You are on page 1of 30

KONFLIK INDUSTRIAL (Suatu Kajian Kritis Terhadap Konflik Industrial) Sutinah

Abstrak Konflik industrial merupakan suatu realitas social yang tidak pernah dan akan pernah berhenti sepanjang dalam masyarakat ada dua kelompok yang memiliki kepentingan yang berbeda. Sebagimana Marx menjelaskan bahwa selama dalam masyarakat terdapat dua kelompok dalam relasi produksi ini, yaitu kelompok yang memiliki/pemilik dan kelompok yang tidak memiliki/bukan pemilik (struktur kelas), maka pemisahan antara kelompok sosial yang menghasilkan profit dan karenanya menguasai kapital-dan kelompok sosial yang hanya mampu menjual tenaga

kerjanya saja menentukan hubungan kelas, itulah yang menjadi basis terjadinya eksploitasi dan konflik sosial dalam masyarakat modern.

Kata Kunci: konflik industrial, eksploitasi, relasi produksi.

Latar Belakang Masalah

Reformasi di Indonesia yang terjadi sejak tahun 1998, diakui telah menghasilkan berbagai perubahan luar biasa, termasuk di dalamnya adalah gerakan

buruh setidaknya telah membawa angin segar bagi buruh. Salah satu perubahan yang cukup mencolok adalah munculnya banyak organisasi buruh, hingga pada pada akhir tahun 1998 telah terbentuk 14 organisasi buruh dari yang semula hanya satu organisasi pada masa orde baru. Bahkan sampai tahun 2002, telah terbentuk 71 serikat pekerja berbentuk federasi dan lebih 100 serikat pekerja tingkat nasional menurut jenis usaha non afiliasi dan sekitar 1.200 SP Tingkat Perusahaan (SPTP) yang independen atau berdiri sendiri yang tetap terdaftar dan masih berfungsi. Beberapa serikat pekerja (SP) baru justru lebih mengutamakan pembentukan organisasi di perusahaan-perusahaan yang telah ada FSPSI, SPSI atau SPTP,

sehingga satu perusahaan bisa memiliki lebih dari satu SP. Akibatnya justru semakin memperlemah solidaritas di kalangan buruh, karena masing-masing organisasi serikat buruh lebih berkonsentrasi untuk merebut anggota dari pada

memperjuangkan tuntutan dan aspirasi buruh. Oleh karena itu, pasca 1998 tema utama yang sering muncul dalam berbagai tulisan tentang gerakan buruh adalah persoalan perpecahan di kalangan kelas buruh tersebut. Lebih dari sepuluh tahun setelah era kebebasan berserikat dimulai, maka gerakan buruh di Indonesia dilukiskan sebagai gerakan yang tercerai berai dan tidak mampu menggunakan kebebasannya untuk membangun kekuatan politik yang diperhitungkan.1 Salah satu indicator terjadinya fragmentasi yang tampak adalah adanya kompetisi dan konflik di antara organisasi serikat buruh yang semakin banyak bermunculan. Banyak ahli, pengamat dan bahkan pengurus serikat buruh sendiri yang menilai munculnya organisasi serikat buruh bak jamur di musim hujan

1 B. Hari Juliawan, Menakar Ulang Fragmentasi Buruh, dalam Basis No. 9-18, Tahun ke 58,
September-Oktober 2009, 14. Yogyakarta: Kanisius.

ini mengarah pada terjadinya perpecahan dan berakibat akan lemahnya kekuatan politik kelas buruh. Dalam perjalanannya gerakan buruh pasca reformasi (selama lebih dari sepuluh tahun terakhir ini), dapat dilihat bahwa kehidupan buruh tidak banyak mengalami perubahan. Hal ini dapat dilihat misalnya, meskipun pada saat ini pemerintah sudah mengeluarkan beberapa regulasi mengenai perburuhan, akan tetapi buruh tetap saja menerima upah yang relative rendah dengan jam kerja panjang dan keselamatan kerja yang kurang memadai. Apalagi jika dilihat lebih lanjut, adanya lembur paksa, pengebirian peran serikat buruh/serikat pekerja (SB/SP) serta ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak yang akhiriakhir ini selalu membayangi kehidupan buruh. Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sepertinya tidak pernah berhenti bahkan penanganan dari masalah yang satu ke masalah yang lain pun tidak pernah membuahkan hasil yang maksimal. Belum tuntas kisruh dan ketidakberpihakan pemerintah terhadap buruh dalam masalah outsourcing dan karyawan kontrak, kini (Oktober 2008) pemerintah kembali membuat kebijakan yang dinilai banyak pihak terutama kaum buruh sangat tidak berpihak dan merugikan pekerja. Dengan

kebijakan yang baru ini, pemerintah terkesan lebih senang menyelamatkan para pengusaha daripada rakyat kecil. Sementara tujuan pembangunan adalah terwujudnya kesejahteraan social. Kebijakan baru itu adalah lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri yaitu Pemeliharaan momentum pertumbuhan ekonomi nasional dalam mengantisipasi perkembangan perekonomian global yang berisi tentang aturan baru mengenai upah minimum buruh. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa

pemerintah lebih berpihak pada para investor (pengusaha) daripada buruh yang notabene adalah rakyat kecil, sebab dalam SKB disebutkan bahwa penetapan upah tidak lagi melibatkan pemerintah, melainkan negosiasi langsung antara pengusaha dan buruh (bipartit). Jika SKB tersebut benar-benar dilaksanakan, maka penetapan upah dilimpahkan dan ditentukan oleh kehendak pasar (bipartit) dan berdasar atas kesepakatan bilateral antara pengusaha dan serikat pekerja, akibatnya akan membuat daya jual beli masyarakat justru semakin menurun. Pemerintah tidak lagi 'ikut campur' dalam negosiasi UMR (UMP/K) terutama dalam masa krisis global. Tujuan SKB ini adalah untuk mencegah dampak krisis finansial terhadap sektorsektor riil, terutama untuk mencegah terjadinya PHK. Padahal ada atau tidak

