You are on page 1of 17

PAPER DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H.

ADAM MALIK MEDAN

NAMA : EPIFANUS ARIE TANOTO NIM : 080100248

BAB 1 PENDAHULUAN Retinoskopi merupakan pemeriksaan yang memungkinkan pemeriksa secara objektif untuk menentukan koreksi kelainan refraksi sfenosilindris dan juga menentukan astigmastisma regular atau tidak.1 Retinoskopi, atau yang dikenal juga dengan istilah skiaskopi atau Shadow Test, merupakan suatu cara untuk menentukan kesalahan refraksi dengan metode netralisasai. Prinsip retinoskopi adalah berdasarkan fakta bahwa pada saat cahaya dipantulkan dari cermin ke mata, maka arah dari bayangan tersebut akan berjalan melintasi pupil bergantung pada keadaan refraktif mata.1,2 Pada umumnya, retinoskopi yang dipakai sekarang ini menggunakan sistem Streak Projection yang dikembangkan oleh Copeland (cermin yang seluruhnya perak mengelilingi lubang kecil) atau cermin setengah perak (model Welh-Allyn). Meskipun berbagi merek streak retinoscope berbeda dalam desain, alat-alat tersebut bekerja dengan cara yang sama. Berkas cahaya melewati lapisan air mata pasien, kornea, ruang anterior, lensa, ruang vitreous dan retina. Hal ini kemudian tercermin pada koroid dan epitel pigmen retina sebagai refleks merah linear yang kembali melalui retina sensorik, vitreous, lensa, aqueous, kornea, dan air mata, melalui udara antara pasien dan pemeriksa, dan ke kepala dari retinoskop, melalui lubang di cermin, yang akhirnya keluar melalui belakang retinoskop ke mata retinoscopist.1,3,4 Retinoskopi bukanlah suatu hal yang sulit untuk dimengerti, namun dapat menjadi sulit dilakukan apabila tidak dipelajari dengan seksama. Teknik ini merupakan metode refraksi yang sangat memuaskan dan tingginya tingkat akurasinya dalam hal determinasi objektif sangat bermanfaat bila dilakukan oleh pemeriksa yang terlatih dan teliti dengan diameter pupil yang sesuai dan media yang jernih.1,3

PAPER DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : EPIFANUS ARIE TANOTO NIM : 080100248

BAB 2 ISI 2.1. Anatomi Retina Retina merupakan lapisan tipis semitransparan dan berlapis-lapis dari jaringan saraf yang melapisi bagian dalam dari dua pertiga dinding posterior bola mata retina memanjang sejauh badan siliaris di bagian depan dan berakhir di titik dalam suatu bentuk yang tidak teratur yang dinamakan dengan ora serrata.5

Gambar 1. Lapisan-lapisan retina5 Pada dewasa, ora serrata terletak 6.5 mm di belakang garis Schwalbe pada sisi temporal dan 5.7 mm di belakang nasal. Pada sebagian besar area, retina dan epitel pigmen retina dapat dengan mudah dipisahkan untuk membentuk rongga subretina, seperti pada retinal detachment. Tetapi pada diskus optikus dan ora serrata, retina dan epitel pigmen retina terikat dengan kuat, sehingga membatasi penyebaran cairan subretina pada retinal detachment. Hal ini berbeda dengan rongga suprakoroidal 2

PAPER DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : EPIFANUS ARIE TANOTO NIM : 080100248

potensial antara koroid dan sklera, yang memanjang hingga ke sclera spur. Choroidal detachments oleh karena itu memanjang melalui ora serrata, dibawah pars plana dan pars plicata. Lapisan epitel dari permukaan dalam badan siliaris dan permukaan posterior dari iris mewakili ekstensi anterior retina dan epitel pigmen retina.5 Lapisan-lapisan retina, dimulai dari bagian dalam, yaitu (1) internal limiting membrane; (2) lapisan serabut saraf, yang mengandung akson sel ganglion yang berjalan ke nervus optikus; (3) lapisan sel ganglion; (4) lapisan pleksiformis dalam, yang mengandung hubungan sel ganglion dengan sel amakrin dan bipolar; (5) lapisan nuklear dalam dari badan sel bipolar, amakrin, dan horizontal; (6) lapisan pleksiformis luar, yang mengandung hubungan dari sel bipolar dan horizontal dengan fotoreseptor; (7) lapisan nuklear luar dari nucleus sel fotoreseptor; (8) external limiting membrane; (9) lapisan fotoreseptor batang dan kerucut segmen dalam dan luar; dan (10) epithelium pigmen retina. Lapisan dalam membran Bruch sebenarnya merupakan membran basal dari epithelium pigmen retina.5

