You are on page 1of 21

REFERAT DROWNING AND NEAR DROWNING

PEMBIMBING : dr. Triseno Dirasutisna, Sp. An

DISUSUN OLEH : ARISTA STHAVIRA 030.08.042

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESI RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT MINTOHARDJO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI PERIODE 21 JANUARI 23 FEBRUARI 2013

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................................................i Daftar Isi..........................................................................................................................................1 BAB I Pendahuluan.........................................................................................................................2 BAB II Pembahasan........................................................................................................................3 2.1 Definisi.........................................................................................................................3 2.2 Penyebab......................................................................................................................3 2.3 Manifestasi Klinis........................................................................................................3 2.4 Faktor Resiko...............................................................................................................4 2.5 Klasifikasi....................................................................................................................5 2.6 Patofisiologi.................................................................................................................6 2.7 Tatalaksana..................................................................................................................11 2.8 Komplikasi..................................................................................................................17 BAB III Kesimpulan.......................................................................................................................19 DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................20

BAB I PENDAHULUAN

Insidensi kematian akibat tenggelam bervariasi, kematian akibat tenggelam hanya 1 dari 20 kematian yang terjadi di air. Sebagian besar kasus tenggelam terjadi di air, 90 % di air tawar (sungai, danau, dan kolam renang) dan 10% di air laut. Kasus tenggelam akibat cairan yang bukan di air sering terjadi dalam kecelakaan industri. WHO mencatat 0,7% penyebab kematian di dunia atau lebih dari 500 ribu kematian setiap tahunnya diakibatkan oleh tenggelam, sedangkan CDC melaporkan 5,700 orang dirawat karena near-drowning antara tahun 2005-2009 di USA, 50% memerlukan perawatan khusus dan menjadi penyebab kematian kedua pada anak usia 1-4 tahun. Korban terbanyak biasanya anak-anak, namun tenggelam dapat terjadi pada semua umur. Di dunia merupakan penyebab kematian utama pada anak usia 5-14 tahun. Jumlah near drowning diperkirakan 20 sampai 500 kali jumlah tenggelam (drowning). Negara kepulauan seperti Jepang dan Indonesia memiliki risiko lebih tinggi kasus tenggelam. Near drowning seringkali menyebabkan pneumonia aspirasi dengan komplikasi sepsis dan abses otak.

BAB II PEMBAHASAN 2.1 DEFINISI Ada perbedaan definisi antara tenggelam dan hampir tenggelam. Tenggelam (drowning) adalah kematian yang disebabkan oleh aspirasi cairan ke dalam pernapasan akibat terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh ke dalam cairan, sedangkan hampir tenggelam (near drowning) adalah adanya gangguan fisiologi tubuh akibat tenggelam, tetapi tidak terjadi kematian. 2.2 PENYEBAB
Near drowning terjadi ketika korban tidak dapat bernafas dalam air dalam periode waktu tertentu. Selama tenggelam, intake oksigen akan mengalami penurunan dan sistem utama tubuh dapat berhenti akibat kekurangan oksigen. Dalam beberapa kasus terutama yang terjadi pada anak, hal ini dapat terjadi dalam hitungan detik sedangkan pada dewasa terjadi lebih lama. Sangat penting untuk diingat bahwa selalu ada kemungkinan untuk menyelamatkan seseorang yang tenggelam walaupun dalam waktu cukup lama. Tenggelam bisa disebabkan oleh :

a. Terganggunya kemampuan fisik akibat pengaruh obat-obatan b. Ketidakmampuan akibat hipotermia, syok, cedera, atau kelelahan c. Ketidakmampuan akibat penyakit akut ketika berenang
d. Perahu atau kapal tenggelam e. Terperangkap atau terjerat di dalam air f. Bunuh diri

