You are on page 1of 26

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penurunan produksi pertanian sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim
yang ekstrim, yaitu kekeringan yang sangat panjang dan curah hujan yang
berada di atas normal. Iklim di Jawa Timur telah mengalami perubahan iklim
global. Malang Raya sebagai bagian dari propinsi Jawa Timur tidak terlepas
pula dari pengaruh perubahan iklim global, dimana kondisi iklim Kota Malang
selama tahun 2008 tercatat rata-rata suhu udara berkisar antara 22,7C -
25,1C. Sedangkan suhu maksimum mencapai 32,7C dan suhu minimum
18,4C . Rata kelembaban udara berkisar 79% - 86%. Dengan kelembaban
maksimum 99% dan minimum mencapai 40%. Seperti umumnya daerah lain di
Indonesia, Malang Raya mengikuti perubahan putaran 2 iklim, musim hujan, dan
musim kemarau. Dari hasil pengamatan Stasiun Klimatologi Karangploso Curah
hujan yang relatif tinggi terjadi pada bulan Pebruari, Nopember, Desember.
Sedangkan pada bulan Juni dan September Curah hujan relatif rendah.
Perubahan iklim yang terjadi di Malang Raya akan berdampak pada
berbagai bidang, salah satunya adalah bidang pertanian. Usaha pertanian yang
efektif adalah memadukan penggunaan sumber daya alam terutama iklim dan
tanah. Mempelajari perilaku iklim terutama curah hujan setidaknya telah
meningkatkan effisiensi penggunaan air, mengurangi resiko bencana alam,
banjir dan kekeringan pada tanaman pangan. Selain itu, memudahkan untuk
merencanakan pola tanam yang tepat yang tidak terlepas dari penggunaan data
hujan seberapun sederhananya. Data yang baik memberikan kontribusi yang
optimal pada perencanaan waktu tanam dan menentukan prakiraan iklim yang
akurat dalam lingkup area tertentu.
Produktivitas pertanian di daerah tropis akan mengalami
penurunan bila terjadi kenaikan suhu rata-rata global antara 1-2
0
C
sehingga meningkatkan risiko bencana kelaparan. Meningkatnya
frekuensi kekeringan dan banjir diperkirakan akan memberikan dampak
negatif pada produksi lokal, terutama pada sektor penyediaan pangan di

2

daerah subtropis dan tropis. Terjadinya perubahan musim di mana musim
kemarau menjadi lebih panjang sehingga menyebabkan gagal panen,
krisis air bersih dan kebakaran hutan. Terjadinya pergeseran musim dan
perubahan pola hujan, mengakibatkan Indonesia harus mengimpor bahan
pangan. Langkah yang bias dilakukan adalah melakukan adaptasi (KLH,
1998). Adaptasi bisa dilakukan dengan menciptakan bibit unggul atau
mengatur waktu tanam.
Jawa Timur merupakan salah satu propinsi penghasil apel di
Indonesia khususnya di Batu, Poncokusumo dan Nongkojajar. Jika dilihat
dari perkembangannya tanaman apel mengalami masa kejayaan pada
tahun 1980-an hingga 1996 dan apel dijadikan sebagai maskot kota Batu.
Sentra tanaman apel berada di kecamatan Bumiaji yang menempati
luasan sekitar sembilan puluh lima persen dari total lahan apel di Batu.
Namun luas lahan apel dari tahun ke tahun terus menyusut. Berdasarkan
data Dinas Pertanian tahun 2009 menyebutkan bahwa luas lahan apel
saat ini sekitar 600 hektare, dengan jumlah pohon apel sebanyak
2.506.546. Dari jumlah itu, produksi apel hanya 24.625 ton per tahun.
Berkurangnya lahan apel ini disebabkan oleh banyak terjadi alih
fungsi lahan apel menjadi lahan perkebunan jeruk, sayur, dan bunga
seperti yang terjadi di Desa Bumiaji, Sidomulyo, dan Punten. Alih fungsi
lahan apel disebabkan karena tanaman apel sudah tidak bisa tumbuh
dengan baik di daerah tersebut. Ditinjau dari perubahan iklim yang terjadi
bahwa menurunnya kelembaban udara dan meningkatnya suhu
menyebabkan jumlah dan mutu produksi apel terus menurun. Kondisi ini
menyimpang dari persyaratan tumbuh yang diperlukan tanaman apel
yaitu suhu 16-27 derajat Celsius dengan kelembapan udara 75-85 persen
dengan ketinggian ideal untuk tanaman apel berkisar pada 700-1200
mdpl. Dengan adanya kondisi di atas perlu upaya prakiraan iklim
khususnya curah hujan sehingga dapat digunakan untuk menentukan
crop calendar budidaya apel.

