You are on page 1of 35

Referat Diabetes Melitus

Disusun oleh : Fenny Rahayu, S.Ked Pembimbing : Dr.H. Abdul Wahid Usman, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK RSUD CIANJUR FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2012

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb Puji syukur kehadirat Allah SWT Penyusun ucapkan karena dengan rahmat dan hidayahNya penyusun dapat menyelesaikan tugas referat Diabetes Melitus tepat pada waktunya. referat ini disusun untuk meningkatkan pengetahuan dan memenuhi tugas pada Kepaniteraan Klinik Stase Interna di Rumah Sakit Umum Daerah Cianjur. Terima kasih penyusun ucapkan kepada pihak-pihak yang telah membantu tersusunnya laporan ini khususnya: 1. Pembimbing saya dr. H. Abdul Wahid Usman, Sp. PD 2. Orangtua yang selalu memberikan motivasi dan dukungan 3. Teman-teman sejawat yang selalu kompak Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih jauh dari sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang membaca ini, agar penyusun dapat mengoreksi diri dan dapat membuat laporan kasus yang lebih sempurna di lain kesempatan. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, sekarang maupun masa yang akan datang. Wassalamualaikum wr.wb

Cianjur, Juli 2012

Penyusun

BAB I
2

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Di antara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu diantara penyakit tidak menular yang akan meningkat di masa datang. Diabetes sudah merupakan suatu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad ke 21. Perserikatan Bangsa-Bangsa (WHO) membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidab diabetes diatas usia 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang ( Sudoyo, Aru W,2006). Diabetes adalah salah satu penyakit yang paling sering diderita dan penyakit kronik yang serius di Indonesia saat ini. Setengah dari jumlah kasus Diabetes Mellitus (DM) tidak terdiagnosa karena pada umumnya diabetes tidak disertai gejala sampai terjadinya komplikasi. Prevalensi penyakit diabetes meningkat karena terjadi perubahan gaya hidup, kenaikan jumlah kalori yang dimakan, kurangnya aktifitas fisik dan meningkatnya jumlah populasi manusia usia lanjut (Hiswani,2009). Dengan makin majunya keadaan sosio ekonomi masyarakat Indonesia serta pelayanan kesehatan yang makin baik dan merata, diperkirakan tingkat kejadian penyakit diabetes mellitus (DM) akan makin meningkat. Penyakit ini dapat menyerang segala lapisan umur dan sosio ekonomi. Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia di dapatkan prevalensi sebesar 1,5-2,3 % pada penduduk usia lebih besar dari 15 tahun. Pada suatu penelitian di Manado didapatkan prevalensi 6,1 %. Penelitian di Jakarta pada tahun 1993 menunjukkan prevalensi 5,7% (Hiswani,2009). Melihat pola pertambahan penduduk saat ini diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada sejumlah 178 juta penduduk berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi Diabetes Mellitus sebesar 2 %, akan didapatkan 3,56 juta pasien Diabetes Mellitus, suatu jumlah yang besar untuk dapat ditanggani sendiri oleh para ahli DM (Hiswani,2009). Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global yang tadi dibicarakan terutama disebabkan karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang akan datang kekerapan diabetes di Indonesia akan meningkat drastis (Sudoyo, Aru W,2006). Ini sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan WHO seperti tampak pada tabel 1, indonesia akan menempati peringkat nomor 5 sedunia dengan pengidap diabetes sebanyak 12,4 juta orang pada tahun 2025, naik 2 tingkat dibanding tahun 1995 (Sudoyo, Aru W,2006).

