You are on page 1of 4

Sebuah Afirmasi Berdasarkan Yohanes 5:1-47

Oleh: Deky H. Y. Nggadas


Jakarta, 13 & 16 Juni 2008 (Heartline FM & RPK FM)

A. Keberatan: Yesus tidak pernah mengaku sebagai Allah

Jikalau hari ini, kita bertanya kepada salah seorang yang mengerti dengan baik dan meyakini Iman
Kristen yang ortodoks, “Siapakah Yesus menurut saudara?” Tentu dia akan menjawab, “Yesus adalah
Allah sejati dan Manusia sejati”. Lain halnya lagi, jika kita bertanya kepada salah seorang yang menganut
teologi Liberal, “Apakah saudara percaya bahwa Yesus adalah sosok/pribadi Ilahi?” Dia akan menjawab,
“Oh, itu adalah keyakinan fundamentalisme. Saya sudah lama meninggalkan keyakinan itu.”1

Dalam tension (ketegangan) seperti ini, sikap seperti apakah yang mesti ambil? Kenyataannya, bagi
orang-orang modern,2 Yesus tidak pernah secara eksplisit berkata, “Aku adalah Allah”. Jika demikian,
apakah kenyataan ini membuat kita harus berkesimpulan bahwa pengakuan akan ketuhanan Yesus adalah
kreasi gereja mula-mula? Jadi sebenarnya Yesus tidak pernah menganggap atau bahkan meminta
pengikut-Nya menyembah Dia sebagai Allah.3 Apakah benar demikian?

Pertanyaan di ataslah yang akan menjadi fokus diskusi kita malam ini. Dan kita akan memberikan respons
berdasarkan Yohanes 5:16-30. Tentu saja, eksplorasi isi perikop ini dalam rangka menjawab pertanyaan di
atas bukan merupakan satu-satunya jawaban yang dapat diberikan.4

B. Klarifikasi Presaposisional: Apakah “pengakuan eksplisit” itu?

Sebelum menjelaskan jawaban kita berdasarkan Yohanes 15:16-30, kita perlu “membereskan” satu hal
yang bersifat mendasar, terkait dengan keberatan bahwa Yesus tidak pernah mengaku sebagai Allah.

Apakah yang dimaksudkan dengan pengakuan yang eksplisit harus ditandai dengan kalimat “Aku adalah
Allah”? Benarkah Yesus tidak pernah mengaku diri sebagai Allah? Alkitab memberikan jawaban negatif
untuk pertanyaan ini. Ketika berada di hadapan Mahkamah Agama, Yesus ditanyai, “Apakah Engkau
Mesias, Anak Allah, atau tidak” dan Yesus mengiyakan pertanyaan tersebut. Mendengar pengakuan
tersebut, Imam Besar itu mengoyakkan pakainnya dan mengatakan bahwa Yesus telah menghujat Allah.

1
Lihat posting Iohanes Rakhmat, “Lima Pokok Doktrin Fundamentalisme Protestan: Sebuah Evaluasi
Kritis” dalam www.iohanesrakhmat.blogspot.com. Menurut Iohanes Rakhmat, doktrin keilahian Kristus (dan
kelahiran melalui anak dara) adalah salah satu dari lima pokok doktrin fundamentalisme Protestan, yang harus
dievaluasi kembali secara kritis [selain doktrin: pengilhaman dan ketidakbersalahan Alkitab (infallibility);
pendamaian melalui kematian Kristus; kebangkitan jasmaniah Kristus; dan kedatangan Kristus segera]
2
Saya memberikan empasis (penekanan) kepada “bagi orang-orang modern” karena saya sangat skeptis
bahwa mereka memiliki dasar yang solid untuk klaim tersebut.
3
Misalnya, pada permulaan tahun 1700an, Hermann Reimarus (profesor Oriental Language di Hamburg,
Jerman), yang buah penanya menjadi cikal bakal Redaction Criticism, menulis bahwa pengakuan akan kemesiasan
Yesus dan keluarbiasaan-Nya (ketuhanan-Nya), merupakan propaganda para murid-murid yang berupaya menutupi
kegagalan Yesus (Lihat: Norman Perrin, What is Redaction Criticism? Philadelphia, Fortress Press, 1969], 2)
4
Lihat misalnya: Buku kecil yang ditulis Josh McDowell, Benarkah Yesus itu Allah? (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1999)

dekynggadas@yahoo.com Page 1
Mengapa Yesus dianggap menghujat Allah? Oleh karena Dia mengaku setara dengan Allah! (Mat. 26:57-
66)5

