You are on page 1of 95

OERIP SOEMOHARDJO, PERANANNYA DALAM PEMBENTUKAN TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) TAHUN 1945-1948

SKRIPSI
Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Sejarah pada Universitas Negeri Semarang

Oleh Tito Akhbarriyanto 3114000042

FAKULTAS ILMU SOSIAL JURUSAN SEJARAH 2005

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke Sidang Panitia Ujian Skripsi pada :

Hari Tanggal :

Pembimbing I

Pembimbing II

Drs. A. J. Sumarmo NIP. 130340222

Dra. Santi Muji Utami, M.Hum NIP. 131876210

Mengetahui, Ketua Jurusan Sejarah

Drs. Jayusman, M. Hum NIP. 131764053

PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan didepan sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang pada : Hari Tanggal : :

Penguji

Drs. Bain, M.Hum. NIP.131876207 Anggota I Anggota II

Drs. A. J. Sumarmo NIP. 130340222

Dra. Santi Muji Utami M.Hum NIP. 131876210

Mengetahui, Dekan

Drs. Sunardi, M.M. NIP. 130367998

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau tulisan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Oktober 2005

Tito Akhbarriyanto NIM. 3114000042

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Seorang pemimpin yang tidak mengemukakan apa yang terkandung di dalam hati rakyat, sama dengan seorang Jenderal tanpa tentara di padang pasir. Murni dan Berani (Jenderal Oerip Soemohardjo) Kemewahan adalah permulaan keruntuhan. Kesenangan melupakan tujuan. Iri hati merusak persatuan. Keangkaramurkaan menghilangkan kejujuran. (Jenderal Sudirman)

Persembahan: Atas Rakhmat Allah SWT Karya ini kupersempahkan kepada Kedua orangtuaku, terima kasih doanya Adik-adikku Dian, Dina, Meri; terima kasih atas semangatnya Galuh Citrasari terima kasih atas semangat dorongan dan cintanya Almamaterku

PRAKATA Tuhan Yang Maha Kuasa dengan keluasan ilmunya yang tiada tara telah menyajikan berbagai misteri kehidupan yang harus kita kuak. Semoga apa yang telah penulis kaji ini adalah salah satu jawaban atas berbagai misteri yang

disajikannya. Puji syukur atas Taufik dan Hidayah-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat tersusun dan terselesaikan dengan sebaik-baiknya. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa tersusunnya skripsi ini bukan hanya atas kemampuan dan usaha penulis semata namun juga berkat bantuan berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat: 1. Dr. H. A. T. Soegito, S.H, M.M, Rektor UNNES yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi di jurusan Sejarah. 2. Drs. Sunardi, M.M. Dekan FIS atas bantuannya dalam memberikan ijin untuk melakukan penelitian. 3. Drs. Jayusman, M.Hum, Ketua Jurusan Sejarah yang telah memberikan bantuan dalam proses penyusunan ijin penelitian. 4. Drs. A.J. Sumarmo, Pembimbing I yang dengan penuh kesabaran telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 5. Dra. Santi Muji Utami, M.Hum, Pembimbing II yang dengan penuh kesabaran telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

6. Drs, Bain, M.Hum,

Dosen Penguji yang telah membantu

dalam

penyempurnaan skripsi ini sehingga menjadi karya ilmiah yang bermanfaat. 7. Kepada Bapak/ Ibu dosen di lingkungan jurusan Sejarah FIS UNNES yang telah memberikan segenap ilmunya kepada penulis selama penulis kuliah di UNNES. 8. Bapak, Ibu, Mas dan Mbak karyawan dan karyawati FIS dan pada khususnya Jurusan Sejarah. 9. Kepala Musium Pusat TNI AD Dharma Wiratama Yogyakarta dan Kepala Musium Mandala Bakti Semarang yang telah mengijinkan untuk mencari referensi yang penulis butuhkan. 10. Angkatan 2000, thanks atas suport kalian. Persahabatan kita memang yang paling indah. 11. Anak-anak Star comp dan warung SKAK. Terima kasih banyak. 12. Pihak-pihak lain yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu Semoga amal baik saudara mendapat imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa. Amien..

Semarang,

Oktober 2005

Penulis

SARI Tito Akhbarriyanto. 2005. Oerip Soemohardjo, Peranannya Dalam Pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Tahun 1945-1948. Jurusan Sejarah. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Semarang. 89 halaman. Kata Kunci: Oerip Soemohardjo, Pembentukan, Tentara Nasional Indonesia Negara merdeka tidak mungkin tanpa adanya tentara. Sebab tanpa adanya tentara, keamanan, ketertiban, dan stabilitas dalam negera tidaklah dapat terjamin. Indonesia baru saja memproklamasikan diri sebagai bangsa yang merdeka terlepas dai penjajahan, maka harus segera membentuk dan mempunyai tentara untuk mempertahankan kemerdekaan tersebut dan menjamin keselamatan ketentraman umum. Oleh karena itu pada tanggal 5 Oktober 1945, Presiden mengeluarkan maklumat yang isinya bahwa Indonesia akan segera membentuk Tentara Kemanan Rakyat dan Purnawirawan KNIL Mayor Oerip Soemohardjo diberi tugas untuk menyusun TKR hingga akhirnya menjadi TNI. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah latar belakang kemiliteran Oerip Soemohardjo? Langkah-langkah Oerip Soemohardjo dalam pembentukan TNI? Serta bagaimana hasil yang dicapai dalam pembentukan TNI. Dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan penunjukan mayor Oerip Soemohardjo untuk menyusun Tentara, selain itu juga untuk mengetahui langkah-langkah yang dilakukannya dalam membentuk Tentara, serta untuk mengetahui hasil dari pembentukan tentara dari TKR sampai TNI. Penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan pendekatan kualitatif. Metode sejarah dilakukan dengan tahapan-tahapan, yaitu: Heuristik (mencari dan mengumpulkan jejak-jejak peristiwa sejarah). Kritik sumber yaitu dengan kritik ekstern dan kritik intern. Interpretasi (menghubungkan satu fakta dengan fakta lain). Historiografi (penulisan cerita sejarah). Sedangkan yang menjadi sumber dalam penelitian ini adalah sumber kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa TNI lahir dari bawah, yakni dari rakyat yang menginginkan kemerdekaan yang telah diraih dapat dipertahankan. Rakyat membentuk laskar-laskar perjuangan yang kemudian oleh pemerintah dilebur dalam Badan keamanan Rakyat (BKR). Seiring dengan kebutuhan adanya tentara dalam suatu ngara maka tanggal 5 Oktober 1945, Presiden mengesahkan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Mayor Oerip Soemohardjo dipercaya untuk menyusun organisasi tentara tersebut dan susunan tersebut berpola sama dengan susunan Departemen Perang Hindia-Belanda yang terdiri atas Komandemen dan Divisi. Melalui pertimbangan yang matang, maka Markas Tertinggi TKR (MTTKR) membentuk 3 Komandemen di Jawa dengan 10 Divisi dan 1 Komademen di Sumatera dengan 6 Divisi. Tanggal 7 Januari 1946, dalam rangka penyempurnaan tentara, nama Tentara Keamanan Rakyat diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), namun tidak berapa lama nama tersebut berganti lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Pada masa TRI ini Oerip Soemohardjo kembali merubah susunan organisasinya. Hal ini dilakukan untuk mengefisiensi kerja. Komandemen sudah tidak ada lagi dan jumlah divisi dikurangi. Di hanya ada 7 Divisi sedangkan di Sumatera masih tetap 6 Divisi.

Untuk semakin menyempurnakan organisasi tentara dan untuk menggabungkan laskar-laskar perjuangan yang tidak mau meleburkan diri dalam tubuh TRI, maka pemerintah membentuk panitia Reorganisasi Tentara yang diketuai langsung oleh Presiden. Tanggal 3 Juni 1947 ditetapkan hasilnya yakni bahwa seluruh Angkatan Perang Indonesia baik TRI maupun laskar-laskar perjuangan dimasukan serentak kedalam Tentara Nasional Indonesia (TNI). Setelah TNI terbentuk maka di Indonesia sudah tidak ada lagi dualisme kekuatan bersenjata. Sekarang hanya ada satu pasukan bersenjata di Indonesia yang siap menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni Tentara Nasional Indonesia. Dan terbentuknya TNI tidak bisa dilepaskan pada peran aktifnya Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo, seorang Purnawirawan KNIL yang mengabdikan dirinya untuk tanah airnya tercinta.

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ..................................................................................... PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................... PENGESAHAN KELULUSAN................................................................... PERNYATAAN............................................................................................. MOTTO DAN PERSEMBAHAN................................................................ PRAKATA..................................................................................................... i ii iii iv v vi

SARI ............................................................................................................... viii DAFTAR ISI.................................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.................................................................... B. Perumusan Masalah .......................................................................... C. Tujuan Penulisan............................................................................... D. Manfaat Penulisan............................................................................. E. Ruang Lingkup Kajian ...................................................................... F. Metode Penelitian ............................................................................. G. Tinjauan Pustaka............................................................................... H. Sistematika Penulisan Skripsi ........................................................... BAB II KEHIDUPAN KEMILITERAN OERIP SOEMOHARDJO ...... A. Masa Sekolah ................................................................................... B. Perwira KNIL................................................................................... 1 7 8 8 8 10 13 16 18 19 22 x xii

10

1. Masa Bertugas........................................................................... 2. Perwira KNIL, Jiwa Inlander.................................................... C. Menjelang Proklamasi...................................................................... BAB III UPAYA OERIP SOEMOHARDJO DALAM PEMBENTUKAN TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI)................................... A. Proses Terbentuknya TNI ............................................................... B. Langkah-langkah Oerip Soemohardjo dalam Penataan TNI .......... 1. Langkah Penyusunan Organisasi .............................................. 2. Langkah Pemajuan Personil...................................................... C. Konsolidasi dan Pemantapan TNI................................................... BAB IV PROSES PENATAAN TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) A. Faktor Pendorong dan Penghambat dalam Pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI)................................................................ 1. Pendorong Pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) ... 2. Penghambat Pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI). B. Hasil Penataan Tentara Nasional Indonesia (TNI).......................... C. Kekecewaan-kekecewaan di Masa Akhir ....................................... BAB V PENUTUP Simpulan ............................................................................................... DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

23 26 28

31 32 39 40 51 54

58 58 60 63 67

74

11

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Biografi Jenderal Oerip Soemohardjo ....................................... Lampiran 2. Struktur Organisasi BKR tahun 1945......................................... Lampiran 3. Struktur Organisasi TKR tahun 1945......................................... Lampiran 4. Struktur Organisasi TRI tahun 1946........................................... Lampiran 5. Struktur Organisasi TRI tahun 1947...........................................

78 81 82 83 84

12

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Tanggal 6 Agustus 1945 bom Atom pertama Amerika Serikat dijatuhkan di kota Hiroshima, dan disusul jatuhnya bom Atom kedua di kota Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945. Melihat hal itu, Panglima Angkatan Perang Jepang untuk Asia Tenggara yang berkedudukan di Saigon, Jendral Terauchi, yakin Jepang sudah mendekati kekalahan. Oleh sebab itu ia mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia akan merdeka sebagai anggota Kesemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Untuk itu ia memanggil Bung Karno, Moh . Hatta, dan Dr. Radjiman Widyoningrat datang ke Saigon untuk menerima petunjuk tentang kemerdekaan (Sumarmo, 1991:73). Dengan menyadari keadaan yang sudah tidak memungkinkan untuk melanjutkan pertempuran, Jepang pada tanggal 15 Agustus 1845 menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Atas kekalahan Jepang tersebut dan sementara tentara Sekutu belum datang maka mata rantai penjajahan di Indonesia terputus. Hal ini tidak disiasiakan oleh para pejuang Indonesia untuk memproklamasikan diri sebagai bangsa dan negara yang merdeka terbebas dari segala bentuk imperialisme dan kolonialisme. Pada tanggal 16 Agustus 1945 di rumah Laksmana Muda Maeda, di jalan Imam Bonjol No 1 Jakarta diadakan pertemuan yang dihadiri anggota PPKI yang berjumlah 21 orang yang terdiri 12 orang atas wakil dari Jawa yaitu Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Dr. Rajiman, Otto Iskandardinata, Wachid

1 13

Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Suryomiharja, sutarjo Karthodikusumo, RP. Suroso, Prof. Supomo, Abdulkadir, dan Purboyo. Tiga orang wakil dari Sumatera yakni Dr. Amir, Teuku Moh. Hasan, dan Abdul Abas. Kemudian dua orang utusan Sulawesi dan masing-masing satu orang wakil golongan Cina, wakil Kalimantan, Maluku, dan Sumba kecil. Sedangkan enam orang anggota yang ditunjuk tanpa sepengetahuan Jepang yaitu Wiranatakusumah, Ki Hajar Dewantara, Kasman Singadimeja, Sayuti Melik, Iwa

Kusumasumantri, dan Ahmad Subarjo. (Moh Yamin dalam Sumarmo, 1991 : 77). Pertemuan ini menghasilkan suatu keputusan yang penting bagi kehidupan bangsa Indonesia, yakni rumusan teks Proklamasi yang dibacakan esok paginya pada tanggal 17 Agustus 1945. Tepat pada pukul 10.00 di rumah Ir. Soekarno, jalan Pegangsaan Timur No 56 Jakarta teks yang telah dirumuskan tersebut dibacakan oleh Ir. Soekarno didampingi Moh. Hatta Proklamasi sebagai titik kulminasi yang menandai Indonesia telah merdeka. Namun Jepang yang masih berada di Indonesia juga masih berkuasa atas nama Sekutu untuk menjaga keadaan dan ketertiban bangsa Indonesia sampai Sekutu datang di Indonesia. Bagi Indonesia, Proklamasi kemerdekaan pada hakekatnya merupakan komando revolusi untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang, baik kekuasaan pemerintah maupun kekuasaan atas alat-alat perlengkapan negara. Untuk keperluan itu proklamasi kemerdekaan telah memberikan petunjuk secara jelas, seperti yang tercantum pada kalimat kedua teks proklamasi yang berbunyi : Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Kalimat itu mengandung makna bahwa

14

perebutan kekuasaan dan lain-lainnya dari

tangan Jepang hendaknya

dilakukan dengan hati-hati dan penuh perhitungan. Hal itu dilakukan dengan tujuan agar dapat berhasil dengan baik dan sedapat mungkin menghindarkan terjadinya pertumpahan darah. (Sumarmo, 1991: 82-83) Proklamasi itu sendiri mempunyai makna : 1. Lahirnya negara dan bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat 2. Dimulailah babakan baru revolusi Indonesia, karena dengan Proklamasi ini terjadi perubahan besar-besaran yang sangat mendasar, ialah pemindahan kekuasaan dari penjajah kepada negara yang merdeka, yang dilaksanakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. 3. Dengan Proklamasi 17 Agustus 1945 ini, maka terlepaslah semua ikatan janji kemerdekaan pemerintahan Jepang seperti yang semula

direncanakan. Jepang ternyata hanyalah merupakan salah satu mata rantai dari jalan yang harus dilalui untuk lahirnya sebuah negara baru Indonesia, yang merdeka dan berdaulat. (Tjokropanolo,1993: 40) Dua hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Jepang

membubarkan Peta dan Heiho, dan senjata yang berada ditangan Peta dan Heiho wajib dikembalikan kepada pihak Jepang. (Sulistyo, 1985 : 9). Tetapi Peta di Karesidenan Banyumas menolak untuk menyerahkan senjatanya kepada Jepang. Pada tanggal 9 September 1945, dengan melalui jalan perundingan yang dipimpin oleh Daidancho Soedirman, pihak Jepang bersedia menyerahkan seluruh senjata yang berada di karesidenan Banyumas kepada PETA. Tindakan tersebut kemudian diikuti oleh berbagai daerah di Jawa Tengah.

