You are on page 1of 36

PENDAHULUAN Diabetes Melitus ( DM ) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan

sekresi insulin, kerja insulin atau kesuanya. 1 Pada DM tipe II, bentuk DM ini lebih ringan dan terutama dijumpai pada orang dewasa ketimbang anak-anak.2 Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia, kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%.2 Di pekajangan prevalensi ini agak tinggi disebabkan di daerah itu banyak perkawinan antara kerabat. Sedangkan di Manado, Waspadji menyimpulkan mungkin angka itu tinggi karena pada studi itu populasinya terdiri dari orang-orang yang datang dengan sukarela, jadi agak lebih selektif. Tetapi kalau dilihat dari segi geografi dan budayanya yang dekat dengan Filipina, ada kemungkinan bahwa prevalensi di Manado memang tinggi, karena prevalensi diabetes di Filipina juga tinggi yaitu sekitar 8,4% sampai 12% di daerah urban dan 3,85% sampai 9,7% di daerah rural.2 Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 1993, kekerapan DM di daerah urban yaitu di kelurahan Kayuputih adalah 5,69% sedangkan di daerah rural di suatu daerah di Jawa Barat tahun 1995, angka itu hanya 1,1%. Di sini jelas ada perbedaan antara prevalensi di daerah urban dengan daerah rural. Hal ini menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian diabetes. Tetapi di Jawa Timur angka itu tidak berbeda yaitu 1,43% di daerah urban dan 1,47% di daerah rural. Hal ini mungkin disebabkan tingginya prevalensi Diabetes Melitus Terkait Malnutrisi (DMTM) atau yang sekarang disebut diabetes tipe lain di daerah rural di Jawa Timur, yaitu sebesar 21,2% dari seluruh diabetes di daerah itu.2 Penelitian antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi DM tipe 2 sebesar 14,7%, suatu angka yang sangat mengejutkan. Demikian juga di Makasar, prevalensi diabetes terakhit tahun 2005 yang mencapai 12,5%. Pada tahun 2006, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bekerja sama dengan Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan melakukan Surveilans Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular di Jakarta yang melibatkan

1591 subyek, terdiri dari 640 laki-laki dan 951 wanita. Survei tersebut melaporkan prevalensi DM di lima wilayah DKI Jakarta sebesar 12,1% dengan DM yang terdeteksi sebesar 3,8% dan DM yang tidak terdeteksi sebesar 11,2%. Berdasarkan data ini diketahui bahwa kejadian DM yang belum terdiagnosis masih cukup tinggi, hampir 3x lipat dari jumlah kasus DM yang sudah terdeteksi.2 Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global yang tadi dibicarakan terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang akan datang kekerapan DM di Indonesia akan meningkat dengan drastis.3 Ini sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan oleh WHO, Indonesia akan menempati peringkat nomor 5 sedunia dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 12,4 juta orang pada tahun 2025, naik 2 tingkat disbanding tahun 1995.2 ISI Patofisiologi dan Etiologi pada DMTTI Diabetes mellitus tipe 2 merupakan jenis yang lebih sering terjadi, tetapi jauh lebih sedikit yang telah dipahami karena bersifat multifaktorial. Defek metabolik karena gangguan sekresi insulin atau karena resistensi insulin di jaringan perifer.3 Genetika : toleransi karbohidrat dikontrol oleh berjuta pengaruh genetik. Oleh karena itu DM II merupakan kelainan poligenik dengan faktor metabolik berganda yang berinteraksi dengan pengaruh eksogen untuk menghasilkan fenotip tersebut koordinasi genetik pada DM tipe 2 pada kembar identik mendekati 90%. 4 Resistensi insulin o Mekanisme mayor resistensi insulin pada otot skeletal meliputi gangguan aktivasi sintase glikogen , disfungsi regulator metabo0lis, reseptor doen-regulation, dan abnormalitas transporter glukosa.4 o Meningkatkan penurunan ambilan glukosa selular yang dimediasi oleh insulin.4 o Hepar juga menjadi resisten terhadap insulin, yang biasanya berespon terhadap hiperglikemia dengan menurunkan produksi glukosa. Pada DM II, produksi

glukosa hepar terus berlangsung meskipun terjadi hiperglikemia, mengakibatkan peningkatan keluaran glukosa hepar basal secara tidak tepat.4 o Obesitas, terutama obesitas abdomen, berhubungan langsung dengan peningkatan derajat resistensi insulin.4 Disfungsi sel beta o Disfungsi sel beta mengakibatkan ketidakmampuan sel pulau (sel islet) penkreas menghasilkan insulin yang memadai untuk menyediakan insulin yang cukup setalah sekresi insulin dipengaruhi.4 o Diteorikan bahwa hiperglikemia dapat membuat sel beta semakin tidak responsif terhadap glukosa karena toksisitas glukosa.4 o Sekresi insulin normalnya terjadi dalam dua fase. Fase pertama terjadi dalam beberapa menit setelah suplai glukosa dan kemudian melepaskan cvadangan insulin yang disimpan dalam sel beta; fase dua merupakan pelepasan insulin yang baru disintesis dalam beberapa jam setelah makan. Pada DM II, fase pertama pelepasan insulin sangat terganggu.4 o Fungsi sel beta (termasuk fase awal sekresi insulin) dan resistensi insulin membaik dengan penurunan berat badan dan peningkatan aktivitas fisik.4 Brashers VL. Aplikasi klinis patofisiologi pemeriksaan & manajemen; ahli bahasa, HY Kuncara, editor bahasa Indonesia, Devi Yulianti. Edisi 2. Jakarta : EGC; 2007. Manifestasi Klinik Diabetes mellitus diklasifikasikan berdasarkan proses patogenik yang menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Secara garis besar dibagi menjadi DM tipe 1 dan tipe 2. Kedua jenis DM ini didahului oleh fase hemostasis glukosa abnormal seiring dengan proses patogenik berlanjut. Tipe 1 disebabkan oleh defisiensi insulin total atau mendekati total. DM tipe 2 merupakan sekelompok kelainan yang dicirikan dengan berbagai derajat resistensi insulin, gangguan sekresi insulin, dan peningkatan produksi glukosa. Defek metabolik dan genetic yang jelas pada fungsi/sekresi insulin merupakan penyebab hiperglikemia yang umum pada pasien DM tipe 2, dan mempunyai peranan yang penting dalam implikasi terapi karena sekarang sudah terdapat obat yang dapat memperbaiki gangguan metabolic secara spesifik. DM tipe 2 didahului oleh homeostasis

glukosa abnormal yang disebut sebagai impaired fasting glucose (IFT) dan impaired glucose tolerance (IGT).5,6 Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM , pemeriksaan glukosa seyogyanya di laboratorium klinik yang terpercaya. Waalupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena maupun kapiler dengan memperhatikan angkaangka kriteria diagnostic yang berbeda sesuai dengan pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa kadar glukosa kapiler.6 Ada perbedaan uji diagnostic DM pemeriksaan penyaring. Uji diagnostic DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan tanda/gejala DM. sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai faktor risiko DM. serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitive.6 Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM sebagai berikut:6 Usia > 45 tahun BB > 110% berat badan ideal atau IMT > 23kg/m2 Hipertensi ( > 140/90 mmHg) Riwayat DM Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, atau berat badan lahir bayi > 4 kg. Kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL

Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT, dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini risiko terjadinya atherosclerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi, dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan primer dan sekunder dapat segera diterapkan. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standart. Bukan DM Kadar glukosa darah sewaktu plasma vena darah kapiler Kadar glukosa darah puasa plasma vena darah kapiler < 110 < 90 < 110 < 90 Belum pasti DM 110 199 90 - 199 110 125 90 - 109 DM > 200 > 200 > 126 > 110

