You are on page 1of 24

Tawassul Dengan Orang Mati, Syubhat Dan Bantahannya

Minggu, 18 Juli 2010 15:38:58 WIB


TAWASSUL DENGAN ORANG MATI


SYUBHAT DAN BANTAHANNYA
Adapun dalil-dalil yang dijadikan alasan bolehnya tawassul dengan orang yang telah mati, sebagaimana
yang antum nukilkan di atas, inilah jawaban kami:

1. Dalil Pertama.



Hadits pertama itu artinya:
Jika kamu bingung di dalam perkara-perkara, maka mintalah tolong dari para penghuni kubur!
Demikian disebutkan di dalam kitab Al-Bahjah As-Sunniyyah karya Syeikh Muhammad bin Abdullah Al-
Jani, hal:41.

Bantahan:
Ketahuilah bahwa ini adalah hadits palsu! Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang
hadits ini: Ini palsu dengan kesepakatan ahli ilmu, tidak ada seorangpun dari ulama ahli hadits yang
meriwayatkannya. *Al-Istighatsah Ar-Raddu Alal Bakri, II/483, tahqiq Abdullah bin Dujain As-Sahli,
Darul Wathan, Cet:I, Th:1997 M/1417 H]

Abdullah bin Dujain As-Sahli berkata mengomentari perkataan Syeikhul Islam di atas: "Ini adalah hadits
palsu, disebutkan oleh Al-Ajluni di dalam Kasyful Khafa I/85, dan dia menyandarkan kepada Ibnu Kamal
Basya; Ibnul Qayyim menjelaskan kelemahannya di dalam Ighatsatul Lahfan I/333, demikian pula
Muhammad Nashib Ar-RifaI di dalam At-Tawashul Ila Haqiqati At-Tawasul Al-Masyru wal Mamnu ,
hal:252, Cet:III, 1399 H, dan lainnya."

Di sini kami perlu mengingatkan dengan sebuah hadits mutawatir tentang bahaya menyampaikan
hadits-hadits palsu dan menisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu:



"Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja maka siapkanlah tempat duduknya di neraka". [Hadits
Mutawatir].

2. Adapun hadits kedua

(

"Barangsiapa menziarahi kuburku, dia wajib mendapatkan syafaatku" [HR. Thabarani dan lainnya, dari
hadits Umar Radhiyallahu 'anhu])

Bantahan:
Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi menyatakan tentang hadits ini yang ringkasnya sebagai berikut: "Hadits ini
tidak shahih, bahkan hadits ini mungkar menurut para imam hadits, tidak dapat dipakai sebagai hujjah.
Para imam hadits telah menjelaskan kelemahan dan kemungkarannya, dan tidaklah berpegang dengan
hadits semacam ini kecuali orang-orang yang lemah dalam bidang hadits.

Seandainya hadits ini shahih, maka di dalamnya tidak ada dalil (tentang masalah tawassul), apalagi
hadits ini mungkar, dhaif sanadnya, dan tidak dapat dijadikan hujjah. Tidak ada seorangpun dari para
hafizh termasyhur yang menshahihkannya, dan tidak ada seorangpun di antara para imam peneliti yang
berpegang dengannya. Tetapi yang meriwayatkannya hanyalah semisal (imam) Daruquthni, yang
mengumpulkan di dalam kitabnya, yaitu Gharaibus Sunan. Dia mengumpulkan banyak riwayat hadits-
hadits dhaif, munkar, bahkan maudhu (palsu), dan dia menjelaskan cacat hadits, sebab kelemahannya,
dan sebab pengingkarannya pada sebagian tempat. Atau yang meriwayatkan itu semisal Abu Jafar Al-
Uqaili dan Abu Ahmad Ibnu Adi di dalam kitab keduanya tentang para perawi yang dhaif (lemah), dan
keduanya juga menjelaskan kelemahan hadits dan kemungkarannya. Atau semisal Al-Baihaqi, yang juga
menjelaskan kemungkarannya." [Lihat Ash-Sharimul Munki, hal: 21-22]

Di dalam pertanyaan di atas (yang penanya menukil dari kitab An-Nurul Burhani, hal:17, penerbit: Toha
Putra, Semarang) disebutkan hadits itu riwayat Thabarani dan lainnya, dari hadits Umar Radhiyallahu
'anhu . Tetapi di dalam bantahan Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi tentang hadits itu disebutkan bahwa bahwa
hadits tersebut diriwayatkan oleh:

a). Al-Baihaqi dari Ibnu Umar, di dalam kitab Syuabul Iman, dan beliau menyatakannya sebagai hadits
munkar.
b). Al-Hafizh Abu Jafar Muhammad bin Amr Al-Uqaili dari Ibnu Umar, di dalam kitab Adh-Dhuafa
(kitab tentang para perawi dhaif), dan beliau menyatakannya sebagai hadits gharib (yaitu hanya
diriwayatkan dengan satu jalan) dan tidak shahih.
c). Al-Hafizh Abu Ahmad Abdullah bin Adi di dalam kitab Al-Kamil fii Marifati Dhuafail Muhadits-tsin
wa Ilalil Ahadits (kitab tentang para perawi dhaif dan cacat-cacat hadits)
d). Seorang hafizh besar -tetapi belum diketahi namanya- dari Ibnu Umar, dan beliau menyatakannya
sebagai hadits gharib.
e). Al-Bazzar dari Ibnu Umar.

Ad-Daruquthni dari Ibnu Umar. Imam Nawawi berkata mengomentari hadits di atas: Adapun hadits
Ibnu Umar, maka diriwayatkan oleh Al-Bazzar, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi dengan dua sanad yang
sangat dhaif".

Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi tidak menyebutkan adanya riwayat Thabarani dari hadits Umar. Demikian juga
Syeikh Al-Albani ketika menjelaskan kelemahan hadits itu di dalam takhrij beliau terhadap hadits itu di
dalam kitab Irwaul Ghalil no: 1128, tidak menyebutkan adanya riwayat Thabarani dari hadits Umar.
[Lihat Ash-Sharimul Munki, hal: 43; Irwaul Ghalil no: 1128+

Maka inilah ringkasan di antara perkataan para ulama setelah meriwayatkan hadits "Barangsiapa
menziarahi kuburku, dia wajib mendapatkan syafaatku" : Al-Baihaqi menyatakan: "Hadits mungkar".

Al-Hafizh Abu Jafar Muhammad bin Amr Al-Uqaili berkata: Riwayat dalam masalah ini ada
kelemahan.

Al-Hafizh Abul Hasan Al-Qath-than berkata: "Hadits yang diriwayatkan oleh Musa bin Hilal adalah hadits
yang tidak shahih."

Kelemahan hadits di atas karena ada para perawi lemah, yang bernama: Musa bin Hilal Al-Abdi, seorang
perawi majhul (tidak dikenal), lalu dia meriwayatkan sendirian. Juga perawi lain bernama Abdullah bin
Umar Al-Umari, terkenal buruk hafalan dan sangat lalai. *Lihat Ash-Sharimul Munki; Dhaif Al-Jamiush
Shaghir no:5607; Silsilah Al-Ahadits Adh-Dhaifah I/64; dan Irwaul Ghalil no:1127, 1128+.

Kemudian di sini kami nukilkan perkataan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tentang hadits-
hadits ziarah qubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau berkata: Dan hadits- hadits tentang ziarah
ke qubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam semuanya dhaif, sedikitpun darinya tidak dijadikan sandaran
di dalam agama. Oleh karena inilah hadits- hadits itu tidak diriwayatkan oleh para penyusun kitab-kitab
Shahih dan Sunan, tetapi hanyalah diriwayatkan oleh para ulama yang meriwayatkan hadits- hadits
dhaif, seperti Ad-Daruquthni, Al-Bazzar, dan lainnya. *Al-Qaidah Al-Jalilah, hal:57; dinukil dari Silsilah
Al-Ahadits Adh-Dhaifah I/123, penjelasan dari hadits no:47+

3. Adapun hadits ketiga.



"Barangsiapa datang menziarahi-ku, dia tidak melakukan suatu kebutuhan kecuali menziarahi-ku, maka
wajib atasku menjadi syafi (orang yang memintakan syafaat/kebaikan untuk orang lain) pada hari
kiamat."

Dishahihkan oleh Ibnu as-Sakan, dia membicarakan panjang lebar, lalu berkata: "Dan orang yang
pertama kali meminta syafaat dengan beliau (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) adalah
Adam Alaihissallam ketika keluar dari sorga, dan Allah berfirman kepadanya: "Seandainya engkau minta
syafaat kepada Kami dengan Muhammad untuk penduduk langit-langit dan bumi, niscaya Kami terima
syafaatnya untukmu".

Al-Qadhi Iyadh berkata: Hadits syafaat mencapai (derajat) mutawatir.

Bantahan:
a). Hadits ini diriwayatkan oleh Thabarani dari Ibnu Umar, dan matannya (isinya) tidak ada hubungannya
dengan tawassul!
b). Demikian juga hadits ini sanadnya lemah, matannya mungkar. Di dalam sanadnya ada perawi
bernama Maslamah bin Salim Al-Juhani, dia perawi majhul (tidak dikenal), meriwayatkan hadits munkar
dan palsu, dia juga meriwayatkan hadits ini sendirian. (Lihat Ash-Sharimul Munki, hal:49-50) Dengan
demikian, maka penshahihan hadits ini oleh Ibnus Sakan tidak dapat diterima, jika memang benar berita
bahwa beliau menshahihkan hadits ini.
c). Adapun perkataan Ibnu as-Sakan: Dan orang yang pertama kali meminta syafaat dengan beliau
(Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) adalah Adam Alaihissallam ketika keluar dari sorga...,
maka perkataannya itu tidak dapat diterima, karena hadits yang menyatakan tawasulnya Nabi Adam
dengan Nabi Muhammad tersebut adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan panjang lebar oleh
Syeikh Al-Albani di dalam kitab beliau Silsilah Al-Ahadits Adh-Dhaifah no: 25.

