You are on page 1of 3

Di awal tahun 2013 ini mata dunia internasional khususnya wilayah Asia Tenggara menjuru pada perselisihan atau

konflik perebutan wilayah Sabah antara Malaysia dan Kerajaan Sulu . Konflik tersebut telah menelan setidaknya 27 korban tewas dari pihak tentara Kerajaan Sulu dan polisi Diraja Malaysia serta warga sipil . Konflik terjadi antara Kesultanan Sulu yang ingin merebut kembali Sabah dengan Polisi Diraja Malaysia. Konflik tersebut dipicu oleh perebutan kembali wilayah Sabah oleh Kesultanan Sulu. Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1658, dua kesultanan di wilayah Sabah, yakni Brunei dan Sulu membuat kesepakatan. Kesultanan Brunei menghadiahkan wilayah Sabah kepada kesultanan Sulu atas jasa mereka membantu melawan pemberontakan. Kemudian pada tahun 1878, perusahaan Inggris British North Borneo Company, menyewa wilayah itu pada Kesultanan Sulu. Dalam kontrak disebutkan, perusahaan membayar senilai USD 1.700 selama beroperasi. Namun, saat Malaysia merdeka, Inggris menyerahkan wilayah Sabah karena menganggap uang sewa tersebut sebagai uang pembelian lahan. Sabah yang kini menjadi bagian Malaysia merupakan wilayah Kesultanan Sulu yang disewakan kepada pemerintah Kolonial Inggris. Setelah Perang Dunia II Inggris berniat mengembalikan Sabah ke Kesultanan Sulu. Dilakukanlah pemungutan suara untuk menentukan apakah rakyat Sabah memilih bergabung dengan Malaysia atau kembali ke Kesultanan Sulu. Hasilnya, rakyat Sabah memilih bergabung dengan Malaysia. Aksi perebutan kekuasaan itu dipicu setelah Kesultanan Sulu merasa dirugikan dengan kesepakatan damai antara pemerintah Filipina dan Front Pembebasan Islam Moro (MILF) di kepulauan Mindanao. Kesepakatan yang dimediasi Malaysia pada oktober 2012 itu menyebut Mindanao -termasuk sulu- sebagai wilayah otonomi dan memberikan sebagian besar wilayah untuk dikelola secara independen. Kesultananan Sulu tidak dapat jatah lahan, akhirnya mereka berniat merebut wilayah Sabah yang dulu pernah jadi wilayah kekuasaannya.

Memaknai Konflik
Kita tidak dapat menghindar dari adanya konflik. Konflik itu terjadi sejak awal kehidupan manusia itu sendiri. Keberagaman kepentingan dalam kehidupan umat manusia dapat menimbulkan suatu konflik. Konflik menjadi sebuah fenomena yang dapat terjadi tanpa mengenal waktu dan tempat. Dengan kata lain, konflik dapat terjadi kapan saja, dimanapun dan melanda komunitas manapun. Konflik adalah fenomena yang tidak dapat dihindari karena merupakan proses sosial yang dissosiasif. Hugh Miall dalam Resolusi Damai dan Konflik Kontemporer (2000) mendefinisikan konflik merupakan aspek intrinsik dan tidak mungkin dihindari dalam proses perubahan sosial. Konflik adalah sebuah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai,

dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial yang muncul bertentangan dengan hambatan yang diwariskan. Jadi jelas apa yang dikatakan Hugh, bahwa konflik tidak dapat dihindari dalam proses perubahan sosial. Baik itu di lingkungan internal maupun eksternal, baik dalam satu negara maupun antarnegara. Sumber konflik terletak pada kondisi bangsa itu sendiri yang dilandasi oleh sifat egosentris, yaitu aspirasi untuk mempertahankan dan meningkatkan kekuatan serta kedudukan negara dalam hubungannya dengan negara lain. Dalam kasus Sabah, pemerintah Malaysia tidak mau jika Sabah jatuh kepada kesultanana Sulu. Di posisi lain, Kesultanan Sulu tetap getol memperjuangkan. Jika dua negara terlibat dalam satu konflik, kata Hugh maka hanya ada dua jalan yang dapat ditempuh. Pertama, kedua negara itu melakukan penyelesaian konflik lewat diplomasi. Atau bila jalan pertama ini gagal, maka jalan kedua adalah konfrontasimiliter (perang) dimana salah satu pihak dapat mencapai tujuannya setelah memenangkan perang tersebut. Dari kedua jalan tersebut, jalan diplomasi merupakan jalan yang harus ditempuh untuk menciptakan kedamaian. Karena bagaimanapun juga, apapun alasannya peperangan tidaklah dibenarkan. Merujuk kepada konflik di Sabah, sebaiknya pemerintah Filipina, Malaysia serta Kesultanan Sulu menyelesaikan konflik ini dengan jalan diplomasi. Karena langkah solutif untuk menyelesaikan konflik adalah musyawarah. Kekerasan atau bahkan aksi peperangan hanya akan menimbulkan masalah baru. Korban yang tewas itu meninggal dengan sia-sia.

ANALISIS
Melihat fakta-fakta hukum internasional, Malaysia tentu akan memenangkan kasus ini, dengan didasarkan dua alasan, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri dan administrasi lanjutan dari wilayah yang disengketakan. Hak menentukan nasib sendiri ini telah dilakukan melalui referendum di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-bangsa yang memutuskan Negara Bagian Sarawak dan Sabah yang bergabung dengan Malaysia pada 1963. Sisi lain, Kesultanan Sulu yang saat ini telah menjadi bagian dari Filipina (modern), memang tidaklah memiliki dasar hukum cukup kuat untuk mengklaim Sabah karena mereka tidak memiliki negara mereka sendiri. Tak bisa dilupakan, Pemerintah Indonesia dan Filipina-pun pernah mengalami konfrontasi dengan Malaysia atas bergabungnya Sabah dan Sarawak yang berujung keluarnya Indonesia dari PBB. Filipina sendiri salah satu negara yang sangat menginginkan kepemilikan Sabah. Pada 1976 melalui Presiden Ferdinand Marcos telah menyatakan 'Manila' telah merelakan kepemilikan Sabah dan Sarawak kepada Malaysia. Dan selanjutnya pun melakukan

amandemen pada konstitusi serta menghilangkan frase by historical and legal rights yang merupakan definisi dari wilayah teritori Filipina. Tak cukup di eksekutif. Lembaga legislatif Filipina pun mengeluarkan Senate Bill No 206 yang juga mengeluarkan wilayah Sabah dari teritorial Filipina, seperti yang pernah diklaim sebelumnya. Selanjutnya, bukti utama yang bisa membuat Malaysia semakin kuat dari sisi hukum internasional adalah adanya 'kekuasaan administrasi lanjutan pada wilayah sengketa' (continued administration of the disputed territory). Belum lepas dari ingatan kita semua bagaimana sengketa Sipadan Ligitan yang dimenangkan Malaysia. Dan menjadi catatan penting bahwa kedua pulau tersebut terletak di Negara Bagian Sabah. Sehingga, berdasarkan kajian hukum internasional, amat mudah bagi Malaysia untuk memenangkan kepemilikan dari Sabah yang telah diklaim Kesultanan Sulu. Namun hendaknya Pemerintah Malaysia juga bisa lebih mengedepankan negosisasi damai dengan pihak klan Kesultanan Sulu dan tentu saja melibatkan Pemerintah Filipina. Karena bukan tidak mungkin kasus Kesultanan Sulu ini akan kembali memanaskan hubungan antara Milisi Pembebasan Moro dan Pemerintah Fiipina, mengingat betapa dihormatinya Kesultanan Sulu di wilayah Filipina Selatan. Negosiasi damai tersebut misalnya dengan melakukan kesepakatan untuk meninjau ulang jumlah pembayaran yang sangat tidak layak untuk masa sekarang. Dan bukan dengan tiba-tiba melakukan penyerangan udara dan mengirimkan tank perang, yang tentu saja tidaklah proporsional serta merugikan keselamatan kedua belah pihak, termasuk masyarakat sipil.

You might also like