You are on page 1of 4

C. Kerajaan-kerajaan Lima Luhak 1. Kerajaan Tambusai Kerajaan Tambusai dengan Raja pertamanya yang bernama Tengku M.

Silung yang bergelar Tengku Haji Ahmad, setelah beliau mangkat digantikan oleh Tengku Mohd. Judo dengan gelar yang dipertuan besar. Kerajaan Tambusai ini berakhir dengan Raja terahir yaitu Raja Haji Ilyas. Sewaktu perang paderi meletus di Minangkabau antara tahun 1821 hingga 1837, kaum Paderi dipimpin oleh Tuanku Imam bonjol melawan mengungsi penjajahan bersama Hindia rakyat Belanda. Kaum Paderi ini sempat menguasai Tambusai, Raja Tambusai Duli yang Dipertuan Besar pengikut-pengikutnya. Rombonganrombongan Raja berangkat melalui kampung mondang Kumango, Kubu Goti arah ke utara menempuh Baka Sikalung ke Daerah Simangabat terus ke hilir sampai ke Sungai Daun, hulu Batang Panai yang kemudian terus ke Rokan Hilir Daerah Kesultanan Siak Sri Indrapura. Duli yang dipertuan Besar mangkat, maka kebesaran keturunan raja (pemerintahan kerajaan) diserahkan kepada Maulana Sultan Abdul Wahit. Pada awalnya Sultan Siak Sri Indrapura memprotes prihal menetapan Raja dalam daerah kerajaannya, kemudian dijelaskan oleh pihak Kerajaan Tambusai bahwasannya mereka hanya sekedar menyerahkan keturunan kebesaran kerajaan Baja. Berangsur-angsur pihak Kerajaan Tambusai menduduki Sungai Rokan, berkampung di beberapa tempat dan menetap lebih lama di Sintung (Negeri Tinggi Tambusai) Maulana Sultan Abdul Wahit mempunyai tujuh orang putra, dengan lima perempuan dan dua orang laki-laki. Lima orang

perempuan itu adalah : 1. Siti Permaisuri 2. Siti Intan 3. Siti Mertju 4. Siti Mas 5. Siti Ensah Dua orang laki-laki, yaitu : 1. yang dipertuan M. Saleh 2. Maulana Sultan Jainal Abidin Beliau tetap memegang susunan kebesaran kerajaan, apalagi setelah mendengar kehancuran Paderi. Beberapa bulan kemudian Daludalu ditinggalkan Belanda. Kerajaan Tambusai kemudian pindah lagi dan menetap di suatu tempat dimana ditemukan sebuah peluru yang besar (born) yang lebih kurang beratnya 50 Kg, dengan ukuran garis tengahnya 30 cm. Karena mendapatkan peluru yang besar itu, maka tempat itu disebut dengan nama Padang Pendapatan. Peluru yang besar tersebut masih dapat dijumpai di Dalu-dalu sebagai bukti sejarah kerajaan Tambusai. Dari Padang Pendapatan, kemudian Kerajaan Tambusai pindah lagi menuju di Rantau Binuang Sakti dan menetap di sana. Maulana sultan Abdul Wahid mangkat, digantikan putranya Sultan Zainal Abidin. Beliau berpegang teguh kepada Trombo Siri yang menyatakan daerah kekuasaan Kerajaan Tambusai sampai ke Kuala Sungai Rokan Pulau Halang. Oleh karena itu raja dan kerapatan sepakat keinbali ke hilir serta menyusun beberapa perkampungan. Dengan sembilan suku dijadikan sembilan perkampungan, yaitu :

1. Kampung Boting dengan Suku Kandang Kopuh 2. Kampung Mada dengan Suku Seberang 3. Kampung Rantau Bais dengan Suku Ampu 4. Kampung Sidinginan dengan Suku Mais 5. Kampung Teluk Mego dengan Suku Melayu 6. Kampung Sintung dengan Suku Mandahiling 7. Kampung Sekeladi dengan Suku Kuti 8. Pagar Itik dengan Suku Bonur 9. Kampung Sikapas dengan Suku Pungkut Perkampungan-perkampungan ini sebagai bukti Kerajaan Tambusai yang sampai ke Daerah Kuala. Hal ini menyebabkan persengketaan perbatasan timbul, sebab Sultan Siak Sri Inderapura membenarkan Kerajaan Tambusai hanya sampai di Rantau Binunang Sakti. Belanda temyata campur tangan dengan membenarkan alasan-alasan Sultan Siak Sri Indrapura. Sultan Zainal Abidin jengkel dan merasa tidak senang sambil mengatakan "Sultan Siak anak sulung kompeni Belanda" Sultan Zainal Abidin dan pihak Kerajaan Tambusai mengadakan hubungan (delegasi) ke Perak/ Ipoh (Malaya) dalam rangka usaha mengembangkan Agama Islam dan memperkuat serta melengkapi alat-alat pertahanan kerajaan. Tidak hanya itu beliau juga menghubungi Sultan Turky di Istambul. Dengan beberapa orang angota TIM yang ikut delegasi ialah : 1. Tengku Tempeng yang bergelar T. H. Murad 2. H. A. Hamid 3. Mohd. Silung dengan gelar T. H. Ahmad, dan 4. H. A. Majid Dalam perjalanan inilah mereka berkesempatan untuk naik Haji ke Mekkah.

Tetapi bala bantuan yang diharapkan untuk menentang Belanda ditolak, sebab syarat-syarat kerajaan tidak cukup, seperti jumlah rakyat, luas wilayah kerajaan, lebih-lebih jarak dengan luar negeri dianggap terlalu jauh. Bantuan yang diberikan hanyalah pedoman untuk memajukan gerakan Islam saja. Ajaran Islam mulai berkembang dengan adanya pemuka agama Rantau Binuang Sakti, dikenal dengan nama Sech Abdul Halim dh muridnya yang bernama Sech Abdul Wahab (Guru Besar Besilam). Oleh Sultan Zainal Abidin, Sech Abdul Wahab dikawinkan dengan adiknya yang bernama Siti Permaisuri Beberapa tahun kemudian, bekas Kerajaan Tambusai yang

bertempat di Dalu-dalu sudah ditinggalkan Belanda. Hal inilah yang menyebabkan adanya pemikiran dan pihak Kerajaan Tambusai, bahwa Rantau Binua: Sakti tidak cocok lagi sebagai pusat Kerajaan. Sultan Zainal Abidin tidak bersedia pindah ke Dalu-dalu. Perbedaan pendapat ini menyebabkan penduduk Tambusai berpencar di tiga wilayah yakni penduduk Tambusai sebahagian besar lebih suka menetap di beberapa kampung sepanjang Sungai Rokan Hilir sampai Kerantau Bais, sebagian bersama Sultan Zainal Abidin Memasuki Sungai Batang Kumu ke hilir melalui Kampung Pucut dan menetap di Rantau Kasai sebelah utara Dalu dalu (Jaraknya lebih kurang 30 Km dari Daludalu), sebahagian penduduk Tambusai ikut dengan kemenakan Raja Tengku Haji Mohammad Sultan yang berkemauan keras kembali ke Dalu-dalu dan menempati ku tujuh lapis berpagarkan aur berduri (benteng tujuh lapis), warisan Tuan Tambusai.

You might also like