Contoh di atas memperlihatkan bahwa keberatan akan eksplisitas pengakuan Yesus tentang ketuhanan-
Nya sama sekali tidak berdasar.6 Klaim yang bagi kita tidak eksplisit, ternyata bagi mereka sangat
eksplisit. Bagi kita Yesus tidak pernah mengaku sebagai Tuhan karena tidak pernah mendapati kalimat
“Aku adalah Tuhan” keluar dari mulut Yesus. Akan tetapi, sebaliknya bagi orang-orang Yahudi klaim
ketuhanan Yesus begitu eksplisit, sehingga mereka mendakwa Yesus sebagai penghujat.

Selanjutnya, kita akan mengikuti sebuah penjelasan dari salah satu perikop yang berisi pengakuan Yesus
tentang hubungan-Nya dengan Bapa.

C. Klaim Ketuhanan Yesus: Yohanes 5:1-47

1. Konteks pertikaian: Pelanggaran terhadap halakhoth Sabat


Yesus baru saja menyembuhkan seorang lumpuh di dekat kolam Betesda. Dia kemudian menyuruh laki-
laki itu untuk mengangkat tilamnya dan berjalan (5:8). Laki-laki yang disembuhkan itu melakukannya,
dan pihak otoritas Yahudi menuduhnya melanggar peraturan hari Sabat. Laki-laki itu, kemudian
mengatakan kepada orang-orang Yahudi bahwa Yesuslah yang menyembuhkannya dan menyuruhnya
melakukan demikian (5:11, 15). Patut dipahami bahwa pada waktu itu, para sarjana Yahudi
mengembangkan berbagai halakhoth (aturan-aturan tingkah laku), termasuk larangan membawa beban
apa pun di luar tempat tinggal, termasuk membawa beban apa pun yang lebih tinggi dari bahu. Halakhoth
inilah yang mereka maksudkan dengan tidak boleh bekerja pada hari sabat (bnd. 5:10).

Jadi tuduhan resmi yang ditujukan kepada Yesus7, adalah karena Dia “melakukan hal-hal itu pada hari
Sabat” (5:16). Mengenai “hal-hal itu” secara spesifik merujuk kepada penyembuhan atau kepada nasihat
yang telah mendorong laki-laki itu meakukan pekerjaan yang dilarang.8

2. Respons yang mengejutkan


Yesus bisa saja menjawab dengan melakukan sebuah perdebatan teologis mengenai halakhoth. Dia bisa
saja menunjukkan bahwa hukum Taurat itu tidak begitu spesifik, bahwa Dia sendiri, bukanlah seorang
dokter yang mencari upah tambahan dengan bekerja lembur pada hari Sabat dan melakukan prosedur-
prosedur medis yang semestinya dapat ditunda sampai esok hari. Demikian pula, laki-laki yang
disebuhkan itu bukan seorang pekerja yang sedang mencari uang tambahan dengan membawa sebuah
tilam pada hari Sabat. Jawaban apa pun seperti ini pasti akan dibantah dengan perdebatan sengit, tetapi
bukan dengan tuduhan penghujatan.