Karena hadits ini begitu terkenal pada sebagian kaum muslimin, maka kami akan menyebutkan artinya
dan penjelasan para ulama tentang hadits ini. Hadits itu berbunyi: Ketika Adam berbuat kesalahan, dia
berkata: Wahai Rabbi! Aku mohon kepadaMu dengan hak Muhammad- agar Engkau mengampuniku.
Allah berfirman: Bagaimana Engkau mengetahui Muhammad, padahal Aku belum menciptakannya.
Adam menjawab: Wahai Rabbi! ketika Engkau telah menciptakanku dengan tanganMu, dan Engkau
telah meniupkan ruh (ciptaan) Mu kepadaku, aku mengangkat kepalaku, lalu aku melihat tulisan di kaki-
kaki Arsy: Laa ilaaha illa Allah Muhammad Rasulullah. Maka aku mengetahui bahwa Engkau tidak
merangkaikan kepada namaMu kecuali makhluk yang paling Engkau cintai. Maka Allah berfirman:
Engkau benar wahai Adam, sesungguhnya dia adalah makhluk yang paling Aku cintai. Berdoalah
kepadaKu dengan haknya, sesungguhnya Aku telah mengampunimu. Dan seandainya bukan karena
Muhammad niscaya Aku tidak menciptakanmu. ' [Hadits Palsu, riwayat Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak
II/615; Ibnu Asakir dari Al-Hakim II/323/2; Al-Baihaqi di dalam Dalailun NubuwwahV/488, dari jalan Abul
Harits Abdullah bin Muslim Al-Fihri, dari Ismail Ibnu Maslamah, dari Abdurahman bin Zaid bin Aslam,
dari bapaknya, dari kakeknya, dari Umar bin Khaththab dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam]

Al-Hakim berkata: Isnadnya shahih..., tetapi perkataannya dibantah oleh Adz-Dzahabi: Tidak shahih,
bahkan palsu. Abdurahman adalah perawi lemah, Abdullah bin Muslim Al-Fihri, aku tidak tahu siapakah
dia sesungguhnya.
Tetapi di dalam kitab Mizanul Itidal, Adz-Dzahabi berkata tentang hadits ini yang terdapat Abdullah bin
Muslim Al-Fihri : Khabar (hadits) batil, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di dalam Dalailun Nubuwwah.
Al-Baihaqi berkata: Abdurahman bin Zaid bin Aslam sendirian meriwayatkan hadits ini, padahal dia
seorang yang dhaif.
Ibnu Katsir menyetujuinya di dalam Tarikhnya II/323.
Demikian juga Ibnu Hajar menyetujui pernyatan Adz-Dzahabi bahwa hadits itu batil.
Hadits itu juga diriwayatkan oleh Thabarani, tetapi juga lewat perawi Abdurahman bin Zaid bin Aslam.
Dalam sanad Thabarani juga terdapat perawi majhul, sebagaimana dikatakan oleh Al-Haitsami di dalam
Majmauz Zawaid VIII/253.

d). Adapun perkataan Al-Qadhi Iyadh: Hadits syafaat mencapai (derajat) mutawatir, ini perlu
diperiksa lagi, hadits syafaat yang mana yang beliau kehendaki. Jika yang dimaksud adalah hadits
syafaat bagi kaum mukminin yang masuk neraka sehingga mereka masuk sorga, maka itu benar. Atau
yang dimaksud adalah hadits syafaat al-uzhma yang dimiliki oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
maka itu memang hadits shahih. Tetapi jika yang dimaksud adalah hadits syafaat Nabi Adam dengan
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka kita semua telah tahu kelemahannya!

4. Adapun hadits pertama yang antum sebutkan, itu bukanlah doa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam sholat hajat, tetapi doa yang diajarkan Rasulullah kepada seorang buta yang mendatangi
beliau. Lafazh riwayatnya sebagaimana di bawah ini:



"Dari Utsman bin Hunaif, bahwa seorang lelaki buta mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu
berkata: Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku. Beliau bersabda: Jika engkau mau aku
akan berdoa, tetapi jika engkau mau bersabar, itu lebih baik bagimu. Lelaki tadi berkata: Doakanlah
kepadaNya. Maka beliau memerintahkannya untuk berwudhu dengan membaguskan wudhunya,
(pada riwayat lain: lalu shalat dua rakaat), lalu berdoa dengan doa ini: Wahai Allah, sesungguhnya aku
memohon kepadaMu, dan aku menghadapMu dengan NabiMu, Muhammad, Nabi pembawa rahmat.
Sesungguhnya aku menghadap Rabbku denganmu (Nabi Muhammad) di dalam kebutuhanku ini, agar
dipenuhi untukku. Wahai Allah, oleh karena itu terimalah permintaan beliau (Nabi Muhammad)
untukku. (pada riwayat lain: maka lelaki tadi lalu melaksanakan, kemudian dia sembuh)."

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi no:3578, Nasa-i di dalam Amalul Yaum wal Lailah no:659,
Ibnu Majah, Thabarani di dalam Al-Kabir, Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak. Dishahihkan oleh Al-Albani di
dalam At-Tawassul Anwauhu wa Ahkamuhu, hal: 75-76.

Perkataan di dalam doa lelaki buta tersebut: aku menghadap-Mu dengan NabiMu, bisa memiliki
beberapa kemungkinan makna:
a). Aku menghadapMu dengan dzat/jasad- NabiMu
b). Aku menghadapMu dengan jah (kedudukan)- NabiMu
c). Aku menghadapMu dengan doa- NabiMu

Oleh karena itu harus ditentukan makna yang dimaksudkan perkataan tersebut berdasarkan dalil-dalil
yang ada.

Orang-orang Sufi berdalil dengan hadits ini tentang bolehnya tawassul dengan dzat dan jah (kedudukan)
Nabi, mereka tidak menyebutkan dalil kecuali kisah Utsman bin Hunaif, tambahan pada sebagian
riwayat pada hadits di atas. Tetapi tambahan kisah ini dhaif sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Al-
Albani di dalam At-Tawassul, hal: 92-96.

Sedangkan Salafus Shalih menjadikan hadits ini sebagai dalil tawassul dengan doa orang shalih yang
masih hidup, dengan dalil-dalil sebagai berikut:

a). Bahwa orang buta itu mendatangi Nabi, agar beliau mendoakannya, dengan dalil perkataannya di
dalam hadits di atas: Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku.
b). Bahwa Nabi menjanjikan doa untuknya, namun beliau juga menasehatkan untuk bersabar, yang itu
lebih utama. Yaitu sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : Jika engkau mau aku akan berdoa, tetapi
jika engkau mau bersabar, itu lebih baik bagimu.
c). Orang buta itu tetap meminta Nabi untuk mendoakannya, yaitu dengan perkataannya: Doakanlah
kepadaNya. Sedangkan beliau pasti memenuhi janjinya, beliau telah menjanjikan untuk
mendoakannya.
d). Bahwa para ulama menyebutkan hadits ini sebagai mujizat beliau dan doa beliau yang mustajab.
e). Bahwa tawassul dengan doa Nabi adalah tawassul yang disyariatkan, sesuai dengan nash-nash Al-
Kitab dan As-Sunah serta perbuatan para sahabat. Maka seandainya tawassul dengan dzat atau jah Nabi
disyariatkan, tentulah para sahabat tidak akan meninggalkannya.

Dan lain-lain. Lihat Al-Istighatsah Ar-Raddu Alal Bakri, hal:391-392, tahqiq: Abdullah bin Dajin As-Sahli;
At-Tawassul karya Al-Albani, hal: 76-83.

5. Hadits kedua yang antum sebutkan, artinya adalah: Aku mendengar shalawat yang dilakukan oleh
orang-orang yang mencintaiku, dan aku mengenal mereka. Sedangkan shalawat selain mereka
diperlihatkan kepadaku. Itu adalah jawaban beliau n , ketika ditanya: Bagaimana pendapat anda
terhadap shalawat yang dilakukan oleh orang-orang yang bershalawat yang tidak ada di hadapanmu,
dan orang-orang yang akan datang setelah anda. Bagaimana keadaan keduanya di sisi anda?

Bantahan
a). Hadits itu tidak disebutkan siapa yang meriwayatkannya dan bagaimana derajatnya, sehingga tidak
dapat diterima sebagai hujjah!
b). Seandainya hadits itu shahih, maka di dalamnya tidak ada hujjah yang membolehkan tawassul
dengan dzat atau jah Nabi n .

6. Kisah Bilal yang antum sebutkan, yang disebutkan dishahihkan oleh Imam Malik, bahwa Bilal bin
Harits Radhiyallahu 'anhu ziarah ke kuburan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di situ beliau
berdoa:



"Wahai Rasulullah, mohonlah hujan untuk umatmu, karena sesungguhnya mereka binasa".

Kemudian Bilal tidur dan bermimpi didatangi oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berkata:
Hai Bilal, Insya Allah umatku akan diberikan hujan ketika Bilal terjaga, hujan sudah turun.

