You are on page 1of 7

Dari Hipertensi Menjadi Stroke : Mekanisme dan Strategi Pencegahan Potensial

RINGKASAN
Stroke merupakan penyebab mayor kecacatan dan kematian di seluruh dunia. Pencegahan yang ditujukan pada faktor resiko stroke merupakan strategi yang paling efektif untuk menyelesaikan masalah stroke secara pandemik. Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko terpenting untuk stroke. Memahami secara menyeluruh faktor-faktor yang terlibat pada hipertensi yang menyebabkan stroke dapat membantu untuk menciptakan suatu strategi untuk mencegah terjadinya stroke. Pengobatan antihipertensi yang dipilih harus memiliki dampak terpisah terhadap stroke itu sendiri. Artikel ini merangkum faktor yang terlibat dalam stroke yang diinduksi oleh hipertensi, seperti stress oksidatif, inflamasi, dan kelainan barorefleks, serta strategi potensial sebagai langkah pencegahan yang dapat menjadi petunjuk bagi para klinisi.

Pendahuluan
Stroke merupakan penyebab primer dari kecacatan pada orang dewasa, dan terus menerus menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat. Berdasarkan data World Health Organization pada tahun 2008, stroke merupakan penyebab kematian ke-2 di dunia, dengan proporsi 9.7% pada tahun 2004, dan 12.1% pada tahun 2030. Stroke iskemik merupakan stroke yang paling sering terjadi. Stroke jenis ini terjadi pada 70% dari seluruh kasus stroke di Cina, dan 80-85% dari seluruh kasus di negara barat. Terlepas dari kematian, beban yang ditimbulkan oleh stroke pada sistem kesehatan ialah tingginya biaya perawatan jangka panjang akibat kecacatan mental dan fisik. Diperkirakan sepertiga dari pasien stroke meninggal dalam waktu 1 tahun, dan sepertiga lainnya menjadi cacat permanen. Strategi untuk menurunkan insidensi stroke diantaranya berupa pencegahan stroke, dan penanganan pada pasien dengan stroke akut untuk menurunkan angka kematian dan kecacatan. Walaupun begitu, sekali pasien terkena serangan stroke, pengobatan yang efektif amat terbatas; oleh karena itu, pencegahan merupakan strategi yang paling efektif untuk mengatasi stroke secara pandemik. Faktor resiko stroke sudah dapat ditentukan, dan dapat diklasifikasikan menjadi : (1) tidak dapat dimodifikasi : usia, jenis kelamin, ras, berbagai faktor genetik, dll; (2) dapat dimodifikasi : hipertensi, diabetes, hyperlipidemia, fibrilasi atrial, merokok, obesitas, dll; (3) yang potensial untuk dimodifikasi : alkohol, penyalahgunaan obat, penggunaan kontrasepsi oral, infeksi, sindrom metabolik, dll. Tujuan dari pencegahan stroke adalah untuk mengidentifikasi pasien beresiko tinggi, dan menurunkan faktor resiko yang dapat dimodifikasi dengan cara melakukan intervensi farmakologik, dan non-farmakologik yang tepat. Hipertensi merupakan faktor yang dapat dimodifikasi yang paling utama, dan faktor resiko kedua setelah usia yang dapat menyebabkan stroke. Sekitar 54% stroke di seluruh dunia dapat dikaitkan dengan hipertensi. Orang dengan hipertensi memiliki resiko 3-4 kali lebih besar untuk terkena stroke dibandingan orang tanpa hipertensi.

Mekanisme yang terlibat dalam patogenesis stroke yang di induksi hipertensi.


Ada rentang waktu antara awal kejadian hipertensi dan terjadinya komplikasi dari hipertensi. Dalam rentang waktu yang panjang ini, beberapa perubahan terjadi pada sistem kardiovaskular, termasuk diantaranya sirkulasi otak. Perubahan ini diataranya remodeling vaskular, inflamasi, stress oksidatif, dan disfungsi baroreflex. Kesemua hal ini dapat mengambil peran dalam patogenesis stroke pada pasien dengan hipertensi.

Perubahan pada struktur pembuluh darah otak.


