberikan setelah menelan obat di UPK. Kemudian dilanjutkan setiap hari HRZE selama satu

bulan. Bila hasil pemeriksaan dahak ulang BTA positif pada akhir bulan ke 3, pengobatan diteruskan dengan OAT sisipan selama satu bulan. Setelah pengobatan sisipan dilanjutkan pemeriksaan dahak ulang, kemudian diteruskan dengan fase lanjutan tanpa melihat hasil pemeriksaan BTA. b) Pengobatan fase lanjutan bila : pemeriksaan dahak ulang BTA negatif pada akhir bulan ke 3 maka diteruskan dengan pengobatan (5H3R3E3), fase lanjutan selama 5 bulan diberikan 3 kali dalam seminggu, demikian pula fase lanjutan diberikan pada penderita yang telah selesai OAT sisipan. 3) Kategori 3 (2HRZ/4H3R3) Kategori 3 ini diberikan untuk : a) Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan. b) Penderita ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa, TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal. Fase pengobatan pada kategori 3 yaitu : a) Pengobatan fase intensif yaitu pemberian OAT setiap hari selama 2 bulan (2HRZ). Setelah fase intensif perlu dilakukan pemeriksaan dahak ulang pada bulan ke 2. b) Pengobatan fase lanjutan bila pemeriksaan dahak ulang BTA negatif, selama 4 bulan diberikan 3 kali dalam seminggu.

4) OAT sisipan (HRZE) Pada akhir bulan ke 2 maka diteruskan dengan pengobatan (4H3R3) fase lanjutan. Apabila pada pemberian pengobatan kategori 1 atau kategori 2 pemeriksaan dahak setelah fase intensif hasil BTA masih (+) maka diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan. 8. Tinjauan Umum Tentang Faktor Risiko Yang Berhubungan Terhadap Kejadian TBC Paru a.Kontak Serumah dengan Sumber Penular Kontak serumah dengan penderita TBC merupakan salah satu faktor risiko terjadinya TBC. Semua kontak penderita TBC positif harus diperiksa dahak. Kontak erat seperti dalam keluarga dan pemaparan besarbesaran seperti pada petugas kesehatan memungkinkan penularan lewat percikan dahak. Faktor risiko tersebut semakin besar bila kondisi lingkungan perumahan jelek seperti kepadatan penghuni, ventilasi yang tidak memenuhi syarat dan kelembaban dalam rumah merupakan media transisi kuman TBC untuk dapat hidup dan menyebar. Untuk itu penderita TBC dapat menularkan secara langsung terutama pada lingkungan rumah, masyarakat di sekitarnya dan lingkungan tempat bekerja, makin meningkatnya waktu berhubungan dengan penderita memberi

kemungkinan infeksi lebih besar pada kontak.

Hal tersebut memberikan gambaran bahwa pemaparan kuman TBC dapat dipengaruhi oleh faktor individu, keeratan kontak dan faktor lingkungan rumah seseorang.

b. Lama Kontak Lama kontak adalah kurun waktu kontak tinggal bersama dengan penderita secara terus-menerus sehingga pada proses ini melalui batuk atau bersin, penderita TBC paru BTA (+) menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei).Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan, Selain itu faktor yang

memungkinkan seseorang terpajan kuman TBC paru ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut karena risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak dimana pasien TBC paru dengan BTA (+) memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TBC paru BTA (-) (Depkes 2008). Masa inkubasi kuman TBC mulai dari masuknya kuman sampai terjadi infeksi diperkirakan 6 bulan sampai dengan 2 tahun (Depkes,2002). c.Kepadatan penghuni rumah Menurut Proyono Tjiptoheryanto 1983, beberapa faktor sosial ekonomi diperkirakan mempengaruhi tingkat kesakitan maupun kematian akibat penyakit tuberkulosis termasuk faktor kepadatan penduduk. Besarnya prosentase penduduk yang berdiam di kota akan mempengaruhi bukan saja kepadatan namun juga hubungan antara seseorang dengan orang lainnya. Keadaan perumahan memberikan dampak langsung kepada kesehatan lingkungan dan termasuk didalamnya jumlah orang dalam satu

rumah. Lingkungan tempat tinggal diyakini beberapa peneliti sebagai faktor risiko. Dalam program penyehatan lingkungan pemukiman, telah ditetapkan syarat-syarat kesehatan untuk rumah tinggal antara lain : 1) Luas ruangan rumah dibanding penghuni tidak kurang dari 9 m2/jiwa. 2) Lantai dan dinding kamar tidur kering (tidak lembab) 3) Pencahayaan memanfaatkan sinar matahari sebanyak mungkin untuk penerangan dalam rumah pada siang hari.