Bantahan:
Kisah di atas perlu dicek kebenarannya, benarkah Imam Malik menshahihkan nya?
Kisah seperti itu disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari II/495-496 sebagai berikut:
"Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari riwayat Abi Shalih As-Saman dari Malik
Ad-Dar dia adalah penjaga (baitul mal) Umar- , dia berkata: Orang-orang tertimpa paceklik di zaman
Umar, kemudian datanglan seorang laki-laki ke kubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu berkata:
Wahai Rasulullah, mohonkanlah hujan untuk umatmu, karena sesungguhnya mereka telah binasa
(terkena paceklik). Maka lelaki tadi bermimpi, didatangi seseorang dan dikatakan kepadanya:
Datanglah kepada Umar...Al-Hadits. Dan Saif telah meriwayatkan di dalam Al-Futuh, bahwa orang
yang bermimpi tersebut adalah Bilal bin Al-Harits Al-Muzni, salah seorang sahabat.

Tetapi kisah ini dibantah oleh Syeikh Al-Albani di dalam At-Tawassul, hal : 131-134, secara ringkas
sebagai berikut:
a). Tidak dapat diterima keshahihan riwayat ini, karena Malik Ad-Dar adalah perawi yang tidak dikenal
(sifat) adalah dan kecermatannya, sehingga riwayat ini dhaif. Sedangkan perkataan Al-Hafizh Ibnu Hajar
di atas: Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari riwayat Abi Shalih, tidak berarti
riwayat itu shahih seluruh sanadnya, tetapi artinya sanadnya shahih sampai Abi Shalih.
b). Hal itu bertentangan dengan apa yang telah pasti di dalam agama, yaitu bahwa disukainya shalat
istisqa untuk mohon hujan dari langit, yang ini disebutkan d idalam banyak hadits dan dipegangi oleh
banyak ulama.
c). Seandainya riwayatnya shahih, juga tidak dapat diterima, karena orang yang meminta itu tidak
diketahui namanya. Adapun disebutnya nama Bilal pada riwayat Saif (Ibnu Umar At-Tamimi) tidak
berharga sedikitpun, karena Saif ini disepakati dhaifnya oleh para ahli hadits.
d). Riwayat ini tidaklah ada di dalamnya tawassul dengan dzat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi
hanyalah permintaan doa dari beliau agar Allah menurunkan hujan kepada umatnya. Tawassul dengan
ini berbeda, walaupun minta dari Nabi setelah wafatnya juga tidak boleh.

Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menyatakan: Riwayat ini -seandainya shahih sebagaimana
dikatakan oleh pensyarah (Al-Hafizh Ibnu Hajar)- bukanlah hujjah atas bolehnya minta hujan (kepada
Allah) lewat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah wafat beliau. Karena orang yang meminta itu
majhul (tidak dikenal), dan karena perbuatan para sahabat menyelisihinya, sedangkan mereka adalah
orang-orang yang paling mengetahui terhadap agama.

Tidak ada seorangpun dari mereka mendatangi kubur nabi atau kubur lainnya- untuk minta hujan.
Bahkan ketika terjadi kekeringan, Umar tidak meminta lewat Nabi (setelah wafat beliau), tetapi
memohon hujan kepada Allah lewat perantaraan Abbas, dan tidak ada seorangpun dari para sahabat
yang mengingkari Umar, maka hal itu menunjukkan bahwa itu adalah haq. Sedangkan yang dilakukan
oleh orang tak dikenal itu merupakan kemungkaran, dan sarana menuju kemusyrikan, bahkan sebagian
ulama menghukuminya termasuk jenis-jenis kemusyrikan.

Adapun di dalam riwayat Saif yang menyatakan bahwa nama orang yang meminta itu adalah Bilal bin Al-
Harits, maka tentang keshahihannya perlu dikoreksi, dan pensyarah (Al-Hafizh Ibnu Hajar) tidak
menyebutkan sanad Saif tersebut. Dan seandainya shahih-pun tidak dapat menjadi hujjah, karena
perbuatan para pembesar sahabat menyelisihinya, sedangkan mereka adalah orang-orang yang paling
mengetahui terhadap Rasulullah n dan agama beliau daripada selain mereka. Wallahu Alam. (Fote
note Fathul Bari II/495)

Adapun hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

.

"Barangsiapa melihatku di dalam mimpi, maka sesungguhnya dia telah melihatku, karena setan tidak
dapat menyerupaiku".

Ini memang hadits shahih, tetapi tidak berarti bahwa setiap orang yang mengaku bermimpi bertemu
dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berarti dia benar-benar bertemu dengan beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam. Bisa jadi dia berdusta, atau bisa jadi setan mendatanginya, bukan sebagaimana wujud
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu setan mengaku bahwa dia adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, sedangkan orang yang bermimpi itu tidak pernah berjumpa dengan Nabi, juga tidak pernah
mempelajari Sunnahnya, bagaimana dia dapat mengetahui beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ?!

7. Adapun kisah pembuatan jendela di atas kubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan
oleh Ad-Darimi tersebut, bantahan kami adalah sebagai berikut (Istighatsah, hal:402-404):

a). Riwayat ini dhaif, karena beberapa perkara:
- Di dalam sanadnya ada perawi dhaif bernama Said bin Zaid Al-Azdi.
- Juga ada perawi dhaif lainnya bernama Amr bin Malik An-Nukri.
- Ada perawi bernama Abu Numan, dia berubah hafalannya karena tua, dan tidak diketahui apakah Ad-
Darimi mendengar darinya sebelum berubah hafalan atau sesudahnya, sehingga riwayat ini tertolak.
- Kisah itu hanyalah dari Aisyah, tidak dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, seandainya shahih bukan
merupakan hujjah, karena bisa jadi hanyalah ijtihad (pendapat) beliau semata.
b). Syeikhul Islam rahimahullah berkata: Adapun apa yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'anha ,
yaitu pembuatan lobang (pada atap rumah) dari kubur Nabi ke langit agar supaya hujan turun, maka itu
tidak shahih, sanadnya tidak sah. Termasuk yang menjelaskan kedustaannya adalah bahwa di zaman
kehidupan Aisyah Radhiyallahu 'anha, rumah itu tidaklah ada lobangnya, bahkan tetap sebagaimana di
zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagian beratap, sebagiannya terbuka, dan sinar matahari
turun padanya.
c). Di dalam tarikh (sejarah) Islam tidak dikenal tahun yang disebut dengan amul fatqi (tahun fatqi).
d). Seandainya riwayat ini shahih, maka di dalamnya tidak ada dalil bolehnya tawassul dengan orang
yang telah mati! Tetapi yang terjadi hanyalah membukakan atap untuk kubur, agar rahmat Allah turun
padanya.

8. Riwayat seorang Arab yang mendatangi kubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang berdoa sambil
berdiri, arti doanya adalah: Wahai Allah, sesungguhnya Engkau telah memerintahkan untuk
memerdekakan budak, maka inilah habibMu (kecintaanMu/Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam), dan saya budakMu (hambaMu), maka merdekakanlah (selamatkanlah) aku dari neraka di atas
kubur habibMu. Maka ada seseorang yang berseru tanpa kelihatan orangnya: Wahai engkau, engkau
minta kemerdekaan (keselamatan) -dari neraka- hanya untukmu sendiri, kenapa engkau tidak minta
kemerdekaan (keselamatan) -dari neraka- untuk seluruh kaum muslimin. Pergilah! Sesungguhnya Aku
telah memerdekakanmu.

Bantahan:
a). Riwayat itu bukan ayat Al-Quran, bukan hadits Nabi yang shahih, dan bukan ijma , maka tidak dapat
diterima sebagai hujjah. Karena Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak berhujjah dengan hikayat-hikayat!
Apalagi yang tidak jelas kebenarannya!
b). Kisah itu belum tentu shahih, bagaimana kita berhujjah dengannya?!
c). Seandainya kisah itu shahih, maka orang yang berseru yang tanpa kelihatan orangnya- itu tidak
diketahui siapa dia, mungkin sekali dia adalah setan yang berusaha menjerumuskan manusia ke dalam
kesesatan. Kalau bukan setan, siapa dia? Apa dalilnya? Hal ini adalah masalah ghaib, yang kita tidak
dapat berhujjah kecuali dengan Al-Kitab dab As-Sunnah.
d). Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: Hikayat-hikayat ini yang terjadi pada orang-
orang yang minta tolong kepada sebagian manusia yang telah mati atau orang-orang yang tidak ada di
hadapannya, dan memang mereka mendapatkan kebiasaan-kebiasaan itu dilakukan oleh sebagian orang
yang memiliki sebagian ilmu agama, melakukan ibadah dan zuhd, tetapi mereka tidak memiliki hadits
yang diriwayatkan, dan tidak memiliki nukilan dari sahabat, tabii, dan tidak juga perkataan imam yang
diridhai (ulama yang terpercaya-Red). Oleh karena inilah ketika orang-orang yang memiliki keutamaan di
antara mereka diingatkan, merekapun sadar dan mereka mengetahui bahwa yang mereka lakukan itu
bukanlah dari agama Islam, bahkan itu adalah menyerupai para penyembah berhala. (Al-Istighatsah,
hal:375)

9. a) Riwayat Imam Syafii sering sekali mendatangi kubur Imam Abi Hanifah, lalu memberi salam lalu
berdoa kepada Allah dengan bertawassulkan Abi Hanifah dalam usaha terkabulnya doa.
b) Demikian juga Imam Ahmad bin Hambal berdoa bertawassulkan Imam Syafii, sampai-sampai
anaknya yang bernama Abdullah bin Ahmad bin Hambal menjadi heran, dan Imam berkata kepadanya:
Hai Abdullah, Imam Syafii bagi manusia seperti matahari, bagi badan seperti azimat yang bisa menjadi
sebab keselamatan, dan seperti obat yang menjadi sebab kesembuhan.
c) Dan Imam Syafii ketika diberitahu bahwa penduduk Magrib apabila mempunyai hajat, mereka
berdoa kepada Allah dengan bertawassulkan Imam Malik, beliau tidak mengingkari bahkan
membenarkan.