15

Situasi yang semakin genting mendorong pemerintah pada tanggal 22 Agustus 1945 membentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat). Dan pada tanggal 5 Oktober 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang berbunyi sebagai berikut: MAKLUMAT PEMERINTAH Untuk memperkuat perasaan keamanan umum, maka diadakan satu Tentara Keamanan Rakyat Jakarta, 5 Oktober 1945 Presiden Republik Indonesia Soekarno (Tjokropanolo, 1993: 59) Sebagai upaya untuk menghindarkan jangan sampai pemerintah Indonesia berhadapan langsung dengan pasukan-pasukan Inggris, maka tanggal 5 Oktober 1945 barulah Tentara Keamanan Rakyat dibentuk. Purnawirawan KNIL Mayor Oerip Soemohardjo dipanggil pemerintah untuk menerima tugas penting perihal pembentukan TKR. Dan ketika pembentukan TKR diumumkan maka ia telah diberi kepercayaan untuk menjabat sebagai Kepala Staf Umum yang bertugas menyusun organisasi TKR dan membentuk Markas Tinggi TKR (MTTKR). Melalui Komite Nasional Indonesia Pusat, dikeluarkanlah sebuah keputusan agar bekas prajurit Peta, Heiho, Barisan Pemuda, prajurit Hindia-Belanda dan lain-lainnya segera mendaftarkan diri menjadi anggota TKR. Ribuan pemuda mendaftarkan diri menjadi anggota tentara sebagai penegak kemerdekaan. Dan tidak ketinggalan para anggota eks-Peta, Heiho, (Koninklijk Nederlands Indische Leger) KNIL, pelajar tergugah mendaftarkan

16

diri menjadi TKR yang bertujuan ingin membaktikan diri karena menganggap setelah menjadi anggota BKR maka secara otomatis menjadi anggota TKR. Hanya satu tujuan mereka yakni membaktikan dirinya bagi usaha

mempertahankan kemerdekaan dan menentang penjajahan kembali Indonesia. (Tjokropanolo, 1993: 59-60) Ketika keadaan Indonesia semakin genting karena berbagai insideninsiden baik pertempuran melawan Jepang ataupun Sekutu. Ditambah lagi Belanda yang datang ke Indonesia dengan cara membonceng Sekutu mulai berani melakukan aksi teror disekitar Jakarta, maka pemerintah menunjuk Purnawirawan KNIL Mayor Oerip Soemohardjo untuk menjadi Kepala Staff Umum TKR dengan pangkat Letnan Jenderal. Bersama dengan rekannya Letnan Kolonel Purbonegoro, Kapten Samijo, Kapten Sudibyo, Letnan Didi Kartasasmita, Letnan Suryosularso, Letnan Suryadarma, dan lain-lain, ia mulai melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Sejak saat itulah ia berada ditengah-tengah mereka yang telah mempersatukan segala tekad dan mempertaruhkan jiwa raganya untuk tanah pusaka, tanah air tercinta. Tugas berat telah menanti Oerip Soemohardjo karena ia harus mulai dari nol untuk dapat membentuk suatu organisasi ketentaraan yang professional dan sesuai dengan standar internasional. Ditambah pada tanggal 1 November 1945, pemerintah mengeluarkan maklumat yang menyebutkan bahwa untuk mempertahankan keamanan dan kemerdekaan bukan monopoli tentara saja. (Tjokropanolo, 1993: 62). Dari maklumat tersebut, maka semakin suburlah pasukan-pasukan bersenjata sehingga banyak partai politik dalam memperkuat kedudukannya mempunyai organisasi kesatuan bersenjata

17

sebagai onderbouwnya. Jumlahnyapun semakin menjamur dan semakin lama semakin sering menimbulkan masalah-masalah yang mengarah pada perpecahan. Hal ini disebabkan oleh karena latar belakang sosial, golongan, idiologi, agama yang beda daripada organisasi bersenjata yang ada dibawah partai-partai politik itu. Selain itu, salah satu pemicu konflik yang mengarah pada perpecahan tersebut disebabkan kurangnya komunikasi sehingga Belanda dan Sekutu dapat melakukan perang urat saraf dengan cara adu domba untuk meruntuhkan wibawa TKR. Maka Markas Tertinggi TKR pada tanggal 6 Desember 1945, mengeluarkan maklumat mengenai pendirian TKR, ketetapan laskar

perjuangan, dan organisasi perjuangan lainnya. Maklumat ini mengintruksikan agar masing-masing tidak boleh bertindak sendiri-sendiri, tidak ada rasa saling mencurigai dan saling fitnah. Selain itu setiap organisasi perjuangan agar melakukan koordinasi dengan Markas Tertinggi TKR dan mengenai rencana organisasi, asas dan tujuan, jumlah melaporkan anggota dan

persenjataan, dan lain-lainnya yang dianggap penting. (Disjarahad, 1985: 20). Berbagai persoalan terus muncul pada saat pembentukan tentara nasional yang mana perlu perhatian serius agar upaya pencapaian keamanan dan ketertiban masyarakat terwujud, serta mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 tersebut. Untuk itulah diperlukan seorang yang mampu untuk membentuk dan menyatukan oraganisasi tentara yang dalam hal ini adalah TKR. Dan disinilah tugas berat Letnan Jendral Oerip Soemohardjo dan Jendral Sudirman yang lebih dikenal sebagai Dwi-Tunggalnya TNI yang telah diberi kepercayaan

18

oleh pemerintah untuk membentuk dan menyusun tentara nasional yang profesional Berdasarkan uraian diatas maka penulis akan mengadakan pengkajian yang hasilnya akan dituangkan dalam skripsi dengan judul Oerip

Soemohardjo, Peranannya dalam Pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Tahun 1945-1948 B. Permasalahan Dari uraian yang telah dituliskan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana latar belakang kehidupan kemiliteran Oerip Soemohardjo? 2. Bagaimana langkah-langkah yang dilakukan Oerip Soemohardjo dalam pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI)? 3. Bagaimana hasil yang dicapai oleh Oerip Soemohardjo dalam pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI)?

C. Tujuan Tujuan penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui alasan penunjukan Oerip Soemoharjo untuk menyusun Tentara Nasional Indonesia (TNI). 2. Untuk mengetahui langkah-langkah yang dilakukan Oerip Soemohardjo dalam pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

19

3. Untuk mengetahui hasil yang dicapai Oerip Soemohardjo pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI). D. Manfaat Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan sebagai berikut :

dalam

skripsi ini adalah

1. Dapat memperkaya khasanah mengenai ilmu sejarah terutama sejarah militer khususnya sejarah berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI) 2. Dapat menambah materi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) pada umumnya dan sejarah Indonesia pada khususnya 3. Dapat dijadikan salah satu bahan perbandingan apabila ada penelitian yang sama diwaktu-waktu mendatang. E. Ruang Lingkup Kajian Agar dalam pembahasan tidak terjadi kesimpangsiuran dan mudah diuraikan secara jelas serta sistematis, maka perlu adanya pembatasan dalam membahas suatu permasalahan. Oleh karena itu dalam penulisan ini perlu dibatasi ruang lingkup kajiannya. Ruang lingkup ini meliputi :

1. Skup Tematikal Skup ini merupakan pembatasan agar dalam penulisan tidak keluar dari tema yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam penulisan mengambil tema tentang Sejarah Militer dan yang dibahas dalam penulisan ini mengenai peranan Oerip Soemohardjo dalam rangka membentuk Tentara Nasional Indonesia yang mantap dan professional. 2. Skup Spatial

20

Skup spatial dalam penelitian ini yaitu mengadakan pembatasan wilayah yang menjadi objek dan peristiwa yang terjadi. Dalam penulisan ini untuk wilayahnya adalah tempat dimana Oerip Soemohardjo menyusun TNI di Yogyakarta. Dan juga beberapa daerah seperti Purworejo, Magelang, Jakarta, Kalimantan. 3. Skup Temporal Skup temporal yaitu yang berhubungan dengan kurun waktu atau kapan peristiwa itu terjadi. Dalam penulisan ini yang diambil adalah kurun waktu tahun 1945 sampai dengan tahun 1948. Tahun 1945 merupakan awal dari Oerip Soemohardjo mulai menyusun dan membentuk Tentara Nasional Indonesia. Dan tahun 1948 digunakan sebagai akhir dari kegiatan Oerip Soemohardjo di dalam dunia kemiliteran yang disebabkan meninggal dunia

F. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah. Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan sejarah masa lampau (Gottschalk, 1975: 32). Dengan adanya penelitian berdasarkan metode tersebut diharapkan dapat menghasilkan

penulisan ilmiah dengan suatu kegiatan yang obyektif, sistimatis dan logis. Dalam penulisan skripsi menggunakan pendekatan secara historis yang

21

uraiannya bersifat deskriptif analitis. Tujuan penelitian ini rekonstruksi masa lampau secara sistimatis dan obyektif dengan

membuat cara

mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi serta mensintesiskan buktibukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat (Suryabrata,1998:6) Adapun langkah-langkah dalam metode sejarah meliputi, heuristik, kritik sumber, interprestasi, dan historiografi. 1. Heuristik Heuristik yaitu menghimpun jejak-jejak masa lampau atau kegiatan untuk mencari sumber. Jejak masa lampau dapat berupa sumber tertulis dan benda-benda peninggalan masa lampau. Selain sumber-sumber primer ada juga sumber yang bersifat sekunder. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena seringkali kita harus menggunakan atau bertumpu pada karya-karya bukan dari tangan pertama yang digunakan sebagai sumber. Dalam menghimpun data, penulis menggunakan metode

kepustakaan. Metode kepustakaan dilakukan untuk mencari koleksi yang ada di perpustakaan dalam mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan topik penelitian. Sumber tersebut kemudian diseleksi dan diambil yang mempunyai kesesuaian dengan topik penelitian. Untuk mendapatkan sumber-sumber tersebut yang berupa buku-buku, dokumen, dan arsip, peneliti mendatangi tempat-tempat sebagai berikut : a. Perpustakaan Unnes b. Perpustakaan Jurusan Sejarah Unnes c. Perpustakaan Wilayah Jawa Tengah

22

d. Museum Mandala Bhakti Semarang e. Museum Pusat TNI Angkatan Darat Yogyakarta. 2. Kritik Sumber Kritik sumber adalah penilaian atau tahap pengujian terhadap sumber-sumber sejarah yang telah dikumpulkan dan dilihat dari sudut pandang nilai kebenaran. Pada tahap ini yang dilakukan adalah dengan melihat kembali apakah sumber itu sesuai atau tidak, sumber asli atau turunan. Kritik sumber terbagi menjadi dua yaitu ; a. Kritik ekstern Kritik ekstern dilakukan terutama untuk menentukan apakah sumber tersebut merupakan sumber asli yang dibutuhkan atau tidak, apakah sumber tersebut sesuai dengan aslinya (bukan turunan),

apakah sumber tersebut utuh atau telah diubah-ubah (Widja, 1988:22). Kritik ekstern meliputi penemuan kata, jika bahan sumber itu asli dan memiliki integritas. Dalam hal ini untuk mengecek apakah dokumen itu asli atau tidak benar-benar sesuai dengan yang ditulis. Untuk itu perlu adanya pertanyaan-pertanyaan: kapan sumber itu dibuat, siapa yang membuat dan bagaimana bentuk asli dari bentuk tersebut. b. Kritik intern Kritik intern yaitu kritik yang menilai apakah sumber, dilihat dari isinya apakah relevan dengan permasalahan yang ada dan dapatkah dipercaya kebenarannya. Terlebih untuk sumber sekunder, karena sumber sekunder biasanya sudah mendapatkan unsur

interpretasi penulis yang tidak mustahil ada unsur-unsur subyektifitas

23

dari penulis meskipun dalam skala yang kecil. Kritik intern dilakukan dengan membandingkan beberapa penafsiran dari beberapa buku pada data yang diperoleh 3. Interprestasi Pada tahap ini data atau fakta-fakta yang telah diperoleh perlu dihubung-hubungkan dan dikait-kaitkan satu sama lain sehingga antara fakta yang satu dengan yang lain kelihatan sebagai satu rangkaian yang masuk akal dalam arti mewujudkan kesesuaian. Usaha untuk mewujudkan rangkaian yang bermakna inilah yang menyebabkan sejarawan membuat intepretasi terhadap fakta. Dalam proses ini tidak semua fakta sejarah dapat dimasukkan, tetapi harus dipilih mana yang relevan dan mana yang tidak relevan. Setelah melakukan kritik sumber, kemudian dilakukan analisis data yaitu proses penyusunan data akan dapat ditafsirkan. Menyusun data berarti menggolongkannya dalam pola atau kategori. Untuk memberikan makna kepada analisis, menjelaskan pola atau kategori dan mencari hubungan antara berbagai konsep. 4. Historiografi Merupakan tahap penulisan sejarah, dalam hal ini akan disajikan dalam bentuk tulisan yang disusun secara kronologis yaitu dari Oerip Soemohardjo masih kecil, kemudian ketika Oerip Soemohardjo masuk dinas militer KNIL, menjadi kepala staf TKR, upaya-upaya dalam pembentukan TKR, hambatan dan dorongan dalam penataan TKR, hingga Oerip Soemohardjo meninggal dunia.

24

G. Tinjauan Pustaka Buku Oerip Soemohardjo karangan Drs. Amrin Imran, tahun terbit 1983. Buku ini sangat membantu dalam penulisan skripsi ini. Dalam buku ini dibahas riwayat kehidupan Oerip Soemohardjo dari kecil sampai ia menjadi Kepala Staf TKR hingga akhirnya meninggal dunia. Disini juga dibahas bagaimana liku-liku kehidupan Oerip Soemohardjo semasa masih muda hingga masuk pendidikan kemudian mengundurkan diri militer dan menjadi perwira KNIL. Beliau karena dianggap melakukan tindakan

indisipliner oleh Departemen Perang Belanda terhadap bupati Purworejo. Selain itu, pada bagian lain juga dibahas juga bagaimana Oerip Soemohardjo yang sebelumnya sebagai Perwira KNIL. Padahal KNIL merupakan produk tentara buatan Belanda. Setelah Indonesia merdeka ia dipanggil pemerintah Indonesia untuk membentuk organisasi tentara Indonesia. Dalam bab lain juga dijelaskan bagaimana rintangan-rintangan yang dialami Oerip Soemohardjo selama ia membentuk dan menata TKR menjadi sebuah organisasi ketentaraan yang profesional. Kelebihan dari buku ini adalah cara penulisan yang kronologis sehingga mudah dipelajari dengan baik. Peristiwa-peristiwa sejarah ini dapat digunakan sebagai pembanding bagi Generasi muda dalam rangka

kemerdekaan. Kekurangan buku ini adalah kurang terperincinya kegiatan yang dilakukan Oerip Soemohardjo pada saat menjadi perwira KNIL dan tidak dijelaskan apa yang dilakukan Oerip Soemohardjo pada saat membentuk dan menata Tentara Nasional Indonesia.

25

Buku selanjutnya adalah Sejarah Rumpun

Diponegoro dan

Pengabdiannya, tahun terbit 1977, tebal 702 halaman, diterbitkan oleh Yayasan Diponegoro. Buku ini membahas mengenai sejarah rumpun

Diponegoro dan pengabdiannya terhadap bangsa dan negara. Selain itu dalam buku ini juga dibahas riwayat Kodam VII Diponegoro yang diawali sejak kelahiran pada masa-masa BKR kemudian TKR, TKR, TRI, hingga TNI sampai terbentuknya tentara Teritorum VII Diponegoro di tahun 1950. Pada masa itu susunan organisasi ketentaraan mengalami berbagai perubahan sesuai dengan masanya. Dalam buku ini juga dijelaskan tentang masa-masa setelah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. pada saat itu bangsa Indonesia dalam rangka menegakkan kemerdekaan Republik

Indonesia. Mengenai pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang dan perjuangan rakyat Jawa Tengah menghadapi Sekutu, dilanjutkan peristiwaperistiwa sekitar perjuangan dalam menghadapi Agresi Belanda I dan II serta Serangan Umum 1 Maret. Keunggulan buku ini adalah buku ini memudahkan kita untuk mengetahui dan memahami secara jelas tentang sejarah rumpun Diponegoro dan pengabdiannya pada bangsa dan negara karena disusun secara kronologis. Selain tu dalam buku ini faktor bahasa terutama segi penggunaan istilah dan ejaan maupun huruf disesuaikan dengan waktu sekarang. Ini semua bukan berati meninggalkan segi otentik dan keaslian sumber melainkan agar Generasi sekarang dapat mengkaji dan mengikuti buku ini. Kekurangan buku

26

ini terletak pada sedikitnya sumber yang digunakan, baik itu dokumen, arsip sehingga bisa memunculkan unsur subyektifitas pada buku tersebut. Buku ketiga yang penulis gunakan berjudul Sudirman, Prajurit TNI Teladan, tahun terbit 1985 dan diterbitkan oleh Dinas Sejarah TNI AD dengan tebal buku 333 halaman. Dalam buku ini dijelaskan tentang strategi yang dilakukan Jenderal Sudirman, dalam mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia dari Agresi Belanda dan serangan dari Sekutu, selain itu juga disinggung tentang pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada bab lain juga

diceritakan tentang perang Gerilya yang dilakukan Jenderal Sudirman. Dibagian akhir buku ini dijelaskan masa kecilnya Sudirman hingga dewasa menjadi Komandan divisi V/TKR Purwokerto. Dari buku ini penulis sedikit terbantu untuk mendapatkan langkahlangkah dan yang dilakukan Oerip Soemohardjo dalam rangka membentuk ketentaraan Indonesia yang baik. Dari Oerip Soemohardjo dipanggil pemerintah hingga penjelasan tentang bentuk dari Tentara Nasional Indonesia. Keunggulan buku Sudirman Prajurit TNI Teladan ini data-data yang ada diperoleh melalui penelitian dan wawancara dengan saksi sejarah sehingga sedikit kemungkinan adanya unsur subyektifitasnya. Sedangkan kelemahan dari buku ini antara lain sistem penyajian yang bersifat naratif mengakibatkan buku ini seperti buku cerita, namun begitu tetap tidak meninggalakan sisi historisnya dan keilmuannya. Selain itu sistem penulisan yang flashback bisa menimbulkan pembaca merasa bingung. H. Sistematika Skripsi

