You are on page 1of 32

http://alfirifaniardian.blogspot.com/2010/05/penyakit-periodontal.

html Penyakit Periodontal


Poket Periodontal Poket periodontal didefinisikan sebagai pendalaman sulkus gingiva secara patologi, yaitu salah satu gejala klinik penyakit periodontal. Klasifikasi Pendalaman sulkus gingiva bisa terjadi oleh pergerakan koronal margin gingiva, pergeseran apikal gingiva attachment, atau kombinasi kedua proses. Poket-poket dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Poket gingiva (pseudopocket): tipe poket ini dibentuk oleh pembesaran gingiva tanpa kerusakan jaringan periodontal dasar. Sulkus dalam karena peningkatan bagian (bulk) gingiva. 2. Poket periodontal (true or absolute): Tipe poket ini terjadi dengan kerusakan jaringan pendukung periodontal. Pendalaman poket yang progresif membuat kerusakan jaringan pendukung periodontal dan kehilangan gigi. Ada dua tipe poket periodontal: 1.Suprabony (supracrestal atau supra-alveolar), dimana dasar poket adalah korona tulang alveolar dasar. 2. Infrabony (intrabony, subcrestal, or intra-alveolar), dimana dasar poket adalah apikal sampai permukaan batas tulang alveolar. Pada tipe kedua ini, dinding poket lateral berada antara permukaan gigi dan tulang alveolar. Poket dapat meliputi satu, dua, atau lebih permukaan gigi dan dapat berbeda kedalaman dan jenis pada permukaan yang berbeda pada gigi yang sama dan pada permukaan approksimal pada ruang interdental yang sama. Poket bisa spiral (berasal dari satu permukaan gigi dan berliku-liku mengelilingi gigi termasuk satu atau lebih permukaan tambahan). Tipe poket ini paling umum di daerah percabangan. Gambaran Klinis Gambaran klinik seperti merah, marginal gingiva menebal, zona vertikal merah kebiru-biruan dari margin gingiva sampai mukosa alveolar, perdarahan gingiva atau supurasi, pergeseran gigi, dan diastem formasi dan gejala seperti sakit secara lokal atau sakit yang dalam pada tulang gejala periodontal poket. Metode menemukan poket periodontal dan menentukan luasnya adalah berhati-hati memeriksa margin gingiva sekitar permukaan gigi.

2.1.3 Patogenesis

Poket periodontal disebabkan oleh mikroorganisme dan produk-produknya, yang membuat perubahan jaringan patologi membuat sulkus gingiva dalam. Pada dasar kedalaman, kadang-kadang sulit untuk membedakan kedalaman sulkus normal dengan poket periodontal dangkal. Perubahan meliputi transisi dari sulkus gingiva normal ke patologi poket periodontal dihubungkan dengan perbedaan proporsi selsel bakteri pada plak gigi. Gingiva sehat dihubungkan dengan beberapa mikroorganisme, paling banyak sel kokus dan batang. Penyakit gingiva dihubungkan dengan peningkatan jumlah spirochetes dan batang bergerak. Formasi poket dimulai dari inflamasi di dinding jaringan ikat sulkus gingiva yang disebabkan bakteri plak. Sel dan eksudat cairan inflamasi menyebabkan degenerasi sekitar jaringan ikat, termasuk serabut gingiva. Sebagai akibat kehilangan kolagen, bagian apikal epithelium junction berproliferasi sepanjang akar, pemanjangan seperti proyeksi dua atau tiga jari. Bagian korona epithelium junction melepaskan/memisahkan dari akar sebagai migrasi bagian apikal. Sebagai hasil inflamasi, polymorfonuklear neutrofil (PMNs) menginvasi ujung korona epithelium junction dalam meningkatkan jumlahnya. PMNs tidak bergabung satu sama lain atau sisa dari epithelium desmosom. Perpanjangan epithelium junction sepanjang akar membutuhkan sel epitelial yang sehat. Ditandai dengan degenerasi atau nekrosis epithelium junctional memperlambat daripada mempercepat pembentukan poket. Derajat infiltrasi leukosit epithelium junctional bebas dari volume inflamasi jaringan ikat, sehingga proses ini dapat terjadi pada gingiva dengan hanya sedikit gejala inflamasi klinik. Dengan meneruskan inflamasi, gingiva meningkatkan bagian terbesar, dan puncak margin gingiva memperpanjang ke mahkota. Epithelium junction melanjutkan migrasi sepanjang akar dan memisahkannya. Epithelium dinding lateral poket berproliferasi ke dalam bentuk bulat, seperti pemanjangan kawat (cord-like extendsions) ke dalam inflamasi jaringan ikat. Leukosit dan edema dari inflamasi jaringan ikat berinflitrasi ke lapisan epithelium poket, menghasilkan berbagai derajat degenerasi dan nekrosis. Plak Inflamasi gingiva Formasi poket formasi lebih banyak plak. Histopatologi Korelasi Gejala Klinik dan Gejala Histopatologi Poket Periodontal Gejala Klinik Gejala Histopatologi

1. Dinding gingiva poket periodontal ada bermacam1. Pewarnaan disebabkan oleh stagnasi sirkulasi; macam tingkat pewarnaan merah kebiru-biruan; kelembutan; dengan penghancuran serat gingiva lembut; halus; permukaannya licin; dan dan sekitar jaringan; halus, permukaan licin, 2. Frekuensinya lebih sedikit, dinding gingiva bisa dengan atrofi epitelium dan edema; pitting on

menjadi pink dan keras. jaringan lunak poket dengan hati-hati. sebelah dalam poket periodontal

presure, dengan edema dan degenerasi. lebih dari eksudasi dan degenerasi, terutama umumnya dinding poket. Tetapi, walaupun penampilan eksternal sehat, dinding dalam poket tanpa ini sering berulser. 3. Meredakan perdarahan hasil dari peningkatan vaskularisasi, penipisan dan degenerasi epitelium, dan dekat dengan tertutup pembuluh dengan permukaan dalam. 4. Sakit dan stimulasi taktil berkaitan dengan ulcerasi aspek dalam dinding poket. 5. Pus terjadi di dalam poket dengan inflamasi supuratif dinding bagian dalam.

3. Perdarahan ditimbulkan oleh pemeriksaan dinding 2. Pada beberapa kasus fibrotik berubah menonjol 4. Ketika diselidiki dengan pemeriksaan, aspek sekali dalam hubungan dengan permukaan luar menyakitkan. menerapkan tekanan digital.

5. Pada banyak kasus pus bisa digambarkan dengan kecuali sekarang ini beberapa berdegenerasi dan

Invasi Bakteri Invasi bakteri area apikal dan lateral dinding poket bisa terjadi pada periodontitis kronik manusia. Filamen-filamen, batang, dan coccus organisme dengan predominan gram-negatif dinding sel telah ditemukan di ruang interseluler epitelium. Hillmann telah melaporkan keberadaan Porphyromonas gingivalis dan Prevotella intermedia di dalam kasus periodontitis gingiva akut. Actinobacillus actinomycetemcomitans juga ditemukan di dalam jaringan. Bakteri menginvasi ruang interseluler pada awalnya di bawah pengelupasan kulit sel epitelial, tetapi dapat juga ditemukan antara sel epitelial yang lebih dalam dan berakumulasi di atas lamina dasar. Beberapa bakteri melintasi lamina dasar dan menginvasi subepitelial jaringan ikat. 2.1.4.2 Mikrotopografi Poket Dinding Gingiva Scan mikroskop elektron sudah bisa menggambarkan beberapa area dinding poket jaringan lunak, dimana terdapat perbedaan tipe aktivitas. Area area ini berbentuk oval secara irreguler, memanjang dan berdekatan satu dengan yang lain, serta ukurannya sekitar 50-200m.Area-area di bawah ini telah tercatat: 1. Area relatif pasif, menunjukkan permukaan yang relatif datar dengan sedikit cekungan dan tumpukan. Kadang-kadang sel berbayang . 2. Area akumulasi bakteri, dimana terdapat cekungan di permukaan epitel, dengan kumpulan debris dan kumpulan bakteri berpenetrasi ke dalam ruang pembesaran interseluler. Bakteri-bakteri ini umumnya berbentuk kokus, batang, dan filamen dengan sedikit spirochaetes. 3. Area kemunculan leukosit, dimana leukosit muncul di dalam dinding poket melalui lubang yang ada di ruang interseluler.

4. Area interaksi leukosit bakteri, dimana sejumlah leukosit ada dan secara nyata menutupi bakteri dalam proses fagositosis. Plak bakteri bergabung dengan epitelium terlihat, baik tersusun sebagai matriks ditutupi oleh material menyerupai fibrin dalam kontak dengan permukaan sel atau bakteri yang berpenetrasi ke dalam ruang interseluler. 5. Area epitel deskuamasi yang kuat, dimana terdiri dari semi ikatan dan lipatan squamaepitelial, kadangkadang sebagian tertutupi bakteri. 6. Area ulserasi, dengan jaringan ikat yang terpapar. 7. Area Hemoragi, dengan sejumlah eritrosit. Transisi dari satu area ke area lain dapat disimpulkan, Bakteri berakumulasi sebelumnya dalam area pasif memicu kemunculan leukosit dan interaksi leukosit-bakteri. Hal ini akan memicu desquamasi epitelia dan akhirnya terjadi ulserasi dan hemoragi. 2.1.4.3 Dinding Permukaan Akar Dinding permukaan akar poket periodontal sering mengalami perubahan yang signifikan karena mengekalkan infeksi periodontal, menyebabkan sakit, dan pengobatan periodontal rumit. Sementum akar menderita secara struktur, secara kimia, dan perubahan sitotoksik. Mikroorganisme yang dominan dalam karies permukaan akar adalah Actinomyces viscosus. Prevalensi rata-rata penelitian karies akar dalan 20 sampai 64 tahun individu menyatakan 42% mempunyai satu atau lebih lesi karies akar dan lesi-lesi itu ditujukan meningkat sejalan umur. Karies akar bisa menyebabkan pulpitis, sensitifitas terhadap manis dan perubahan suhu, atau sakit berat. Karies akar mungkin penyebab sakit gigi pada pasien dengan penyakit periodontal dan tidak ada bukti kerusakan korona. Karies sementum membutuhkan perhatian khusus ketika poket diobati. Nektrotik sementum harus dihilangkan dengan scalling dan root planing sampai permukaan akar kuat tercapai, juga bila memerlukan pemanjangan sampai dentin. Sementum yang terpapar (terekspos) bisa mengabsorbsi kalsium, phosphorus, dan fluoride dari lingkungan lokalnya, membuat mungkin perkembangan lapisan kalsifikasi tinggi yang resisten terhadap kebusukan. Kemampuan sementum ini untuk mengabsorpsi substansi dari lingkungannya bisa membahayakan jika material yang diabsorpsi toksik. Perubahan sitotoksik. Penetrasi bakteri ke dalam sementum bisa ditemukan sedalam sementodentinal junction. Lagi pula, produk bakteri seperti endotoksin juga sudah dideteksi di dalam dinding sementum poket periodontal. Zona di bawah ini dapat ditemukan di dasar poket periodontal:

1. Sementum yang ditutupi kalkulus. 2. Attached plaque, yang menutupi kalkulus dan memperpanjang secara apikal ke berbagai
derajat, mungkin 100-500 m.

3. Zona of unattached plaque yang mengelilingi plak terikat dan memperluas secara apikal.

4. Zona dimana epitelium junction terikat ke gigi. Pemanjangan zona ini, dimana normal sulci
lebih dari 500 m, biasanya direduksi dalam poket periodontal kurang dari 100 m.