Bantahan:
a). Benarkah kisah-kisah tersebut dari para imam itu? Tidak cukup kisah itu tertulis di kitab-kitab, lalu
diambil dan dipercayai! Walaupun seandainya kitab-kitab yang memuat kisah-kisah tersebut ditulis oleh
orang yang terpercaya, namun dari siapa dia mengambil riwayat itu? Kebenaran kisah-kisah itu harus
dibuktikan dengan dua hal, pertama: adanya sanad, dan kedua: sanadnyapun harus shahih!
b). Seandainya kisah-kisah itu benar, maka juga tidak dapat diterima hujjah dalam masalah agama.
Karena hujjah dalam agama adalah Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma.

10. Arti hadits Abu Hurairah itu adalah: Abu Razin berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya jalanku
melewati (kubur) orang-orang yang telah mati. Adakah perkataan bagiku, yang akan aku katakan jika aku
melewati mereka? Beliau menjawab: Katakanlah: Semoga keselamatan atas kamu wahai penduduk
kubur, dari kalangan kaum muslimin dan mukminin. Kamu bagi kami adalah orang-orang yang telah
terdahulu (meninggal), sedangkan kami bagi kamu adalah orang-orang yang mengikuti (akan
meninggal), dan insya Allah, kami akan menyusul kamu. Abu Razin bertanya: Apakah mereka
mendengar? Beliau menjawab: Mereka mendengar, tetapi tidak mampu menjawab yaitu jawaban
yang dapat didengar oleh orang yang hidup-. Wahai Abu Razin, tidakkah engkau suka para malaikat
sejumlah mereka menjawab (salam)mu?

Bantahan:
a). Hadits ini munkar, sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Al-Albani di dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-
Dhaifah no: 5225
b). Seandainya shahihpun, di dalamnya tidak ada dalil tentang tawassul dengan orang yang telah mati,
paling tinggi hanyalah sebagai dalil bahwa orang yang mati itu mendengar, tetapi bukan berarti boleh
dijadikan sarana tawassul atau tempat meminta!

11. Hadits Aisyah itu diriwayatkan imam Muslim, sebagai berikut:



"Aku (Aisyah) berkata: Apa yang akan aku katakan kepada mereka wahai Rasulullah? Beliau menjawab:
Katakanlah: Semoga keselamatan atas kamu wahai penduduk kubur, dari kalangan kaum muslimin dan
mukminin. Dan mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang telah terdahulu (meninggal) dari
kami dan orang-orang yang akhir (belum meninggal), dan insya Allah, kami akan menyusul kamu"

Bantahan:
a). Hadits ini shahih, tetapi di dalamnya tidak ada dalil tentang tawassul dengan orang yang telah mati,
paling tinggi hanyalah sebagai dalil bahwa orang yang mati itu mendengar, sebagaimana di atas.
b). Tentang masalah orang yang mati itu mendengar atau tidak adalah perkara yang diperselisihkan para
ulama, tetapi yang rajih (lebih kuat) adalah bahwa pada asalnya orang mati tidak mendengar. [Lihat
Majalah As-Sunnah Edisi 10/Th.IV/1421-2000, hal:30-38, rubrik:Aqidah]
c). Kalau ada yang mengatakan: Ketika berziarah apa gunanya memberi salam kepada orang-orang
yang telah mati, jika mereka tidak mendengar?. Maka jawabnya adalah: Bahwa hal itu merupakan doa
untuk mereka, dan merupakan perkara taabbudiyyah, yaitu perkara ibadah yang kita harus taat,
walaupun tidak memahami hikmahnya. Sebagaimana jika kita shalat menjadi makmum, maka di akhir
shalat kita mengucapkan salam dengan pelan dan salam itu kita niatkan untuk para malaikat pencatat
amalan, untuk imam, dan untuk seluruh makmum, walaupun mereka tidak mendengar. Dan hal itu
umum di dalam bahasa Arab, tidak tersembunyi bagi orang-orang yang tahu. [Lihat Ayatul Bayinat fii
Adami Samail Amwat, hal:95, karya Al-Alusi, tahqiq Syeikh Al-Albani]
d). Seandainya hadits itu menunjukkan orang mati dapat mendengar, tetapi di dalamnya juga tidak ada
dalil bolehnya tawassul dengan mereka. Wallahu Alam.

Demikianlah jawaban yang kami sampaikan mudah-mudahan dapat menghilangkan syubhat-syubhat
yang ada pada penanya khususnya, dan kaum muslimin pada umumnya.

KESIMPULAN:
Di sini kami ringkaskan jawaban kami di atas, yaitu:
1. Tawassul, yaitu berdoa kepada Allah dengan perantara, ada yang disyariatkan dan ada yang
terlarang.
2. Tawassul yang disyariatkan, yaitu: bertawassul dengan: a) Nama-nama Allah dan sifat-sufatNya. b)
iman dan amal shalih orang yang berdoa. c) Doa orang shalih yang masih hidup. Adapun yang terlarang
adalah yang tidak ada dalilnya, seperti: tawassul dengan orang yang telah mati, dengan dzat atau
kehormatan Nabi, orang shalih, dan lainnya.
3. Seluruh dalil yang dipakai oleh orang-orang yang membolehkan tawassul dengan orang yang telah
mati, ada dua kemungkinan:
a) Dalil itu lemah.
b) Dalil itu shahih, tetapi difahami dengan keliru.
Wallahu Alam bish Shawab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun V/1422H/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]