3

Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah
perubahan iklim ini, adalah melalui pendekatan taktis dengan pengembangan
metode dan teknik ramalan musim yang lebih handal, serta melalui penerapan
berbagai model dan ragam data (Peragi dan Perhimpi,1994). Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah melakukan prakiraan curah
hujan 10 harian untuk kepentingan informasi pertanian. Prakiraan ini digunakan
untuk menentukan awal masuk dan berakhirnya musim penghujan atau
kemarau. Informasi ini selanjutnya digunakan untuk menentukan kapan awal
musim tanam padi harus dilakukan.
Saat ini model-model peramalan iklim mulai banyak dikembangkan di
Indonesia dan umumnya menggunakan pendekatan stokastik (Gooddard, 2000).
Beberapa model stokastik yang sudah dikembangkan di Indonesia di antaranya
model Autoregressive Integrated Moving Average atau ARIMA, Fungsi Transfer,
Adaptive Splines Threshold Autore-gression atau ASTAR (lihat Andriansyah,
1998; Boer, Notodiputro, dan Las, 2000).
Beberapa model peramalan iklim yang sering digunakan oleh Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika adalah ARIMA, tranformasi wavelet, dan
Adaptive Neuro-Fuzzy Inference Systems atau ANFIS (Indragustari, 2005a;
2005b; Nuryadi, 2005). Permasalahan yang sering muncul dalam hal ini adalah
tidak terpenuhinya asumsi kestasioneran, dimana seringkali dijumpai kondisi
yang berbeda-beda pada setiap lokasi. Lebih lanjut dikatakan bahwa model-
model tersebut spesifik atau hanya bisa diaplikasikan untuk lokasi tertentu saja.
Model-model peramalan iklim yang berkembang saat ini belum memberikan
hasil yang memuaskan. Faktor yang menyebabkan antara lain adalah masih
rendahnya akurasi model peramalan yang digunakan, yaitu : (Suhartono,
Sutikno, Otok, dan Setiawan, 2009)
(1). data yang tersedia kurang memadai (terbatas),
(2). metode-metode yang dikembangkan tidak dapat berlaku umum (setiap
lokasi cenderung mempunyai metode tersendiri),
(3). metode yang digunakan untuk meramalkan iklim sebagian besar belum
melibatkan variabel-variabel indikator iklim lainnya (masih menggunakan
metode peramalan univariat).
Seiring dengan perkembangan model peramalan iklim, seringkali dijumpai
data yang tidak hanya mengandung keterkaitan dengan kejadian pada waktu-

4

waktu sebelumnya, tetapi juga mempunyai keterkaitan dengan lokasi atau
tempat yang lain yang disebut dengan data spasial. Kondisi ini juga berlaku
pada data iklim yang cenderung tidak hanya mengandung keterkaitan dengan
iklim pada waktu sebelumnya, tetapi juga berkaitan dengan iklim di lokasi yang
lainnya yang dikenal dengan fenomena space-time atau spatio-temporal. Salah
satu contoh variabel iklim yang mengikuti pola space-time adalah data tentang
curah hujan.
Pendekatan model spatio-temporal berupa model Space-Time
AutoRegressive Moving Average (STARMA) merupakan pengembangan model
time series ARMA dari Box-Jenkins untuk beberapa lokasi, atau dinamakan
model vektor time series (Ruchjana, 2005). Model Space-Time AutoRegressive
(STAR) yang merupakan bagian dari model STARMA dari Pfeifer (1980)
memiliki keterbatasan, yaitu model tersebut mengasumsikan bahwa parameter
untuk semua lokasi yang tersampel bernilai sama, artinya lokasi-lokasi yang
diamati bersifat serba sama atau homogen.
Dalam fenomena alam seringkali lokasi-lokasi pengamatan bersifat
heterogen. Misalnya di beberapa daerah memiliki curah hujan atau iklim yang
berbeda, sehingga dipredikisi curah hujan di Malang Raya mempunyai
heterogenitas yang tinggi.
Untuk mempelajari pendekatan model spatio-temporal bagi lokasi-lokasi
dengan sifat heterogenitas yang tinggi, seperti curah hujan di berbagai lokasi di
jawa timur khususnya, maka Ruchjana (2002) mengembangkan model STAR
menjadi model Generalisasi Space Time AutoRegresi, GSTAR. Keterbatasan
model GSTAR adalah hanya dapat digunakan untuk data yang stasioner saja
tanpa mempertimbangkan adanya pola musiman. Sedangkan curah hujan selalu
mengandung pola musiman. Lebih lanjut, penggunaan model GSTAR belum
pernah diaplikasikan untuk budidaya apel. Sehingga dalam penelitian ini ingin
dikembangkan model GSTAR untuk meramalkan curah hujan di lokasi-lokasi
pertanaman apel dengan mempertimbangkan pola musiman.

1.2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana mengembangkan model prakiraan
iklim dengan GSTAR untuk data musiman.

5

b. Bagaimana meramalkan curah hujan dengan menggunakan model
GSTAR.