5. Apikal ke epitelium junction, mungkin zona semi-destroyed serat jaringan ikat.


2.1.5 Kandungan Poket Poket periodontal mengandung debris terutama terdiri dari mikroorganisme dan produk-produknya (enzim, endotoksin, dan hasil metabolisme lainnya), cairan gingiva, sisa makanan, mucin salivari, desquamasi sel epitelial, dan leukosit. Plak-menutupi kalkulus biasanya proyek dari permukaan gigi. Eksudat nanah, jika ada, terdiri dari hidup, degenerasi, dan nekrotik leukosit; bakteri hidup dan mati; serum; dan sedikit jumlah fibrin. 2.1.6 Aktivitas Penyakit Periodontal Poket periodontal melewati periode kepasifan dan pembusukan. Periode kepasifan dicirikan oleh pengurangan respon inflamasi dan sedikit atau tidak ada kehilangan tulang dan ikatan jaringan ikat. Penambahan plak tidak terikat, dengan gram-negatifnya, motil, dan bakteri anaerob, memulai periode pembusukan dimana tulang dan ikatan jaringan ikat hilang dan poket mendalam. Periode ini dapat berakhir dan diikuti secepatnya oleh periode remisi atau pembusukan dimana gram-positif bakteri berproliferasi dan kondisi lebih stabil. 2.1.7 Sisi Spesifisiti Penghancuran periodontal tidak terjadi di semua bagian mulut pada waktu yang sama, tetapi beberapa gigi pada waktu yang sama atau hanya beberapa aspek beberapa gigi bagaimanapun waktunya. Ini disebut sebagai sisi spesifisiti penyakit periodontal. Oleh karena itu, kerasnya periodontal meningkat oleh (1) perkembangan tempat penyakit baru dan/atau (2) peningkatan kerusakan tempat yang ada. 2.1.8 Perubahan Pulpa Terkait Poket Periodontal Perluasan infeksi dari poket periodontal bisa menyebabkan perubahan patologi dalam pulpa. Keterlibatan pulpa dalam penyakit periodontal terjadi melalui, baik foramen apikal atau lateral kanal di akar setelah infeksi meluas dari poket melalui ligamen periodontal. 2.1.9 Keterikatan antara Kehilangan Perlekatan dan Kehilangan Tulang terhadap Kedalaman Poket Formasi poket menyebabkan kehilangan ikatan gingiva dan penggundulan permukaan akar. Kehilangan ikatan yang berat secara umum, tetapi tidak selalu berhubungan dengan kedalaman poket. Ini karena derajat kehilangan ikatan (pengunduran) tergantung lokasi dasar poket di atas permukaan akar, padahal kedalaman jarak antara dasar poket dan puncak gingiva. Kedalaman poket yang sama dapat dihubungkan dengan perbedaan tingkat kehilangan ikatan dan kedalaman poket berbeda bisa di hubungkan dengan jumlah yang sama kehilangan ikatan. Kehilangan tulang berat umumnya dihubungkan dengan kedalaman poket, tetapi tidak selalu. Kehilangan tulang yang luas bisa dihubungkan dengan poket dangkal, dan kehilangan tulang tipis/sedikit bisa terjadi dengan poket yang dalam. 2.1.10 Daerah antara Dasar Poket dan Tulang Alveolar

Secara normal jarak antara epitelium junction dan tulang alveolar konstan secara relatif. Jarak antara kalkulus bawah dan puncak alveolar dalam poket periodontal manusia paling konstan, mempunyai ratarata panjang 1,97 mm 33,16%. Jarak dari ikatan plak ke tulang tidak pernah kurang dari 0,5 mm dan tidak pernah lebih dari 2,7 mm. Penemuan ini menganjurkan bahwa aktivitas resorpsi tulang diinduksi oleh bakteri didesak dalam jarak ini. 2.1.11 Hubungan Poket Periodontal dengan Tulang Di dalam poket infrabony dasar adalah apikal ke tingkat tulang alveolar, dan dinding poket berada antara gigi dan tulang. Poket Infrabony paling sering terjadi secara interproksimal tetapi bisa berlokasi di facial dan lingual permukaan gigi. Paling sering poket meluas dari permukaan dimana berasal untuk satu atau lebih berdekatan ke permukaan. Poket Suprabony mempunyai dasar corona ke puncak tulang. Perubahan inflamasi, proliferatif, dan degeneratif poket infrabony dan suprabony adalah sama, dan keduanya menyebabkan kehancuran dukungan jaringan periodontal. 2.1.12 Abses Periodontal Abses periodontal adalah inflamasi purulen jaringan periodontal terlokalisasi. Hal ini juga diketahui sebagai abses lateral atau parietal. Abses lokal di dalam gingiva dan menekan ke dalam struktur pendukung disebut abses gingival. Abses periodontal berasal dari injuri ke permukaan luar gingiva dan bisa terjadi di ketidakadaan poket periodontal. Formasi abses periodontal bisa terjadi dengan cara:

1. Perluasan infeksi dari poket periodontal yang dalam ke dalam jaringan periodontal pendukung
dan lokalisasi proses inflamasi supuratif sepanjang aspek lateral akar.

2. Perluasan lateral inflamasi dari permukaan dalam poket periodontal ke dalam jaringan ikat
dinding poket. Hasil lokalisasi abses ketika drainase ke dalam ruang poket lemah.

3. Di dalam poket yang menggambarkan saluran akar yang berliku-liku, abses periodontal bisa
membentuk kul-de-sak, akhir yang dalam dimana tertutup dari permukaan.

4. Penghilangan kalkulus yang tidak lengkap selama pengobatan poket periodontal. Pada contoh
ini, dinding gingiva menyusut, termasuk lubang poket, dan abses periodontal terjadi tertutup bagian poket.

5. Abses periodontal bisa terjadi di dalam ketidakhadiran penyakit periodontal setelah trauma gigi
atau perforasi dinding lateral akar dalam terapi endodontik. Periodontal abses diklasifikasikan berdasarkan lokasi sebagai berikut: 1. Abses di dalam jaringan periodontal pendukung, sepanjang aspek lateral akar. Pada kondisi ini umumnya ada sinus di di dalam tulang yang memperpanjang dari abses ke permukaan eksternal.

2. Abses di dalam dinding jaringan lunak kedalaman poket periodontal. Secara Mikroskopi, abses lokal berakumulasi aktif dan nekrotik PMNs dalam dinding poket periodontal. Leukosit mati melepaskan enzim yang dicerna sel-sel dan struktur-struktur jaringan lain, membentuk produk cair yang diketahui sebagai pus, yang merupakan pusat abses. Reaksi inflamasi akut sekitar area purulen, dan epitelium menunjukan intraseluler dan ekstraseluler edema dan invasi leukosit. Abses akut lokal menjadi abses kronik ketika purulennya mengandung saluran melalui fistula ke dalam permukaan gingiva luar atau ke dalam poket periodontal. Invasi bakteri jaringan telah disebutkan di dalam abses, invasi organisme diidentifikasi sebagai gram negatif cocci, diplococci, fusiform, dan spirochetes. Invasi fungi juga ditemukan dan diinterpretasikan sebagai penginvasi opportunis. 2.1.13 Kista Periodontal Kista periodontal adalah lesi tidak umum yang menghasilkan kerusakan lokal jaringan periodontal sepanjang permukaan lateral, paling sering di mandibular daerah caninus-premolar. Di bawah ini kemungkinan etiologi telah disebutkan:

1. Kista odontogenik disebabkan oleh proliferasi epitelial istirahat Malassez; stimulus inisiasi
aktivitas seluler tidak diketahui.

2. Kista lateral dentigerous tertahan di dalam rahang setelah gigi erupsi. 3. Kista premodial supernumeri benih gigi. 4. Stimulasi epitelial istirahat ligamen periodontal oleh infeksi dari abses periodontal atau dari
pulpa melalui saluran akar tambahan. Kista periodontal biasanya asimptomatik dan tanpa dapat ditemukan perubahan secara nyata, tetapi kista periodontal bisa ada sebagai bengkak lunak. 2.2 Kehilangan Tulang dan Pola Kerusakan Tulang Meskipun perodontitis merupakan suatu penyakit jaringan gingiva, perubahan yang terjadi pada tulang alveolar sangat berperan penting karena kehilangan tulang dapat menyebabkan kehilangan gigi. Tinggi dan kepadatan tulang alveolar pada keadaan normal memiliki keseimbangan antara besarnya pembentukan dan resorpsi yang diatur oleh faktor sistemik dan faktor lokal. Saat nilai resorpsi lebih besar dari nilai pembentukan tulang, tinggi dan kepadatan tulang alveolar dapat menurun. 2.2.1 Kerusakan Tulang Akibat Inflamasi Gingiva yang Meluas Penyebab utama kerusakan tulang pada penyakit periodontal adalah perluasan inflamasi marginal gingiva ke jaringan penyokong. Invasi dari inflamasi gingiva ke permukaan tulang dan permulaan dari kehilangan tulang merupakan ciri utama transisi dari gingivitis ke periodontitis. Periodontitis selalu didahului oleh gingivitis, sedangkan tidak semua gingivitis berkembang menjadi periodontitis. Faktor yang menyebabkan perluasan inflamasi ke jaringan penyokong dan

menginisiasi perubahan gingivitis menjadi periodontitis belum diketahui, namun dikaitkan dengan komposisi bakterial yang terdapat pada plak. Pada penyakit periodontal yang parah, kandungan bakteri yang bergerak (motile) dan spirochaeta meningkat sedangkan bakteri kokus dan batang berkurang. Perluasan inflamasi dikaitkan pula dengan potensi pathogenik dari plak, resistensi host, termasuk pula reaksi imunologi manusia, dan reaksi-reaksi jaringan seperti derajat fibrosis gingiva, luas attached gingiva, fibrogenesis dan osteogenesis yang reaktif. Sistem fibrin-fibrinolitik disebut sebagai walling off dari peningkatan lesi. 2.2.2 Histopatologi Inflamasi gingiva meluas sepanjang bundel serat kolagen dan menyebar mengikuti jalur blood vessel menuju tulang alveolar. Pada regio molar, inflamasi dapat meluas ke sinus maksilaris dan mengakibatkan penebalan sinus mukosa. Pada bagian interproksimal, inflamasi menyebar ke jaringan ikat longgar di sekitar pembuluh darah melalui serat-serat, lalu menyebar ke tulang melalui saluran pembuluh lalu memperforasi puncak septum interdental di tengah-tengah puncak alveolar, lalu menyebar ke sisi-sisi septum interdental. Jarang tejadi inflamasi yang menyebar langsung ke tulang menemui ligamen periodontal. Pada bagian fasial dan lingual, inflamasi gingiva menyebar melalui lapisan periosteal luar pada tulang dan berpenetrasi melalui pembuluh darah. Setelah inflamasi mencapai tulang, inflamasi menyebar ke dalam ruangan kosong dan mengisi ruangan tersebut dengan leukosit, cairan eksudat, pembuluh darah yang baru, dan memploriferasi fibroblast. Jumlah multinuklear osteoklast dan mononuklear fagositosis meningkat lalu lapisan tulang menghilang, diganti dengan lakuna. 2.2.3 Mekanisme Kerusakan Tulang Faktor yang berpengaruh pada kerusakan tulang adalah bakteri dan host (pada penyakit periodontal). Produk bakterial plak meningkatkan diferensiasi sel progenitor tulang menjadi osteoklas dan merangsang sel gingiva untuk mengeluarkan suatu mediator yang memicu terjadinya hal tersebut. Produk plak dan mediator inflamasi untuk menghambat kerja dari osteoblast dan menurunkan jumlah sel-sel tersebut. Jadi, aktivitas resorpsi tulang meningkat, sedangkan proses pembentukan tulang terhambat sehingga terjadilah kehilangan tulang. 2.2.4 Pola Kerusakan Tulang 2.2.4.1 Hilangnya tulang secara horizontal Hilangnya tulang secara horizontallah yang paling sering dijumpai. Tulang alveolar berkurang tingginya, margin tulang berbentuk horizontal atau agak miring. Resopsi tulang pada pola ini terjadi karena adanya aktivitas yang sama besar pada semua bagian tulang. Sehingga kerusakan sama rata, dan cacat yang terbentuk adalah puncak alveolar yang datar. 2.2.4.2 Cacat tulang pada tulang alveolar Cacat ini dijumpai pada septum interdental maupun permukaan tulang sebelah luar (oral atau vestibular).