adanya SKB, pengusaha kapan pun dapat melakukan PHK terhadap buruhnya. Selama ini UMR (UMP/K) telah ditetapkan dalam Undang-Undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan upah minimum harus sesuai biaya kebutuhan hidup layak (KHL) yang ditetapkan oleh berbagai unsur termasuk di dalamnya adalah pemerintah, pengusaha dan buruh. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut, maka jaminan dan penegakan hak-hak buruh dilakukan oleh negara. Negara-lah yang seharusnya menjalankan peran pengawasan dan menjadi ujung tombak untuk melakukan upaya pencegahan terjadinya pelanggaran hak-hak buruh dan harus mengambil tindakan tegas menghadapi para pelanggar hak-hak buruh. Kondisi semacam itu menunjukkan rendahnya posisi tawar buruh/pekerja, apalagi jika krisis terus meningkat dan tak kunjung tertangani akibatnya adalah pekerja (buruh) semakin tidak berdaya dan semakin menyadari benar posisinya yang serba sulit. Salah satu penyebabnya adalah adanya asumsi bahwa di pasar

tenaga kerja terjadi penawaran tenaga kerja (supply) akibat melimpahnya jumlah pencari kerja, pengangguran dan meningkatnya jumlah penduduk migran yang mencoba mengadu nasib mencari kerja di kota besar yang melebihi permintaan (demand), dan titik-titik lemah inilah yang seringkali disadari benar oleh para investor untuk membuat para pekerja/buruh pasrah menerima nasib, menerima upah yang tak pernah bergerak ke taraf yang diklasifikasikan layak dan adil, sehingga pengusaha mempunyai kekuatan untuk menekan upah (pressure). Kondisi seperti ini, mengakibatkan kekuatan tawar pekerja/buruh ( bargainning-power) kecil. Dengan kondisi yang tertekan ini maka timbul kesadaran pekerja akan hakhaknya, sehingga muncul dorongan untuk melakukan unjuk rasa sebagai pengungkapan kekuatan akan keberadaannya. Bertambahnya pengetahuan tentang UMP/K, buruh semakin sadar dan beranggapan bahwa upah yang diterima belum memenuhi standar. Situasi ekonomi yang tidak menentu seperti saat ini, persaingan untuk menarik investor dengan beberapa negara lain menjadi sangat ketat, masing-masing negara berusaha keras untuk menawarkan iklim investasi yang kondusif dan kompetitif. Di Indonesia cara yang dianggap menarik bagi para investor untuk menanamkan semakin

modalnya adalah dengan menawarkan upah buruh yang relative rendah. Selain itu negara juga membatasi ruang gerak dan hak pekerja untuk berpartisipasi secara politik serta melakukan demonstrasi yang semestinya menjadi hak pekerja, sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam UndangUndang Ketenagakerjaan.

Sebaliknya, para investor atau pemilik modal pun dalam menjalankan usahanya tidak mau dirugikan dengan berbagai biaya yang telah mereka keluarkan. Tidak mengherankan lagi, jika pengusaha selalu memperhitungkan biaya yang dikeluarkan tersebut ke dalam penghitungan harga jual produk sehingga harga menjadi lebih tinggi, artinya beban pengusaha kemudian dialihkan pada konsumen. Cara lain yang tidak pernah ditinggalkan oleh pengusaha adalah memindahkan beban biaya produksi tersebut pada buruh atau pekerja. Bagi pemilik modal atau investor, upah buruh merupakan biaya produksi yang paling lentur, sehingga jauh lebih mudah menekan upah buruh atau dengan mempertahankan upah tetap rendah daripada harus berhadapan dengan kekuatan birokrasi dan pasar. Jika alternative kedua yang diambil, maka lagi-lagi buruh yang harus menanggung beban pengusaha. Sebagai akibatnya, kehidupan buruh tidak sejalan dengan laju produksi pabrik, dan kemudian melahirkan pertanyaan, mengapa prestasi produksi, kerja keras buruh dan sejumlah pengorbanan lain yang telah dikeluarkan tidak pernah membawa perbaikan kualitas kehidupan bagi buruh? Bahkan tuntutan perbaikan hidup buruh pun tidak pernah dipenuhi jika aksi buruh tidak dilakukan secara bersama dan besarbesaran (kolektif). Sebagai konsekuensinya konflik pun tidak pernah terelakkan. Sampai saat ini, pengorbanan tetap saja melekat di kalangan buruh yaitu dengan menerima upah yang rendah dan dieksploitasi dengan dalih sebagai keunggulan komparatif agar investasi masuk ke Indonesia. Hanya saja, pemerintah dan pengusaha tidak pernah menyadari bahwa pekerja (buruh) sebenarnya telah

berjasa besar untuk mencapai sukses ekonomi secara makro. 2

2 Wibawanto, Baskara dan Jirnadara, Siasat Buruh di bawah Represi, Yogyakarta, Lapera Pustaka
Utama, 1998: 135

Sebagaimana diketahui bahwa sejak beberapa tahun terakhir ini tidak sedikit perusahaan yang hengkang dari negeri ini. Banyak hal yang menyebabkannya, antara lain, masalah perburuhan yang dikenal dengan konflik industrial secara terus menerus tidak kunjung selesai. Ada dua fenomena yang muncul sekaligus dan

menarik untuk disimak.. Di satu sisi, adanya aksi buruh dalam bentuk demonstrasi atau mogok kerja dan di sisi lain adanya isu investor hengkang alias mencabut, merelokasi, membatalkan rencana investasinya. Kedua fenomena itu menjadi senjata bagi masing-masing pihak. Yang seringkali lepas dari pengamatan adalah dampak dari adanya aksi mogok pekerja/buruh yaitu rusaknya piranti lunak berupa hubungan atau relationship antara pekerja dengan pihak manajemen. Jika disadari, sesungguhnya rusaknya

relationship itu merupakan biaya yang sangat besar, lebih besar dibandingkan dengan merosotnya tingkat produksi atau rusaknya bangunan atau bahkan berbagai peralatan sebagai akibat aksi brutal/ekses dari pemogokan. Bahkan untuk membangun kembali hubungan itu ke tingkat semula tidak semurah dan semudah yang dibayangkan banyak orang. Sementara hubungan industrial antara pekerja dan investor saling terkait dan harus tetap dijaga agar tercipta iklim yang sejuk dan kondusif, sehingga dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Jika human relation telanjur retak, maka akan berdampak pada menurunnya rasa memiliki pekerja (buruh) terhadap perusahaan, sehingga dampak berikutnya adalah merosotnya produktivitas tenaga kerja dan dampak selanjutnya . Kalau hal ini dibiarkan berlarut --sementara tuntutan kenaikan upah tetap terus diupayakan pekerja-- maka perusahaan akan merugi. Bagi perusahaan, banyak cara yang

