Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Septria Yanto
05 193 039
PENDAHULUAN
Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya pada tanggal 22 juli 2008
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat menetapkan Peraturan Daerah No. 6 Tahun
2008 tentang Tanah Ulayat Dan Pemanfaataannya. Secara eksplisit Perda No. 6
Tahun 2008 menyatakan bahwa, tujuan pengaturan tanah ulayat dan
pemanfaatannya adalah untuk tetap melindungi keberadaan tanah ulayat menurut
hukum adat minangkabau serta mengambil manfaat dari tanah termasuk sumber
daya alam, untuk kelangsungan hidup dan kehidupannya secara turun temurun
dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat dengan wilayah yang
bersangkutan1. Kemudian, sasaran utama pemanfaatannya tanah ulayat adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatt adat2. Lebih
lanjut dinyatakan juga bahwa untuk menjamin kepastian hukum dan keperluan
penyedian data/ informasi pertanahan, tanah ulayat dapat didaftarkan pada kantor
Pertanahan Kabupaten/ Kota3.
1
Pasal 4 Perda No. 6 tahun 2008
2
Pasal 3 ayat (1) Perda No. 6 tahun 2008
3
Pasal 8 Perda No. 6 tahun 2008
BAB II
PEMBAHASAN
4
Maria SW Sumardjono, 2008, Tanah dalam Perspektif Hak ekonomi, Sosial Dan Budaya,
Jakarta: Kompas. Hal. 172.
5
Maria SW Sumardjono, 2005, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi Dan Implementasi,
Jakarta: Kompas. Hal. 62.
6
Ibid. Hal.146.
7
Maria SW Sumardjono, op. cit. Hal. 147.
1. Ciri/sifat Hak milik adalah hak yang terkuat, terpenuh,
turun temurun
HGU, HGB, HP secara a contrario hak yang
kurang kuat dan kurang
Tanah (hak) ulayat berakses publik dan perdata. Aspek publik tersebut
mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasa,
pemeliharaan, peruntukan dan penggunan tanah ulayat oleh kepala adat8.
Sedangkan aspek perdatanya mengandung arti bahwa hak ulayat merupakan hak
ulayat untuk itu bukan hak milik dalam arti yuridis, melainkan hak punya
bersama9. UUPA tidak memberikan penjelasan tentang hak ulayat. UUPA hanya
menyatakan bahwa yang dimaksud denan “hak ulayat dan hak-hak serupa itu”
ialah apa yang di dalam perpustakaan adat disebut beschikkingsrecht. Terhadap
tidak adanya pengaturan lebih lanjut hak ulayat dalam UUPA, Boedi Harsono
berpendapat;
8
Boedi Harono, 2005, Hukum Agraria Indonesia; Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
Pelaksanannya, Jakarta: Djambatan. Hal. 182.
9
Ibid. Hal.183.
10
Ibid, Hal 193.
Disamping tiga jenis status tanah tersebut diatas, dikenal juga tanah hak
pengelolaan (HPL). HPL secara implisit pengertiannya diturunkan dari pasal 2
ayat (2) UUPA dan Penjelasan umum II (2) UUPA. Istilah HPL muncul pertama
kali dalam Peraturan Menteri Agraria No. 9 tahun 1965 tentang Pelaksanaan
Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan Tentang
Kebijakan selanjutnya. Menurut Maria SW Sumardjono, HPL merupakan bagian
dari hak menguasai negara yang (sebagian) kewenanganya dilimpahkan kepada
pemegang HPL11. Bagian-bagian tanah HPL tersebut dapat diberikan kepada
pihak lain dengan hak milik, HGB, atau hak pakai12.
11
Maria SW Sumardjono, Tanah dalam Perspektfi.....,op.cit. Hal. 204.
12
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia…..,op.cit. Hal. 277.
13
Pasal 3 PP No. 24 tahun 1997
14
Pasal 4 PP No. 24 tahun 1997
a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, HGU,
HGB, dan hak pakai
b. Tanah HPL
c. Tanah wakaf
e. Hak tanggunan
f. Tanah negara
Hak ulayat tidak akan didaftar. UUPA tidak memerintah pendaftaranya, dan dalam
PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah, hak ulayat secara sadar tidak
dimasukkan dalam objek pendaftaran tanah. Secara teknis tidak mungkin, karena
batas-batas tanahnya tidak mungkin dipastikan tanpa menimbulkan sengketa antar
masyarakat hukum yang berbatas.
UUPA menakui adanya keberadaan hak ulayat. Hal ini menjadi dasar
dikeluarkannya Peraturan menteri Agraria/ Kepala BPN No. 5 tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan Menteri
Agraria tersebut mengatur mengenai kriteria dan atau tidak adanya keberadaan
hak ulayat masyarakat hukum adat. Setelah melalui penelitian yang melibatkan
stakeholders, keberadaan hak ulayat yang masih ada dinyatakan dalam peta dasar
pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan apabila
memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar
tanah15. Dalam hal ini, tanah ulayat tersebut tidak diterbitkan sertipikat.
