You are on page 1of 5

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Pengertian Kualitas Menurut Kotler (1997) kualitas harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan. Berarti bahwa citra kualitas yang baik bukan dilihat dari persepsi pihak perusahaan atau penyedia jasa, melainkan berdasar persepsi para pelanggan. Persepsi pelanggan terhadap kualitas merupakan perilaku menyeluruh atas keunggulan suatu jasa. Hal ini didukung oleh pendapat Gaze dan Buzzell (1989) serta Band (1989) bahwa yang dimaksud kualitas adalah perceived quality, yaitu perspektif pelanggan. Krajewski dan Ritzman (1990) membedakan pengertian kualitas menurut pandangan produsen dan konsumen. Menurut pandangan produsen, kualitas adalah kesesuaian terhadap spesifikasi, dalam hal ini produsen memberikan toleransi tertentu yang dispesifikasikan untuk atribut-atribut kritis dari setiap bagian yang dihasilkan. Dari sudut pandang konsumen, kualitas adalah nilai (value), yaitu seberapa baik suatu produk atau jasa menyediakan tujuan yang dimaksudkan dengan tingkat harga yang bersedia dibayar konsumen dalam menilai kualitas. Yang meliputi perangkat keras yang berupa wujud fisik atau peralatan, pendukung produk atau jasa, dan kesan secara psikologis. Konsistensi kualitas jasa sangat sulit untuk dijaga. Dalam kebanyakan jasa, kualitas terjadi selama proses penyerahan kepada pelanggan, umumnya dalam interaksi dengan pelanggan dan kontak personal dengan perusahaan jasa. Dengan demikian, kualitas jasa memiliki ketergantungan yang tinggi pada kinerja pekerja, sumber organisasional, dimana mereka tidak dapat dikontrol semudah komponen barang diproduksi (Zeithaml dkk, 1998). Sebelum membahas kualitas secara mendalam, terlebih dahulu perlu diketahui tentang pengertian kualitas. Kualitas memiliki banyak definisi untuk hal yang berbeda dan bagi orang yang berbeda. Deming (1992) mendefinisikan kualitas sebagai perbaikan terus-menerus. Ia mendasarkan pada peralatan statistik, dengan proses bottom-up. Deming (1992) tidak memasukkan biaya ketidakpuasan pelanggan, karena menurutnya biaya ini tidak dapat diukur. Strategi Deming adalah dengan melihat proses untuk

mengurangi variasi. Perbaikan kualitas akan mengurangi biaya. Ia memiliki kepercayaan yang tinggi pada pemberdayaan pekerja untuk memecahkan masalah, memberikan kepada manajemen peralatan yang tepat. Menurut Juran dalam Schonberger dan Knod (1997), kualitas adalah fitness for use atau kesesuaian penggunaan. Beberapa alat yang dapat digunakan untuk pemecahan masalah adalah Statistical Process Control (SPC). Ia berorientasi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Juran memperkenalkan quality trilogy yang terdiri: 1) Quality planning atau perencanaan kualitas Perencanaan kualitas merupakan proses untuk merencanakan kualitas sesuai dengan tujuan. Dalam proses ini pelanggan diidentifikasikan dan produk yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan dikembangkan. 2) Quality control atau kontrol kualitas Kontrol kualitas merupakan proses mencapai tujuan selama operasi. Kontrol kualitas meliputi lima tahap: a) menentukan apa yang seharusnya dikontrol b) menentukan unit-unit pengukuran c) menetapkan standar kinerja d) mengukur kinerja e) evaluasi dengan membandingkan antara kinerja sebenarnya dengan standar kinerja 3) Quality improvement atau perbaikan kualitas, untuk mencapai tingkat kinerja yang lebih tinggi. Menurut Taguchi (1987) kualitas adalah loss to society, yang maksudnya adalah apabila terjadi penyimpangan dari target, hal ini merupakan fungsi berkurangnya kualitas. Pada sisi lain, berkurangnya kualitas tersebut akan menimbulkan biaya. Strategi Taguchi (1987) memfokuskan pada peningkatan efisiensi untuk perbaikan dan pertimbangan biaya, khususnya pada industri jasa.

III-2

3.2 Six Sigma 3.2.1 Sejarah Six Sigma dimulai oleh Motorola di tahun 1980-an dimotori oleh salah seorang engineer disana bernama Bill Smith atas dukungan penuh CEO-nya Bob Galvin. Motorola menggunakan statistics tools diramu dengan ilmu manajemen menggunakan financial metrics (yaitu Return on Investment, ROI) sebagai salah satu metrics ataualat ukur dari quality improvement process. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Dr. Mikel Harry dan Richard Schroeder yang lebih lanjut membuat metode ini mendapat sambutan luas dari petinggi Motorola dan perusahaan lain.

