You are on page 1of 4

9/15/13

Blue Print Pengelolaan Energi Nasional

Where Will You Stay? * #4 Rika Melati

Titlis, Swiss: 4 Negara Eropa Hanya dengan USD 95 Girivirya

Kom pasiana

Kom pas.com

Cetak

ePaper

Kom pas TV

Bola

Entertainm ent

Tekno

Otom otif

Fem ale

Health

Properti

Urbanesia

Im ages

More

Berita

Politik

Humaniora

Ekonomi

Hiburan

Olahraga

Lifestyle

Wisata

Kesehatan

Tekno

Media

Muda

Green

Jakarta

Fiksiana

Freez

Home

Green

Iklim

Artikel

REGISTRASI | MASUK

Iklim Abdul Ghopur


Jadikan Tem an | Kirim Pesan

Nasionalis-Majemuk (suka bergaul dengan banyak orang dr kalangan apapun kecuali Koruptor & Penindas Rakyat Kecil..)

Blue Print Pengelolaan Energi Nasional


OPINI | 14 January 2013 | 13:08 Dibaca: 284 Komentar: 0 0

Oleh: Abdul Ghopur Indonesia merupakan negeri yang kaya akan sumber daya alam (energi) yang melimpah dan beraneka ragam jenisnya, baik yang terkandung di dalam laut maupun perut bumi Indonesia. Mulai dari minyak, gas, batu bara, panas bumi (geothermal), sampai nuklir, kita punya. Belum lagi energi terbarukan lainnya seperti angin, air, matahari, biofuel, dan biogas. Semuanya tersebar merata di hampir seluruh wilayah Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Tak sejengkalpun tanah di bumi nusantara ini yang tidak mengandung karunia tuhan. Semuanya dapat menghasilkan sesuatu bagi kebutuhan dan perkembangan kehidupan manusia Indonesia, bahkan bagi kebutuhan umat di dunia! Melimpahnya kekayaan alam Indonesia jika dikelola secara baik dan penuh tanggung jawab semestinya tidak membuat penduduk negeri ini menjadi miskin. Namun sayang, kekayaan alam tersebut tidak dikelola dengan bijak, berkeadilan dan terpadu. Tak pelak kekayaan alam ini pun malah menjadi kutukan sumber daya alam (Resources Curse) dan tidak bisa dinikmati secara murah/gratis oleh rakyatnya yang sebagian besar miskin. Tengok saja faktanya bahwa tidak semua masyarakat bisa mengakses secara mudah terhadap sumber-sumber energi. Munculnya kelangkaan serta tiadanya jaminan ketersediaan pasokan minyak dan gas (Migas) di negeri sendiri, merupakan kenyataan paradoks dari sebuah negeri yang kaya sumber energi. Hal ini disebabkan kebijakan energi nasional dikelola tanpa arah, antara satu sektor kebijakan dengan sektor lainnya seolah tidak terkait satu sama lain. Begitu juga belum adanya payung hukum (undang-undang induk energi) yang bisa mengatur kebijakan pengelolaan energi nasional secara komprehensif. Di tengah kelangkaan energi di dalam negeri, pemerintah dan pengusaha justru
green.kompasiana.com/iklim/2013/01/14/blue-print-pengelolaan-energi-nasional-525181.html 1/4