digunakan untuk menutup kerugian itu, satu di antaranya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Namun, tampaknya cara semacam itu tidak mengakhiri masalah bahkan cenderung tidak populer bagi manajemen. Mengapa? Pasalnya, upaya PHK justru akan memicu solidaritas pekerja menjadi lebih solid. Pada titik inilah perusahaan menghadapi buah simalakama.3 Dua senjata yaitu aksi buruh dalam bentuk demonstrasi atau mogok kerja dan isu investor hengkang alias mencabut, merelokasi, membatalkan rencana investasi tersebut mempunyai fungsi yang sama yaitu sama-sama untuk menekan pemerintah. Mengapa demikian? Sebab, pemerintah yang seharusnya berperan menjadi penengah, dalam kenyataan seringkali malah menghindar apabila kedua fenomena tersebut meledak. Ada kecenderungan pemerintah akan beraksi, apabila salah satu fenomena meledak. Ternyata apa yang terjadi tidak jauh beda dengan fenomena yang lain, yaitu terlambat untuk menanganinya. Sampai saat ini pun masalah-masalah yang dihadapi buruh dan pengusaha masih saja belum terselesaikan. Demonstrasi ribuan buruh beberapa industri/perusahaan di beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan dan kota-kota besar lainnya pada beberapa waktu terakhir ini merupakan suatu contoh bahwa perselisihan perburuhan sampai sekarang cenderung menimbulkan ketakutan di kalangan pengusaha daripada menemukan solusi yang menguntungkan dua belah pihak. Data tentang pemogokan di Indonesia selama tahun 2007 (Januari sampai dengan Desember) sebanyak 150 kasus pemogokokan dengan melibatkan 135.297 tenaga kerja dan menghilangkan jam kerja sebanyak 1.161.413 jam.4 Sementara

3 AD Uphadi, pengajar di FE dan MM Undip Semarang dalam www.kompas.com/read 4 Sumber : Depnakertrans, Ditjen. PHI (Data Januari s/d Desember 2007)

pada bulan Januari dan Februari tahun 2008 terdapat sebanyak 14 kasus pemogokan dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat sebanyak 17.875 orang dan sebanyak 126.525 jam kerja yang hilang. 5 Diakui bahwa mogok kerja merupakan salah satu bentuk konflik industrial yang paling mudah dilihat dan dampaknya langsung pada proses produksi dan pendapatan pengusaha, selain mogok kerja (yang sinonim dengan tindakan buruh yang menimbulkan konflik industrial) ada juga perselisihan hubungan industrial. Data yang diperoleh selama tahun 2007 terjadi

sebanyak 190 kasus perselisihan hubungan industrial. Beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya kasus pemogokan. Pertama, didasarkan pada asumsi bahwa di pasar tenaga kerja terjadi penawaran tenaga kerja (supply) melebihi permintaan (demand), sehingga kekuatan tawar

menawar pekerja (bargainning-power) tidak ada lagi. Kedua, aspek teknologi yang mendorong efisiensi dalam skala produksi yang secara eksplisit akan menekan jumlah penggunaaan tenaga kerja. Ketiga, faktor penyebab unjuk rasa adalah

belum terciptanya hubungan industrial yang baik yang seharusnya dibangun sistem komunikasi dua arah antara pengusaha dengan pekerja. Keempat, rasio upah yang terlalu tinggi. Kondisi upah di Indonesia saat ini bisa mencapai 1:50 sampai 1:250. Sebagai perbandingan di negara-negara maju rasio upah adalah 1:25 sampai 1:30. Kesenjangan upah yang terlalu jauh, misalnya antara pekerja biasa dengan level middle management serta antara tenaga kerja lokal dengan tenaga kerja asing yang

5 Sumber : Depnakertrans, Ditjen. PHI (Data s/d Februari 2008)


6

Cosmas BatuBara, Hubungan Industrial, Seri Manajemen SDM, No. 14, jakarta, PPM, 2008

rasionya bisa mencapai 1:10. Padahal pemicu timbulnya kecemburuan antar-pekerja yang mendorong timbulnya unjuk rasa. Kehidupan yang makin sulit dan penderitaan yang makin besar bagi kaum buruh (dan sebagian terbesar rakyat Indonesia lainnya) karena kenaikan harga kebutuhan pokok serta krisis pangan di dunia semakin mendorong atau mengharuskan gerakan buruh Indonesia untuk menggalakkan perjuangannya di berbagai bidang. Bangkitnya secara besar-besaran gerakan buruh Indonesia untuk membela kapentingan anggota-anggotanya, akan merupakan sumbangan besar (dan penting sekali) kepada perjuangan bersama di bidang politik. Sebab, melalui aksi-aksi gerakan buruh itu akan kelihatan dengan jelas bahwa banyak persoalan dan penderitaan yang dihadapi kaum buruh Indonesia adalah akibat dari jeleknya politik yang dijalankan oleh kekuasaan atau pemerintahan. Dengan kata lain, persoalan ekonomi-sosial kaum buruh Indonesia berhubungan erat sekali dengan politik. Itu sebabnya, pada dasarnya, perjuangan gerakan buruh Indonesia juga tidak bisa terlepas sama sekali dari perjuangan politik. Gerakan buruh, yang dilancarkan oleh berbagai golongan di Indonesia akhir-akhir ini makin marak dimana-mana, terutama di Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Sulawesi. Yang demikian ini adalah suatu hal yang menggembirakan, sesudah selama 32 tahun gerakan buruh di Indonesia telah dikebiri, dibius oleh rejim militer Orde Baru. Kebangkitan gerakan buruh yang makin meluas di berbagai daerah dewasa ini merupakan perkembangan yang penting sekali dalam usaha bangsa kita untuk membela kepentingan rakyat dalam perjuangan bersama meraih perbaikan hidup melalui penyelenggaraan negara yang lebih baik. Berkembangnya gerakan buruh di
www.kompas.com/read