Langkah-langkah Untuk Menegakkan Diagnosis DM dan Gangguan Toleransi Glukosa. Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. hasl pemeriksaan kadar glukosa darh puasa > 126 mg/dL juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kal saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dL, kadar glukosa

darah sewaktu > 200 mg/dL pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan > 200 mg/dL.6 Powers AC. Diabetes melitus in: Harrisons Principle of Internal Medicine. 17 ed. USA: McGraw-Hill; 2008.p.2275-6

Gustaviani R. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Dalam: Sudoyo, Aru W, dkk, editor. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.Jakarta : FKUI; 2009.h. 1879-80. Anamnesis Pertanyaan-pertanyaan yang biasa ditanyakan pada saat anamnesis padien diabetes adalah gejala-gejala khas diabetes serta komplikasi yang biasa sudah menyertainya pada saat diagnose. Pertanyaan yang biasa diajukan antara lain : Poliuria. Apakah pasien merasakan volume urin yang meningkat. Biasanya sering disertai dengan adanya nokturia yang membangunkan pasien dari tidurnya dan sering menganggu kualitas tidur. Polidipsia. Tanyakan apakah pasien sering merasa haus. Polidipsia disebabkan oleh banyaknya volume urin yang dikeluarkan. Poliphagia. Tanyakan apakah pasien sering merasa lapar. Penurunan berat badan. Neuropati. Tanyakan apakah pasien mengalami kesemutan, hilang rasa pada bagian distal tubuh seperti kaki. Infeksi. Tanyakan apabila pasien mendapat luka, apakah luka tersebut sukar sembuh, terutama pada bagian kaki.. Retinopati. Tanyakan pada pasien apakah ia mengalami gangguan penglihatan. Pemeriksaan

Fisik Sebagai tambahan dari pemeriksaan fisik komplit pada umumnya, perlu diberikan perhatian khusus pada aspek-aspek yang berkaitan dengan DM seperti BMI, pemeriksaan mata, tekanan darah ortostatik, pemeriksaan kaki, pemeriksaan denyut perifer. Tekanan darah > 130/80 mHg sudah dianggap sebagai tekanan darah tinggi pada pasien dengan diabetes. Pemeriksaan ektremitas bawah yang teliti dilakukan untuk melihat adanya neuropati perifer, calus, infeksi jamur superficial, penyakit kuku, reflex APR KPR, dan bentuk kaki yang abnormal (hammer atau claw toes, dan charcoat foot). Dinilai juga kemampuan untuk merasakan sentuhan menggunakan benang monofilament dan kemampuan untuk menentukan letak sakit/tusukan (pinprick) untuk menentukan seberapa parah neuropati perifernya. Penyakit periodontal, gigi, dan gusi lebih sering terjadi pada pasien DM, sehingga juga harus diperiksa.7

Penunjang TEMUAN LABORATORIUM PADA DM Pemeriksaan glukosa dan badan keton dalam kemih , juga glukosa plasma atau darah dari sampel yang diambil dalam keadaan basal dan sesudah pemberian glukosa sangat penting dalam evaluasi pasien diabetes Uji untuk hemoglobin glikosilasi telah terbukti bermanfaat untuk evaluasi awal dan dalam penilaian efektivitas terapi. Pada keadaan- keadaan tertentu, pengukuran kadar insulin atau peptida C dan kadar hormon-hormon lain yang terlibat dalam homeostasis mungkin karbohidrat Dari (misal, pandangan glukagon, tingginya hormon risiko pertumbuhan) berguna.

aterosklerosis pada diabetes, maka penentuan kadar kolesterol serum (termasuk fraksi HDL yang menguntungkan) dan trigliserida dapat membantu. Dari tiga pengukuran ini dapat dibuat perkiraan kadar LDL.

Urinalisis Glikosuria Apapun metode yang dipakai, terdapat beberapa masalah yang berkaitan dengan pemakaian glukosa kemih sebagai petunjuk glukosa darah. Yang pertama, kadar glukosa kemih dalam kandung kemih mencerminkan kadar glukosa saat kemih dibentuk. Oleh sebab itu, spesimen yang pertama dikeluarkan di pagi hari mengandung glukosa yang diekskresi sepanjang malam dan sama sekali tidak mencerminkan kadar glukosa darah pagi hari. Sedikit perbaikan dalam korelasi glukosa kemih dengan glukosa darah dapat diperoleh jika pasien "berkemih dua kali"yaitu, mengosongkan kandung kemih seluruhnya, membuang sampel, dan kemudian berkemih lagi kira-kira setengah jam kemudian, dan hanya sampel kedua ini yang diuji kandungan glukosanya. Akan tetapi, kesulitan dalam mengosongkan kandung kemih seluruhnya (volume residu besar), masalah-masalah dalam memahami instruksi, dan ketidaknyamanan mengurangi manfaat dari uji ini. Pemantauan kadar glukosa darah sendiri telah menggantikan pemeriksaan kadar glukosa kemih pada kebanyakan penderita DMTI dan sebagian pasien DMTTI (khususnya yang mendapat terapi insulin). Tersedia beberapa produk komersial untuk menentukan adanya glukosa dan jumlahnya dalam kemih. Penilaian glikosuria di samping tempat tidur yang sudah lama dan sulit dengan tablet Clinitest kini telah diganti dengan metode carik celup yang lebih cepat, mudah dan spesifik glukosa. Metode ini menggunakan carik kertas (Clinistix, Diastix, Tes- Tape) yang diimpregnasi dengan enzim (glukosa oksidase dan hidrogen peroksidase) dan suatu zat warna kromogenik yang akan menjadi pucat dalam keadaan tereduksi. Terbentuknya hidrogen peroksida di bawah pengaruh enzim akan mengoksidasi zat warna untuk menghasilkan warna yang intensitasnya bergantung pada kadar glukosa. Uji carik celup ini peka terhadap kadar glukosa sekecil 0,1 % glukosa(100 mg/dL) tetapi tidak bereaksi terhadap umlah kecil glukosa yang biasanya terdapat dalam :emih. Carik kertas dapat mengalami kerusakan ika terpapar udara, kelembaban dan panas yang lebat,

dan perlu disimpan dalam tabung kedap udara jika tidak digunakan. Hasil negatif palsu dapat liperoleh bilamana ada alkaptonuria dan bila zat-zat tertentu seperti asam salisilat atau askorbat di- consumsi berlebihan. Semua hasil negatif palsu ini erjadi akibat bahan-bahan pereduksi kuat yang lapat mengganggu oksidasi kromogen. Ketonuria Dalam keadaan tidak ada insulin dalam jumlah cukup, maka tiga badan keton" utama dibentuk dan diekskresi ke dalam kemih: asam hidroksibutirat, asam asetoasetat. dan aseton. Produk-produk komersil untuk menguji adanya keton dalam kemih kini tersedia. Tablet Acetest, Ketostix, dan Keto-Diastix menggunakan suatu reaksi nitroprusida yang hanya mengukur aseton dan asetoasetat. Dengan demikian, uji-uji ini dapat keliru mengarahkan bila asam -hidroksibutirat merupakan metabolit yang dominan. Kondisi-kondisi lain di samping ketoasidosis diabetik dapat menyebabkan badan-badan keton tampil dalam kemih; antara lain kelaparan, diet tinggi lemak, ketoasidosis alkoholik, demam, dan kondisi lain di mana kebutuhan metabolik meningkat. Proteinuria Proteinuria seperti yang ditemukan pada pemeriksaan carik celup rutin seringkali menjadi tanda pertama komplikasi diabetes pada ginjal. Jika proteinuria terdeteksi, maka perlu dilakukan analisis kumpulan kemih 24 jam untuk menentukan derajat proteinuria (individu normal mengekskresikan < 30 mg protein per hari) dan laju ekskresi kreatinin kemih; pada saat yang sama, kadar kreatinin serum perlu ditentukan sehingga bersihan kreatinin (suatu perkiraan dari laju filtrasi glomerulus) dapat dihitung. Pada beberapa kasus kelak terjadi proteinuria yang berat (3-5 g/hari) dengan gejala-gejala sindroma nefrotik lain seperti edema, hipoalbuminemia, dan hiperkolesterolemia.