Hipertensi mempunyai efek pada struktur pembuluh darah otak. Faktor mekanik, neural, dan humoral berkontribusi dalam perubahan komposisi dan struktur dari dinding pembuluh darah. Hipertensi menyebabkan terbentuknya plak atherosklerosis pada arteri dan arteriol otak, yang pada akhirnya dapat menyebabkan sumbatan arteri dan menyebabakan iskemik. Lebih lanjut, hipertensi memicu terjadinya lipohyalinosis pada arteri dan arteriol yang memperdarahi substansia alba sehingga menyebabkan infark atau perdarahan otak. Hipertensi memicu terjadinya hipertrofi dan remodeling dari sel otot polos pada ateri sistemik dan otak, dimana keduanya bertujuan untuk mengurangi stress pada dinding pembuluh darah dan melindungi pembuluh darah kecil di bawahnya. Pada keadaan kronik, tekanan intraluminal yang tinggi menyebabkan sel otot polos mengalami hipertrofi, hiperplasia, dan bertumbuh ke dalam lumen arteri, sehingga berakibat pada menyempitnya lumen pembuluh darah dengan atau tanpa disertai penambahan ketebalan dinding pembuluh darah. Hipertensi juga dapat menyebabkan kekakuan dinding pembuluh darah, sehingga berakibat pada peningkatan tekanan nadi, yang merupakan salah satu faktor prediksi stroke yang baik. Faktor yang berperan dalam hipertrofi arteri dan arteriol diantaranya persarafan simpatik perivaskular serta efek mekanis peningkatan tekanan intraluminal terhadap dinding pembuluh darah, yang dimediasi oleh faktor pertumbuhan, stress oksidatif, dan NO. Angiotensin II (Ang II) adalah faktor kunci dalam mekanisme remodeling pembuluh darah otak, dengan Reactive Oxygen Species (ROS) terlibat di dalamnya. ROS merangsang proliferasi sel otot polos dan menginisiasi remodeling matriks ekstraselular melalui aktivasi matrix metalloprotease. Protein matriks ekstraselular, seperti integrin 3, emilin-1, dan elastin-1, memiliki peran yang cukup penting dalam proses hipertrofi, remodeling, dan juga pengkakuan pembuluh darah. Arteriol otak yang mengalami hipertrofi dan remodeling sebenarnya mengurangi kekakuan dindingnya, namun perubahan pada komposisi dinding pembuluh darah otak yang disebabkan oleh hipetensilah yang menyebabkan kekakuan. Oleh karena itu, durasi, dan selisih perubahan tekanan darah, bersama dengan ukuran pembuluh darah merupakan hal yang penting dalam perubahan dinding pembuluh darah yang disebabkan hipertensi.

Perubahan pada aliran arah otak pada hipertensi


Studi baru-baru ini menunjukkan adanya penurunan aliran darah otak pada bagian-bagian tertentu yang dapat berakibat pada munculnya berbagai gejala pada pembuluh darah otak atau menyebabkan lesi di substansia alba. Enhancement pada aliran darah otak yang diakibatkan oleh aktivasi otak umumnya menurun pada hipertensi. Bukti peningkatan aliran

darah otak yang disebabkan oleh vasodilator endotelium ditemukan pada tikus yang hipertensi. Lebih lanjut, reduksi aliran darah otak pada pasien dengan hipertensi diakibatkan oleh peningkatan tonus pembuluh darah akibat disfungsi endotel. Disfungsi endotel ini merupakan akibat dari overproduksi NO, yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah otak sehingga berakibat pada edama otak. Autoregulasi pembuluh darah otak memiliki komponen myogenik, dan neurogenik. Studi eksperimental dan klinis menunjukkan bahwa hipertensi akan menyebabkan pergeseran kurva autorgulasi ke kanan yang berakibat pada peningkatan nilai tekanan. Peningkatan tonus, remodeling, dan hipertrofi yang terjadi pada hipertensi berperan dalam pergeseran autoregulasi dengan mengecilkan lumen pembuluh datah, dan meningkatkan resistensi pembuluh datah otak. Lebih lanjut, disfungsi endotel juga mempengaruhi autoregulasi myogenik. Sebagai akibatnya, tekanan perfusi yang lebih tinggi diperlukan untuk menjaga aliran darah otak yang cukup pada hipertensi untuk mencegah terjadinya hipoperfusi yang diakibatkan oleh obat-obat antihipertensi. Pada penderita hipertensi, pembuluh darah arteri intrakranial melebar, dan menyebabkan melemahnya kemampuan tambahan vasodilatasi sebagai respon terhadap keadaan iskemik dan meningkatkan resiko untuk terjadinya masalah.