Gambar 2. Anatomi bola mata5 Ketebalan retina di ora serrata yaitu 0.1 mm dan ketebalan di bagian kutub posterior yaitu 0.56 mm. Dibagian sentral retina posterior, diameter makula yaitu 5.56.0 mm, yang didefinisikan secara klinis sebagai area yang dibatasi dengan temporal retina vascular arcades. Area ini dikenal oleh ahli anatomi sebagai area sentralis, didefinisikan secara histologis sebagia bagian dari retina dimana lapisan sel ganglion 3

PAPER DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : EPIFANUS ARIE TANOTO NIM : 080100248

lebih dari satu sel ketebalannya. Makula lutea didefinisikan secara anatomi sebagai area dengan diameter 3 mm yang mengandung pigmen luteal kuning fantophyll. Diameter fovea sebesar 1,5 mm sesuai dengan area avaskular retina pada angiografi fluoresens. Secara histologis, ditandai dengan penipisan lapisan nuklear luar dan tidak adanya lapisan parenkim lainnya sebagai hasil dari oblique course dari akson sel fotoreseptor (lapisan serabut Henle) dan centrifugal displacement lapisan retina yang lebih dekat ke permukaan dalam retina. Di bagian sentral makula, 4 mm lateral dari diskus optikus, merupakan foveola dengan diameter 0.25 mm, secara klinis jelas sebagai suatu depresi yang menciptakan refleksi tertentu ketika diperiksa dengan oftalmoskop. Bagian ini merupakan bagian yang paling tipis dari retina (0.25 mm), yang mengandung hanya fotoreseptor kerucut. Tampilan histologis fovea dan foveola berfungsi untuk diskriminasi visual yang baik, foveola berfungsi untuk ketajaman penglihatan yang optimal. Rongga ekstraselular dari retina normalnya secara potensial lebih besar dari makula. Penyakit yang menyebabkan akumulasi dari materi ekstraselular tertentu menyebabkan penebalan area ini (edema makular).5 Retina menerima pasokan darah dari dua sumber: koriokapiler di luar membran Bruch, yang memasok sepertiga luar retina, yang mencakup lapisan pleksiformis luar dan lapisan nuklear luar, fotoreseptor, dan epitelium pigmen retina; dan cabang dari arteri retina sentralis, yang memasok dua pertiga dalam. Fovea disuplai secara keseluruhan oleh koriokapiler dan rentan terhadap kerusakan yang tidak dapat diperbaiki ketika retina terlepas. Pembuluh darah retina memiliki endotel non-fenestra, yang membentuk inner blood-retinal barrier, yang terletak pada level epitelium pigmen retina.5 Retina merupakan jaringan okular yang paling kompleks. Mata berfungsi sebagai suatu instrumen optik, reseptor kompleks, dan suatu transducer yang efektif. Sel batang dan kerucut pada lapisan fotoreseptor mengubah stimulus sinar menjadi impuls saraf yang dikonduksikan melalui jalur penglihatan ke korteks visual oksipital.6 Fotoreseptor tersusun sedemikian rupa sehingga ada suatu peningkatan densitas pada sentral makula (fovea), menipis di perifer, dan memiliki densitas sel 4