1.3. Tujuan Penelitian
a) Mengembangkan model prakiraan iklim dengan menggunakan model
GSTAR untuk data musiman.
b) Meramalkan curah hujan dengan menggunakan model GSTAR.

1.4 Batasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada :
1. Model GSTAR untuk data musiman
2. Variabel yang digunakan adalah curah hujan
3. Lokasi yang digunakan tiga lokasi pertanaman apel yaitu Batu,
Poncokusumo dan Nongkojajar.

1.5 Manfaat
a. Manfaat teoretis hasil penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan model-model
peramalan, khususnya yang terkait pada model space-time, melalui
model GSTAR untuk mendapatkan model ramalan iklim yang lebih
akurat.
b. Manfaat praktis hasil penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi
kepada BMKG dan Departemen Pertanian dalam menyusun kalender
tanam di wilayah pertanaman apel sehingga kegagalan panen karena
faktor curah hujan akan dapat dikurangi.









6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Agronomi Tanaman Apel
Apel dalam ilmu botani disebut Malus sylvestris Mill. Apel merupakan
tanaman buah tahunan yang berasal dari daerah Asia Barat dengan iklim sub
tropis. Di Indonesia apel telah ditanam sejak tahun 1934 hingga saat ini.
Tanaman apel mulai berkembang setelah tahun 1960, terutama jenis Rome
Beauty. Menurut sistematika, tanaman apel termasuk dalam:
1) Divisio : Spermatophyta
2) Subdivisio : Angiospermae
3) Klas : Dicotyledonae
4) Ordo : Rosales
5) Famili : Rosaceae
6) Genus : Malus
7) Spesies : Malus sylvestris Mill
Dari spesies Malus sylvestris Mill ini, terdapat bermacam-macam varietas yang
memiliki ciri-ciri atau kekhasan tersendiri. Beberapa varietas apel unggulan
antara lain: Rome Beauty, Manalagi, Anna, Princess Noble dan Wangli/Lali
jiwo.





Gambar 2. 1. Apel (Malus sylvestris Mill)
Sumber: warintek.ristek

Seluruh kultivar apel yang ditanam di Indonesia pada kenyataannya
adalah introduksi dari luar negeri. Jenis Rome Beauty merupakan kultivar yang
paling banyak ditanam, hampir sekitar 70 % dari total populasi apel di Malang.
Tanaman apel di Indonesia dapat dipanen 2 kali setahun, tetapi produksinya
selain dipengaruhi oleh umur tanaman juga dipengaruhi oleh musim.
Berdasarkan data yang didapat dari Balai Penelitian Hortikultura Malang,

7

produksi apel jenis Rome Beauty pada musim penghujan lebih sedikit yaitu
sekitar 2, 44 kg/pohon/musim, dibandingkan dengan musim kemarau yang bisa
mencapai 12,25 kg/pohon/musim. Rendahnya produksi pada musim hujan
disebabkan oleh air hujan yang menimpa bunga yang sedang mekar yang
dapat menggagalkan penyerbukan (Suhardjo, 1985).

2.2. Teknik Budidaya Tanaman Apel
Budidaya tanaman apel dilakukan secara bertahap mulai dari
pembibitan hingga pemanenan. Perbanyakan tanaman apel dilakukan secara
vegetatif dan generatif. Perbanyakan yang baik dan umum dilakukan adalah
perbanyakan vegetatif, sebab perbanyakan generatif memakan waktu lama dan
sering menghasilkan bibit yang menyimpang dari induknya. Berikutnya adalah
pengolahan media tanam, yang pertama dilakukan adalah persiapan
pengolahan tanah dan pelaksanaan survei. Tujuannya untuk mengetahui jenis
tanaman, kemiringan tanah, keadaan tanah, menentukan kebutuhan tenaga
kerja, bahan paralatan dan biaya yang diperlukan. Tanaman apel dapat
ditanam secara monokultur maupun intercroping. Intercroping hanya dapat
dilakukan apabila tanah belum tertutup tajuk-tajuk daun atau sebelum 2 tahun.
Tapi pada saat ini, setelah melalui beberapa penelitian intercroping pada
tanaman apel dapat dilakukan dengan tanaman yang berhabitat rendah, seperti
cabai, bawang dan lain-lain. Tanaman apel tidak dapat ditanam pada jarak
yang terlalu rapat karena akan menjadi sangat rimbun yang akan menyebabkan
kelembaban tinggi, sirkulasi udara kurang, sinar matahari terhambat dan
meningkatkan pertumbuhan penyakit. Jarak tanam yang ideal untuk tanaman
apel tergantung varietas. Untuk varietas Manalagi dan Princes Noble adalah 3-
3.5 x 3.5 m, sedangkan untuk varietas Rome Beauty dan Anna dapat lebih
pendek yaitu 2-3 x 2.5-3 m. Penanaman apel dilakukan baik pada musim
penghujan atau kemarau (di sawah). Untuk lahan tegal dianjurkan pada musim
hujan. Pemeliharaan Tanaman dilakukan beberapa tahap yaitu: penjarangan
dan penyulaman, penyiangan, pembubunan dan perempalan/pemangkasan
serta pemupukan. Untuk pemupukan biasanya pupuk yang diberikan pada
pengolahan lahan adalah pupuk kandang sebanyak 20 kg per lubang tanam
yang dicampur merata dengan tanah, setelah itu dibiarkan selama 2 minggu.
Untuk pertumbuhannya, tanaman apel memerlukan pengairan yang memadai