Mikroalbuminuria Albumin kemih kini dapat dideteksi dalam hitungan mikrogram menggunakan metode radioimmunoassay yang lebih peka daripada metode carik celup yang batas deteksi minimalnya adalah 0,3- 0,5%. Kumpulan kemih 24-jam konvensional menyebabkan ketidaknyamanan bagi pasien, dan di samping itu juga memperlihatkan variabilitas ekskresi albumin disebabkan beberapa faktor se perti berdiri larra protein dalam diet, dan latihan fisik cenderung meninggikan lajuekskresi albumin. Karena alasan-alasan inilah banyak klinik lebih suka melakukan pemeriksaan penyaring dengan suatu kumpulan kemih semalam yang diberi batasan waktu yaitu mulai dari saat menjelang tidur, di mana kemih dibuang dan jam dicatat. Pengumpulan kemih diakhiri saat kandung kemih dikosongkan di pagi hari. dan kemih ini serta kemih yang dikeluarkan dalam semalam, ditera terhadap albumin. Subjek normal mengekskresikan kurang dari 15 g/menit dalam pengumpulan kemih semalam; angka di antara 20 dan 200 g/menit atau lebih menggambarkan mikroalbuminuria abnormal yang mungkin merupakan prediktor dini dari perkembangan nefropati diabetik. PEMERIKSAAN GLUKOSA DARAH Angka Normal Nilai normal glukosa darah puasa bervariasi antara 60 hingga 110 mg/dL (3,3-6,1 mmol/L). Kadar plasma atau serum adalah 10-15% lebih tinggi karena komponen-komponen struktural sel darah dihilangkan, sehingga akan lebih banyak glukosa per unit volume. Jadi, nilai normal glukosa plasma atau serum puasa adalah 70-120 mg/dL (3,9-6,7 mmol/L). Secara klinis, pengukuran glukosa plasma atau serum lebih sering digunakan karena bebas dari hematokrit, lebih dekat dengan kadar glukosa ruang jaringan interstisial, dan memudahkan prosedur analisis otomatis. Penentuan kadar glukosa darah penuh dilakukan di tempat untuk menguji glukosa pada keadaan-keadaan darurat dan juga pada prosedur pemantauan sendiri glukosa

ka- piler. suatu teknik yang telah diterima luas dalam penatalaksanaan diabetes melitus (lihat bawah). Nilai normal glukosa plasma atau darah yang sudah diterima memerlukan koreksi usia sebesar 1 mg/dL (0,056 mmol/L) per tahun usia di atas 60 tahun. Jadi kadar glukosa plasma puasa pada orang tua non-diabetes berkisar antara 80 hingga 150 mg/dL (4,4-8,3 mmol/L). Sampel Darah Vena Sampel perlu diletakkan dalam tabung yang mengandung natrium fluorida yang akan mencegah glikolisis dalam darah sampel dan dapat menurunkan kadar glukosa yang diukur. Jika tabung seper ini tidak tersedia, maka sampel perlu dipusing da lam waktu 30 menit sesudah diambil dan plasma atau serum disimpan pada suhu 4 C. Metode laboratorium yang biasa digunakan untuk menentukan glukosa plasma menggunaka metode enzimatik (misal, glukosa oksidase atau heksokinase), metode kolorimetrik (misal, o-tolui din) atau metode otomatis. Metode otomatis memanfaatkan reduksi dari senyawa tembaga atau be dengan mereduksi gula dalam serum dilisis. Cara ini mudah tetapi tidak spesifik terhadap glukosa karena juga bereaksi dengan bahan-bahan pereduksi lainnya (yang meningkat pada keadan azotem atau asupan asam askorbat yang tinggi). Sampel Darah Kapiler Terdapat beberapa metode carik kertas (glukosa oksidase) untuk mengukur glukosa darah kapiler Semuanya sudah diadaptasi untuk pemakaian mudah dalam bentuk meter pengukur bertenaga baterai yang dapat dibawa-bawa dengan bacaan digital Suatu perangkat uji carik, Chemstrip bG, dilengkap; suatu bagan warna untuk perbandingan visual dan perkiraan kadar glukosa darah. Meter pengukur yang lebih konvensional (misal, Glucometer, Glu- coscan, Glucocheck, Diascan, atau AccuChek memerlukan penentuan waktu yang tepat oleh pengguna serta pembersihan carik kertas dari jejas- jejas darah dengan teliti sebelum pembacaan warna

Alat-alat generasi kedua (misal, One Touch II, ExacTech) telah menghapus dua sumber kesalahan teknis ini dengan penentuan waktu secara otomatis
dan memungkinkan kuantitasi kolorimeter tanpa membersihkan

darah. Untuk memantau

kadar glukosa darahnya sendiri, pasien harus menusuk jarinya dengan lanset kecil (misal, Monolet), yang dapat dipermudah pemakaiannya dengan alat pelatuk plastik kecil (misal, Autolet, Penlet). Dengar instruksi teknik yang tepat, pasien dapat memperoleh pengukuran kadar glukosa darah sendiri yang akurat dan dapat diandalkan, yang sangat bernila untuk penatalaksanaan diabetes jangka panjang Metode ini juga sangat bermanfaat untuk para profesional kesehatan dalam penatalaksanaan di samping tempat tidur pasien DM serius yang dirawat dirumah sakit. UJI DIAGNOSTIK SEDERHANA DENGAN KADAR GLUKOSA PLASMA Kadar glukosa plasma puasa diatas 140 mg/dL (7,8 mmol/L0 pada lebih dari satu pemeriksaan memastikan diagnostik DM. Sampel untuk pemeriksaan kadar glukosa paling baik diamnbil pada pagi hari sesudah puasa semalaman.1 UJI TOLERANSI GLUKOSA ORAL Tes ini digunakan untuk mendiagnostik DM awal secara pasti, namun tes ini tidakdibutuhkan untuk penapisan dan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan manifestasi klinik DM dan hiperglikemia. 2 Persiapan Uji Guna mengoptimalkan sekresi insulin dan efektivitasnya, terutama bila pasien tengan menjalani seatu diet rendah karbohidrat, maka jumlah minimum 150-200 g karbohidrat per hari perlu dimasukan dalam diet selama 3 hari sebelum menjalani uji.pasien tidak boleh memakan apapun sesudah tengah malam sebelum hari pengujian.1 Prosedur Uji Kadar glukukosa diukur sebelum dan sesudah membebanan 75 g glukosa. Orang dewasa diberikan glukosa 75 g dalam 300 mL air, sedangkan

anak anak mendapat 1,75 g glukosa per kilogram berat badan ideal. Beban glukosa dikonsumsi dalam 5 menit. Kadar glukosa diukur setiap jam selama 2 jam setelah pemberian glukosa. 1,2 Interpretasi Pada keadaan sehat, kadar glukosa puasa individu yang dirawat jalan dengan toleransi glukosa normal adalah 70 hingga 110 mg/dL. Setelah pemberian glukosa, kadar glukosa akan meningkat pada awalnya namun akan kembali ke keadaan semula dalam waktu 2 jam atau dengan kata lain glukosa plasma pu8asa kurang dari 115 mg/dL dan setelah 2 jam kadarnya akan turun dibwah 140 mg/dL dan nilai nilai dari sampel lainnya tidak ada yang melampaui 200 mg/dL (National Diabetes Data Group Criteri).1,2 Hasil hasil positif palsu dapat terjadi pada pasien yang mal nutrisi pada saat pengujian, berbaring ditempat tidur, atau terserang suatu infeksi atau suatu stress emosional yang berat. Diuretika, kontraseptif oral, glukokortikoid, tiroksin yang berlebihan, fenitoin, asam, nikotinat, dan beberapa obat psikoteropik juga dapat menyebabkan hasil positif palsu.1 KADAR INSULIN Untuk menukur kadar insulin saat melakukan uji toleransi glukosa, maka serum atau plasma perlu dipisahkan dalam waktu 30 menit sesudah pengambilam spesimen sebelum diassay. Kadar insulin imunoreaktif normal berkisar antara 5 - 20U/mL dalam keadaan puasa, dan mencapai 50 130 U/mL sesudah satu jam, dan biasanya turun kembali dibawah 30U/mL sesudah 2 jam. Kadar insulin selama TTGO jarang memiliki manfaat klinis karena alasan-alasan berikut ini : bila kadar glukosa puasa melampaui 120 mg.dL, hiperinsulinemia dapat timbul secara terlamabat sebagai akibat resistensi insulin pada penderita DM II; akan tetapi juga dapat terjadi pada bentuk ringan ataupun fase-fase awal dari DM I dimana pelepasan insulin dini yang lambat dapat menyebabkan hiperglikemia tertunda yang dapat merangsang pelepasan insulin berlebihan setelah 2 jam. UJI TOLERANSI GLUKOSA INTRAVENA