PAPER DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : EPIFANUS ARIE TANOTO NIM : 080100248

batang yang lebih tinggi di perifer. Pada foveola, terdapat hubungan mendekati 1:1 antara setiap fotoreseptor, sel ganglionnya, dan serabut saraf yang ada, sedangkan di retina perifer, sebagian besar fotoreseptor berhubungan dengan sel ganglion yang sama. Fovea bertanggung jawab untuk resolusi spasial yang baik (ketajaman penglihatan) dan penglihatan warna, keduanya membutuhkan high ambient light (penglihatan fotofik) dan menjadi sangat baik di foveola, sementara retina digunakan secara primer untuk bergerak, kontras, dan penglihatan malam (skotopik). 6 Fotoreseptor batang dan kerucut berada di lapisan terluar avaskular dari retina sensoris dan merupakan lokasi dari reaksi kimia yang menginisiasi proses penglihatan. Tiap-tiap sel fotoreseptor batang mengandung rhodopsin, pigmen visual fotosensitif yang tertanam di diskus membran ganda dari segmen luar fotoreseptor. Pigmen ini mengandung dua komponen, protein opsin yang dikombinasikan dengan kromofor. Opsin pada rhodopsin merupakan skotopsin, yang dibentuk oleh tujuh heliks transmembran. Protein ini mengelilingi kromofor, retina, yang diturunkan dari vitamin A. Ketika rhodopsin menyerap foton cahaya, retina 11-cis diisomerasi menjadi all-trans retinal dan akhirnya menjadi all-trans retinol. Perubahan konfigurasi tersebut menginisiasi kaskade messenger sekunder. Puncak absorpsi cahaya oleh rhodpsin terjadi sekitar 500 mm, yaitu regio biru-hijau dari spectrum cahaya. Pemeriksaan sensitivitas spectral dari fotopigmen kerucut telah menunjukkan absorpsi panjang gelombang puncak pada 430, 540 dan 575 nm untuk blue, green, dan redsensitive cones. Fotopigmen kerucut terdiri dari 11-cis retina yang terikat pada protein opsin lainnya dibandingkan dengan skotopsin.6 Penglihatan skotopsin dimediasi secara keseluruhan oleh fotoreseptor batang. Dengan bentuk penglihatan yang beradaptasi dengan gelap ini, berbagai bayangan abu-abu terlihat, tetapi warna tidak dapat dibedakan. Dengan retina menjadi teradaptasi penuh dengan cahaya, sensitivitas spektral retina bergeser dari rhodopsindominated dengan puncak 500 nm menjadi sekitar 560 nm, dan sensasi warna menjadi jelas. Suatu benda berwarna ketika ia secara selektif merefleksikan atau mentransmisikan panjang gelombang cahaya tertentu dalam spektrum penglihatan (400-700 nm). Penglihatan siang hari (fotofik) dimediasi secara primer oleh 5

PAPER DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : EPIFANUS ARIE TANOTO NIM : 080100248

fotoreseptor kerucut, penglihatan senja (mesopik) oleh kombinasi sel batang dan kerucut, dan penglihatan malam (skotopik) oleh reseptor batang.6 Fotoreseptor dipertahankan oleh epitelium pigmen retina, yang memainkan peran penting dalam proses penglihatan. Epitel ini bertanggung jawab dalam fagositosis dari segmen luar fotoreseptor, mentransportasikan vitamin, dan mengurangi hamburan cahaya, selain itu juga berfungsi sebagai barrier antara koroid dan retina. Membran basalis dari sel epitel pigmen retina membentuk lapisan dalam membran Bruch, yang dengan cara lain terdiri dari matriks ekstraseluler dan membran basal koriokapiler sebagai lapisan luarnya. Sel epitel pigmen retina memiliki sedikit kapasitas untuk beregenerasi.6 2.2. Retinoskopi

2.2.1. Definisi Retinskopi adalah pemeriksaan untuk menentukan secara objektif gangguan refraksi mata (myopia, hipermetropia dan astigmatisma) dan kebutuhan akan kacamata. Tes ini cepat, mudah, akurat dan terpercaya serta hanya membutuhkan kerjasama yang minimal dari pasien.7,8 Retinoskopi memungkinkan pemeriksa secara objektif menentukan kesalahan refraktif sfenosilindris, dan juga menentukan apakah astigmatisma regular dan ireguler, untuk menilai kekeruhan dan ketidakteraturan.1,8,9 2.2.2. Prinsip Prinsip retinoskopi adalah berdasarkan fakta bahwa pada saat cahaya dipantulkan dari cermin matam maka arah dari bayangan tersebut akan berjalan melintasi pupil bergantung pada keadaan refraktif mata.8,10,11 Lintasan yang diproyeksikan, membentuk bayangan kabur dari filamen pada retina pasien, yang dapat dianggap sebagai sumber cahaya batu yang kembali ke mata pemeriksa. Melalui pengamatan karakteristik dari refleks ini, seseorang dapat menentukan status refraktif mata. Pada pasien emetrop, cahaya muncul secara 6