10

Indonesia merupakan kebutuhan yang mutlak ketika rakyat sedang mengalami berbagai penderitaan yang disebabkan oleh banyaknya korupsi, dan juga oleh jeleknya berbagai politik pemerintah yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini, kesadaran dan sikap kritis warga masyarakat, terutama kaum buruh/pekerja terhadap hak-hak ekonomi, social, budaya dan bahkan hak-hak politiknya telah mengalami peningkatan secara signifikan. Akan tetapi meningkatnya kesadaran buruh/pekerja akan berbagai haknya tersebut, tidaklah berarti persoalan kesejahteraan dan perlindungan bagi pekerja menjadi terpenuhi dan tidak lagi menjadi masalah. Inilah persoalannya, buruh/pekerja semakin sadar akan hak-hak sipilnya, sementara kesejahteraan mereka justru semakin jauh dari kenyataan. Bagi negara, seringkali upaya untuk memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya para pekerja serta warga masyarakat secara keseluruhan tidak dapat dilakukan secara maksimal karena mereka dihadapkan pada dilema antara: (1) kepentingan negara menarik investasi yang notabene diyakini membutuhkan jaminan keamanan dan kondisi yang tanpa gejolak, dengan (2) tuntutan bahwa negara harus memenuhi hak-hak pekerja sesuai kesepakatan yang telah ditandatangani dan isi pasal-pasal dalam Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.6 Dalam Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, telah tercantum sejumlah hak pekerja dan hak warga masyarakat yang harus dipenuhi negara, yaitu: hak untuk bekerja (pasal 6), hak untuk memperoleh kondisi kerja yang

6 Sutinah dan Wirawan (Ed), Penyusunan Program Antisipasi dan Penanganan Konflik Industrial di
Propinsi Jawa Timur, Surabaya, Lutfansah Mediatama, 2007: 2

11

aman dan sehat, upah yang adil, bayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama dan liburan dengan tetap memperoleh gaji (pasal 7), hak untuk mendirikan dan bergabung dengan serikat kerja, termasuk hak untuk melakukan pemogokan (pasal 8), dan hak atas jaminan sosial (pasal 9). Pengalaman selama ini telah membuktikan, bahwa di mata negara, jika berbagai hak ekonomi, sosial dan budaya para pekerja ini dipenuhi, maka pada titik-titik tertentu dikhawatirkan implikasinya justru dapat mengganggu keseimbangan sistem yang dibutuhkan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi para pemilik modal atau investor.7 Secara garis besar, dua kecenderungan yang biasanya terjadi adalah: Pertama, demi kepentingan investasi dan pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan untuk menciptakan peluang kerja baru dan kesejahteraan rakyat, tidak sekali-dua kali negara pada akhirnya lebih memilih jalan yang sangat pragmatis, yakni dengan cara untuk sementara waktu meminta para pekerja dan masyarakat bersabar, tidak banyak mengumbar energi untuk melakukan aksi unjuk rasa, singkat kata bersikap dan berusaha untuk mendemonstrasikan kepada dunia internasional bahwa iklim sosial-politik di Indonesia memang layak bagi keamanan dan kelangsungan investasi. Bahkan, tidak jarang pula terjadi negara dalam kasus-kasus tertentu memilih jalan kekerasan dan mengandalkan pada langkah-langkah yang sifatnya represif untuk mengendalikan situasi agar tidak terjadi gejolak unjuk rasa buruh yang dapat merusak citra aman bagi dunia investasi. Di berbagai daerah, sudah lazim terjadi bahwa yang namanya aksi unjuk rasa dan demonstrasi buruh, sedini mungkin akan selalu dicoba diregulasi dan dibatasi ruang geraknya agar tidak sampai merusak image dunia investasi.

7 Ibid: 2-3

12

Meskipun pada tidak lagi dilakukan seintensif pada masa Orde Baru. Tetapi, ketika posisi tawar kaum buruh merosot drastis akibat krisis, jumlah pengangguran terus meluas dan tak kunjung tertangani, maka yang terjadi kemudian justru

ketidakberdayaan yang makin kronis, dan tanpa jalan kekerasan pun tampaknya kaum buruh sudah menyadari benar posisinya yang serba sulit. Dalam konteks relasi yang sangat tidak seimbang dan ketika tidak banyak pilihan alternatif yang dapat diakses pekerja dan warga masyarakat miskin pada umumnya untuk melakukan deversifikasi usaha, maka ruang yang tersisa pada akhirnya adalah menerima nasib: pasrah dengan keadaan dan bahkan tidak sedikit buruh yang berpikiran bahwa tidak perlu cari penyakit ikut-ikutan demo, karena tidak di-PHK pun dalam suasana dunia usaha yang lesu seperti sekarang ini sudah untung. Kedua, selain membatasi ruang gerak dan hak pekerja untuk berpartisipasi secara politik dan melakukan demonstrasi, upah yang layak, yang semestinya menjadi hak pekerja, dalam banyak kasus juga dibatasi oleh negara, dan bahkan tak jarang dikorbankan dalam rangka memperkuat daya tarik bagi investor. Persaingan yang makin ketat, di mana sejumlah negara lain berusaha keras menawarkan iklim investasi yang kompetitif, maka salah satu cara yang kemudian dianggap dapat menjadi daya tarik bagi investor agar bersedia menanamkan modalnya ke Indonesia adalah dengan cara menawarkan upah buruh yang murah. Cuma, yang kemudian ironis: ketika di satu sisi upah buruh yang murah ditawarkan sebagai daya tarik, ternyata di saat yang sama yang namanya biaya siluman dan biaya yang harus dikeluarkan investor dari meja satu ke meja yang lain dalam mata rantai perijinan birokrasi ternyata tetap dikeluhkan tinggi.

13

Pihak investor atau pemilik modal sendiri, dalam menjalankan usahanya sudah tentu tidak mau dirugikan atau merugi atas berbagai biaya yang telah mereka keluarkan. Sudah bukan rahasia lagi, ketika investor harus mengeluarkan dana untuk biaya perijinan dan memberi amplop pada setiap meja birokrasi, maka jika tidak dialihkan kepada konsumen dan dipertimbangkan ke dalam penghitungan harga jual produk mereka, biasanya yang paling mudah dilakukan adalah dengan cara mengalihkan beban itu pada upah buruh atau gaji pekerja. Bagi pemilik modal atau investor, seringkali jauh lebih mudah mereka menekan upah buruh tetap bertahan rendah daripada harus berhadapan dengan kekuatan birokrasi yang berkuasa. Posisi tawar pekerja dan masyarakat miskin yang rendah di tengah melimpahnya jumlah pencari kerja, pengangguran dan meningkatnya jumlah penduduk migran yang mencoba mengadu nasib mencari kerja di kota besar adalah titik-titik lemah yang seringkali disadari benar oleh para investor untuk membuat para pekerjanya pasrah menerima nasib menerima upah yang tak pernah beringsut ke taraf yang terkategori layak dan adil. Menurut catatan, pada tahun 2004, misalnya, jumlah angkatan kerja yang ada di Indonesia sebanyak 103,97 juta orang, dan 10,25 juta di antaranya masih dalam kondisi menganggur. Tingkat pengangguran pada tahun 2004 lalu diperkirakan sebesar 9,86 persen, dan di tahun 2007 ini bukan tidak mungkin malah bertambah karena perkembangan kondisi perekonomian yang fluktuatif. Kondisi semacam ini menunjukkan bahwa konflik industrial umumnya, dan masalah perburuhan khususnya benar-benar merupakan permasalahan bukan hanya bagi buruh tetapi juga masyarakat dan bangsa Indonesia.