MARTABAT TUJUH
OLEH :
MUHAMMAD UTHMAN EL-MUHAMMADY
Nota ini, insya Allah, akan membicarakan dengan ringkas, setakat memadai, tajuk Martabat Tujuh
sebagaimana yang terkenal dalam teks-teks Melayu-Jawi, dan dalam kalangan ahli persuratan dan
ulama di Dunia Melayu, dan mengaitkannya pula dengan unsur-unsur yang ada dalam setengah
penulisan tasauf yang ada dalam kalangan Ahlis-Sunnah wal-Jamaah, dengen menyebut ciri-ciri dan
dasar-dasarnya. Kemudian akan dibicarakan kedudukannya dalam konteks fahaman ilmu atau
epistemologi Ahlis-Sunnah, adakah ia mempunyai tempat yang memang sesuai baginya, yang perlu
dibicarakan oleh mereka yang tertentu yang mempunyai persiapan-persiapan tertentu, ataupun,
sebaliknya, ia sesuatu yang perlu dilupakan dan ditiadakan dalam wanaca keagamaan Dunia Melayu
yang berpegang kepada Ahlis-Sunnah wal-Jamaah semenjak dahulu sehingga sekarang, walaupun ada
usaha untuk menyemaknya oleh setengah kalangan. Dahulunya tajuk ini dibicarakan oleh kalangan
mereka yang dikirakan ahli sebenarnya; tetapi sekarang isu ini sudah keluar daripada tempatnya, dan
dibicarakan oleh semua pihak. Oleh itu timbullah keperluan untuk membicarakannya.Penulis ini yang
tidak memandang dirinya ahli dalam bidang ini, tetapi yang bergantung kepada para ulama yang
muktabar dan hasil-hasil para penyelidik bidangnya, mengharapkan perbincangan ini berlaku dalam
keadaan fikiran yang dingin dan sejahtera, demi untuk mencapai sesuatu yang jernih dan
menyelamatkan, tanpa melanggar adab-adab yang dikehendaki terhadap ilmu dan para ulama, Allah
memberi rahmat kepada mereka.Amin. Input-input yang berguna amat dialu-alukan untuk
menyempurnakan perbincangan bersama.
Tasauf Di Dunia Melayu
Imam al-Ghazali rd dalam kitab Ihya Ulumid-Din yang terkenal itu membahagikan tasauf kepada dua
bahagian, iaitu tasawwuf muamalah dan tasauf mukasyafah.
(1), yang muamalah ialah berkenaan dengan isu-isu seperti bersuci, beribadat, sifat-sifat yang buruk
yang perlu dihilangkan daripada diri dan sifat-sifat yang baik yang perlu dijadikan perhiasan diri. Demikian
pula di dalamnya termasuk soal-soal kehidupan seperti nikah-kahwin, usaha mencari rezeki yang halal,
kehidupan berjiran, dan persoalan-persoalan yang sedemikian.
Perkara-perkara yang dimasukkan ke dalam bidang mukasyafah ialah perkara-perkara yang menyentuh
hakikat-hakikat tentang roh dan jiwa, hakikat ketuhanan, hubungan Tuhan dengan alam, hal-ahal alam
yang kekal abadi yang selain daripada fardu ain dalam pembicaraan.Maka boleh dikatakan bahawa
pembicaraan tentang Martabat Tujuh ini adalah termasuk ke dalam bahagian atau bidang yang disebut
mukasyafah itul,
Dalam hubungan dengan perkembangan Islam di Dunia Melayu, nampaknya dalam beberapa abad awal
perkembangan itu situasinya berkebetulan dengan masa perkembangan tasawuf dan tarikat-tarikat
dalam erti yang biasa dimengerti. Ini adalah selain daripada hakikat bagaimana amalan-amalan rohaniah
itu memang sudah ada pada zaman awal lagi, dan berkembang dengan baiknya, sebagaimana yang
disebutkan oleh ibn Khaldun dalam al-Muqaddimahnya dan juga oleh ulama sufi dalam teks-teks mereka
yang terkenal seperti Risalah al-Qushairiyyah dan Kashf al-Mahjub antara yang sekian banyaknya itu.
Imam al-Ghazali rd menulis kitab berkenaan dengan tasawwuf yang menyentuh soal-soal akhlak dan
pembentukan rohani secara moderat mengikut setengah pihak, bagaimanapun ia menulis pula teks-teks
seperti Mishkat al-Anwar misalnya, danTahafut al-Falasifah serta juga al-Maqsad al-Asna yang
menghuraikan makna-makna yang sangat dalam tentang Nama-Nama tuhan.Beliau meninggal dalam
tahun 1111 , dan ibn Arabi rd yang banyak mempengaruhi para sufi kemudian, dengan al-Futuhat al-
Makkiyyahnya dan Fusus al-Hikamnya meninggal tahun 1240; manakala Shaikh Abd al-Qadir al-Jilani rd
meninggal dalam 1166, dan Shaikh Abul-Hasan al-Shadhili rd meninggal dalam tahun 1258. Dan Islam
yang berkembang di Dunia Melayu nampaknya banyak menunjukkan pengaruh tasauf dan amalannya.
Dengan itu nampaknya tasauf merupakan sesuatu unsur yang sangat penting dalam perkembangan
Islam di rantau ini.
(2)Nampaknya sebutan tentang Martabat Tujuh ini dikaitkan dengan nama Hamzah Fansuri dan
muridnya Syamsuddin al-Sumatrani atau Syamduddin Pasai, serta juga Abdur-Rauf Singkel yang hidup
yang bergiat di Acheh dalam abad ke 16 dan ke 17.
(3) Hamzah Fansuri mengeluarkan fahamannya dan pengelamannya melalui tulisan prosa dan puisi, dan
ia muncul sebagai ahli puisi sufi yang teragung di rantau ini. Dalam karangan-karangannya ia
mengeluarkan kata-kata yang menyatakan tentang keesaan yang wujud (wahdiatul-wujud) yang terkait
dengan nama ibn Arabi rd yang terkenal itu. Nampaknya ia mengamalkan tarikat Qadiriyyah dan
mungkin juga ia khalifah tarikat yang berkenaan.
Pengarang yang terkenal seorang lagi di Acheh ialah Shamsuddin Pasai (men.1630) yang mengarang
dalam Bahasa Arab dan Bahasa Melayu; beliau tidak muncul sebagai penggubah puisi tetapi tulisannya
lebih sistematik, dan memberi huraian tentang ajaran metafisika yang sama dengan gurunya tentang
keesaan yang wujud. Pada van Bruinessen nampaknya beliau pengarang yang pertama dalam Dunia
Melayu memberi huraian berkenaan dengan martabat tujuh ini , yang merupakan adaptasi daripada teori
ibn Arabi tentang emanasi atau faid dari Tuhan yang popular di rantau ini.
(4) Dalam hubungan dengan ini mungkin beliau mengikuti contoh pengarang Gujerat Muhammad b.Fadl
Allah al-Burhanpuri yang menghuraikan doktrin yang sama dalam Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi ,
yang siap digubahnya pada 1590, dan kemudian menjadi popular di kalangan Muslimin Dunia melayu.
(5)Mungkin beliau mengenali kitab ini di Acheh, atau di Makkah, atau di India. Burhanpuri
beramal dengan tarikat Shattariyyah, dan selepas meninggal Shamsul-Din tarikat itu menjadi popular dari
kalangan mereka yang pulang daripada menunaikan haji.
Mungkin boleh ditambah beberapa maklumat berkenaan dengan teks-teks karangan Syams al-Din Pasai
ini.Antaranya ialah: Jawhar al-Haqaiq (30 halaman dalam Bahasa Arab), karyanya yang paling lengkap,
disunting oleh Van Nieuwenhuijze, yang membicarakan martabat tujuh dan jalan mendampingi diri
sengan Tuhan; kitab Risalah Tubayyin Mulahazat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dhikr
Allah (berbahasa Arab), lapan halaman, diolah oleh Van Nieuwenhuijze, mengandungi huraian tentang
perbezaan antara kaum yang berpegang kepada tauhid yang benar dan kaum yang mulhid; kitab Mirat
al-Mumin (70 halaman) dalam Bahasa Melayu, menjelaskan keimanan kepada Allah, RasulNya, kitab-
kitabNya, para malaikatNya, akhirat, qadaNya, dalam akidah Ahlis-Sunnah wa al-Jamaah (mengikut
Imam Asyari dan Maturidi rd). Kitab Sharah RubaI Hamzah Fansuri, 24 halaman berbahasa Melayu,
menjelaskan pengertian wihdatul-wujud. Kitab Syarah Syair Ikan Tongkol (20 halaman, dalam Bahasa
Melayu),ulasan 48 baris syair Hamzah Fansuri yang mengupas nur Muhammad dan cara mencapai fana
fiLlah. Kitab Nur al-Daqaiq (dalam 9 halaman, berbahasa Melayu, ditranskripsi oleh A.H. Johns (1953)
