You are on page 1of 2

Shiva

Shiva adalah gadis kecil yang mengobati luka hati ayahnya. Lima tahun usianya.
Lesung pipit senyumnya. Tak pernah berhenti bibir mungilnya bicara dan bertanya. Sang
bunda sampai kewalahan menjawab pertanyaan profesor kecil itu.
“Bunda, kalau Shiva suka nonton TV, Allah suka nonton apa ?”
“Bunda, setiap Shiva sarapan, Shiva selalu berdoa kepada Allah biar sarapannya ga
dimakan cacing. Hiiii… Shiva ngga suka cacing.”
“Bunda pernah bertemu Allah ?”
“Bunda, katanya Allah yang membikin Shiva dan Bunda. Bagaimana ya Allah bikin
kita semua ?”
Dari pertanyaan biasa sampai yang berkaitan dengan aqidah. Tentu saja sang bunda
jungkir balik menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan bahasa yang dipahami anak
kecil.
Bidadari kecil ini terlihat lucu dengan jilbab putih kecilnya, apa lagi kalau sedang
tersenyum. Gigi- gigi gupisnya berbaris di antara gigi-gigi depannya. Dia memang suka
makan coklat, tak heran kadang-kadang jilbab putihnya berhiaskan remah-remah coklat
yang dimakannya.
Gadis kecil ini tidak bisa jauh dari sang bunda. Bila anak-anak TK seusianya
membiarkan sang bunda menungguinya di luar kelas, maka Shiva meminta bundanya
menunggu di dalam kelas. Agar bisa terus terlihat oleh mata kecilnya yang lincah.
Pulang sekolah Shiva mengajak sang bunda lomba lari. Di jalan setapak tepi sawah
Shiva berlari dengan semangatnya. Jilbab kecilnya berkelebatan, bagai sayap burung
kecil yang sedang belajar terbang. Sang bunda pun tak bisa menandingi langkah kaki
bidadari kecil itu. Lari lucu, bagai penguin di kutub selatan berkejaran di tepi pantai.
“Shiva ! Hati-hati, jangan cepat-cepat, nak”, teriak sang bunda dari belakang.
Dengan bersemangat kaki-kaki kecil itu menyusuri rerumputan di tepi sawah. Tak
hanya langkah kecil yang menggemaskan dari Shiva, namun juga tawa kecilnya yang
membangunkan penghuni sawah. Beberapa ekor katak di tepi sawah terkejut mendengar
tawa makhluk cantik kecil itu dan kemudian bergegas melompat ke tengah sawah. Kupu
–kupu kuning yang hinggap di rumput berembun pun terbang meninggi. Kalau tidak ia
akan terinjak atau ditangkap tangan mungil Shiva yang gemas melihat kupu-kupu.
Ya, Shiva memang penawar bagi kerasnya hati. Shiva tidak memperhatikan
sekekelingnya, namun makhluk lainnya pasti memperhatikan kelincahan dan
keluguannya. Ia bagai setetes air yang mampu melubangi karang hati manusia pada
tetesan pertama. Siapapun yang melihatnya akan sadar bahwa perdamaian di bumi pantas
diperjuangkan. Sangat tidak adil bila dunia yang penuh debu, darah dan kebencian tanpa
alas an yang jelas harus diwariskan kepada Shiva atau anak-anak lain seperti dia.
Andaikan para pemimpin dunia tahu bahwa ada anak semanis Shiva tentu saja mereka
akan berpikir ulang ribuan kali sebelum memutuskan invasi atau peperangan. Andai
mereka tahu bahwa di mata Shiva dunia adalah taman dan manusia adalah kumbangnya
tentu mereka akan mempertimbangkan kembali sebelum mengerahkan pasukan demi
konsesi minyak. Andaikan saja mereka mengenalmu . . . . .

***
Di sebuah ruang aku duduk sendirian. Hari masih pagi. Kurang lebih jam 9 lebih.
Ruang itu lebarnya sekitar 10 x 10 meter. Ada sekitar 8 set meja yang dikitari 4 kursi. Ya,
ruangan itu mirip restoran. Namun, aku tahu dengan pasti itu bukanlah restoran karena
aku sudah di sini kurang lebih 3 tahun.

You might also like