Stress oksidatif.
Stress oksidatif merupakan keadaan diamana produksi ROS melebihi kapasitas sistem antioxidant. Baik kelebihan ROS, kekurangan antioxidant, maupun campuran keduanya dapat berakibat pada stress oksidatif. Stres oksidatif yang terus menerus dapat menghabiskan molekul antioksidant, memnonkatifkan enzim antioksidant, dan mempengaruhi sistem antioksidant. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa stress oksidatif berperan dalam patogenesis hipertensi, dan stroke pada jangka panjang. Stress oksidatif pada pembuluh darah otak dapat menyebabkan hipertensi, berdasarkan bukti bahwa stress oksidatif menyebabkan hipertensi pada binatang normal. ROS merupakan mediator mayor yang menyebabkan disfungsi pembuluh darah otak yang dipicu oleh Ang II, melalui aktivasi NADPH oxidase pada pembuluh darah. Enzim NADPH oxidase merupakan sumber utama ROS, dan peningkatan NADPH ini telah menunjukkan berbagai model hipertensi. Peroxinitrit merupakan produk reaksi antara NO dan superoxide radikal. Hal ini dapat memicu kerusakan DNA dan lipid peroxidase, yang berakibat pada perubahan fungsi protein. Peroxinitrit menyebabkan berbagai akibat pada pembuluh darah otak, yang berperan dalam disfungsi pembuluh darah otak yang dipicu oleh Ang II. Lebih lanjut, hipertensi sendiri dapat berakibat pada stress oksidatif pada pembuluh darah otak. Konsep ini disarkan pada bukti bahwa produksi ROS pada pembuluh darah otak meningkat pada hipertensi yang dipicu Ang II. Oleh karena itu, stress oksidatif berperan pada perubahan struktural dan fungsional dari pembuluh darah otak yang diakibatkan hipertensi.

Inflamasi pada hipertensi


Inflamasi merupakan proses vital yang mengarah pada perubahan integritas dinding pembuluh darah dan menunjukkan mekanisme patologik pada berbagai kelainan pembuluh

darah, diantaranya atheroskelrosis, dan aneurisma otak. Penelitian menunjukkan bahwa biomarker inflamasi seperti C-reactive protein (CRP), interleukin-6 (IL-6), leukocyte elastase, lipoprotein (a), itercellular adhesion moleule-1 (ICAM-1), dan E-selectin umumnya meningkat pada pasien yang mengarah ke stroke dibandingkan dengan yang tidak. Inflamasi juga mungkin mengarahakan pada progresivitas yang buruk pada stroke, diakibatkan peningkatan CRP. Belakangan banyak bukti yang menunjukkan adanya peran inflamasi vaskular pada patogenesis hipertensi. Aktivasi circulating leukosit telah diamati pada manusia dan hewan yang hipertensi. Peran inflamasi pada patogenesis hipertensi diperkuat dengan bukti bahwa penurunan atau penghambatan inflamasi berdampak pada penurunan hipertensi. Lebih lanjut, stress oksidatif yang dipicu oleh hipertensi memicu reaksi inflamasi pada pembuluh darah otak, sebagai akibat dari produksi chemokines, cytokines, dan adhesion molecule. Berlawanan dengan itu, inflamasi menyebabkan stress oxidatif, dimana sel imun yang teraktivasi juga menunjukkan produksi ROS dan Ang II yang berakibat pada stress oksidatif dan hipertensi.

Disfungsi baroreflex arterial pada hipertensi.


Baroreflex arterial merupakan mekanisme fisiologis yang penting dalam mengendalikan regulasi tekanan darah. Baru-baru ini, banyak perhatian ditujukan pada kelainan patologis baroreflex arterial. Sensitivitas barorefleks merupakan penunjuk fungsi barorefleks arterial. Kami telah melaporkan bahwa barorefleks arterial berfungsi dalam patogenesis dan prognosis atherosclerosis, aritmia yang dipicu aconitine, dan shock yang dipicu oleh LPS pada binatang. Baroreflex dapat menjadi kurang sensitif pada pasien dengan hipertensi karena terjadi perubahan pada kemampuan distensi pembuluh darah, dan perubahan reflex pada batang otak. Penurunan sensitifitas baroreflex adalah akibat dari perubahan pembuluh darah dan kekakuan arterial.Kelainan baroreflex telah berulang kali menunjukkan terjadinya stroke iskemik dan hemoragik. Sebagai tambahan, disfungsi baroreflex secara signifikan meningkatkan kadan IL-1 dan IL-6 dan juga volume infarct. Pada pasien, perubahan tekanan darah dalam waktu yang singkat setelah stroke iskemik akut berkaitan dengan peningkatan outcome yang buruk pada pasien tersebut. Stroke diperlambat secara signifikan pada tikus dengan sensitifitas baroreflex tinggi ketimbang yang rendah. Lebih lanjut, restorasi sensitifitas baroreflex dengan katamserin dapat mencegah stroke. Kami baru-baru ini menemukan bahwa baik ekspresi maupun fungsi subunit 7 dari reseptor nicotinic asetilkolin menurun pada aorta tikus yang hipertensi. End organ damage (EOD) pada tikus dengan 7-nAChR lebih parah daripada yang tidak. Ketika ditinjau secara bersamaan, dapat dilihat bahwa terdapat suatu hubungan intercausal diantara stress oksidatif, inflamasi, gangguan baroreflex, dan hipertensi.