Uji tooleransi glukosa IV dilakukan dengan cara pemberian infus glukosa secara cepat diikuti serangkaian pemeriksaan glukosa plasma untuk menentukan laju hilangnya glukosa per menit. Laju hilangnya glukosa mencerminkan kemampuan pasien untuk memindahkan suatu beban glukosa. Uji ini digunakan untuk evaluasi toleransi glukosa pada pasien pasien dengan klainan GI (malabsorpi). Uji ini relatif tidak peka, dan belum ada kriteria yang memadai untuk diagnostik diabetes pada berbagai kelompok umur. Komplikasi Komplikasi Akut Ketoasidosis diabetik Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasikekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes melitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok. Pada pasien KAD dijumpai pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa napas tidak terlalu mudah tercium. Gambaran klinis KAD sebagai berikut keluhan poliuri dan polidipsi sering kali mendahului KAD serta didapatkan riwayat berhenti menyuntik insulin, demam, atau infeksi. Muntahmuntah merupakan gejala yang sering dijumpai terutama pada KAD anak. Dapat pula dijumpai nyeri perut yang menonjol dan hal itu berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi lambung. Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos mentis, delirium, atau depresi sampai dengan koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol). Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling sering.8

Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik Keto asidosis diabetik (KAD) dan koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK) merupakan komplikasi akut/ emergensi Diebetes Melitus (DM). Sindrom HHNK ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis. Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai beberapa minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus. HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, yang mempunyai penyakit penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Keluhan pasien HHNK ialah: rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki kejang. Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang jika dibandingkan dengan KAD. Kadang, pasien datang dengan disertai keluhan saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas yang dingin dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu tinggi. Akibat gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen, yang membaik setelah rehidrasi adekuat. Perubahan pada status mental dapat berkisar dari disorientasi sampai koma. Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung dengan osmolaritas efektif serum. Koma terjadi saat osmolaritas serum mencapai lebih dari 350 mOsm per kg (350 mmol per kg). Kejang ditemukan pada 25% pasien, dan dapat berupa kejang umum, lokal, maupun mioklonik. Dapat juga teijadi hemiparesis yang bersifat reversibel dengan koreksi defisit cairan.9 Hipoglikemik iatrogenik Hipoglikemia pada pasien diabetes tipe 1 (DMT 1) dan diabetes tipe 2 (DMT 2) merupakan faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah normal atau mendekati normal. Tidak ada definisi

kendali glukosa darah yang baik dan lengkap tanpa menyebutkan bebas dari hipoglikemia. Risiko hipoglikemia timbul akibat ketidaksempurnaan terapi saat ini, di mana kadar insulin di antara dua makan dan pada malam hari meningkat secara tidak proporsional dan kemampuan fisiologis tubuh gagal melindungi batas penurunan glukosa darah yang aman. Faktor paling utama yang menyebabkan hipoglikemia sangat penting dalam pengelolaan diabetes adalah ketergantungan jaringan saraf pada asupan glukosa yang berkelanjutan. Hipoglikemia akut menunjukkan gejala dan Triad Whipple merupakan panduan klasifikasi klinis hipoglikemia yang bermanfaat. Triad tersebut meliputi: a), keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa darah plasma yang rendah, b), kadar glukosa darah yang rendah (<3 mmol/L hipoglikemia pada diabetes), dan c), hilangnya secara cepat keluhan-keluhan sesudah kelainan biokimiawi dikorekasi. Akan tetapi pasien diabetes (dan insulinoma) dapat kehilangan kemampuannya untuk menunjukkan atau mendeteksi keluhan dini hipoglikemia. Dengan menambah kriteria klinis pada pasien diabetes yang mendapat terapi, hipoglikemia akut dibagi menjadi hipoglikemia ringan, sedang dan berat.10 Komplikasi Kronik Retinopati diabetik Berbagai kelainan akibat DM dapat terjadi pada retina, mulai dari retinopati diabetic non-proliferatif sampai perdarahan retina dan lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan kebutaan.11 Retinopati diabetik nonproliperatif merupakan bentuk yang paling ringan dan sering tidak memperlihatkan gejala. Stadium ini sulit dideteksi hanya dengan pemeriksaan oftalmoskopi langsung maupun tidak langsung. Cara yang paling baik ialah dengan menggunakan foto fundus dan FFA (Fundal Fluorescein Angiography). Mikroaneurisma yang terjadi pada kapiler retina merupakan tanda paling awal yang dapat dilihat pada RDNP (retinopati diabetic nonproliperatif). Kelainan morfologi lain ialah penebalan membrane basalis , perdarahan ringan, eksudat keras yang tampak sebagai bercak berwarna kuning dan eksudat lunak yang tampak sebagai cotton wool spot. Retinopati diabetik

nonproliperatif berat sering disebut juga sebagai retinopati diabetic iskemik, obstruktif atau preproliperatif. Gambaran yang dapat ditemukan yaitu bentuk kapiler yang berkelok tidak teratur akibat dilatasi yang tidak beraturan dan cotton wool spot, yaitu daerah retina dengan gambaran bercak berwarna putih pucat dimana kapiler mengalami sumbatan. Retinopati diabetik proliperatif ditandai dengan pembentukan pembuluh darah baru. Pembuluh darah baru tersebut berbahaya karena bertumbuh secara abnormal keluar dari retina dan meluas sampai ke vitreus, menyebabkan perdarahan disana dan dapat menimbulkan kebutaan. Apabila perdarahan terus berulang, dapat terjadi jaringan fibrosis atau sikatriks pada retina. Makulopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering pada retinopati diabetik. Makulopati diabetik dapat dibedakan dalam beberapa bentuk yaitu makulopati iskemik (akibat penyumbatan yang luas dari kapiler di daerah sentral retina), makulopati eksudatif (karena kebocoran setempat suhingga terbentuk eksudat keras seperti pada RDPN) dan edema macula (akibat kebocoran yang difus).12 Nefropati diabetik Kelainan yang terjadi pada ginjal penyandang DM dimulai dengan adanya mikroalbuminuria, dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis, berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan keadaan gagal ginjal yang memerlukan pengelolaan dan pengobatan substitusi. Ditemukannya miroalbuminuria mendorong dan mengharuskan agar dilakukan pengelolaan DM yang lebih intensif termasuk pengelolaan berbagai faktor resiko lain untuk terjadinya komplikasi kronik DM seperti tekanan darah, lipid dan kegemukan serta merokok. Penyandang DM dengan laju filtrasi glomerulus atau bersihan kretinin < 30 mL/menit seyognyanya sudah dirujuk ke ahli penyakit ginjal untuk menjajagi kemungkinan dan untuk persiapan terapi pengganti bagi kelainan ginjalnya, baik nantinya berupa dialisis maupun transplantasi ginjal.11 Neuropati diabetik Neuropati diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi kronis paling sering ditemukan pada diabetes melitus (DM). risiko yang dihadapi