8

sepanjang musim. Pada musim penghujan masalah kekurangan air tidak
ditemui, tetapi harus diperhatikan jangan sampai tanaman terendam air. Karena
itu perlu drainase yang baik. Sedangkan pada musim kemarau masalah
kekurangan air harus diatasi dengan cara menyirami tanaman sekurang
kurangnya 2 minggu sekali dengan cara dikocor.
Pada umumnya buah apel dapat dipanen pada umur 4-5 bulan setelah
bunga mekar, tergantung pada varietas dan iklim. Rome Beauty dapat dipetik
pada umur sekitar 120-141 hari dari bunga mekar Manalagi dapat dipanen
pada umur 114 hari setelah bunga mekar dan Anna sekitar 100 hari. Tetapi,
pada musim hujan dan tempat lebih tinggi, umur buah lebih panjang.
Pemanenan paling baik dilakukan pada saat tanaman mencapai tingkat masak
fisiologis (ripening), yaitu tingkat dimana buah mempunyai kemampuan untuk
menjadi masak normal setelah dipanen. Ciri masak fisiologis buah adalah:
ukuran buah terlihat maksimal, aroma mulai terasa, warna buah tampak cerah
segar.

2.3. Cuaca dan Iklim
Pada umumnya orang sering menyatakan kondisi iklim sama saja
dengan kondisi cuaca, padahal kedua istilah tersebut adalah suatu kondisi yang
tidak sama. Cuaca oleh Gibbs (1987) didefinisikan sebagai keadaan atmosfer
yang dinyatakan dengan nilai berbagai parameter, antara lain suhu, tekanan,
angin, kelembaban dan berbagai fenomena hujan, disuatu tempat atau wilayah
selama kurun waktu yang pendek (menit, jam, hari, bulan, musim, tahun). Ilmu
yang mempelajari seluk beluk tentang cuaca disebut meteorologi. Sedangkan
iklim didefinisikan sebagai peluang statistik berbagai keadaan atmosfer, antara
lain suhu, tekanan, angin kelembaban, yang terjadi disuatu daerah selama
kurun waktu yang panjang. Ilmu yang mempelajari seluk beluk tentang iklim
disebut klimatologi.
Indonesia mempunyai karakteristik khusus, baik dilihat dari posisi,
maupun keberadaanya, sehingga mempunyai karakteristik iklim yang spesifik. Di
Indonesia terdapat tiga jenis iklim yang mempengaruhi iklim di Indonesia, yaitu
iklim musim (muson), iklim tropica (iklim panas), dan iklim laut.



9

A.Iklim Musim (Iklim Muson)
Iklim jenis ini sangat dipengaruhi oleh angin musiman yang berubah-ubah setiap
periode tertentu. Biasanya satu periode perubahan angin muson adalah 6 bulan.
Iklim musim terdiri dari 2 jenis, yaitu Angin musim barat daya (Muson Barat) dan
Angin musim timur laut (Muson Tumur). Angin muson barat bertiup sekitar bulan
Oktober hingga April yang basah sehingga membawa musim hujan/penghujan.
Angin muson timur bertiup sekitar bulan April hingga bulan Oktober yang
sifatnya kering yang mengakibatkan wilayah Indonesia mengalami musim
kering/kemarau.
B. Iklim Tropis/Tropika (Iklim Panas)
Wilayah yang berada di sekitar garis khatulistiwa otomatis akan mengalami iklim
tropis yang bersifat panas dan hanya memiliki dua musim yaitu musim kemarau
dan musim hujan. Umumnya wilayah Asia tenggara memiliki iklim tropis,
sedangkan negara Eropa dan Amerika Utara mengalami iklim subtropis. Iklim
tropis bersifat panas sehingga wilayah Indonesia panas yang mengundang
banyak curah hujan atau Hujan Naik Tropika.
C. Iklim Laut
Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak wilayah laut
mengakibatkan penguapan air laut menjadi udara yang lembab dan curah hujan
yang tinggi.

Perubahan iklim
Gambar 2.1 Peta Indonesia

10

Unsur iklim yang sering dan menarik untuk dikaji di Indonesia adalah
curah hujan, karena tidak semua wilayah Indonesia mempunyai pola hujan yang
sama. Pola hujan di daerah Jawa Timur adalah pola munsonal atau dipengaruhi
oleh angin musiman yang berubah-ubah setiap periode tertentu.