2.2.4.3 Cacat tulang pada septum interdental Adanya cacat tulang ini dapat dilihat secara radiografis, tetapi paling jelas diketahui dengan mengadakan probing sewaktu diadakan pembukaan flap dalam prosedur operatif. Cacat tulang pada septum interdental ini adalah 1. Crater (cupping) Cacat tulang ini merupakan kavitas pada crest septum interdental yang dibatasi oleh dinding oral dan vestibular dan kadang-kadang dijumpai antara permukaan gigi dengan vestibular atau dasar mulut 2. Infrabony Cacat tulang ini dapat bermacam-macam tergantung pada jumlah dinding tulangnya. 2.2.4.4 Cacat Tulang Alveolar Pada Permukaan Oral atau Vestubular Cacat tulang pada permukaan luar (oral atau vestibular)ini sangat bervariasi, diantaranya adalah: 1. Kontur tulang yang bulbous Kontur tulang yang bulbous biasanya disebabkan adanya eksositosis atau terbentuknya pilling. 2. Hemisepta Sedangkan hemisepta akan menunjukkan adanya bagian interdental septum yang rusak sepanjang penyakit. Bagian yang rusak ini dapat terjadi pada bagian mesialnya ataupun bagian distalnya. 3. Margin Tulang inkonsisten Bentuk margin tulang yang inkonsisten merupakan cacat tulang angular atau terbentuk U pada permukaan oral atau vestibular. Pada agambaran radoografik hal ini akan sukar diketahui oleh oleh karena terrindih oleh gambaran gigi atau gambaran tulang lainnya. 4. Ledge Bentuk ledges terlihat sebagai penonjolan kecil dan rata akibat adanya bony plato yang tebal mengalami resopsi. 5. Spine Cacat tuang spine menunjukkan adanya penonjolan tulang yang tajam 6. Margin tulang terbalik Bentuk margin tulang terbalik maksudnya pincak crest alveolar yang tertinggi terdapat di pertengahan gigi. 2.2.4.5 Cacat Furkasi Cacat furkasi juga dapat dikelompokkan menurut derajat kerusakan tulang di daerah furkasi yang diukur pada bidang horizontal. Cacat furkasi ini diklasifikasikan menjadi 3 kelas, yaitu: 1. Kelas 1 Disebut juga cacat tahap awal. Merupakan cacat yang berpenetrasi kurang dari 2mm ke arah furkasi. 2. Kelas 2

Merupakan cacat dimana kerusakan tulang lebih dari 2 mm ke arah interradikular, tetapi tidak semua daerah furkasi sehingga ada sebuah aspek tulang yang tetap utuh. 3. Kelas 3 Merupakan cacat yang sedemikian rupa sehingga sebagian besar tulang interradikular sudah rusak, dan sonde dapat dimasukkan melewati dearah antara akar-akar gigi dari salah satu sisi ke sisi lainnya. 2.3 Periodontitis Kronis Periodontitis kronis merupakan penyakit dengan tipe progresif yang lambat. Dengan adanya faktor sistemik, seperti diabetes, perokok, atau stress, progres penyakit akan lebih cepat karena faktor tersebut dapat merubah respon host terhadap akumulasi plak. 2.3.1 Karakteristik Umum Karakteristik yang ditemukan pada pasien periodontitis kronis yang belum ditangani meliputi akumulasi plak pada supragingival dan subgingival, inflamasi gingiva, pembentukan poket, kehilangan periodontal attachment, kehilangan tulang alveolar, dan kadang-kadang muncul supurasi. Pada pasien dengan oral hygiene yang buruk, gingiva membengkak dan warnanya antara merah pucat hingga magenta. Hilangnya gingival stippling dan adanya perubahan topografi pada permukaannya seperti menjadi tumpul dan rata (cratered papila). Pada banyak pasien karakteristik umum seringkali tidak terdeteksi, dan inflamasi hanya terdeteksi dengan adanya pendarahan pada gingiva sebagai respon dari pemeriksaan poket periodontal. Kedalaman poket bervariasi, dan kehilangan tulang secara vertikal maupun horizontal dapat ditemukan. Kegoyangan gigi terkadang muncul pada kasus yang lanjut dengan adanya perluasan hilangnya attachment dan hilangnya tulang. Periodontitis kronis dapat didiagnosis dengan terdeteksinya perubahan inflamasi kronis pada marginal gingiva, adanya poket periodontal dan hilangnya attachment secara klinis. 2.3.2 Penyebaran Penyakit Periodontitis kronis biasanya merupakan penyakit yang spesifik pada suatu tempat yang terakumulasi plak. Periodontitis kronis dijelaskan sebagai localized dan generalized. 1) Localized periodontitis Kurang dari 30% tempat terkena abses pada mulut yang menunjukan hilangnya attachment dan tulang. 2) Generalized periodontitis Terdapat 30 % atau lebih tempat terkena abses pada mulut yang menunjukan hilangnya attachment dan tulang. Pola hilangnya tulang pada periodontitis secara vertikal, bila hilangnya attachment dan tulang pada permukaan gigi lebih besar dibandingkan pada permukaan yang berdekatan, atau horizontal. Hilangnya tulang secara vertikal biasanya diasosiasikan dengan kerusakan angular tulang dan bentuk poket intrabony. Hilangnya tulang secara horizontal biasanya dihubungkan dengan poket suprabony. 2.3.3 Keganasan Penyakit

Keganasan pada kerusakan periodontal terjadi akibat lama tidaknya waktu terkena penyakit. Dengan bertambahnya usia, hilangnya attachment dan tulang akan menjadi lebih prevalensi dan berbahaya karena adanya akumulasi dari kerusakan. Keganasan penyakit dibagi menjadi : 1) Slight (mild) periodontitis Kerusakan periodontal yang ringan dan hilangnya attachment tidak lebih dari 1-2 mm. 2) Moderate periodontitis Kerusakan periodontal yang sedang dan hilangnya attachment 3-4 mm. 3) Severe periodontitis Kerusakan periodontal yang berbahaya dan hilangnya attachment lebih dari 5mm. 2.3.4 Gejala Gejala awal pasien periodontitis kronis adalah terdapat tanda gusi berdarah pada saat makan atau ketika menyikat gigi, adanya kegoyangan gigi, atau tanggalnya gigi. Pada periodontitis kronis ini pasien tidak ada gejala nyeri, pasien sama sekali tidak merasa bahwa dia terkena penyakit sehingga kemungkinan besar sulit untuk mau dirawat. Rasa nyeri kemungkinan muncul pada gigi tanpa karies yang disebabkan oleh akar yang sensitif pada panas, dingin, atau keduanya. Area atau tempat yang terlokalisir sedikit nyeri, kadang-kadang merambat jauh pada rahang biasanya dihubungkan dengan periodontitis. Adanya area yang terimpaksi oleh makanan menambah ketidaknyamanan pada pasien. 2.3.5 Progres Penyakit Pasien memiliki kemungkinan terkena periodontitis kronis yang sama sepanjang hidup. Kecepatan progresi biasanya lambat tetapi dapat dimodifikasi oleh sistemik, lingkungan, dan perilaku. Awal pembentukan periodontitis dapat terjadi kapanpun, tetapi tanda awal biasanya dapat terdeteksi selama masa remaja pada akumulasi plak dan kalkulus. Periodontitis kronis secara klinis menjadi signifikan pada umur pertengahan-tiga puluhan atau lebih. Beberapa model yang menjelaskan tentang progres penyakit. Pada model, progresi diukur oleh jumlah hilangnya attachment. 1. Continous model, progres dari penyakit lambat dan berkesinambungan, dengan tempat yang terkena menunjukan adanya kecepatan progres yang konstan pada kerusakan periodontal. 2. Random model (episodic-burst model), mengarah pada progres dari penyakit periodontal dengan lambatnya destruksi yang diikuti oleh periode tanpa destruksi. Pola penyakit ini adalah random. 3. Asynchronous (multiple-burst model), pada progres dari penyakit mengarah pada destruksi periodontal yang terjadi di sekeliling gigi yang terkena selama periode burst activity, dan akan berganti dengan periode inactivity. 2.3.6 Prevalensi

Periodontitis kronis meningkat prevalensi dan keganasannya berhubungan dengan umur, dan secara umum efeknya pada jenis kelamin adalah sama. Bukan umur dari individu yang menyebabkan meningkatnya prevalensi, tetapi lamanya waktu jaringan periodontal berubah oleh akumulasi plak. 2.3.7 Faktor Resiko Terjadinya Penyakit Periodontitis merupakan penyakit yang disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor utama terjadinya periodontitis adalah terdapatnya akumulasi plak pada gigi dan gingival. Ada beberapa faktor yang ikut berkontribusi dalam peningkatan resiko terjadinya penyakit, antara lain: 1) Faktor lokal. Akumulasi plak pada gigi dan gingival pada dentogingival junction merupakan awal inisiasi agen pada etiologi periodontitis kronis. Bakteri biasanya memberikan efek lokal pada sel dan jaringan berupa inflamasi. 2) Faktor sistemik Kebanyakan periodontitis kronis terjadi pada pasien yang memiliki penyakit sistemik yang mempengaruhi keefektivan respon host. Diabetes merupakan contoh penyakit yang dapat meningkatkan keganasan penyakit ini. 3) Lingkungan dan perilaku Merokok dapat meningkatkan keganasan penyakit ini. Pada perokok, terdapat lebih banyak kehilangan attachment dan tulang, lebih banyak furkasi dan pendalaman poket. Stres juga dapat meningkatkan prevalensi dan keganasan penyakit ini. 4) Genetik Biasanya kerusakan periodontal sering terjadi di dalam satu keluarga, ini kemungkinan menunjukkan adanya faktor genetik yang mempengaruhi periodontitis kronis ini. 2.4 Periodontitis Agresif Periodontitis agresif biasanya menyerang secara sistemik pada individu sehat yang berumur kurang dari 30 tahun. Periodontitis agresif dibedakan dengan periodontitis kronis berdasarkan onset usia, kecepatan progresi, sifat dan komposisi kumpulan mikroflora gingiva, perubahan respon imun host dan agregasi keluarga dari penyakit individu. Periodontitis agresif menggambarkan tiga penyakit. Penyakit tersebut adalah localized aggressive periodontitis, generalized aggressive periodontitis , dan rapidly progressive periodontitis (RPP). 2.4.1 Localized Aggressive Periodontitis 2.4.1.1 Latar Belakang

Pada tahun 1923 Gottlieb melaporkan seorang pasien dengan kasus fatal influenza epidemik. Gottlieb menyebut penyakit itu sebagai difuse atrophy of the alveolar bone. Pada tahun 1928, Gottlieb mengganggap kondisi ini disebabkan oleh inhibisi pembentukan sementum yang terus menerus. Pada tahun 1938, Wannenmacher menyebut penyakit tersebut sebagai parodontitis marginalis progressiva. Pada akhirnya, tahun 1966, world workshop in periodontics menyimpulkan konsep periodontosis sebagai suatu gambaran degeneratif yang tidak perlu dikonfirmasi dan istilah itu harus dihilangkan dari nomenklatur periodontal. Istilah Juvenile periodontitis telah diperkenalkan oleh Chaput dan para kolega di tahun 1967 dan oleh Butler pada tahun 1969. Pada tahun 1971, Baer mendefinisikan ini sebagai suatu penyakit pada periodontium yang terjadi pada remaja sehat dengan karakteristik kehilangan tulang alveolar yang sangat cepat. Pada tahun 1989, word workshop clinical periodontics mengkategorikan penyakit ini sebagai localized juvenile periodontitis (LPJ) , termasuk sub dari klasifikasi besar dari early-onset periodontitis (EOP). Sekarang, penyakit penyakit dengan karakteristik LPJ berubah nama menjadi localized aggressive periodontitis. 2.4.1.2 Tanda-tanda Klinis Localized aggressive periodontitis (LAP) biasanya mempunyai onset pada usia masa pubertas atau remaja. Tanda-tanda klinisnya yaitu terlokalisasi pada gigi molar pertama atau incisivus dan hilangnya perlekatan interproksimal paling sedikit pada dua gigi permanen, satu pada gigi molar pertama dan melibatkan tidah lebih dari dua gigi selain dari gigi molar pertama dan incsivus. Kemungkinan alasan batas kerusakan jaringan periodontal dan gigi yaitu : 1. Setelah melakukan kolonisasi pertama pada gigi permanen yang pertama erupsi (gigi molar pertama dan incisivus), Actinobacillus actinomycetemcomitans menghindari pertahanan host dengan mekanisme yang berbeda, meliputi produksi polimorphonuclear leukocyte (PMN), faktor penghambat-chemotaxis, endotoxin, kolagen, leukotoxin, dan faktor lain yang dapat membuat bakteri berkolonisasi pada poket dan memulai perusakan jaringan periodontal. Setelah penyerangan pertama ini, pertahanan imun adekuat host distimulasi dengan memproduksi antibody untuk menaikan jarak dan fagositosis serangan bakteri dan menetralisir aktifitas leukotoxin. Dengan cara ini, kolonisasi bakteri pada tempat lain dapat dicegah. Respon antibody yang kuat pada agen infeksi adalah karakteristik dari localized aggressive periodontitis. 2. Bakteri yang berlawanan dengan A. actinomycetemcomitans dapat berkolonisasi pada jaringan periodontal dan menghambat kolonisasi yang lebih lanjut dari A. actinomycetemcomitans. Ini akan melokalisasi infeksi A. actinomycetemcomitans dan mencegah perusakan jaringan. 3. A. actinomycetemcomitans dapat kehilangan kemampuan memproduksi leukotoxin tanpa alasan yang jelas. Jika hal ini terjadi, progresi penyakit dapat dicegah atau dilemahkan, dan kolonisasi pada daerah periodontal yang baru dapat dihindari. 4. Kerusakan pada susunan sementum dapat disebabkan oleh lesi yang terlokalisasi. Permukaan akar dari gigi yang dicabut pada pasien LAP ditemukan adanya sementum yang hipoplastik atau aplastik. Hal ini