2.3 MANIFESTASI KLINIS

Gambaran klinik korban tenggelam sangat bervariasi berhubungan dengan lamanya tenggelam. Conn dan Barker mengembangkan suatu klasifikasi (dikutip oleh Aoky By) yang dianggap bermanfaat untuk pedoman penilaian dan pengobatan pasien tenggelam. Klasifikasi ini berdasarkan status neurologis dan sangat berguna bila digunakan dalam 10 menit pertama.
KATEGORI A (Awake) Sadar setelah pertolongan kembali spontan Hipotermi ringan Perubahan radiologis ringan pada dada Laboratorium AGD : asidosis hipoksemi metabolik, (GCS 15) KATEGORI B (Blunted) Stupor Respons rangsangan Distress sianosis Perubahan radiologis pada dada Laboratorium AGD : asidosis hipoksemia, hiperkarbia metabolik, pernapasan, terhadap KATEGORI C (Comatase) Koma Respons nyeri Apnoe Hipotermi Laboratorium asidosis hiperkarbia, hipoksemia, gangguan fungsi ginjal akut, gangguan elektrolit : terhadap

sianosis, apnoe tetapi dilakukan dapat bernapas

metabolik,

Tabel 1. Gambaran klinik menurut Conn dan Barker

2.4 FAKTOR RESIKO

Beberapa faktor yang meningkatkan resiko terjadinya tenggelam, yaitu : a. Pria lebih beresiko untuk mengalami kejadian tenggelam terutama dengan usia 18-24 tahun b. Kurang pengawasan terhadap anak terutama yang berusia 5 tahun ke bawah c. Tidak memakai pelampung ketika menjadi penumpang angkutan air d. Kondisi air melebihi kemampuan perenang, arus kuat dan air yang sangat dalam

e. Ditenggelamkan

dengan

paksa

oleh

orang

lain

dengan

tujuan

membunuh,kekerasan atau permainan di luar batas 2.5 KLASIFIKASI Beberapa klasifikasi tenggelam adalah sebagai berikut : a. Berdasarkan Kondisi Paru-Paru Korban 1) Typical Drawning, keadaan dimana cairan masuk ke dalam saluran pernapasan korban saat korban tenggelam. 2) Atypical Drawning a) Dry Drowning, keadaan dimana hanya sedikit bahkan tidak ada cairan yang masuk ke dalam saluran pernapasan. b) Immersion Syndrom, terjadi terutama pada anak-anak yang tiba-tiba terjun ke dalam air dingin ( suhu < 20C ) yang menyebabkan terpicunya reflex vagal yang menyebabkan apneu, bradikardia, dan vasokonstriksi dari pembuluh darah kapiler dan menyebabkan terhentinya aliran darah koroner dan sirkulasi serebaral. c) Submersion of the Unconscious, sering terjadi pada korban yang menderita epilepsy atau penyakit jantung khususnya coronary atheroma, hipertensi atau peminum yang mengalami trauma kepala saat masuk ke air. d) Delayed Dead, keadaan dimana seorang korban masih hidup setelah lebih dari 24 jam setelah diselamatkan dari suatu episode tenggelam. b. Berdasarkan Kondisi Kejadian 1) Tenggelam (Drowning) Suatu keadaan dimana penderita akan meneguk air dalam jumlah yang banyak sehingga air masuk ke dalam saluran pernapasan dan saluran nafas atas tepatnya bagian apiglotis akan mengalami spasme yang mengakibatkan saluran nafas menjadi tertutup serta hanya dapat dilalui oleh udara yang sangat sedikit. 2) Hampir Tenggelam (Near Drowning) Suatu keadaan dimana penderita masih bernafas dan membatukkan air keluar. c. Berdasarkan jenis air