27

Dalam penulisan skripsi ini, sistematika yang akan coba kami ketengahkan adalah sebagai berikut : Bab I Pendahuluan Berisi pengantar yang terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, ruang lingkup kajian, metode penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan. Bab II Kehidupan Kemiliteran Oerip Soemoharjo membicarakan tentang kehidupan Oerip Soemoharjo masa sekolah, masa ketika beliau menjadi seorang perwira KNIL, dan masa menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Bab III Upaya Oerip Soemoharjo dalam Pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Menjelaskan tentang proses terbentuknya TNI dan langkah-langkah dalam penataan TNI serta pemantapannya. Bab IV Proses Penataan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Menjelaskan tentang faktor yang mendukung dan menghambat Oerip Soemoharjo dalam menata TNI serta bagaimana hasil penataannya, dan juga menjelaskan tentang hidupnya. Bab V Penutup Berisi tentang kesimpulan dan saran dari uraian bab-bab sebelumnya yakni sebagai jawaban atas permasalahan yang diajukan. kekecewaannya di masa akhir

28

BAB II KEHIDUPAN KEMILITERAN OERIP SOEMOHARDJO

Pada tanggal 22 Februari 1893 di desa Sindurejan, Purworejo lahir seorang anak laki-laki yang oleh kakeknya diberi nama Mohamad Sidik. Ayah dari anak tersebut adalah R. Soemohardjo dan ibunya adalah putri R.T Wijoyokusumo, seorang bupati Trenggalek. Ketika lahir tidak ada keistimewaannya sama sekali, sama dengan anak anak yang lain. Namun kelak anak inilah yang menjadi salah satu orang penting dalam dunia ketentaraan Indonesia sebagai pendiri Tentara Nasional Indonesia (TNI). (Disbintal AD, 1986:1) Sebagaimana layaknya orang tua, kelahiran anak itu disertai harapan agar kelak setelah dewasa menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsanya. Sebagai anak pertama ia menjadi buah hati dan kebanggaan bagi orang tuanya serta kedua kakeknya. Karena itu wajarlah bila ia dimanja. Mohamad Sidik tumbuh menjadi anak yang sehat mempunyai sifat dinamis dan pemberani. Keluarga R. Soemohardjo kemudian dikaruniai dua orang anak lagi yang kemudian diberi nama Iskandar dan Sukirno. Dalam pergaulan dengan kawan-kawannya di kampung, Mohamad Sidik ikut serta bermain bersamanya. Permainan yang dilakukan kadang-kadang dianggap berbahaya oleh orang tua, namun sebaliknya bagi anak-anak merupakan suatu hal yang biasa. Pada suatu hari dalam suatu permainan yang dilakukan, Mohamad Sidik terjatuh dari pohon 18 29

yang dipanjatnya dan pingsan. Kedua orang tuanya merawat dengan kasih sayang dan Mohamad Sidik siuman kembali. Setelah mendengar berita kecelakaan yang menimpa cucunya itu, maka R.T Wijoyokusumo mengganti nama cucunya menjadi Oerip Soemohardjo. Pemberian nama tersebut dengan pengharapan agar cucunya selamat. Oerip yang berarti hidup, sedang Soemohardjo diambil dari nama ayahnya. (Disbintal AD, 1986: 1) A. Masa Sekolah R. Soemohardjo dan isteri serta seluruh keluarganya mengharapkan agar kelak Oerip Soemohardjo bisa menggantikan kakeknya sebagai bupati di Trenggalek. Selain itu mereka juga berharap agar kelak ia juga menjadi seorang yang alim dan taat beragama. Untuk itulah maka Oerip Soemohardjo dimasukkan di sekolah Jawa. Murid-murid duduk pada sehelai tikar dan dengan meja-meja kecil yang rendah didepannya untuk menulis. Selama setahun ia belajar bersama murid-murid wanita karena kelas laki-laki sudah penuh. Selama ia sekolah bersama anak-anak wanita kenakalannya di sekolah bisa dikatakan hilang, namun ketika sudah sampai dirumah ia kembali sebagai Oerip Soemohardjo yang nakal. Setelah setahun ia sekelas dengan anak-anak perempuan, ia dipindahkan ke kelas laki-laki. Selepas dari sekolah Jawa beliau didaftarkan di Eropese Lagere Meisjesschool, dengan harapan ia bisa lancar bahasa Belanda. Ia diharapkan menjadi bupati dan bahasa Belanda menjadi syarat mutlak untuk itu. Didalam kelas Oerip Soemohardjo tidak dapat memusatkan

perhatiannya kepada pelajaran. Badannya nyata berada dalam kelas namun

30

pikirannya melayang ketempat ia bermain. Karena itu ia tidak termasuk kedalam golongan anak pandai. Melihat kemampuannya yang demikian orang tua dan keluarganya bimbang dan cemas, mampukah Oerip Soemohardjo untuk menjadi seorang bupati. Namun beruntung ia dapat naik kelas. Selepas dari sekolah tersebut Oerip Soemohardjo mengikuti ujian pegawai rendah dan dinyatakan lulus. Dan untuk menunjang kemampuannya dan kesiapannya untuk menjadi seorang bupati, Oerip Soemohardjo di Opleidingschool Voor Inlansche Ambtenaren (OSVIA). OSVIA ini merupakan lembaga pendidikan khusus anak-anak priyayi yang kelak akan dijadikan pegawai Pangreh Praja. Murid-murid daftarkan di

dididik dalam nuansa priyayi. Disiplin yang diterapkan di sekolah ini sangat ketat. Mereka harus menempatkan dirinya sebagai calon pegawai.

Kelakuan mereka harus baik, sebab kelak akan menjadi contoh teladan bagi masyarakatnya. (Amrin, 1984: 17) Sekolah ini berada di Magelang, sehingga untuk hal ini untuk pertama kalinya Oerip Soemohardjo berpisah dengan orang tua, keluarga, kawan-kawan, dan segala permainannya. Di OSVIA yang terkenal dengan peraturan yang ketat dan disiplin ini dirasakan oleh Oerip Soemohardjo sangat membelenggu dirinya. Di sana ia harus mandiri, karena itu sebelum berangkat, ia belajar bagaimana cara melipat pakaian dan ikat kepala, serta cara hidup lainnya. Di OSVIA Oerip Soemohardjo memperoleh sebuah kamar

berukuran tiga kali empat meter. Dan hidup dalam keadaan yang serba teratur merupakan perjalanan yang pahit bagi kehidupannya. Ia masih menginginkan

31

sebuah kebebasan, karena itu ia sangat merindukan Sindurejan, kampung halamannya. Dalam pelajaran Oerip Soemohardjo pun masih saja sulit untuk bisa memahami pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Namun demikian ia bisa naik kelas. pada saat di kelas dua ini adiknya Iskandar dan Sukirno menyusul masuk di OSVIA. Dengan masuknya dua adiknya di OSVIA tidak menjadikan Oerip Soemohardjo berubah, ia tetap Oerip Soemohardjo yang sulit

menangkap pelajaran dan susah diatur. Oleh karena itu, ia pernah dihukum karena mempelopori demonstrasi siswa OSVIA kepada pihak sekolah. Mereka menuntut agar mereka diperkenankan memakai sepatu, karena mereka tidak mau bertelanjang kaki saat mengikuti pelajaran. Mendengar berita tersebut, ibu Oerip Soemohardjo sangat terkejut yang tak lama kemudian ia sakit dan akhirnya meninggal Sepeninggal ibunya, sifat Oerip Soemohardjo berubah. Ia tidak lagi selincah dan senakal dahulu. Sering ia termenung memikirkan untuk apa ia sekolah di OSVIA, sedangkan ia tidak ingin menjadi seorang pegawai. Hal itu terus dipikirkan sampai ia lulus dari OSVIA meskipun dengan nilai yang mengecewakan bapaknya. Saat liburan Oerip Soemohardjo tidak pulang ke Purworejo, begitu pula adiknya. Ia berkeinginan pergi ke Jakarta untuk mendaftarkan diri di Sekolah Militer dan hal itu hanya diketahui oleh dua adiknya tersebut. Maka berangkatlah Oerip Soemohardjo ke Jakarta untuk mendaftarkan diri di Militaier School di Jatinegara.

32

B. Perwira KNIL Jiwa seorang Oerip Soemohardjo memang sudah cocok untuk menjadi seorang pemimpin. Hal itu sudah nampak sejak Oerip Soemohardjo masih kecil, ia sudah memimpin anak-anak di kampungnya dalam setiap permainannya. Keberaniannya pun melebihi dari teman-temannya. Maka tak heran jika Oerip Soemohardjo dijadikan pemimpin bagi mereka. Berbekal dari hal tersebut ia memberanikan diri untuk mendaftarkan diri menjadi tentara (Koninklijk Nederlands Indische Leger) KNIL Hindia-Belanda. Di Sekolah Militer ini terdapat beberapa anak pribumi. Sebagian dari mereka adalah bekas murid-murid OSVIA yang sudah dikenalnya. Selain itu ada pula anak-anak dari Minahasa dan selebihnya adalah anak-anak Belanda. Di sini Oerip Soemohardjo belajar menembak, main anggar, berenang dan semua hal yang berkaitan dengan dunia militer. Bahkan ia memperoleh nilai plus dalam ujian menembak. Kulitnya yang hitampun semakin hitam karena ia selalu terpanggang matahari setiap kali latihan. Sekali seminggu Oerip Soemohardjo berkirim surat kepada ayahnya. Dalam suratnya ia memohon maaf karena tidak bisa memenuhi harapan keluarga, dan ia berjanji bahwa ia tidak akan menjadi tentara rendahan, ia akan menjadi seorang perwira tentara yang derajatnya sama dengan derajat orang-orang Belanda. (Amrin, 1984: 27) Tahun 1914, Oerip Soemohardjo lulus dari Militaier School, dan setelah mengikuti ujian tambahan yang meliputi bahasa Perancis. Ia dilantik sebagai perwira berpangkat Letnan Dua. Kebanggaan bapak Soemohardjo pun

33

muncul ketika Oerip Soemohardjo pulang dengan pakaian tentaranya. Apalagi setelah mengetahui bahwa ia seorang Perwira KNIL yang sederajat dengan orang Belanda. 1. Masa Bertugas Tugas pertama Oerip Soemohardjo di Jatinegera sebagai

Komandan Peleton pada Batalyon 12 KNIL. Anak buahnya semua orangorang Belanda. Satu setengah tahun bertugas di Jatinegara, ia dipindahkan di Banjarmasin, Kalimantan. Ditempat yang baru ini beliau bertugas melakukan patroli ke daerah pedalaman. Patroli dilakukan dengan perahu dan dilanjutkan dengan jalan kaki. Hal tersebut karena medan daerah patrolinya adalah daerah yang banyak bersungai dan rimba raya yang lebat. Selama di Kalimantan Oerip Soemohardjo sering

dipindahtugaskan. Beberapa tempat beliau ditugaskan antara lain Tanah Grogot, Balikpapan, Malinu, Tanah Tidung, Long Iram, Long Nawam, dan terakhir bertugas di Samarinda. Namun bencana datang menimpa Oerip Soemohardjo. Ketika pulang dari bertugas ia mendapatkan rumahnya sudah rata dengan tanah hangus terbakar. Bencana yang sangat memukul jiwanya sehingga harus segera menjalani perawatan medis di Cimahi, Bandung. Tahun 1923, di kota Purworejo terdapat posisi perwira yang kosong, maka Oerip Soemohardjo ditugaskan di kampung halamannya. Maka ramai kembali rumah bapak Soemohardjo. Dan pada tahun 1925 ia

34

kembali dipindahkan di Magelang. Dan di kota inilah ia menemukan jodohnya, yakni Rohmah Subroto, putri dari guru Oerip Soemohardjo semasa di OSVIA. Dari Magelang, Oerip Soemohardjo dipindahkan lagi di Ambarawa. Ketika pemindahan itu ia mendapat kenaikan pangkat menjadi Kapten. Semasa tugas di Ambarawa, beliau mengambil cuti untuk liburan bersama keluarga ke Eropa. Sepulang dari Eropa Oerip Soemohardjo ditugaskan di

Jatinegara kembali. Saat bertugas di Jatinegara ini, bapak Soemohardjo meninggal dunia. Dari Jatinegara ia dipindahkan ke Pandang Panjang, Sumatera Barat. Pada tahun 1936, ia mendapat kenaikan pangkat menjadi Mayor. Dari Padang Panjang Oerip Soemohardjo kembali ditugaskan di Purworejo sebagai Komandan Batalyon merangkap komandan Militer. Jabatan ini dipangkunya sampai tahun 1938. Mayor Oerip Soemohardjo Soemohardjo mengakhiri masa dinasnya pada tahun 1938 setelah ia menolak keputusan Markas Besar Tentara Hindia-Belanda yang dianggapnya tidak adil dan dianggap melakukan tindakan yang indisipliner. Tindakan itu bermula pada saat dilangsungkannya perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina pada tanggal 31 Agustus 1938. Sesuai kesepakatan siapa yang terlambat dilarang masuk tempat upacara. Bupati Purworejo datang lima belas menit setelah acara dimulai dan Oerip Soemohardjo tetap kukuh pada rencana yang telah disepakati. Bupati

35

merasa tersinggung dan melaporkannya ke Markas Besar Angkatan Perang Hindia-Belanda, dan pihak Markas Besar memutuskan Oerip Soemohardjo dipindahkan ke Depo Batalyon Gombong dan mendapat kenaikan pangkat menjadi Letnan Kolonel. (Amrin, 1984: 38) Merasa bahwa ada ketidakadilan didalam keputusan itu, maka Oerip Soemohardjo menolak keputusan itu dan meminta berhenti dari dinas milter. Selepas berhenti dinas dari militer, ia bersama keluarga pindah ke Gentan, sebuah desa disebelah utara kota Yogyakarta. Namun pada tahun 1940, ketika Jerman sudah menduduki negeri Belanda karena adanya Perang Dunia II, Oerip Soemohardjo meminta kepada Departemen Perang Hindia-Belanda untuk kembali dinas aktif di militer Belanda lagi. Hal tersebut karena ia merasa bahwa sebentar lagi Indonesia pun akan segera diduduki oleh lawan Sekutu, dalam hal ini Jepang yang sudah mulai masuk di kawasan Asia Tengggara. Oleh sebab itu, beliau harus bisa ikut membantu agar Indonesia tidak diduduki oleh Jepang. Kembalinya Oerip Soemohardjo disambut baik oleh para

perwira Belanda yang sudah mengenal prestasinya ketika belum mengundurkan diri. Oerip Soemohardjo langsung ditugaskan di Cimahi dan mendapat perintah untuk segera membentuk Depo Batalyon baru di Cimahi. Pembentukan Batalyon baru ini dilakukan dengan cepat karena ia sudah berpengalaman dan sudah tahu bagaimana cara pembentukan sebuah batalyon tentara. (Disbintalad, 1986: 7)

36

2. Perwira KNIL, Jiwa Inlander Sekalipun keturunan bangsawan, Oerip Soemohardjo tidak

sepenuhnya mewarisi darah bangsawan. dalam dirinya telah terjadi seleksi alamiah, sehingga yang tertinggal hanyalah segi-segi baik yang ada pada dirinya. Dalam kehidupannya ia dikenal dekat kepada rakyat kecil. Hal ini tampak ketika ia masih anak-anak, hampir semua temannya adalah anakanak dari golongan rakyat biasa. Sifat yang sudah tertanam dari masa anak-anak itu tetap dibawa ke masa dewasanya, bahkan ketika ia berdinas dalam dunia ketentaraan. Sebagai perwira KNIL ia berhasil mengangkat dirinya menjadi seorang militer yang baik, penuh disiplin dan bertanggung jawab. Sebagai seorang anak Indonesia, anak jajahan, Oerip Soemohardjo berusaha membela kepentingan bangsanya dalam batas-batas yang memungkinkan untuk berbuat demikian. Apalagi dalam hal membela kebenaran, tidak ada kata tawar-menawar bagi seorang Oerip Soemohardjo. Melihat hal seperti itu, apakah Oerip Soemohardjo dapat dikatakan memiliki rasa kebangsaan. Namun baginya hal itu tidaklah menjadi soal, apakah ia memiliki rasa kebangsaan atau tidak, karena yang terpenting adalah ia telah berbuat, apapun namanya, untuk kepentingan rakyat kecil dan mereka menghargai apa yang ia lakukan. Seperti saat ia bertugas di Balikpapan, seorang penduduk pribumi atau rakyat biasa tidak diijinkan untuk menumpang kereta minyak milik Belanda. Mendengar seperti itu, Oerip Soemohardjo merasa