FEATURED ARTICLE

9/15/13

Blue Print Pengelolaan Energi Nasional


Kelangkaan Kedelai, Sebuah Ironi di Negara
Ilyani Sudardjat

mengeksplorasi sumber-sumber energi dan mengeksploitasinya secara membabibuta demi memenuhi kepentingan pihak-pihak asing. Alasannya sederhana, harga komoditas tersebut sedang melejit di pasar global. Padahal kita tahu banyak rakyat miskin di negeri ini yang sangat membutuhkan minyak, gas, dan listrik untuk sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti memasak dan penerangan. Tata-kelola energi nasional yang demikian ini mencerminkan ketidak-berpihakan pemerintah terhadap rakyatnya sendiri. Krisis energi yang selama ini digembar-gemborkan sesungguhnya bukan karena persediaan energi yang tidak cukup. Ataupun cadangan persediaan energi yang tinggal sedikit. Melainkan karena pengelolaan energi nasional yang kurang baik dan terpadu. Padahal, di Asia bagian tenggara, Indonesia dikaruniai sumber daya alam melimpah. Menurut data Kementerian ESDM 2011, Sumber daya minyak dan gas yang diperkirakan mencapai 87,22 milliar barel dan 594,43 TSCF tersebar di Indonesia, menjadikan Indonesia tujuan Investasi yang menarik pada sektor minyak dan gas bumi. Dinamika Industri Minyak dan Gas Bumi yang sudah berlangsung sejak lama, menjadikan Indonesia lebih matang dalam mengembangkan kontrak dan kebijakan yang ada untuk mendukung investasi. Dukungan peraturan, insentif dan penghormatan terhadap kontrak yang ada adalah usaha pemerintah Indonesia untuk menjamin keberlangsungan Investasi di Indonesia. Peluang investasi pengembangan industri migas di Indonesia, baik di bidang hulu maupun hilir di masa mendatang masih sangat menjanjikan. Secara geologi, Indonesia masih mempunyai potensi ketersediaan hidrokarbon yang cukup besar. Rencana pemerintah dalam mempertahankan produksi minyak bumi pada tingkat 1 juta barel per hari, tentu akan memberikan peluang investasi yang besar di sektor hulu migas. Masih menurut data Kementerian ESDM, Potensi sumber daya migas nasional saat ini masih cukup besar, terakumulasi dalam 60 cekungan sedimen (basin) yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Dari 60 cekungan tersebut, 38 cekungan sudah dilakukan kegiatan eksplorasi dan sisanya sama sekali belum dilakukan eksplorasi. Dari cekungan yang telah dieksplorasi, 16 cekungan sudah memproduksi hidrokarbon, 9 cekungan belum diproduksi walaupun telah diketemukan kandungan hidrokarbon, sedangkan 15 cekungan sisanya belum diketemukan kandungan hidrokarbon. Kondisi di atas menunjukkan bahwa peluang kegiatan eksplorasi di Indonesia masih terbuka lebar, terutama dari 22 cekungan yang belum pernah dilakukan kegiatan eksplorasi dan sebagian besar berlokasi di laut dalam (deep sea) terutama di Indonesia bagian Timur. Pertanyaan kemudian kenapa pemerintah Indonesia mengatakan negeri yang kayamelimpah SDA ini krisis energi? Bahkan pidato Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono 2008 mengatakan Indonesia bukan lagi net exporter melainkan net importir Migas. Hal ini antara lain disebabkan tingginya ketimpangan antara produksi dan konsumsi energi nasional. Berdasarkan laporan Kementrian ESDM tahun 2009 misalkan, rata-rata produksi minyak bumi dan kondensat sebesar 963.269 barel per hari (bph). Sedangkan laporan BP Migas, produksi minyak secara nasional pada tahun 2010 hanya naik pada kisaran 965.000 bph. Artinya terdapat angka kenaikan hanya 1.731 bph. Sementara kebutuhan konsumsi energi nasional sekitar 1.400.000 bph. Artinya terdapat selisih cukup tajam antara tingkat produksi yang ideal dengan kebutuhan. Selain itu, pesatnya pembangunan di bidang teknologi, industri, dan informasi memicu peningkatan kebutuhan masyarakat akan energi. Sedangkan Produksi minyak mentah dan kondensat PT Pertamina (Persero) diperkirakan hanya mencapai rata-rata 195.000 barel perhari selama 2011. Berarti di bawah target rencana kerja yang ditetapkan 208.000 barel perhari. Ketimpangan antara tingkat produksi dan konsumsi energi tersebut mengakibatkan krisis energi skala nasional. Salah satunya adalah Krisis Listrik. Kenaikan Tarif Dasar Listrik beberapa saat lalu yang tidak diimbangi dengan kualitas pelayanan publik,
green.kompasiana.com/iklim/2013/01/14/blue-print-pengelolaan-energi-nasional-525181.html