huraian tentang rahsia marifat , dalam martabat tujuh. Kitab Tariq al-Salikin (18 halaman, berbahasa
Melayu), menjelaskan istilah-istilah seperti wujud, adam, haqq, batil, wajib, mumkin, mumtani, dan yang
sepertinya. Kitab Mirat al-Iman atau Bahr al-Nur,12 halaman, berbahasa Melayu, membicarakan
marifah, roh, dan martabat tujuh.Kitab al-Harakah , 4 halaman, ada yang berbahasa Arab dan ada yang
berbahasa Melayu, membicarakan marifah atau martabat tujuh.
(6) Kemudian ulama yang terkenal yang menentang Shamsul-Din Pasai dan Hamzah Fansuri ialah
Nurul-Din al-Raniri rh, dan mungkin akibat penentangannya yang teruk, ia terpaksa meninggalkan bumi
Acheh. Shaikh Nurul-Din menuduh ajaran Hamzah Fansuri sebagai panteisme dan membandingkannya
dengan falsafah Vedanta Hindu dan ajaran Buddha Mahayana di Tibet.
(7) Seorang ulama basar Acheh ialah Abdul-Rauf Singkel rh (1615?-93) .Beliau berada di Mekah dan
Madinah selama 19 tahun kemudian kembali ke Dunia Melayu.Nampaknya para penduduk ranrau ini
sangat ramai menunaikan haji berbanding dengan para penduduk rantau lain walaupun jarak mereka
dengan Mekah adalah jauh. Dan dengan adanya masyarakat mereka di sana yang kuat perpaduannya,
maka pengaruh ulama Mekah besar di rantau ini. Antara ulama di sana yang berpengaruh di rantaum ini
ialah Ahmad al-Qushashi rh, Ibrahim al-Kurani rh, dan anak Ibrahim bernama Muhammad Tahir yang
berada di Madinah.
Pada pendapat van Bruinessen
(8) Qushashi (men.1660) dan Kurani (men.1691) merupakan sintesis tradisi India dan Mesir yang berupa
warisan kesarjanaan fikh dan tasawwuf Zakaria al-Ansari rh dan Abd al-Wahhab al-Sharani rh di satu
pihak dan perlibatan dengan pengambilan baiah dalam tarikat-tarikat dari India terutamanya
Shattariyyah dan Naqswhabandiah di satu pihak lainnya. Katanya tarikat-tarikat ini diperkenalkan oleh
Shaikh Sibghatullah yang menetap di Madinah dalam tahun 1605.Kurani pula , yang ia adalah seorang
bangsa Kurdi, mempunyai kemahiran dalam sastera berbahasa Parsi dari India, danj selain daripada
kepakarannya dalam hadith beliau mempunyai minat yang mendalam tentang metafisika. Dalam
menghadapi kontroversi-kontroversi, maka ulama India berpaling kepadanya untuk mendapat bimbingan.
Demikian pula orang-orang Dunia Melayu. Kerana permintaan mereka maka ditulisnya syarah terhadap
kitab Tuhfah al-Mursalah mengikut cara fahaman Ahlis-Sunnah wa al-jamaah.
(9)Beberapa generasi lamanya orang-orang Dunia Melayu mempelajari ilmu agama di Semenanjung
Arab dengan ulama yang datang selepas daripada Kurani, dan mereka menuntut baiah dalam tarikat
Shattariyyah, kadang-kadang dengan kombinasi tarikat-tarikat lainnya. Maka melalui tarikat
Syattariyyahlah idea-idea metafisika sufi dan pembahagian-pembahagian atau klasifikasi berdasarkan
ajaran martabat tujuh menjadi sebahagian daripada kepercayaan Orangt-Orang Jawa yang popular.
Hampir-hampir seabad kemudian Orang-Orang Dunia Melayu di negeri Arab sangat tertarik kepada
Syaikh Muhammad bin Abd al-Karim al-Samman rh (men.1775) di Madinah, yang sangat dipercayai
mempunyai keberkatan yang sangat besar, bertugas sebagai penjaga makam Nabi sallallahu alaihi wa
sallam dan mengarang beberapa buah kitab tentang metafisika sufi; beliau berpengaruh kerana ia
pengasas tarikat Sammaniyyah; banyak kisah-kisah manakib yang menunjukkan kekeramatannya, yang
tersebar di Dunia Melayu.
Murid Syaikh Muhammad bin Abd al-Karim al-Samman yang terkenal sekali di Dunia Melayu ialah
Syaikh Abd al-Samad al-Falimbani rh yang menulis beberapa buah kitab, antara yang terkenalnya
ialah Siyar al-Salikin ila ibadati Rabbil-Alamin yang berdasarkan kepada isi kandungan Ihya Imam al-
Ghazali rd. Selepas meninggalnya Syaikh Samman rh ia digantikan oleh khalifahnya Siddiq bin Umar
Khan. Maka tersebarlah tarikat itu dengan meluasnya.
Kitab-kitab yang ada mempunyai huraian-huraian tentang metafisika ini disebutkan oleh Syaikh Abd al-
Samad palembang rh dalam teksnya Sayr al-Salikin dalam jilid 3.Antaranya ialah teks-teks karangan ibn
Arabi rd seperti Futuhat al-Makkiyyah dan Fusus al-Hikamnya yang disebutkannya sebagai teks untuk
orangt-orang muntahi atau yang berada pada tahap penghabisan dalam perjalanan rohani.
Al-Manhalus-Safi[ fi Bayani Rumuzi Ahli's-sufi]:
Antara teks-teks tentang metafisika sufi yang boleh disebutkan secara tepat sebagai beraliran martabat
tujuh ialah Kitab al-Manhalis-Safi yang kuat dikatakan ia karangan Syaikh Daud al-Fatani rh.Antara
ulama yang mengajar kitab itu kepada mereka yang dikirakan sesuai untuk mendengarnya ialah alm haji
Abd al-Rahman di Wakaf Baru, Kelantan. Saya sendiri pernah beberapa kali bercakap
dengannya.Allahumma yarhamuh. Beliau mengajar kitab Hikam [yang dinisbahkan kepada To' Pulau
Manis] dan juga al-Manhalus-Safi dan beliau menerangkannya mengikut apa yang diterimanya daripada
To Syafi Kedah rh.Oleh kerana teks ini masih senang didapati sekarang dan ada tersesbar dalam
masyarakat maka saya gunakan teks ini untuk perbincangan ini. Yang menarik laginya ialah teks ini ada
nota-nota pada tepi beberapa halaman yang menunjukkan bahawa ia telah dijadikan teks untuk
pengajian.
Isi kandungan maklumat tentang martabat tujuh dalam teks ini ialah seperti berikut (berdasarkan kepada
MS yang ada pada saya, kerana yang tercetaknya tidak ada pada aya sekarang).Dalam naskah yang
ada pada ayahanda Syaikh Ahmad al-Fatani sebagaimana yang diberitahu oleh rakan kita Wan Mohd
Shaghir Abdullah, melalui saudara Zaidi Mohd Hasan, Allah membalas kebaikan kepada mereka, amin,
karangan itu ialah memang karangan Syaikh Daud al-Fatani rh.MS yang ada pada saya ini bertarikh
1302 H. tertulis oleh Syihab al-Din bin Ismail syin ya (?), di tulis namanya dengan huruf berasing-asingan
tidak disambungnya, di Makkah al-Mukarramah.Ia terdiri daripada 15 folio.
Pada folio 1 katakanlah 1B selepas mukadimah dengan basmalah, hamdalah, dan salawat,
katanyabahawasanya adalah bagi segala kaum penghulu ahli al-saufi itu beberapa istilah mereka itu
yang tiada mengetahui akan dia melainkan ahlinya.Maka tiada harus [bagi] yan g bukan ahlinya itu
mentelaahkan segala kitab mereka itu kerana yang tiada mengetahui akan kehendaknya diambilnya atas
zahir perkataan mereka itu maka membawa kepada kufur; sebab itulah diharamkan metalaah segala
kitab mereka itu [mereka] yang bukan ahlinya, seperti kata Syaikh Muhyil-Din ibn al-Arabi radiyaLlahu
anhu, nahnu qaumun tahrim mutalaati kutubina ertinya bahawasanya adalah kami sduatu kaum
yang haram mentalaahkan segala kitab kami yakni apabila tiada tahu akan segala istilah mereka itu.
Katanya:
Maka sayugianya jangan kita memudah-mudahkan segala perkataan mereka itu dengan ilham Tuhan
mereka itu.Maka kebanyakan segala kitab mereka itu dengan mutasyabihat tiada dapat bagi segala
orang yang ahli al-zahir mengambil dengan zahir katanya [yang pada zahirnya itu] menyalahi syariat dan
hakikatnya sekali-kali tiada menyalahi batin syariat ; maka wajib atas murid apabila yang tiada tahu akan
kehendak mereka itu ia menyerahkan segala perkataan mereka itu kepadanya, jangan ia
meng(ing)karkandia dan jangan menyalahkan dia sepertim kata Syaikh Abul-Hasan al-Syadhili (rd);