5
Jesus’ affirmation of being the Messiah, the Son of God (the background for the two combined titles may
have been Ps 2; see Lövestam), may not yet in itself have been sufficient grounds for the high priest to regard him as
blaspheming. But when Jesus adds to his answer the quoted material from Dan 7:13 and the allusion to Ps 110:2,
identifying himself as that triumphant figure—and thus more than the Messiah as a merely human agent—as the one
who is “given dominion and glory and kingship” whom all will serve and whose kingdom will see no end (Dan
7:13–14), the one who sits at the right hand of God (Ps 110:1), the high priest reacts to what he regards as horrifying
blasphemy (cf. v. 65). In the face of such a startling claim (Moule, 194), his reaction is understandable (Donald A.
Hagner, Word Biblical Commentary, Volume 33b: Matthew 14-28, (Dallas, Texas: Word Books Publisher, 1998)
6
Dalam Yohanes 18:5-6, Yesus menyingkapkan diri dengan “I am” dan para prajurit yang datang
menangkap Dia jatuh ke tanah.
7
Bahkan mereka berupaya menganiaya Dia (evdiwkon)
8
Dalam The Expositor’s Bible Commentry, dijelaskan bahwa tindakan penyembuhan itulah yang menjadi
penyebab langsung oposisi dari pihak otoritas Yahudi.

dekynggadas@yahoo.com Page 2
Jawaban Yesus justru mengejutkan. Yesus berkata, “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun
bekerja juga” (5:17). Mengapa mengejutkan? Paling tidak, terdapat dua latar belakang yang dapat
menolong kita memahami implikasi-implikasi dari pernyataan Yesus9, yaitu:

 “Keanakan” (Sonship) sangat sering merupakan sebuah kategori fungsional di dalam Alkitab.
Oleh karena mayoritas anak laki-laki pada akhirnya melakukan apa yang aya mereka lakukan,
maka terdapat asumsi kultural “bapak dan anak sama saja”. Yesus banyak memakainya dalam
Ucapan-ucapan Bahagia: “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan
disebut anak-anak Allah” (Mt. 5:9). Idenya: Allah adalah Sang Pembawa Damai Tertinggi,
sehingga setiap orang yang membawa damai dalam hal ini disebut seperti Allah, dan sampai pada
taraf tertentu merupakan “anak” Allah. Pemikiran ini juga yang ada di belakang nama-nama
seperti: “anak Belial” [kesia-siaan] dan “anak penghiburan”. Asumsi Kulturalnya (implisit)
adalah orang yang disebut dengan nama yang demikian tidak berharga atau begitu menghibur
sehingga ayahnya pastilah “ketidakberhargaan atau penghiburan”. Jadi ketika Yesus menyatakan
bahwa “Bapa”-Nya “bekerja sampai sekarang”, Dia secara implisit mengklaim diri-Nya sebagai
Anak Allah, dengan hak untuk mengikuti pola pekerjaan yang Allah sendiri tetapkan.
 Pihak otoritas Yahudi abad pertama masuk ke dalam perdebatan-perdebatan teologsi yang
berkepanjangan mengenai apakah Allah melaksanakan hari Sabat. Pihak yang satu
mengiyakannya, sedangkan pihak yang lain menyangkalnya. Pihak yang kedua ini berargumen
bahwa jika Allah berhenti dari semua pekerjaan-Nya pada hari Sabat, maka karya pemeliharaan-
Nya akan terhenti, dan alam semesta ini akan hancur. Meskipun demikian, pihak yang pertama
tampaknya lebih dominan untuk dianut. Mereka berargumen sebaliknya, bahwa karena seluruh
alam semesta ini adalah tempat kediaman Allah, dan karena Dia lebih besardaripada apa pun di
dalam alam semesta ini, maka tidak pernah dikatakan bahwa Dia mengangkat apa pun melebihi
kedua bahu-Nya sendiri. Dia tidak melakukan pekerjaan apa pun pada hari Sabat yang melanggar
halakhoth. Jadi Dia melaksanakan hari Sabat (sehingga pemeliharaan-Nya tetap berlangsung),
tetapi Dia tidak “bekerja” dengan cara yang melanggar hari Sabat.10 Perlu digarisbawahi bahwa
ini adalah jalan keluar yang hanya berlaku bagi Allah saja.

Berdasarkan latar belakang pemahaman di atas, Yesus mengklaim diri-Nya bekerja pada hari Sabat
karena Allah adalah Bapa-Nya, dan secara implisit, Dia adalah Anak yang mengikuti jejak langkah Bapa-
Nya dalam hal ini. Poinnya adalah bahwa meskipun seseorang disebut dapat disebut anak Allah karena,
misalnya, membawa damai, tetapi tidak ada seorang pun yang boleh disebut anak Allah dalam segala hal,
yaitu karena mereka tidak menyerupai Allah dalam segala hal.11 Orang-orang Yahudi mengakui bahwa
“jalan keluar” yang hanya berlaku bagi pekerjaan Allah pada hari Sabat berkaitan dengan transendensi
Allah, dan hanya berlaku bagi Allah.