1) Air tawar, seperti air sungai, danau, kolam renang 2) Air laut

2.6 PATOFISIOLOGI

Anak yang terbenam dengan spontan akan berusaha menyelamatkan diri secara panik disertai berhentinya pernapasan (breath holding). 10 sampai 12% korban tenggelam dapat langsung meninggal, dikenal sebagai dry drowing karena tidak dijumpai aspirasi air di dalam paru. Mereka meninggal akibat asfiksia waktu tenggelam yang disebabkan spasme laring. Spasme laring tersebut akan diikuti asfiksia and penurunan kesadaran serta secara pasif air masuk ke jalan napas dan paru. Akibatnya, terjadilah henti jantung dan kematian yang disertai aspirasi cairan dan dikenal sebagai wet drowning. Kasus seperti ini lebih banyak terjadi, yakni 80 sampai 90%. Perubahan patofisiologi yang diakibatkan oleh tenggelam, tergantung pada jumlah dan sifat cairan yang terhisap serta lamanya hipoksemia terjadi. Setiap jaringan pada tubuh mempunyai respons yang berbeda-beda terhadap hipoksemia dan kepekaan jaringan otak merupakan organ yang dominan mengalami disfungsi sistem organ pada tubuh terhadap hipoksia. Terhadap air laut atau air tawar akan mengurangi perkembangan paru, karena air laut bersifat hipertonik sehingga cairan akan bergeser dari plasma ke alveoli. Tetapi, alveoli yang dipenuhi cairan masih bisa menjalankan fungsi perfusinya sehingga menyebabkan shunt intra pulmonary yang luas. Sedangkan air tawar bersifat hipotonik sehingga dengan cepat diserap ke dalam sirkulasi dan segera didistribusikan. Air tawar juga bisa mengubah tekanan permukaan surfaktan paru sehingga ventilasi alveoli menjadi buruk sementara perfusi tetap berjalan. Ini menyebabkan shunt intrapulmonary dan meningkatkan hipoksia. Di samping itu, aspirasi air tawar atau air laut juga menyebabkan oedem paru yang berpengaruh terhadap atelektasis, bronchospasme, dan infeksi paru.. Perubahan kardiovaskuler yang terjadi pada korban hampir tenggelam terutama akibat dari perubahan tekanan parsial (PaO2) dan keseimbangan asam basa. Sedangkan
7

faktor lain yang juga berpengaruh adalah perubahan volume darah dan konsentrasi elektrolit serum. Korban hampir tenggelam kadang-kadang telah mengalami bradikardi dan vasokonstriksi perifer yang intensif sebelumnya. Oleh sebab itu, sulit memastikan pada waktu kejadian apakah aktivitas mekanik jantung terjadi. Bradikardi bisa timbul akibat refleks diving fisiologis pada air dingin, sedangkan vasokonstriksi perifer bisa juga terjadi akibat hipotermi atau peninggian kadar katekolamin. Aspirasi air yang masuk ke paru dapat menyebabkan vagotonia, vasokonstriksi paru dan hipertensi. Air segar dapat menembus membran alveolus dengan menghambat kerja surfaktan. Hipoksia dan iskemia selama tenggelam akan terus berlanjut sampai ventilasi, oksigenasi, dan perfusi diperbaiki. Sedangkan iskemia yang berlangsung lama bisa menimbulkan trauma sekunder meskipun telah dilakukan resusitasi jantung paru yang adekuat. Dedem cerebri yang difus sering terjadi akibat trauma sitotoksik yang disebabkan oleh anoksia dan iskemia susunan syaraf pusat yang menyeluruh. Kesadaran yang hilang bervariasi waktunya, biasanya setelah 2 sampai 3 menit terjadi apnoe dan hipoksia. Kerusakan otak yang irreversible mulai terjadi setelah 4 sampai 10 menit anoksia. Ini memberikan gambaran bahwa hipoksia mulai terjadi dalam beberapa detik setelah orang tenggelam, diikuti oleh berhentinya perfusi dalam 2 sampai 6 menit. Otak dalam suhu normal tidak akan kembali berfungsi setelah 8 sampai 10 menit anoksia walaupun telah dilakukan tindakan resusitasi. Anoksia dan iskemia serebri yang berat akan mengurangi aktivitas metabolik akibat peninggian tekanan intrakranial serta perfusi serebri yang memburuk. Ini dipercayai menjadi trauma susunan saraf pusat sekunder. Hampir sebagian besar korban tenggelam memiliki konsentrasi elektrolit serum normal atau mendekati normal ketika masuk rumah sakit. Hiperkalemia bisa terjadi karena kerusakan jaringan akibat hipoksemia yang menyeluruh. Pasien hampir tenggelam setelah dilakukan resusitasi biasanya fungsi ginjal seperti albuminuria, Hb uria, oliguria, dan anuria kemudian bisa menjadi nekrosis tubular akut. AIR TAWAR Osmolaritas < darah Hipotonik AIR LAUT Osmolaritas > darah Hipertonik