Tabel 1. Urutan 10 negara dengan jumlah pengidap diabetes terbanyak pada penduduk dewasa di seluruh dunia 1995 dan 2025. Sumber : Sudoyo, Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. I.2 Tujuan Laporan referat ini disusun dalam Kabupaten Cianjur. I.3 Rumusan Masalah a. Apa definisi, epidemiologi, etiologi dan patomekanisme dari penyakit Diabetes Melitus? b. Bagaimana rencana diagnostik, rencana terapi medikamentosa dan non medikamentosa yang diberikan pada kasus ini berdasarkan referensi yang ada ? I.4 Batasan Masalah Dalam laporan tinjauan pustaka ini penyusun membahas tentang Diabetes Melitus. rangka meningkatkan pengetahuan sekaligus memenuhi tugas kepaniteraan klinik ilmu penyakit dalam di Rumah Sakit Umum Daerah

BAB II PEMBAHASAN
II.1 Anatomi

Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira kira 15 cm, lebar 5 cm, mulai dari duodenum sampai ke limpa dan beratnya rata rata 60 90 gram. Terbentang pada vertebrata lumbalis 1 dan 2 di belakang lambung. Pankreas merupakan kelenjar endokrin terbesar yang terdapat di dalam tubuh baik hewan
5

maupun manusia. Bagian depan ( kepala ) kelenjar pankreas terletak pada lekukan yang dibentuk oleh duodenum dan bagian pilorus dari lambung. Bagian badan yang merupakan bagian utama dari organ ini merentang ke arah limpa dengan bagian ekornya menyentuh atau terletak pada alat ini. Dari segi perkembangan embriologis, kelenjar pankreas terbentuk dari epitel yang berasal dari lapisan epitel yang membentuk usus. Pankreas terdiri dari dua jaringan utama, yaitu : 1. Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum. 2. Pulau Langerhans yang tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi mensekresi insulin dan glukagon langsung ke darah. Pulau pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1 3 % dari berat total pankreas. Pulau langerhans berbentuk ovoid dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar pulau langerhans yang terkecil adalah 50 m, sedangkan yang terbesar 300 m, terbanyak adalah yang besarnya 100 225 m. Jumlah semua pulau langerhans di pankreas diperkirakan antara 1 2 juta. Pulau langerhans manusia, mengandung tiga jenis sel utama, yaitu : a) Sel sel A ( alpha ), jumlahnya sekitar 20 40 % ; memproduksi glukagon yang menjadi faktor hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai anti insulin like activity . b) Sel sel B ( betha ), jumlahnya sekitar 60 80 % , mensekresi insulin. c) Sel sel D ( delta ), jumlahnya sekitar 5 15 %, mensekresi somatostatin. II. 2 Fisiologi

II. 3 Patofisiologi

II. 4 Definisi Menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin (PERKENI 2006). Diabetes Melitus (DM) sering juga dikenal dengan nama kencing manis atau penyakit gula. DM memang tidak dapat didefinisikan secara tepat, DM lebih merupakan kumpulan gejala yang timbul pada diri seseorang yang disebabkan oleh adanya peningkatan glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Suyono, 2005). Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Sudoyo,Aru W,2006). Diabetes Melitus adalah suatu penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa didalam darah. Penyakit ini dapat menyerang segala lapisan umur dan sosial ekonomi(Shahab,Alwi, 2006). Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (PERKENI, 2006).
7

II. 5 Klasifikasi Diabetes melitus diklasifikasikan menurut etiologinya seperti yang tertera pada tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi diabetes menurut etiologinya. Sumber : PERKENI, 2006

Klasifikasi lainnya membagi diabetes melitus atas empat kelompok yaitu diabetes melitus tipe-1, diabetes melitus tipe-2, diabetes melitus bentuk khusus, dan diabetes melitus gestasional (Adam, John MF, 2000). American Diabetes Association (ADA) dalam standards of Medical Care in Diabetes (2009) memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi 4 tipe yang disajikan dalam (Dewi, Debhryta Ayu, 2009): 1. Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan oleh adanya destruksi sel pankreas yang secara absolut menyebabkan defisiensi insulin. 2. Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin. 3. Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh beberapa faktor lain seperti kelainan genetik pada fungsi sel pankreas, kelainan genetik pada aktivitas insulin, penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis), dan akibat penggunaan obat atau bahan kimia lainnya (terapi pada penderita AIDS dan terapi setelah transplantasi organ).
8

4.

Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa atau dialami selama masa kehamilan.

II. 6 Diagnosis Diagnosis diabetes melitus harus berdasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis diabetes melitus harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis diabetes melitus, pemeriksaan glukosa darah sebaiknya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh, vena maupun kapiler dengan memperhatikan angkaangka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler (Sudoyo,Aru W, 2006). Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini (PERKENI, 2006) : 1. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. 2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita. Jika keluhan khas khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk acuan diagnosis diabetes melitus. Untuk kelompok tanpa keluhan khas diabetes melitus, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan 200 mg/dl (Sudoyo,Aru W, 2006). Tabel 3. Kriteria diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006

Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala atau tanda diabetes melitus, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasikan mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko diabetes melitus. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif (Sudoyo,Aru W, 2006). Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan Dibetes melitus, toleransi glukosa terganggu (TGT) maupun glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju diabetes melitus. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya diabetes melitus dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari (PERKENI, 2006). Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar (Sudoyo,Ari W, 2006). Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring dan diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006.

10

Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik untuk menentukan diagnosis diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu dan glukosa darah puasa tergagnggu. Berikut adalah langkah-langkah penegakkan diagnosis diabetes melitus, TGT, dan GDPT.

Gambar 1. Langkah-langkah diagnostik diabetes melitus dan toleransi glukosa terganggu. Sumber : Sudoyo, Aru W, 2006. II. 7 Penatalaksanaan Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah diabetes melitus tipe 2, yang umumnya mempunyai latar belakang kelainan yang diawali dengan terjadinya resistensi insulin. Awalnya resistensi insulin masih belum menyebabkan diabetes secara klinis. Pada saat tersebut sel beta pankreas masih dapat mengkompensasi keadaan ini dan terjadi suatu hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian
11

setelah terjadi ketidaksanggupan sel beta pankreas, baru akan terjadi diabetes melitus secara klinis, yang ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria diagnosis diabetes melitus (Sudoyo, Aru W, 2006). Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup penyandang diabetes (PERKENI, 2006). Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus dibagi menjadi dua yaitu (PERKENI, 2006) : 1. 2. Jangka pendek, hilangnya keluhan dan tanda diabetes melitus, mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah. Jangka panjang, tercegah dan terhambatnya progresifitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan diabetes melitus adalah turunnya morbiditas dan mortalitas diabetes melitus. (PERKENI, 2006). Langkah pertama dalam mengelola diabetes melitus selalu dimulai dengan pendekatan non farmakologis, yaitu berupa perencanaan makan atau terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih atau obesitas. Bila dengan langkah-langkah tesebut sasaran pengendalian belum tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan obat atau intervensi farmakologis. Dalam melakukan pemilihan obat perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia seperti yang tertera pada gambar 2.

Gambar 2. Sarana farmakologis dan titik kerja obat untuk pengendalian kadar glukosa darah. Sumber: Sudoyo, Aru W, 2006.

12

Untuk penatalaksanaan diabetes melitus, di Indonesia, pendekatan yang digunakan adalah berdasarkan dari pilar penatalaksanaan diabetes melitus yang sesuai dengan konsensus penatalaksanaan diabetes melitus menurut PERKENI tahun 2006. Adapun pilar penatalaksanaan diabetes melitus sebagai berikut : A. Edukasi Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlikan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Tujuan dari perubahan perilaku adalah agar penyandang diabetes dapat menjalani pola hidup sehat. Perilaku yang diharapkan adalah (PERKENI, 2006) : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Mengikuti pola makan sehat Meningkatkan kegiatan jasmani Menggunakan obat diabetes dan obat-obat pada keadaan khusus secara aman, teratur Melakukan Pementauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan data yang ada Melakukan perawatan kaki secara berkala Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi sakit akut dengan tepat Mempunyai ketrampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga untuk mengerti pengelolaan penyandang diabetes. 8. Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.