tidak hanya ditemukan pada permukaan akar yang terpapar langsung pada poket periodontal tetapi juga pada akar gigi yang masih mengelilingi periodontium. Karakteristik yang mencolok dari LAP adalah tidak adanya inflamasi klinis meskipun terdapat poket periodontal yang dalam dan adanya kehilangan tulang yang cepat. Pada beberapa kasus jumlah plak minimal yang terlihat tidak konsisten dengan jumlah kerusakan periodontal. Plak jarang membentuk kalkulus. Meskipun jumlah plak terbatas tetapi mengandung banyak A. Actinomycetemcomitans dan pada beberapa pasien terdapat Porphyromonas gingivalis. LAP mempunyai progres yang cepat. Bukti yang telah dilaporkan bahwa laju hilangnya tulang sekitar 3-4 kali lebih cepat daripada periodontitis kronik. Karakteristik klinis lain dari LAP meliputi : 1. Adanya perpindahan distolabial pada incisivus rahang atas, bersamaan dengan pembentukan diastema. 2. Peningkatan pergerakan pada incisivus dan molar rahang atas dan rahang bawah. 3. Sensitifitas permukaan akar terhadap suhu dan sentuhan. 4. Rasa sakit selama matikasi, kemungkinan besar disebabkan oleh iritasi struktur pendukung oleh gigi yang bergerak dan impaksi makanan. Tidak semua kasus LAP berprogresi pada tingkatan yang dapat diuraikan dengan tepat. Pada beberapa pasien dengan progresi kehilangan perlekatan dan kehilangan tulang dapat sembuh dengan sendirinya. 2.4.1.3 Gambaran Radiografik Hilangnya tulang alveolar secara vertikal disekeliling gigi molar pertama dan incisivus, pada permulaan masa pubertas pada remaja sehat, merupakan tanda diagnosis klasik dari LAP. Gambaran radiografik meliputi hilangnya bentuk lengkung tulang alveolar yang meluas dari permukaan distal pada gigi premolar kedua sampai permukaan mesial gigi molar kedua. Kerusakan tulang biasanya lebih luas daripada periodontitis kronik. 2.4.1.4 Prevalensi dan Distribusi Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Prevalensi LAP pada populasi usia remaja pada keadaan geografis yang berbeda yaitu kurang dari 1 %. Sebagian besar melaporkan prevalensi yang rendah sekitar 0,2 %. Beberapa penelitian menemukan bahwa prevalensi tertinggi LAP pada laki-laki kulit hitam, diikuti perempuan kulit hitam, perempuan kulit putih dan laki-laki kulit putih. Terlihat frekuensi paling banyak pada periode pubertas dan pada usia 20 tahun. 2.4.2 Generalized Aggressive Periodontitis 2.4.2.1 Tanda-tanda klinis Generalize Aggressive Periodontitis (GAP) biasanya menyerang individu dibawah umur 30 tahun, namun pasien yang lebih tua juga dapat terserang. Berbeda dengan LAP, individu yang terserang GAP menghasilkan respon antibody yang rendah terhadap organisme patogen. Secara klinis, GAP mempunyai karakteristik yaitu hilangnya perlekatan interproksimal secara menyeluruh, sedikitnya pada tiga gigi permanen selain molar pertama dan incisivus. Kerusakan yang timbul terjadi secara bertahap

diikuti tahap quiescence (diam) dalam periode minggu ke bulan atau tahun. Radiografi sering menunjukan kehilangan tulang yang mempunyai progresi sejak pemeriksaan radiografi. Seperti pada LAP, pasien GAP sering mempunyai jumlah plak kecil. Jumlah plak nampak tidak konsisten dengan jumlah kerusakan periodontal. Namun terdapat banyaknya bakteri P. gingivalis, A. actinomycetemcomitans dan Tannerella forsythia. Respon dua jaringan gingiva dapat ditemukan. Salah satu yang paling ganas adalah jaringan yang terinflamasi akut, sering terproliferasi, terulserasi dan berwarna merah terang. Pendarahan dapat terjadi secara spontan atau dengan stimulasi ringan. Supurasi dapat menjadi suatu karakteristik penting. Respon jaringan ini dianggap terjadi pada tahap destruktif dimana perlekatan tulang hilang dengan aktif. Pada beberapa kasus, jaringan gingiva dapat terlihat berwarna pink, bebas inflamasi, kadang-kadang dengan beberapa tingkatan stippling. Poket yang dalam dapat terlihat dengan pemeriksaan. Beberapa pasien GAP dapat memiliki manifestasi sistemik seperti penurunan berat badan, depresi mental dan malaise. 2.4.2.2 Gambaran Radiografik Gambaran radiografik pada GAP yaitu hilangnya tulang dari sedikit gigi sampai menyerang sebagian besar gigi. Perbandingan radiografik yang diambil pada waktu berbeda, menunjukan keagresifan penyakit ini. Page et al menjelaskan suatu sisi pada pasien GAP yang menunjukan adanya kerusakan sekitar 25%-60% selama periode 9 minggu, menunjukan kehilangan tulang yang ekstrim tetapi di lain sisi pada pasien yang sama, menunjukan tidak adanya kehilangan tulang. 2.4.2.3 Prevalensi dan Distribusi Bedasarkan Umur dan Jenis Kelamin Pada suatu di Sri Lanka, 8% dari populasi mempunyai penyakit periodontal rapid progression, dengan karakteristik hilangnya perlekatan sekitar 0,1-1 mm per tahun. Survey nasional A.U.S terhadap remaja usia 14-17 tahun melaporkan bahwa 0,13% terserang GAP. Selain itu juga, orang kulit hitam mempunyai resiko terjangkit lebih tinggi dibandingkan orang kulit putih untuk semua bentuk periodontitis agresif, dan remaja laki-laki juga mempunyai resiko lebih tinggi dari pada remaja perempuan. 2.4.3 Faktor Resiko Terjadinya Periodontitis Agresif 2.4.3.1 Faktor Mirobiologi Meskipun beberapa mikroorganisme spesifik seringkali terdeteksi pada pasien localized aggressive periodontitis (A.actinomycetemcomitans, Capnocytophaga spp., Eikenella corrodens, Prevotella intermedia dan Campylobacter rectus). A.actinomycetemcomitans disebutkan sebagai patogen primer. Seperti yang disimpulkan oleh Tonetti dan Mombelli: 1. A.actinomycetemcomitans ditemukan dengan jumlah tinggi pada karakteristik lesi dari LAP (kira-kira 90%). 2. Tempat dengan bukti adanya progresi lesi seringnya menunjukan peningkatan level A.actinomycetemcomitans.

3. Beberapa pasien dengan manifestasi klinis LAP mempunyai serum antibody yang meningkat secara signifikan terhadap A.actinomycetemcomitans. 4. Adanya hubungan antara pengurangan beban di subgingival oleh A.actinomycetemcomitans selama pengobatan dan kesuksesan respon klinis. 5. A.actinomycetemcomitans menghasilkan sejumlah faktor virulen yang dapat memberikan pengaruh terhadap proses penyakit. Flora yang menyerang secara morfologi campuran namun sebagian besar oleh bakteri gram negatif, meliputi kokus, batang, filamen, dan spirochetes. Beberapa jaringan terserang mikroorganisme yang telah diidentifikasi sebagai A.actinomycetemcomitans, Capnocytophaga sputigena, Mycoplasma sp., dan spirochetes. 2.4.3.2 Faktor Imunologi Beberapa kerusakan imun mempunyai hubungan dengan patogenesis penyakit periodontitis. Human leukocyte antigens (HLAs), yang mengatur respon imun, telah dipertimbangkan sebagai tanda untuk periodontis agresif. Meskipun HLAs tidak konsisten, antigen HLA A9 DAN B15 konsisten berhubungan dengan periodontis agresif. Beberapa investigasi, menunjukan bahwa pasien dengan periodontitis agresif menggambarkan kerusakan fungsional polymorphonuclear leukocytes (PMNs), monocyt, atau keduanya. Kerusakan ini dapat dilemahkan dengan aktifitas kemotaksis dari PMNs pada tempat yang terinfeksi atau dengan kemampuan fagositosit dan membunuh organisme. Penelitian saat ini juga diperlihatkan suatu hipersensitifitas monosit dari pasien LAP yang melibatkan produksi prostaglandin E2 (PGE2) mereka saat merespon lipopolisakarida (LPS). Hiperresponsif fenotip ini dapat mengawali peningkatan hilangnya jaringan ikat dan tulang yang disebabkan oleh produksi yang berlebihan faktor katabolik. Sistem imun mempunyai peranan penting dalam periodontitis agresif sistemik, menurut Anusaksathien dan Dolby, orang yang menemukan antibodi pada host yaitu kolagen, deoxiribonucleic acid (DNA) dan IgG. Mekanisme imun yang mungkin meliputi peningkatan aktifitas major histocompaibility complex (MHC) molekul kelas II, HLA, DR4, suppresor fungsi sel T, aktifasi polyclonal sel B oleh mikroba plak dan predisposisi genetik. 2.4.3.3 Faktor Genetik Hasil penelitian menyatakan bahwa semua individu tidak memiliki kemungkinan yang sama terkena periodontitis agresif. Secara spesifik dideskripsikan bahwa faktor genetik memiliki implikasi dalam periodontitis agresif. Saat ini, gen spesifik yang merespon penyakit ini belum dapat diidentifikasikan. Kerusakan imunologi yang berhubungan dengan periodontitis agresif dapat diturunkan secara genetik. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa respon antibodi terhadap patogen periodontal, termasuk A. actinomycetemcomitans di bawah kontrol genetik. Jumlah dari antibodi protektif (terutama IgG2) tergantung dari ras. 2.4.3.4 Faktor Lingkungan

Jumlah dan lamanya merokok merupakan variabel yang penting yang berpengaruh terhadap kerusakan pada dewasa muda. Pasien penyakit generalized aggressive periodontitis yang mempunyai kebiasaan merokok memiliki lebih banyak gigi yang terserang dan hilangnya perlekatan klinis yang lebih besar dibandingkan pasien GAP yang tidak merokok. 2.5 Periodontitis Ulseratif Nekrosis Necrotizing Ulcerative Periodontitis (NUP) merupakan perpanjangan dari NUG ke struktur periodontal. Di sisi lain, NUP dan NUG merupakan penyakit yang berbeda. Hingga perbedaan antara NUG dan NUP dapat dinyatakan diterima atau tidak diterima dianjurkan bahwa NUG dan NUP diklasifikasikan bersama di bawah kategori necrotizing periodontal disease walaupun dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda. 2.5.1 Karakteristik NUP Secara spesifik banyak kasus NUP disebutkan pada pasien immuno-compromised, khususnya pada mereka yang mengidap HIV positif atau yang memiliki AIDS. Klasifikasi kembali NUP dan NUG pada tahun 1999 termasuk pemisahan diagnosis dibawah klasifikasi Necrotizing Ulcerative Periodontal disease. Perbedaan antara kedua kondisi tersebut sebagai penyakit yang berbeda belum diklasifikasi. Namun mereka dibedakan berdasarkan ada atau tidak adanya kehilangan attachment dan tulang. 2.5.1.1 Gambaran Klinik Sama dengan NUG, kasus klinis NUP ditunjukan oleh nekrosis dan ulserasi pada bagian mahkota dari papila interdental dan margin gingival dengan rasa nyeri dan mudah berdarah. Ciri khas yang membedakan NUP yaitu progresi kerusakan penyakit termasuk hilangnya periodontal attachment dan tulang. Akan tetapi poket periodontal dengan pemeriksaan yang dalam tidak ditemukan dikarenakan ulseratif dan nekrosis pada lesi gingival menghancurkan epitelium marginal dan jaringan ikat, yang menghasilkan resesi gingiva. Lesi NUP yang berkelanjutan mengakibatkan hilangnya tulang, pergerakan gigi, dan akhirnya kehilangan gigi. Manifestasi intraoral pada kasus ini biasanya adalah demam, oral malodor, malaise, atau lymphadenopathy. 2.5.1.2 Gambaran Mikroskopis Dalam mikroskopik elektron plak mikroba menutupi nekrotik papila gingival, menemukan kemiripan histologi yang mencolok antara NUP pada pasien HIV positif dan lesi NUG pada pasien nonHIV. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan permukaan biofilm terdiri dari campuran flora mikroba dengan perbedaan morpho-type dan permukaan flora degan kumpulan spirochetes (bacterial zone). Di bawah lapisan bakteri adalah kumpulan PMNs (neutrofil rich-zone) yang padat dan sel nekrotik (necrotic zone). 2.5.2 NUP pada HIV/AIDS Lesi gingival dan periodontal dengan ciri yang khas sering ditemukan pada pasien dengan infeksi HIV dan AIDS. Banyak dari lesi ini yang memiliki manifestasi inflamasi periodontal yang tidak biasa dan mengarah ke infeksi HIV dan pasien yang dinyatakan immunocompromised. NUG dan NUP adalah kondisi yang paling sering dialami oleh pasien-pasien yang mengidap HIV .