2.4 Pengembangan Model Prakiraan Iklim

2.4.1 Model ARIMA

Secara umum model ARIMA musiman merupakan model time series yang
fleksibel untuk memodelkan beberapa tipe baik musiman atau non musiman.
Model ARIMA musiman menurut Wei, 1990 adalah

t
S
Q q t
D S d S
P p
a B B y B B B B ) ( ) ( ) 1 ( ) 1 )( ( ) ( O = u u |
, (1)
dengan

) (B
p
|
=
p
p
B B B | | |
2
2 1
1


) (
S
P
B u
=
PS
P
S S
B B B u u u
2
2 1
1


) (B
q
u
=
q
q
B B B u u u
2
2 1
1


) (
S
Q
B O
=
QS
Q
S S
B B B O O O
2
2 1
1
,
dan
S
adalah panjang periode musiman,
B
adalah operator mundur atau back
shift operator, dan
t
a
adalah suatu deret white noise dengan rata-rata nol dan
varians konstan. Box dan Jenkins pada tahun 1976 telah memperkenalkan
suatu strategi pembentukan model yang efektif untuk ARIMA musiman
berdasarkan pada struktur autokorelasi dalam suatu data time series (lihat Wei,
1990).

2.4.2 Vector Autoregressive (VAR)
Vector autoregressive (VAR) dapat didefinisikan sebagai sistem
persamaan yang meregresikan setiap peubah endogen terhadap nilai konstan
dan nilai lag-nya serta nilai lag dari peubah lain. Vector autoregression (VAR)
merupakan siste m persamaan dinamis yang memiliki kemampuan untuk

11

menjelaskan hubungan antar peubah-peubah iklim dan memberikan gambaran
statistik yang akurat hubungan diantaranya pada masa lalu.
Menurut Wei (1990), secara umum proses Vektor AR(p) dituliskan sebagai:
( )
t t
p
p
a Z B B I = O O ......
1

atau
t p t p t t
a Z Z Z + O + + O =

......
1 1

Untuk p=1 atau model vector AR(1) dapat dituliskan sebagai
( )
t t
a Z B I = O
1

atau
t t t
a Z Z + O =
1 1

Untuk banyaknya peubah endogen M=2,
(

+
(

=
(

t
t
t
t
t
t
a
a
Z
Z
Z
Z
, 2
, 1
1 , 2
1 , 1
22 21
12 11
, 2
, 1
u u
u u

atau dapat dituliskan
t t t t
t t t t
a Z Z Z
a Z Z Z
2 1 , 2 22 1 , 1 21 , 2
1 1 , 2 12 1 , 1 11 , 1
+ + =
+ + =


u u
u u
(2.1)
Jadi masing-masing Z
i,t
melibatkan bukan hanya nilai lagnya sendiri tapi
juga nilai lag dari peubah lain Z
j,t
sebagai contoh jika Z
1,t
dan Z
2,t
adalah curah
hujan dan suhu yang diamati dari suatu lokasi pada saat ke-t, persamaan (2.1)
menyatakan secara tidak langsung bahwa curah hujan saat ini tidak hanya
tergantung pada curah hujan satu periode sebelumnya tapi juga dipengaruhi
oleh suhu periode satu periode sebelumnya. Selain itu, terdapat pula hubungan
bolak balik di antara kedua variabel tersebut, sehingga suhu saat ini juga
dipengaruhi oleh curah hujan pada periode sebelumnya.

2.4.3 Model STAR (Space-Time Autoregressive)
Model eksplisit yang memperhitungkan ketergantungan spasial disebut
sebagai space time model. Model space time autoregressive (STAR)
diperkenalkan oleh Cliff (1976) dan Ord (1973). Sejak tahun 1979, Pfeifer
mempelajari model Space Time Autoregressive (STAR) dengan bobot seragam
dan menggabungkan autoregressive (AR) model Box-Jenkins (1976) dari
beberapa lokasi secara bersamaan. Asumsi utama dari model STAR adalah

12

parameter autoregressive sama dan parameter space-time untuk semua lokasi
homogen. Model Space Time Autoregressive orde p dan spasial orde
1
, ,
p

(STAR(p
1
, ,
p
)) dirumuskan sebagai berikut (Pfeifer-Deutsch, 1980b):

(2.20)

di mana:
. = parameter STAR pada lag waktu k dan lag spasial l,
= matriks bobot ukuran ( ) pada lag spasial l (di mana l = 0,1), dengan
adalah matriks identitas ukuran ( ),
= vektor noise ukuran ( ) berdistribusi normal multivariat dengan
mean 0 dan matriks varians-kovarians ,
= vektor acak ukuran ( ) pada waktu t, yaitu
.
= jumlah lokasi.