Hipervolemik Hemodilusi

Hipovolemik Hemokonsentrasi Tabel 2. Perbedaan antara sifat air tawar dan air laut

Tenggelam dalam air tawar

inhalasi air tawar alveolus paru-paru absorbsi dalam jumlah besar hipervolemi tekanan sistole menurun fibrilasi ventrikel anoksia cerebri MENINGGAL hemodilusi hebat (72%) hemolisis perubahan biokimiawi K+ meningkat, Na+ dan Cl- menurun anoksia myocardium

Air tawar akan dengan cepat diserap dalam jumlah besar sehingga terjadi hemodilusi yang hebat sampai 72 persen yang berakibat terjadinya hemolysis, oleh karena terjadi perubahan biokimiawi yang serius, dimana Kalium dalam plasma meningkat dan Natrium berkurang, juga terjadi anoksia yang hebat pada myocardium. Hemodilusi menyebabkan cairan dalam pembuluh darah atau sirkulasi menjadi

berlebihan, terjadi penurunan tekanan systole, dan dalam waktu beberapa menit terjadi fibrilasi ventrike. Jantung untuk beberapa saat masih berdenyut dengan lemah, terjadi anoksia cerebri yang hebat, hal ini yang menerangkan mengapa kematian terjadi cepat.

Tenggelam dalam Air Asin inhalasi air asin alveolus paru-paru hemokonsentrasi hipovolemi cairan sirkulasi berdifusi keluar hematokrit meningkat viskositas darah meningkat payah jantung MENINGGAL K+ menurun, Na+ dan Cl- meningkat K+ meningkat, Na+ dan Cl- menurun

Terjadi hemokonsentrasi, cairan dari sirkulasi dapat tertarik keluar sampai sekitar 42 persen, dan masuk ke dalam jaringan paru-paru sehingga terjadi edema pulmonum yang hebat dalam waktu relatif singkat. Pertukaran elekrolit dari air asin ke dalam darah mengakibatkan meningkatnya hematokrit dan peningkatan kadar Natrium plasma.

10

Fibrilasi ventrikel tidak terjadi, namun terjadi anoksia pada myocardium dan disertai peningkatan viskositas darah, akan menyebabkan terjadinya payah jantung. Tidak terjadi hemolisis, melainkan hemokonsentrasi, tekanan sistolik akan menetap dalam beberapa menit. Kematian Mendadak dalam Air Dingin Mati mendadak segera setelah seseorang masuk ke dalam air yang dingin, sering disinggung, walaupun tanpa penyebab langsung, oleh karena spasme laring atau vagal refleks yang menyebabkan cardiac arrest. Keadaan tersebut, yaitu yang mendadak tadi, hanya dapat dijelaskan oleh karena terjadinya fibrilasi ventrikel pada koeban, dan dapat dibuktikan bahwa pada orang yang masuk ke air yang dingin atau tersiram air yang dingin dapat menimbulkan ventricular ectopic beat. Perubahan yang terjadi pada organ-organ saat tenggelam : a. Perubahan Pada Paru-Paru Aspirasi paru terjadi pada sekitar 90% korban tenggelam dan 80 90% pada korban hamper tenggelam. Jumlah dan komposisi aspirat dapat mempengaruhi perjalanan klinis penderita, isi lambung, organism pathogen, bahan kimia toksisk dan bahan asing lain dapat memberi cedera pada paru dan atau menimbulkan obstruksi jalan nafas. b. Perubahan Pada Kardiovaskuler Pada korban hampir tenggelam kadang-kadang menunjukkan bradikardi berat. Bradikardi dapat timbul karena refleks fisiologis saat berenang di air dingin atau karena hipoksia. Perubahan pada fungsi kardiovaskuler yang terjadi pada hampir tenggelam sebagian besar akibat perubahan tekanan parsial oksigen arterial (PaO2) dan gangguan keseimbangan asam-basa. c. Perubahan Pada Susunan Saraf Pusat Iskemia terjadi akibat tenggelam dapat mempengaruhi semua organ tetapi penyebab kesakitan dan kematian terutama terjadi karena iskemi otak. Iskemi otak dapat berlanjut akibat hipotensi, hipoksia, reperfusi dan peningkatan tekanan intra kranial akibat edema serebral.Kesadaran korban yang tenggelam dapat