PAPER DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : EPIFANUS ARIE TANOTO NIM : 080100248

parallel. Apabila pasien adalah myopia, maka cahaya yang muncul akan konvergen. Dan apabila pasien adalah hipermetropi, maka cahaya muncul secara divergen. Melalui lubang intip pada retinoskop, cahaya yang muncul ini terlihat sebagai refleks berwarna merah pada pupil pasien. Jika pemeriksa berada pada titik jauh pasien, maka semua cahaya memasuki pupil pemeriksa dan penerangan merata. Meskipun demikian, jika titik jauh dari mata pasien bukan di lubang intip retinoskop, maka beberapa cahaya yang memancar dari pupil pasien tidak akan memasuki lubang intip dan penerangn pupil tidak sempurna. 1,8,11 Jika titik jauh berada diantara pemeriksa dan pasien (myopia lebih besar daripada jarak kerja dioptri pemeriksa), cahaya akan bertemu dan akan menyebar kembali. Posisi cahaya dari pupil akan bergerak mengayun dalam arah berlawanan (dikenal sebagai pergerakan berlawanan/ against motion). Jika titik jauh tidak berada diantara pemeriksa dan pasien (hiperopia), cahaya akan bergerak searah dengan ayunan (dikenal dengan gerakan searah/ with motion). Ketika cahaya memenuhi pupil pasien dan tidak bergerak karena mata emetrop atau karena sebelumnya telah dipasang koreksi lensa yang sesuai kondisi ini dikenal dengan netralisasi.1

Gambar 3. Gerakan refleks retina. Perhatikan grakan lintasan dari wajah dan dari retina dalam gerakan searah versus gerakan berlawanan9 Jika bayangan iris pada lensa terlihat besar dan letaknya jauh terhadap pupil berarti lensa belum keruh seluruhnya, ini terjadi pada katarak imatur, dan keadaan ini disebut shadow test positive. Jika bayangan iris pada lensa kecil dan dekat dengan pupil berarti lensa sudah keruh seluruhnya (sampai pada kapsul anterior), terdapat pada katarak matu, keadaan ini disebut shadow test negative. Dan bila katarak hipermatur, lensa sudah keruh seluruhnya, mengecil serta terletak jauh di belkang 7

PAPER DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : EPIFANUS ARIE TANOTO NIM : 080100248

pupil, sehingga bayangan iris pada lensa besar dan keadaan ini disebut pseudopositif.10 Refleks retinoskopi bergerak memiliki tiga karateristik utama yaitu:1 1. Kecepatan. Refleks bergerak paling lambat ketika pemeriksa berada jauh dari titik fokus dan menjadi lebih cepat ketika titik fokus didekati. Dengan kata lain kesalahan-kesalahan refraktif besar memiliki refleks pergerakan yang lambat, sedangkan kesalahan-kesalahan kecil memiliki refleks yang cepat 2. Kecerahan. Refleks tumpul ketika pemeriksa jauh dari titik fokus, menjadi lebih cerah ketika netralitas didekati. Refleks berlawanan (against reflexes) biasanya redup daripada refleks searah (with reflexes). 3. Lebar. Lintasan sempit ketika pemeriksa jauh dari titik fokus. Meluas dengan mendekati titik fokus dan tentu saja mengisi seluruh pupil pada titik fokus itu sendiri. Pada saat pemeriksa menggunakan lensa koreksi yang sesuai (dengan lensa lepas atau phoropter), refleks retinoskopik bisa menjadi netral. Dengan kata lain, pada saat pemeriksa mengarahkan titik jauh pasien ke lubang intip, seluruh pupil pasien teriluminasi dan refleks tidak akan bergerak. Kekuatan dari lensa koreksi yang menetralisir refleks menunjukkan suatu ukuran kesalahan dari refraksi pada pasien.1 Yang penting untuk diingat bahwa pemeriksalah yang menentukan kesalahan refraksi pada jarak yang dipakai. Dioptri yang sama dengan jarak kerja harus dikurangi dari lensa koreksi untuk mencapai jarak koreksi sebenarnya pada pasien. Karena jarak kerja umum adalah 67 cm, maka banyak phoropter memiliki lensa-lensa jarak kerja +1.50D yang menyala selagi pemeriksa memillih lensa-lensa korektif untuk menetralisasikan refleks. Lensa-lensa tambahan ini dapat menghasilkan refleks yang menyusahkan. Meskipun demikian, jarak kerja apapun dapat digunakan (pemeriksa dapat memilih untuk bergerak lebih dekat untuk gambar yang lebih terang) misalnya selama koreksi jarak kerja yang tepat dimasukkan dalam perhitungan.1 8