Maka bermula orangn yang membenarkan pada ilmu kami ini wali kecil
Katanya
Maka setengah daripada istilah mereka itu huruf aliyat yang lagi akan datang kenyataannya dua bait
syair karangan Syaikh Muhyi al-Din ibn al-Arabi, dan demikian lagi seperti kata tilmidh (atau murid)nya
dan khalifahnya Sadr al-Din [al-Qonyawi] Buni, wa raal-haqq mirah yura yang lagi akan datang
kenyataannya beberapa banyak.Maka apabila engkau ketahui akan perkataan segala ahli saufi dengan
isyarat jua, maka ta dapat tiada daripada kita ketahui akian isyaratnya.Maka sekaranglah hamba
nyatakan:
Ketahui olehmu bahawasanya adalah bagi Hak Subhanahu wa Taala itu beberapa martabat [pada sisi
pandangan rohaniah dalam kesedaran para 'arifin, bukan pada falsafah yang ditanggapi dengan lamunan
otak atau minda-ujem] pertama Ahadiah, maka (1B)
Ahadiah
Iaitu martabah la taayyun, iaitu kunhi zat [iaitu semata-mata Zat Allah ta'ala tiada lainnya], kedua
wahdah [di]namakan dia taayyun awwal yaitu ibarat daripada taluk IlmuNya akan ZatNya dan akan
sifatNya dan akan segala yang maujudat atas jalan ijmal, maka dinama akan dia Hakikah al-
Muhammadiyyah [bukan nabi Muhammad s.a.w. yang di Mekah dan Medinah secara zahir itu], ; ketiga
wahidiyyah dinama akan dia taayyun thani, yaitu ibarat daripada taaluk ilmuNya akan ZatNya dan
segala SifatNya dan segala maujudat atas jalan tafsil [terperinci satu demi satu, tetapi masih dalam Ilmu
Allah yang Kadim dan azali], dan dinamakan dia hakikat insaniah [tidak bersangkut dengan manusia itu
lagi, sebab ini beluam ada apa-apa].Maka ketiga[-tiga] martabat ini [martabat Ahadiah, Wahdah dan
Wahidiyyah] itu kadim lagi dinamakan martabat keTuhanan.
Katanya:
Dan adalah [ia, yang dikatakan martabat keTuhanan, belum ada apa-apa yang lain itu] diu[m]pamakan
ilman martabat Ahadiyah seperti kertas yang lapang, yang tiada di dalamnya suatu kaid jua [tak ada
kaitan dengan apa-apa], demikian rupanya O .Sebab inilah dinamakan martabat itlak yakni lepas
daripada ada sesuatu dan la taayyun.[Dikatakan demikian] dengan sebab tiada ada nyata sesuatu
juapun .
Wahdah
Katanya:
Dan mithal pula akan martabat wahdah itu u[m]pama noktah di dalam dairah [atau bulatan] yakni titik
yang satu demikian rupanya . , maka noktah itu asal bagi segala huruf, yakni menerima lagi
mengandung segala huruf yang hendak disuratkan, tetapi ijmal di dalamnya yakni berhimpun di
dalamnya tiada ada kenyataan huruf,
Wahidiyyah
Dan mithal pula akan martabat wahidiyyah itu u[m]pama alif asatu huruf yang lain yang nyata dalam
dairah [atau bulatan] demikian rupanya O [maka dibuat rajah bulatan ditengah-tengahnya ada alif], maka
alif itu kesempurnaan noktah yang ijmal lagi taayyun yang nyata sekira-kira tiada menerima paling lagi,
sebab itulah dinamakan ta;ayyun thani, kerana noktah itu taayyun awal, dan alif itu taayyun thani ,
demikianlah mithal bila tashbih, walillahil-mathalul-ala [ayat Qur'an surah al-Nahl ayat 60].
Katanya;
Dan demikian lagi [di]mithalkan pula oleh setengah ulama akan ketiga martabat itu supaya
me[ng]hampirkan [kepada] faham kita , maka martabat ahadiyah itu seu[m]pama zihin [atau fikiran atau
minda] kita tatkala sunyi ia daripada mustakalkan sesuatu yakni merupakan suatu [dalam fikiran itu
minda itu], maka dikatakan la taayyun.Maka apabila memulai engkau pada mustakal kan sesuatu maka
dinamakan tayyun awal dan apabila [di]lanjutkan (folio 2A)
taakul itu, lagi berkekalan pula ia dinamakan taayyun thani ; maka adalah dua martabat ini [dalam
syuhud orang yang 'arif dalam pandangannya yang tinggi itu] yaitu wahdah dan wahidiyyah ibarat
daripada dairah [atau lingkungan] ilmunya yang kadim; maka dari kerana inilah [maka] dinamakan dia
ayan thabitah ['ain-'ain yang tetap dalam ilmu Allah yang kadim dan azali belum tercipta lagi]; maka
ertinya ayan thabitah itu barang yang sabit di dalam taaluk malum ilmuNya Allah taala pada azalnya,
tiada ada di sana itu melainkan ZatNya [semata-mata] dan segala SifatNya yang kadim jua.
Ayan Thabitah
Tentang ayan thabitah itu katanya:
Maka ayan thabitah itu [ialah] barang yang tiada mencium bau wujud, yakni belum lagi keluar daripada
kalimah kun, maka apabila dikehendaki akan wujudnya, maka dikhitabkan kepada ayan thabitah
dengan [seolah-olahnya-uem] dijadikan kuat pendengaran daripadanya dan dilafaz kun maka jadilah
seumpama yang ayan thabitah itu dengan Kodrat Allah subahanahu wa taala , maka dinamakan dia
kemudian daripada wujud khitab itu ayan kharijiyyah; maka adalah ia muhdath [baharu], yang baharu,
kerana athar [atau bekas, kesan] Kodrat yang kadim.Maka jangan engkau sangkakan ayan kharijiyyah
yaitu daripada ayan thabitah, kerana ayan thabitah itu tiada mencium bau wujud sekali-kali lagi kadim,
betapa ia menerima keluar , maka betapa jadi hadath [atau hadith, baharu], , maka hanyasanya yang
ayan kharijiyyah itu bayan bagi ayan thabitah.
Dan adapun ayan thabitah itu kain,[ada], yakni tetap ada iaitu, sabit, berkekalan seperti adaNya jua,
kerana malim ilmuNya itu tiada bercerai daripada ZatNya, seperti tiada bercerai segala sifatNya yang
kadim.Demikian difahamkan perkataan ini.
Ayan Kharijiyyah
Tentang ayan kharijiyyah, katanya:
Dan adalah ayan kharijiyyah itu martabat ubudiyyah, yakni kehambaan, dan adalah martabat taayyun
awwal dan taayyun thani makam anbia dan aktab [para wali kutub], yang dapat mawarinya (?) daripada
mereka itu daripada kadarNya dan pada dapat ia pandangkan wahdah di dalam kathrah [pandang yang
satu dalam yang banyak dalam pendangan kerohanian] ialah makam [atau darjah kerohanian] orang
yang taraqqi [orang yang mendaki] yakni memandang Allah taala di dalamk tiap-tiap sesuatu [bukannya
secara erti hulul, seperti Tuhan 'meresap' ke dalam sesuatu, sebab Tuhan bukan benda], seperti kata
ahliLlah, ma raaitu shaian illla wa raaituLlaha fihi: ertinya tiada aku pandangkan sesuatu merlainkan
ku pandang Allah padanya.Maka tiada menegahkan banyaknya itu [iaitu banyaknya dan pelbagainya
makhluk itu] akan memandang keesaan Allah tala (folio 2B)
Dan dapat pula memandangkan kathrah di dalam wahdah, yaitu makam orang yang tanazzul, yaitu
memandang yang banyak yang ia segala [yang] baharu ini di dalam wahdah , yakni Tuhan yang
esa.Maka tiadalah menegahkan bagi segala yang arif yang kamil mukammil [yang sempurna segi rohani
dirinya dan boleh menyempurnakan orang] itu daripada menilik keduanya kerana kathrah itu tidak dapat
tiada daripada wahdahnya, kerana tiada dapat istiqlal [yakni menjadi merdeka tersendiri] sendirinya
sekali-kali, kerana keadaan wahdah itu mempunmyai sifat dan asma dan afal yang memnyabitkan athar
Kodrat dan Iradah yang menyabitkan kathrah yaitu wujud segala alam.
Selepas itu, katanya tentang kata-kata ibn Arabi:
Maka apabila engkau faham daripada perkataan ini, engkau ketahui pula akan kata-kata Imam al-Arifin
Saidi Muhyil-Din ibn al-Arabi di dalam kitab Manazil al-Insaniyyah,demikian bunyinya: [dalam] syair:
kunna hurufan aliyat (tak terang) ertinya: Telah adalah kita sekelian beberapa huruf yang amat
tinggi [sebagai ilmu Tuhan yang kadim dan azali sebelum dicipta olehNya ala mini], belum lagi dijadikan
akan kita dengan firmanNya kun, dan adalah kita mutaallaq [bergantung bersambung-sambung antara
satu dengan lain tidak bercerai-cerai] dengan segala kita, yakni adalah segala makhluk itu adalah ia di
dalam inkishaf Ilmu Tuhan kita [yakni kita berada dalam nyata Ilmu Tuhan kita], masing-masing, dan
bercerai-cerai mahiyyahnya, dan itu adalah dalam kepala-kepala segala bukit, yakni kemuncak aku-
engkau di dalamnya, dan kami dan engkau, dan engkau dan ia, dan sekelian pada huwa itu Ia jua.
Lepas itu katanya;
Maka tanyai olehmu orang yang wasil [yang mencapai ma'rifat dan mengenal Tuhan sebenarnya], yakni
orang yang sampai, maka dikehendaki oleh syaikh dengan katanya: Telah adalah kita sekelian beberapa
huruf yang amat tinggi belum lagi dijadikan akan kita ini, yakni telah adalah kita pada azal beberapa
haqaiq ghaibiyyah [hakikat-hakikat yang ghaib] yang thabit sekelian kita di dalam ilmu hak taala belum
lagi kita dijadikan kerana adalah bagi tiap-tiap yang maujud (folio 3A)
Itu ada dengan mahiyyah kejadiannya, dan adapun halnya dan martabatnya dan hukumnya dan adalah
sekelian itu lagi di dalam malum ilmu [Tuhan] yang kadim, dan dikehendaki dengan katanya dan adalah
yang demikian itu di dalam kepala-kepala segala bukit, yakni di dalam taayyun awal, yang dinamakan
dia martabat wahdah yang ijmal yang terdahulu sebutnya,
Katanya lagi:
Dan yang dikehendaki dengan katanya aku engkau di dalamnya dan kami engkau dan engkau ia itu,
yakni daripada pihak ijmalnya belum lagi tafsil, tiada berbeza setengah daripada setenganya.Martabat itu
tetapi aku itu aku jua dan engkau itu engkau jua dan ia ia jua, misalkan yang demikian itu dengan tiada
tashbih, seperti air digugurkan ke dalam laut, maka tatkala itu adalah kita dapat membezakan dia
daripada air laut maka kita kata air itu laut, dan laut itu air, tetapi yang laut itu laut juga dan air itu air jua,
tiada dapat bertukar kerana adalah segala hakikat itu tiada dapat bertukar-tukar
Katanya lagi:
Dan taktkala nyatalah kita ingat akan air yang setitik itu sebab hairan kita daripada memandang laut
maka tatkala itu dapat kita kata sekelian itu laut [dan janganlah pula terfikir dengan misalan ini bahawa
Allah itu bersambung zatNya dengan zat kita, Allah adalah Allah, Tuhan kita, kita adalah makhluk
ciptaanNya].
Katanya;
Dan dikehendaki dengan katanya: dan sekeliannya pada huwa itu ia jua yakni adalah sekelian pada
martabat ahadiah daripada pihak tamsi [yakni terhapus dalam penyaksian batin serwaktu dalam
pengelaman rohani yang berkenaan] yakni hapus di dalamnya ia jua, kerana nyata tiada menerima di
sana lain daripada nama huwa dan ia nama hadrat la shay maahu [tiada sesuatu denganNya, merujuk
kepada hadith yang bermaksud, telah adalah Allah walhal tiada ada sesuatu berserta denganNya], dan
segala hadrat yang dibawahNya [di bawah dari segi darjat hakikinya, 'ontologinya'] di namakan hadrat wa
huwa maakum ainama kuntum [Ia bersama dengan kamu di mana kamu berada], dan dikehendaki
dengan katanya maka tanya olehmu akan orang yang wasil.