11

mengalami penurunan. Biasanya penurunan kesadaran terjadi 2 3 menit setelah apnoe dan hipoksia. Kerusakan otak irreversibel mulai terjadi 4 10 menit setelah anoksia dan fungsi normotermik otak tidak akan kembali setelah 8 10 menit anoksia. Penderita yang tetap koma selama selang waktu tertentu tapi kemudian bangun dalam d. Perubahan Pada Ginjal Fungsi ginjal penderita tenggelam yang telah mendapat resusitasi biasanya tidak menunjukkan kelainan, tetapi dapat terjadi albuminuria, hemoglobonuria, oliguria dan anuria. Kerusakan ginjal progresif akan mengakibatkan tubular nekrosis akut akibat terjadinya hipoksia berat, asidosis laktat dan perubahan aliran darah ke ginjal. e. Perubahan Cairan dan Elektrolit Pada korban tenggelam tidak mengaspirasi sebagian besar cairan tetapi selalu menelan banyak cairan. Air yang tertelan, aspirasi paru, cairan intravena yang diberikan selama resusitasi dapat menimbulkan perubahan keadaan cairan dan elektrolit. Aspirasi air laut dapat menimbulkan perubahan elektrolit dan perubahancairan karena tingginya kadar Na dan Osmolaritasnya. Hipernatremia dan hipovolemia dapat terjadi setelah aspirasi air laut yang banyak. Sedangkan aspirasi air tawar yang banyak dapat mengakibatkan hipervolemia dan hipernatremia. Hiperkalemia dapat terjadi karena kerusakan jaringan akibat hipoksia yang luas

2.7 TATALAKSANA Banyak usaha yang dilakukan dalam mengembangkan protokol yang dapat memperbaharui hasil penatalaksanaan pasien-pasien tenggelam. Namun, belum ada pengobatan klinis yang lebih unggul dari penanganan supportif yang konvensional. Belum ada pengobatan klinis yang unggul pada keadaan hipoksia selain tindakan pencegahan dan resusitasi segera. Resusitasi awal di rumah sakit ataupun di luar rumah sakit korban tenggelam harus difokuskan kepada menjamin oksigenasi, ventilasi, sirkulasi yang adekuat, tekanan
12

gasa darah arteri, keadaan asam basa, serta saluran napas harus bebas dari bahan muntah dan benda asing yang dapat mengakibatkan abstruksi dan aspirasi. Penekanan perut tidak boleh dilakukan secara rutin untuk mengeluarkan cairan di paru apabila tidak terbukti efektif karena bisa meningkatkan risiko regurgitasi, aspirasi, dan kehilangan kontrol akan memperberat trauma spinal. Kecepatan dan efektivitas dalam melaksanakan resusitasi ini sangat menentukan kelangsungan hidup neuron-neuron korteks, khususnya pada pasienpasien yang sangat kritis. Transfer oksigen yang tidak efektif akibat fungsi paru yang memburuk bisa mengakibatkan hipoksia yang lebih berat dan berlanjut karena kerusakan organ yang multipel. Otak adalah organ yang dituju dalam pengobatan. Pencegahan trauma otak pada korban dilakukan dengan mengangkat korban dari air secepatnya dan resusitasi jantung paru dasar harus dilakukan. Ini perlu segera dilakukan karena hipoksia dengan cepat berkembang dalam beberapa detik ke keadaan apnoe. Oleh karena itu, apabila tidak mungkin mengangkat korban dari air, secepatnya ventilasi mulut ke mulut harus dilakukan segera setelah penolong menarik korban. Kemudian harus segera diberikan oksigen inspirsi yang tinggi. Dukungan oksigen harus diberikan tanpa memandang keadaan pasien. Apabila korban dicurigai mengalami trauma leher maka harus dibuat posisi netral dan melindunginya dengan gips cervical (cervical colar). Prinsip pertolongan di air : a. Raih ( dengan atau tanpa alat ). b. Lempar ( alat apung ). c. Dayung ( atau menggunakan perahu mendekati penderita ). d. Renang ( upaya terakhir harus terlatih dan menggunakan alat apung ). Penanganan Korban : a. Pindahkan penderita secepat mungkin dari air dengan cara teraman. b. Bila ada kecurigaan cedera spinal satu penolong mempertahankan posisi kepala, leher dan tulang punggung dalam satu garis lurus. Pertimbangkan untuk menggunakan papan spinal dalam air, atau bila tidak memungkinkan pasanglah sebelum menaikan penderita ke darat.

