You are on page 1of 21

Kekerasan E-mail Print PDF

Kekerasan (violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya.

Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminism dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan.

Contoh :

Kekerasan fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya di dalam rumah tangga. Pemukulan, penyiksaan dan perkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan. Pelecehan seksual. Eksploitasi seks terhadap perempuan dan pornografi

Gender Dan Kekerasan Kerja Terhadap Perempuan Kekerasan (violence) adalah suatu serangan (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap manusia ini sumbernya macam-macam, namun ada salah satu jenis kekerasan yang bersumber anggapan gender. Kekerasan ini disebut sebagai Gender-related Violence, yang pada dasarnya disebabkan oleh kekuasaan. Berbagai macam

dan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan kekerasan gender ini, baik dilakukan di tingkat rumah tangga sampai ditingkat negara, bahkan dari tafsiran agama Berbagai macam dan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan kekerasan gender ini, diantaranya adalah sebagai berikut : Dalam kasus pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk didalamnya perkosaan dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang memaksa untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Ketidak relaan ini seringkali tidak bisa terekspresikan disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya ketakutan, malu, keterpaksaan baik ekonomi, sosial maupun kultural, tidak ada pilihan dan lain sebagainya. Dalam bentuk pemukulan dan serangan non fisik yang terhadi dalam rumah tangga ( Domestic Violence). Masuk dalam kekerasan rumah tangga ini adalah kekerasan atau penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse). Dalam bentuk penyiksaan organ alat kelamin, (genital mutilation) seperti misalnya penyunatan terhadap anak perempuan. Berbagai alasan dilakukan oleh suatu masyarakat untuk melakukan penyunatan ini. Namun salah satu alasan terkuatnya adalah karena adanya anggapan dan bias gender di masyarakat yakni untuk mengkontrol kaum perempuan. Penyunatan terhadap perempuan ini sudah mulai jarang kita dengar. Dalam prostitusi. Bentuk kekerasan terhadap perempuan yang lain adalah pelacuran (prostitution). Pelacuran adalah suatu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Setiap masyarakat dan negara selalu menggunakan standar ganda terhadap pekerja seks ini. Yang pertama mereka melarang dan menangkapi mereka, tetapi di lain pihak negara juga menarik pajak dari mereka. Sementara mereka dianggap rendah oleh masyarakat, namun tempat konsentrasi mereka selalu saja ramai dikunjungi masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan non fisik, yakni pelecehan terhadap kaum perempuan dimana tubuh perempuan dijadikan obyek demi keuntungan seseorang. Hal ini biasanya disebut dengan pornografi. Jenis kekerasan seperti ini yang banyak terjadi di lingkungan kerja atau pabrik terhadap buruh perempuan adalah dalam bentuk pelecehan seksual (sexual harassment). Ada beberapa bentuk yang dapat dikategorikan pelecehan sexual, antara lain kekerasan terselubung (molestation) yakni memegang atau menyentuh bagian dari tubuh perempuan dalam berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaannya. Pelecehan seksual ini juga sering terjadi di tempat umum, seperti bis kota dan lain sebagainya. Selain itu, pelecehan juga terjadi dalam bentuk penyampaian lelucon jorok secara vulgar dan ofensif dihadapan kaum perempuan, menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor, menginterograsi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau kehidupan pribadinya dalam struktur organisasi kerja, meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan kerja atau promosi di tempat kerja, atau menyentuh/ menyenggol bagian tubuh tanpa serela atau seizin yang bersangkutan. Kasus pelecehan seksual yang terjadi di pabrik terhadap buruh perempuan juga sudah bukan rahasia lagi. Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana (enforced sterilization). Keluarga berencana di banyak tempat juga menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan. Dalam rangka memenuhi target mengkontrol pertumbuhan penduduk. Perempuan

a.

b.

c.

d.

e.

f.

seringkali yang dijadikan korban terhadap program tersebut, meskipun semua orang tahu bahwa persoalannya tidak saja pada perempuan melainkan berasal dari kaum lelaki juga. Namun lantaran bias gender, perempuan dipaksa untuk sterilisasi yang sering kali membahayakan baik fisik maupun jiwa mereka.

Kekerasan

Kekerasan (violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya. Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminism dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan.

Contoh :

Kekerasan fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya di dalam rumah tangga. Pemukulan, penyiksaan dan perkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan. Perkosaan juga bisa terjadi dalam rumah tangga karena konsekuensi tertententu yang dibebankan kepada istri untuk harus melayani suaminya. Hal ini bisa terjadi karena konstruksi yang melekatinya.