Lesi NUP yang ditemukan pada pasien HIV positif menunjukan ciri-ciri khas yang mirip dengan yang nampak pada pasien HIV negatif. Di sisi lain, lesi NUP pada pasien HIV-positif dapat lebih membahayakan dan lebih banyak komplikasi dibanding dengan pasien HIV negatif. Bentuk nekrosis periodontitis tampak lebih menonjol dan lebih parah pada pasien dengan immunosupression.. Glick et al, menemukan hubungan korelasi yang tinggi antara diagnosis NUP dan immunosupression pada pasien HIV positif. Pasien tersebut menunjukan NUP 20.8 kali lebih mungkin memiliki CD4+ dibawah 200 cells/mm dibandingkan dengan pasien HIV positif tanpa NUP. 2.5.3 Etiologi NUP Etiologi dari NUP belum ditentukan, walaupun campuran bakteri fusiform-spirochete dianggap memegang peran utama. Banyak faktor predisposisi yang menyebabkan NUG, termasuk kebersihan oral yang rendah, penyakit periodontal sebelumnya, merokok, infeksi virus, status immunocompromised, stress psikososial dan malnutrisi. 2.5.3.1 Flora Mikroba Murray et al melaporkan bahwa kasus NUP pada pasien HIV-positif menunjukkan terdapat banyaknya Candida albicans dan prevalensi lebih tinggi dari Actinobacillus actinomycetemcomitans,Prevotella intermedia, Porphyromonas gingivalis, Fusobacterium nucleatum , dan Campylobacte dibandingkan dengan HIV negatif. Mereka melaporkan tingkatan yang rendah dari spirochetes, yang tidak konsisten dengan flora pada NUG. Mereka juga berpendapat bahwa flora lesi NUP HIV-positif sebanding dengan lesi periodontitis kronik klasik sehingga mendukung konsep mereka bahwa periodontitis nekrosis pada pasien HIV-positif adalah manifestasi agresif periodontitis kronis pada host yang immunocompromised. Berbeda dengan temuan ini, Cobb et al melaporkan bahwa komposisi mikroba NUP lesi pada pasien HIV-positif sangat mirip dengan lesi NUG, seperti yang dibahas sebelumnya. Mereka menggambarkan campuran flora mikroba dengan berbagai morphotypes di 81,3% dari spesimen. Di bawah permukaan flora mikroba terdapat kumpulan spirochetes di 87,5% dari spesimen. 2.5.3.2 Status Immunocompromised Baik lesi NUG dan NUP lebih prevalensi pada pasien dengan tekanan sistem imun. Sejumlah penelitian, terutama yang mengevaluasi HIV-positif dan pasien AIDS, mendukung konsep bahwa respon host berkurang pada orang-orang yang didiagnosis terkena NUP. Dimana immunocompromised pada pasien yang terinfeksi HIV positif ini didukung oleh kerusakan fungsi T-cell. Cutler et al menjelaskan kerusakan aktivitas bakterisida PMNs pada dua anak yang mengidap NUP. 2.5.3.3 Stres Psikologi Cohen-cole et al menyatakan bahwa mereka yang memiliki NUG memiliki tingkat kemarahan, tingkat depresi, dan tingkat stres lebih besar. Walaupun peran stres dalam pengembangan NUP tidak dilaporkan secara khusus banyak kesamaan antara NUG dan NUP akan menunjukkan bahwa hubungan serupa dengan stres mungkin ada.

Mekanisme pengaruhi stres pada penderita NUP belum ditetapkan. Namun, diketahui bahwa stres meningkatkan kortisol sistemik, dan peningkatan kortison dapat menurunkan sistem imun. Jadi stres akibat imunosupresi dapat merusak respon host dan menyebabkan penyakit nekrosis periodontal. 2.5.3.4 Malnutrisi Bukti langsung hubungan antara malnutrisi dan penyakit nekrosis periodontal terlihat pada infeksi nekrosis pada beberapa anak yang mengalami malnutrisi. Lesi NUG tetapi dengan progresi menjadi gangreous stomatitis atau noma tergambarkan pada anak-anak yang menderita malnutrisi. Pada tahap lebih lanjut, lesi NUG memanjang dari gingiva ke beberapa area lain dari kavitas oral, menjadi gangrenous stomatitis (noma) dan menyebabkan nekrosis, dan hilangnya tulang alveolar. Malnutrisi dapat menyebabkan hilangnya resistensi host terhadap infeksi dan penyakit nekrotis. Kekurangan nutrisi pada sel dan jaringan berakibat immunosupresi dan mudahnya terkena penyakit. 2.6 Patologi dan Penatalaksanaan Periodontal pada Pasien Terinfeksi HIV 2.6.1 Patogenesis Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) ditandai oleh penurunan yang jelas dari sistem imun. Keadaan ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1981, dan suatu virus patogen, yakni virus human immunodefiency virus (HIV), diidentifikasi pada tahun 1984. Kondisi ini awalnya dipercaya hanya terbatas di kalangan pria homoseksual. Lebih lanjut, juga diidentifikasi pada pria dan wanita heteroseksual dan biseksual yang terlibat dalam aktivitas seksual tak terlindungi atau pemakaian obatobatan suntik. Saat ini, aktivitas seksual dan penggunan obat-obatan merupakan cara penyebaran yang utama. HIV mempunyai afinitas yang kuat untuk sel pada sistem imun, lebih spesifik kepada yang membawa molekul reseptor permukaan sel CD4. Kemudian, yang membantu limfosit T (sel T4) cukup jelas terpengaruh, namun monosit, makrofag, sel Langerhans, dan beberapa sel otak neuronal dan glial juga terlibat. Replikasi virus terjadi secara berkelanjutan di jaringan limforetikular dari lymph nodes, spleen, gut-associated lymphoid cells, dan makrofag. Limfosit B tidak terinfeksi, tapi fungsi pengganti dari limfosit T4 yang terinfeksi menyebabkan disregulasi sel B dan penggantian fungsi neutrofil. Ini dapat menempatkan individu HIV positif pada resiko infeksi ganas dan disseminasi dengan mikroorganisme seperti virus, mycobacterioses, dan mycoses. Individu HIV positif juga beresiko terhadap reaksi berlawanan obat karena perubahan regulasi antigenik. Sel epitel mukosa dapat terinfeksi dan mempermudah akses virus ke aliran darah. Banyak kejadian, mengindikasikan jika penyebaran virus oral transmucosal terjadi setelah trauma dari membran mukosa. Ini membuat infeksi sirkulasi pertahanan sel inang seperti limfosit, makrofag, dan sel dendrit. HIV dideteksi hampir di seluruh cairan tubuh, meskipun ditemukan dalam jumlah besar hanya dalam darah, semen, dan cairan serebrospinal. Penyebarannya terjadi di hampir secara eksklusif oleh

kontak seksual, penggunaan obat suntik terlarang, atau paparan pada darah atau produk darah. Penyebaran dengan gigitan manusia sempat dilaporkan meskipun resikonya sangat rendah. Populasi yang beresiko tinggi termasuk pria homoseksual dan biseksual, pengguna obat-obatan suntik ilegal, orang dengan hemofilia atau kelainan koagulasi lainnya, penerima transfusi darah sebelum April 1985; bayi dari ibu yang terinfeksi HIV (yang transmisinya terjasi karena transmisi fetal, saat melahirkan, atau ketika menyusui); hubungan heteroseksual bebas; dan individu yang melakukan hubungan seks dengan orang yang HIV positif. Penyebaran heteroseksual merupakan sebab AIDS yang paling umum dalam populasi dunia dan ini bertambah secara signifikan di Amerika Serikat. Penyebaran lebih sering terjadi melalui kontak dengan individu yang terinfeksi HIV dengan plasma bioload tinggi dari virus. Penyebaran HIV juga dilaporkan terjadi melalui transplantasi organ dan inseminasi artifisal. 2.6.2 Epidemiologi dan Demografi Pada 31 Desember 2002, 886.575 kasus AIDS telah dilaporkan di Amerika Serikat, dan 501.69 kematian dihubungkan dengan sindrom ini. Peningkatan jumlah pasien dengan AIDS di Amerika Serikat dan negara berkembang lainnya mengakibatkan bagian dari perpanjangan usaha pertahanan hidup sejak adanya terapi multi obat anti-HIV. WHO memperkirakan bahwa sebanyak 38 juta orang di seluruh dunia telah terinfeksi oleh satu dari sepuluh subtipe HIV yang telah diketahui. Meskipun angka peningkatan infeksi sedikit menurun di negara berkembang, angka ini sudah merupakan penambahan sebanyak 40 juta orang di abad 21. AIDS mempengaruhi individu di segala usia, namun lebih dari 98% kasus terjadi pada orang dewasa dan remaja diatas 12 tahun. Penderita paling utama di Amerika Serikat adalah pria, yang 54% diantaranya adalah homoseksual maupun biseksual. Sekitar 12% dari kelompok ini merupakan pengguna obat-obatan suntik terlarang. Penambahan 27% dari infeksi secara eksklusif melalui penggunaan obat suntik, dan 15% dari keseluruhan pasien dengan AIDS di Amerika Serikat terjangkit infeksi karena kontak seksual. Lebih dari 19 % penderita AIDS adalah wanita, yang umumnya berhubungan seks dengan pengguna obat-obatan intravena atau pria biseksual. Wanita lainnya dengan AIDS merupakan kelahiran negara seperti Haiti atau negara Afrika lainnya yang memiliki insidensi tinggi di mana penyebaran utamanya melalui kontak heteroseksual. Hanya 1% individu yang terjangkit AIDS dari produk darah atau transfusi darah di Amerika Serikat. Model penyebaran ini berlanjut menjadi ancaman, bahkan di negara tidak berkembang. Tingginya jumlah pria homoseksual kulit hitam dan Hispanic, pria dan wanita heteroseksual, dan anak-anak yang terjangkit dari wanita yang terkena infeksi HIV. Penyebaran melalui pekerja kesehatan ke pasien telah dilaporkan pada 3 kasus, salah satunya adalah dokter gigi yang menginfeksi 6 pasien secara sengaja maupun tidak. 2.6.3 Klasifikasi dan Tahap Pada tahun 1982 Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mengembangkan definisi kasus untuk AIDS berdasarkan adanya penyakit oportunistik atau keganasan sekunder yang mengakibatkan ketahanan mediasi sel pada individu HIV positif. Pada 1993 revisi ditambahkan dengan kanker serviks pada wanita, bacillary tuberculosis, dan pneumonia berulang pada pembentukan AIDS.