Strategi prevensi stroke pada pasien dengan hipertensi


Hipertensi merupakan faktor resiko yang dapat dimodifikasi yang terpenting untuk stroke. Pada sebagian besar negara, sampai dengan 30% orang dewasa menderita hipertensi.

Antara tahun 2000 dan 2005, prevalensi hipetensi pada orang dewasa diduga meningkat sampai 60% dan mempengaruhi total 1.56 miliyar orang di seluruh dunia.

Strategi klasik untuk mengontrok tekanan darah.


Terdapat bukti kuat yang menunjukkan bahwa antihipertensi merupakan hal yang penting untuk mencegah stroke, selain umur, jenis kelamin, atau etnik. Sebuah meta analisis dengan sembilan comparative trials secar acak menemukan bahwa penurunan pada tekanan darah systolik sekitar 1-3 mmHg dapat menurunkan resiko stroke sekitar 20-30%. Walau begitu, penghentian antihipertensi dapat berakibat pada penignkatan resiko stroke sampai 28%. Beberapa kategori dari obat antihipertensi seperti diuretik tiazide, angiotensin enzyme inhibitor (ACEIs), angiosentrin receptor blockers (ARBs), -adrenergic receptor blocker, dan calcium channel blocker (CCBs) menurunkan resiko stroke pada hipertensi.. Diantara kesemuanya, CCBs dan ARBs merupakan obat yang memiliki efek proteksi paling kuat terhadap stroke. Sebuah meta analisis menunjukkan penurunan angka stroke mencapai 39% pada pengguna CCB dibanding dengan placebo. CCB juga menunjukkan efek pencegahan yang baik terhadap stroke ketimbang obat-obat lama seperti -blocker, dan diuretik. Candesartan dapat menurunkan stroke non-fatal hingga 27.8%, dan 23.6 % pada semua stroke. Dibandingan obat-obat yang telah lama, pengobatan dengan ARB menunjukkan penurunan stroke hingga 26%. Tidak ada perbedaan potensi untuk mencegah stroke antara CCB dan ARB. Lebih lanjut, untuk menurunkan tekanan darah, ARB dan CCB memiliki kelebihan tambahan. Mekanisme yang mungkin menimbulkan efek tambahan diantaranya : penurunan ketebalan karotid intima-media, dan memperbaiki autoregulasi aliran darah otak. Beberapa perbaikan dimediasi oleh penuruan produksi NO dan penurunan stress oksidatif, serta penurunan inflamasi pada pembuluh darah mikro di otak. Pemberian tunggal obat ini ataupun kombinasi beberapa agent dapat mengoptimalkan keuntungan yang ada dalam mencegah stroke.

Menurunkan stress oksidatif pada hipertensi.


Secara teoritis, stress oksidatif pada hipertensi dapat diperbaiki dengan pemberian antioksidant. Walau begitu, pemberian antioksidant seperti asam ascobat, beta carotene, dan tocopherol tidak menunjukkan keuntungan bahkan meningkatkan resiko stroke. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena kenyataan bahwa stress oksidatif pada hipertensi tidak disebabkan karena kekurangan antioksidant. Oleh karena itu, pemberian agent semacam ini tidak membantu. Lebih lanjut, antioxidant tradisional umumnya nonselektif, dimana malah menetralkan semua radkal bebas, termasuk yang esensial untuk aktivitas fisiologis tubuh. Oleh karenanya, pemberian antioxidan ini malah dapat menyebabkan akumulasi metabolit radikal bebas yang dapat memperparah stress oksidatif. Oleh karena itu, konsumsi agent semacam ini pada penderita hipertensi tidak di sarankan. Intervensi spesifik pada penyebab stress oksidatif pada pasien hipertensi adalah cara yang paling efekstif. Karena Ang II menyebabkan stress oksidatif dan hipertensi, makan obat yang menghambat renin angiotensin system (RAS) amat cocok untuk penanganan kasus ini. Obat seperti CCB dan ARB tidak hanya menurunkan tekanan darah, namun juga mencegah stress oksidatif pada hipertensi. Lebih lanjut, konsumsi makanan yang kaya akan antioksidant alami dan