3.2.2 Definisi Six Sigma merupakan sebuah metodologi terstruktur untuk

memperbaiki proses yang difokuskan pada usaha mengurangi variasi proses (process variances) sekaligus mengurangi cacat (produk atau jasa yang diluar spesifikasi) dengan menggunakan statistik dan problem solving tools secara intensif. Secara harfiah, Six Sigma (6) adalah suatu besaran yang bisa diterjemahkan secara mudah sebagai sebuah proses yang memiliki kemungkinan cacat (defects opportunity) sebanyak 3.4 buah dalam satu juta produk atau jasa. Six Sigma sebagai alat ukur merupakan sebuah referensi untuk mencapai suatu keadaan yang mendekati bebas cacat. Dalam perkembangannya, 6 bukan hanya sebuah alat ukur, namun telah berkembang menjadi sebuah metodologi dan bahkan strategi bisnis. Menurut Peter Pande,dkk, dalam bukunya The Six Sigma Way: Team Fieldbook, ada enam komponen utama konsep Six Sigma sebagai strategi bisnis. 1) Benar-benar mengutamakan pelanggan. Pelanggan bukan hanya berarti pembeli, tapi bisa juga berarti rekan kerja kita, team yang menerima hasil kerja kita, pemerintah, masyarakat umum pengguna jasa, dll. 2) Manajemen yang berdasarkan data dan fakta. Bukan berdasarkan opini, atau pendapat tanpa dasar. III-3

3) Fokus pada proses, manajemen dan perbaikan. Six Sigma sangat tergantung kemampuan kita mengerti proses yang dipadu dengan manajemen yang bagus untuk melakukan perbaikan. 4) Manajemen yang proaktif. Peran pemimpin dan manajer sangat penting dalam mengarahkan keberhasilan dalam melakukan perubahan. 5) Kolaborasi tanpa batas. Kerja sama antar tim yang harus mulus. 6) Selalu mengejar kesempurnaan. Konsep dasar Six Sigma banyak sekali diambil dari Total Quality Management (TQM) dan Statistical Process Control (SPC) dimana dua konsep besar ini diawali oleh pemikiran-pemikiran Shewhart, Juran, Deming, Crossby dan Ishikawa. Dari segi waktu, bisa dikatakan Six Sigma adalah hasil evolusi terakhir dari quality improvement yang berkembang sejak tahun 1940-an.

3.3 Konsep DMAIC Seperti disebutkan sebelumnya, Six Sigma adalah suatu metode yang sangat terstruktur. Struktur ini terdiri dari lima tahapan yang disingkat DMAIC: Define, Analyze, Improve, Control. Tahap define merupakan langkah operasional pertama dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini akan dilakukan penentuan sasaran dan tujuan perbaikan dan identifikasi cacat produk. Tahap measure merupakan langkah operasional kedua dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Hal-hal yang dilakukan dalam tahap measure yaitu menentukan cacat yang paling vital yang merupakan karakteristik kualitas kunci (CTQ) Tahap analyze mencari dan menemukan akar sebab dari suatu masalah. Dari data-data yang telah dikumpulkan pada tahap define dan tahap measure. Maka perlu dicari proses produksi beserta faktor- faktor yang memengaruhi CTQ. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan diagram sebab-akibat (cause-and-effectdiagram). Diagram sebab-akibat adalah suatu diagram yang menunjukkan hubungan antara sebab-akibat. Berkaitan dengan pengendalian proses statistik, III-4

diagram sebab-akibat dipergunakan untuk menunjukkan faktor-faktor penyebab dan karakteristik kualitas (akibat) yang disebabkan oleh faktor-faktor penyebab itu (Gazpers, 2003). Tahap improve merupakan tahap meningkatkan proses dan menghilangkan sebab-sebab cacat. Pada tahap improve ini digunakan PFMEA ( Potential Failure Mode Effect and Analysis). PFMEA adalah sistematika dari aktivitas yang mengidentifikasi dan mengevaluasi tingkat kegagalan ( failure) potensial yang ada pada system, produk atau proses terutama pada bagian akar-akar fungsi produk atau proses pada faktor-faktor yang memengaruhi produk atau proses. Tujuan PFMEA adalah mengembangkan, meningkatkan, dan mengendalikan nilai-nilai probabilitas dari failure yang terdeteksi dari sumber (input) dan juga mereduksi efek-efek yang ditimbulkan oleh kejadian "failure" tersebut (Hidayat, 2007). Tahap control digunakan untuk mengendalikan pada level tersebut sampai dicapai kestabilan proses sebelum dilakukan siklus DMAIC selanjutnya.

III-5

You might also like