13

c. Buka jalan nafas penderita, periksa nafas. Bila tidak ada maka upayakan untuk memberikan nafas awal secepat mungkin dan berikan bantuan nafas sepanjang perjalanan. d. Upayakan wajah penderita menghadap ke atas. e. Sampai di darat atau perahu lakukan penilaian dini dan RJP bila perlu. f. Berikan oksigen bila ada. g. Jagalah kehangatan tubuh penderita, ganti pakaian basah dan selimuti. h. Lakukan pemeriksaan fisik, rawat cedera yang ada. i. Segera bawa ke fasilitas kesehatan. Metode Resusitasi Jantung Paru Dalam menangani korban tenggelam, penolong harus mengutamakan jalan napas dan oksigenasi buatan. RJP yang harus dilakukan adalah RJP konvensional (A-B-C) sebanyak 5 siklus (sekitar 2 menit) sebelum mengaktivasi sistem respons darurat. I. Basic Life Support Adapun bentuk bantuan hidup dasar yang bisa diberikan dibagi menjadi dua jenis, yaitu untuk korban sadar dan korban tidak sadar A. Korban Sadar 1. Penolong tidak boleh langsung terjun ke air untuk melakukan pertolongan, karena korban dalam keadaan panik dan sangat berbahaya bagi penolong. Sedapat mungkin, penolong untuk selalu memberikan respon suara kepada korban dan sambil mencari kayu atau tali atau mungkin juga pelampung dan benda lain yang bisa mengapung disekitar lokasi kejadian yang bisa digunakan untuk menarik korban ke tepian atau setidaknya membuat korban bisa bertahan di atas permukaan air.
2. Aktifkan sistem penanganan gawat darurat terpadu (SPGDT).

Bersamaan dengan tindakan pertama di atas, penolong harus segera mengaktifkan SPGDT, untuk memperoleh bantuan atau bisa juga
14

dengan mengajak orang-orang yang ada disekitar tempat kejadian untuk memberikan pertolongan.
3. Jika memang ditempat kejadian ada peralatan atau sesuatu yang bisa

menarik korban ketepian dengan korban yang dalam keadaan sadar, maka segera berikan kepada korban, seperti kayu atau tali, dan usahakan menarik korban secepat mungkin sebelum terjadi hal yang lebih tidak diinginkan. Setelah korban sampai ditepian segeralah lakukan pemeriksaan fisik dengan terus memperhatikan ABC untuk memeriksa apakah ada cedera atau hal lain yang dapat mengancam keselamatan jiwa korban dan segera lakukan pertolongan pertama kemudian kirim ke pusat kesehatan guna mendapat pertolongan lebih lanjut. 4. Jika tidak ada peralatan atau sesuatu yang bisa menarik korban, maka penolong bisa segera terjun ke air untuk menghampiri korban. Tapi harus diingat, penolong memiliki kemampuan berenang yang baik dan menghampiri korban dari posisi belakang korban.
5. Jika korban masih dalam keadaan sadar dan bisa ditenangkan, maka

segera tarik (evakuasi) korban dengan cara melingkarkan salah satu tangan penolong pada tubuh korban melewati kedua ketiak korban atau bisa juga dengan menarik krah baju korban (tapi ingat, hal ini harus dilakukan hati-hati karena bisa membuat korban tercekik atau mengalami gangguan pernafasan) dan segera berenang mencapai tepian. Barulah lakukan Pertolongan Pertama seperti pada no. 3 di atas. 6. Jika Korban dalam keadaan tidak tenang dan terus berusaha menggapai atau memegang penolong, maka segera lumpuhkan korban. Hal ini dilakukan untuk mempermudah evakuasi, kemudian lakukan tindakan seperti no 5 dan kemudian no. 3 di atas.