TRENDING ARTICLES
Bagaimana Jika Seandainya Jokowi Tiba-tiba
Palti Hutabarat| 3 jam yang lalu

Hilangnya Etika Menteri Dalam Tarian


Rooy Salam ony| 6 jam yang lalu

Peluang Timnas Setelah Kalah dari Vietnam


Mustafa Kam al| 11 jam yang lalu

Giliran Para Profesor Mengkritisi Presiden


Opa Jappy| 16 jam yang lalu

Harry Tanoe Masih Ngotot Lewat Koran Sindo


Gapey Sandy| 18 jam yang lalu

INFO & PENGUMUMAN

KONTAK KOMPASIANA INDEX

Yuk, Berbagi Cerita Titik Balik di Yuk, Nobar Film Kahaani! FREEZ #112: Berbagi Manfaat Donor Darah

TERAKTUAL INSPIRATIF Kawan, Jadilah Orang Pertama yang Menghargai Tulisan Anda Ruginya Jadi Akun Palsu Menjadi Wanita Intelek Malah Susah Laku, Gimana Nih Mbak? Dari Seorang Guru Sakit-sakitan Menjadi Kepala Sekolah Jokowi dan Mobil Murah Apa Kata Ibunda adalah Kunci Sukses Dalam Hidup Inspirasi Vicky Prasetyo Jokowi: Seandainya Mobil Murah itu Mobil ESEMKA Dari Penggembala Kerbau, Hingga Jadi Penggembala Tunas Fatin Menangis BERMANFAAT MENARIK Subscribe and Follow Kompasiana:

2/4

9/15/13

Blue Print Pengelolaan Energi Nasional

secara tidak langsung menyebabkan merosotnya pertumbuhan perekonomian nasional secara makro (di bawah 6% yang ditarget Pemerintah). PLN selaku operator listrik selalu beralasan bahwa, padamnya listrik diakibatkan tersendatnya pasokan bahan bakar ke pembangkit listrik PLN. Terhambat karena gangguan cuaca, karena stok bahan bakar habis, konsumsi listrik pelanggan begitu tinggi hingga melampau kapasitas cadangan PLN, dan lain-lain. Atas alasan ketimpangan tingkat produksi dan konsumsi energi tersebut, pemerintah melakukan pembenaran mengimpor bahan/sumber energi dari luar negeri. Padahal, sekali lagi, Indonesia negeri yang kaya akan SDA? Kebijakan impor ini diambil pemerintah berdasarkan pada BAB II, pasal 3, poin (b) Terjaminnya ketersediaan energi dalam negeri, baik dari sumber di dalam negeri maupun di luar negeri UU No. 30 Th. 2007 tentang Energi. Padahal, dengan adanya peluang impor bahan baku energi, maka aka ada disparitas harga energi (Migas). Jika ada disparitas harga energi maka akan selalu ada peluang penyelewengan (spekulan Migas). Kebijakan impor sumber energi (BBM) oleh pemerintah sesungguhnya mengindikasikan UU No. 30 Th. 2007 tidak mengarah pada pemanfaatan energi nasional secara maksimal. UU tersebut juga mengindikasikan tidak mengakomodir segala persoalan energi nasional kini dan akan datang. bisa