Pelecehan seksual (molestation), yaitu jenis kekerasan yang terselubung dengan cara memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Eksploitasi seks terhadap perempuan dan pornografi. Genital mutilation: penyunatan terhadap anak perempuan. Hal ini terjadi karena alasan untuk mengontrol perempuan. Prostitution: pelacuran. Pelacuran dilarang oleh pemerintah tetapi juga dipungut pajak darinya. Inilah bentuk ketidakadilan yang diakibatkan oleh sistem tertentu dan pekerjaan pelacuran juga dianggap rendah

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gender merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan pembedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki dan perempuan. Sementara jenis kelamin merupakan suatu hal yang membedakan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari sifat ciri fisik aslinya (alami) yang melekat pada seseorang sebagai pemberian Tuhan YME yang tidak bisa berubah. Dan sekarang ini masih banyak di masyarakat terutama di Desa Leran, Kec. Manyar, Kab. Gresik tepatnya di Pondok Pesantren Langgar Wetan yang kami identifikasi. Perbedaan jenis kelamin tersebut sangat berpengaruh terhadap gender yang dalam hal ini cukup merugikan kaum perempuan karena adanya diskriminasi gender yang cukup tajam.

B. Saran

Dengan adanya perbedaan jenis kelamin yang secara alami sudah ada dalam diri seseorang sebagai pemberian Tuhan YME yang tidak dapat ditawar lagi. Kita sebagai mahkluk sosial yang demokratis dan saling membutuhkan harus saling menghormati dan menghargai semua orang tanpa memandang gender. Karena pada hakikatnya semua gender mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai manusia sehingga harus mempunyai kesempatan yang sama pula dalam semua hal yang bersifat non-kodrati. Agar kemanpuan yang dimiliki tersebut dapat diekspresikan dengan maksimal untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu dan taraf hidup individu itu sendiri, keluarga, dan lingkungan sekitar.

Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

9 Juli 2012 oleh musniumar

Oleh Musni Umar, Ph.D

Musni Umar Narasumber Pencegahan dan Penanganan KDRT 4 Juli 2012, PMP Jakarta Utara

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) telah menjadi tren kehidupan masyarakat sejak dahulu sampai sekarang. KDRT terjadi pada seluruh lapisan masyarakat, kelas bawah dan paling. Bawah (lower and lower-lower class), kelas menengah (middle class) dan kelas atas (high class).

Hasil survei Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak tahun 2006 oleh BPS dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan menyebutkan bahwa sebanyak 51,1 persen pelaku KDRT adalah suami, 11,7 persen orang tua/mertua, anak/cucu, dan famili); 19,6 persen tetangga, 2,5 persen atasan/majikan, 2,9 persen rekan kerja, 0,2 persen guru, dan 8,0 persen pelaku lainnya (sumber BPS, 2000: 24)

Kekerasan Rumah Tangga menurut pasal 1 butir 1 UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengseraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Pengertian KDRT tersebut sangat luas tetapi pada intinya menyebabkan timbul penderitaan pisik dan non pisik terhadap isteri dan anak. Penderitaan akan menimbulkan kesengsaraan yang lama, dan hal ini dialami oleh perempuan yang berstatus isteri dan anak-anak serta keluarga.

Korban KDRT selain perempuan (isteri), juga anak. Untuk memberi perlindungan pada anak, maka DPR dan Pemerintah mengeluarkan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Dalam UU ini yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1).

Adapun yang dimaksud perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindung anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 2).

Penyebab KDRT

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) penyebabnya banyak faktor. Pertama, bisa kombinasi dari banyak persoalan, seperti faktor ekonomi, sosial, anak, dan lain sebagainya. Kedua, ekonomi. Ketiga, pendidikan dan iman. Keempat, politik. Kelima, konflik bersenjata.

Faktor dominan yang menjadi penyebab KDRT ialah ekonomi. Dalam masalah ini, setidaknya terbagi dua kelompok yang menjadi pelaku dan korban KDRT . Pertama, mereka sudah mapan ekonominya. Kedua, masyarakat miskin.

Mereka yang sudah mapan ekonominya, juga bisa melakukan KDRT. Penyebabnya bisa berbagai macam seperti sudah mempunyai pacar atau isteri simpanan. Selain itu, suami-isteri sibuk, anak kemudian tidak mendapat perhatian, sehingga terlibat bergaulan bebas serta Narkoba. Akibatnya, suami melakukan KDRT ke isteri sebagai pelampiasan kekesalan.

Pada masyarakat bawah, KDRT dilakukan pada umumnya karena kesulitan ekonomi. Suami atau isteri melakukan KDRT untuk melampiaskan depresi atau stres akibat tekanan ekonomi. Kekerasan rumah tangga karena tekanan ekonomi, banyak yang berujung dengan kematian. Bapak membunuh anak dan isteri, kemudian bunuh diri.