Perubahan paling signifikan dalam definisi kasus CDC yang paling umum adalah inklusi beberapa imunodefisiensi (T4 limfosit dihitung <200/mm3> Angka individu yang hidup dengan AIDS di Amerika Serikat bertambah pesat beberapa tahun terkhir karena besarnya perkembangan dari highly active antiretroviral therapy (HAART), yang mengkombinasikan beragam obat antiretroviral, protease inhibitor, dan fusion inhibitor. Individu yang dirawat dengan HAART akan mengalami peningkatan level sel T4 dan peningkatan muatan plasma viral. Beberapa minggu setelah exposure awal, beberapa pasien dapat mengalami beberapa gejala akut seperti onset tiba-tiba dari penyakit mononucleus-like akut yang ditandai dengan malaise, kelelahan, demam, myalgia, erupsi erythematous cutaneous, oral candidiasis, oral ulceration, dan trombositopenia. Klasifikasi Kasus Pengawasan CDC: Pasien AIDS dikelompokkan berdasarkan klasifikasi kasus pengawasan CDC (1993): 1. Kategori A: termasuk pasien dengan gejala akut atau penyakit simptomatik, bersamaan dengan individu dengan generalized limfadenopati persisten, dengan atau tanpa malaise, kelelahan, atau demam tingkat rendah. 2. Kategori B: pasien yang memiliki kondisi simptomatik seperti oropharyngeal atau vulvovaginal candidiasis, oral hairy leukoplakia, trombositopenia idiopatik, atau gejala konstitusional dari demam, diare, dan berkurangnya berat badan. 3. Kategori C: pasien dengan AIDS, yang bermanifestasi oleh kondisi life-threatening atau diidentifikasikan melalui level CD4+ limfosit T dibawah 200 sel/mm3. Kategori tahapan CDC menunjukkan disfungsi imunologik yang progresif, namut pasien tidak mengalami progres secara urut terhadap ketiga tahapan tersebut, dan perkiraan jumlah kategori ini tidak diketahui. Meskipun HAART memberikan berbagai efek samping, banyak pusat perawatan AIDS tetap menggunakannya dengan memulai atau melanjutkannya dengan terapi multi obat. 2.6.4 Manifestasi Oral dan Periodontal pada Infeksi HIV Lesi oral seringkali ditemukan pada pasien yang terinfeksi HIV, walaupun faktor geografi dan lingkungan juga mempengaruhi. Dari laporan yang ada mengindikasikan bahwa sebagian besar pasien HIV memiliki lesi pada kepala dan leher, sedangkan lesi oral sangat umum terdapat pada individu yang positif terinfeksi HIV tetapi belum menderita AIDS. Beberapa laporan telah mengidentifikasikan hubungan yang sangat kuat antara infeksi HIV dengan oral candidiasis, oral hairy leukoplakia, atypical periodontal disease, oral Kaposis Sarcoma, dan oral non-Hodgkin lymphoma. Lesi oral yang memiliki sedikit hubungan kuat dengan infeksi HIV antara lain melanotic hyperpigmentation, mycobacterial infection, necrotizing ulcerative stomatitis, miscellaneous oral oral ulceration, dan infeksi viral ( herpes simplex virus, herpes zoster, condyloma acuminatum). Lesi yang terdapat pada pasien HIV tetapi seringkali tidak terdeteksi adalah infeksi viral (seperti CMV, molluscum contangiosum), recurrent aphthous stomatitis, dan bacillary angiomatosis (epitheloid angiomatosis). Oral Candidiasis

Candida, jamur yang ditemukan sebagai flora normal ronnga mulut, berproliferasi pada permukaan mukosa oral pada kondisi tertentu. Faktor utama yang berhubungan dengan pertumbuhan yang berlebihan dari Candida adalah berkurangnya resistensi dari host, seperti yang terlihat pada pasien yang lemah atau pasien yang menerima terapi imunosupresi. Insidensi dari infeksi candida akan meningkat secara progresif dalam hubungannya dengan menurunnya kompetensi imun. Candidiasis adalah lesi oral yang paling umum pada HIV-infected dan ditemukan pada sekitar 90% penderita AIDS. Biasanya terdapat satu dari empat presentasi klinis: a. Pseodomembranus candidiasis (thrush), muncul sebagai lesi putih yang sedikit sensitive dan tidak sakit yang dapat segera dikikis dan diangkat dari permukaan mukosa oral. Tipe ini sering terdapat pada palatum keras dan lunak dan pada mukosa labial dan bukal. b. Erythematous candidiasis, dapat muncul sebagai komponen dari tipe pseudomembranous, tampak seperti potongan kecil (patches) berwarna merah pada mukosa bukal dan palatal, atau dapat juga berhubungan dengan depapilasi dari lidah. c. Hyperplastic candidiasis, bentuk yang paling jarang muncul dan dapat terlihat pada mukosa bukal dan lidah. Tipe ini lebih sulit untuk dihilangkan dibandingkan yang lainnya. d. Angular cheilitis, komisura (commissure) yang tampak erythematous dengan permukaan berkrusta dan bercelah(fissure). Diagnosis dari candidiasis dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis dari sampel jaringan atau smear dari material yang diambil dari lesi tersebut, yang menunjukkan bentuk hifa dan yeast dari organisme tersebut. Kebanyakan pasien terdapat oral candidiasis dan esophageal candidiasis, tanda diagnostik untuk AIDS. Walaupun candidiasis pada pasien terinfeksi HIV dapat merespon pemberian terapi antifungal, biasanya sulit disembuhkan atau rekuren. Sebanyak 10 % organisme candida menjadi resisten pada terapi jangka panjang dari flukonazole, dan cross-resistance pada agen antifungal lainnya dapat terjadi termasuk itrakonazole, amphoterecine B, suspense oral, dan amphoterecine B intravena. Candidiasis yang resisten lebih sering terdapat pada individu yang memiliki jumlah CD4 dibawah garis dasar. Penggunaan jangka panjang ketokonazole dapat menyebabkan kerusakan liver pada individu dengan pre-existent penyakit liver. Banyak dari infeksi hepatitis B kronik pada individu terinfeksi HIV dapat membawa pasien pada resiko kerusakan liver karena ketokonazole. Laporan yang baru diterima mengindikasikan bahwa pemberian kombinasi obat antiretroviral dan protease inhibitor pada infeksi HIV menghasilkan penurunan yang signifikan dari insidensi orofaringeal candidiasis dan oral candidal carriage dan telah menurunkan angka resistensi terhadap flukonazole. Oral Hairy Leukoplakia (OHL) Oral hairy leukoplakia (OHL) terutama terjadi pada individu yang terinfeksi HIV. Ditemukan pada batas lateral dari lidah, dan biasanya tersebar bilateral dan dapat meluas sampai ventrum. Lesi ini bersifat asimptomatik dan memiliki area keratotik yang batasnya kurang jelas dengan rentang

ukuran dari beberapa millimeter sampai sentimeter. Seringkali memiliki karakteristik vertical striation, yang memberikan gambaran seperti ombak (corrugated), atau permukaannya mungkin berbulu dan muncul hairy (rambut) ketika kering. OHL ditemukan hampir secara khusus pada batas lateral lidah, walaupun juga pernah dilaporkan terdapat pada dorsum lidah, mukosa bukal, dasar mulut, area retromolar, dan palatum lunak. Sebagai tambahan, kebanyakan dari lesi ini menunjukkan kolonisasi pada permukaannya oleh organisme Candida, yang merupakan secondary invander dan bukan merupakan penyebab dari lesi ini. Gambaran mikroskopik dari OHL yang terdapat pada lidah pada high-risk patient dipertimbangkan sebagai tanda awal yang spesifik dari infeksi HIV dan sebagai indikator kuat bahwa pasien akan menderita AIDS. Dari analysis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa 83% pasien yang terinfeksi HIV dengan hairy leukoplakia akan berkembang menjadi AIDS dalam waktu 31 bulan dan jumlah pasien dengan hairy leukoplakia yang dengan cepat berkembang menjadi AIDS mendekati 100%. Penggunaan HAART, bagaimanapun juga, telah menurunkan insidensi OHL. Jika OHL tetap terjadi meskipun telah mengkonsumsi HAART, ini menggambarkan meningkatnya imunodefisiensi dikarenakan kegagalan terapetik, kesalahan dalam mengkonsumsi obat sesuai resep, atau mengurangi dosis obat untuk menurunkan efek samping obat. Perawatan OHL yang terlalu berlebihan biasanya tidak diindikasikan. Bagaimanapun juga, lesi biasanya merespon terapi obat HIV atau penggunaan obat antivirus seperti acyclovir atau valacyclovir. Lesi dapat seluruhnya dihilangkan dengan menggunakan laser atau pembedahan konvensional. Juga terdapat penggunaan obat-obatan topikal seperti podophylin, retinoid, atau interferon. Kaposis Sarcoma dan Keganasan Lainnya Keganasan dalam rongga mulut lebih sering terjadi pada individu imunokompromis dibandingkan pada populasi umum. Individu HIV-positif dengan non-Hodgkins lymphoma (NHL) atau Kaposis sarcoma (KS) dikategorikan mengidap AIDS. Insidensi dari squamous cell carcinoma juga meningkat pada individu yang terinfeksi HIV. KS adalah keganasan dalam rongga mulut paling sering yang terdapat pada AIDS. Kaposis sarcoma (KS) jarang terjadi, multifocal, neoplasma vascular. Baru-baru ini, strain baru dari herpes virus telah diidentifikasi sangat berhubungan dengan terjadinya KS. Virus ini pada awalnya dinamakan KSherpes virus tetapi sekarang ini lebih dikenal sebagai human herpes virus-8 (HHV-8). HHV-8 telah dihubungkan dengan AIDS-related dengan AIDS-non related KS. Walaupun begitu, individu yang terinfeksi HIV memiliki resiko 7000 kali lebih besar untuk terkena KS. Walaupun virus ini virus ini dapat ditransmisikan secara seksual, virus ini juga dapat ditransmisikan dari ibu yang terinfeksi kepada anaknya. KS yang terdapat pada pasien terinfeksi HIV muncul dalam gambaran klinis yang berbeda-beda. Pada individu ini, KS menjadi lesi yang lebih agresif dan mayoritas (71%) berkembang menjadi lesi pada mukosa oral,terutama pada palatum dan gingival.

Pada stadium awal, lesi oral tidak sakit, macula berwarna ungu kemerah-merahan. Selama lesi berkembang, lesi ini sering menjadi nodular dan dengan mudah menjadi sulit dibedakan dengan kesatuan vascular oral lainnya seperti hemangioma, hematoma, varicosity, atau pyogenic ganuloma (ketika terjadi di gingival). Lesi-lesinya bermanifestasi sebagai nodul, papula, atau macula nonelevated yang biasanya berwarna cokelat, ungu, atau biru. Terkadang lesi ini dapat terlihat dalam pigmentasi normal. Diagnosis berdasarkan pemeriksaan histologis. Secara mikroskopis KS terdiri dari empat komponen; (1)proliferasi sel endothelial dengan formasi dari saluran vascular atypical;(2) extravascular hemorrhage dengan deposisi hemosiderin;(3) proliferasi sel spindle dalam hubungannya dengan pembuluh atypical;(4) infiltrat inflamasi mononuclear yang terutama terdiri dari sel-sel plasma. Diagnosis diferensial dari oral KS termasuk granuloma pyogenicum, hemangioma, atypical hyperpigmentation, sarcoidosis, bacillary angiomatosis, angiosarcoma, pigmented nevi, dan cat-scratch disease (kulit). Pemberian HAART telah menurunkan insidensi dari KS. Bagaimanapun juga, lesi masih dapat ditemukan pada individu imunokompromis yang hebat atau mereka yang tidak mengetahui status HIV-positif mereka. HHV-8 dapat ditemukan lebih banyak pada saliva individu HIV-positif dengan jumlah sel CD4 yang lebih banyak, dapat menunjukkan penyebaran virus pada tahap awal proses penyakit. Penanganan oral KS antara lain agen antiretroviral, laser excision, cryotherapy,terapi radiasi, dan intralesional injection dengan menggunakan vinblastine, interferon-, sclerosing agents, atau obatobat kemoterapi lainnya. Nichols dkk mengungkapkan keuntungan menggunakan injeksi intralesi dengan menggunakan vinblastine dengan dosis 0.1 mg/cm2, 0.2 mg/ml solution sulfate dalam saline. Perawatan diulang dalam interval 2 minggu sampai resolusi atau lesi stabil. Efek sampingnya adalah beberapa nyeri setelah perawatan dan kadang-kadang ulcerasi pada lesi., tetapi secara umum, terapi sudah baik. Total resolusi yang didapat dalam 70% dari 82 lesi intraoral KS dengan satu sampai enam kali perawatan. Lesi cenderung muncul kembali, bagaimanapun juga, mengindikasikan bahwa perawatan harus tersedia untuk lesi oral KS yang mudah traumatisasi atau mengganggu pengunyahan atau penelanan. Bacillary (Epitheloid) Agiomatosis Bacillary (epitheloid) angiomatosis (BA) adalah infeksi penyakit proliferasi vascular dengan gambaran klinis dan histologis sangat mirip dengan KS. BA disebabkan oleh organism mirip ricketsia. Bartonellaclae henselia, quintata , dan lainnya. Lesi kulit mirip dengan yang terlihat pada KS atau catscratch disease. Manifestasi gingiva dari BA berupa lesi jaringan lunak yang edematous berwarna merah, ungu, atau biru yang dapat menyebabkan kerusakan ligament periodontal dan tulang. Kondisi ini ebih sering terjadi pada individu HIV-positif dengan level CD4 rendah. Diferensiasi BA dari KS berdasarkan biopsy, yang menunjukkan proliferasi epiteloid dari sel angiogenik ditambah adanya infiltrat sel inflamasi akut. Organisme penyebab pada spesimen biopsi

terkadang bereaksi dengan pewarna perak Warthen-Starry atau dengan menggunakan mikroskop electron. Diagnosis banding untuk BA termasuk KS, angiosarcoma, hemangioma, granuloma pyogenicum, dan proliferasi vascular nonspesifik. BA biasanya ditangani dengan menggunakan antibiotic spectrum luas seperti erythromycin atau doxycycline. Lesi gingiva ditangani dengan menggunakan antibiotik bersama dengan terapi periodontal konservatif dan mungkin eksisi lesi.