Pada sisi lain, kurangnya pemahaman masyarakat tentang kondisi energi saat ini, sehingga tidak adanya kesadaran untuk memulai budaya berhemat dan mulai menggunakan alternatif energi lainnya. Di sisi lain, program efisiensi energi yang dicanangkan pemerintah (SBY) baru sekedar wacana (lip service) tanpa implementasi nyata. Hiruk pikuk kondisi energi nasional di atas minyiratkan banyak pertanyaan mendasar yang mesti di jawab pemerintah. Pertama, benarkan Indonesia krisis energi? Jika benar, krisis energi salah siapa? Kedua, apakah pemerintah punya strategi terpadu pengelolaan energi nasional? Ketiga, dan paling penting, sejauh mana komitmen pemerintah terhadap pengembangan dan pengelolaan energi alternatif dan terbarukan? Jika jawabannya adalah kenaikan harga Migas dan Listrik seperti yang suda sering dilakukan sebagai langkah terpadu pengelolaan energi nasional, berarti pemerintah tidak serius dalam menangani krisis energi. Atas semua persoalan di atas, mendesak untuk dilakukannya advokasi kebijakan energi nasional secara terbuka. Urutan dari kebijakan energi nasional terbuka tersebut adalah sebagai berikut; pertama, keterbukaan dalam pengelolaan energi nasional (termasuk kontrak karya, eksplorasi, eksploitasi, distribusi & pemanfaatannya). Kedua, adanya pemetaan penyebaran, pemanfaatan, kebutuhan dan target efisiensi energi di seluruh wilayah Indonesia. Ketiga, akses masyarakat terhadap energi. Keempat, kepastian penyediaan energi bagi masyarakat tidak mampu. Kelima, harga energi yang terbagi dalam pengelompokan. Keenam, riset komersialisasi dan pemanfaatan teknologi energi. Ketujuh, riset komersialisasi dan pemanfaatan teknologi sumber sumber energi terbarukan. Kedelapan, merumuskan blue-print Pengelolaan Energi Nasional (PEN) sebagai wujud Ketahanan Energi Nasional (KEN) yang berdampak nyata pada perekonomian nasional guna mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan, sesuai dengan visi-misi Dewan Energi Nasional (DEN). Akhir kata, sumbangsih pemikiran ini diharapkan dapat merubah paradigma berpikir pemerintah dalam menangani krisis energi nasional. Sebab, ada kecenderungan langkah yang diambil pemerintah berdasar pada pertimbangan nilai komersialisasinya. Bukan penanganan utuh dari inti masalah krisis energi. Jadi secara jelas pemerintah tidak serius dalam mengatasi krisis energi nasional. Dugaan ini muncul berdasar pada paparan diatas; Harga Listrik & Migas dinaikan, Industri ditekan serta Gedung pemerintah diminta berhemat, namun pertumbuhan otomotif, elektronik dan
3/4

green.kompasiana.com/iklim/2013/01/14/blue-print-pengelolaan-energi-nasional-525181.html

9/15/13

Blue Print Pengelolaan Energi Nasional

pembenahan manajemen transportasi massal serta tata kota dibiarkan begitu saja. Hulu dan hilir strategi efisiensi energi nasional bukan dua kutub yang tidak saling berhubungan, seharusnya dua kutub yang saling melengkapi. Jika salah satu berseberangan efeknya adalah benturan yang mengakibatkan kegagalan program. Apakah ini, hal yang disengaja oleh pemerintah? sekali lagi pemerintah sebaiknya memikirkan ulang langkahlangkah penanganan krisis energi saat ini yang tidak menyentuh akar masalah sebenarnya. Karut-marutnya pengelolaan energi nasional sesungguhnya mengindikasikan lemahnya Ketahanan Energi Nasional.[] Penulis adalah Intelektual Muda NU, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB) & Central Study 164 (Pemikir Masalah-masalah Kebangsaan dan Politik Kebijakan Pengelolaan Energi Nasional)
Tw eet 1 Recommend 0
Laporkan Tanggapi

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Siapa yang menilai tulisan ini?

Artikel ini belum ada yang menilai.


Sewa Compressor Semarang
Te rle ngk ap dan te rbaik Se dia Stam pe r, Ge nse t, Scaffolding www.Se jatite k nik .com

Biogas dari Sampah


Pe m bangk itan bahan bak ar Gas Me than U Ene rgi panas dan Pupuk Ke ncanaO nline .C om

KOMENTAR BERDASARKAN : TANGGAL

Tulis Tanggapan Anda

Submit

Cancel

About Kompasiana | Terms & Conditions | Tutorial | FAQ | Contact Us | Kompasiana Toolbar
2008-2011

green.kompasiana.com/iklim/2013/01/14/blue-print-pengelolaan-energi-nasional-525181.html

4/4

You might also like