2.4.4 Model Generalized Space Time Autregressive (GSTAR)
Generalized Space Time Autoregressive (GSTAR) model yang relatif
baru untuk data time series. GSTAR merupakan generalisasi dari model Space
Time Autoregresssive (STAR). Model GSTAR adalah bentuk spesifik dari
model VAR (Vector Auto Regressive), ini menunjukkan dependensi linier space-
time. Perbadaan utama adalah pada spatial dependent dan berat matriks.
Model GSTAR orde p dan spasial orde
1

2
,...,
p
, GSTAR (p
1

2
,...,

p
) dirumuskan sebagai berikut (Borovkova, Lopuha and
Nurani, 2002):
(2.21)
di mana:

Pembobot dipilih sedemikian hingga dan
Sebagai contoh, model GSTAR (1
1
) untuk kasus produksi oli bulanan di
3 lokasi yang berbeda, sebagai berikut:
(2.22)
atau

13


Pendugaan parameter model GSTAR dilakukan menggunakan metode
kuadrat terkecil dengan meminimumkan jumlah kuadrat simpangannya.

2.4.5 Pendugaan Parameter Autoregresi untuk GSTAR Orde 1
Mengingat model GSTAR (1
1
) didefinisikan pada persamaan (2.20), di
mana :
untuk k = 0,1,,dst

Apabila t = 0, 1, , T ; untuk lokasi ke-i = 1, 2, , N lalu dengan
(2.26)
Model persamaan untuk lokasi ke-i dapat ditulis sebagai berikut
(2.27)
di mana
, , ,


Persamaan model untuk semua lokasi secara serentak mengikuti struktur model
linier , dengan , ,
dan .

14

Untuk setiap lokasi ke-i = 1,2,,N, didapatkan model parsialnya
, di mana rata-rata untuk setiap pendugaan kuadrat terkecil
untuk
i
dapat diperhitungkan secara terpisah. Bagaimanapun juga nilai
pendugaan tergantung pada nilai Z(t) pada lokasi yang lain karena

Tujuan secara teoritis, akan membawa ke beberapa struktur tambahan untuk
memisahkan bobot w
ij
dari variabel acak Z
i
(t). Jika untuk setiap
maka didefinisikan sebagai berikut:
(2.28)
Lalu X
i
dapat ditulis
, (2.29)
dan demikian
(2.30)
di mana . merupakan matriks blok .
Disimpulkan bahwa pendugaan kuadrat terkecil
cukup baik pada persamaan umum
dengan X dan u dari penjelasan diatas. Dapat menentukan
secara khusus bahwa matriks XX adalah nonsingular. Dapat dilihat dari
persamaan (2.30) mengikuti hal tersebut, yaitu:


di mana operator vec (.) merupakan tumpukan kolom matriks. Hal ini dibatasi
oleh perilaku yang sepenuhnya dipengaruhi oleh





15

2.4.6 Pemilihan Bobot Lokasi pada Model GSTAR
Permasalahan yang sering terjadi pada pemodelan GSTAR adalah
pemilihan atau penentuan bobot lokasi. Menurut Suhartono dan Atok (2006)
terdapat beberapa cara untuk menentukan bobot lokasi pada aplikasi model
GSTAR yaitu:




Gambar 2.1 Contoh kasus untuk perhitungan bobot lokasi
a. Bobot seragam (uniform)
Bobot seragam dihitung dengan rumus dengan n
i
adalah jumlah
lokasi yang berdekatan dengan lokasi i. Bobot lokasi digunakan untuk
data yang lokasinya homogen atau mempunyai jarak antar lokasi yang
sama. Nilai bobot untuk ketiga lokasi yang berbeda dari contoh lokasi
pada gambar 2.1 dapat ditulis sebagai berikut:
(2.38)
b. Bobot inverse jarak
Nilai bobot invers jarak didapatkan dari perhitungan berdasarkan jarak
sebenarnya anatar lokasi. Lokasi yang berdekatan mempunyai nilai
bobot yang lebih besar.

2.4.7 Kriteria Pemilihan Model Terbaik
Pemilihan kriteria model terbaik dapat dilihat melalui Akaikes Information
Criterion (AIC) dan nilai Root Mean Squared Error (RMSE). Akaikes
Information Criterion (AIC) digunakan pada in sample sedangkan Root Mean
Squared Error (RMSE) digunakan untuk out sample. Berikut akan dijelaskan
masing-masing kriteria pemilihan model terbaik.