14

Studi tentang konflik industrial telah banyak dilakukan, akan tetapi studi-studi semacam itu dilakukan pada masa Orde Baru yang merupakan rezim otoriter, di mana pada saat itu kebebasan berserikat dan kebebasan mengemukakan pendapat masih dikebiri, dibius oleh rejim militer Orde Baru. Studi yang dilakukan oleh

Susetiawan dalam Desertasinya yang berjudul Cultural Values, Organizations and Work Performan of Industrial Worker in Indonesia, a Study of Industrial Relation in Two Textile Enterprices in Yogyakarta.8 Yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia : Konflik Sosial: kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan dan Negara di Indonesia, yang antara lain menemukan bahwa pada hubungan industrial Pancasila (pada masa Orde Baru) ada dua elemen utama dalam memahami hubungan

industrial yaitu prinsip harmoni serta eliminasi terhadap konflik. Kedua nilai tersebut diinterpretasikan secara berbeda oleh majikan dan manajemen di satu sisi dan buruh/pekerjaan di sisi yang lain. Bagi majikan dan manajemen harmoni

mengandung kondisi ketenteraman industrial, di mana konflik tidak ada. Konflik dianggap sebagai deviasi patologis dari sebuah tipe ideal hubungan industrial yang damai, sehingga jika terjadi konflik harus dieliminasi dengan segala cara. Hal itu mendorong munculnya dan legitimasi terhadap control ketat manajemen dan intervensi Negara dalam hubungan industrial dengan tujuan untuk mengeliminasi terjadinya konflik dan membangun kembali harmoni. 9 Selain itu, hubungan industrial di Indonesia dicirikan oleh frekuensi tingginya pelanggaran aturan ketenagakerjaan oleh majikan dan manajemen, pemerintah cenderung melindungi kepentingan majikan daripada pekerja dalam realitas Hubungan Industrial Pancasila. Intervensi militer dalam perselisihan perburuhan di Indonesia pun semakin meluas. Manajemen

8 9

Susetiawan, Konflik Sosial: kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan dan Negara di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000, hal x Ibid, hal 324

15

dan buruh tidak menekankan sebuah konsensus yang berdasarkan norma social dan legal, tetapi berfungsi sebagai sebuah instrument untuk meligitimasi system control yang berorientasi pada profit ekonomi politik. Manajemen akan mengancam PHK jika menentang keputusan atasan. Sementara Yudi Rahman (2005) dalam penelitiannya tentang Respons Serikat Buruh Terhadap Neo-liberalisme menunjukkan bahwa respon buruh terhadap neo-liberalisme ternyata sangat sinis, hal ini terlihat dari gerakan yang menetang kebijakan neo-liberalisme. Gerakan yang dibangun oleh buruh dan para pendukung anti neo-liberalisme ini memang masih dalam taraf gerakan sosial reformatif hal tersebut bisa dilihat dari isu-isu tuntutan yang dibawakan serta cara-cara perjuangan seperti aksi-aksi unjuk rasa, mogok kerja maupun perjuangan secara legal formal melalui parlemen ataupun lembaga peradilan. Tuntutan dan cara perlawanan masih dalam batas melakukan tekanan kepada pemerintah dan pemilik modal atau melakukan perubahan terbatas pada seluruh masyarakat. Belum mengarah kepada gerakan sosial revolusioner yaitu melakukan transformasi secara mendasar yang meliputi segenap anggota masyarakat. Misalnya dengan menduduki dan menguasai kantor pemerintahan ataupun menguasai alat produksi milik para pengusaha. Walaupun beberapa memiliki konsep-konsep sistem sosial alternatif dan bercita-cita mewujudkannya serta memiliki karakter gerakan yang militan dan radikal seperti menduduki pabrik atau melakukan konfrontasi fisik dengan aparat keamanan. Kesadaran yang lebih maju tidak sekedar pada tuntutan normatif walaupun hal itu juga penting dan menjadi agenda gerakan buruh seperti tuntutan kenaikan

16

upah, dan turunkan harga, stop buruh kontrak serta jaminan kerja dan kondisi kerja yang layak tetapi wacana tentang penolakan terhadap globalisasi modal dalam bentuk neo-liberalisme merupakan agenda penting bagi gerakan buruh dalam menjawab permasalahan-permasalahan perburuhan yang dihadapi baik menyangkut kebijakan nasional maupun internasional. Identifikasi buruh sebagai kelompok yang paling tertindas tetapi mempunyai peranan yang signifikan dalam struktur ekonomi kapitalisme menjadi alasan utama bagi para aktivis gerakan sosial lainnya seperti aktifis mahasiswa, LSM, Akademisi dan lainnya untuk melakukan perjuangan demokrasi dan keadilan sosial bersama gerakan buruh. Studi yang dilakukan Monique Borrel, tentang Konflik Industri, Demonstrasi Masa, serta Perubahaan Ekonomi dan Politik di Perancis Pascaperang (2004), menunjukkan bahwa salah satu temuannya adalah bahwa gelombang pemogokan dan pemogokan umum secara signifikan dipengaruhi oleh kesejahteraan sosial, upah minimum, dan jam kerja. Sebagai tambahan pada gelombang pemogokan dan pemogokan umum, dua variabel lain memiliki dampak signifikan pada kebijakan sosial. Pertama, krisis ekonomi 1974 menekan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan upah minimum lebih cepat ditahun 1975. Selain itu hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa gelombang pemogokan dan pemogokan umum memiliki dampak signifikan pada pertumbuhan serikat maupun pada kekuatan serikat dalam perusahaan sejak tahun 1968 sampai akhir tahun 1970an. Sebagai tambahan, krisis ekonomi 1975 menambah jumlah perwakilan serikat sementara karena para pekerja merasa bahwa mereka berada dalam situasi rapuh dan membutuhkan dukungan tambahan dari serikat untuk melindungi kepentingan mereka.