Oral Hyperpigmentation Peningkatan insidensi oral hyperpigmentation telah dideskripsikan pada pasien HIV-infected. Area pigmentasi oral sering muncul sebagai bintik (spot) atau bercak pada mukosa bukal, palatum, gingival, atau lidah. Terkadang pigmentasi juga berhubungan dengan pemakaian obat-obatan yang berkepanjangan seperti zidovudine, ketokonazole, atau clotazimine. Pigmentasi oral juga sebagai hasil dari insufisiensi adrenocorticoid yang diinduksi oleh individu HIV-positif yang menggunakan ketokonazole yang berkepanjangan atau karena infeksi Pneumocyystis carinii, CMV atau infeksi virus lainnya. Atypical Ulcers Ulserasi pada rongga mulut pada orang yang terjangkit HIV dapat mempunyai beragam etiologi termasuk neoplasma seperti lymphoma, KS dan squamous cell carcinoma. Laporan kasus terbaru menyatakan bahwa HIV-diasosiasikan dengan neutropenia dapat juga menunjukan suatu ulcer. Neutropenia telah berhasil dilakukan dengan menggunakan rekombinant human granulocyte colonystimulating factor (G-CSF) dengan resolusi dihasilkan dari Ulcer. Keganasan ulser yang berkepanjangan telah berhasil diatasi menggunakan prednisone dan thalidomide, obat yang menghambat tissue necrosis factor alpha (TNF- ). Kekambuhan kemungkinan terjadi, jika obatnya dihentikan. Herpes dapat melibatkan semua permukaan mucosal dan berkembang ke kulit dapat nampak selama berbulan bulan. Pembesaran tidak teratur, persisten, nonspesifik, Ulcer yang menyakitkan terjadi pada seseorang yang immunocompromised. Jika penyembuhan ditunda, luka ini dapat menjadi herpetic yang menetap atau luka aphthous.

Sejumlah bakteri dan infeksi viral dapat menghasilkan ulcer pada seseorang yang terjangkit HIV. Pada dasarnya, seseorang yang immunocompromised beresiko dari penularan agen endemik pada lokasi geografis pasien. Ulser tidak teratur atau tidak sembuh dapat memerlukan biopsi, kultur mikrobial, atau keduanya untuk menentukan etiologi. Ulser telah digambarkan dalam hubungannya dengan organisme enterobacterial seperti Klebsiella pneumonia, Enterobacter cloacea dan Escherichia coli. Infeksi tersebut adalah langka dan biasanya diasosiasikan dengan pelibatan sistemik. Terapi antibiotik khusus adalah diindikasikan dan koordinasi dekat dari terapi mulut dengan dokter pasien adalah biasanya diperlukan. Herpes simplex virus (HSV), varicella-zoster virus (VZV), Epstein-Barr Virus (EBV) dan Cytomegalovirus (CMV) adalah biasanya didapat kembali dari atypical ulcer, mengindikasikan kemungkinan peran etiologis. Baru baru ini, atypical ulcer ditemukan dengan infeksi HSV dan CMV atau dengan EBV dan CMV. Ulcer ini dapat terjadi pada seseorang yang neutropenic dalam hubungannya dengan infeksi HIV. Neutropenia dapat juga disebabkan oleh obat seperti zidovudie, trimethoprim-sulfamethoxazoic dan gancyclovir. Ulcer tidak teratur dapat menjadi lebih keras dan tahan lama pada seseorang yang rendah perhitungan sel CD4 dan adanya CMV mulut - disebabkan ulcer dapat menjadi indikatif dari infeksi sistemik CMV. Herpes labialis pada individual yang terjangkit HIV dapat menjadi responsif pada terapi antiviral topikal (sebagai contoh., acyclovir, pencyclovir, doconasol), untuk mengurangi waktu penyembuhan atau luka dapat memerlukan penggunaan agen sistemik antiviral (sebagai contoh., acyclovir, valacyclovir, famciclovir). Recurrent aphtous stomatitis (RAS) telah digambarkan pada pasien yang terjangkit HIV. RAS dapat terjadi, akan tetapi sebagai komponen inisial penyakit akut dari HIV seroconversion. Insidensi dari major aphtase dapat meningkat dan oropharynx esophagus atau area lain dari saluran gastrointestinal dapat dilibatkan. Metode untuk kekambuhan aphtous stomatitis termasuk topical atau intralesional corticosteroid, chlorhexidine dari kumuran mulut antimicrobial, oral tetracycline rinse atau topical ammlexanox. Terapi systemic corticosteroid dapat diperlukan dalam beberapa kasus. Akibatnya, pada pasien dengan infeksi HIV dan kekambuhan aphtase, sangat berhubungan medis dan terapi gigi dapat diperlukan. Infeksi viral oral pada pasien immunocompromised adalah dengan acyclovir (200-800 mg lima kali sehari untuk setidaknya 10 hari). Terapi pemeliharaan harian secara berurutan (200 mg dua hingga lima kali sehari) dapat diperlukan untuk mencegah kekambuhan. Resisten viral strain diperlakukan dengan foscarnet, ganciclovir atau valacyclovir. Terapi corticosteroid topical (fluocinonide gel digunakan tiga hingga lima kali sehari) aman untuk mencegah terjadinya kekambuhan ulcer aphthous atau luka mucosal lain dalam immunocompromosed individual. Akan tetapi, topical corticosteroid dapat mempengaruhi immunocompromised individual pada candidiasis. Akibatnya, pengobatan prophylactic antifungal harus diresepkan.

Biasanya, aphtae besar dalam individual yang positif HIV dapat terbukti resisten pada terapi topikal konvensional. Pada pasien ini, konsultasi pengobatan direkomendasikan dan pengadaan dari sistemik kortikosteroid (sebagai contoh prednisone, 40-50 mg setiap hari) atau terapi alternatif (sebagai contoh thalidomide, levamisole, pentoxiifylline) harus dipertimbangkan. Agen ini dapat mempunyai efek samping signifikan, akan tetapi, dan dokter harus tetap waspada atas bukti lain dari reaksi obat yang merugikan. Dalam interaksi dengan pengobatan yang baru saja diresepkan. Karena pada akhirnya semua agen antiviral digunakan dalam perlakuan infeksi HIV mempunyai potensi efek samping merugikan dari interaksi obat, dokter gigi harus mempertimbangkan terapi topikal apabila sesuai. 2.6.5 Komplikasi Perawatan Gigi Komplikasi paskaoperatif meliputi pendarahan, infeksi, lamanya penyembuhan luka) pada pasien dengan HIV/AIDS. Dokter gigi harus hati-hati dalam menangani pasien yang dicurigai terjangkit HIV/AIDS untuk menghindari komplikasi yang tidak semestinya. Akan tetapi, tinjauan sistematis dari literatur mengindikasikan bahwa tindakan pencegahan tidak diperlukan berdasarkan pada status HIV pasien ketika melakukan prosedur perlakuan periodontal seperti dental prohylaxis, scaling dan root planing, operasi periodontal, ekstraksi, dan penempatan implan. Biasanya, bagaimanapun, status kesehatan yang kurang baik dari pasien dengan AIDS dapat membatasi terapi periodontal pada prosedur yang konservatif, minimalnya invasif dan terapi antibiotik dapat diperlukan. Efek Samping Sejumlah obat yang menyebabkan efek samping telah dilaporkan pada pasien positif HIV dan dokter gigi dapat menjadi pertama untuk mengenali reaksi obat mulut. Foscarnet, interferon dan 2-3 dideoxycytidine (DDC) biasanya menyebabkan ulcer dan erythema multiforme telah dilaporkan dengan menggunakan didanosine (DDI). Zidovudine dan ganciclovir dapat menyebabkan leukopenia, Xerostomia dan perubahan sensasi rasa telah digambarkan dalam hubungannya dengan diethyldithiocarbamate (Dithiocarb) pasien positif HIV dipercaya secara umum rentan pada obat menyebabkan mucositis dan reaksi obat lichenoid. Pada beberapa pasien, ulcer dan mucositis diatasi jika terapi obat dilanjutkan lebih dari 2 hingga 3 minggu, tetapi ketika efek obat adalah keras atau menetap, terapi alternatif dengan obat berbeda harus digunakan. Obat HAART dapat menyebabkan efek samping merugikan bertingkat dari kondisi menengah relatif seperti pusing hingga pengembangan batu ginjal. Individual dengan hepatitis C dan bersama infeksi HIV adalah rentan pada liver cirrchosis. Efek merugikan dikenali baru adalah lipodystrophy, kondisi yang mencirikan redistribusi dari lemak tubuh. Individual yang terinfeksi dapat mengembangkan ciri muka kurus kering namun menunjukan lemak perut yang berlebih atau bahkan lapisan lemak pada bagian belakang bahu (buffalo hump/ponggol kerbau). Ini dapat diikuti dengan kekerasan sistemik hyperlipide. Efek reaksi merugikan lain dari HAART termasuk peningkatan resistensi insulin, gynecomastia, toxic epidermal necrolysis, dyscrasias darah, dan kemungkinan peningkatan insidensi dari kutil mulut.

Laporan mulut lainnya atau efek merugikan perioral termasuk reaksi oral lichenoid, xerostomia, perubahan sensasi darah, perioral paresthesia dan exfollative chellitis. (Figur 34-24 dan 34-25) 2.6.6 Penyakit Gingiva dan Periodontal pada Pasien HIV Minat yang sangat besar telah ditujukan pada sifat dasar dan insidensi dari penyakit gigi dan periodontal pada individu yang terinfeksi HIV. Bukti yang ada mengindikasikan bahwa penyakit-penyakit tersebut lebih sering terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV melalui penggunaan obat-obatan intravena. Hal ini muncul untuk menghubungkan kurangnya oral hygiene dan dental care dibandingkan penurunan jumlah sel CD4. Gingival dan periodontal manifestasi dapat ditemukan pada individu HIV positif. Terdapat linear gingival erythema dan necrotizing ulcerative gingivitis, keduanya berkembang secara cepat menjadi NUS atau NUP. Mengatur kondisi seperti ini harus melalui medical evaluation, termasuk penentuan status CD4. Linear Gingival Erythema Erythematous gingivitis (LGE) mudah berdarah, linear, dan bersifat persisten telah ditemukan pada pasien HIV-positif. LGE dapat atau tidak dapat berperan sebagai precursor untuk necrotizing ulcerative periodontitis (NUP). Mikroflora dari LGE lebih mirip organism yang terdapat pada periodontitis dibandingkan gingivitis. Lesi linear gingivitis dapat bersifat umum atau lokal. Erithematous gingivitis memiliki ciri: a. Terbatas pada jaringan yang kecil b. Meluas ke daerah attached gingiva dalam punctate atau diffuse erythema, atau c. Meluas ke mucosa alveolar LGE biasanya tidak merespon terapi korektif, tetapi beberapa lesi dapat mengalami remisi secara spontan. Lesi oral candidiasis dan LGE telah diidentifikasikan , menunjukkan peran etiologis spesies candidiasis pada LGE. Baru-baru ini, kultur mikroskopik dari dari lesi LGE menunjukkan adanya Candida dubliniensis pada empat pasien, semua pasien ini mendapatkan remisi lengkap atau sebagian setelah terapi antifungal sistemik. Masih belum diketahui apakah infeksi candida merupakan etiologi pada seluruh kasus LGE. Daerah yang terinfeksi di scale dan polish . Irigasi subgingival dengan chlorhexidine atau povidone-iodine 10%. Pasien diinstruksikan untuk melaksanakan prosedur oral hygiene dengan teliti. Kondisi harus dievaluasi 2 sampai 3 minggu setelah terapi awal. Jika pasien komplain mengenai prosedur perawatan di rumah dan lesi tetap bertahan, ada kemungkinan terjadinya infeksi candida. Diragukan bahwa antifungi topikal akan mencapai dasar dari celah gingival. Sebagai konsekuensinya, perawatannya dengan pemberian antifungi sistemik seperti fluconazole selama 7 sampai 10 hari. Penting untuk diingat bahwa LGE mungkin sulit untuk ditangani. Jika demikian, pasien harus dimonitor dengan cermat apakah terdapat tanda-tanda perkembangan kondisi periodontal yang lebih berat (e.g., NUG, NUP, NUS). Pasien harus ditemui kembali setelah 2-3 bulan dan diberi perawatan