mikronutrient lain disertai dengan olaharaga rutin dan pengaturan berat badan dapat melawan stress oksidatif. Baru-baru ini, telah dilaporkan bahwa hidrogen dapat berperan sebagai terapi antioksidant dengan menurunkan oksigen cytotoxic secara selektif. Lebih lanjut, hidrogen dikatakan memiliki peran antiinflamasi yang dapat menetralkan rhydroxil radical. Dengan begitu, kita dapat mengharapkan bahwa hidrogen dapat menjadi salah satu strategi pencegahan pada stroke hipertensi.

Menurunkan inflamasi pada hipetensi.


Sudah diterima bahwa inflamasi merupakan mekanisme untuk terjadinya EOD pada hipertensi. Walau begitu, antiinflamasi tradisional tidak dapat digunakan untuk mengontol inflamasi dan mencegah EOD pada hipertensi. Melihat adanya efek proinflamasi dari Ang II, maka antihipertensi yang menyerang ke RAS dapat menjadi sangat menguntungkan sebab mempunyai peranan sebagai antiinflamasi. Sudah sangat dikenal kalau ARB seperti telmisartan dan olmesartan menghasilkan efek antiinflamasi pada saat diberikan dengan menurunkan kadar hsCRP, IL-6, TNF-, dan MCP-1. Lebih lanjut, terapi prestroke dengan ACEIs menurunkan keparahan stroke. ACEIs seperti enalapril, berperan dalam menurunkan inflamasi dengan menekan ICAM-1, E-selectin, dan MCP-1. Selain Angitensin Converting Enzyme, chymase pada sel mast juga berperan dalam mengubah Ang I menjadi Ang II Chymase ini diduga berperan pada pembentukan >80% Ang II di jaringan jantung, dan >60% di arteri.Oleh karena itu, chymase turut berperan dalam patogenesis terjadinya gangguan kardiovaskular seperti artheroskelrosis, dan hypertensi. Baru-baru ini didapatkan bahwa homocystein dapat meningkatkan ekspresi chymase dari sel mast melalui metode stress oksidatif. Lebih lanjut, penghambantan chymase dengan Y-40079 merupakan salah satu cara yang potensial untuk mencegah stroke. Lebih lanjut, statin seperti rosuvastatin dapat menurunkan IL-6 dan TNF-. Terapi pre stroke dengan statin dapat mencegah keparahan stroke. Peroxisome proliferator activated receptro agonist seperti pioglitazone juga mampu menguranig inflamasi dengan menurunkan kadar CRP, ICAM-1. Lebih baru lagi, ditemukan bahwa 7-nAChR menghambat produksi sitokin inflamasi pada macrofag dan monosit.

Pengembalian fungsi barorefleks arterial pada hipertensi.


Baroreflex arterial dapat dipengaruhi secara positif dengan menggunakan beberapa obat, khususnya -blocker. Laporan terbaru menyatakan bahwa -blocker dapat menurunkan keparahan stroke pada pasien dengan stroke iskemik. Telah dilaporkan bahwa -blocker dapat mengurangi edema otak baik pada manusia maupun hewan dengan trauma kepala. Adapun kegunaan -blocker pada stoke akut di manusia masih kontroversial. Ketanserin, antihipertensi baru, merupakan antagonist selektive reseptor 5-HT2A dengan tambahan antagonist reseptor 1-adenoreceptor. Pada penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa katanserin meningkatkan sensitifitas baroreflex pada tikus yang hipertensi. Kataserin menurunkan insidensi stroke fatal melalui ameliorasi sensitifitas baroreflex. Obat lain seperti clonidine, moxonidine, mecobalamine, dan asam folat juga memperbaiki sensitifitas baroreflex.

KESIMPULAN
Stroke merupakan perhatian dalam kesehatan masyarakat. Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko yang penting dalam terjadinya stroke. Kami memberikan pembahasan singkat mengenai berbagai faktor yang terlibat dalam stroke yang disebabkan hipertensi. Walau begitu, hipertensi sering disertai dengan penyakit sistemik lainnya yang meningkatkan resiko stroke. Kombinasi pengobatan disertai dengan gaya hidup yang baik akan lebih efektif untuk mencegah stroke.

You might also like