B. Kerangka Konseptual Penelitian 3. Dasar Pemikiran Penyakit TBC paru disebabkan oleh microbacterium tuberkulosis sebagai faktor agent (virulensi kuman) yang menular dari orang sakit TBC aktif ke orang sehat yang sangat dipengaruhi oleh kondisi penjamu yaitu daya tahan tubuh sebagai faktor host, keeratan kontak terutama kontak serumah dan lama kontak diperburuk oleh kondisi lingkungan perumahan antara lain kepadatan penghuni dan ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Faktor risiko adalah semua faktor yang dapat memberikan risiko terjadinya penyakit. Variabel yang diteliti adalah : a. Variabel independen (faktor risiko) yaitu kontak serumah, lama kontak, dan kepadatan penghuni. b. Variabel dependen (akibat/efek) adalah penderita TBCC paru. 4. Bagan Kerangka Konseptual Penelitian

FAKTOR KONTAK : FAKTOR KONTAK : KONTAK SERUMAH KONTAK SERUMAH LAMA KONTAK LAMA KONTAK

KEJADIAN KEJADIAN TBC PARU TBC PARU BTA (+) BTA (+)
FAKTOR LINGKUNGAN RUMAH : FAKTOR LINGKUNGAN KEPADATAN PENGHUNI RUMAH : KEPADATAN PENGHUNI

Gambar 2 : Kerangka konsep penelitian

C. Hipotesis Penelitian a. b. c. Ada hubungan kontak serumah dengan kejadian TBC paru. Ada hubungan lama kontak dengan kejadian TBC paru. Ada hubungan kepadatan penghuni dengan kejadian TBC paru.

BAB III METODE PENELITIAN

F. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian observasional dengan rancangan Potong lintang (cross sectional study).

G. Waktu dan Lokasi Penelitian 1. Waktu Penelitian Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan selama 1 bulan yaitu dari 15 April 2010 sampai dengan 15 Mei 2010. 2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas

Bolangitang Kecamatan Bolangitang Barat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Wilayah Puskesmas Bolangitang terdiri dari 16 Desa yaitu desa Bolangitang 1, Desa Bolangitang 2, Desa Bolangitng Induk, Desa Jambu sarang, Desa Telaga, Desa Telaga tomoagu, Desa Sunuo, Desa Olot 1, Desa Olot 2, Desa Olot Induk, Desa Langi, Desa Iyok, Desa Tote, Desa Paku utara, Desa Paku selatan, Desa wakat.

H. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah semua penduduk suspek TBC paru dan penderita TBC paru BTA (+) yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Bolangitang tahun 2010 berjumlah 501 jiwa 2. Sampel Sampel dalah penduduk suspek TBC paru dan penderita TBC paru BTA (+) di wilayah kerja puskesmas Bolangitang Kabupaten Bolaang Mongondow Utara selang Februari - Maret 2010, beralamat yang jelas dan bersedia diwawancarai. a. Cara pemilihan sampel Sampel diambil secara Simple Random Sampling, yaitu pengambilan sampel secara acak sederhana. b. Besar sampel Untuk menghitung besar sampel berdasarkan rumus : N. Z. p. q n= d. (N-1) + Z. p. Q I. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif 1. Kejadian TBC Paru BTA (+)

Kejadian TBC Paru (+) adalah infeksi kuman mycobacterium tuberkulosis baik secara langsung atau tidak langsung berdasarkan diagnosis petugas kesehatan Puskesmas Bolangitang.

Kriteria objektif : Menderita TBC Paru BTA (+) : Bila hasil pemeriksaan mikroskopis

minimal 2 kali dari 3 kali pemeriksaan mikroskopis sewaktu, pagi, sewaktu (SPS) hasilnya positif, 1 spesimen dahak SPS hasilnya (+) dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Tidak Menderita TBC BTA (-) : Bila tidak sesuai kriteria pemeriksaan mikroskopis minimal 2 kali dari 3 kali pemeriksaan mikroskopis sewaktu, pagi, sewaktu (SPS) hasilnya positif, 1 spesimen dahak SPS hasilnya (+) dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. 2. Kontak Serumah Adalah responden tinggal serumah dengan penderita TBC paru BTA (+) sebelum responden sakit. Kriteria objektif :

Risiko tinggi : Bila responden tinggal satu rumah dengan penderita TBC paru BTA (+) sebelum responden sakit. Risiko rendah : Bila responden tidak tinggal serumah dengan penderita TBC paru BTA (+). 3. Lama Kontak Adalah lama kontak atau lama tinggal serumah/bergaul responden dengan penderita TBC paru BTA (+) sebelum responden sakit. Kriteria objektif ( Depkes RI.Tahun 2000 ) : Lama Belum lama : bila lama kontak 6 bulan : bila lama kontak < 6 bulan

4. Kepadatan Penghuni Rumah Pengukuran kepadatan penghuni rumah dilakukan dengan menghitung luas lantai bangunan dengan menggunakan alat ukur meteran standar) kemudian dibagi dengan jumlah penghuninya yaitu 9 M2 perorang (Depkes, 2006). Kriteria objektif : Padat Tidak padat : bila luas bangunan < 9 M2 perorang : bila luas bangunan 9 M2 perorang