pasien DM dengan ND antara lain ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh dan amputasi jari/kaki. Polineuropati sensori-motor simetris diatas atau distal symmetrical sensorymotor polyneuropathy (DPN) merupakan jenis kelainan ND yang paling sering terjadi. DPN ditandai degan berkurangnya fungsi sensorik secara progresif dan fungsi motorik (lebih jarang) yang berlangsung pada bagian diatal yang berkembang kea rah proksimal. Diagnosis neuropati perifer diabetik dalam praktek sehari-hari, sangat bergantung pada ketelitian pengambilan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bentuk lain ND yang juga sering sitemukan ialah neuropati otonom (parasimpatis dan simpatis) atau diabetic autonomic neuropathy (DAN). Uji komponen parasimpatis DAN dilakukan dengan tes respons denyut jantung terhadap maneuver valsava, variasi denytu jantung (interval PR) selama napas dalam (denyut jantung maksimum-minimum). Uji komponen simpatis DAN dilakukan dengan respons tekanan darah terhadap berdiri (penurunan sistolik), respons tekanan darah terhadap genggaman (peningkatan diastolik).13 Penyakit Jantung Koroner Penyebab kematian dan kesakitan utama pada pasien DM (baik DM tipe 1 maupun DM tipe 2) adalah Penyakit Jantung Koroner, yang merupakan salah satu penyulit makrovaskular pada diabetes melitus. Penyulit makrovaskular ini bermanifestasi sebagai aterosklerosis dini yang dapat mengenai organ-organ vital (jantung dan otak. Penyebab aterosklerosis pada pasien DM tipe 2 bersifat multifaktorial, melibatkan interaksi kompleks dari berbagai keadaan seperti hiperglikemia, hiperlipidemia, stress oksidatif, penuaan dini, hiperinsulinemia dan/atau hiperproinsulinemia serta perubahanperubahan dalam proses koagulasi dan fibrinolisis. Pada pasien DM, risiko payah jantung meningkat 4 sampai 8 kali. Peningkatan risiko ini tidak hanya disebabkan karena penyakit jantung iskemik. Dalam beberapa tahun terakhir ini diketahui bahwa pasien DM dapat pula mempengaruhi otot jantung secara independen. Selain melalui keterlibatan aterosklerosis dini arteri koroner yang menyebabkan penyakit jantung iskemik juga dapat terjadi perubahan-

perubahan berupa fibrosis interstitial, pembentukan kolagen dan hipertrofi sel-sel otot jantung. Pada tingkat selular terjadi gangguan pengeluaran kalsium dari sitoplasma, perubahan struktur troponin T dan peningkatan aktivitas piruvat kinase. Perubahan-perubahan ini akan menyebabkan gangguan kontraksi dan relaksasi otot jantung dan peningkatan tekanan enddiastolik sehingga dapat menimbulkan kardiomiopati restriktif.14

Preventif Pencegahan primer. Pencegahan primer adalah cara yang paling sulit karena yang menjadi sasaran adalah orang-orang yang belum sakit artinya mereka masih sehat. Cakupannya menjadi sangat luas. Yang bertanggung jawab bukan hanya profesi tetapi seluruh masyarakat termasuk pemerintah. Semua pihak harus mempropagandakan pola hidup sehat dan menghindari pola hidup berisiko. Menjelaskan kepada masyarakat bahwa mencegah penyakit jauh lebih baik daripada mengobatinya. Kampanye pola makan sehat dengan pola tradisional yang mengandung lemak rendah atau pola makanan seimbang adalah alternatif terbaik dan harus sudah mulai ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak taman kanak-kanak. Tempe misalnya adalah makanan tradisional kita yang selain sangat bergizi, ternyata juga banyak khasiatnya misalnya sifat anti bakteri dan menurunkan kadar kolesterol. Caranya bisa lewat guru-guru atau lewat acara radio atau televisi. Selain makanan juga cara hidup berisiko lainnya harus dihindari. Jaga berat badan agar tidak gemuk, dengan olahraga teratur. Dengan menganjuran olah raga kepada kelompok resiko tinggi, misalnya anak-anak pasien diabetes, merupakan salah satu upaya pencegahan primer yang sangat efektif dan murah. Motto memasyarakatkan olah raga dan mengolahragakan masyarakat sangat menunjang upaya pencegahan primer. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konsekuensi, yaitu penyediaan sarana olah raga yang merata sampai ke pelosok, misalnya di tiap sekolahan harus ada sarana olah raga yang memadai.15

Pencegahan sekunder. Mencegah timbulnya komplikasi, menurut logika lebih mudah karena populasinya lebih kecil, yaitu pasien diabetes yang sudah diketahui dan sudah berobat, tetapi kenyataanya tidak demikian. Tidak gampang memotivasi pasien untuk berobat teratur, dan bisa menerima kenyataan bahwa penyakitnya tida bisa sembuh. Syarat untuk mencegah komplikasi adalah kadar glukosa darah harus selalu terkendali mendekati angka normal sepanjang hari sepanjang tahun. Di samping itu seperti tadi sudah dibicarakan, tekanan darah dan kadar lipid juga harus normal. Dan supaya tidak ada resistensi insulin, dalam upaya pengendalian kadar glukosa darah dan lipid itu harus diutamakan cara-cara non farmakologis dulu secara maksimal, misalnya dengan diet dan olah raga, tidak merokok dan lain-lain. Bila tidak berhasil baru menggunakan obat baik oral maupun insulin. Pada pencegahan sekunder pun, penyuluhan tentang perilaku sehat seperti pada pencegahan primer harus dilaksanakan, ditambah dengan peningkatan pelayanan kesehatan primer di pusat-pusat pelayanan kesehatan mulai dari rumah sakit kelas A sampai ke unit paling depan yaitu puskesmas. Di samping itu juga diperlukan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya tentang berbagai hal mengenai penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi. Penyuluhan ini dilakukan oleh tenaga yang terampil baik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain yang sudah dapat pelatihan ntuk itu (diabetes educator). Usaha ini akan lebih berhasil bila cakupan pasien diabetesnya juga luas, artinya selain pasien yang selama ini sudah berobat juga harus dapat mencakup pasien diabetes yang belum berobat atau terdiagnosis, misalnya kelompok penduduk dengan resiko tinggi. Kelompok yang tidak terdiagnosis ini rupanya tidak sedikit. Oleh karena itu pada tahun 1994 WHO menyatakan bahwa pendeteksian pasien baru dengan cara skrining dimasukkan ke dalam upaya pencegahan sekunder agar supaya bila diketahui lebih dini komplikasi dapat dicegah karena masih reversibel. Peran profesi sangat ditantang untuk menekan angka pasien yang tidak terdiagnosis ini, supaya pasien jangan datang minta pertolongan kalau sudah sangat terlambat dengan berbagai komplikasi yang dapat mengakibatkan kematian yang sangat tinggi. Dari

sekarang harus sudah dilakukan upaya bagaimana caranya menjaring pasien yang tidak terdiagnosis itu agar mereka dapat melakukan upaya pencegahan baik primer maupun sekunder.15 Pencegahan tersier. Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang diakibatkannya termasuk ke dalam pencegahan tersier. Upaya ini terdiri dari 3 tahap :15 o Pencegahan komplikasi diabetes, yang pada konsensus dimasukkan sebagai pencegahan sekunder o Mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi untuk tidak menjurus kepada penyakit organ o Mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena kegagalan organ atau jaringan. Dalam upaya ini diperlukan kerja sama yang baik sekali baik antara pasien dengan dokter maupun antara dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang terkait dengan komplikasinya. Dalam hal ini peran penyuluhan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk mengendalikan diabetesnya. Peran ini tentu saja akan merepotkan dokter yang jumlahnya terbatas. Oleh karena itu dia harus dibantu oleh orang yang sudah dididik untuk keperluan itu yaitu penyuluhan diabetes (diabetes educator). Strategi pencegahan Dalam menyelenggarakan upaya pencegahan ini diperlukan suatu strategi yang efisien dan efektif untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Ada 2 macam strategi untuk dijalankan, antara lain:15 1. Pendekatan populasi / masyarakat. Semua upaya yang bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat umum. Yang dimaksud adalah mendidik masyarakat agar menjalankan cara hidup sehat dan menghindari cara hidup berisiko. Upaya ini ditujukan tidak hanya untuk mencegah diabetes tetapi juga unuk mencegah penyakit lain sekaligus. Upaya ini sangat berat karena target populasinya sangat luas, oleh karena itu harus dilakukan tidak hanya oleh profesi tetapi harus oleh segala lapisan ma yarakat termasuk pemerintah dan swasta (LSM, pemuka masyarakat dan agama)

2. Pendekatan individu berisiko tinggi. Semua upaya pencegahan yang dilakukan pada individu-individu yang berisiko untuk menderita diabetes pada suatu saat kelak. Pada golongan ini termasuk individu yang: berumur > 40 tahun, gemuk, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat melahirkan bayi > 4 kg, riwayat DM pada saat kehamilan, dislipidemia.

