You are on page 1of 17

TUGAS PRESENTASI KASUS DISPEPSIA & INFEKSI SALURAN KEMIH PADA ANAK

Tutor : dr. Qodri Santosa, Sp.A Kelompok 15

Hafidh Riza P

G1A009127

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER PURWOKERTO 2012

BAB 1 PENDAHULUAN

Dispepsia didefinisikan sebagai gangguan gastrointestinal yang berupa nyeri dan rasa tidak nyaman yang kronik atau rekuren pada bagian atas abdomen, atau di regio epigastrium (Cash, 2002). Rasa tidak nyaman dapat diartikan seperti rasa kembung, rasa penuh di perut, rasa cepat kenyang atau mual. Pada anak, dispepsia termasuk dalam salah satu bagian dari nyeri perut, yang merupakan keluhan yang sering dijumpai pada anak, dimana adanya gejala nyeri ulu hati, cepat kenyang, rasa kembung, dan nyeri epigastrium atau heartburn (Tack, 2011). Nyeri perut yang berlangsung akut lebih sering dihubungkan dengan kelainan organik, dan nyeri perut yang berlangsung kronis atau berulang lebih sering merupakan kelainan non-organik. Meskipun angka perevalensinya cukup tinggi, baik pada anak maupun dewasa, hanya sebagian kecil, yaitu sekitar 25% yang datang ke dokter untuk memeriksa keluhan dispepsia (Brooks, 2002). Di Indonesia, data DEPKES Tahun 2004 menempatkan dispepsia di urutan ke 15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien rawat inap terbanyak di Indonesia dengan proporsi 1,3%. Dispepsia yang oleh orang awam sering disebut dengan sakit maag merupakan keluhan yang sangat sering kita jumpai sehari hari. Sebagai contoh dalam masyarakat di negara negara barat dispepsia dialami oleh sedikitnya 25% populasi. Di negara negara Asia belum banyak data tentang dispepsia tetapi diperkirakan dialami oleh sedikitnya 20% dalam populasi umum, dan lansia serta anak-anak termasuk kategori umur dengan tingkat prevalensi yang cukup tinggi (DEPKES, 2004). ISK (Infeksi Saluran Kemih) sendiri merupakan keadaan bertumbuh dan berkembangbiaknya kuman dalam saluran kemih dengan jumlah yang bernakna. Pada masa neonatus sampai umur 3 bulan, ISK lebih banyak ditemui pada bayi laki-laki. Pada usia 3 bulan hingga 1 tahun, insiden pada laki-laki sama dengan perempuan, sedangkan pada usia sekolah perbandingan penderita laki-laki dan perempuan adalah 1:3-4 (Mansjoer, 2000). ISK sering terjadi pada bayi dan anakanak kecil dan merupakan suatu keadaan yang perlu dicermati karena 5% dari penderitanya hanya menunjukkan gejala yang amat samar dengan risiko

kerusakan ginjal yang lebih besar dibandingkan anak-anak yang sudah lebih besar. Pengenalan awal, pengobatan yang tepat dan mengetahui faktor dasar yang mempermudah infeksi lebih jauh penting untuk mencegah perjalanan penyakit untuk menjadi pyelonefritis atau urosepsis dan menghindari sekuele akhir seperti jaringan parut pada ginjal dan gagal ginjal (Stanley, 2006). Karena tingginya angka kejadian ISK dan dispepsia pada anak-anak dengan gejala klinis yang tidak khas dan risiko komplikasi yang cukup berat, maka perlu ada bahasan tersendiri untuk mengenali dan melakukan tatalaksana ISK dan dispepsia yang tepat agar dapat meminimalisir komplikasi dan menurunkan angka kejadian ISK serta dispepsia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I.