J. Teknik Pengumpulan Data 1. Data Primer

Data primer diperoleh berdasarkan wawancara langsung dengan responden yang terpilih dengan menggunakan kuesioner dan observasi langsung ke rumah responden. 2. Data Sekunder Data sekunder diperoleh melalui buku register penderita TBCC paru Puskesmas Bolangitang tahun 2010. F. Teknik Analisis Data 1. Pengolahan dan Penyajian Data Data akan diolah dengan software program SPSS, kemudian Data hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel disertai dengan narasi. 2. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji Chi-Square dengan rumus : n ([ad-bc] n)2

x2

= (a+b)(c+d)(a+c)(b+d)

Interpretasi :

x2 Hitung > x2 tabel tolak Ho x2 Hitung < x2 tabel tolak Ho

DAFTAR PUSTAKA Adiatama, T. Y 2000, Tuberkulosis Diagnosis, Terapi dan Masalahnya, Lab. Mikrobiologi RSUP Persahabatan Yakarta. Bhisma Murti, 1995, Prinsip dan Metode Reset Epidemiologi , Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Buku Pegangan untuk Workshop, 2003, Pengembangan Comunitas Laboratorium TBC. Indonesia Australia Spesialised Training Project Phase II, Yakarta. Bustam M. N, Analisis Tabel Lipat Empat, 1998, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanudin, Ujung Pandang. Depkes RI, 2002, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis, Cetakan ke 8, Yakarta Depkes RI, 2002, Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis 20022006, Jakarta. Depkes RI, Press Relise, Jakarta, April 2002, Rumah Sakit Merupakan Mata Rantai Penting Dalam Penanggulangan TBCC. Depkes RI, 1989, Buku Petunjuk Survei Dasar Tentang Perumahan dan Lingkungannya Serta Penanggulangan Kartu Rumah Bagi Kader Kesehatan Lingkungan. Dinas Kesehatan Provinsi Boalemo, 2007, Profil Kesehatan Provinsi Boalemo. Dinas Kesehatan Kabupaten Boalemo, 2008, Profil Kesehatan Kabupaten Boalemo, Boalemo. Hamzah Asiah, Burhanuddin, Rostiinah, 2002, Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis Paru Strategi DOTS di Puskesmas Alliritengae Kabupaten Maros. Info Gerdunas 2002, Sekilas sejarah Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia Bulan April, Jakarta. John Croffin dkk, Tuberkulosis Klinis, Edisi ke 2

Toman K, 1979, Tuberculosis Case-Finding And Chemotherapy, WHO Geneva. Retno dkk, Cermin Dunia Kedokteran No. 137, 2002, Studi Kasus Hasil Pengobatan Tuberkulosis Paru di 10 Puskesmas di DKI Jakarta. Stanley Lemeshow dkk, Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Rungngu Lucia, 2003, Analisis Beberapa Faktor Risiko Kejadian TBCC paru di wilayah Kerja Puskesmas Sidomulyo Kota Samarinda, Tesis tidak diterbitkan, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. Soekidjo N, 2002, Metodologi Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi Sudirman, 2003, Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keberhasilan Program Pengobatan TBCC Paru Melalui Strategi DOTS di Kabupaten Jeneponto Wayan A, 2001, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian TBC Paru Di Kab. Donggala, Tesis Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, 2001. Salahuddin, 2002, Analisis Beberapa Faktor Risiko Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Bantimurung Kabupaten Maros, Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Hasanudin, 2002.

INSTRUMEN PENELITIAN Judul Penelitian : FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN TBCPARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BOLANGITANG KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW UTARA TAHUN 2010 A. Data responden 1. Nama Responden 2. Umur Responden 3. Jenis Kelamin 4. Alamat Responden : : : : .................................................................... .................................................................... .................................................................... .................................................................... ....................................................................

5. Pekerjaan Responden :

B. Pertanyaan untuk Variabel kontak serumah dengan sumber penular 1. Apakah anda pernah tinggal serumah dengan penderita TBC paru BTA (+) sebelum sakit ? a. YA b. TIDAK

2. Apakah anda ada Hubungan Keluarga dengan penderita tersebut ? a. YA b. TIDAK

3. Apakah anda sering bercakap dengan jarak yang dekat dengan penderita tersebut? a. YA b. TIDAK

4. Apakah anda pernah menghirup udara langsung ketika penderita batuk atau bersin ? a. YA b. TIDAK

C. Pertanyaan untuk variabel lama kontak 1. Berapa lama anda tinggal serumah dengan penderita TBC paru BTA (+) ? a.< 6 bulan b. 6 bulan

2. Apakah anda sering brinteraksi dengan penderita TBC paru BTA (+) ? a. Sering b. Jarang

D. Pertanyaan untuk variabel kepadatan penghuni rumah 1. Berapa luas rumah anda ? a. < 9M2/orangb. 9M2/orang 2. Berapa jumlah orang yang tinggal dirumah anda ? a. < 4 orang b. 4 orang

3. Berapa luas rumah anda ? a. < 32M2 b. 32M2

You might also like