Penatalaksanaan Non Medika Mentosa Modalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes mellitus terdiri dari: pertama terapi non farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes yang dilakukan secara terus menerus, kedua terapi farmakologis, yang meliputi pemberian obat ati diabetes oral dan injeksi insulin. Terapi farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi non farmakologis yang telah dilakukan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah sebagaimana yang diharapkan. Pemberian terapi farmakologis tetap tidak meninggalkan terapi nom farmakologis yang telah diterapkan sebelumnya.16 TERAPI GIZI MEDIS Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologis yang sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes (diabetisi). Terapi gizi medis ini pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.16 Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain:16 1. menurunkan berat badan 2. menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik 3. menurunkan kadar glukosa darah 4. memperbaiki profil lipid

5. meningkatkan sensitivitas reseptor insulin 6. memperbaiki system koaguasi darah Tujuan Terapi Gizi Medis Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan:16 1. kadar glukosa darah mendekati normal glukosa puasa berkisar 90 130 mg/dl glukosa darah 2 jam setelah makan <180 mg/dl kadar A1c <7%

2. tekanan darah < 130/80 3. profil lipid kolesterol LDL < 100 mg/dl kolesterol HDL > 40 mg/dl Trigliserida <150 mg/dl

4. berat badan senormal mungkin JENIS BAHAN MAKANAN Karbohidrat. Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada diabetisi tidak boleh lebih dari 55 - 56% dari total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA = monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori.16 Rekomendasi pemberian karbohidrat:16 1. kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat, lebih ditentukan oleh jumlahnya dibandingkan dengan jenis karbohidrat itu sendiri. 2. dari total kebutuhan kalori per hari, 60 70% diantaranya berasal dari sumber karbohidrat. 3. jika ditambah MUFA sebagai sumber energi, maka jumlah karbohidrat maksimal 70% dari total kebutuhan kalori per hari. 4. jumlah serat 25 50 gram per hari.

5. jumlah sukrosa sebagai sumber energi tidak perlu dibatasi, namun jangan sampai lebih dari total kalori per hari. 6. sebagai pemanis dapat digunakan pemanis non kalori seperti sakarin, aspartame, acesulfam dan sukralosa 7. penggunaan alcohol harus dibatasi tidak boleh lebih dari 10 gram/hari 8. fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gram/hari 9. makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi Protein. Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10 15% dari total kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal, dimana diperlukan pembatasan asupan protein sampai 40 gram per hari, maka diperlukan tambahkan pemberian suplementasi asam amino esensial. Protein mengandung energi sebesar 4 kilokalori/gram.16 Rekomendasi pemberian protein:16 1. kebutuhan protein 15 20% dari total kebutuhan energi per hari. 2. pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak akan mempengaruhi konsentrasi glukosa darah. 3. pada keadaan kadar glukosa darah tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8 1,0 mg/kg berat badan/hari. 4. pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampai 0,85 gram/kg berat badan/hari dan tidak kurang dari 40 gram 5. jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati lebih dianjurkan dari protein hewani. Lemak. Lemak mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya. Bahan makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E, K. berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak dikelompokkan menjadi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak jenuh dan kolesterol sangat disarankan bagi diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal yang sering dijumpai pada diabetes. Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA = monounsaturated fatty acids),

merupakan salah satu asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi dapat menurunkan dadar trigliserida, kolesterol total, kolesterol VLDL dan meningkatkan kadar kolesterol HDL. Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (PUFA = polyunsaturated fatty acid) dapat melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan aktivitas enzim lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer, sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol LDL.16 Rekomendasi pemberian lemak:16 1. batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal 10% dari total kebutuhan kalori per hari 2. jika kadar kolesterol LDL 100 mg/dl, asupan lemak jenuh diturunkan sampai maksimal 7% dari total kalori per hari. 3. konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol LDL 100 mg/dl, maka maksimal kolesterol yang dapat dikonsumsi 200 mg/hari. 4. batasi asupan asam lemak bentuk trans 5. konsumsi ikan seminggu 2 3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam lemak tidak jenuh rantai panjang. 6. asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10% dari asupan kalori per hari. PERHITUNGAN JUMLAH KALORI Perhitungan jumlah kalori ditentukan oleh status gizi, umur, ada tidaknya stress akut, dan kegiatan jasmani. Penentuan status gizi dapat dipakai indeks massa tubuh (IMT) atau rumus Brocca.16 Penentuan Status Gizi Berdasarkan IMT IMT dihitung berdasarkan pembagian berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan tinggi badan (dalam meter) kuadrat.16 Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT:16 Berat badan kurang < 18,5

BB normal BB lebih Dengan risiko Obes I

18, 5 22,9 23,0 23 24,9 25 29,9

LATIHAN JASMANI Pengelolaan diabetes mellitus (DM) yang meliputi 4 pilar, aktivitas fisik merupakan salah satu dari keempat pilar tersebut. Aktivitas minimal otot skeletal lebih dari sekedar yang diperlukan untuk ventilasi basal paru, dibutuhkan oleh semua orang termasuk diabetisi sebagai kegiatan sehari hari, seperti misalnya: bangun tidur, memasak, berpakaian, mecuci, makan bahkan tersenyum. Berangkat kerja, bekerja, berbicara, berfikir, tertawa, merencanakan kegiatan esok, kemudian tidur. Semua kegiatan tadi tanpa disadari oleh diabetisi, telah sekaligus menjalankan pengelolaan terhadap DM sehari hari.16 Diabetes merupakan penyakit sehari hari. Penyakit yang akan berlangsung seumur hidup. Kadang, diabetes dipandang sebagai tantangan, diwaktu lain dianggap sebagai beban. Tanggung jawab terhadap pengelolaan diabetes sehari hari, merupakan milik masing masing diabetisi. Mereka yang telah memutuskan untuk hidup dengan diabetes dalam keadaan sehat mempunyai satu persamaan, bahwa mereka harus melakukan kegiatan fisik.16 Anjuran untuk melakukan kegiatan fisik bagi diabetisi telah dilakukan sejak seabad yang lalu oleh seorang dokter dari dinasti Sui di China, dan manfaat kegiatan ini masih terus diteliti oleh para ahli hingga kini. Kesimpulan semn\entara dari penelitian itu aialah bahwa kegiatan fisik diabetisi (type 1 maupun 2), akan mengurangi resiko kejadian kardiovaskular dan meningkatkan harapan hidup. Kegiatan fisik akan meningkatkan rasa nyaman baik secara fisik, psikis maupun social dan tampak sehat. Kemajuan teknologi agak bersebrangan dengan anjurang untuk melakukan kegiatan fisik, karena akan membuat seseorang kurang bergiat. Mengingat hal ini, maka harus dibuat suatu kegiatan fisik yang terencana dengan baik dan teratur bagi diabetisi.16 PENYULUHAN DIABETES