37

tersinggung, bukan saja karena ia seorang pribumi tapi juga karena hal tersebut telah menginjak-injak harga diri bangsanya. Maka Oerip Soemohardjo sebagai kepala tentara di Balikpapan berhak melarang kereta api untuk jalan, apapun alasannya. Karena tindakan tersebut, ia bisa saja mendapat sanksi dari atasan, tapi ia rela dikeluarkan dari dinas ketentaraan jika memang yang ia lakukan dianggap salah oleh atasannya. Namun hal tersebut tidaklah terjadi karena pihak atasan membenarkan apa yang dilakukannya, sehingga di Balikpapan siapapun boleh menumpang kerata api minyak milik Belanda tersebut. (Amrin, 1984: 41-42)

38

Tidak itu saja rasa kebangsaan dan keperpihakannya pada rakyat kecil. Setiap lebaran ia selalu memberi cuti kepada para pembantu untuk pulang ke kampung halamannya. Walaupun ia dan keluarga harus bekerja sendiri dalam mengurus rumah. Hal tersebut jarang dilakukan dilakukan oleh orang-orang Belanda ataupun para pejabat maupun teman-teman sejawatnya. Seperti itulah Oerip Soemohardjo, seorang Perwira KNIL yang selalu berpihak pada kebenaran dan rakyat kecil. Walaupun ia seorang tentara Belanda, namun ia merasa aman saja berpergian sendiri tanpa pengawal dan sejata. Karena ia tahu perasaan mereka, perasaan seorang yang terjajah, sehingga ia bisa mengerti apa yang mereka inginkan. Bahkan Oerip Soemohardjo mampu mengadakan kerja sama dengan masyarakat pribumi dimana ia ditugaskan. Namun apa yang ia lakukan sering mendapat tentangan baik dari atasannya maupun rekan sejawatnya. Namun baginya itu bukan suatu masalah, yang terpenting ia bisa berbuat demi bangsa dan rakyat kecil. C. Menjelang Proklamasi Tanggal 7 Desember 1941, Jepang menyerang pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawaii. Atas kemenangan ini Jepang mulai berani menyerang kawasan Asia Tenggara. Dalam waktu relatif singkat Jepang berhasil menduduki sebagian kawasan di Pasifik seperti Filipina, Malaysia, dan Singapura. (Amrin, 1984: 53)

39

Serangan di Indonesia diawali di daerah bagian timur, terutama daerah-daerah pusat minyak seperti Balipapan dan Tarakan. Dengan

menguasai daerah minyak maka bisa menunjang penyerangan selanjutnya. Minyaknya tidak saja sebagai bahan bakar kendaraan perangnya, tetapi hasil penjualannya bisa dibelikan senjata. Pada awal Maret 1942 Jepang mendaratkan pasukannya di pulau Jawa di beberapa tempat. Dengan pendaratan tersebut, posisi Belanda semakin terkurung sehingga Belanda melarikan diri ke pedalaman Jawa Barat dan akhirnya menyerah pada tanggal 8 Maret 1942. Dengan demikian berakhirlah pendudukan yang dilakukan oleh Belanda di Indonesia. (Disbantalad, 1986: 7) Semua perwira Belanda ditawan oleh pihak Jepang tidak terkecuali Oerip Soemohardjo yang masa tersebut sudah dinas aktif kembali sebagai perwira KNIL. Setelah ditawan selama tiga setengah bulan, ia dibebaskan dan pedangnya dikembalikan oleh Jepang. Dalam tradisi Jepang, apabila pedang seorang tawanan dikembalikan kepadanya, berarti tawanan tersebut dihormati oleh pihak yang menawannya. (Amrin, 1984 : 55) Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia tidak banyak yang dilakukan Oerip Soemohardjo di desa Gentan itu. Ia tetap berkebun dibantu beberapa pembantunya. Namun demikian Oerip Soemohardjo pernah ditawari untuk bekerja sama dengan Jepang, namun ia tetap memilih hidup di desa sebagai petani. Ia telah memutuskan untuk tidak memanggul senajata lagi dan sebagai gantinya ia memilih untuk memanggul cangkul.

40

Di desa Gentan ini Oerip Soemohardjo menemukan kehidupan yang tenang dan damai. Selain itu dunia yang dilandasi rasa kasih sayang dan saling menghargai juga didapatkannya. Hal tersebut karena pergaulannya dengan orang-orang sederhana dan dengan pemikiran yang menjadikan kehidupannya semakin damai. Namun demikian Oerip Soemohardjo tetap mengikuti sederhana pula

perkembangan keadaan yang dialami oleh bangsa Indonesia melalui media masa dan juga dari para pemuda yang tergabung dalam PETA (Pembela Tanah Air) seperti Sunarno dan Nasution. Pemuda yang sering datang ke Gentan selalu menceritakan tentang kekejaman yang dilakukan oleh Jepang dan juga kekalahan-kekalahan yang dialami oleh Jepang. Dan ketika Jepang mengakui kekalahannya, Oerip Soemohardjo sebagai seorang militer tidaklah terkejut karena ia telah memperhitungkan kekalahan Jepang yang akan dialaminya. Kini tinggal ia mengharap bangsanya agar segera memproklamasikan diri sebagai bangsa yang merdeka terbebas dari segala bentuk penjajahan. Dan hingga akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia benar-benar telah

memproklamasikan diri sebagai bangsa yang merdeka.

41

BAB III UPAYA OERIP SOEMOHARJO DALAM PEMBENTUKAN TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI)

Rezim tentara Jepang dengan resmi memulai kekuasaannya di Indonesia ketika Jenderal Ter Poorten dan Gubernur Jenderal Jhr Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menandatangi naskah penyerahan pada minggu pertama Maret 1942 di lapangan terbang Kalijati, dan berakhir pada 14 Agustus 1945 rezim tentara Jepang menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu di Pasifik. Masa kekuasaan Jepang yang sangat singkat itu sangat mendalam dan sangat berbekas bagi sejarah perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia pada umumnya dan terutama bagi pertumbuhan dan perkembangan ketentaraan rakyat Indonesia tahun 1945-1949. (Disjarahad, 1972 : 31). Bagi bangsa Indonesia penyerahan Jepang kepada Sekutu ini sama sekali tidak melemahkan perjuangan untuk mencapai sebuah kemauan nasional yakni kemerdekaan. Oleh karena itu sejak penyerahan Jepang kepada Sekutu, para pemimpin pergerakan sudah sudah siap untuk segera melakukan Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Melalui pertemuan antara golongan tua dan golongan muda yang diadakan di Rengasdengklok diputuskan bahwa tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia akan memproklamasikan diri sebagai bangsa yang merdeka terbebas dari segala bentuk penjajahan, dan Ir. Sukarno dan Drs. Moh. Hatta ditunjuk sebagai pembaca dari ikrar Proklamasi Kemerdekaan tersebut. Dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia menjadi negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat, menjadikan bangsa Indonesia 31 42

menginjak zaman baru, tetapi sebelum bangsa Indonesia dapat menikmati kemerdekaan, terlebih dahulu harus menghadapi ujian yang berat. Proklamasi menimbulkan bermacam-macam persoalan, ditambah kemerdekaan didapat atas kemauan bangsa Indonesia sendiri, maka tugas dan kewajiban serta persoalaan yang timbul harus dihadapi oleh bangsa Indonesia sendiri. Salah satu persoalan yang muncul adalah tentang pertahanan terhadap serangan dari luar dan keamanan dalam negeri. Oleh karena itu bangsa Indonesia membutuhkan tentara yang kuat, teratur dan disiplin. Negara yang merdeka harus dapat membentuk dan mempunyai tentara yang terorganisir secara nasional yang terpusat untuk menjamin kelanjutan negara. A. Proses Terbentuknya TNI Syarat bagi berdirinya suatu negara ialah pertama adanya wilayah tertentu, kedua adanya penduduk bangsanya, dan ketiga adanya kekuasaan yang berdaulat yang meliputi seluruh daerah dan rakyatnya. Sementara itu syarat ketiga belum terpenuhi, maka Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (PPKI) menetapkan Ir. Sukarno dan Drs. Moh. Hatta sebagai presiden dan wakil presiden, mengesahkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. (Tjokoropanolo, 1993: 40-41) Dalam sidangnya tanggal 22 Agustus 1945 PPKI memutuskan untuk membentuk tiga badan sebagai wadah menyalurkan potensi perjuangan rakyat. Badan-badan itu adalah: Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional Indonesia (PNI) yang ternyata tidak jadi dibentuk, dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR merupakan suatu Korps pejuang bersenjata yang bertugas menjamin keselamatan ketentraman umum dan masih menjadi bagian

43

dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang semula bernama Badan Pembantu Prajurit (BPP) (lihat lampiran 2). BPP sudah ada pada jaman pemerintahan Jepang dan bertugas memelihara kesejahteraan anggota-anggota Tentara PETA dan Heiho. Setelah PETA dan Heiho dibubarkan oleh Jepang, pada tanggal 18 menampung bekas anggota PETA (Nasution, 1963:106-110). Presiden Sukarno tidak dapat segera membentuk tentara Indonesia karena khawatir akan kemarahan Sekutu. Namun keterlambatan pemerintah dalam pembentukan tentara ini telah mengakibatkan lahirnya inisiatif rakyat khususnya para pemuda untuk membentuk kekuatan bersenjata sendiri di daerahnya masing-masing sehingga di berbagai daerah terbentuk lascar-laskar rakyat. Secara diam-diam dan belum terorganisir BKR dan laskar-laskar perjuangan rakyat mengambil dan merebut senjata senjata Jepang sehingga beberapa anggota BKR sudah bersenjata. Hal ini menjadikan anggota BKR sadar bahwa mereka perlu mempersenjatai diri selengkap mungkin. Perebutan senjata oleh BKR-pun terjadi dimana-mana, namun tidak semua berjalan dengan damai seperti yang dilakukan BKR Banyumas yang dipimpin Daidancho Soedirman. Di daerah lain perebutan sering diwarnai dengan kekuatan senjata dan pertumpahan darah seperti yang terjadi di Surabaya, Semarang, Pekalongan dan beberapa daerah di luar Jawa. BKR bertugas untuk memelihara keamanan dan ketertibaban di daerah-daerah. BKR tumbuh secara spontan dari bawah didorong oleh Agustus 1945 tugas untuk BPKKP

dan Heiho ditangani oleh

44

panggilan jiwa para pemuda, banyak diantaranya berasal dari PETA, Heiho, KNIL, Keibodan, dan laskar-laskar perjuangan. Mereka masuk didorong rasa ingin berbakti dan mengabdi kepada bangsa dan negara yang kedaulatannya menghadapi ancaman pihak penjajah. BKR mempersenjatai diri, melengkapi, dan membekali diri sendiri, disusun secara kedaerahan (territorial

administratif) dan sedikit banyak Indonesia. ( Notosusanto, 1984: 37).

dikendalikan oleh Komite Nasional

Unsur anggota BKR tidak terdiri dari darat saja, akan tetapi terdapat pula unsur dari udara dan laut. Para bekas Kyugun Heiho serta pemuda yang bekerja pada obyek vital di pelabuhan-pelabuhan maupun jawatan-jawatan pelayaran membentuk BKR penjaga pantai. Sementara itu pemuda bekas anggota badan penerbangan Belanda dan pemuda bekas anggota kesatuan penerbang Jepang seperti Rikigun Koku Butai, Koigun Koku Butai, dan Nampo Koku Kabusyiki membentuk BKR Udara. (Notosusanto, 1984: 38) BKR selanjutnya mengalami kesulitan dalam upaya mengkoordinasikan perjuangan menegakkan kemerdekaan. Keadaan ini disebabkan dalam menentukan arah perjuangan bangsa Indonesia memiliki dualisme kekuatan senjata, yakni BKR dan badan perjuangan yang tidak tergabung dalam BKR seperti Angkatan Pemuda Indonesia (API), Barisan Buruh Indonesia (BBI), Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI), Pemuda Penyongsong Republik Indonesia (PPRI), Hisbullah dan Sabilillah (Notosusanto, 1984:39). Konflik dan tidak adanya kesepakatan pendapat sering terjadi diantara kedua belah pihak yang mengkhawatirkan terjadinya pertikaian diantara para pejuang. Melihat latar belakang kondisi keamanan dalam negari yang semakin gawat,

45

ditambah lagi dengan datangnya tentara Inggris serta didorong kurangnya koordinasi antara BKR dan BN atau badan perjuangan yang lain tentang arah perjuangan, maka pemerintah membentuk sebuah tentara kebangsaan. Tanggal 5 Oktober 1945 dikeluarkan Maklumat Pemerintah

No:2/X/1945 yang berisi, Untuk memperkuat peranan keamanan umum, maka diadakan suatu Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Bekas Mayor KNIL Oerip Soemohardjo diserahi tugas untuk membentuk tentara, beliau diangkat sebagai Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat Letnan Jenderal. Kemudian disusul maklumat yang mengangkat Supriyadi, bekas tentara PETA, sebagai menteri Keamanan Rakyat. (Zen, 2004: 19) Tanggal 9 Oktober 1945 Komite Nasional Indonesia Pusat

mengeluarkan keputusan tentang Mobilisasi Tentara Keamanan Rakyat, yang isinya tentang himbauan agar bekas prajurit PETA, prajurit Hindia-Belanda, Heiho, Kaigun-Heiho, Barisan Pemuda, Hisbullah, Pelopor, dan lainnya agar segera mendaftarkan diripada kantor-kantor TKR di Ibukota kabupaten masing-masing.

Oerip Soemohardjo setelah menerima panggilan dari pemerintah, maka pada tanggal 14 Oktober berangkat ke Jakarta untuk mendapat perintah langsung mengenai pembentukan tentara kebangsaan. Penyusunan TKR tidak dilaksanakan di Jakarta tetapi di Yogyakarta karena di Jakarta pasukan Sekutu dan Belanda berusaha menghalang-halangi pembentukan TKR. (Zen, 2004: 21). Sepulang dari Jakarta Oerip Soemohardjo segera mulai bekerja menyusun TKR di Hotel Merdeka (Sekarang hotel Garuda) kamar 23 yang sekaligus

46

dijadikan sebagai Markas Tertinggi Tentara Keamanan Rakyat (MTTKR). Tidak lama MTTKR kemudian pindah ke gedung pemberian Sri Sultan Hamengkubowono IX di Jalan Gondolayu (sekarang Musium Pusat TNI AD Dharma Wiratama, jalan Jenderal Sudirman). Di markas baru ini Oerip Soemohardjo segera melanjutkan pembentukan TKR. (Soemohardjo, 1973: 100) Dalam pembentukan TKR Oerip Soemohardjo meniru susunan organisasi Departemen Perang Hindia-Belanda. Sementara itu untuk

mengurangi kecurigaan pasukan PETA yang kurang mempercayai kesetiaan bekas tentara KNIL, maka personil dalam tubuh organisasi terdiri atas gabungan antara mantan perwira KNIL dengan mantan-mantan perwira PETA.. Rencana MTTKR hanya akan membentuk empat divisi di Jawa dan Sumatera. Akan tetapi karena masing-masing daerah atas inisiatif sendiri sudah membentuk kesatuan-kesatuan, maka dibentuk sepuluh divisi yang terdiri tujuh divisi di Jawa dan tiga di Sumatera. Tanggal 2 November 1945, dibentuk empat komandemen yakni tiga komandemen di Jawa dan satu komandemen di Sumatera. Satu komandemen membawahi beberapa divisi. Dan dalam perkembangannya jumlah divisi yang ada bertambah sehingga di Jawa terdapat sepuluh divisi dan di Sumatera terdapat enam divisi, sementara di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Barat belum ada pasukan. Namun dengan penyusupan yang dilakukan pasukan TKR dari Jawa dan Sumatera sehingga di pulau-pulau tersebut mulai ada pasukan. (Amrin, 1984 : 70-71)