Definisi & Klasifikasi Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala atau keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perutrasa penuh atau begah. Dispepsia sendiri dibagi dalam beberapa jenis: 1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik yang nyata sebagai penyebabnya, misalnya adanya tukak (luka) lambung, usus duabelas jari, radang pankreas, radang empedu, adanya kelainan struktural bawaan, adanya penyakit sistemik seperti tuberkulosis, gagal ginjal, hepatitis, sirosis hepatis, dan lain-lain (Djoyodiningrat, 2007; Bharucha, 2010). 2. Dispepsi non-organik atau fungsional, dimana bila dispepsia ini terjadi tanpa penyebab yang jelas. Kelainan psikis, stress, dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan dispepsia fungsional (Ringerl, 2005). Menurut Pertemuan Konsensus Rome III, disebutkan bahwa dalam mendiagnosis seorang anak dikatakan memiliki dispepsia fungsional berdasarkan dalam beberap krteria, yaitu adanya gejala rasa tidak nyaman yang peristen atau rekuren di regio gastroduodenal atau epogastrium, tidak ada bukti bahwa keluhan dispepsia berkurang dengan defekasi atau tidak ada hubungannya dengan frekuensi defekasi atau perubahan bentuk tinja, dan tidak ada bukti penyakit organik dimana terjadi sebuah kelainan yang dapat menerangkan penyakit tersebut terjadi. Rasa nyeri atau rasa tidak nyaman pada epigastrium tersebut harus muncul minimal sekali dalam satu minggu atau paling lama muncul selama dua bulan untuk didiagnosis sebagai dispepsia fungsional (Loening-Baucke, 2006). ISK sendiri merupakan keadaan dimana bertumbuh dan

berkembangbiaknya kuman dalam saluran kemih dengan jumlah yang bermakna yang dapat ditemukan pada urin, dimana bakteri merupakan

penyebab paling banyak dalam kasus ini. Dalam keadaan normal, bakteri yang masuk ke traktus urinarius akan terbuang dari tubuh melalui urin. Namun, pada keadaan tertentu bakteri dalam jumlah yang cukup dan patogenitas yang meningkat dapat melewati sistem pertahanan tubuh dan menyebabkan infeksi, yang dapat berlanjut pada organ-organ traktus urinarius lainnya, seperti uretra, vesica urinaria, dan ginjal (NIH, 2011).

II.

Etiologi dan Predisposisi Dispepsia sendiri dapat dibedakan dari etiologinya, yaitu dispepsia organik dimana etiologinya disebabkan oleh faktor adanya pengaruh obatobatan atau makanan yang menyebabkan perubahan organik berupa kelainan bentuk atau fungsi dari gaster. Beberapa hal yang dapat menjadi etiologi serta faktor risiko terjadinya dispepsia organik antara lain: 1. Obat-obatan seperti NSAID, antibiotik (macrolide, metronidazole), teofilin, etanol, kortikosteroid, levodopa, quinidine, dan lain-lain. 2. Intoleransi makanan, dimana terjadi alergi susu, telur, makanan laut, ataupun makanan lain. 3. Kelainan struktural, dimana terjadi akalasia esofagus, obstruksi esofagus, karsinoma gaster, ulkus gaster dan duodenum, dan sebagainya. 4. Adanya penyakit metabolik atau sistemik seperti TB, gagal ginjal, hepatitis, diabetes mellitus, dan sebagainya (Greenburger, 2008). Sementara, untuk dispepsia fungsional, etiologinya tidak begitu jelas, namun biasanya penderita peka terhadap produksi asam lambung yang meningkat. Selain itu, kelainan psikis, stress dan faktor lingkungan sering menimbulkan dispepsia fungsional (Ringerl, 2005). ISK sendiri sering disebabkan oleh bakteri yang berasal dari saluran pencernaan, seperti E. coli yang merupakan penyebab paling banyak dari kasus-kasus ISK pada anak. Biasanya infeksi disebabkan karena infeksi ascending dimana kuman dapat menembus pertahanan alamiah dari traktus urinarius sehingga menginfeksi organ-organ traktus urinarius. Anak yang sering menahan kencing merupakan faktor risiko terjadinya infeksi saluran

kemih. Penahanan kencing dapat menyebabkan bakteri tumbuh pada saluran urin. Riwayat berkemih yang sedikit pun dapat menjadi faktor risiko ISK, dimana dalam hal ini berarti jumlah kuman yang dibuang dari tubuh mengalami penurunan. Konstipasi kronik pada anak dapat menjadi faktor risiko ISK. Infeksi lain seperti batuk, pilek, atau infeksi telinga pada beberapa anak dapat berperan dalam munculnya ISK (NIH, 2011).

III.