Akibat KDRT

Korban KDRT pada umumnya mengalami stres, dan depresi. Selain itu, korban KDRT juga ketakutan, dan trauma.

Tidak hanya itu, korban KDRT biasanya takut bertemu pelaku sehingga putus komunikasi antara korban dan pelaku. cacat fisik, atau berakhir pada perceraian.

Pelaku KDRT apabila kasusnya terungkap dan dilaporkan, biasanya timbul rasa menyesal, malu, rasa dihukum. Ada yang meminta maaf dan tobat, tapi juga tidak jarang memilih dengan jalan perceraian.

Pencegahan

Ada ungkapan, mencegah lebih baik daripada mengobati. Maka dalam masalah KDRT, sangat penting dilakukan pencegahan sebelum terjadi KDRT.

Adapun kiat mencegah terjadinya KDRT antara lain:

1) Keluarga wajib mengamalkan ajaran agama. Bapak harus menjadi imam bagi isteri, anakanak serta keluarga, dan Ibu imam bagi anak-anak dan dalam mengatur urusan rumah tangga.

2) Harus dikembangkan komunikasi timbal balik antara suami, isteri dan anak-anak.

3) Isteri wajib mendidik anak sejak kecil, kalau marah jangan memukul dan berkata kasar.

4) Kalau ada masalah harus diselesaikan dengan dialog.

5) Jika terjadi pertengkaran serius, salah satu atau kedua-duanya harus meminta kepada orang yang dituakan untuk memediasi.

Dalam hal pencegahan KDRT secara dini, Ibu sebagai isteri dan ibu dari anak-anak, secara dini bisa berperan dalam mencegah KDRT melalui pencerahan dan penyadaran kepada putraputrinya.

Selain itu, organisasi massa seperti PKK dapat berperan dalam sosialisasi pentingnya dibangun rumah tangga yg baik, mawaddah (penuh cinta kasih) wa rahmah (penuh kasih sayang).

Penanganan KDRT

Dalam hidup ini, tidak jarang dialami yang sama sekali tidak diinginkan. Ada pepatah untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, yang artinya kehidupan didepqan kita adalah rahasia Allah, untung maupun malang sering datang tiba-tiba tanpa disangka.

Menghadapi masalah KDRT, maka ada pepatah yang penting kita hayati Sebelum ajal berpantang mati. Maksudnya, kehidupan dan kematian ditentukan oleh Tuhan, maka jangan terlalu takut menghadapi masalah karena orang tidak akan mati seblum tiba ajalnya. Oleh karena itu, teruslah berusaha sampai titik darah penghabisan.

Jika KDRT terjadi, maka hadapi dan tangani:

1) Isteri dan suami lakukan dialog. Keduanya harus cari solusi atas masalah yang dihadapi untuk memecahkan masalah yang menjadi penyebab terjadinya KDRT. Jika anak-anak sudah mulai besar, ajak mereka supaya berbicara kepada bapak, kalau KDRT dilakukan bapak (suami).

2) Selesaikan masalah KDRT dengan kepala dingin. Cari waktu yang tepat untuk sampaikan bahwa KDRT bertentangan hukum negara, hukum agama, budaya dan adat-istiadat masyarakat.

3) Laporkan kepada keluarga yang dianggap berpengaruh yang bisa memberi jalan keluar terhadap penyelesaian masalah KDRT supaya tidak terus terulang.

4. Kalau sudah parah KDRT seperti korban sudah luka-luka, maka dilakukan visum.

5. Laporkan kepada yang berwajib telah terjadi KDRT. Melapor ke polisi merupakan tindakan paling terakhir karena bisa berujung kepada perceraian.

Kesimpulan

KDRT merupakan permasalahan yang sering terjadi didalam rumah tangga. Oleh karena itu harus dilakukan pencegahan secara dini. Pendidikan agama dan pengamalan ajaran agama di rumah tangga merupakan kunci sukses untuk mencegah terjadinya KDRT.

Untuk mencegah KDRT di rumah tangga, harus dikembangkan cinta kasih dan kasih saying. Sejak dini. Ibu bisa berperan besar dalam hal mengajarkan kepada anak-anak dirumah untuk saling mencintai dan saling menyayangi. Demikian juga PKK sebagai organisasi dapat memberi terus-menerus pencerahan dan penyadaran kepada kaum perempuan.

Oleh karena pelaku utama KDRT pada umumnya adalah suami, maka peranan para pemuka agama, pendidik, sosiolog dan cendekiawan, harus berada digarda terdepan untuk terus menyuarakan pentingnya rumah tangga sebagai unit terkecil dalam masyarakat untuk dibangun secara baik dan jauh dari KDRT. Supaya terkomunikasikan hal tersebut kepada masyarakat luas, maka peranan dan partisipasi media sangat penting dan menentukan.