47

Penyusunan TKR berjalan, namun pertempuran juga berlangsung. TKR tidak mempuyai waktu untuk mendidik dan melatih pasukan yang baru terbentuk. Ketika pertempuran melawan Sekutu dan

terus

Belanda, pasukan TKR dipimpin langsung oleh komandan lapangan tanpa adanya kendali dari Markas besar TKR. Hal ini terjadi karena kurangnya alat komunikasi. Karena itu Oerip Soemohardjo selaku Kepala staff TKR meminta pemerintah untuk mengangkat panglima TKR sebagai ganti dari Supriyadi yang tidak pernah muncul. Berhubung permintaan untuk mengangkat panglima TKR yang baru ditolak, maka pada tanggal 12 November 1945 diadakan konferensi para Panglima Divisi di Jawa dan Sumatera. Konferensi ini dilaksanakan untuk memilih Panglima TKR karena Supriyadi yang telah ditunjuk pemerintah sebagai penglima TKR tidak pernah muncul, sementara pemerintah tidak merespon permintaan MTTKR ungtuk mengangkat panglima baru. Dan konferensi tersebut memilih Kolonel Sudirman, Panglima dari divisi V Purwokerto sebagai Panglima Tertinggi TKR. (Amrin, 1984: 74-75) Lahirnya TKR tidak berumur berlangsung lama karena melalui ketetapan pemerintah No:2/S.D./1945 tanggal 7 Januari 1946 nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dirubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR). Namun tanggal 25 Januari 1946 melalui ketetapan pemerintah No:4/S.D./1946, Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) kembali dirubah

namanya menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). (Nasution, 1963: 248) Adanya kekuatan lain di TRI seperti laskar-laskar dan Barisan Pemuda yang memiliki senjata yang dimasa datang bisa menyebabkan pemicu

48

masalah. Oleh karena itu pemerintah berusaha mempersatukan laskar-laskar dengan TRI dalam satu wadah tentara yang dapat digunakan sebagai alat perjuangan maupun sebagai alat pemerintah. Usaha ini direalisasikan melalui ketetapan pemerintah tanggal 3 Juni 1947 dalam berita Negara Republik Indonesia No.4 tahun 1947 yang salah satu isinya mengesahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan membubarkan bentuk laskar serta angkatan perang lain yang bersenjata. (Sendam VII/ Diponegoro, 1968: 271). Dalam rangka menyederhanakan operasional Angkatan Perang,

dilaksanakan reorganisasi yang dimulai dari pucuk pimpinan TNI. Dasar dari reorganisasi ini adalah Keputusan Presiden No. 1 tahun 1948 tanggal 2 Januari 1948 yang menetapkan perubahan pucuk pimpinan TNI dipecah menjadi Staff Umum Angkatan Perang dan Markas Besar Pertempuran yang dipimpin oleh Panglima Besar Angkatan Perang Mobil. Dilihat dari segi kepentingan nasional, rasionalisasi merupakan suatu keharusan. Rasionalisasi dalam Angkatan Perang bertujuan untuk menyehatkan kembali organisasi dan kekuatan Angkatan Perang dengan menyederhanakan organisasi agar lebih efisien. Pada dasarnya susunan baik teritorial maupun satuan tempurnya tidak ada perubahan. Susunan yang bersifat mobil bai teritorial maupun satuan tempur inilah yang pada kenyataannya terus berlaku. B. Langkah-langkah Oerip Soemohardjo dalam Penataan TNI Dengan alasan apapun sistem kolonial tidak boleh kembali, dan andai harus terjadi benturan antara Belanda dengan bekas jajahannya, maka ia akan memilih tanah airnya, itu sudah pasti. (Soemohardjo, 1973: 89). Demikian pemikiran seorang Oerip Soemohardjo ketika Indonesia baru saja

49

memproklamasikan diri. Karena itulah ia sudah bersiap siaga apabila tanah airnya membutuhkan jiwa dan raganya. Semenjak Indonesia memproklamasikan diri sebagai bangsa yang merdeka, Purnawirawan KNIL Mayor Oerip Soemohardjo sudah menunggu kelahiran sebuah tentara kebangsaan. Ia merasa sangat naf apabila sebuah negara tidak mempunyai tentara. Ia sudah siap memberikan apa yang dimiliki, terutama kemampaunnya dalam bidang militer jika sewaktu-waktu diperlukan. Harapan Oerip Soemohardjo terwujud, tanggal 5 Oktober 1945, presiden Soekarno mengeluarkan maklumat tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada hari berikutnya, yaitu 6 Oktober 1945, pemerintah mengangkat Supriyadi sebagai Pimpinan Tertinggi TKR. Oerip Soemohardjo tentu saja mengetahui maklumat pembentukan tentara itu. Ia menunggu berita selanjutnya, apakah ia akan diminta pemerintah untuk membantu pembentukan tentara seperti yang didengarnya dari media masa. Tanggal 14 Oktober 1945, Oerip Soemohardjo mendapat telegram dari wakil Presiden Drs. Moh. Hatta yang meminta agar ia berangkat ke Jakarta untuk mendapat perintah langsung dari Presiden tentang pembentukan tentara. Keesok harinya tanggal 15 Oktober 1945 dilakukan sidang kabinet diselenggerakan di gedung Proklamasi, jalan Penggangsaan Timur 56 Jakarta, dibawah pimpinan wakil presiden Drs. Moh. Hatta. Pada sidang ini diputuskan untuk segera membentuk Angkatan Perang Republik Indonesia, dan tugas itu dipercayakan kepada Oerip Soemohardjo. Pemerintah memberi mandat

kepadanya untuk membentuk Tentara Indonesia karena pemerintah sudah

50

mengetahui betul dedikasi Oerip Soemohardjo terhadap bangsa dan negara dari teman-temannya. (Soemohardjo, 1973: 99) Selepas menerima mandat tersebut esok harinya tanggal 16 Oktober 1945, Oerip Soemohardjo langsung ke Yogyakarta untuk menyusun TKR bertempat di Hotel Merdeka dan kemudian pindah ke sebuah gedung di jalan Gondokusoman. Di gedung pemberian Sri Sultan Hamengkubowono IX inilah ia terus bekerja menyusun dan membentuk Tentara Kebangsaan yang profesional. (Soemohardjo, 1973: 100) 1. Langkah Penyusunan Organisasi Tugas yang harus dimulai dari nol membuat Oerip Soemohardjo harus bekerja keras. Karena selama terjun dalam dunia militer yang dikenalnya adalah susunan organisasi Departemen Perang Hindia-Belanda, maka susunan TKR yang dibentuknya pun meniru susunan tersebut. Para personilnya diambilnya dari beberapa kalangan militer yang ada di Indonesia, seperti dari perjuangan. Tugas penyusunan Tentara Keamanan Rakyat yang diembankan kepadanya terasa sangat berat, Oerip Soemohardjo harus mulai eks-KNIL, PETA, dan dari laskar-laskar

menyusunnya dari awal. Beliau memanggil Suryadi, Suryadarma, TB. Simatupang untuk membantunya dalam penyusunan TKR. Langkah pertama yang dilakukannya adalah menetapkan bentuk dan struktur dari organisasi ketentaraan tersebut. Struktur Markas Tertinggi TKR (MTTKR) terdiri dari dua bagian yakni Markas Besar Umum yang dikepalai oleh

51

dirinya langsung dan sepuluh jawatan lainnya yang dikepalai seorang kepala. Sepuluh jawatan tersebut antara lain : a. Bagian Administrasi b. Bagian Keuangan c. Bagian Persenjataan d. Bagian Perhubungan e. Bagian Kesehatan f. Bagian Urusan Kereta Api g. Bagian Zeni h. Bagian Pendidikan i. Bagian Perlengkapan j. Bagian Penyelidikan. (Yudha No 48, 1985: 20) Pada awal pembentukan TKR, Oerip Soemohardjo dengan memperhitungkan jumlah persenjataan dan jumlah divisi yang sudah dibentuk secara inisiatif masing-masing daerah, maka ia hanya membentuk tiga komandemen di Jawa dan satu komandemen di membawahi Sumatera. divisi.

Komandemen-komandemen diatas Komandemen itu antara lain :

beberapa

a. Komandemen I Jawa Barat, dipimpin oleh Mayor Jenderal Didi Kartasasmita yang membawahi : 1) Divisi I, meliputi daerah Banten berkedudukan di Serang. 2) Divisi II, meliputi daerah Jakarta, Bogor, dan Cirebon yang berkedudukan di Linggajati

52

3) Divisi III, meliputi daerah Priangan dan berkedudukan di Bandung. b. Komandemen II Jawa Tengah, Suratman yang membawahi : 1) Divisi IV, meliputi daerah Pekalongan, Semarang, Pati dan berkedudukan di Salatiga. 2) Divisi V, meliputi daerah Kedu, Banyumas dan berkedudukan di Purwokerto. 3) Divisi IX, meliputi daerah Istimewa Yogyakarta, dan dipimpin oleh Mayor Jenderal

berkedudukan di Yogyakarta. 4) Divisi X, meliputi daerah Istimewa Surakarta dan berkedudukan di Solo. c. Komandemen III Jawa Timur, dipimpin oleh Mayor Jenderal Muhammad yang membawahi : 1) Divisi VI, meliputi daerah Madiun, Kediri dan berkedudukan di Kediri. 2) Divisi VII, meliputi daerah Bojonegoro, Surabaya, dan Madura yang berkedudukan di Mojokerto. 3) Divisi VIII, meliputi daerah Malang, Besuki dan berkedudukan di Malang. d. Komandemen IV, dipimpin oleh Mayor Jenderal Suharjo

Harjowardoyo yang membawahi : 1) Divisi I, meliputi daerah Sumatera Selatan bagian selatan dan berkedudukan di Lahat.

53

2) Divisi II, meliputi daerah Sumatera Selatan bagian utara dan timur, Bangka, Belitung dan berkedudukan di Palembang. 3) Divisi III, meliputi daerah Sumatera berkedudukan di Bukittinggi 4) Divisi IV, meliputi daerah Sumatera Timur dan berkedudukan di Medan. 5) Divisi V, meliputi daerah Aceh dan berkedudukan di Bireuen 6) Divisi VI, meliputi daerah Tapanuli dan Nias yang berkedudukan di Sibolga. (Yudha No 48, 1985: 23-24) (lihat lampiran 3) Dibawah divisi masih terdapat sebuah kesatuan yang disebut resimen. Secara umum resimen masih merupakan kekuatan satuan Barat dan Riau yang

infanteri dengan sedikit satuan bantuan tempur berupa satuan artileri dan zeni. Dimana komandemen I Jawa Barat mempunyai tujuh bela resimen, komandemen II Jawa Tengah mempunyai lima belas resimen, dan Komandemen III Jawa Timur mempunyai sembilan resimen Untuk komandemen Sumatera, selain susunan divisi sebagai satuan tempur, maka ditingkat markas komandemen terdapat unsur yang berlainan dengan komandemen yang ada di Jawa. Hal tersebut disebabkan keadaan pertahanan wilayah di Sumatera masa itu. Pada tingkat markas komandemen terdapat beberapa seksi yakni : a. Seksi Personalia dan Sekretariat. b. Seksi Supply dan Keuangan.

54

c. Seksi Operasi dan Organisasi d. Seksi Intelejen. e. Seksi Perhubungan dan Penerangan f. Seksi Provost g. Seksi Koordinasi h. Kesehatan Tentara i. Accounting dan Comptables j. Koordinai Pemerintah k. Politik. (Yudha No 48, 1985: 24-25) Dalam rangka penyempurnaan organisasi TKR, pada tanggal 12 November 1945, Oerip Soemohardjo mengundang seluruh Komandan divisi dan resimen untuk membahas tentang perjuangan tentara untuk menghadapi musuh dan membicarakan tentang struktur organisasi TKR. Selain itu dalam pertemuan yang diadakan di Markas Tertinggi TKR tersebut juga memilih Kolonel Sudirman dari Divisi V Purwokerto sebagai Panglima besar TKR yang dilakukan dengan cara pemungutan suara. Pemilihan Panglima TKR dilakukan karena Supriyadi yang ditunjuk pemerintah menjadi Pimpinan Tertinggi TKR tidak pernah muncul. (Disjarahad, 1972: 41) Setelah mempunyai Panglima Tertinggi TKR, susunan organisasi ini pun tidak berubah. Karena disini Sudirman yang mendapat pangkat Jenderal masih menghormati Oerip Soemohardjo, sebagai tetua sekaligus sebagai Kepala Staff TKR. Ketika TKR (Tentara Keamanan Rakyat)

55

berubah nama menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) susunan organisasi TKR pun tidak berubah. Tanggal 25 Januari 1946, Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) kembali diubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Nama TRI dianggap lebih cocok untuk nama tentara dari sebuah negara yang merdeka. Namun karena masih adanya konflik antara tentara dan laskar yang tidak mau meleburkan diri dalam TRI, maka presiden Soekarno pada tanggal 23 Februari 1946 menetapkan pembentukan Panitia Reorganisasi Tentara. (Disbintal AD, 1986: 11). Banyak kesulitan yang dihadapi panitia, menyatukan pendapat dari sekian banyak orang dari lingkungan sosial dan pendidikan yang berbeda-beda tidak mudah. Ditambah lagi pendapat-pendapat dari

pemerintah. Tanggal 17 Mei 1946 Panitia Besar Reorganisasi Tentara menyerahkan hasil kerjanya kepada Presiden. Secara umum hasil tersebut berupa : a. Markas Besar Umum Tentara Markas Besar Umum terdiri dari : 1) Kepala Markas Besar Umum (MBU) dipimpin langsung oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo 2) Bagian Personalia 3) Bagian Penyelidik 4) Bagian Operasi 5) Bagian Siasat dan Perintah 6) Bagian Pengangkutan

56

7) Sekretariat dan Tata Usaha b. Bentuk kementerian Pertahanan Bentuk kementerian Pertahanan yang ditetapkan oleh panitia meliputi : 1) Direktur Jenderal 2) Kepala Staff 3) Urusan Personalia 4) Urusan Kehakiman 5) Bagian Pendidikan Wajib Militer. 6) Bagian Artileri 7) Bagian Infateri 8) Bagian Topografi 9) Bagian Zeni 10) Bagian Perlengkapan 11) Bagian Pengumpulan Perlengkapan 12) Bagian Kesehatan 13) Polisi Militer 14) Tata Usaha c. Divisi TRI Dalam susunan TRI tidak ada komandemen seperti pada masa TKR. Selain itu jumlah divisi juga dikurangi. Di Jawa sebelumnya sepuluh divisi dikurangi menjadi tujuh divisi, sedang di Sumatera masih tetap enam divisi. Tiap divisi di Jawa menggunakan nama tokoh pahlawan bangsa sesuai dengan wilayah divisi itu, ataupun

57

pengabadian nama pahlawan yang dipandang erat dengan satuan dimana divisi itu berlokasi sebagai nama atau lambang divisinya. Bagi divisi di Sumatera dipergunakan nama binatang sebagai lambang komando divisi. Urutan dari divisi-divisi TRI sebagai berikut : 1) Di Jawa a) Divisi I/Siliwangi, meliputi daerah Jawa Barat dikurangi Cirebon. b) Divisi II/Sunan Gunung Jati, meliputi daerah Cirebon dan Banyumas c) Divisi III/Diponegoro, meliputi daerah Pekalongan, Kedu, dan Yogyakarta. d) Divisi IV/Panembahan Senopati, meliputi daerah Surakarta, Semarang, dan sebagian Madiun. e) Divisi V/Ronggolawe, meliputi daerah Pati, Bojonegoro, dan Madiun. f) Divisi VI/Narotama, Madura. g) Divisi VII/Suropati, meliputi daerah Malang, dan Besuki. 2) Di Sumatera a) Divisi Gajah I berkedudukan di Bireuen b) Divisi Gajah II berkedudukan di Medan-Pematang Siantar c) Divisi Banteng I berkedudukan di Sibolga d) Divisi Banteng II berkedudukan di Bukittinggi e) Divisi Garuda I berkedudukan di Lahat f) Divisi Garuda II berkedudukan di Palembang. (Yudha No 48, 1985: 27-28) meliputi daerah Kediri, Surabaya,

58

(lihat lampiran 4) Dalam susunan yang baru itu, Jenderal Sudirman tetap dalam jabatannya sebagai Panglima Besar, begitu pula halnya dengan Oerip Soemohardjo masih sebagai Kepala Staff dengan pangkat yang sama seperti sebelumnya yakni Letnan Jenderal. Pelantikan kedua pejabat terebut dan para pejabat lainnya dilakukan di Yogyakarta pada tanggal 25 Mei 1946. Dalam upacara pelantikan ini Sudirman, atas nama anggota tentara mengucapkan sumpah yang intinya adalah berisi kesetiaan

terhadap negara dan Undang-Undang Dasar. Dalam usaha MBU untuk menyempurnakan tentara kebangsaan terus berjalan seraya berjuang mempertahankan kemerdekaan. Tetapi di Indonesia terdapat dua kekuatan bersenjata yakni TRI sebagai tentara reguler dan kekuatan bersenjata dari rakyat di luar TRI. Karena itu untuk menjalin persatuan diantara dua kekuatan senjata tersebut pada tanggal 5 Mei 1947, Presiden RI menetapkan dibentuknya sebuah Panitia yang bertugas mempersatukan tentara organisasi tentara. Panitia yang diketuai langsung oleh Presiden dan beranggotakan para pejabat MBU dan Panglima Besar ini pada tanggal 3 Juni 1947 mengeluarkan ketetapan sebagai hasil akhir dari tugas tersebut. Dan salah satu ketetapannya adalah berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai wadah dari seluruh pasukan bersenjata baik TRI maupun Pasukan Rakyat Bersenjata. Dengan diresmikannya TNI, langkah mendasar dan jela keuntungannya adalah bahwa seluruh potensi pejuang bersenjata RI dan lakar-laskar menjadi satu

59

menjadi satu, hanya mengenal satu wadah ketentaraan di seluruh wilayah Republik Indonesia. Sesudah diresmikan berdirinya TNI, maka dalam awal pembentukan TNI susunan organisasinya masih seperti dulu masa TRI, khususnya susunan divisi-divisi TNI. Dan baru diadakan perubahan susunan TNI sesudah terjadinya Agresi Militer Belanda pertama tanggal 21 Juli 1947. Setelah itu, susunan TNI diatur dengan Penetapan Presiden nomor 9 tanggal 27 Februari 1948, tentang reorganisasi dan rasionalisasi. Selanjutnya dalam reorganisasi tubuh TNI diadakan peleburan berbagai instansi dan pembentukan instansi baru. Pada tanggal 8 Maret 1948 Panglima Besar Jenderal Soedirman sesudah mendapat restu dari Presiden membentuk panitia khusus untuk menyelesaikan kesulitankesulitan psikologis menyangkut personalia. Akhirnya beberapa kesulitan dapat diatasi pada tanggal 4 Mei 1948 dengan dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 14 Tahun 1948, yang isinya: a. Kesulitan mobil dan teritorial tersusun dalam Komando Jawa dan Komando Sumatera terdiri atas Divisi dan Teritorium. Semua staf dan kesatuan diluar itu dihapuskan. b. Kepala Staf di Kementrian Pertahanan dan para Panglima Kesatuan Mobil dan Teritorial segera menyelesaikan rekonstruksi dan

rasionalisasi atas kesatuannya sesuai dengan formasi dan organisasi baru beserta susunan personalianya, paling lambat 1 Juni 1948.