B. Terapi Gizi Medis Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori
13

dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin (PERKENI, 2006). Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain (Sudoyo, Aru w, 2006) : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Menurunkan berat badan Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik Menurunkan kadar glukosa darah Memperbaiki profil lipid Meningkatkan sensitifitas reseptor insulin Memperbaiki sistem koagulasi darah Adapun tujuan dari terapi medis ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan (Sudoyo, Aru w, 2006) : 1. Kadar glukosa darah mendekati normal 2. 3. Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl Glukosa darah 2jam setelah makan <180 mg/dl Kadar A1c < 7%

Tekanan darah < 130/80 mmhg Profil lipid yang berkisar normal Kolesterol LDL < 100 mg/dl Kolesterol HDL > 40 mg/dl Trigliserida < 150 mg/dl

4.

Berat badan senormal mungkin

Komposisi bahan makanan terdiri dari makronutrien yang meliputi kerbohidrat, protein dan lemak, serta mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral, harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan diabetisi secara tepat (Sudoyo, Aru w, 2006). Adapun komposisi bahan makanan yang direkomendasikan untuk diabetisi menurut konsensus penatalaksanaan diebetes melitus di Indonesia menurut PERKENI tahun 2006 adalah sebagai berikut : 1. Karbohidrat, sebagai sumber energi, diberikan pada diabetisi tidak boleh lebih dari 55-65% dari total kebutuhan energi dalam sehari, atau tidak boleh lebih dari
14

70% jika dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA = monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori. Rekomendasi pemberian karbohidrat (Sudoyo, Aru w, 2006) : 1. Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat, lebih ditentukan oleh jumlahnya dibandingkan dengan jenis karbohidrat itu sendiri. 2. Dari total kebutuhan kalori per hari, 60-70% diantaranya bersumber dari karbohidrat 3. Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi, maka jumlah karbohidrat maksimal 70% dari total kalori perhari 4. Jumlah serat 25-50 gram per hari 5. Jumlah sukrose sebagai sumber energi tidak perlu dibatasi, namun jangan sampai lebih dari total kebutuhan kalori per hari 6. Sebagai pemanis dapat digunakan pemanis non kalori seperti aspartame, acesulfam dan sucralosa 7. Penggunaan alkohol harus dibatasi tidak boleh lebih dari 10 gram per hari 8. Fruktosa tidakk boleh lebih dari 60 gram per hari 2. Protein, jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal dimana diperlukan pembatasan asupan protein sampai 40 gram perhari, maka perlu ditambahkan suplementasi asam amino esensial. Protein mengandung energi sebesar 4 kilokalori/gram (Sudoyo, Aru w, 2006). Rekomendasi pemberian protein sebagai berikut (Sudoyo, Aru w, 2006) : 1. Kebutuhan protein 15-25 % dari total kebutuhan energi per hari 2. Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak akan mempengaruhi kadar gula darah 3. Pada keadaan kadar gula darah tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,81 mg/kgbb/hari 4. Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampai 0,85 gram/kgbb/hari dan tidak kurang dari 40 gram 5. Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati lebih dianjurkan dari pada hewani.
15

3.

Lemak, mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya. Bahan makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E, dan K. Berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak dibedakan menjadi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak jenuh dan kolesterol disarankan bagi diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal yang sering tidak normal dijumpai pada diabetes. Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (monounsaturated fatty acid = MUFA), merupakan salah satu asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi dapat menurunkan trigliserida, kolesterol total, kolesterol VLDL dan meningkatkan kolesterol HDL. Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acid = PUFA) dapat melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan aktifitas enzim lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer, sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol LDL (Sudoyo, Aru w, 2006).