Nama dan Bentuk Roh
Di sini kita akan membincangkan tentang ruhul amri (hati) yakni perbahasan secara diurai dan terperinci tentang
perjalanan ruhul tamyiz atau ruhul amri atau qalbun (hati). Yaitu roh yang membedakan antara manusia, jin dan
malaikat dengan haiwan.
Setelah dikaji dalam kitab-kitab Islam, didapati ada bermacam-macam nama atau istilah roh yang diberi oleh ulama.
Bahkan dalam Al Quran kalau kita lihat ada bermacam-macam nama. Antara yang terkenal ialah roh. Adakalanya ia
dipanggil dengan qalbun hati, fuaadun hati sanubari, latifatur-rabbaniah atau ruhul amri). Pada orang Melayu ia
juga dipanggil hati, nyawa, hati nurani atau hati sanubari. Tetapi yang terkenalnya adalah roh saja.
Roh yang sedang kita perkatakan ini, kalau dia berperasaan seperti sedih, gembira, senang, terhibur, marah atau
sebagainya, maka ia dipanggil dengan roh atau hati atau nyawa. Tetapi waktu ia berkehendak, berkemauan atau
merangsang baik sesuatu yang berkehendak itu positif atau negatif, baik atau buruk, yang dibenarkan atau tidak,
yang halal ataupun yang haram, di waktu itu ia tidak dipanggil roh, hati atau nyawa lagi. Tetapi ia dipanggil nafsu.
Kalau di waktu ia berfikir, mengkaji, menilai, memerhati dan menyelidik, maka ia dipanggil akal.
Kalau begitu uraiannya, maka nafsu, roh atau akal ini hakikatnya adalah satu. Ia dipanggil akal di waktu ia berfikir,
mengkaji, menilai, memerhati dan menyelidik. Walhal bila berperasaan, ia tidak dipanggil akal lagi, sebaliknya ia
dipanggil roh atau hati atau nyawa. Tetapi waktu ia berkehendak, berkemahuan atau merangsang baik sesuatu yang
berkehendak itu positif atau negatif, baik atau buruk, yang dibenarkan atau tidak, yang halal ataupun yang haram, di
waktu itu ia dipanggil nafsu.
Kalau begitu walaupun ia mempunyai tiga nama atau tiga istilah tetapi hakikatnya adalah satu. Benda yang sama
juga. Cuma peranannya saja yang tidak sama. Peranan yang tidak sama itulah yang menjadikan namanya tidak
sama atau namanya berlainan.
Untuk mudah difahami begini kiasannya: manusia bila dia berbohong dinamakan pembohong. Bila dia menipu
dinamakan penipu. Tetapi bila dia mencuri dinamakan pencuri. Bila dia memimpin dipanggil pemimpin. Dinamakan
pembohong, penipu, pencuri dan pemimpin, hakikatnya adalah orang yang sama. Cuma namanya berbeda bila
peranannya bertukar. Kenapa fisik yang sama dapat timbul istilah yang berlainan? Ini karena peranannya tidak sama.
Apakah bila namanya berlainan, orangnya berlainan? Tidak! Orang yang sama juga.
Perlu diingat, bila kita membicarakan tentang roh ini, bukannya pula kita hendak mengkaji hakikat roh atau mengkaji
ain ataupun mengkaji hakikat zat roh itu. karena zat atau hakikat roh itu tidak akan dapat dilihat oleh mata kepala.
karena ia adalahjismullatif), yakni benda halus yang bersifat maknawiah atau abstrak. Iaitu tidak dapat dilihat oleh
mata kepala tetapi terasa akan adanya. Inilah yang dimaksudkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
Maksudnya: Mereka bertanya kepada engkau wahai Muhammad tentang roh. Hendaklah engkau katakan kepada
mereka, Roh itu adalah urusan daripada Tuhanku (Al Israk: 85)
Dari ayat ini dapatlah kita faham bahawa hakikat roh itu tidak akan dapat dijangkau oleh mata kepala. Zat roh itu
tidak akan dapat difikirkan oleh akal. Kita tidak tahu bagaimana rupanya. Sebab tidak dapat dilihat oleh mata kepala.
Tetapi terasa oleh hati akan adanya. Maka oleh yang demikian, hakikat roh itu tidak dapat difikirkan oleh akal
bagaimana rupanya, bagaimana bentuknya, berapa tebal atau panjangnya. Ia tidak dapat dibayangkan. Hanya Allah
yang tahu dan tidak ada makhluk yang tahu.
Walaupun Allah berkata hakikat roh atau zat roh tidak dapat diketahui dan tidak dapat dijangkau oleh akal dan mata
kepala, namun ada juga ulama-ulama yang berijtihad tentangnya. Antaranya ialah Imam Malik. Beliau pernah
berkata: Roh manusia itu sama saja bentuknya dengan jasad lahirnya.
Kalau diambil ijtihad Imam Malik itu, artinya rupa roh kita ialah seperti rupa bentuk badan lahir kita. Ini juga memberi
arti bahawa walaupun Allah berkata roh itu adalah urusan-Nya, iaitu hakikat roh itu Allah saja yang tahu dan makhluk
lain tidak mengetahuinya, tetapi tidak pula ada larangan dari Allah kalau ada sesiapa yang ingin berijtihad untuk
mengkajinya.
Bagi sesetengah orang, mungkin Allah beri ilmu yang mendalam tentang hal ini sehingga dia dapat menjangkaunya.
Oleh itu maksud ayat Al Quran yang menyatakan roh itu adalah urusan Tuhanku, Allah bermaksud kebanyakan
manusia tidak dapat mengetahuinya tetapi tidak pula menolak kalau ada orang-orang yang tertentu secara khusus
yang Allah beri ilmu tentang hakikat roh ini sehingga dapat menghuraikannya.
Mengikut pendapat saya boleh jadi juga Imam Malik memperkatakan hakikat roh ini bukan berdasarkan ijtihadnya
saja tetapi juga berdasarkan kasyaf. Kalau berdasarkanijtihad tidak mungkin akal beliau dapat menjangkaunya
karena roh itu jismullatif (tubuh halus). Ia adalah hati nurani yang bersifat maknawiah. Diibaratkan seperti cahaya.
Bahkan cahaya, dapat juga dilihat tetapi cahaya yang ini tidak dapat dilihat atau ia jenis cahaya yang tersembunyi.
Bagaimana pula hendak diijtihadkan? Ijtihad itu dibuat pada benda-benda yang berketul atau benda yang dapat
dilihat. Benda-benda yang dapat diraba dan dirasa. Tetapi roh, benda yang tidak dapat diraba, tidak dapat dirasa dan
tidak dapat dilihat oleh mata kepala. Jadi bagaimana hendak diijtihadkan. Begitulah pandangan saya. Wallahu alam.
Oleh itu atas dasar apakah roh seseorang itu seperti rupa bentuk lahirnya sebagaimana pendapat Imam Malik itu?
Saya berpendapat Allah beri dia (Imam Malik) kasyaf. Allah perlihatkan roh itu. Roh yang jismullatif itu dibentukkan,
dilihatkan macam rupa diri seseorang itu. Kalau begitu apa yang dimaksudkan oleh Al Quran bahawa tidak ada orang
yang mengetahui hakikat roh itu melainkan Allah saja, itu adalah untuk orang awam. Manakala bagi orang yang
khusus macam Imam Malik mungkin Allah beritahu padanya sebagai karamahnya.
Pendapat Imam Malik ini agak munasabah (masuk akal), boleh diterima dan agak rasional. Contohnya kita bermimpi
melihat seseorang yang kita tidak pernah jumpa atau dengan orang yang pernah kita jumpa sama ada yang masih
hidup mahupun sudah mati. Apa yang kita lihat dalam mimpi itu serupa dengan bentuk lahir orang itu. Sedangkan
orang yang kita lihat dalam mimpi itu rohnya bukan orangnya. Mungkin waktu itu orang tersebut berada di rumah
atau telah berada di alam Barzakh.
Jadi di waktu itu dia adalah roh. Roh bertemu dengan roh. Tetapi mengapa dalam mimpi kita roh orang itu serupa
dengan dirinya? Sedangkan bukan berjumpa jasadnya tetapi rohnya. Ini membuktikan roh orang itu macam jasadnya
juga. Jadi benarlah apa yang diijtihadkan oleh Imam Malik itu.
Begitu juga orang yang diyakazahkan melihat secara jaga orang yang sudah meninggal dunia. Contohnya melihat
Rasulullah, melihat para ulama zaman dahulu atau siapa saja yang dia kenal. Dia melihat Rasulullah betul-betul
macam Rasulullah. Atau dia melihat gurunya benar-benar macam gurunya, melihat ibu dan ayahnya serupa macam
ibu dan ayahnya, tidak ada cacatnya. Sedangkan mereka sudah mati. Waktu itu yang dilihat adalah rohnya. Ini juga
membuktikan benarnya pendapat Imam Malik yang mana roh seseorang itu serupa dengan diri lahirnya.
Contoh lain, Rasulullah SAW sewaktu diisrak dan dimikrajkan telah ditemukan dengan roh para rasul dan para nabi.
Rasulullah SAW lihat mereka seperti melihat jasad-jasad mereka. Ini juga merupakan bukti yang rasional bahawa roh
seseorang itu sama rupanya dengan bentuk jasadnya.
Boleh jadi juga ayat Al Quran di atas itu bermaksud bahawa ayat itu khusus ditujukan kepada orang-orang kafir.
Yakni mereka ini memang tidak memahami tentang perjalanan roh dan fungsinya. Allah SWT memberitahu kepada
kekasih-Nya, Rasulullah SAW bawa mereka tidak akan faham tentang hal ini. Kekufuran mereka itulah yang
menghijabnya (menutup) sepertimana uraian saya yang panjang lebar tentang hal ini di dalam Bab Mata
Hati. Karena itulah menjadi penyebab mereka langsung tidak memahaminya.
Allah SWT tidak meminta Rasulullah SAW bersusah payah untuk pergi memahamkan orang-orang kafir itu tentang
hal roh ini. Lantaran itulah dikatakan roh itu urusan Allah. Ini bukan pula bermaksud umat Islam pun turut juga
dilarang mengkaji tentang roh. Bahkan umat Islam mesti memahaminya sungguh-sungguh tentang perjalanan roh ini.
Kalau tidak bagaimana pula hendak memperbaiki diri? Atau bagaimana hendak mengekalkan watak-watak
kemanusiaannya dan bukan watak kebinatangannya.
Untuk ini kita wajib memahaminya serta menghayati watak- watak kemanusiaan itu. Hati manusia berbeda dengan
hati hewan. karena hati manusia dapat menerima perintah suruh dan perintah larangan. karena itulah ia
disebut ruhul amri. Manakala hati hewan tidak bersifat demikian, maka ia disebut ruhul hayah.

You might also like