60

c. Dalam keadaan bahaya, Staf Umum Angkatan Darat masuk Staf Panglima Besar Angkatan Perang. Berdasarkan keputusan Menteri Pertahanan tanggal 28 Oktober 1948 sebagai pelaksanaan dari Penetapan Presiden No. 14 Tahun 1948, dibentuk dua Komando yaitu Komando Jawa dan Komando Sumatera. Dengan selesainya reorganisasi dan rekonstruksi, maka

terdapatlah kesatuan Komando dalam Angkatan Perang. Kesatuan Komando itu dalam waktu dekat berguna sekali, yakni ketika Belanda melancarkan Agresi Militer yang kedua. 2. Langkah pemajuan personil Pada awal berdirinya tentara kebangsaan di Indonesia, sebagian besar dari personilnya adalah orang-orang dari pasukan Pembela Tanah Air (PETA). Sedangkan pasukan PETA sendiri hanya memperoleh pendidikan militer secara cuma-cuma dari Jepang. Pasukan PETA hanya diberi latihan dasar pertempuran, siasat perang, ilmu senjata yang kesemuanya diberikan secara singkat. Setelah selesai pendidikan yang singkat, maka mereka siap diterjunkan di medan pertempuran. (Disjarahad, 1972:13-14). Setelah Inonesia merdeka, maka dibutuhkan suatu tentara yang ahli serta profesional dan harus mampu menguasai dalam segala hal termasuk didalamnya organisasi ketentaraan. Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo selaku Kepala Staff merasa harus menciptakan tentara yang bermutu. Oleh karena itu ia berkeinginan adanya akademi militer untuk mendidik dan melatih pasukan tentara yang dirasa maih kurang dalam hal kemiliteraannya. Pada tanggal 18 November

61

1945, berdirilah sebuah akademi militer di Tanggerang yang dipimpin oleh Mayor Daan Mogot dan akademi tersebut merupakan akademi militer yang pertama sejak Indonesia merdeka. Namun dengan berdirinya akademi militer tersebut justru

membuat Oerip Soemohardjo mendapat kritik yang mendalam bahwa ia terlalu dipengaruhi oleh hal-hal yang berbau internasional dan segala yang berbau internasional diidentikan dengan kolonialisme. Akhirnya dapat diketahui kritik tersebut berasal dari orang yang tidak mau menempuh pendidikan militer yang teratur yang memerlukan otak dan pikiraan. Karena keinginannya untuk membentuk tentara yang bermutu, Oerip Soemohardjo tetap saja dan menerus mendidik para taruna agar mereka bisa selangkah lebih maju dari pada sebelum mereka masuk akademi. Dalam usaha untuk terus memajukan tentara, Oerip Soemohardjo kembali mendirikan akademi militer di Yogyakarta. Sebagai pimpinan akademi ditunjuk Mayor Jenderal RMA Suwardi. Dan akademi militer inilah yang kemudian berkembang menjadi Akademi Militer Nasional (AMN) dan seterusnya menjadi Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI). (Imran, 1984:84-85) Pada tanggal 8 Desember 1945, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo memerintahkan agar tiap-tiap divisi membentuk polisi tentara untuk tiap-tiap karesidenan. Polisi tentara berpusat pada markas divisi dan bercabang paada tiap-tiap kabupaten. Tugas dari polisi tentara adaalah menyelidiki, mengurus dan menuntut di depan pengadilan tentara perkara kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang bukan

62

anggota TKR. Ditekankan pula bahwa polisi tentara tidak boleh bertindak diluar daerah komandannya. Tentara yang baru dibentuk jauh dari sempurna. Bukan saja di bidang persenjataan dan disiplinnya, tetapi juga di bidang pakaian. Pakaian anggota TKR pada saat itu sangat beraneka ragam, dan hanya satu persamaannya, yakni ban putih bertuliskan TKR berwarna merah yang dipakai pada lengan sebelah kiri Sebagai Kepala Staff, Oerip Soemohardjo harus memikirkan segalanya. Tetapi tidak mungkin untuk menentukan pakaian seragam bagi seluruh anggota tentara karena bahan pakaian masih sulit didapat. Maka untuk menghilangkan ketidakseragaman yang mencolok, ia mengeluarkan maklumat agar setiap komandan sedapat-dapatnya mengusahakan pakaian bagi para anggotanya. Warna seragam tidak perlu sama, tetapi harus diusahakan agar pasukan dalam satu karesidenan mempunyai warna dan bentuk yang sama. Begitu juga tanda-tanda kepangkatan dalam militer. (Imran, 1984: 76) Begitu pula Oerip Soemohardjo harus memperhatikan hal-hal yang kecil-kecil. Beberapa maklumat lain segera dikeluarkan. Dalam satu maklumatnya, ia menegaskan agar TKR tidak menerima perintah dan tidak menjalankan perintah dari orang lain atau instasi lain dan hanya menerima dan menjalankan perintah dari MBU. Hal itu diangap perlu karena masa itu semua anggota diliputi oleh semangat untuk mempertahankan tanah air kekuasaannya kecuali mendapat ijin dari

63

dan bangsa, dan dalam masa seperti itu bisa saja terjadi hal-hal yang dapat merugikan nama TKR. Dalam maklumat yang lain, ia meminta agar TKR menghindari perbuatan yang merusak nama baik TKR seperti merampok atau yang merugikan rakyat. Hal itu karena TKR dibentuk untuk menjaga keamanan dan ketertiban, tidak utuk menindas rakyat tetapi melindungi rakyat. (Imran, 1984: 86-77) C. Konsolidasi dan Pemantapan TNI Tugas yang dihadapi Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo cukup berat. Tentara yang ia bangun dan belum mendekati kesempurnaan harus menghadapi ancaman dari pihak luar. Bentrokan-bentrokan bersenjata dengan pihak Sekutu dan Belanda terjadi di beberapa kota. Persenjataan kurang dan latihan dan pendidikan dalam arti sebenarnya bagi tentara belum dapat dilaksanakan. Namun yang paling mendesak adalah penyempurnaan

organisasi tentara. Tanpa organisasi yang baik, fungsi tentara tidak akan dapat berjalan dengan baik pula. Pemikiran ke arah pembentukan organisasi yang sempurna ini menyita sebagian besar waktu dan tenaganya. (Imran, 1984: 80) Melalui konferensi TKR di Yogyakarta tanggal 12 November 1945, selain memilih seorang Panglima Besar, juga dibicarakan tentang struktur organisasi, posedur kerja, dan landasan perjuangan TKR. Sehingga pada konferensi tersebut dicapai kesepakatan adanya perubahan nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), dan perubahan itu baru dapat dilakanakan pada tanggal 7 Januari 1946 melalui Dekrit Presiden yang isinya sebagai berikut :

64

1. Nama Tentara Keselamatan Rakyat, dahulu Tentara Keamanan Rakyat dirubah menjadi Tentara Republik Indonesia. 2. Tentara Republik Indonesia adalah satu-satunya organisasi militer negara Republik Indonesia. 3. Tentara Republik Indonesia akan disusun atas dasar militer internasional. 4. Tentara Keselamatan Rakyat yang sekarang, yang mulai hari pengumuman ini disebut Tentara Republik Indonesia akan diperbaiki susunannya atas dan bentuk ketentuan yang sempurna. 5. untuk melaksanakan pekerjaan yang disebut di pasal 4, maka oleh pemerintah akan diangkat sebuah panitia, yang terdiri dari ahli militer dan ahli lain yang dianggap perlu. (Tjokropanolo, 1993: 69) Melalui Dekrit Presiden tersebut tersirat suatu kemenangan, terutama yang ada kaitannya dengan perselisihan antara tentara dan badan-badan kelaskaran. Karena bagaimanapun, setelah dekrit diumumkan berarti badanbadan kelaskaran tersebut harus meleburkan diri ke dalam tubuh TRI dan kekuasaan penuh atas militer di seluruh wilayah Indonesia ada pada pundak TRI. Namun banyak juga yang tidak mau dilebur ke dalam tubuh TRI, terutama laskar-lakar pendukung partai-partai politik.

65

Karena masih adanya konflik antara tentara dan laskar yang tidak meleburkan diri, presiden Soekarno memerintahkan Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo membentuk Panitia Besar Reorganisasi Tentara yang

beranggotakan Jenderal Mayor Didi Kartasasmita, Jenderal Mayor TB. Imatupang, Jenderal Mayor Kaprawi, Suryadarma, Kolonel Sutirto, Dr. Mustopo, Prof. Rooseno, 11). Dan pada tanggal 17 Mei 1946, Panitia Besar Reorganisasi Tentara yang dipimpin oleh Oerip Soemohardjo dapat mengumumkan hasil kerjanya dan menyerahkan kepada Presiden. Namun baru tanggal 3 Juni 1946, presiden Soekarno mengeluarkan ketetapan hasil dari kerja panitia. Ketapan Presiden tersebut berbunyi : 1. Mulai tanggal 3 Juni 1946 kami sahkan dengan resmi berdirinya Tentara Nasional Indonesia. 2. Segenap anggota Angkatan Perang yang ada sekarang dan segenap anggota laskar yang bersenjata, baik yang sudah atau yang tidak tergabung di dalam Biro Perjuangan, mulai saat ini dimasukan serentak kedalam Tentara Nasional Indonesia. 3. Pimpinan Tertinggi dari Tentara Nasional Indonesia dipegang oleh : Pucuk pimpinan Tentara Nasional Indonesia yang terdiri dari : a. Kepala b. Anggota c. Anggota : Panglima Besar Angkatan Perang. : Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo : Laksamana Muda Nazir dan Prof, Mr. Dr. Supomo. ( Disbintalad, 1986:

66

d. Anggota

: Komodor S. Suryadarma

e. Anggota : Sutomo f. Anggota g. Anggota : Ir. Sakirman : Djoko Sujono

4. Pucuk pimpinan Tentara Nasional Indonesia menjalankan tugas kewajiban yang mengenai siasat dan organisasi Tentara Nasional Indonesia, selama proses penyempurnaan Tentara Nasional Indonesia sedang berjalan. 5. Semua satuan-satuan Angkatan Perang dan satuan-satuan laskar yang mulai hari tanggal penetapan ini menjelma menjadi satuan Tentara Nasional Indonesia diwajibkan taat dan tunduk pada segala perintah dan intruksi yang dikeluarkan oleh pucuk pimpinan Tentara Nasional Indonesia. (Disjarahad, 1972: 49-50) Dari awal berdirinya Tentara Nasional Indonesia, terus berusaha mengadakan konsolidasi dan pemantapan struktur organisasi agar berbentuk mendekati dasar militer internasional. Berbagai jalan yang ditempuh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo dalam menyempurnakan organisasi Tentara yang akhirnya terbentuk Tentara Nasional Indonesia sebagai wadah dari laskarlaskar perjuangan yang ada di Indonesia.

67

BAB IV PROSES PENATAAN TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI)

A. Faktor Pendorong

dan Penghambat

dalam Pembentukan Tentara

Nasional Indonesia (TNI) 1. Pendorong Pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Indonesia yang baru saja meraih kemerdekaannya belumlah stabil keadaan dan situasinya. Ancaman dari Inggris sebagai utusan dari Sekutu sudah bersiap mengambil alih Indonesia dari pendudukan Jepang. Belum lagi Belanda yang membonceng Inggris juga masih berkeinginan untuk menduduki Indonesia. Untuk itu keamanan bangsa yang baru saja merdeka harus tetap dijaga. Maka perlawanan didaerah-daerah untuk mengusir Sekutu dan Belanda terjadi. Rasa nasionalisme rakyat Indonesia sudah mencapai puncaknya. Dan rasa nasionalisme inilah yang mendorong rakyat untuk tetap berjuang melawan Sekutu. Pemuda-pemuda yang tergabung dalam Barisan Pelopor

menyebar ke seluruh pelosok tanah air untuk membakar semangat rakyat yang memang telah berkobar mengorganisasikan tenaga rakyat di dalam satu kesatuan, sehingga di tiap daerah terdapat laskar rakyat. Di dalam laskar-laskar rakyat ini tergabung tenaga-tenaga yang terdiri kaum pria dan wanita, tua ataupun muda. Dan dari golongan pemuda inilah tampak kegiatan yang luar biasa.

58 68

Organisasi-organisasi pemuda dan kesatuan-kesatuan rakayat itu semua memakai nama daerah masing-masing. Mereka hanya bermodalkan senjata tadisional yang biasa digunakan oleh rakyat di daerah masingmasing, seperti pedang, parang, golok, keris, rencong, badik, sumpit, bambu runcing, dan lainnya. Dengan modal senjata yang sangat sederhana itu barisan-barisan rakyat menyerbu tangsi-tangsi dan pos-pos tentara Jepang untuk merebut senjata. (Disjarahad, 1972: 37) Hampir di setiap daerah terjadi pertempuran antara laskar-laskar dengan tentara Jepang. Dengan direbutnya senjata-senjata Jepang itu barisan-barisan rakyat makin kuat dalam hal persenjataan dan semakin sempurna. Di dalam pengerahan tenaga rakyat yang membuat mereka bangkit semangat dan keberaniannya ini, tidaklah kecil peranan puteraputera Indonesia yang militan, seperti bekas-bekas PETA, Heiho, KNIL, dan lainnya. Pemerintah yang merasa perlunya menyatukan laskar-laskar tersebut supaya tidak berjuang untuk masing-masing daerahnya, maka dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR ini merupakan korps perjuangan yang bertugas untuk menjaga ketertiban dan keamanan rakyat. Jadi BKR belum bisa dikatakan sebagai tentara. Oerip Soemohardjo sebagai orang militer merasa prihatin pada keadaan Indonesia. Meskipun ia merupakan bekas tentara KNIL Hindia Belanda, namun ia masih mempunyai rasa nasionalisme terhadap tanah

69

airnya. Suatu negara merdeka tetapi tidak mempunyai tentara. Suatu negara zonder tentara. (Sinar Harapan, 8 Oktober 1965) Tidak adanya tentara di Indonesia pada awal kemerdekaan bisa dimaklumi. Hal tersebut karena keraguan Ir. Soekarno yang ditunjuk PPKI sebagai presiden dalam membentuk kekuatan bersenjata. Keraguan Soekarno memang beralasan, yakni agar bangsa Indonesia tidak terjadi bentrok dengan Jepang ataupun Sekutu dalam hal ini Inggris yang mewakili Sekutu. Hal tersebut karena Sekutu merasa berhak atas wilayah Indonesia setelah behasil mengalahkan Jepang dalam perang Pasifik. Dan Jepang ditugasi Sekutu untuk menjaga ketertiban Indonesia sampai Sekutu datang di Indonesia. Namun atas desakan banyak pihak, diantaranya dari golongan pemuda dan militer, pada tanggal 5 Oktober 1945 Presiden Soekarno melalui maklumatnya menyatakan berdirinya tentara kebangsaan yang diberi nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dan Oerip Soemohardjo yang ditunjuk Pemerintah untuk membentuk dan menyusun dari tentara kebangsaan tersebut. (Disjarahad, 1972: 38) 2. Penghambat Pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Ketika Indonesia baru saja merdeka, sangat diperlukan sekali dibentuk tentara kebangsaan dan TKR berdiri sebagai tentara reguler Republik karena sebagai pemerintah yang berdaulat layak memiliki tentara. Disamping itu terdapat juga puluhan laskar-laskar perjuangan bersenjata yang bertempur bahu-membahu bersama TKR.