PAPER DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : EPIFANUS ARIE TANOTO NIM : 080100248

Gambar 4. Prosedur pemeriksaan shadow test2 Sebagai contoh, anggaplah pemeriksa memperoleh netralisasi dengan total +4.00D didepan mata (perhitungan kasar retinoskopi) pada jarak kerja 67 cm, kurangkan dengan 1.50D sebagai jarak kerja 50 cm. Koreksi dioptri untuk jarak kerja itu adalah +2.00D, yang menghasilkan refraksi retinoskopik bersih untuk koreksi jarak -8.00D. Perhitungan kasar objektif dari kesalahan refraksi dibuat dengan memasukkan perhtungan yang ditemukan pada pemeriksaan retinoskopi dibuat dengan memasukkan perhitungan yang ditemukan pada pemeriksaan retinoskopi, dengan kesimpulan jarak (contoh : +1D untuk 1 meter, +1.5D pada saat retinoskop menunjukkan jarak 2/3 meter atau 67 cm, +2D untuk jarak 50 cm) dan untuk pemakaian sikloplegia bila digunakan (contoh : 1D untuk atropine, 0.5D untuk hematropin dan 0.75D untuk cyclopentolat). Contoh untuk pemakaian sikloplegia, misal hasil retinoskopi adalah +7D dengan jarak kerja 1 meter menggunakan atropine sebagai sikloplegianya, maka kesalahan refraksinya menjadi : +7D-(+1D)-1D=+5D 9

PAPER DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : EPIFANUS ARIE TANOTO NIM : 080100248

2.2.3 Cara Kerja Hand held instrument yang disebut dengan retinoskop memproyeksikan seberkas cahaya ke mata. Ketika cahaya tersebut dipindahkan secara vertikal dan horizontal pada mata, pemeriksa mengobservasi gerakan refleks merah dari retina. Pemeriksa kemudian menyesuaikan lensa di depan mata hingga gerakan dapat dinetralkan. Kekuatan lensa yang diperlukan untuk menetralkan gerakan merupakan gangguan refraksi mata dan menunjukkan kekuatan lensa yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan penglihatan dengan kacamata dan/atau lensa kontak.7,11 Mata anak-anak biasanya berdilatasi saat pemeriksaan retinoskopi karena refleks lebih mudah dilihat ketika pupil besar dan oleh karena itu tetes mata diperlukan untuk membatasi sementara kemampuan mata untuk mengakomodasi atau fokus. Hal ini memungkinkan untuk penentuan yang lebih akurat dari gangguan refraksi.7

Gambar 5. Hand held instrument yang disebut sebagai retinoskop memproyeksikan berkas cahaya ke mata selama retinoskopi7

2.2.4 Teknik Pemeriksaan Alat yang digunakan untuk pemeriksaan ini adalah lampu sentolop dan loupe. Teknik pemeriksaan adalah sebagai berikut :10 Sentolop disinarkan pada pupil dengan sudut 45o dengan dataran iris Dengan loupe lihat bayangan iris pada lensa 10

PAPER DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : EPIFANUS ARIE TANOTO NIM : 080100248