15
lihat Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999
16
Pasal 5 Perda no. 6 tahun 2008
ulayat nagari diberi status Hak Guna Usaha (HGU), hak pakai atau hak
pegelolaan (HPL). Tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum diberi status hak
milik. Sedangkan tanah ulayat rajo diberi status hak pakai dan hak kelola.
Dari ketentuan tersebut diatas, dipahami jika tanah ulayat didaftarkan pada
Kantor Pertanahan, maka statusnya diubah menjadi HGU, hak pakai, HPL, hak
milik dan hak kelola. HGU, hak pakai, HPL dan hak merupakan status tanah yang
dikenal dalam hukum pertanahan Indonesia. Sedangkan hak kelola merupakan
istilah baru.
HGU adalah hak untuk menguasakan tanah yang dikuasai oleh negara
guna perusahaan pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau peternakan17. Bila
tanah ulayat nagari didaftarkan di Kantor Pertanahan dan pemegang haknya
diberikan HGU, maka status hak ulayat tersebut dapat menjadi tanah negara.
Dalam hal ini, pemegang HGU tidak begitu leluasa memanfaatkan tanah yang
dikuasainya. Peruntukannya dibatasi pada bidang pertanian, perkebunan,
perikanan dan/atau peternakan. Pemanfaatannya pun juga dibatasi untuk jangka
waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling
lama 25 tahun18. Selain itu, pemegamg HGU diwajibkan membayar uang
pemasukan pada negara19.
Hak pakai adalah hak untuk mengunakan dan/atau memungut hasil dari
tanah negara, tanah hak milik atau HPL20. Artinya, hak pakai dapat diberikan atas
tanah negara, tanah hak milik atau tanah HPL. Bila tanah ulayat didaftarkan, tentu
status hukumnya berubah menjadi salah satu diantara 3 jenis tanah tersebut.
Kemungkinan terbesarnya, tanah ulayat itu menjadi tanah negara. Hak pakai
diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun atau dapat diberikan jangka
waktu yang tidak ditentukan selama tanah dipergunakan untuk keperluan
tertentu21.
17
Pasal 28 ayat(1) UUPA jo Pasal ayat (1) PP No. 40 tahun 1996
18
Pasal 8 PP No. 40 tahun 1996
19
Pasal 12 ayat (1) PP No. 40 tahun 1996
20
Pasal 41 ayat (1) UUPA jo Pasal 41 PP No. 40 tahun 1996
21
Pasal 41 ayat (2) UUPA jo Pasal 45 ayat (1) PP No. 40 tahun 1996
HPL adalah hak mengusai negara yang kewenanganya pelaksanaannya
sebagian dilimpahkan pada pemegangnya. Pemegang HPL dapat memberi hak
atas tanah pada pihak lain. Berdasarkan Pasal 67 ayat (1) Peraturan Menteri
Agraria/Kepala BPN No. 9 tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Penglolaan, yang dapat menjadi
pemegang HPL adalah: (1) Instansi Pemerintahan termasuk Pemerintahan
Daerah; (2) BUMN; (3) PT. Persero; (4) BUMD; (5) Badan Otorita; (6) Badan-
badan hukum pemerintahan lainnya yang ditunjuk pemerintah. Dalam prakteknay,
terdapat berbagai jenis HPL, yakni : (a) HPL Pelabuhan, (b) HPL Otorita, (c)
HPL Perumnas, (d) HPL Pemerintah Daerah, (e) HPL Transmigrasi, (f) HPL
Instansi Pemerintahan, (g) HPL Industri/pertanian/pariwisata/ perkerataapian.
Hak milik dalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapatv
dipunyai oleh orang atas tanah22. Terkuat dan terpenuh maksudnya adalah
pemegang hak milik itu dapat berbuat apa saja terhadap miliknya itu, misalnya
memakai/menguasainya sendiri maupun menjual, menyewakan, meminjam hak
miliknya kepada pihak lain. Secar teoritis, hak milik dengan hak menguasai
berbeda. Pemegang hak milik atas suatu benda pastilah pemilik dari benda
tersebut sedangkan pemegang hak menguasai belum tentu pemilik benda itu23.
Bila dikaitkan dengan hak ulayat, maka hak ulayat termasuk kategori hak
menguasai. Karena hak ulayat merupakan kepunyaan bersama masyarakat
hukum adat dimana penguasanya dipimpin oleh penguasa adat.