Dalam rangka mengantisipasi ledakan jumlah pasien diabetes dan meningkatnya komplikasi terutama PJK. Diperlukan tenaga trampil yang dapat berperan sebagai perpanjangan tangan dokter endokrinologis. Di luar negri tenaga tersebut sudah ada disebut diabetes educator yang terdiri dari dokter, perawat. Ahli gizi atau pekerja social dan lain lain yang berminat. Di Indonesia sejak tahun 1933 telah diselenggarakan kursus penyuluh diabetes yang sampai saat ini masih berlangsung secara teratur. Kursus itu ternyata mendapat sambutan luar biasa dari rumah sakit seluruh Indonesia. Dalam pelaksanaan nya para penyuluh diabetes itu sebaiknya memberikan pelayanan secara terpadu dalam suatu instansi misalnya dalam bentuk sentral informasi yang bekerja 24 jam sahari dan akan melayani pasien atau siapapun yang ingin menanyakan seluk beluk tentang diabetes. Isi dari penyuluhan diabetes mengenai pengenalan mengenai diabetes mellitus, perencanaan makan, latihan jasmani, pengenalan tentang obat obatan yang dipakai serta pemantauan laboratorium baik urin maupun gula darah.17 Medika Mentosa Farmakoterapi Pada Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus Tipe 2 Langkah pertama dalam mengelola DM selalu dimulai dengan pendekatan non farmakologis,, yaitu berupa perencanaan makan/terapi nutrisi medic, kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila didapat obesitas. Bila denganlangkah langkah tersebut sasaran pnegendalian diabetes belum tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan obat atau intervensi farmakologis. Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam macam penyebab terjadinya hiperglikemia. Pada kegawatan tertentu (ketoasidosis, diabetes dengan infeksi, stress), pengelolaan farmakologis dapat langsung diberikan, umumnya dibutuhkan insulin. Keadaan seperti ini memerlukan di perawatan rumah sakit.18 MACAM MACAM OBAT ANTI HIPERGLIKEMIK ORAL :18 1. Golongan Insulin Sensitizing

Biguanid Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di dalam usus dan hati, tidak dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Karena cepatnya proses tersebut maka metformin biasanya diberikan dua sampai tiga kali sehari dalam bentuk extended release. Pengobatan dengan dosis maksimal akan dapat menurunkan A1C , sebesar 1-2%. Efek samping yang dapat terjadi adalah asidosis laktat dan untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin > 1.3 mg/dL pada perempuan dan > 1.5 mg/dL pada laki laki) atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus diberikan denga hati hati pada orang lanjut usia. Penggunaan dalam klinik Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai kombinasi dengan SU, repaglinid, nateglinid, penghambat alpha glikosidase dan glitazone. Efektivitas metformin menurunkan glukosa darah pada orang gemuk sebanding dengan kekuatan SU. Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka metofrmin sebagai monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada orang gemuk dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat merupakan pilihan pertama. Bila dengan monoterapi tidak berhasil maka dapat dilakukan kombinasi dengan SU atau obat anti diabetic lain.

Glitazone Golongan Thiazolidinediones atau Glitazone adalah golongan obat yang mempunyai efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin.

Obat ini dapat diberikan secara oral dan secara kimiawi maupun fungsional tidak berhubungan dengan obat oral lainnya. Monoterapi dengan glitazone dapat memperbaiki konsentrasi glukosa darah puasa hingga 59-80 mg/dL dan A1C 1.4 2.6% dibandingkan dengan placebo. Rosiglitazone dan pioglitazone dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin. Penggunaan dalam klinik Rosiglitazone dan pioglitazone saat ini dapat digunakan sebagai monoterapi dan juga sebagai kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin. Secara klinik rosiglitazon dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal atau dosis terbagi 2 kali sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa puasa sampai 55 mg/dL dan A1C sampai 1.5% dibandingkan dengan placebo. Sedang pioglitazon juga mempunyai kemampuan menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai monoterapi atau sebagai terapi kombinasi dengan dosis sampai 45 mg/dL dosis tunggal. 2. Golongan Sekretagok Insulin Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemikdengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel beta penkreas. Golongan ini meliputi sulfonylurea dan glinid. Sulfonylurea Sulfonylurea telah digunakan untukpengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. Sulfonylurea sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau mempertahankan sekresi insulin. Mempunyai sejarah penggunaan yang panjang dengan sedikit efek samping (termasuk hipoglikemi) dan rwlatif murah.

Berbagai macam obat golongan ini umumnya mempunyai sifat farmakologis yang serupa, demikian juga efek klinis dan mekanisme kerjanya. Penggunaan dalam klinik Pada pemakaian sulfonylurea, umumnya selalu dimulai dari dosis rendah , untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan tertentu di mana kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan sulfonylurea dengan dosis yang lebih besar dengan perhatian khusus bahwa dalam beberapa ahri sudah dapat diperoleh efek klinis yang jelas dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa darah yang cukup bermakna. Dosis permulaan sulfonylurea tergantung pada beratnya hiperglikemia. Bila konsentrasi glukosa puasa < 200 mg/dL, SU sebaiknya dimulai dengan pemberian dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2 minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130 mg/dL. Bila glukosa darah puasa > 200 mg/dL dapat diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan setengah jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan makanan porsi terbesar. Kombinasi sulfonylurea dengan insulin,. Pemakaian kombinasi kedua obat ini didasarkan bahwa rerata kadar glukosa darah sepanjang hari terutama ditentukan oleh kadar glukosa darah puasanya. Umumnya kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan kureang lebih sama, tidak tergantung pada kadar glukosa darah pada keadaan puasa. Dengan memberikan dosis insulin kerja atau insulin glargin pada malam hari, produksi glukosa hati malam hari dapat dikurangi sehingga kadar glukosa darah puasa dapat turun. Selanjutnya kadar glukosa darah siang hari dapat diatur dengan pemberian sulfonylurea seperti biasa.

Kombinasi sulfonylurea denga insulin ini ternyata lebih baik daripada insulin sendiri dan dosis insulin yang diperlukan pun ternyata lebih rendah. Dan cara kombinasi ini lebih dapat diterima pasien daripada penggunaan insulin multiple. Glinid Sekretagok insulin yang baru, bukan merupakan sulfonylurea dan merupakan glinid. Kerjanya juga melalui reseptor sulfonylurea (SUR) dan mempunyai struktur yang mirip dengan sulfonylurea tetapi tidak mempunyai efek sepertinya. Repaglinid dan nateglinid kedua duanya diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolism dalam hati sehingga diberikan dua sampai tiga kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai paruh yang singkat karena lama menempel pada kompleks SUR sehingga dapat menurunkan ekuivalen A1C pada SU. Sedang nateglinid mempunyai masa tinggi lebih singkat dan tidak menurunkan kadar glukosa darah puasa. Sehingga keduanya merupakan sekretagok yang khusus menurunkan glukosa postprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal. Karena sedikit mempunyai efek terhadap glukosa darah puasa maka kekuatannya menurunkan A1C tidak begitu kuat. 3. Penghambat Alfa Glukosidase Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemik postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Efek samping akibat maldigesti karbohidrat akan berupa gejala gastrointestinal seperti meteorismus, flatulens, dan diare. Flatulens