Patofisiologi Mekanisme dari munculnya dispepsia tergantung dari penyebab yang mendasarinya. Umumnya, ada beberapa hal yang menyebabkan

munculnya keluhan dispepsia. 1. Abnormalitas fungsi motorik, terutama kelainan yang menyebabkan pengosongan lambung tertunda yang dianggap sebagai mekanisme patofisiologi yang mendasari keluhan-keluhan dispepsia, meskipun mekanismenya belum sepenuhnya jelas. Dalam beberapa penelitian, dibuktikan 50% pasien dispepsia non-ulkus memiliki keterlambatan pengosongan makanan dalam gaster. Demikian pula pada studi monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum postprandial,

tetapihubungan antara kelainan tersebut dengan gejala-gejala dispepsia tidak jelas. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa fundus gaster yang "kaku" bertanggung jawabterhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari corpus gaster menuju ke bagian fundus dan duodenum diatur oleh refleksvagal. Pada beberapa pasien dyspepsia non ulkus, refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat (Jones, 2003; Tack, 2011). 2. Perubahan sensitifitas gaster dan duodenum, dimana lebih 50% pasien dispepsia non ulkus menunjukkan sensifitas terhadap distensi

gaster atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat: makanan yang sedikit mengiritasi sepertimakanan pedas, distensi udara, gangguan

kontraksi

gaster intestinum

atau distensi dini bagian

Antrum

postprandial dapat menginduksi nyeri pada bagian ini (Greenburger, 2008). 3. Stress dan faktor psikososial Penelitian menunjukkan bahwa didapatkan gangguan neurotik dan morbiditas psikiatrilebih tinggi secara bermakna pada pasien dispepsia non ulkus daripada subyek kontrol yang sehat. Banyak pasien mengatakan bahwa stres mencetuskan keluhan dispepsia. Beberapa studimengatakan stres yang lama menyebabkan perubahan aktifitas vagal, berakibat gangguanakomodasi dan motilitas gaster.Kepribadian dispepsia non ulkus menyerupai pasien Sindrom Kolon Iritatif dan dispepsiaorganik, tetapi disertai dengan tanda neurotik, ansietas dan depresi yang lebih nyata dansering disertai dengan keluhan nongastrointestinal ( GI ) seperti nyeri muskuloskletal, sakit kepala dan mudah letih. Mereka cenderung tiba-tiba menghentikan kegiatan sehari-harinya akibat nyeri dan mempunyai fungsi sosial lebih buruk dibanding pasien dispepsiaorganik. Demikian pula bila

dibandingkan orang normal. Gambaran psikologik dispepsia non ulkus ditemukan lebih banyak ansietas, depresi dan neurotik (Citra, 2003). Pada ISK, mekanisme yang paling sering terjadi adalah dimana kuman menyebar secara asendens. Gangguan dari flora normal periuretra yang merupakan bagian dari mekanisme pertahan tubuh dalam melawan bakteri patogen mempermudah terjadinya ISK. Bakteri patogen tersebut dapat mencapai kandung kemih dan berkembang biak bila infeksi terjadi. Bakteri dapat naik ke saluran kemih atas sebab aliran turbulen urine pada saat berkemih yang normal, ketidakmampuan berkemih, atau kebiasaan menahan kencing sehingga mempermudah perkembangbiakan bakteri. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya kolonisasi di periuretra yang menimbulkan keluhan-keluhan seperti disuria (Fisher, 2012; NIH, 2011).

IV.