70

Pada awal berdirinya TKR, laskar-laskar perjuangan rakyat sangat membantu terhadap berdirinya tentara. Namun seiring berjalannya waktu, laskar-laskar perjuangan tersebut menjadikan diri sebagai bumerang terhadap TKR. Ditambah pada tanggal 1 November 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat yang isinya menegaskan bahwa hak dan

kewajiban untuk mempertahankan keamanan negara bukanlah monopoli tentara. Berdasar maklumat tersebut semakin tumbuh subur laskar-laskar bersenjata sehingga banyak partai politik dalam memperkuat

kedudukannya mempunyai organisasi kesatuan bersenjata sebagai onderbow-nya. Laskar-laskar tersebut sulit bahkan tidak mau untuk bergabung dengan TKR. Dengan begitu di Indonesia terdapat dua kekuatan bersenjata yakni TKR dan laskar-laskar, dan hal itu sering menjadikan terjadi bentrokan bersenjata diantara keduanya. Dari kalangan tokoh partai politik juga berpendapat bahwa perlu adanya suatu bentuk kekuatan rakyat yang berhak mempunyai tentara sendiri diluar tentara resmi negara. Kekeliruan atas penafsiran pada maklumat tanggal 1 November 1945 tersebut menjadi sumber kesulitan yang membawa berbagai perpecahan. (Tjokropanolo, 1993: 62) Untuk itu Markas Tertingi TKR membuat maklumat yang dikeluarkan tanggal 6 Desember 1945 yang ditandatangani oleh Kepala Staff Umum Oerip Soemohardjo yang berisi tentang pendirian TKR dan ketetapan mengenai laskar-laskar, yang intinya agar laskar yang mepunyai

71

pemimpin supaya disusun secara teratur serta ikut dalam menjaga keamanan dan ketertiban rakyat, selain itu juga segera melaporkan diri ke MTTKR. Selain faktor diatas, faktor dari dalam tubuh juga ikut tentara yang sempurna. Menteri

menghambat proses terbentuknya

pertahanan Amir Syarifuddin yang juga merupakan pimpinan dari TKR ikut menyalahgunakan jabatannya dalam memperkuat partai politiknya. Badan Pendidikan Militer yang mulanya dibawah naungan MTTKR, oleh Amir Syarifuddin pada akhir Mei 1946 dipindahkan ke Kementrian Pertahanan dan namanmya diganti menjadi Pendidikan Politik Tentara (Pepolit). Disini para taruna mendapat indoktrinasi dan diajarkan faham komunis yang merupakan bagian dari partai yang diikutinya. Dari sini sudah jelas tujuan dari menteri pertahanan Amir Syarifuddin untuk memperkuat golongannya sendiri. Dan bahkan tidak mungkin usaha tersebut merupakan salah satu usaha untuk merebut kekuasaan negara. (Amrin, 1983: 83) Dari pemerintah sendiri juga terjadi hambatan dalam

pembentukan tentara, yakni kurang mendukungnya pemerintah terhadap tentara. Yang diinginkan tentara adalah penyelesaian masalah dengan Belanda lebih baik tidak melalui jalan diplomasi, tetapi dengan kekuatan militer. Walaupun TKR belumlah mempunyai jumlah senjata yang memadai namun dengan taktik gerilya tentara sudah siap tempur. TKR merasa melalui jalur diplomasi, Indonesia selalu yang dirugikan. Selain wilayah yang semakin sempit juga wilayah Indonesia

72

hasil dari diplomasi seperti terkepung sehingga sangat mudah nantinya untuk dihancurkan. Bahkan dari pihak Belanda-lah yang selalu

mengingkari dari perjanjian yang telah disepakati, seperti terjadi Agresi Militer yang dilakukan Belanda. Oerip Soemohardjo merasa sangat kecewa atas keputusan

pemerintah yang lebih mengandalkan diplomasi dan tidak mempercayai kepada angkatan perangnya sendiri. Karena itu ia sempat meminta mengundurkan diri dari dinas militer tentara Indonesia. B. Hasil Penataan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Oerip Soemohardjo yang mendapat tugas khusus untuk membentuk dan menyusun tentara kebangsaan. Usaha kerasnya dalam menyusun dan membentuk tentara kebangsaan tidak sia-sia. Dari mulai Tentara Keamanan Rakyat sampai Tentara Nasional Indonesia berbagai rintangan dialaminya. Namun mengingat tugas yang diembannya ia rela demi tanah airnya. Bahkan tugas tersebut hingga akhir hidupnya.

Usaha Oerip Soemohardjo

bersama pemerintah

untuk

menyempurnakan tentara kebangsaan terus berjalan sambil terus berjuang mempertahankan kemerdekaan. Hal itu mengingat bahwa dalam

mempertahankan keamanan dan kedaulatan Republik Indonesia terdapat dua pasukan bersenjata yakni Tentara Republik Indonesia dan laskar atau barisan bersenjata. Untuk menyatukan kedua pasukan bersenjata, maka pada tanggal 3 Juni 1947 presiden Soekarno menetapkan berdirinya Tentara Nasional

73

Indonesia (TNI). TNI ini merupakan penggabungan dari TRI dan laskar atau barisan bersenjata. Dan sejak saat itu di Indonesia hanya terdapat satu kekuatan bersenjata, yakni TNI. Pada awal berdirinya TNI, susunan organisasinya tidak mengalami perubahan. Baru kemudian setelah terjadi Agresi Militer Belanda I tanggal 21 Juli 1947, susunan organisasi TNI mengalami perubahan. Susunan organisasi TNI diatur dengan Penetapan Presiden No 9 tanggal 27 Februari 1948, tentang Reorganisasi dan Rasionalisasi. Dengan peraturan itu susunan TNI diatu menjadi : 1. Staff Umum Angkatan Perang dalam Kementrian Pertahanan 2. Markas Besar Angkatan Perang Mobil. Penetapan Presiden No 9 ini kemudian dikukuhkan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 3/1948 tanggal 6 Maret 1948, tentang organisasi Kementrian Pertahanan dan Angkatan Perang. Dan berkaitan dengan UndangUndang Nomor 3/ 1948 tersebut, terdapat aturan khusus bagi TNI Angkatan Darat yang diatur sebagai berikut : 1. Angkatan Darat dipimpin oleh Kepala Staff Angkatan Darat (KSAD) 2. Kepala Staff Angkatan Darat dibantu oleh : a. Sekretariat Angkatan Darat b. Staff Umum Angkatan Darat c. Staff Khusus Angkatan Darat 3. Staff Umum Angkatan Darat terdiri dari a. Bagian Siasat Perang

74

b. Bagian Staff Umum I (Bagian Penyelidikan Militer) c. Bagian Staff Umum II (Bagian Operasi dan Latihan) d. Bagian Staff Umum III (Pers Militer dan Organisasi) e. Bagian Staff Umum IV (Perbekalan dan Pengangkutan) 4. Staff Khusus terdiri dari : a. Bagian Topografi b. Bagian Intendans c. Bagian Perhubungan dan Pengangkutan d. Bagian Inspektorat Senjata 5. Satuan Angkatan Darat terdiri dari : a. Barisan Infanteri b. Barisan Arteleri c. Barisan Kavaleri d. Barisan Genie 6. Angkatan Darat terdiri atas Komando-komando Teritorial 7. Seorang Komandan Teritorial yang memimpin semua kesatuan Angkatan Darat dalam tiap Teritorium. (Yudha No 28, 1985 : 29) Undang-undang tersebut dimantapkan kembali dengan penetapan Presiden No 14 tahun 1948 tanggal 4 Mei 1948. Sesuai dengan penetapan tersebut dibentuklah satuan Komando Mobil dan Teritorial untuk Jawa dan Sumatera. Komando di Jawa dikenal dengan istilah Markas Besar Komando

75

Jawa (MBKD) dan Markas Besar Komando Sumatera (MBKS) untuk Sumatera. Didalam MBKD terdapat empat satuan tempur dan teritorial yang tersusun dalam empat divisi, yakni : 1. Divisi I, meliputi daerah Jawa Timur dan terdiri dari enam Brigade 2. Divisi II, meliputi daerah Jawa Tengah bagian utara dan terdiri dari dua Brigade dengan empat Sub Teritorium. 3. Divisi III, meliputi daerah Jawa Tengah bagian Selatan dan terdiri dari tiga Brigade dengan empat Sub Teritorium. 4. Divisi IV, meliputi daerah Jawa Barat dan terdiri dari empat Brigade (Yudha No 28, 1985: 32) Sedang untuk MBKS terdiri dari tiga Divisi yakni Divisi VIII, IX, dan X. Sedang satuan teritorial tersusun menjadi lima Gubernur Militer yang masing-masing : 1. Gubernur Militer untuk daerah Aceh, Langkat, dan Tanah Karo 2. Gubernur Militer Sumatera Timur dan Tapanuli 3. Gubernur Militer Sumatera Barat 4. Gubernur Militer Riau 5. Gubernur Militer Sumatera Selatan dan Jambi. (Yudha No 28, 1985, 32) Sedangkan struktur organisasi Angkatan Laut didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Pertahanan Tanggal 4 Pebruari 1950. Kepala Staf

76

Angkatan Laut membawahi tiga orang Kepala Staf yaitu Kepala Staf Operasi, Kepala Staf Khusus, dan Kepala Staf Materiil. Pada masa awal itu masalah reorganisasi penempatan-penempatan personalia dan masalah-masalah psikologis merupakan masalah-masalah utama yang harus dihadapi. Markas Besar AL, selama Aksi Militer II Belanda terletak di Kutaraja Aceh. Sedangkan penyusunan organisasi AURI dimulai setelah

berlangsungnya serah terima Hoofdkwartier Militaire Luchtvaart pada tanggal 27 Juni 1950. Pada saat itu dengan resmi berdiri Markas Besar AU yang merupakan pusat dari perencanaan, koordinasi, dan pengawasan instansiinstansi pelaksana atau komando. Untuk menertibkan pesawat-pesawat udara dan fasilitas-fasilitas penerbangan yang diterima dari ML, dibentuk dua skuadron yaitu Skuadron I berpusat di Cililitan dan Skuadron II di Andir.

77

C. Kekecewaan-Kekecewaan di Masa Akhir Bagi seseorang yang yang biasa bekerja dalam keadaan yang serba teratur, tugas-tugas yang dihadapi dalam suasana revolusi akan menyebabkan ia mengalami pertentangan-pertentangan. Begitu Soemoharjo. Banyak pula dengan Oerip

perasaan yang harus ia korbankan dan banyak

kekecewaan yang harus diterimanya. Rencana awal Oerip Soemohardjo dalam membentuk tentara, ia berkeinginan membentuk tentara rakyat. Karena itu ia setuju dengan adanya laskar-laskar. Hal tersebut dirasa Oerip Soemohardjo sebagai suatu hal yang wajar bagi negara yang baru tumbuh dan sedang berjuang mempertahankan kemerdekaannya. Maklumat yang dikeluarkan oleh Markas Tertinggi TKR (MTTKR) tanggal 6 Desember 1945 dan ditandatangani langsung olehnya sudah jelas menunjukan bahwa TKR mengakui adanya laskar-laskar. Dan sebagaimana Tentara Keamanan Rakyat (TKR), laskar-laskar juga berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan dan adalah kewajiban setiap warga negara untuk mempertahankan negara.namun dalam maklumat tersebut juga dijelaskan pula agar laskar-laskar itu mempunyai disiplin dan pimpinan yang teratur, dilatih secara baik, dan memiliki senjata yang baik. Laskar-laskar lahir sebagai reaksi spontan dari golongan untuk mempertahankan kemerdekaan. Ketika pemerintah membentuk TKR, maka BKR secara otomatis menggabungkan diri dalam TKR. Tetapi laskar-laskar tidak mau bergabung, mereka tetap berdiri sendiri. Jumlah laskar pun semakin banyak ketika pemerintah menganjurkan berdirinya partai politik. Hal tersebut

78

karena setiap partai yang ada membentuk laskar masing-masing. Dengan hal itu, maka tujuan laskar sudah berubah, mereka tidak lagi berjuang

mempertahankan kemerdekaan tetapi sudah berjuang untuk partai tempat mereka bernaung. (Amrin, 1984: 82). Keadaan yang demikian menjadikan semakin melemahnya

perjuangan. Untuk menanggulangi hal tersebut, maka Oerip Soemohardjo bersama Panglima Tertinggi, Jenderal Soedirman, berusaha menertibkan laskar-laskar yang semakin menjamur. Selain itu dengan mengajak pimpinanpimpinan laskar berunding bersama dan mengajak supaya mereka bergabung dengan Tentara Republik Indonesia (TRI). Tetapi hal tersebut selalu ditolak oleh laskar-laskar dan terutama laskar yang selalu membawakan suara partai yang mereka wakili. Keadaan tersebut semakin menjadi buruk ketika di Kementrian Pertahanan dibentuk beberapa badan yang mempekuat posisi laskar. Dengan pembentukan tersebut, Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin, yang berasal dari golongan kiri berusaha mempekuat posisi golongan kiri dalam petahanan. Badan yang pertama dibentuk Amir Syarifuddin adalah Staf

Pendidikan Politik Tentara (Pepolit). Pada awal berdirinya TKR, dilingkungan MTTKR terdapat sebuah badan yang disebut Badan Pendidikan, sesuai dengan saran yang diajukan ketika rapat TKR bulan November 1945. badan ini bertugas memberikan pendidikan politik, agama, kejiwaan, sosial dan pengetahuan umum kepada anggota tentara. Pada akhir Mei 1946 kedudukan Badan Pendidikan dipindahkan ke Kementrian Pertahanan dan diberi nama

79

Pepolit, dan sebagai pimpinannya adalah Sukono Joyopratiko yang sealiran dengan menteri. (Amrin, 1984: 83) Sejak saat itu pendidikan tentara menyimpang dari tujuan awal. Menteri Pertahanan mengeksploitasi badan tersebut untuk kepentingan dan tempat

poliyiknya. Pepolit tumbuh menjadi

tempat indoktrinasi

menyebarkan faham komunis kepada anggota tentara dan laskar-laskar. Pada waktu yang hampir bersamaan, Menteri Pertahanan membentuk pula badan lain yang disebut Biro Perjuangan yang merupakan biro khusus dalam kementrian pertahanan. Biro Perjuangan menjadi wadah bagi laskarlaskar yang awalnya didirikan oleh partai-partai politik. Dengan masuknya laskar kedalam Biro Perjuangan, maka laskar-laskar tersebut diakui sebagai organisasi militer diluar tentara resmi, mendapat biaya dari pemerintah dan hak-haknya sama dengan tentara. Biro Perjuangan diberi pula kekuasaan untuk membentuk Inspektorat- inspektorat Perjuangan di daerah-daerah. Karena berbeda dibawah Kementrian Pertahanan dan pengangkatan

personalianya menjadi wewenang Menteri Pertahanan, maka Biro perjuangan pun tumbuh menjadi alat Menteri Pertahanan. Sebagai Kepala Biro

Perjuangan diangkat Jokosuwono dan Ir. Sakirman yang masing-masing diberi pangkat Mayor Jenderal. Keduanya merupakan tokoh komunis, sealiran dengan Menteri Pertahanan, Amir Syarifuddin. Sejak adanya badan-badan yang dibentuk di Kementrian Pertahanan, Oerip Soemohardjo mulai tidak dapat lagi mempercayai terhadap kebijaksanaan Amir Syaifuddin. Ia merasa kecewa tehadap politik yang