B C
1
2
3
A

16

a. Akaikes Information Criteria (AIC)
Menentukan model terbaik dalam data training yaitu menggunakan
Akaikes Information Criteria (AIC). Pada suatu model dikatakan baik apabila
nilai AIC nya paling kecil. Berikut perhitungan nilai AIC (Lutkepohl, 2005) :
AIC (p) = log det (2.39)
di mana :
Log adalah notasi logaritma natural
Det (.) adalah notasi determinan
adalah matriks taksiran kovarian residual dari model
VAR (p)

b. Root Mean Squared Error (RMSE)
Penaksiran dengan nilai sebenarnya dari observasi disebut Root Mean
Squared Error (RMSE). Fungsi RMSE yaitu memperoleh gambaran tentang
standar deviasi yang muncul saat perbedaan antar model. Nilai RMSE diperoleh
dari rumus sebagai berikut :
(2.40)
di mana: M adalah banyak ramalan yang dilakukan















17

BAB III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN

Time Series Univariate (Box-Jenkin, 1976)
ARIMA :






























VAR Multivariate (Hanan, 1969 ; Wei, 2006 ;
Lopuhaa ; Judge)




STAR (Pfeifer)




GSTAR (Borovkova ; Lopuhaa ; Nurani, 2002)




18

BAB IV. METODE PENELITIAN

4.1 Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang di
peroleh dari hasil pengamatan tim BMKG Stasiun Klimatologi Karangploso
Kabupaten Malang. Data ini berupa data pengamatan intensitas curah hujan
dasa harian 3 lokasi pos hujan di Batu, Poncokusumo dan Nongkojajar selama
20 tahun dari tahun 1990-2009.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Obyek penelitian adalah kawasan yang mewakili daerah-daerah apel di
wilayah Kabupaten Malang.


Gambar 3.1 . Peta situasi lokasi penelitian

Wilayah-wilayah tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian dengan
pertimbangan bahwa sebaran pertanaman apel di kabupaten Malang masih
relatif luas pada berbagai varietas.

19

4.3 Teknik Pengambilan Sampel
Untuk mendapatkan data produksi apel dilakukan dengan mengambil data
primer dan sekunder.

4.3.1 Tahapan Pengumpulan Data













Gambar 3.2. Diagram Alir Pengumpulan Data Produksi Apel




Total produksi apel di bbrp
lokasi di kabupaten Malang

Analisa Space Time produksi
apel di kabupaten Malang
PREDIKSI potensi wilayah
produksi apel
Inventarisasi Data
Pada Lokasi Sample
Plot
Pengumpulan data dari
produksi apel
Penentuan Lokasi
Penelitian

20

4.4. Analisis Data

Tahapan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Memeriksa data apakah stasioner atau tidak dengan cara melihat plot
ACF dan PACF. Apabila tidak stasioner dalam mean dilakukan
differencing
2. Menentukan MACF, MPACF dan memilih model terbaik dengan
menggunakan AIC pada persamaan (2.39).
3. Menentukan orde VAR model GSTAR-I yang akan dipakai untuk
menentukan model di setiap lokasi pos hujan.
4. Analisis data menggunakan model GSTARI untuk masing-masing bobot
lokasi.
5. Mendapatkan model GSTARI tiap lokasi pos hujan untuk masing-masing
bobot lokasi.
6. Uji signifikasi parameter dan cek diagnosa kesesuaian model
- Evaluasi white noise dari residual model GSTAR-I.
7. Melakukan forecast / peramalan curah hujan untuk 3 lokasi pos hujan
dengan menggunakan model GSTARI.
8. Validasi model untuk data out sample (menggunakan RMSE)
9. Menyusun kesimpulan untuk menjawab permasalahan.













21





Tidak


Ya












Tidak




Ya



Gambar 3.1 Diagram Alir Pembentukan Model GSTAR-I
4.5. Implementasi Prakiraan Iklim model GSTAR Untuk Data Musiman
Implementasi prakiraan iklim model GSTAR dalam penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan Matlab atau R. Selanjutnya hasil prakiraan
disajikan dalam bentuk peta kesesuaian iklim untuk pertanaman apel.
CH Batu
Poncokusum
o
Nongkojajar
Menentukan MACF, MPACF
dan Nilai AIC
Penentuan Orde GSTAR-I
Pendugaan Parameter Model
GSTAR-I
Apakah data
stasioner?