Biasanya, pemeriksa menggunakan mata kanan untuk melakukan retinoskopi pada mata kanan pasien, dan mata kiri untuk mata kiri pasien. Jika pemeriksa melihat langsung kearah pusat optikal dari lensa coba (Trial Lens), refleksi dari lensa mungkin mempengaruhi. Jika pemeriksa terlalu jauh dari aksis, maka kesalahan sferis dan silindris yang tidak diinginkan akan muncul. Jumlah tertinggi penjajaran agak di tengah, dimana refleksi lensa masih bisa terlhat antara pupil dan pinggir lateral dari lensa.1 Retinoskopi harus dilaksanakan dengan akomodasi pasien yang rileks. Pasien harus fiksasi pada sebuah jarak pada target tanpa akomodasi. Sebagai contoh, target dapat berupa sebuah cahaya redup pada ujung ruangan atau sebuah huruf Snellen yang besar (yang berukuran 20/200 atau 20/400). (Anak-anak dapat menggunakan cycloplegia pharmacology).1 Shadow test juga sering disebut dengan uji bayangan iris, diketahui bahwa semakin sedikit lensa keruh semakin besar bayangan iris pada lensa yang keruh. Sentolop disinarkan pada pupil dengan membuat sudut 45o dengan dataran iris, dan dilihat bayangan iris pada lensa keruh. Bila letak bayangan jauh dan besar berarti katarak imatur, sedangkan bila bayangan kecil dan dekat pupil berarti lensa katarak matur.2,10 2.2.5 Kesulitan Pemeriksaan Ada beberapa kesulitan pada saat melakukan pemeriksaan retinoskopi, yaitu :1 Refleks berwarna merah tidak terlihat, kemungkinan pupil penderita kecil, keruh adanya kesalahan refleks yang tinggi. Kesulitan ini bisa diatasi dengan menggunakan midriasis dan atau menggunakan sinar konvergen dengan retinoskop cermin konkaf Perubahan pada retinoskopi karena adanya akomodasi abnormal dan dapat diatasi dengan pemakaian sikloplegia Bayangan gunting yang kadang-kadang terlihat pada pasien astigmatisma regular dengan pupil dilatasi. Kebanyakan kesulitan ini dapat dikurangi bila pupil mengecil 11

PAPER DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : EPIFANUS ARIE TANOTO NIM : 080100248

Gerakan bayangan yang berbenturan ke berbagai arah dalam bagianbagian berada di area pupil terlihat pada pasien dengan astigmatisma irregular

Bayangan bersegi tiga bisa terlihat pada pasien dengan kornea konikal

2.2.6 Menentukan Netralitas Dalam pergerakkan berlawanan/against, titik jauh berada di antara pemeriksa dan pasien. Oleh karena itu, untuk membawa titik jauh pada pupil pemeriksa, lensalensa minus harus ditempatkan di depan mata pasien. Ini menyebabkan aturan klinis sederhana, jika kita melihat gerakan searah/with, tambah kekuatan plus (atau kurangi minus), jika anda melihat gerakan berlawanan/against, tambah kekuatan minus (atau kurangi plus). Kekuatan lensa harus ditambahkan (atau dikurangi) hingga netralisasi tercapai.9 Karena dianggap lebih mudah bekerja dengan yang lebih terang, lebih tajam, dapat dipilih untuk meng-overminus-kan mata dan memperoleh refleksi dengan dan kemudian mengurangi minus (tambah plus) hingga netralitas dicapai. Disadari bahwa refleks yang lambat, tumpul dari cermin-cermin refraktif tinggi dapat disamarkan dengan refleks netralitas yang mengisi pupil atau dengan refleks tumpul (seperti yang ditemukan pada pasien dengan medium kabur). Tempatkan lensa plus dan minus berkekuatan tinggi di depan mata dan lihat kembali.9 2.2.7 Retinoskopi Astigmatisma Regular Sebagian besar mata memiliki astigmatisma regular. Dalam hal ini, cahaya direfleksikan secara berbeda dengan dua meridian astigmatisma dasar. Jika kita menggerakkan retinoskop dari sisi ke sisi (dengan streak yang terorientasi pada 90o), kita mengukur kekuatan optik dalam 180o meridian. Kekuatan dalam meridian ini diberikan oleh sebuah silinder pada aksis 90o. Bahkan hasil yang sangat tepat adalah bahwa streak dari retinoskop disejajarkan pada aksis yang sama seperti aksis dari correcting cylinder yang diuji. Selanjutnya pada pasien dengan astigmatisma regular, kita ingin menetralisasikan dua refleks, satu dari setiap meridian utama.3,9

12

PAPER DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : EPIFANUS ARIE TANOTO NIM : 080100248