Rekomendasi pemberian lemak adalah sebagai berikut (Sudoyo, Aru w, 2006) : 1. Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal 10 % dari total kebutuhan kalori per hari 2. Jika kadar kolesterol LDL 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan sampai maksimal 7% dari total kebutuhan kalori per hari 3. Konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol LDL 100 mg/dl, maka maksimal kolesterol yang dapat dikonsumsi 200 mg/hari 4. Batasi asupan asam lemak bentuk trans 5. Konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam lemak tidak jenuh rantai panjang. 6. Asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10% dari asupan kalori per hari. 4. Serat, seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat dan bahan lain yang baik untuk kesehatan. Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/1000 kkal/hari (PERKENI, 2006).
16

5. Kebutuhan kalori, Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang

dibutuhkan penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll (PERKENI, 2006). Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah sbb (PERKENI, 2006) : 1. Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg. rumus dimodifikasi menjadi : 1. 2. 3. 4. Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg. BB Normal : BB ideal 10 % Kurus : < BBI - 10 % Gemuk : > BBI + 10 % 2. Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanitadi bawah 150 cm,

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh. Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB(kg)/TB(m2) Klasifikasi IMT adalah sebagai berikut menurut WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia Pacific Perspective:Redefning Obesity and its Treatment. 1. 2. 3. BB Kurang <18,5 BB Normal 18,5-22,9 BB Lebih >23,0 a) Dengan risiko 23,0-24,9 b) Obes I 25,0-29,9 c) Obes II 30 C. Latihan jasmani Pengelolaan diabetes yang meliputi empat pilar, aktivitas fisik merpakan salah satu dari keempat pilar tersebut. Aktivitas minimal otot skeletal lebih dari sekedar yang diperlukan untuk ventilasi basal paru, dibutuhkan untuk semua orang termasuk diabetisi sebagai kegiatan sehari-hari (Sudoyo, Aru w, 2006). Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki,
17

bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan (PERKENI,2006). Tabel 5. Aktifitas fisik sehari-hari. Sumber : PERKENI, 2006

D.

Intervensi Farmakologis Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (PERKENI, 2006). Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia (Sudoyo, Aru W, 2006).

Obat hipoglikemik oral (OHO) Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan (PERKENI, 2006) : 1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid Sulfonilurea, obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal

18

ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang. Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepatsetelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. 2. penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala. 3. penghambat glukoneogenesis: metformin Metformin, obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. 4. Penghambat glukosidase alfa (acarbose) Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.
19

Cara Pemberian OHO, terdiri dari (PERKENI, 2006) : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal Sulfonilurea generasi I & II : 15 30 menit sebelum makan Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan Repaglinid, Nateglinid : sesaat/ sebelum makan Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan Penghambat glukosidase (Acarbose) : bersama makan suapan pertama Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.

tabel 6. Mekanisme kerja, efek samping utama, dan pengaruh terhadap penurunan A1C (Hb-glikosilat). Sumber : PERKENI, 2006.

20

Tabel 7. Obat hipoglikemia oral. Sumber : PERKENI, 2006

5.

Insulin

21

Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang)

Bila sasaran glukosa darah basal telah tercapai, namun A1C belum mencapai target pengendalian glukosa darah prandial insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja pendek (short acting)

Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan respons individu, dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian. Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel beta pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untik keperluan regulasi glukosa darah (Sudoyo, Aru W, 2006). Insulin diperlukan pada keadaan (PERKENI, 2006) : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Penurunan berat badan yang cepat Hiperglikemia berat yang disertai ketosis Ketoasidosis diabetik Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik Hiperglikemia dengan asidosis laktat Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke) Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional Yang tidak terkendali dengan perencanaan makan Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni (PERKENI, 2006) : 1. insulin kerja cepat (rapid acting insulin) 2. 3. 4. 5. insulin kerja pendek (short acting insulin) insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) insulin kerja panjang (long acting insulin) insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin)

22

tabel 8. Farmakokinetik insulin berdasarkan waktu kerja. Sumber : PERKENI, 2006

Algoritma pengelolaan DM tipe 2 tanpa disertai dekompensasi

23

Patofisiologi hyperglikemi pada pasien DM type 2 :

Target organ dari setiap golongan obat oral diabetic :


24

Peran Incretin terhadap homeostasis glukosa :

Peran DPP-4 Inhibitor (Sitagliptin) dalam menurunkan glukosa secara single oral :