Amalkan sebuah pepatah Rumahku Istanaku. Betapapun keadaannya sebuah rumah, maka rumah harus menjadi tempat yang memberi kehangatan, ketenangan, kedamaian, perlindungan, dan kebahagian kepada seluruh anggota keluarga

Kajian KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga(

Post by JOICE ASTOETIE, SH. on Thu Oct 30, 2008 3:33 am Penelitian Hukum: Kekerasan Dalam Rumah Tangga

PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN MELALUI UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA:

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) telah menjadi agenda bersama dalam beberapa dekade terakhir. Fakta menunjukan bahwa KDRT memberikan efek negatif yang cukup besar bagi wanita sebagai korban.[1] World Health Organization (WHO) dalam World Report pertamanya mengenai Kekerasan dan Kesehatan di tahun 2002, menemukan bahwa antara 40 hingga 70 persen perempuan yang meninggal karena pembunuhan, umumnya dilakukan oleh mantan atau pasangannya sendiri.[2] Laporan Khusus dari PBB mengenai Kekerasan Terhadap Perempuan telah mendefinisikan KDRT dalam bingkai jender sebagai kekerasan yang dilakukan di dalam lingkup rumah tangga dengan target utama terhadap perempuan dikarenakan peranannya dalam lingkup tersebut; atau kekerasan yang dimaksudkan untuk memberikan akibat langsung dan negatif pada perempuan dalam lingkup rumah tangga. *3+

Signifikansi menggunakan jender sebagai basis analisa dalam permasalahan ini yaitu untuk mendorong terjadinya perubahan paradigma terhadap KDRT dengan obeservasi sebagai berikut, Daripada menanyakan kenapa pihak pria memukul, terdapat tendensi untuk bertanya kenapa pihak perempuan berdiam diri *4+ Analisa jender mendorong kita tidak hanya menanyakan mengapa pria melakukan kekerasan, tetapi juga menanyakan kenapa kekerasan terhadap perempuan terjadi dan diterima oleh banyak masyarakat. Merestrukturisasi pertanyaan tesebut merupakan hal penting dalam melakukan pembaharuan hukum, khususnya dari perspektif keadilan dan hak asasi manusia (HAM). Kunci utama untuk memahami KDRT dari perspektif jender adalah untuk memberikan apresiasi bahwa akar masalah dari kekerasan tersebut terletak pada kekuasaan hubungan yang tidak seimbang antara pria dan perempuan yang terjadi pada masyarakat yang didominasi oleh pria. Sebagaimana disampaikan oleh Sally E. Merry, Kekerasan adalah suatu tanda dari perjuangan untuk memelihara beberapa fantasi dari identitas dan kekuasaan. Kekerasan muncul, dalam analisa tersebut, sebagai sensitifitas jender dan jenis kelamin. *5+

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan khususnya terhadap perempuan oleh pasangannya maupun anggota keluarga dekatnya, terkadang juga menjadi permasalahan yang tidak pernah diangkat ke permukaan. Meskipun kesadaran terhadap pengalaman kekerasan terhadap wanita berlangsung setiap saat, fenomena KDRT terhadap perempuan diidentikkan dengan sifat permasalahan ruang privat. Dari perspektif tersebut, kekerasan seperti terlihat sebagai suatu tanggung jawab pribadi dan perempuan diartikan sebagai orang yang bertanggung jawab baik itu untuk memperbaiki situasi yang sebenarnya didikte oleh norma-

norma sosial atau mengembangkan metode yang dapat diterima dari penderitaan yang tak terlihat.

Pemahaman dasar terhadap KDRT sebagai isu pribadi telah membatasi luasnya solusi hukum untuk secara aktif mengatasi masalah tersebut. Di sebagian besar masyarakat, KDRT belum diterima sebagai suatu bentuk kejahatan. Bagaimanapun juga, sebagai suatu hasil advokasi kaum feminis dalam lingkup HAM internasional, tanggung jawab sosial terhadap KDRT secara bertahap telah diakui sebagian besar negara di dunia.

Kekerasan dalam rumah tangga seringkali menggunakan paksaan yang kasar untuk menciptakan hubungan kekuasaan di dalam keluarga, di mana perempuan diajarkan dan dikondisikan untuk menerima status yang rendah terhadap dirinya sendiri. KDRT seakan-akan menunjukkan bahwa perempuan lebih baik hidup di bawah belas kasih pria. Hal ini juga membuat pria, dengan harga diri yang rendah, menghancurkan perasaan perempuan dan martabatnya karena mereka merasa tidak mampu untuk mengatasi seorang perempuan yang dapat berpikir dan bertindak sebagai manusia yang bebas dengan pemikiran dirinya sendiri. Sebagaimana pemerkosaan, pemukulan terhadap istri menjadi hal umum dan menjadi suatu keadaan yang serba sulit bagi perempuan di setiap bangsa, kasta, kelas, agama maupun wilayah.