Differencing
Apakah model
sesuai?
Peramalan
selesai
Validasi (out sample )
RMSE

22

DAFTAR PUSTAKA

Borovkova, S.A.; Lopuha
TM
, and Ruchjana, B.N. 2002. Generalized S-TAR with
Random Weights. Proceeding of the 17
th
International Workshop on
Statistical Modeling. Chania-Greece.
Borovkova, S.A.; Lopuha
TM
, and Ruchjana, B.N. 2002. The Space Time
Autoregressive Models. Workshop on Space Time Models and Its
Applications. Bandung, 2-4 Agustus 2005.
Chiles, J.P., Pierre Delfiner. 1999. Geostatistics. Modeling Spatial Uncertainty.
A Wiley Interscience Publication. John Wiley & Sons, Inc.
Fotheringham, A.S., Brunsdon C, Carlton M. 2002. Geographically Weighted
Regression. John Wiley & Sons, Ltd. England.
Hannan, E.J. 1970. Multiple Time Series. John Wiley and Sons, Inc. New
York.
Hanan S. 1990. The Design and Analysis of Spatial Data Structures. John
Wiley and Sons, Inc. New York.
Ingragustari. 2005a. Prediksi Curah hujan dengan menggunakan Transformasi
Wavelet. Prosiding Lokakarya Nasional Forum Prakiraan, Evaluasi dan
Validasi BMG. Hotel Nam Center Kemayoran Jakarta 15-16 Desember
2005.
Ingragustari. 2005b. Prediksi Curah hujan dengan menggunakan ANFIS.
Prosiding Lokakarya Nasional Forum Prakiraan, Evaluasi dan Validasi
BMG. Hotel Nam Center Kemayoran Jakarta 15-16 Desember 2005.
Peragi dan Perhimpi. 1994. Rumusan Panel Diskusi Antisipasi Kekeringan Dan
Penanggulangan Jangka Panjang. Dalam I. Las, N. Sinulingga, R. Boer,
Handoko, E. Syamsudin dan D. Sopandi (Editor). Prosiding Panel Diskusi
Antisipasi Kekeringan dan Penanggulangan Jangka Panjang. Perhimpun-
an Agronomi Indonesia dan Perhimpunan Meteorologi Pertanian
Indonesia.
Pfeifer, P.E. 1979. Spatial Dynamic Modeling, unpublished Ph.D Dissertation.
Georgia Institute of Technology. Georgia.
Pfeifer, P.E and Deutsch, S.J. 1980. Stationarity and Invertibility Regions for
Low Order STARMA Models. Communications in Statistics-Simulation
and Computation 9 (5). P. 551-562.

23

Ruchjana, B.N. et al. 1999. The Study of the Location Weighted Matrix in the
First Order Space-Time Autoregressive Model. Proceeding of the
SEAMS-GMU International Conference on Mathematics and Its
Application. Sri Wahyuni et al., Editor. UGM. Yogyakarta. P. 408-417.
________, 2001. Study on the Weight Matrix in the Space-Time Autoregressive
Model. Proceeding of the Tenth International Symposium on Applied
Stochastic Models and Data Analysis (ASMDA). Gerard Govaert, et al.
Editor. Universite de Technologie Compiegne. Prancis. Vol. 2/2. p. 789-
794.
Setiawan. 1992. Kajian tentang Seemingly Unrelated Regression (SUR) dan
Penerapannya Pada model Almost Ideal Demand System (AIDS). Thesis.
IPB. Bogor.
Suhartono, Sutikno, Otok, B.W., dan Setiawan. 2009. Pengembangan model
prakiraan iklim untuk pengendalian ketahanan pangan. Laporan Penelitian
Strategis ITS, Surabaya.
Zifwen. 1999. Peramalan ENSO dan Pemodelan Hubungan ENSO dengan
Curah Hujan Monson. Skripsi Jurusan Statistika FMIPA IPB, Bogor.
Wutsqa, D.U., Suhartono and Sutijo, B. 2010. Generalized Space-Time Auto-
regressive Modeling. Proceedings of the 6th IMT-GT Conference on
Mathematics, Statistics and its Applications (ICMSA2010), Universiti Tunku
Abdul Rahman, Kuala Lumpur, Malaysia, pp. 752-761.




















24

MODEL SPASIO-TEMPORAL PRAKIRAAN
IKLIM UNTUK PRODUKSI APEL
Tugas Mata Kuliah : Perencanaan Lingkungan dan Pengembangan Wilayah
Dosen : Prof. Dr. Ir. Soemarno, MS












Oleh : Ir.RB.Ainurrasjid,MS

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN
LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2012


25

Daftar Isi

I. PENDAHULUAN ..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang .........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian .....................................................................................5
1.4 Batasan Masalah ......................................................................................5
1.5 Manfaat ....................................................................................................5
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................6
2.1 Agronomi Tanaman Apel ........................................................................6
2.2 Teknik Budidaya Tanaman Apel .............................................................7
2.3 Cuaca dan Iklim .......................................................................................8
2.4 Pengembangan Model Prakiraan Iklim .................................................10
2.4.1 Model ARIMA..............................................................................10
2.4.2 Vector Autoregressive (VAR) ......................................................10
2.4.3 Model STAR (SPACE-Time Autoregressive) ...............................11
2.4.4 Model Generalized Space Time Autregressive (GSTAR)............12
2.4.5 Pendugaan Parameter Autoregresi untuk GSTAR Orde 1 ...........13
2.4.6 Pemilihan Bobot Lokasi pada Model GSTAR .............................15
2.4.7 Kriteria Pemilihan Model Terbaik ................................................15
III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN ........................................................17
IV. METODE PENELITIAN ..............................................................................18
4.1 Sumber Data ...........................................................................................18

26

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................18
4.3 Teknik Pengambilan Sampel ..................................................................19
4.4 Analisis Data ...........................................................................................20
4.5 Implementasi Prakiraan Iklim Model GSTAR Untuk Data Musiman ...21
Daftar Pustaka ......................................................................................................22

You might also like