15

B. Korban tidak sadar Seperti halnya dalam memberikan Pertolongan Pertama untuk korban tenggelam dalam keadaan sadar, maka untuk korban tidak sadar sipenolong juga harus memiliki kemampuan dan keahlian korban dapat selamat. untuk melakukan evakuasi korban dari dalam air agar baik penolong maupun

Adapun tindakan yang dilakukan adalah sebagai berikut:


1. Segera hampiri korban, namun tetap perhatikan keadaan sekitar untuk

menghindari hal yang tidak diingin terhadap diri penolong. Lakukan evakuasi dengan melingkarkan tangan penolong ditubuh korban seperti yang dilakukan pada no. 3 untuk korban sadar.
2. Untuk korban yang dijumpai dengan kondisi wajah berada di bawah

permukaan air (tertelungkup), maka segera balikkan badan korban dan tahan tubuh korban dengan salah satu tangan penolong. Jika penolong telah terlatih dan bisa melakukan pemeriksaan nadi dan nafas saat menemukan korban, maka segera periksa nafas dan nadi korban. Kalau nafas tidak ada maka segera buka jalan nafas dengan cara menggerakkan rahang korban dengan tetap menopang tubuh korban dan berikan nafas buatan dengan cara ini. Dan jika sudah ada nafas maka segera evakuasi korban ke darat dengan tetap memperhatikan nafas korban.
3. Ketika penolong dan korban telah sampai ditempat yang aman (di darat),

maka segera lakukan penilaian dan pemeriksaan fisik yang selalu berpedoman pada ABC. Berikan respon kepada korban untuk menyadarkannya. 4. Ketika respon ada dan korban mulai sadar, maka segera lakukan pemeriksaan fisik lainnya untuk mengetahui apakah ada cedera lain yang dapat membahayakan nyawa korban. Jika tidak ada cedera dan korban

16

kemudian sadar, berikan pertolongan sesuai dengan yang diperlukan korban, atau bisa juga dengan mengevakuasi korban ke fasilitas kesehatan terdekat untuk pemeriksaan secara medis.
5. Jika tidak ada respon dan tidak ada nafas, segera buka jalan nafas dengan

cara ini, periksa jalan nafas dengan cara look, listen, feel selama 3-5 detik. Jika tidak ada nafas maka segera berikan bantuan pernafasan (bantuan hidup dasar) dengan cara ini lalu periksa nadi karotis. Apabila nadi ada, maka berikan bantuan nafas buatan sesuai dengan kelompok umur korban hingga adanya nafas spontan dari korban (biasanya nafas spontan ini disertai dengan keluarnya air yang mungkin menyumbat saluran pernafasan korban ketika tenggelam), lalu posisikan korban dengan posisi pemulihan. Terus awasi jalan nafas korban sambil penolong berupaya untuk menyadarkan seperti tindakan no. 4 di atas atau mencari bantuan lain untuk segera mengevakuasi korban. 6. Ketika tindakan no.5 tidak berhasil (tidak ada respon, tidak nafas dan tidak ada nadi), maka segera lakukan Resusitasi Jantung Paru, dengan cara seperti ini. II.Advanced Life Support D (Drugs) : pemberian obat-obatan. Pemberian obat-obatan ada yang bersifat penting seperti adrenalin, natrium bicarbonat, sulfas atropin dan berguna seperti k tikosteroid. Obat-obatan ini berguna untuk mengatasi keadaan darurat dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Selain obat, terapi cairan juga merupakan langkah penting dalam penanganan korban tenggelam. Pemberian cairan pada pasien yang tenggelam di air asin tentu berbeda dengan yang tenggelam di air tawar, karena perbedaan dari sifat masing-masing jenis air tersebut. Air laut mempunyai sifat hipertonik sehingga menarik cairan dari ekstrasel ke intrasel, dan terjadilah hemokonsentrasi, maka dapat diberikan jenis cairan