Pada tingkat internasional, kekerasan terhadap perempuan telah dilihat sebagai suatu bingkai kejahatan terhadap hak dan kebebasan dasar perempuan serta perusakan dan pencabutan kebebasan mereka terhadap hak-hak yang melekat pada dirinya. Hal ini menjadi sebuah tantangan dalam pencapaian persamaan hak, pengembangan dan kedamaian yang diakui dalam Nairobi Forward-looking Strategis for the Advancement of Women[6], yang merekomendasikan satu perangkat tindakan untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan. Rekomendasi tersebut dibebankan kepada Pemerintah sebagai kewajiban hukum dan moral untuk menghilangkan KDRT melalui kombinasi berbagai langkah serius.

KDRT merupakan permasalahan yang telah mengakar sangat dalam dan terjadi di seluruh negara dunia. Dalam hal ini, masyarakat internasional telah menciptakan standar hukum yang efektif dan khusus memberikan perhatian terhadap KDRT. Tindakan untuk memukul perempuan, misalnya, telah dimasukan di dalam konvensi HAM internasional maupun regional

yang mempunyai sifat hukum mengikat terhadap negara yang telah meratifikasinya. Dokumen HAM Internasional tersebut meliputi, Universal Declaration of Human Rights (UDHR), the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dan the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang menjadi standar umum mengenai Hak Asasi Manusia, di mana para korban dari KDRT dapat menggugat negaranya masing-masing. [7]

Berbagai pertistiwa kekerasan dalam rumah tangga telah menunjukkan bahwa negara telah gagal untuk memberi perhatian terhadap keluhan para korban. Maka negara dapat dikenakan sanksi jika negara tersebut merupakan anggota dari instrumen internasional sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Hal yang sama dapat pula dilakukan di bawah Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) beserta dengan Protokolnya, dan juga melalui Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment (CAT). Demikian juga, instrumen regional dapat memberikan perlindungan terhadap perempuan yang menjadi korban.

The European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (ECHR), the American Convention on Human Rights (ACHR), bersama dengan the Inter American Convention on the Prevention, Punishment and Eradication of Violence Against Women (Inter-American Convention on Violence Against Women), dan the African Charter on Human and Peoples' Rights (African Charter) merupakan dokumen utama HAM regional yang dapat dijadikan landasan bagi korban KDRT.

Pengaruh negatif dari KDRT pun beraneka ragam dan bukan hanya bersifat hubungan keluarga, tetapi juga terhadap anggota dalam keluarga yang ada di dalamnya. Dalam hal luka serius fisik dan psikologis yang langsung diderita oleh korban perempuan, keberlangsungan dan sifat endemis dari KDRT akhirnya membatasi kesempatan perempuan untuk memperoleh persamaan hak bidang hukum, sosial, politik dan ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Terlepas dari viktimisasi perempuan, KDRT juga mengakibatkan retaknya hubungan keluarga dan anak-anak yang kemudian dapat menjadi sumber masalah sosial.

Kekerasan di antara mereka yang mempunyai hubungan dekat sebagaimana telah dideskripsikan di atas merupakan salah satu masalah utama di Indonesia, sebagaimana juga di seluruh dunia termasuk India. Satu pendekatan umum untuk mengatasi permasalahan ini

haruslah dilihat dari peranan hukum. Dengan demikian, advokasi perempuan baik di Indonesia maupun di India haruslah dengan melakukan perbaikan legslasi dan kebijakan yang mengkriminalisasi tindak-tindakan kekerasan dalam rumah tangga.

Penelitian ini memeberikan fokus pada isu perlindungan terhadap perempuan melalui UU KDRT di negara berkembang, yaitu Indonesia dan India. Deskripsi dan analisa perbandingan dihadirkan untuk memberikan solusi hukum terhadap permasalahan tersebut. Penelitian ini menemukan bahwa masyarakat di suatu negara memberikan pengaruh yang sangat besar dalam pembuatan proses UU KDRT, di mana antara India dan Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda untuk mendefinisikan apa itu KDRT. Sebagai contoh, India menamakan UU-nya sebagai the Protection of Women from Domestic Violence Act, 2005, sementara Indonesia menyebutkannya dengan the Elimination of Violence in Household Act, 2004.

Lebih lanjut, India mengenal dowry dan sati sebagai KDRT yang bersifat spesifik, sementara Indonesia tidak mengenai kedua hal tersebut. Namun demikian, Indonesia memberikan definisi yang sangat luas untuk mengatasi segala bentuk tindakan KDRT. Akhirnya, penelitian ini mencoba untuk memberikan beberapa masukan dalam rangka mengatasi salah satu kekerasan yang sangat signifikan ini.