2.2.8 Pencarian Aksis Silinder Sebelum retinoskop digunakan untuk mengukur kekuatan dalam setiap median utama, aksis meridian harus ditentukan. Karakteristik dari lintasan refleks dapat membantu dalam penentuan aksis.9 1. Break. Break terlihat ketika lintasan tidak sejajar dengan salah satu meridian. Orientasi refleks dalam pupil tidak sama dengan lintasan yang kita proyeksikan, garis tersebut putus atau patah. Break hilang (yakni garis terlihat berlanjut) ketika lintasan diputar ke dalam aksis yang tepat. Silinder koreksi harus ditempatkan pada aksis ini. 2. Width. Width dari lintasan berbeda-beda ketika dia berputar sekitar aksis yang tepat. Lebar terlihat paling sempit ketika lintasan sejajar dengan aksis.

Gambar 6. Width/ lebar atau ketebalan, refleks retina. Kita tentukan lokasi aksis di tempat dimana refleks paling tipis9 3. Intensitas. Intensitas garis lebih terang apabila lintasan berada pada aksis yang tepat (ini merupakan temuan subtil, yang hanya berguna pada silinder-silinder kecil). 4. Skew. Skew (gerakan oblik dari lintasan refleks) dapat digunakan untuk menempatkan aksis pada silinder-silinder kecil. Jika lintasan di luar aksis, maka akan bergerak dengan arah yang agak berbeda dari refleks pupil. Refleks dan lintasan gerak dalam arah yang sama (keduanya tegak lurus 13

PAPER DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : EPIFANUS ARIE TANOTO NIM : 080100248

pada orientasi lintasan) apabila lintasan sejajar dengan salah satu meridian utama.

Gambar 7. Skew/ Gerakan miring. Tanda panah menunjukkan bahwa gerakan refleks dan berpotongan tidak parallel. Refleks dan berpotongan tidak bergerak dengan arah yang sama tetapi miring bila lintasan tidak tersejajarkan pada aksis9 Ketika lintasan disejajarkan pada aksis yang tepat, lengan bisa direndahkan (instrument Copeland) atau ditinggikan (instrument Welch-Allyn) untuk mendekati lintasan, yang memungkinkan dibaca dari sudut yang lebih mudah dari alat lensa coba (trial lens).9 Aksis ini dapat dipertegas melalui teknik yang dikenal sebagai straddling, yang dilakukan dengan menempatkan perkiraan koreksi silindris. Lintasan retinoskop diputar 45o dari aksis dalam dua arah dan jika aksis tepat, lebar refleks akan sama dalam kedua posisi aksis. Jika aksis tidak tepat, lebarnya akan tidak sama dalam 2 posisi. Aksis dari koreksi silindris harus digerakkan ke depan refleks yang lebih sempit dan straddling dilaksanakan sekali lagi hingga lebar sama.9 2.2.9 Penentuan Kekuatan Silinder Begitu 2 meridian diidentifikasikan, kita dapat mengikuti teknik sferis yang telah dijelaskan sebelumnya, dengan menggunakanya pada setiap aksis yang berputar secara terpisah.9 Dengan 2 sferis : menetralisasi satu aksis dengan satu lensa sferis. Jika aksis 90o dinetralisasikan dengan +1.50 sferis dan aksis 180o dinetralisasikan dengan +2.25 14

PAPER DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : EPIFANUS ARIE TANOTO NIM : 080100248

sferis, retinoskopi kasar +1.50 +0.75 x 180. Jarak kerja pemeriksa harus dikurangi dari sferis untuk memperoleh perbaikan refraktif.9 Dengan sebuah sferis dan silinder : menetralisasikan 1 aksis dengan sebuah lensa sferis. Untuk melanjutkan pekerjaan dengan menggunakan refleks dengan (with reflexes), menetralisasikan aksis lensa plus terlebih dahulu. Kemudian dengan pemasangan lensa sferis ini, netralisasikan aksis 90o melalui penambahan lensa silindris plus pada orientasi yang sesuai. Hasil retinoskopi dapat dibaca secara langsung dari alat lensa coba.9 2.10. Penyimpangan Refleks Retinoskopi Dengan astigmatisma regular, hampir beberapa tipe penyimpangan dapat terlihat dalam refleks. Penyimpanan sferis cenderung menambah kecerahan pada bagian tengah atau perifer pupil, yang tergantung pada apakah penyimpangan positif atau negatif.9 Ketika titik netralitas didekati, satu bagian refleks dapat miopia, sedangkan yang lainnya hiperopia sehubungan dengan posisi retinoskopi. Ini akan menghasilkan apa yang disebut refleks scissors.9 Ada kalanya astigmatisma irregular yang menyolok atau opasitas optik menghasilkan bayangan yang samar, terganggu yang dapat mengurangi ketetapan hasil retinoskopik. Dalam kasus-kasus ini dengan mempertimbangkan bagian tengah dari refleks cahaya menghasilkan perkiraan terbaik.9