17

Penelitian yang dilakukan oleh B. Hari Juliawan, 2008 menemukan bahwa banyaknya organisasi serikat buruh setelah reformasi tidak serta merta

menimbulkan konflik horizontal, tetapi justru dilihat makin luasnya jaringan antar organisasi buruh Yang terakhir adalah penelitian yang dilakukan Sutinah, dkk (2009) menemukan bahwa konflik industrial sudah merupakan gejala yang selalu terjadi pada setiap tahun, dengan isu yang sangat bervariasi sesuai dengan periode (waktu terjadinya demo), namun secara umum bahwa isu yang menjadi tuntutan buruh masih terkait dengan hak-hak primer buruh, seperti masalah upah, THR, buruh kontrak/buruh outsourcing, dan masalah PHK. Oleh karena itu setiap isu melahirkan suatu model pengelolaan konflik dan penyelesaiannya secara berbeda-beda.

Konflik dan Konflik Industrial Marx mengakui bahwa konflik bersumber dari perubahan yang terjadi dalam Model produksi (mode of production), komunis primitif, kuno, feodal, kapitalis dan komunis.10 Model produksi (mode of production) terdiri atas kekuatan produksi

(forces of production) dan hubungan/relasi produksi (relations of production). Kekuatan produksi meliputi sarana produksi (means of production) yaitu bahan mentah dan alat produksi (instrument of production) atau sarana/alat produksi yang mengolah. Kekuatan produksi menghasilkan komoditas yang dibutuhkan masyarakat pada waktu itu, dan kekuatan produksi ini akan menentukan bentuk hubungan/relasi produksi. Hanya ada dua kelompok dalam relasi produksi ini, yaitu kelompok yang

10

Jones, Pip, Pengantar Teori-Teori Sosial : Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-modern , Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2009; 78

18

memiliki/pemilik dan kelompok yang tidak memiliki/bukan pemilik. Inilah yang oleh Marx disebut struktur kelas. Pemisahan antara kelompok sosial yang menghasilkan profit dan karenanya menguasai kapital- dan kelompok sosial yang hanya mampu menjual tenaga kerja saja, menentukan hubungan kelas, yang menjadi basis eksploitasi dan konflik sosial dalam masyarakat modern. Di dalamnya menyangkut relasi sosial : pertama, hubungan-hubungan produksi yang bersifat primer seperti hubungan buruh dan majikan; kedua, hubungan-hubungan produktif yang bersifat sekunder seperti serikat buruh, asosiasi pemilik modal dan pola-pola dasar kehidupan keluarga yang berkaitan erat dengan sistem produksi kapitalistik; ketiga, hubungan-hubungan politik dan sosial yang bersumber dari hubungan produksi primer dan sekunder, lembaga-lembaga pendidikan, dan lembaga-lembaga sosial lainnya yang

mencerminkan hubungan buruh dan majikan. Itulah pandangan teori Marxian. Sementara konflik adalah terbangunnya hubungan-hubungan beberapa pihak dalam arena dan struktur sosial tertentu akibat adanya perbedaan kepentingan dan tujuan sebagai bentuk penerjemahan kebutuhan yang diperjuangkan secara individual dan maupun kolektif (Susan, 2009, Bartos and Wehr, 2003; Burton, 1990)11 Dahrendorf berpendapat bahwa, konflik hadir dalam masyarakat dan konteks wilayah sosial (social field) yang mana ada hubungan-hubungan sosial khusus seperti arena sosial pertentanggaan, arena sosial sekolah, arena sosial perkantoran, dan arena sosial industri. Dahrendorf menyebutnya sebagai integrated into a common frame of reference (Dahrendorf, 1959: 165). Berbagai dimensi konflik tersebut memiliki karakter sosiologis dan dinamika yang unik. Pada level praktis

11

Susan, Novri; Sosiologi Konflik & Isu-isu Konflik Kontempore, Jakarta, Kencana Prenada Media Group. 2009:

19

seperti pada usaha

pemecahan masalah,

setiap konteks dimensi konflik

membutuhkan model pengelolaan konflik yang spesifik juga. Dalam kaitannya dengan konflik dalam konteks wilayah sosial industri, Ralf Dahrendorf melalui buku fenomenalnya mengenai Conflict and Industrial Conflict (1959) memperlihatkan bagaimana konflik industrial terbangun melalui proses dari ketidakpuasan individual buruh, menuju pada ketidakpuasaan kolektif yang tidak teroganisir, dan sampai pada tingkat pengorganisasian ketidakpuasan kolektif buruh dalam rangka perjuangan untuk mencapai tujuan. Menurut Dahrendorf, otoritas tidak konstan karena terletak pada posisi, bukan dalam diri orangnya, sehingga seseorang yang berwenang dalam suatu lingkungan tertentu tidak harus memegang posisi otoritas di dalam lingkungan yang lain, begitu pula orang yang menempati posisi subordinat dalam suatu kelompok belum tentu subordinat pada kelompok lain. Pendapat ini berasal dari argumen Dahrendorf yang menyatakan bahwa masyarakat tersusun dari sejumlah unit yang disebut asosiasi yang dikoordinasikan secara imperative atau dikenal dengan ICAs (Imperatively Coordinated Associations). Asosiasi yang dikoordinasikan secara imperative (ICAs) terbangun dalam suatu proses sosiologis yang spesifik dan sistematis dalam satu wilayah sosial. Pada awalnya di dalam suatu wilayah sosial, seperti perusahaan, para buruh yang berada pada posisi diatur dan disubordinasi ( the ruled class) mulai mendapatkan kesadaran bahwa posisi dan hak mereka tertindas. Walaupun demikian mereka belum mempunyai dan membangun kepentingan melakukan perubahan posisi ketertindasan tersebut. Mereka hanya memiliki kepentingan (latent interest), yaitu berada di level individu, muncul di bawah sadar. Kepentingan semu tidak hanya