JOICE ASTOETIE, SH. Admin

Female Jumlah posting: 7 Lokasi: Ciputat - Tangerang Pekerjaan: Pengacara Alamat: Jl. Puring No. 2 Komp. MABAD-PLN Rempoa, Ciputat - Tangerang 15412

Registration date: 29.10.08

Lihat profil user http://joicelaw.forumotion.net

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas - Similar topics Kutipan menarik member Super Junior

:: PUSTAKA HUKUM :: Pustaka Hukum Halaman 1 dari 1 Permissions in this forum: Anda tidak dapat menjawab topik

[X] Close

Indeks Free forum | Budaya | Politics | phpBB | Free forum support | Report an abuse | Create your free blog

penegakan hukum uu KDRT ditinjau dalam perspektif sosiologis hukum

I. PENDAHULUAN Keprihatianan warga masyarakat terutama kaum perempuan dan relawan Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap banyaknya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu faktor pendorong dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Kelahiran undang-undang ini memang tidak dapat dilepaskan dari semangat jaman yang bersifat menglobal tentang tuntutan perlunya penghapusan kekerasan terhadap kaum perempuan dan anak, yang dipandang sebagai kelompok yang paling rentan terhadap perlakuan keras. Disahkannya UU PKDRT tersebut, merupakan suatu pemikiran yang komprehensif dari negara dengan political will untuk memperhatikan dan memberikan perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Namun yang menjadi kendala adalah upaya untuk mengungkap bentuk kekerasan ini tidaklah mudah, selain karena pemahaman/kesadaran masyarakat tentang kekerasan dalam rumah tangga belum sepenuhnya dipahami sebagai bentuk pelanggaran HAM, juga kekerasan dalam bentuk ini masih dilihat dalam ranah privat. Kekerasan yang dimaksudkan oleh Undang-undang ini diartikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Pembentukan UU PKDRT, yang memuat kriminalisasi terhadap perbuatan kekerasan pada perempuan dan anak, merupakan upaya yang telah dirintis sejak lama untuk mewujudkan lingkungan sosial yang nyaman dan membahagikan bebas dari kekerasan. Idealisme ini tentulah bukan sesuatu yang berlebihan, di tengah kehidupan abad ke-21 yang telah serba sangat maju, terasakan sebagai suatu kejanggalan, manakala lingkungan hidup yang seyogyanya dapat memberikan suasana yang memberikan perasaan termanusiakan sepenuhnya ternyata sebaliknya menjadi lingkungan yang dipenuhi kekerasan atau perilaku barbar. Dengan demikian keberhasilan penegakan hukum UU PKDRT ini menjadi dambaan banyak pihak yang merindukan suasana kehidupan damai di dalam rumah tangga. Secara sosiologis, kekerasan merupakan sikap atau tindakan yang dipandang sangat tercela. Oleh karena penegakan norma-norma etika atau moral secara umum bersumber pada kesadaran dalam diri setiap orang, maka dalam situasi seperti sekarang ini tampaknya sangat sulit diharapkan penghapusan kekerasan (dalam rumah tangga) dilakukan diluar kerangka pendekatan yang sifatnya sistematis. Oleh karenanya kemudian dilakukan pendekatan yang sistematis dengan diaplikasikan melalui sarana hukum pidana yakni dengan mengkriminalisasikan perbuatan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

II.PERMASALAHAN Berdasarkan latar belakang pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, masalah yang ingin dibahas adalah Bagaimana prospek penegakan hukum Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) ditinjau dari persepktif sosiologi hukum ?

III.PEMBAHASAN Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh aktivitas kehidupan hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistic. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema law in action bukan pada law in the books Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto , dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-udangan. Kedua, faktor, aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial dimana hkum tersebut berlaku atau diterapkan, berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Sementara itu, Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen system hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni ; komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum(legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture) serta dalam perkembangannya kemudian ditambahkan dengan komponen struktur hukum (Legal Structure). Perumusan norma atau kaidah di dalam undang-undang ini, dituangkan di dalam Pasal-pasal 5 s/d 9. Di dalam Pasal 5 dinyatakan, setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah

tangga terhadap orang lingkup rumah tangganya dengan cara: a. kekerasan fisik; b. Kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga. Di dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa, kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perubahan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Selanjutnya Pasal 7 memuat pernyataan bahwa, kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan /atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Sementara itu, dalam Pasal 8 dinyatakan, kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang menetapkan dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertantu. Kemudian di dalam Pasal 9 dinyatakan, (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut; (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Di dalam Undang-undang ini juga dinyatakan bahwa, tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan (Pasal 51). Demikian juga, tindak pidana kekerasan psikis sebagaimanadimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan (Pasal 52). Demikian juga halnya, tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakandelik aduan (Pasal 53). Sosiologi Hukum menggambarkan bahwa mengenalkan hukum ke dalam arena-arena sosial dalam masyarakat, sama dengan mengantarkan sebuah Undang-undang ke dalam ruang kosong dan hampa udara. Ketika sebuah Undang-undang diantarkan ke suatu arena sosial, maka di dalam arena sosial tersebut sudah penuh dengan berbagai pengaturan sendiri yang dibuat oleh masyarakat, yang disebut sebagai Self Regulation (Moore, 1983). Ini membuat pembicaraan tentang masuknya suatu instrumen hukum yang bertujuan memajukan hak asasi perempuan dan keadilan gender, harus dilakukan secara hati-hati. Arena sosial itu sendiri memiliki hakekat adanya kapasitas untuk menciptakan aturan-aturan sendiri beserta sanksinya. Dalam hal ini aturan aturan tersebut tidak hanya bersumber dari

adat, agama dan kebiasaan kebiasaan lain, tetapi juga mendapatkan pengaruh dari perkembangan dunia global saat ini. Berbagai Self Regulation dalam arena-arena sosial tersebut sangatlah rumit, karena terjadinya saling pengaruh dan adopsi di antara berbagai aturan tersebut satu sama lain. Suatu aturan tidak pernah tidak setelah ditetapkan karena aturan tersebut akan terus dimodifikasi oleh masyarakat. Itu sebabnya arena sosial tersebut disebut sebagai Semi- Autonomous Social Field (Moore, 1983). Moore juga mengatakan bahwa di antara aturan-aturan hukum yang saling bertumpang tindih di dalam arena sosial tersebut, ada satu hukum yang sangat besar pengaruhnya yaitu hukum negara. Namun, ini bukan berarti bahwa hukum negara menjadi satu-satunya hukum yang paling ditaati. Dalam Socio-Legal Perspectives, sangat disadari bahwa aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat, sangat terkait erat dengan budayanya. Aturan-aturan yang ada dalam masyarakat yang memberi celah (loop holes) kepada terjadinya banyak kasus tentang kekera san terhadap perempuan, secara khusus di dalam kehidupan rumah tangga, dikarenakan himpitan hukum negara dengan kentalnya budaya patriarkhi. Budaya hukum yang patriarkhis ini juga bersemai dalam institusi penegakan hukum sebagai bagian dari masyarakat. Hukum sangat erat kaitannya dengan budaya di mana hukum itu berada. Disini Penulis ingin menyatakan bahwa hukum dan budaya bagaikan dua sisi dari satu keping mata uang yang sama, dalam arti hukum itu merumuskan substansi budaya yang dianut oleh suatu masyarakat. Bila budaya yang diakomodasi dalam rumusan-rumusan hukum itu adalah budaya patriarkhis, maka tidak mengherankan apabila hukum yang dimunculkan adalah hukum yang tidak memberi keadilan terhadap perempuan. Dalam hal ini, budaya menempatkan perempuan dan laki-laki dalam hubungan kekuasaan yang timpang dan hukum melegitimasinya. Sebagian Sarjana Hukum percaya, bahwa bila hukum sudah dibuat, maka berbagai persoalan dalam masyarakat berkenaan dengan apa yang diatur dalam hukum tersebut, sudah dapat diatasi atau bahkan dianggap selesai. Mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai objektivitas dan netralitas dalam hukum, dengan mempercayai bahwa hukum yang objektif dan netral akan memberikan keadilan bagi setiap warga masyarakat. Dalam hal ini mereka mengartikan hukum sebatas Undang-undang yang dibuat oleh negara. Hukum negara merupakan entitas yang jelas batas-batasnya, berkedudukan superior dan terpisah dari hukum-hukum yang lain. Pendekatan Sosiologi Hukum menunjukkan bahwa hukum negara bukanlah satu-satunya acuan berperilaku dalam masyarakat. Dalam kenyataannya, hukum-hukum lain yang menjadi acuan berperilaku tersebut justru diikuti secara efektif oleh masyarakat, dikarenakan hukum itulah yang mereka kenal, hidup dalam wilayah sendiri, diwariskan secara turun-temurun dan mudah