Diagnosis 1. Dispepsia A. Anamnesis Diagnosis dispepsia mencakup dari anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan. Pada anak dengan dispepsia, keluhan yang sering muncul adalah sakit perut pada bagian ulu hati, yang kadang disertai rasa mual, muntah, kembung, dan sebah. Perlu pula ditanyakan sejak kapan keluhan muncul dan adakah berkaitan dengan konsumsi makanan terakhir, berapa sering muncul keluhan dispepsia, konsumsi obatobatan terakhir, adakah keluhan muntah darah, BAB berdarah, riwayat berkemih seperti jumlah dan warna urin, riwayat defekasi seperti warna dan bentuk feses, riwayat psikososial dan stressor terakhir perlu ditanyakan untuk menyingkirkan diagnosisdiagnosis lain dan mengetahui apakah dispepsia yang dialami pasien termasuk jenis organik atau non-organik (Delaney, 2001). Dalam riwayat penyakit dahulu, perlu ditanyakan apakah pernah menderita gejala dispepsia sebelumnya, pernah batuk atau nyeri dada, riwayat operasi, riwayat penyakit metabolik seperti diabetes, atau penyakit sistemik seperti TB, dan riwayat pengobatan terdahulu dan saat ini (Delaney, 2001). B. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dilakukan menyeluruh meski keluhan utama terdapat pada abdomen. Perhatikan keadaan umum pasien dan tanda vital. Periksa toraks, termasuk paru dan jantung. Perhatikan apakah ada kelainan bentuk atau bunyi dari jantung dan paru. Perhatikan pula keadaan ekstremitas. Dalam sirosis hepatis dimana kadang terdapat keluhan nyeri epigastrium dapat ditemukan edema. Pada pemeriksaan abdomen, lakukan inspeksi apakah terdapat pembesaran, spider navy, ikterus, atau kelainan lain. Dalam palpasi, dapat ditemukan rasa nyeri tekan pada epigastrium pada saat palpasi. Diperhatikan pula apakah ada gejala

peritonitis seperti nyeri tekan diseluruh bagian abdomen, adakah kekakuan otot abdomen adakah pembesaran organ seperti hepar ataupun limpa. C. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan dispepsia antara lain adalah: 1. Laboratorium. Berupa pemeriksaan darah lengkap, bagaimana keadaan hemodinamik pasien yang dapat dinilai dari kadar hemoglobin dan hematokrit, apakah ada faktor infeksi seperti leukositosis. 2. Barium enema, untuk memeriksa esofagus, lambung, atau usus halus yang dapat dilakukan apabila terdapat keluhan disfagi dan muntah hebat, penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk dengan asupan makanan. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi kelainan struktural dinding / mukosa saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak atau gambaran ke arah tumor (Mansjoer, 2007). 3. Endoskopi, bisa dilakukan untuk memeriksa esofagus, lambung atau usus halus dan untuk mendapat contoh jaringan untuk biopsi gastrointestinal. Endoskopi

merupakan gold standard dari penentuan penyebab dispepsia. Endoskopi dianjurkan apabila penderita

dispepsia tersebut mengalami keadaan alarm symptoms, yaitu adanya penurunan berat badan, anemia, muntah hebat dengan dugaan adanya obstruksi, muntah darah, melena, dan keluhan berlangsung sangat lama

(Djojoningrat, 2006). 2. ISK A. Anamnesis Pada ISK, dari anamnesis perlu ditanyakan apakah ada gejala sering berkemih, nyeri saat berkemih (disuria), adanya darah pada

urin, urin yang berwarna keruh dan berbau busuk, nyeri suprapubik, inkontinensia urin, gejala sistemik seperti demam, kuning, muntah, dan keluhan lain yang menyertai. Dalam riwayat penyakit terdahulu, perlu ditanyakan apakah pernah mengalami gejala yang sama, riwayat infeksi sebelumnya, dan riwayat gangguan gastrointestinal. B. Pemeriksaan Fisik Dalam pemeriksaan fisik, lakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh. Pada pemeriksaan di abdomen, kemungkinan dapat ditemukan nyeri pada sudut kostovertebrae, ada nyeri pada abdomen saat palpasi terutama daerah suprapubik, dan teraba vesica urinaria. C. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan pada ISK adalah pemeriksaan urin atau urinalisis. Kultur urin dengan membuat isolat dari patogen di urin yang diambil dengan aspirasi suprapubik merupakan gold standard dalam mendiagnosis ISK, namun membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 48 jam dalam praktiknya. Perhatikan pula makroskopik dari urin. Apabila urin tersebut berwarna kuning keruh, ada kemungkinan telah terjadi proses infeksi pada traktus urinarius yang menguatkan diagnosis dari ISK. Hitung jumlah bakteri pun perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis dari ISK. Pemeriksaan urinalisis lain yang dapat mengarahkan pada diagnosis ISK antara lain sebagai berikut: 1. Pewarnaan GRAM dari urin 2. Adanya sedimen-sedimen pad aurin 3. Nitrit test, dimana bila positif kemungkinan ISK positif Selain itu dapat dilakukan Pemeriksaan USG dari saluran kemih pada bayi, anak kecil atau adolesen untuk mengetahui dengan diagnosis pyelonefritis akut dan akut sistitis dan pemeriksaan VCUG (voiding cystourethrogram). Pemeriksaan