adalah efek yang paling tersering terjadi pada hamper 50% pengguna obat ini. Penghambat Alfa Glukosidase dapat menghambat bioavailibilitas metformin jika bersamaan dengan orang normal. Acarbose hampir tidak diabsorpsi dan bekerja local pada saluran pencernaan. Acarbose mengalami metabolism di dalam saluran pencernaan, metabolism terutama oleh flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas enzim pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma kira kira 2 jam pada orang sehat dan sebagian besar diekskresi melalui feses. Penggunaan dalam klinik Acarbose dapat digunakan sebagai monoterapi atau sebagai kombinasi dengan insulin,metformin, glitazone, atau sulfonylurea. Untuk mendapatkan efek maksimal, obat ini harus diberikan segera pada saat makanan utama. Hal ini perlu karena merupakan penghambat kompetitif dan sudah harus ada pada saat kerja enzimatik pada saat yang sama karbohidrat berada di usus halus. Dengan memberikannya 15 menit sebelum atau sesudahnya makan akan mengurangi dampak pengobatan terhadap glukosa postprandial. Monoterapi dengan acarbose dapat menurunkan rata rata gluokosa postprandial sebesar 40-60 mg/dL dan glukosa puasa rata rata 10-20 mg/dL dan A1C 0.5-1%. Dengan terapi kombinasi bersama sulfonylurea, metformin dan insulin maka acarbose dapat menurunkan lebih banyak terhadap A1C sebesar 0.3-0.5% dan rata rata glukosa postprandial sebesar20-30 mg/dL dari keadaan sebelumnya. Sasaran pengelolaan DM bukan hanya glukosa darah saja, tetapi juga termasuk factor factor lain yaituberat badan, tekanan darah, dan profil lipid, seperti tampak pada sasaran pengendalian DM yang dianjurkan dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM Tipe 2 di Indonesia tahun 2006 (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia).

4. Penghambat Dipeptidyl Peptidase IV (Penghambat DPP-IV). Terdapat dua macam penghambat DPP-IV yang ada saat ini yaitu sitagliptin dan vildagliptin. Pada terapi tunggal, penghambat DPP-IV dapat menurunkan HbA1c sebesar 0,79-0,94% dan memiliki efek pada glukosa puasa dan post prandial. Penghambat DPP-IV dapat digunakan sebagai terapi alternative bila terdapat intoleransi pada pemakaian metformin atau pada usia lanjut. DPP-IV tidak mengakibatkan hipoglikemia maupun kenaikan berat badan. Efek samping yang dapat ditemukan adalah nasofaringitis, peningkatan risiko infeksi saluran kemih dan sakit kepala. Reaksi alergi yang berat jarang ditemukan. Diagnosis Banding Diabetes Melitus tipe I Merupakan bentuk diabetes yang berat dan disertai ketosis pada kasus kasus yang tidak tertangani. DM ini sering dijumpai pada orang muda tetapi dapat pula pada orang dewasa. Penderita akan mengalami gangguan metabolik di mana todak ada insulin dalam sirkulasi, glukagon plasma meningkat, dan sel sel beta pankreas gagal berespon terhadap semua rangsangan insulinogenik yang telah diketahui. Tanpa adanya insulin; hati, otot, dan jaringan lemak gagal mengambil zat zat gizi yang telah diabsorpsi dan bahkan terus melanjutkan pengeluaran glukosa, asam amino, dan asam lemak ke dalam aliran darah dari depot cadangan masing masing. Kemudian perubahan metabolisme lamak pun mengakibatkan akumulasi benda benda keton.1 Sindrom Metabolik Obesitas sentral Obesitas yang digambarkan dengan indeks massa tubuh tidak begitu sensitif dalam menggambarkan risiko kardiovaskular dan gangguan metabolik yang teijadi. Studi menunjukkan bahwa obesitas sentral yang digambarkan oleh lingkar perut (dengan cut-off yang berbeda antara jenis kelamin) lebih sensitif dalam memprediksi gangguan metabolik dan risiko kardiovaskular.

Lingkar perut menggambarkan baik jaringan adiposa subkutan dan vis- ceral. Meski dikatakan bahwa lemak viseral lebih berhubungan dengan komplikasi metabolik dan kardiovaskular, hal ini masih kontroversial. Peningkatan obesitas berisiko pada peningkatan kejadian kardiovaskular. Variasi faktor genetik membuat perbedaan dampak metabolik maupun kardiovaskular dari suatu obesitas. Seorang dengan obesitas dapat tidak berkembang menjadi resistensi insulin, dan sebaliknya resistensi insulin dapat ditemukan pada individu tanpa obes (lean subjects). Interaksi faktor genetik dan lingkungan akan memodifikasi tampilan metabolik dari suatu resistensi insulin maupun obesitas.19 Resistensi Insulin Resistensi insulin mendasari kelompok kelainan pada sindrom metabolik. Sejauh ini belum disepakati pengukuran yang ideal dan praktis untuk resistensi insulin. Teknik clamp merupakan teknik yang ideal namun tidak praktis untuk klinis sehari-hari. Pemeriksaan glukosa plaama puasa juga tidak ideal mengingat gangguan toleransi glukosa puasa hanya dijumpai pada 10% sindrom metabolik. Pengukuran Homeostasis Model Asessment (HOMA) dan Quantitative Insulin Sensitivity Check Index (QUICKI) dibuktikan berkorelasi erat dengan pemeriksaan standar, sehingga dapat disarankan untuk mengukur resistensi insulin. Bila melihat dari patofisiologi resistensi insulin yang melibatkan jaringan adiposa dan sistem kekebalan tubuh, maka pengukuran resistensi insulin hanya dari pengukuran glukosa dan insulin (seperti rumus HOMA dan QUICKI) perlu ditinjau ulang. Oleh karenanya, penggunaan rumus ini secara rutin di klinis belum disarankan maupun disepakati.19 Dislipidemia Dislipidemia yang khas pada sindrom metabolic ditandai dengan peningkatan trigliserida dan penurunan kolesterol HDL. Kolesterol LDL biasanya normal, namun mengalami perubahan struktur berupa peningkatan small dense LDL. Peningkatan konsentrasi trigliserida plasma diperkirakan

akibat peningkatan masukan asam lemak bebas ke dalam hati sehingga terjadi peningkatan produksi trigliserida. Namun studi pada manusia dan hewan menunjukkan bahwa peningkatan trigliserida tersebut bersifat multifaktorial dan tidak hanya diakibatkan oleh peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati.19 Hipertensi Resistensi insulin juga berperan pada pathogenesis hipertensi. Insulin merangsang sistem saraf simpatis meningkatkan reabsorpsi natrium ginjal, mempengaruhi transport kation dan mengakibatkan hipertrofi sel otot polos pembuluh darah. Pemberian infus insulin akut dapat menyebabkan hipotensi akibat vasodilatasi. Sehingga disimpulkan bahwa hipertensi akibat resistensi insulin terjadi akibat ketidakseimbangan antara efek pressor dan depressor. The Insulin Resistance Atherosclerosis Study melaporkan hubungan antara resistensi insulin dengan hipertensi pada subyek normal namun tidak pada subyek dengan DM tipe 2.19 Prognosis Prognosis pada umumnya baik jika disertai dengan penanganan yang baik dan sedini mungkin. Pencegahan seperti penyuluhan oleh petugas kesehatan dapat mencegah terjadinya komplikasi yang dapat memperberat penyakit sampai terjadinya kematian. KESIMPULAN Diabetes Melitus ( DM ) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kesuanya. Pengendalian hiperglikemi dan hipertensi terbukti dapat mencegah atau memperlambat progresivitas dari komplikasi.. Edukasi tentang perawatan kaki telah memberikan kontribusi yang besar dalam menurunkan morbiditas pada masalah kaki diabetes. Pengaturan hipertensi, dislipidemi, dan penghentian merokok memberikan keuntungan yang besar dalam mengurangi progresivitas dari retinopati, nephropati, dan atherosclerosis. Kecerdasan, motivasi, dan kesadaran pasien memberikan peranan yang

sangat penting untuk mencapai hasil yang optimal. Sebagai tambahan, edukasi yang memadai untuk pengetahuan pasien, tatalaksana, dan alat-alat yang digunakan akan meningkatkan prognosis jangka panjang. DAFTAR PUSTAKA 1. Greenspan FS, Baxter JD. Endokrinologi dasar & klinik, ahli gahasa, Caroline Wijaya,

You might also like