II. 8 Penyulit DM Type 2 : Penyulit akut :


25

Ketoasidosis diabetik (KAD) Hiperosmolar non ketotik (HNK) Hipoglikemia Penyulit Kronik : Makroangiopati Pembuluh darah jantung Pembuluh darah tepi Pembuluh darah otak Mikroangiopati Retinopati diabetik Nefropati diabetik Neuropati

26

27

Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik Sindrom koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK) ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai gangguanneurologis dengan atau tanpa adanya ketosis (Sudoyo, Aru W, 2006). Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai beberapa minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai poliuri, polidipsi, dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus (Sudoyo, Aru W, 2006). HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, yang mempunyai penyakit penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Faktor pencetus dapat dibagi menjadi enam kategori : infeksi, pengobatan, noncompliance, DM tak terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta. Infeksi merupakan penyebab tersering (57,1%). Compliance yang buruk terhadap pengobatan DM juga sering menyebabkan HHNK (21%) (Sudoyo, Aru W, 2006). Faktor yang memulai timbulnya HHNK adalah diuresis glukosuria. Glukosuria mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang semakin memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi mengeliminasi glukosa di atas ambang batas tertentu. Namun demikian, penurunan volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi glomerular, menyebabkan kadar glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibanding natrium menyebabkan kadar hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk menurunkan kadar glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi insulin (Sudoyo, Aru W, 2006). Penatalaksanaan HHNK, meliputi lima pendekatan (Sudoyo, Aru W, 2006) : 1. 2. 3. 4. 5. Rehidrasi intravena agresif cairan hipotonis. Penggantian elektrolit Pemberian insulin intravena Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta Pencegahan
28

Hipoglikemia Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dL. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lamban dan memerlukan pengawasan yang lebih lama (PERKENI, 2006). Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma) (PERKENI, 2006). Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 g melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat (PERKENI, 2006). Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab menurunnya kesadaran (PERKENI, 2006).

Komplikasi kronik Seperti telah diungkapkan, hiperglikemia merupakan peran sentran terjadi komplikasi pada DM. Pada keadaan hiperglikemia, akan terjadi peningkatan jalur polyol, peningkatan pembentukan Protein Glikasi non enzimakti serta peningkatan proses glikosilasi itu sendiri, yang menyebabkan peningkatan stress oksidatif dan pada akhirnya menyebabkan komplikasi baik vaskulopati, retinopati, neuropati ataupun nefropati diabetika (Permana,Hikmat, 2007).
29

Komplikasi

kronis

ini

berkaitan

dengan

gangguan

vaskular,

yaitu

(Permana,Hikmat, 2007): Komplikasi mikrovaskular Komplikasi makrovaskular Komplikasi neurologis 1. Komplikasi Mikrovaskular Timbul akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil khususnya kapiler. Komplikasi ini spesifik untuk diabetes melitus. Retinopati diabetika Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan gejala berkurangnya ketajaman penglihatan atau gangguan lain pada mata yang dapat mengarah pada kebutaan. Retinopati diabetes dibagi dalam 2 kelompok, yaitu Retinopati non proliferatif dan Proliferatif. Retinopati non proliferatif merupkan stadium awal dengan ditandai adanya mikroaneurisma, sedangkan retinoproliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina. Pada stadium awal retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol gula darah yang baik, sedangkan pada kelainan sudah lanjut hampir tidak dapat diperbaiki hanya dengan kontrol gula darah, malahan akan menjadi lebih buruk apabila dilakukan penurunan kadar gula darah yang terlalu singkat. Nefropati diabetika Diabetes mellitus tipe 2, merupaka penyebab nefropati paling banyak, sebagai penyebab terjadinya gagal ginjal terminal. Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM mengaikibatkan perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti protein dapat lolos ke dalam kemih (mis. Albuminuria). Akibat nefropati diabetika dapat timbul kegagalan ginjal yang progresif. Nefropati diabetic ditandai dengan adanya proteinuri persisten ( > 0.5 gr/24 jam), terdapat retinopati dan hipertensi. Dengan demikian upaya preventif pada nefropati adalah kontrol metabolisme dan kontrol tekanan darah. 2. Komplikasi Makrovaskular