15

PAPER DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : EPIFANUS ARIE TANOTO NIM : 080100248

BAB 3 PENUTUP Retinoskopi adalah pemeriksaan untuk menentukan secara objektif gangguan refraksi mata (miopia, hipermetropia, astigmatisma) dan kebutuhan akan kacamata. Retinoskopi memungkinkan pemeriksa secara objektif menentukan kesalahan refraktif sferosilindris, dan juga menentukan apakah astigmatisma regular dan irregular, untuk menilai kekeruhan dan ketidakteraturan.8,9 Prinsip retinoskopi adalah berdasarkan fakta bahwa pada saat cahaya dipantulkan dari cermin matam maka arah dari bayangan tersebut akan berjalan melintasi pupil bergantung pada keadaan refraktif mata.8,10,11 Hand held instrument yang disebut dengan retinoskop memproyeksikan seberkas cahaya ke mata. Ketika cahaya tersebut dipindahkan secara vertikal dan horizontal pada mata, pemeriksa mengobservasi gerakan refleks merah dari retina. Pemeriksa kemudian menyesuaikan lensa di depan mata hingga gerakan dapat dinetralkan. Kekuatan lensa yang diperlukan untuk mentralkan gerakan merupakan gangguan refraksi mata dan menunjukkan kekuatan lensa yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan penglihatan dengan kacamata dan/atau lensa kontak.7,11 Sebenarnya retinoskop bukanlah hal yang sulit dimengerti tetapi bisa agak sulit dilakukan. Teknik ini merupakan metode refraksi yang sangat memuaskan dan tinggi akurasinya untuk determinasi objektif yang sangat memuaskan dan tinggi akurasinya untuk determinasi objektif yang sangat bermanfaat bila dilakukan oleh retinoskopis yang terlatih dan teliti dengan diameter pupil yang sesuai dan media yang jernih.1,3

16

PAPER DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : EPIFANUS ARIE TANOTO NIM : 080100248

DAFTAR PUSTAKA

1. Siregar NH. 2008. Retinoskopi. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara: Medan. P.3-12 2. Lang GK. 2000. Ophthalmology. Thieme Stuttgar: New York. P.430 3. Harris P, et al. Retinoscopy. Available from:

http://www.oepf.org/VTAids/Retinoscopy.pdf 4. Wirtschafter JD, Schwartz GS. Retinoscopy. Available from:

http://www.oculist.net/dwonaton502/prof/ebook/duanes/pages/v1/v1c037.html 5. Eva PR. 2007. Anatomy & Embryology of The Eye. In: Eva PR, Whitcher JP. 2007. Vaughan & Asburys General Ophthalmolgy. McGraw-Hill Companies: New York. Chapter 1 6. Fletcher EC. 2007. Retina. In: Eva PR, Whitcher JP. 2007. Vaughan & Asburys General Ophthalmolgy. McGraw-Hill Companies: New York. Chapter 20 7. Anonym. Retinoscopy. Available from:

http://www.aapos.org/terms/conditions/95 8. Khurana AK. 2005. Comprehensive Ophthalmology. New Age International (P) Limited: New Delhi. P.547-553 9. Anonym. 2011. Clinical Optics. American Academy of Ophthalmology: Singapore. P.121-129 10. Narasati S. Pemeriksaan Mata. Universitas Gajah Mada: Yogyakarta. P.4-5 11. Anonym. 2003. Principle of Retinoscopy. Available from:

http://telemedicine.orbis.org/bins/content_page.asp?cid=11092-11094&lang=1

17

You might also like