20

terbatas pada satu individu buruh, namun tersebar pada mereka yang merasa ditindas sebagai kelompok subordinasi. Sehingga menciptakan kelompok semu pula (quasi groups).12 Kepentingan semu dari kelompok semu pada gilirannya mulai mengalami aktualisasi secara kolektif menuju menjadi kepentingan yang

terwujudkan (manifest interest). Proses penyadaran dilakukan oleh beberapa orang yang terlebih dulu mengerti kepentingan yang harus diperjuangkan. Mereka menciptakan kelompok yang benar-benar sadar pada kepentingan bersama dan perlu diperjuangkan. Proses ini menumbuhkan bentuk kesadaran pada kepentingan yang nyata, yaitu lepas dari ketertindasan. Pada fase inilah terjadi proses pembentukan kelompok terorganisir, kelompok kepentingan (interest groups), (ICAs) yang siap melakukan gerakan perlawanan terhadap posisi dominan kelompok teorganisir lainnya. Seperti kelompok terorganisir buruh terhadap kelompok terorganisir pengusaha 13 Dalam konteks yang lebih besar, konflik industrial melibatkan pihak-pihak yang membawa angka kepentingan dan tujuan yang saling berseberangaan. Laporan penelitian berjudul Pemetaan dan Penyusunan Model Penyelesaian Konflik Industrial oleh Sutinah, dkk. (2009) memperlihatkan bahwa isu-isu yang dominan dalam konflik industrial adalah upah dan status buruh kontrak. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik industrial adalah buruh berhadapan dengan pengusaha dan pemerintah. Posisi buruh cukup lemah karena perusahaan mendapatkan dukungan dari pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang menguntungkan perusahaan seperti kasus SKB 4 Menteri. Konflik buruh dengan perusahaan yang didukung oleh

12 13

Ralf Dahrendorf, Konflik dan Konflik teraktulaisasinya Dalam Masyarakat Industri: Sebuah Anakisa-Kritik, Jakarta, CV Rajawali, 1986, 177 (Terjemahan) Susan, Novri; Sosiologi Konflik & Isu-isu Konflik Kontemporer Jakarta , Kencana Prenada Media Group. 2009: 42

21

pemerintah dari setiap periode kekuasaan di Indonesia terus direproduksi sehingga fenomena perlawanan dan demonstrasi buruh terus berulang dan terus

mengakibatkan kerugian-kerugian besar, baik buruh maupun perusahaan. Pada konteks ini, menjadi penting untuk memahami bahwa konflik industri secara

mekanistik melibatkan isu-isu yang terpolakan dan penempatan buruh, perusahaan, dan pemerintah sebagai pihak berkonflik. Industri sebagai proses ekonomi dalam bidang produksi masal baik manufaktur, pertanian, dan alam merupakan bagian integral dari sistem ekonomi nasional yang diatur oleh pemerintah. Sebagaimana pemikiran Dunlop (1958) tentang sistem hubungan industrial yang interdependen terdapat tiga pelaku utama, yaitu buruh, para manajer dan organisasi perwakilan mereka, bersama-sama dengan badan pemerintah tertentu, semuanya saling berinteraksi untuk menciptakan jaringan ketentuan yang mengatur hubungan mereka di tempat kerja, ketentuan tersebut merupakan keluaran dari sistem itu sendiri.14 Dari perumusan konsep Dunlop tentang hubungan industrial jelas terlihat ada 3 aktor atau pelaku, yaitu pemerintah, manajemen dan buruh. Graham Hancock (2003) dalam Dewa-Dewa Pencipta Kemiskinan,

menjelaskan bahwa pada konteks fungsi dasar negara, pemerintah melalui berbagai peraturannya memiliki kepentingan agar proses industri berjalan dengan lancar dan berhasil, sehingga pendapatan nasional bisa besar dan ditingkatkan. Namun

demikian dalam sistem ekonomi neo klasik (neo-liberal), negara diminta oleh pasar agar boleh menciptakan peraturan yang merugikan proses ekonomi natural seperti memberi subsidi pada petani, atau pun subsidi minyak. Termasuk di dalamnya adalah pengaturan sistem hubungan kerja buruh dan perusahaan. SKB 4 Menteri,

14 Cosmas BatuBara, Hubungan Industrial, Seri Manajemen SDM, No. 14, Jakarta, PPM, 2008: 11

22

sebagai kasus terkini, menjadi relevan dengan pendapat Hancock di atas, menjadi bukti empiris bahwa negara keluar dari intervensi pengaturan sistem hubungan kerja termasuk di dalamnya adalah isu penentuan besaran upah. Pada perspektif inilah posisi buruh mendapatkan bentuk kejelasannya, yaitu tidak mendapatkan dukungan politis negara karena kepentingan pasar lebih kuat.

Konflik Industrial dan Akar Permasalahan Akar masalah konflik (the root causes of conflict) bisa dikatakan sebagai sebab yang paling mendasar dari munculnya hubungan-hubungan konflik dan dinamika yang dikarakteri oleh berbagai bentuk strategi konflik. Perspektif struktural dalam sosiologi konflik memiliki pandangan bahwa akar masalah konflik selalu berkaitan dengan kekuasaan (power) dan angka kepentingan di dalamnya (Rubenstein, 1996). Kekuasaan secara sosiologis dimanifestasikan pada bentuk wewenang legal formal, dan modal-modal ekonomi dan budaya. Walaupun demikian dalam konteks konflik industrial, kekuasaan lebih didefiniskan oleh wewenang leghal formal negara dan modal ekonomi pasar. Kekuasaan legal formal negara yang mampu menciptakan regulasi bekerjasama dengan kekuasaan ekonomi pasar yang bisa menentukan keberhasilan ekonomi suatu negara. Pada pengertian struktural ini, bisa dilihat bagaimana dua kekuasaan tersebut melakukan perselingkuhan untuk kepentingan dan tujuan masing-masing pemegang kekuasaan. Dalam konteks hubungan industri, kekuasaan yang hanya menguntungkan diri sendiri dan mengabaikan fakta hubungan-hubungan kerja memiliki

kecenderungan menciptakan kekerasan (Sale, 2003). Johan Galtung membagi dua konsep kekerasan, yaitu kekerasan struktural dan langsung. Kekerasan langsung