VCUG dianjurkan pada anak dengan pyelonefritis akut yang belum pernah pencitraan saluran kemih sebelumnya. Beberapa klinisi melakukan VCUG pada pasien yang berusai 4-5 tahun dengan pielonefritis akut yang memiliki pola kemih yang normal ketika tidak terinfeksi. VCUG dapat dilakukan kembali bila urine telah bersihd ari bakteri dan fungsi kemih telah kembali seperti sebelumnya. V. Penatalaksanaan 1. Dispepsia A. Medikamentosa 1) Antasid Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir sekresi asam lambung. Antasid biasanya

mengandungi Na bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Magnesium triksilat. Pemberian antasid jangan terus- menerus, sifatnya hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. Magnesium triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2. Sering digunakan adalah gabungan Aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida. Aluminum hidroksida dapat menyebabkan konstipasi dan penurunan fosfat sementara magnesium hidroksida bisa menyebabkan BAB encer. Magnesium kontraindikasi kepada pasien gagal ginjal kronik karena bisa menyebabkan hipermagnesemia, dan aluminium bisa menyebabkan kronik neurotoksik pada pasien tersebut (Fauci, 2008). 2) Antikolinergik Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan seksresi asam

lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif (Greenburger, 2008). 3) Antagonis reseptor H2 Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis reseptor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin (Greenburger, 2008; Fauci, 2008) 4) Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI). Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol. Agar efek kerjanya maksimal, digunakan sebelum makan yaitu sebelum sarapan pagi kecuali omeprazol (Fauci, 2008). 5) Sitoprotektif Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi

meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta

membentuk lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas. Toksik daripada obat ini jarang, bisa menyebabkan konstipasi (23%). Kontraindikasi pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis standard adalah 1 g per hari (Fauci, 2008). 6) Golongan prokinetik Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan

mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance) (Greenburger, 2008). 7) Antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori Eradikasi bakteri Helicobacter pylori membantu mengurangi simptom pada sebagian pasien dan biasanya digunakan kombinasi antibiotik (Biaxin), seperti amoxicillin (Amoxil), dan

clarithromycin

metronidazole

(Flagyl)

tetracycline (Sumycin) 8) Anti anxietas Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan

psikofarmakoterapi (obat anti- depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi.Obat yang dapat diberikan adalah braxidine (Ringerl, 2005). B. Non Medikamentosa 1. Perhatikan keadaan pasien, apabila lemah berikan cairan parenteral melalui infus, dapat diberikan infus RL untuk memperbaiki sirkulasi dan memudahkan pemberian obat terutama untuk anak yang sulit makan karena mengeluh sakit perut. 2. Membenahi pola makan, dua kali sehari. 3. Makanan porsi kecil tapi sering. 4. Makanan lunak untuk mengurangi motilitas saluran cerna. 5. Hindari diet tinggi lemak. 6. Hindari obat-obatan yang dapat memperberat keluhan, seperti obat NSAID. 7. Bantu anak kendalikan stress dengan mengajaknya bermain dan mengatur aktifitas dengan baik. 2. ISK A. Medikamentosa 1. Antibiotik

Pemberian antibiotik pada pasien anak dengan ISK dapat melalui parenteral dan oral. Pemberian parenteral diindikasikan apabila pasien disertai penyakit lain yang mengharuskan pemberian infus ataupun pasien sudah mengalami komplikasi seperti pielonefritis akut. Pilihan antibiotik yang dapat diberikan secara parenteral adalah ceftriaxone, cefotaxime, ampicilin, dan gentamicin. Sementara untuk pasien yang dapat meminum obat secara oral, dapat diberikan sulfisoxazole, trimethoprim, amoxicilin dan cephalexin. Antibiotik dapat diberikan selama 7-10 hari dan harus dihabiskan untuk