diikuti dalam praktik sehari-hari. Sukar untuk mereka bayangkan bahwa ada hukum lain yang lebih dapat diandalkan daripada hukum yang mereka miliki sendiri, terlebih bila hukum itu datang dari domain yang asing, yang mengklaim diri sebagai otoritas tertinggi yaitu negara. Frederich von Savigny tidak dapat menerima kebenaran anggapan tentang berlakunya hukum positif yang sekali dibentuk diberlakukan sepanjang waktu dan tempat. Menurut Savigny, masyarakat merupakan kesatuan organis yang memiliki kestuan keyakinan umum, yang disebutnya jiwa masyarakat atau jiwa bangsa atau volksgeist yaitu kesamaan pengertian dan keyakinan terhadap sesuatu. Maka menurut aliran ini, sumber hukum adalah jiwa masyarakat, dan isinya adalah aturan tentang kebiasaan hidup masyarakat. Hukum tidak dapat dibentuk melainkan tumbuh dan berkembang bersama dengan kehidupan masyarakat. Undang-undang dibentuk hanya untuk mengatur hubungan masyarakat atas kehendak masyarakat itu melalui negara. Bahwa dengan ditetapkannya berbagai perbuatan sebagai tindak pidana (dikategorikan sebagai delik aduan ) di dalam UU PKDRT, secara konseptual, delik aduan merupakan delik atau tindak pidana penuntutannya di pengadilan digantungkan pada adanya inisiatif dari pihak sikorban. Dalam hal suatu tindak pidana dikualifikasikan sebagai delik atau tindak pidana aduan, maka pihak korban atau keluarganyalah yang harus bersikap proaktif untuk mempertimbangkan apakah peristiwa yang baru dialaminya akan diadukan kepada pihak berwajib untuk dimintakan penyelesaian menurut ketentuan hukum pidana. Pengkualifikasian suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana sebagai delik aduan, menunjukkan pendirian pembentuk undangundang Indonesia bahwa kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan ini lebih bersifat pribadi dari pada publik. Konsekuensi logis dari perumusan perbuatan kekerasan dalam rumah tangga sebagai delik aduan di dalam UU PKDRT ini ialah, pihak aparat penegak hukum hanya dapat bersifat pasif, dan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi atau campur tangan dalam suatu urusan warga masyarakat yang secara yuridis dinyatakan sebagai masalah domestik, dan penegakan ketentuan di dalam undang undang ini lebih banyak bergantung pada kemandirian dari setiap orang yang menjadi sasaran perlindungan hukum undang-undang ini. Permasalahan yang muncul dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah bahwa keengganan seorang istri yang menjadi korban kekerasan melaporkan kepada pihak yang berwajib, dalam hal ini polisi, karena beberapa akibat yang muncul dari laporan tersebut adalah perceraian, kehilangan nafkah hidup karena suami masuk penjara, masa depan anak-anak terancam dan lain-lain. Dengan kondisi seperti tersebut maka dilihat dari segi sosiologi hukum, peluang keberhasilan penegakan hukum UU PKDRT ini sanagat sulit untuk mencapai keberhasilan maksimal.

Merujuk pada teori sistem Friedman, sebagaimana disebutkan di bagian depan, faktor kesulitan penegakan hukum itu justru bersumber pada komponen substansi hukumnya sendiri, nilai nilai kultural yang terdapat di dalam masyarakat berkaitan dengan kehidupan rumah tangga itu. Dengan Perumusan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan segala kompleksitas permasalahannya sebagai tindak pidana aduan, menjadikan tindakan-tindakan yang mengarah pada upaya pemidanaan pelakunya justru akan mengarah pada timbulnya dampak-dampak kontra produktif terhadap tujuan dasar pembentukan UU PKDRT itu sendiri. Oleh karena itu, kembali kepada ide dasar penggunaan hukum pidana sebagai sarana terakhir dalam upaya penanggulangan kejahatan (ultimum remedium), maka keberadaan UU PKDRT harus lebih ditekankan pada upaya optimasi fungsi hukum administrasi negara dalam masyarakat. Upaya mengoptimalkan fungsi hukum administrasi negara, dalam kaitan ini yang dimaksudkan adalah upaya untuk mendidik moralitas seluruh lapisan warga masyarakat ke arah yang lebih positif berupa terwujudnya masyarakat yang bermoral anti kekerasan dalam rumah tangga. Negara sepatutnya kembali melihat pada kenyataan dalam masyarakat Indonesia yang sangat patriarkhis untuk selanjutnya dapat menilai dengan lebih bijak mengenai langkah lain yang patut diambil untuk dapat membuat keberlakuan UU PKDRT menjadi efektif di dalam prakteknya dan pada akhirnya dapat berujung pada tujuan pengundangan UU PKDRT, yaitu menghapuskan atau setidaknya meminimalisir kasus-kasus KDRT terhadap perempuan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.

IV. K E S I M P U L A N / P E N U T U P Dilihat dari segi sosiologi hukum, prospek penegakan hukum UU PKDRT akan sulit ditegakkan karena banyak kendala dalam pelaksanaannya, terutama kultur budaya masyarakat Indonesia yang patriakhi yakni mendudukan laki-laki sebagai makhluk superior/kuat dan perempuan sebagai makhluk inferior/lemah.

You might also like