Lahirnya Perda No. 6 tahun 2008 tidak hanya semata ditujukan untuk
melindungi eksistensi tanah ulayat di Sumatera Barat, namun juga hadir untuk
kepentingan investasi dan pembangunan24. Untuk itu, melalui pasal 3 ayat (3),
Perda No.6 tahun 2008 membuka ruang bagi dimanfaatkannya tanah ukayat oleh
22
Pasal 20 ayat (1) UUPA
23
Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim, Hak Milik Keadilan dan Kemakmuran: Tinjauan
Falsafat Hukum, (Jakarta: Penerbit Balai Aksara, 1986) Hal. 52
24
Dalam penjelasan umum Perda No. 6 tahun 2008 dinyatakan, tanah ulayat, yang dapat diteriam
oleh masyarakat hokum adapt, sehingga tanah ulayat tersebut semakin dapat menunjang
pelaksanaan pembangunan berskala nasional maupun regional dan lokal.
pihak lain dengan kaedah ”adat diisi limbago dituang” melalui musyawarah
mufakat25.
Selanjutnya, Pasal 14 ayat (1) Perda No. 6 tahun 2008 mengatur bahwa
bila perjanjian tanah ulayat yang terdaftar tersebut berakhir, maka pengaturan
pemanfaatan tanah selanjtnya dlaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota
untuk diserahkan kepada penguasa dan/atau pemilik tanah ulayat semula. Bila
perjanjian berakhir, mengapa tanah ulayat tersebut tidak langsung diserahkan
kepada masyarakat hukum adat dan harus melalui perantara Pemerintah
25
Maksud ”adat diisi limbago dituang” adalah suatu pemberian berupa uang oleh pihak ketiga
yang mengelola dan menguasai tanah ulayat kepada penguasa dan/atau pemilik ulayat
berdasarkan kesepakatan masyarakat adatnya
26
Pasal 9 ayat (3) Perda No. 6 tahun 2008
27
Pasal 10 ayat (1) Perda No. 6 tahun 2008
28
Pasal 11 Perda No. 6 tahun 2008
29
Pasal 14 ayat (1) Perda No. 6 tahun 2008 menyatakan, terhadap tanah uklayat yang terdaftar
dengan hak tertentu berakhir masa berlakunya dapat diperpanjang, berdasarkan persetujuan
dari penguasa dan/atau pemlik tanah ulayat semula
Kabupaten/Kota? Tidak mungkin ketentuan ini dibuat tanpa ada pertimbangan
tertentu yang melatarbelakanginya.
Mekanisme pendaftaran tanah ulayat yang diatur Perda no. 6 tahun 2008
berimplikasi terhadap berrubahnya satus hukum tanah ulayat. Kondisi ini jelas
bertolak belakang dengan asas utama tanah ulayat sebagaimana diusung oleh
Pasal 2 ayat (1) Perda No. 6 tahun 2008, yaitu ”jua ndak dimakan bali, gadai
ndak makan sando”30. Hal ini merupakan kerugian besar bagi keberlangsungan
tanah ulayat di Sumatera Barat.
30
“jua ndak dimakan bali, gadai ndak makan sando” maksudnya adalah tanah ulayat tersebut
tidak dapat dijual dan digadaikan. Lebih jauh, tanah ulayat tidak dapat dialihkan pada pihak
lain untuk selama-lamanya
31
Pasal 17 ayat (1) Perda No. 2 tahun 2007
32
Pasal 6 ayat (1) Perda No. 6 tahun 2008
pemilik/penguasa tanah ulayat beserta dengan batas-batas yang melingkupinya.
Ketidakjelasan tersebut, cenderung akan menjadi sumber konflik dan sengketa di
kemidian hari. Ada beberapa solusi yang bisa ditawarkan dalam memetakan tana
ulayat. Pertama, menempuh mekanisme sebagaimana diatur oleh Peraturan
Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999. Kedua, mendaftarkan tanah
ulayat kepada Kantor Pertanahan dengan cara membukukan bidang tanah ulayat
dalam daftar tanah.
BAB III
PENUTUP
33
Kurnia Warman, Hak Atas Tanah Ganggam Baruntuak Menurut UUPA di Sumatera Barat,
Tesis S2, (Yogyakarta: UGM, 1998)
DAFTAR PUSTAKA
Boedi Harono, 2005, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Isi
dan Pelaksanannya, Penerbit Djambatan, Jakarta
Kurnia Warman, 1998, Hak Atas Tanah Ganggam Baruntuak Menurut UUPA di
Sumatera Barat, Tesis S2, UGM, Yogyakarta
Maria SW Sumardjono, 2008, Tanah dalam Perspektif Hak ekonomi, Sosial Dan
Budaya, Kompas, Jakarta
Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim, 1986, Hak Milik Keadilan dan
Kemakmuran: Tinjauan Falsafat Hukum, Balai Aksara, Jakarta