30

Timbul akibat aterosklerosis dan pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma. Makroangioati tidak spesifik pada diabetes, namun pada DM timbul lebih cepat, lebih seing terjadi dan lebih serius. Berbagai studi epidemiologis menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit ,kardiovaskular dan penderita diabetes meningkat 4-5 kali dibandingkan orang normal. Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan kontrol kadar gula darah yang balk. Tetapi telah terbukti secara epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu faktor resiko mortalitas kardiovaskular, dimana peninggian kadar insulin menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula. kadar insulin puasa > 15 mU/mL akan meningkatkan risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor aterogenik dan diduga berperan penting dalam timbulnya komplikasi makrovaskular. II. 9 Evaluasi medis secara berkala Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan, atau pada waktu-waktu tertentu lainnya sesuai dengan kebutuhan Pemeriksaan A1C dilakukan setiap (3-6) bulan EKG Foto sinar-X dada Funduskopi

Pemeriksaan kadar glukosa darah Tujuan pemeriksaan glukosa darah : a) b) Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan glukosa 2 jam posprandial secara berkala sesuai dengan kebutuhan. Kalau karena salah satu hal terpaksa hanya dapat diperiksa 1 kali dianjurkan pemeriksaan 2 jam posprandial.

Pemeriksaan A1C
31

Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi disingkat sebagai A1C, merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan minimal 2 kali dalam setahun. II. 10 Kriteria pengendalian DM Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah. Kriteria keberhasilan pengendalian DM dapat dilihat pada Tabel 10 (PERKENI, 2006). Tabel 10. Kriteria pengendalian diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006.

BAB III PENUTUP


32

III.1 Kesimpulan Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. DM diklasifikasikan menjadi 4, yaitu DM type 1, DM type 2, DM type lainnya, dan DM gestasional. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Penatalaksanaan Diabetes Melitus meliputi penatalaksanaan secara umum/ non farmakologi seperti edukasi, terapi gizi medis, dan latihan jasmani. Terapi farmakologi seperti Obat hipoglikemik oral (OHO), dan insulin. Dengan penatalaksanaan yang baik diharapkan akan terwujud pengurangan angka morbiditas dan mortalitas yang disebabkan diabetes melitus. III.2 Saran Saran yang dapat kami berikan yaitu bagi penderita diabetes melitus agar melakukan pemeriksaan rutin guna mengetahui sejauh mana kondisi dan seberapa parah penyakitnya serta rutin mengkonsumsi obat yang diberikan oleh dokter.

DAFTAR PUSTAKA

33

1. American Association of Clinical Endocrinologist (AACE) Diabetes Mellitus Clinical Practice Guidelines Task Force. AACE Medical guidelines for clinical practice for the management of diabetes mellitus. Endo Pract. 2007;13(Supl 1). 2. American Diabetes Association. ADA position statement : standard of medical care in diabetes-2006. Diab Care. 2005;29(suppl. 1):S4-S42. 3. American Association of Clinical Endocrinologists and American College of Endocrinology. The American Association of Clinical Endocrinologists medical guidelines for the management of Diabetes Mellitus: the AACE system of intensive diabetes self-management-2002 Update. Endo Practice. 2002;8(suppl. 1):40-82. 4. Asia-Pasific Type 2 Diabetes Policy Group Type 2 Diabetes Practical Target Treatments. Health Communication Australia. 2002. 5. Stephen J, Maxine A, Michael W. Current Medical Diagnosis & Treatment 2011,50thanniversary Edition.United States of America: The Mcgraw-Hill Companies; 2011. 6. Soeroso J, Isbagio H, Kalim H, Broto R, Pramudiyo R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2007. 7. Price, Sylvia A. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi IV. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1995. 8. Harisson. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Vol 3.ed.13. 2000.

34

35

You might also like