Oleh karena itu, ketika Yesus membenarkan pekerjaan-Nya pada hari Sabat dengan merujuk kepada Allah
sebagai Bapa-Nya, pernyataan tersebut begitu mengejutkan. Sekarang, Yesus bukan hanya melanggar hari
Sabat, orang-orang Yahudi berpikir, “tetapi juga karena Ia mengatakan bahwa Allah adalah Bapa-Nya
sendiri dan dengan demikian menyamakan diri-Nya dengan Allah” (5:18).

3. Apa maksud Yesus?

Jika orang-orang Yahudi menganggap Yesus sebagai penghujat karena menyamakan diri-Nya dengan
Allah, apakah memang demikian yang dimaksudkan Yesus?

9
Lihat: D. A. Carson, Doktrin yang Sulit Mengenai Kasih Allah (Surabaya: Momentum, 2007), 29-35
10
Lihat: Midras Rabbah on Genesis atau Genesis Rabba
11
Misalnya, saya tidak menciptakan alam semesta baru-baru ini, maka saya tentu saja bukanlah anak Allah
berkenaan dengan creatio ex nihilo

dekynggadas@yahoo.com Page 3
Dapat dipastikan bahwa memang demikianlah yang dimaksudkan Yesus. Meskipun demikian, di dalam
bagian ini kita melihat suatu proklamasi yang seimbang antara aspek keilahian Yesus dan aspek
subordinansi-Nya. Menurut Craig L. Blomberg, respons Yesus terhadap keberatan orang-orang Yahudi
(5:19-47) dapat dikategorikan menjadi dua topik besar, yaitu:
 Dalam 5:19-30, Yesus sedang menekankan tentang fungsi subordinansi Yesus;
 Dalam 5:31-47, Yesus menekankan tentang kesehakikatan-Nya dengan Bapa.
Blomberg melanjutkan bahwa perikop ini merupakan balance antara kesamaan ontologis/hakikat Yesus
dengan Bapa dan ketaatan subordinansial-Nya.12 Pendapat senada juga diungkapkan Leon Morris, bahwa
baik ketaat Yesus kepada Bapa maupun implikasi tentang keilahiannya dalam bagian ini jangan sampai
diabaikan.13

Konklusi

Melalui pembahasan di atas, jelas bahwa Yesus pernah memproklamirkan diri-Nya sehakikat dengan
Bapa. Hal itu berarti, penolakkan terhadap ketuhanan Yesus berdasarkan alasan bahwa Ia tidak pernah
menyatakan diri-Nya sebagai Allah, tidak benar. Ternyata, Yesus pernah melakukannya dan itu bukan
hanya sekali.

Lalu, mengapa proklamasi Yesus tentang identitas keilahian-Nya “kabur” bagi kita saat ini.

Pertama, karena kita asing terhadap setting historis Injil dan olehnya kita perlu belajar. Ingat bahwa
mereka (Yesus dan orang-orang se-zaman-Nya) bertutur dalam suatu konteks tertentu. Suatu konteks yang
sangat kompleks. Disebut kompleks karena konteks mereka merupakan perpaduan antara kondisi politis,
sosial, budaya, ekonomi, dan harapan-harapan religious, yang tidak familiar bagi kita.

kedua, bahwa memang kepada kita tidak dibukakan pengertian yang demikian (bnd. Mt. 13:10-17;
16:17).

ketiga, kita sebenarnya tidak memiliki alasan yang kuat untuk menolak ketuhanan Yesus, tetapi kita
menindas kebenaran tentang Yesus yang diberitakan kepada kita.

Bagaimana dengan saudara?

12
Craig L. Blomberg, Jesus and the Gospels (Leicester: Apolos, 1997), 295-296
13
Leon Morris, The Gospel According to John (ICC; Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1971), 313

dekynggadas@yahoo.com Page 4

You might also like