80

dijalankan oleh Amir Syarifuddin selaku Menteri Pertahanan, dan menilai usaha pembentukan badan-badan tersebut sebagai persiapan untuk merebut kekuasaan negara. Karena itu, Oerip Soemohardjo bersama Soedirman berusaha keras untuk menyatukan laskar dengan Tentara Republik Indonesia (TRI). Dengan usaha keras pengabungan laskar dan TRI dapat terealisasi melalui Penetapan Presiden tentang pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang mulai berlaku tanggal 3 Juni 1947. Sebagai seorang militer, Oerip Soemohardjo ingin menghadapi Belanda secara militer, dan jangan menunggu sampai kekuatan Belanda betambah besar, tetapi menyerang Belanda selagi mereka lemah. Hal tersebut juga dibenarkan oleh Panglima Besar Jenderal Soediman. Tetapi pemerintah menempuh cara lain, karena pemerintah lebih mengutamakan pejuangan dibidang diplomasi sedangkan bidang militer hanya dipakai sebagai bantuan untuk diplomasi. Oerip Soemohardjo terpaksa tunduk kepada kehendak pemerintah. Ia pergi ke daerah-daerah untuk melakukan perundingan genjatan senjata yang selalu saja dilanggar oleh pihak Belanda. Sebagai Kepala Staff, ia cukup mengetahui bagaimana TNI dirugikan dalam perudingan-perundingan yang dilakukan pemerintah dengan Belanda. Seperti ketika pemerintah 1946,

menandatangani Persetujuan

Linggarjati tanggal 15 November

hubungan antara pemerintah dengan Belanda tidak menjadi baik. Tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan agresi militer. Pada awal agresi tersebut

81

posisi TNI tedesak tetapi TNI berhasil mengadakan konsolidasi dan mulai melancarkan serangan gerilya. Namun kekecewaan kembali datang, ketika TNI mulai menguasai, pemerintah kembali membuka perundingan dengan Belanda. (Amrin, 1985:86) Sebagai seorang militer, Oerip Soemohardjo tidak terlalu terikat kepada hal-hal yang bersifat konvensional. Dalam situasi yang dihadapi negara pada saat itu dan sesuai pula dengan kekuatan Angkatan Perang, ia lebih menyukai taktik gerilya. Karena itu, ia sangat merasa kecewa ketika pemeintah membuka kembali perundingan dengan Belanda, justru pada saat TNI mulai mampu melancarkan serangan gerilya. Perundingan itu kemudian melahirkan Perjanjian Renville, yang tambah melemahkan posisi Indonesia. Salah satu efek dari Perjanjian Renville adalah penarikan pasukan TNI ke belakang garis demarkasi dan penghijrahan sebagian besar pasukan dari daerah-daerah kantong ke wilayah Indonesia yang sudah bertambah sempit dan terkepun oleh kedudukan Belanda. Oerip Soemohardjo sudah tidak dapat lagi menahan kecewanya terhadap pemerintah. Ia sudah berpikir untuk berhenti dari dinas militernya sebagai Kepala Staff karena pemerintah sudah tidak percaya lagi kepada angkatan perangnya sendiri. Dalam Reorganisasi Angkatan Perang, Menteri Pertahanan Amir

Syarifuddin, mempunyai wewenang yang besar dalam Angkatan Perang. Awal Januari 1948, Presiden mengeluarkan keputusan dari Panitia Reorganisasi. Dari keputusan tersebut posisi Jenderal Soedirman merosot, ia hanya menjadi Panglima Angkatan Perang Mobil dan harus tunduk kepada Kepala Staff

82

Angkatan Perang yang dijabat oleh Perwira yang lebih junior, dan Oerip Soemohardjo sudah tidak lagi menduduki jabatan Kepala Staff karena ia diangkat. Peristiwa-peristiwa pertentangan politik terus terjadi di Indonesia. Kabinet Amir jatuh dan digantikan oleh kabinet Hatta. Dalam kabinet Hatta ini Reorganisasi dan Rasionalisasi Angkatan Perang terus dilanjutkan tetapi dengan tekanan yang berbeda. Jika pada masa kabinet Amir, Reorganisasi dan Rasionalisasi digunakan untuk memperkuat posisi golongan kiri dalam angkatan perang, maka dalam kabinet Hatta justru untuk melemahkannya. Kekalahan Amir membuat Amir bersama golongan kiri lainnya membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang tujuannya untuk menentang kabinet Hatta. Ketegangan politik semakin meningkat dan hubungan dengan Belanda pun semakin memuncak. Perjanjian Renville tidak berhasil menumbuhkan hubungan yang harmonis antara Indonesia dengan Belanda.

83

BAB V PENUTUP

Simpulan Berdasarkan dari paparan pada bab-bab dimuka dapat diambil simpulan dan saran sebagai berikut: 1. Terbentuknya militer di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah

perjuangan nasional rakyat dalam mengusir penjajahan asing yang akan kembali menanamkan pengaruhnya terhadap bangsa Indonesia. Militer

Indonesia terbentuk berawal dari lahirnya sebuah Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada tanggal 22 Agustus 1945. Kemudian ditingkatkan menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada tanggal 5 Oktober 1945. Melalui sebuah PP No. 2/S.D Tahun 1946 TKR yang semula bernama Tentara Keamanan Rakyat diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat, tidak lama kemudian pada tanggal 26 Januari 1946 melalui PP No. 4/S.D Tahun 1946 TKR diubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). hingga akhirnya pada tanggal 7 Juni 1947 diganti lagi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). 2. Terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak bisa dilepaskan

terhadap peran aktifnya Purnawirawan KNIL Mayor Oerip Soemohardjo. Ia mendapat mandat dari Presiden untuk membentuk Tentara Kebangsaan. Ia dipercaya untuk menyusun Tentara Indonesia karena merupakan salah seorang bangsa Indonesia yang mengetahui teknis kemiliteran dari KNIL, didukung

74 84

oleh pengalaman di bidang kemiliteran yang dimilikinya selama tugas di KNIL serta sikap patriotisme dan rasa nasionalisme yang ada pada dirinya. 3. Susunan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang pertama terinspirasi dari susunan Departemen Perang Hindia-Belanda (DVO (Department Van

Oorlog)). Hal itu dilakukan karena dirinya sangat berpengalaman dalam kemiliteran di Departemen Perang Hindia-Belanda tersebut. 4. Susunan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada awalnya berupa Komandemen yang membawahi beberapa divisi. Di Jawa terbentuk tiga Komandemen dengan sepuluh divisi dan di Sumatera satu Komandemen dengan enam divisi. Setelah berganti nama menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) tidak ada lagi komandemen seperti pada masa TKR, selain itu jumlah divisi juga dikurangi. Di Jawa sebelumnya sepuluh divisi dikurangi menjadi tujuh divisi, sedang di Sumatera masih tetap enam divisi 5. Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo merupakan orang yang pertama kali menyusun dan membentuk susunan organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan beliau juga yang berhasil menyatukan antara laskar-laskar perjuangan rakyat dengan tentara nasional Indonesia sehingga di Indonesia tidak ada lagi dualisme kekuatan bersenjata. 6. Hambatan yang ada selama pembentukan dan penyusunan Tentara Nasional Indonesia (TNI) berasal dari laskar-laskar perjuangan rakyat yang tidak mau meleburkan diri dalam tubuh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) atau pun laskar yang memperkuat partai politik. Selain itu hambatan dari dalam berasal

85

dari Kementrian Pertahanan yang merupakan golongan kiri, dan menggunakan tentara sebagai alat untuk memperkuat golongannya itu. 7. Oerip Soemohardjo dapat dianggap sebagai peletak dasar dari Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ia juga sebagai pemikir dalam teknis dan strategi organisasi kemiliteran di Indonesia.

86

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Atmodjo, Sulistyo, 1985. Mengenang Almarhum Panglima Besar Jenderal Sudirman,(Versi ABRI). Jakarta. Yayasan Panglima Besar Jenderal Sudirman Depdikbud. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Disbintalad. 1986. Biografi Jenderal Urip Sumoharjo. Jakarta. Disjarahad. 1972. Cuplikan Sejarah Perjuangan TNI AD. Bandung : Fa. Mulyana -------------. 1982. Sejarah TNI Angkatan Darat (1945-1973), Pertumbuhan TNI Angkatan Darat dan Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan RI. Jakarta : Balai Pustaka -------------. 1985. Sudirman Prajurit TNI Teladan . Pusjarah TNI AD Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah. Terjemahan: Nugroho Notosusanto. Jakarta : Penerbit UI Hatta, Muhamad. 1972 . Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Jarkarta : Tinta Mas Imran, Amrin Drs. 1983. Oerip Soemoharjo. Jakarta : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Nasution, AH. 1963. Tentara Nasional Indonesia. Yogyakarta : Seruling Mas. ---------------. 1970. Tentara Nasional Indonesia. Yogyakarta : Seruling Mas Notosusanto, Nugroho. 1984. Pejuang dan Prajurit. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Pusat Sejarah Militer.----. Mengenang Djenderal Anumerta Soemohardjo. Manuskrip TNI Oerip

Sendam VII Diponegoro. 1968. Sejarah TNI Angkatan Darat Kodam VII Diponegoro. Semarang : Yayasan Diponegoro ------------- . 1968. Sirnaning Yakso Katon Gapuraning Ratu. Semarang

77 87

------------- . 1977. Sejarah Rumpun Diponegoro dan Pengabdiannya . Semarang : Yayasan Diponegoro Soebroto, Rohmah Soemohardjo. 1973. Oerip Soemohardjo, Letnan Jenderal TNI (22 Februari 1893-17 November 1948). Jakarta : Gunung Agung Sumarmo, AJ Drs. 1991: Pendudukan Jepang dan Proklamasi. Semarang. IKIP Press Tirtoprojo, Susanto . 1966 . Revolusi Nasional Indonesia . Jakarta : Pembangunan Tjokropanolo . 1992 . Panglima Besar Jenderal Sudirman, Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia . Jakarta : CV. Haji Masagung Widja, I Gde. 1988. Pengantar Ilmu Sejarah, Sejarah Dalam Perspektif Pendidikan. Semarang : Satya Wacana Zen, Kivlan. 2004. Konflik dan Integrasi Studies 2. Koran dan Majalah Nasional, tanggal 11 November ---Sinar Harapan, tanggal 8 Oktoner 1965 Vidya Yudha No 48 tahun 1985. TNI AD. Jakarta. Institute for Policy

88

Lampiran 1 BOIGRAFI SINGKAT JENDERAL ANUMERTA TNI OERIP SOEMOHARDJO Nama Lahir Jabatan : Oerip Soemohardjo : Purworejo, 22 Februari 1893 : - Kepala Staff Umum TKR - Penasehat Presiden dan Menteri Pertahanan RI serta Dewan Pertimbangan Agung Wafat Pendidikan 1. Eerste School dan Europese Lagere School di Purworejo selesai tahun 1907 2. Opleidingschool Voor Inlansche Ambtenaren (OSVIA) di Magelang selesai tahun 1910 3. Militaire School di Jatinegara lulus tahun 1914 dan dilantik sebagai Letnan Dua. Pekerjaan 1. Jaman Belanda a. Tahun 1914-1917 berpangkat Letnan Dua, bertugas di Jatinegara dan Banjarmasin b. Tahun 1917-1928 berpangkat Letnan Satu, bertugas di Long Iram, Tanah Tidung, Cimahi, Purworejo, Magelang, Ambarawa. c. Tahun 1928-1935 berpangkat Kapten, bertugas di Jatinegara dan Padangpanjang d. Tahun 1936-1938 berpangkat Mayor, bertugas di Purworejo sebagai Komandan Depo Batalyon merangkap Komandan Militer e. Tahun 1938-1941, tidak aktif dalam kemiliteran f. Tahun 1941-1942, diaktifkan kembali dan menjabat sebagai pimpinan Inheemse Militie (Wajib Militer bagi bumi putera) dan mendapat kenaikan pangkat Letnan Kolonel 2. Jaman Jepang : Yogyakarta, 17 November 1948 Pangkat terakhir : Jenderal Anumerta Tentara Nasional Indonesia.

89

Tidak memegang jabatan resmi apapun dan bertempat tinggal di desa Gentan, Yogyakarta. 3. Jaman Indonesia Merdeka a. Aktif sebagai pelopor dari TKR, TRI, yang akhirnya menjadi TNI b. Tahun 14 Oktober 1945, mengeluarkan sumpah setia kepada Indonesia dan melepaskan diri selaku Opsir KNIL c. 15 Oktober 1945 menghadiri organisasi TKR. d. 20 Oktober 1945 diangkat secara resmi sebagai Kepala Staff Umum dan Kementrian Keamanan Rakyat. e. 2 November 1945 membuka Markas TKR di Yogyakarta 1) Awalnya Markas TKR berada di Hoel Merdeka kamar 23, kemudian pindah di jalan Gondokusuman. 2) Susunan organisasi TKR berpola pada Departemen Perang HindiaBelanda, yang membagi pasukan atas Divisi dan Komandemen. Di Jawa terdapat 3 Komandemen dengan 10 Divisi, sedangkan Sumatera 1 Komandemen dengan 6 Divisi. f. 12 November 1945, memimpin Konferensi TKR yang pertama. Salah satu hasil konferensi adalah terpilihnya Jendral Sudirman sebagai Panglima TKR. g. 18 November 1945 meresmikan Akademi Militer yang pertama di Tangerang. h. 17 Mei 1946, 1) Menjadi Ketua Panitia Besar Organisasi TKR 2) Melapor kepada Presiden mengenai : a) Bentuk Kementrian Pertahanan b) Bentuk Ketentaraan c) Kekuatan Tentara d) Organisasi Tentara e) Kedudukan laskar i. 21 Mei 1946 diangkat dengan besluit Presiden : 1) Pangkat : Letnan Jenderal sidang kabinet tentang penyusunan

90

2) Jabatan

: Kepala Staff Markas Besar Umum TKR.

j. 25 Mei 1946 dilantik di Istana Negara di Yogyakarta sebagai Kepala Staff bersama jenderal Sudirman sebagai Panglima k. 14 November 1946 menjadi ketua delegasi perundingan Cease Fire di Jakarta. l. 5 Mei 1947 menjadi anggota Panitia Pembentukan Organisasi Tentara Nasional Indonesia dengan tugas untuk mempersatukan TRI dengan badan kelaskaran menjadi TNI. m. 7 Juni 1947 sesuai dengan penetapan Presiden RI, mulai tanggal 3 Juni 1947 disahkan berdirinya TNI. Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo sebagai Kepala Staff Umum. n. Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo kemudian diangkat sebagai Penasehat Presiden dan Menteri Pertahanan RI serta merangkap sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung. o. 17 November 1948 meninggal dunia dan di makamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

91

Lampiran 2 Struktur Organisasi BKR Sesuai Penetapan PPKI Tanggal 22 Agustus 1945

BPKKP

Pucuk Pimpinan BKR

BKR SYUU

BKR SYUU

BKR SYUU

BKR KEN

BKR KEN

BKR KEN

BKR SON

BKR SON

BKR SON

BKR KU

BKR KU

BKR KU

TONARI RAKYAT

GUMI INDONESIA

Sumber : VIDYA YUDHA No : 48 Tahun 1985

92

Lampiran 3

Struktur Organisasi TKR Tahun 1945

Markas Tertinggi TKR

Markas Besar Umum TKR

Bag. Administrasi

Bag. Perlengkapan

Bag. Perhubngan

Bag. Kesehatan

Bag. Penyelidik

Bag. Pendidikan

Bag. Keuangan

Bag. Persenjataan

Bag. Ur. Ka

Bag. Geni

Komandemen Jawa Barat

Komandemen Jawa Tengah

Komandemen Jawa Timur

Komandemen Sumatera

Div I

Div II

Div III

Div VI

Div VII

Div VIII

Div IV

Div V

Div IX

Div X

Div I

Div II

Div III

Div IV

Div V

Div VI

Sumber : VIDYA YUDHA No : 48 Tahun 1985

93

Lampiran 4 BAGAN ORGANISASI TRI TAHUN 1946

Panglima Besar

Markas Besar Umum

Div I Siliwangi

Div II Sunan G.Jati

Div III Diponegoro

Div IV Pn. Senopati

Div V Ronggolawe

Div VI Narotama

Div VII Suropati

Div Garuda I

Div Garuda II

Div Banteng I

Div Banteng II

Div Gajah I

Div Gajah II

Sumber : VIDYA YUDHA No : 48 Tahun 1985

94

Lampiran 5 BAGAN ORGANISASI TRI TAHUN 1947


Panglima Besar

Markas Besar Umum

Div I Siliwangi

Div II S. G.Jati

Div III Diponegoro

Div IV Pn. Senopati

Div V Ronggolawe

Div VI Narotama

DivVII Suropati

Div VIII Garuda

Div IX Banteng

Div X Gajah

Sumber : VIDYA YUDHA No : 48 Tahun 1985

95

You might also like