mencegah resistensi (Fisher, 2012). 2. Analgesik Analgesik diberikan apabila anak merasa nyeri hebat karena disuria atau spasme kandung kemih yang berat yang umum dijumpai pada ISK dengan komplikasi sistitis akut. Pemberian analgesik dapat diberikan secara suppositoria. Obat yang dapat diberikan adalah pronalges. B. Non Medikamentosa 1. Perbanyak asupan cairan, agar fungsi berkemih lebih lancar dan membuang kuman yang ada dalam saluran kemih. 2. Hindari kebiasaan menahan kencing. 3. Latih anak untuk bersuci setelah buang air dengan benar, terutama untuk anak wanita. VI. Komplikasi A. Dispepsia Komplikasi yang dapat muncul dari keluhan dispepsia adalah perdarahan akibat rusaknya mukosa usus oleh asam lambung, perforasi lambung, muntah darah (hematemesis), ulkus peptikum, dan irritable bowel syndrome. B. ISK Komplikasi akut dari ISK adalah terjadinya infeksi asending pada organ traktus urinarius yang lain, seperti pielonefritis dan sistitis akut.

Hal ini dapat ditangani dengan pemberian antibiotik yang tepat waktu dan guna. Apabila komplikasi ini terjadi dalam jangka panjang, misalnya pielonefritis yang berkelanjutan, maka akan mengakibatkan hipertensi, kegagalan fungsi ginjal yang dapat berakibat gagal ginjal akut hingga ESRD (end stage renal disease) dimana terjadi kerusakan pada ginjal sehingga ginjal tidak dapat melakukan fungsi normalnya dalam filtrasi cairan tubuh. VII. Prognosis Statistik menunjukkan sebanyak 20% pasien dispepsia mempunyai ulkus peptikum, 20% mengidap Irritable Bowel Syndrome, kurang daripada 1% pasien terkena kanker, dan dispepsia fungsional dan

dyspepsia non ulkus adalah 5-40%. Namun, dengan penanganan tepat prognosis untuk kesembuhan, angka harapan hidup, dan perbaikan fungsional umumnya baik. ISK pada anak umumnya memiliki prognosis baik apabila penanganannya tepat waktu dan tepat guna. Komplikasi seperti pielonefritis dan sistitis sering terjadi, namun dengan pemberian antibiotik yang adekuat dapat mencegah terjadinya komplikasi yang lebih lanjut.

BAB III KESIMPULAN

1. Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala atau keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut merasa penuh atau begah. Sementara ISK adalah keadaan dimana bertumbuh dan berkembangbiaknya kuman dalam saluran kemih dengan jumlah yang bermakna yang dapat ditemukan pada urin. 2. Keluhan yang sering dijumpai pada pasien dispepsia adalah nyeri pada daerah epigastrium dan kadang disertai mual, muntah, demam. Keluhan yang sering dijumpai pada pasien ISK adalah sakit saat berkemih, penurunan frekuensi berkemih, warna kencing yang keruh dan berbau. 3. Prognosis dari dispepsia dan ISK umumnya baik apabila diberikan terapi yang adekuat dan tepat waktu.

DAFTAR PUSTAKA Delaney, BC. 2001. 10 Minutes Consultation Dyspepsia. BMJ. Djojoningrat, D. 2006. Pendekatan klinis penyakit gastrointestinal. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1.Edisi ke 4. Jakarta: FKUI. h.285. Fauci, AS et al. Peptic Ulcer Disease. Harrisons Principle of Internal Medicine 17th Edition. USA: Mc Graw Hills. Fisher, Donna J. 2012. Pediatric Urinary Tract Infection. Medscape Reference. Greenburger, NJ. Dyspepsia. 2008. The Merck Manual Online Medical Library. Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung : EGC. 156,159 Jones, MP. 2003 Evaluation and treatment of dyspepsia. Post Graduate Medical Journal. No. 79:25-29. Mansjoer, Arif et al . 2007. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Edisi Ketiga. Jakarta: FK UI. 488-4912. Ringerl, Y. 2005. Functional Dyspepsia. UNC Division of Gastroenterology and Hepatology.NIH. 2011. Urinary Tract Infections in Children. National Kidney and UrologicDiseases Information Clearinghouse. Tack J, Nicholas J, Talley, Camilleri M, Holtmann G, Hu P, et al. 2006. Functional Gastroduadenal. Gastroenterology Journal. 130:1466-1479. Tack, Jan; Masaoka, Tatsuhiro. 2011. Functional Dyspepsia. Medscape News.

You might also like