17

koloid. Sedangkan yang terjadi pada air tawar adalah sebaliknya yaitu hemodilusi, sehingga harus diberi cairan yang bersifat hipotonis seperti NaCl 0,45% E (EKG) : diagnosis elektrokardiografis untuk mengetahui adanya fibrilasi ventrikel dan monitoring F (Fibrillation Treatment) : berupa DC Shock untuk menghilangkan fibrilasi III.Prolonged Life Support G (Gauge) : monitoring terus-menerus terhadap sistem pernapasan, kardiovaskuler dan sistem saraf. H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistem saraf dari kerusakan lebih lanjut, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologic permanen. I (Intensive Care) : perawatan intensif di ICU yaitu tunjangan ventilasi seperti intubasi, sonde lambung, pengukuran pH, pCO2 dan tunjangan sirkulasi

2.8 KOMPLIKASI

Komplikasi yang terjadi adalah akibat dari keadaan hipoksia, aspirasi air ke dalam paru dan infeksi yang terjadi setelahnya. a. Ensefalopati Hipoksik : suatu keadaan di mana bagian otak tertentu yang mengalami hipoksia saat tenggelam tidak dapat kembali ke fungsi normal atau telah terjadi kerusakan yang permanen b. Pneumonia aspirasi : merupakan kompliasi yang paling sering terjadi akibat masuknya air ke dalam paru atau terhirupnya air saat pasien berusaha untuk

18

meyelamatkan diri. Bakteri maupun mikrorganisme lain yang ada di air akan berkembang biak di dalam paru dan menyebabkan terjadinya infeksi c. Gagal Ginjal : Fungsi ginjal penderita tenggelam yang telah mendapat resusitasi biasanya tidak menunjukkan kelainan, tetapi dapat terjadi albuminuria, hemoglobonuria, oliguria dan anuria. Kerusakan ginjal progresif akan mengakibatkan tubular nekrosis akut akibat terjadinya hipoksia berat, asidosis laktat dan perubahan aliran darah ke ginjal.

19

BAB III KESIMPULAN

Korban dikatakan hampir tenggelam apabila korban dapat bertahan hidup dalam 24 jam pertama. Apabila tidak dilakukan penanganan segera maka sebagian besar pasien mengalami kerusakan organ yang multipel dimana otak merupakan organ yang sangat peka dalam hal ini. Patofisiologi korban hampir tenggelam sangat tergantung kepada jumlah dan sifat cairan yang terhisap serta lamanya hipoksemia terjadi. Oleh sebab itu, tindakan di luar rumah sakit atau di tempat kejadian tenggelam menentukan hasil tindakan di rumah sakit dan prognosa selanjutnya. Kegawatdaruratan pada korban tenggelam terkait erat dengan masalah pernapasan dan kardiovaskuler yang penanganannya memerlukan penyokong kehidupan jantung dasar dengan menunjang respirasi dan sirkulasi korban dari luar melalui resusitasi, dan mencegah insufisiensi Penanganan kegawatdaruratan korban tenggelam sebaiknya memastikan terlebih dahulu kesadaran, system pernapasan, denyut nadi, dan proses observasi dan interaksi yang konstan dengan korban.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Onyekwelu E. (2008). Drowning and Near Drowning. Internet Journal of Health 8(2). 2. John M. Field, Part 1 : executive summary: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010;122;S640-S656. 3. Latief S.A. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Penerbit FKUI. Jakarta. 2007 4. Hassan R. tenggelam dan hampir tenggelam. Dalam: Rusepno H, Arjatmo T, Ed. Pengobatan Intensiva pada anak. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI, 1982; 7281. 5. Alkatiri J. Resusitasi Kardio Pulmoner dalam Sudoyo W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. FKUI. Jakarta. 2007. Hal. 173-177.

21

You might also like