23

seringkali didasarkan atas penggunaan kekuasaan sumber (resource power), dan kekerasan struktural yang didasarkan pada penggunaan kekuasan struktural. Kekuasaan sumber dibedakan menjadi kekuasaan punitif yang bersifat

menghancurkan, kemudian kekuasaan ideologis dan kekuasaan renumeratif. Baik kekuasaan sumber dan kekuasan struktural saling berkaitan, saling memperkuat. Galtung mengungkapkan kekerasan struktural dan personal dapat menghalangi untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kebutuhan-kebutuhan dasar ini adalah kelestarian atau keberlangsungan hidup, kesejahteraan, kebebasan, dan identitas. Jika empat kebutuhan dasar ini mengalami tekanan atau kekerasan dari kekuasaan personal dan struktural, maka konflik kekerasan akan muncul ke permukaan sosial15 Pada saat negara dan pasar menggunakan kekuasaan mereka untuk menciptakan kekerasan dalam bentuk pemberian upah yang kecil dan tiadanya jaminan keselamatan kerja pada para buruh, yang terjadi adalah proses respon dalam bentuk kekerasan juga. Akibatnya pola hubungan konflik adalah conflict spiral, suatu kondisi yang membuat para pihak berkonflik terus melakukan aksi balasan.
16

Pada kasus-kasus aksi buruh yang muncul dalam bentuk anarkisme, perusakan kantor perusahaan, dan berbagai bentuk aksi kekerasan pada pengertian ini tidak lebih dari respon terhadap praktek kekerasan pemerintah dan perusahaan terhadap buruh.

15 16

I Marsana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung , Penerbit Kanisius, Yogyakarta, Penerbit K:anisius, 1992: 111-117 Camara, Dom Helder, Spiral Kekerasan, Resist Book, Jogjakarta, 2005

24

Daftar pustaka

25

Agger, Ben, 2003. Teori Kritis Sosial, Kritik, Penerapan dani Implikasinya . Yogyakarta: Kreasi Wacana, Al Hambra, Makinnuddin, 2002. Polarisasi(Gerakan) Buruh: Momentum Negara untuk

Menekan Buruh dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol. 7, No. 1 Februari 2002. Bandung: Akatiga, Amiruddin, 1999. Reformasi: Anti Gerakan Buruh, Diponegoro 74, dalam Jurnal Hukum dan Demokrasi, Jakarta: YLBHI, Arief, Sritua, 1990. Dari Prestasi Pembangunan Sampai Ekonomi Politik. Jakarta: UIP, Borrel, Monique J., 2004. Industrial Conflict, Mass Demonstrations, and Economic and Political Change in Postwar France, An Econometric Model , California International and Area Studies Digital University of Dalam

Collection.

http://repositories.cdlib.org/uciaspubs/articles/1, Basrowi & Sukidin, 2003. Teori-Teori Perlawanan dan Kekerasan Kolektif. Surabaya: Insan Cendekia, BatuBara, Cosmas, PPM, Camara, Dom Helder, 2005. Spiral Kekerasan. Jogjakarta: Resist Book. Dahrendorf, Ralf, 1986. Konflik dan Konflik Dalam Masyarakat Industri: Sebuah Analisis Kritik. Jakarta: CV Rajawali Press, Endres, Ben, 1996, Habermas and Critical Thinking, http: //www.ed.uiuc.edu/EPSYearbook/96_docs/endres. 2008. Hubungan Industrial, Seri Manajemen SDM, No. 14, Jakarta:

26

Giddens, Anthony dan Jonathan Turner, 2008. Social Theory Today. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hendarmin, Ari, 2002. Kesejahteraan Buruh dan Kelangsungan Usaha: Upah Minimum Sisi Pandang Pengusaha, dalam Jurnal Analisis Sosial Vol. 7,No. 1 Februari 2002. Bandung: Akatiga Hagedorn, Robert, 1983. An Introduction Into Sociological Orientations. New York: John Wiley & Sons, Heyzer, Noeleen, 1990. Workong Women in South-East Asia, Milton Keynes. Philadelphia: Open University Press. Schneider, Eugene V, 1986. Industrial Sociology (Second Edition). New Delhi: Mcgraw-Hill Publishing Company Ltd. Simanjuntak, Payaman, 2003. Manajemen Hubungan Industrial, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Susan, Novri, 2009. Sosiologi Konflik & Isu-isu Konflik Kontemporer . Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Susetiawan, 2005. Konflik Sosial: Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan dan Negara Indonesia. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Sutinah dan Wirawan (Ed), 2007. Penyusunan Program Antisipasi dan Penanganan Konflik Industrial di Propinsi Jawa Timur. Surabaya: Lutfansah Mediatama. Tharin, Juni, 1995. Posisi Buruh dalam Konteks Kebijakan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: INFID. Undang-Undang Ketenagakerjaan, No 13 Tahun 2003. Bandung: Fokusmedia. 2003

27

Wibawanto, Agung, Imam Baskara, Jirnadara, 1998. Siasat Buruh di bawah Represi. Jogjakarta: Lapera Pustaka Utama. Widianto, Bambang, 2003. Tekanan Berat Pada Pasar Tenaga Kerja Formal Indonesia.

Makalah, Kongres ISEI XV, Batu-Malang, 13 Juli 2003 . _________, (1999) Situasi Krisis: Titik Balik Kekuatan Buruh?. Jurnal Analisis Sosial, Vol. 4, No. 2 Mei 1999, Bandung: Yayasan Akatiga. _________, 2000. Gerbang, Jurnal Pemikiran Agama dan Demokrasi, Vol. 3, No. 08,

Agustus-Oktober 2000. Surabaya: Kerjasama Lembag Studi Agama dan Demokrasi dan The Asia Foundation. _________, 2002. Upah Minimum dan Kesejahteraan Buruh: Peluang dan Tantangan bagi Serikat Buruh. Jurnal Analisis Sosial, Vol. 7, No. 1 Februari 2002. Bandung: Yayasan Akatiga. Windhu I Marsana, 1992. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Dari Internet: www.kompas.com/read www.antara.co.id/arc/2008/10/29/sk www.dw-world.de/dw/article/0,2144,3743869,00.html - 27k www.kontan.co.id/index.php/Nasional/news/3057/SKB_4_Menteri_

28

www.sinarharapan.co.id/berita/08 www.vhrmedia.com/vhr-news/berita,Tolak-SKB-4-Menteri-Demo-Buruhwww.kilasberita.com/kb-finance/ekonomi-a-moneter/9155-skb-4-menteriwww.tempo.co.id/hg/ekbis/2008/10/26/brk,20081026-142211,id.html - 21k www.inilah.com/berita/ekonomi/2008/10/27/57668/skb-4-menteri-gencet-buruh/ 18k -

29

30

You might also like