kembali sesuai yang dibutuhkan. Seperti yang telah disebutkan, walaupun terdapat resistensi LGE terhadap terapi periodontal konvensional, remisi spontan juga dapat terjadi untuk alasan yang belum diketahui. Necrotizing Ulcerative Gingivitis Beberapa laporan telah menunjukkan peningkatan insidensi dari necrotizing ulcerative gingivitis pada pasien penderita AIDS. Belum terdapat kesepakatan apakah insidensi dari NUG meningkat pada pasien HIV-positif. Perawatan dasar terdiri dari pembersihan (cleaning) dan debridement dari area yang terinfeksi dengan menggunakan cotton pellet yang direndam dalam peroksida setelah pengaplikasian anestesi topikal. Bahan pembilas rongga mulut yang bersifat escharotic seperti hydrogen peroksida harus dihindari, bagaimanapun juga, untuk pasien manapun terutama kontraindikasi untuk individu imunokompromis. Pasien harus diperiksa setiap hari atau beberapa hari pada minggu pertama; debridement dilakukan tiap kunjungan, dan metode plak kontrol secara perlahan-lahan diperkenalkan. Ketelitian program plak kontrol harus dipakai dan dimulai saat sensitivitas dari area yang terinfeksi sudah memungkinkan. Setelah penyembuhan awal terjadi, pasien harus bisa menoleransi scaling dan root planning jika dibutuhkan. Pasien harus menghindari tembakau, alkohol, rempah-rempah. Dan diberikan obat kumur antimikroba seperti chlorhexidine gluconate 0,12%. Antibiotik sistemik contohya metronidazole atau amoxicillin dapat diberikan pada pasien dengan destruksi jaringan sedang sampai berat, localized lymphadenopathy atau sindrom sistemik, atau keduanya. Pemberian obat antifungi sebagai prophylactic harus dipertimbangkan jika pasien diberikan antibiotik. Periodontium harus direevaluasi 1 bulan setelah resolusi dari symptom akut untuk menilai hasil dari perawatan dan memutuskan apakah diperlukan perawatan lebih lanjut. Necrotizing Ulcerative Periodontitis Bentuk periodontitis yang berkembang dengan cepat (progresif), nekrosis, dan berulser terjadi lebih sering pada individu HIV-positif, walaupun beberapa lesi telah dideskripsikan sebelum onset dari AIDS. NUP merupakan kelanjutan dari NUG dimana terjadi kehilangan tulang dan perlekatan periodontal. NUP memiliki karakteristik adanya nekrosis pada jaringan lunak, destruksi periodontal yang berlangsung cepat, dan kehilangan tulang interproksimal. Lesi dapat terjadi dimana saja pada lengkung gigi dan biasanya berada pada beberapa gigi, walaupun NUP general kadang muncul setelah terjadinya penipisan sel CD4. Pada onsetnya NUP menimbulkan rasa sakit yang cukup kuat, dan pengobatan yang segera sangat dibutuhkan. Riley dkk memeriksa 200 pasien HIV-positif dan menemukan 85 orang memiliki periodontal yang sehat; 59 gingivitis; 54 memiliki periodontitis ringan, sedang, advanced; dan hanya dua orang yang memiliki NUP.

Terapi untuk NUP antara lain local debridement, scaling dan root planning, in-office irrigation dengan agen antimikroba yang efektif contohnya chlorhexidine gluconate atau povidone-iodine (Betadine), dan meningkatkan oral hygiene termasuk penggunaan antimikroba rinses di rumah. Pada NUP hebat, terapi antibiotik mungkin dibutuhkan tetapi harus digunakan dengan perhatian pada pasien infeksi HIV untuk menghindari kemungkinan dan potensi serius dari candidiasis atau candidal septicemia.. Jika antibiotic dibutuhkan, yang menjadi obat terpilih adalah metronidazole ( 250mg, dengan dua tablet diminum langsung kemudian satu tablet empat kali sehari selama 5-7 hari). Agen antifungi topikal atau sistemik untuk prophylactic juga diberikan jika antibiotic digunakan. Necrotizing Ulcerative Stomatitis Necrotizing ulcerative stomatitis (NUS) dapat menyebabkan destruksi yang cukup kuat, bersifat akut, dan sakit telah dilaporkan terdapat pada pasien HIV-positif. NUS dikarakteristikkan oleh nekrosis beberapa area yang signifikan pada jaringan lunak mulut dan dasar tulang. Dapat terjadi secara terpisah atau sebagai lanjutan dari NUP dan biasanya berhubungan dengan depresi sel imun CD4 yang cukup parah. Kondisi ini identik dengan cancrum oris (noma), proses destruksi yang jarang terjadi seringkali ditemukan pada individu yang sangat kekurangan nutrisi, terutama di Afrika. Perawatan untuk NUS termasuk antibiotik contohnya metronidazole dan penggunaan obat kumur antimikroba seperti chlorhexidine gluconate. Jika terdapat nekrosis tulang , biasanya dibutuhkan pengangkatan tulang tersebut untuk proses penyembuhan luka. Chronic Periodontitis Banyak studi menyarankan bahwa individu HIV positif memiliki pengalaman chronic periodontitis dibandingkan populasi umum. Membandingkan frekuensi lesi oral dan penyakit periodontal antara individu HIV positif dan negatif, beberapa adalah IDU (injection drugs users). Mereka menyimpulkan bahwa gaya hidup IDU memiliki peran yang lebih besar pada penyakit mulut dibandingkan dengan individu status HIV. Mereka juga menemukan lesi yang konsisten pada lidah dengan hairy leukoplakia yang umumnya terjadi pada seropositif homoseksual males, sedangkan candidiasis oral dan LGE umumnya pada IDU. Adanya laporan lain bahwa insiden dan keganasan dari chronic periodontitis adalah sama pada grup HIV positif dan negatif. Klein at al mengevaluasi 181 heterosexual dengan AIDS dan menemukan persentase lebih besar pada wanita (91%) dibandingkan pria (73%) denan gingivitis atau periodontitis. Secara keseluruhan, beberapa heterosexual dengan AIDS hanya terkena gingivitis (70%). Sedangkan yang lain periodontitis hebat (27%).. Studi yang terkontrol dengan baik mengindikasikan resesi gingival dan kehilangan attachment sering terjadi pada grup HIV dibandikan grup yang lain dalam populasi umum. Ini menegaskan bahwa individu immunocompromised sedikit banyak mendertita chronic periodontitis dibandingkan dengan yang memiliki system imun kuat. Sebagian besar individu HIV positif memiliki riwayat gingivitis dan chronic periodontitis dalam kebiasaan yang sama dengan populasi secara umum. 2.6.7 Protokol Perawatan Periodontal pada Pasien HIV

Rongga mulut sering menjadi tempat dari manifestasi klinik dari penyakit tersebut. Kemampuan mengenali dan mengatur manifestasi oral penyakit ini sangat penting sebagai bagian dari praktek kedokteran gigi. Dokter gigi harus siap membantu pasien terinfeksi HIV dalam pemeliharaan kesehatan mulut dari penyakit tersebut. Untuk keamanan dan efektivitas dalam terapi periodontal pada individu yang terinfeksi HIV, beberapa perawatan sangatlah penting. Health Status Kesehatan pasien harus sesuai dengan riwayat kesehatan, evaluasi fisik, dan hasil konsultasi dengan psikolog. Perawatan akan bergantung pada tingkat kesehatan pasien contohnya, penundaan penyembuhan luka dan meningkatkan resiko infeksi setelah operasi memungkinkan adanya faktor komplikasi pada pasien AIDS. Sangatlah penting untuk mendapatkan informasi status imun pasien dengan menanyakan beberapa pertanyaan seperti berikut: 1. Berapa level CD4+ T4 lymphocyte ? 2. Virus apa yang sedang menyerang ? 3. Sudah berapa lama infeksi HIV diidentifikasi? Apakah mungkin untuk mengidentifikasi perkiraan tanggal dari original exposure? 4. Apakah terdapat sejarah penyalahgunaan obat, penyakit yang ditransmisikan secara seksual, infeksi multiple atau fakor lain yang mungkin mengubah respon imun? Sebagai contoh, apakah pasien memiliki sejarah menderita hepatitis B kronik, hepatitis C, neutropenia, thrombocytopenia, defisiensi nutrisi atau insufisiensi adrenocorticoid ? 5. Pengobatan/ obat apa yang sedang dilakukan/dikonnsumsi oleh pasien? 6. Apakah pasien mendeskripsikan atau memperlihatkan efek samping ydari obat-obatan? Infection Control Measures Manajemen klinis periodontal pasien infeksi HIV membutuhkan kedisiplinan dalam perawatan untuk membentuk metode infection control, berdasarkan ADA dan CDC. Terpenuhinya universal precaution akan mengeliminasi atau meminimalisir resiko pada pasien dan dental staff. Pasien imunokompromis memiliki potensi yang besar mendapat transmisi infeksi pada dental office atau fasilitas kesehatan lainnya. Goals of Therapy Tujuan utama dari terapi adalah perbaikan dan pemeliharaan kesehatan mulut, kenyamanan dan fungsi. Minimal, tujuan periodontal treatment harus diarahkan langsung pada kontrol penyakit yang berasosiasi dengan HIV (HIV-assosiated mucosal disease) seperti chronic candidiasis dan recurrent oral ulcerations. Acute Periodontal dan Dental Infection harus ditangani dan pasien harus mendapatakan instruksi detail untuk melakukan prosedur oral hygine yang efektif. Konservatif, terapi periodontal tanpa pembedahan menjadi pilihan perawatan untuk pasien HIV positif, tetapi prosedur pembedahan periodontal pernah dilaporkan sukses mengobati pasien HIV positif. Necrotizing ulcerative periodontal (NUP) atau Necrotizing ulcerative somatitis (NUS) menyebabkan kerusakan hebat pada

struktur periodontal, tapi sejarah dari kondisi seperti ini tidak otomatis membuat kita mengekstraksi gigi, kalau pasien tidak bisa atau tidak sanggup memelihara oral hygine khususnya di daerah yang terkena atau terinfeksi. Keputusan mengenai prosedur periodontal yang terpilih harus dibuat dengan izin pasien (informed consent) dan setelah konsultasi medik, jika memungkinkan. Maintenance Therapy Sangatlah penting bahwa pasien harus menjaga oral hygine. Sebagai tambahan, kontrol untuk perawatan periodontal dilakukan dalam jangka waktu 2-3 bulan. Terapi dengan antibiotik sistemik harus terkonsultasi atau koordinasi dengan dokter sangat diperlukan. Psychological Factor, infeksi HIV pada sel neural mempengaruhi fungsi otak dan menimbulkan outright dementia. Hal ini sangat mempengaruhi responsive pasien pada dental treatment. Bagaimanapun, faktor psikologis banyak ditemukan pada pasien yang terinfeksi HIV, walaupun lesi neuronal tidak ditemukan. Dengan penyakit seumur hidup ini, pada beberapa pasien dapat menimbulkan depresi, rasa gelisah, kemarahan, sehingga perawatan harus dilakukan dalam suasana rileks, tenang dan tingkat stress dari pasien harus minimum. Pasien dengan lesi oral dari infeksi HIV harus segera diberi tahu dan jika benar atau tepat harus ditanyakan mengenai riwayat HIV. Jika dokter gigi memilih melakukan tes untuk antibodi HIV maka pasien harus diberitahu. Pada keadaan atau situasi inform consent (IC) diperlukan sebelum melakukan tes.

You might also like