You are on page 1of 31

Manajemen perawatan kritis cedera otak traumatik (TBI) berat pada orang dewasa

Samir H Haddad1* and Yaseen M Arabi2 Abstrak Cedera otak traumatis (TBI) adalah merupakan masalah medis dan sosial-ekonomi yang berat, dan merupakan salah satu penyebab utama kematian pada golongan anak-anak dan dewasa muda. Manajemen perawatan kritis dari TBI berat sebagian besar berasal dari "Pedoman Pengelolaan Cedera Otak Traumatic berat (Guidelines for the Management of Severe Traumatic Brain Injury )" yang dipublikasikan oleh Brain Trauma Foundation. Tujuan utama pedoman ini adalah pencegahan dan pengobatan hipertensi intrakranial dan cedera otak sekunder, pelestarian tekanan perfusi serebral/cerebral perfusion pressure (CPP), dan mengoptimalisasi oksigenasi serebral. Dalam revisi ini, perawatan kritis manajemen TBI berat akan dibahas dengan fokus pada pemantauan, menghindari dan meminimalkan cedera sekunder pada otak, dan mengoptimalisasi oksigenasi otak dan mempertahankan CPP.

Kata kunci: Cedera otak Traumatik, cedera kepala, trauma kepala, perawatan kritis

Pendahuluan Cedera otak traumatis (TBI) berat, didefinisikan sebagai trauma kepala dengan Glasgow Coma Scale (GCS) dengan total skor 3 sampai 8 [1], TBI merupakan masalah utama dan menantang dalam bidang kedokteran divisi perawatan kritis. Selama dua puluh tahun terakhir, banyak penelitian dengan hasil luar biasa dalam menegakkan manajemen perawatan kritis dari TBI berat. Pada tahun 1996, Brain Trauma Foundation (BTF) pertama kali mempublikasi pedoman pengelolaan TBI berat [2] dan diterima oleh American Association of Neurological Surgeons dan didukung oleh World Health Organization in Neurotraumatology. Edisi kedua dengan revisi lanjutan dipublikasi pada tahun 2000 [3] dengan tambahan data pada tahun 2003, dan edisi ke-3 dipublikasikan pada tahun 2007 [4]. Beberapa penelitian telah dilakukan sebelumnya dan melaporkan dampak hasil dari penerapan protokol manajemen berbasis
1

pedoman untuk TBI berat pada perawatan pasien dengan TBI berat [5,6]. Studi-studi ini jelas menunjukkan bahwa pelaksanaan protokol untuk pengelolaan TBI berat, dengan melaksanakan penatalaksanaan sesuai rekomendasi dari pedoman, memberikan hasil jauh lebih baik pada kasus-kasus TBI berat seperti berkurangnya angka kematian, hasil skor fungsional, Durasi rawat inap di rumah sakit, dan penurunan biaya [7,8]. Namun, masih ada Variasi institusional yang cukup besar dan luas dalam perawatan pasien dengan TBI berat. Secara umum, TBI dibagi menjadi dua periode diskrit: cedera otak primer dan sekunder. Cedera otak primer adalah disebabkan adanya kerusakan fisik pada parenkim (jaringan, pembuluh) yang terjadi selama peristiwa traumatis, sehingga pergeseran dan kompresi jaringan terjadi pada jaringan otak di daerah trauma. Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses kompleks, akibat dari cedera otak primer pada jam-jam hingga hari-hari berikutnya setelah terjadi cedera otak primer. banyak sekali stressor sekunder, baik intrakranial dan ekstrakranial atau sistemik, dapat menyebabkan komplikasi terjadinya luka pada otak dan mengakibatkan cedera otak sekunder. Stressor sekunder otak intrakranial meliputi edema serebral, hematoma, hidrosefalus, hipertensi intrakranial, vasospasme, gangguan metabolisme, excitotoxicity, toksisitas ion kalsium, infeksi, dan kejang [9,10]. sekunder, stressor skunder otak sistemik secara umum bersifat iskemik di [9,11], seperti: Hipotensi (tekanan darah sistolik [SBP] <90mm Hg) Hipoksemia (PaO2 <60 mmHg; O2 Saturasi <90%) Hipokapnia (PaCO2 <35 mm Hg) Hiperkapnia (PaCO2> 45 mm Hg) Hipertensi (SBP> 160 mm Hg, atau tekanan arteri rata-rata [MAP]> 110 mm Hg) Anemia (Hemoglobin [Hb] <100 g / L, atau hematokrit [Ht] <0,30) Hiponatremia (natrium serum <142 mEq / L) Hiperglikemia (gula darah> 10 mmol / L) Hipoglikemia (gula darah <4,6 mmol / L) Hipo-osmolaritas (plasma osmolaritas [P Osm] <290 mOsm / Kg H2O) Gangguan asam-basa (acidemia: pH <7,35; alkalemia: pH> 7.45) Demam (suhu> 36,5 C) Hipotermia (suhu <35,5 C)

Oleh karena itu, terlihat jelas bahwa hanya sebagian dari kerusakan otak selama trauma kepala adalah akibat dari cedera otak primer, yang tidak dapat diperbaiki dan bersifat irreversible. Namun, cedera otak sekunder sering dapat diperbaiki dengan pencegahan dan penatalaksanaan yang baik dan bersifat reversible. Manajemen perawatan intensif pasien dengan TBI berat adalah sebuah proses dinamis, dimulai pada periode pra-rumah sakit, di tempat terjadinya kecelakaan itu sendiri. Selama tahap perawatan awal di rumah sakit, pasien dapat ditangani di berbagai lokasi di rumah sakit termasuk ruangan perawatan gawat darurat, departemen radiologi, dan ruang operasi sebelum mereka dirawat lanjutan di Intensive Care Unit (ICU). Perjalanan dari perawatan akut, selama "GOLDEN HOUR", dari saat cedera sehingga permulaan dari perawatan definitif, harus dilaksanakan dan didasarkan pada pedoman dan rekomendasi yang disebutkan sebelumnya. Revisis ini menguraikan prinsip-prinsip dasar manajemen perawatan kritis pasien dengan TBI berat selama mereka tinggal di ICU. Lihat Gambar 1 Manajemen Perawatan Kritis Dari TBI Berat Sebelum pasien dipindahkan ke ruang ICU, pasien dengan TBI berat biasanya diterima, diresusitasi dan distabilkan di perawatan gawat darurat atau ruang operasi. Setelah pasien dengan TBI berat telah dipindahkan ke ICU, penatalaksanaan pada pasien ini terdiri dari penyediaan perawatan umum kualitas tinggi dan berbagai strategi ditujukan untuk mempertahankan hemostasis dengan: Stabilisasi pasien, jika masih tidak stabil Pencegahan hipertensi intracranial mempertahankan tekanan perfusi serebral (CPP) yang memadai dan stabil Menghindari cedera otak sistemik, sekunder (SBI) Oksigenasi dan optimalisasi hemodinamik serebral

Evaluasi Evaluasi pasien dengan TBI berat sangat penting dan menjadi pedoman dan optimalisasi terapi. Alasannya evaluasi merupakan deteksi dini dan diagnosis stressor sekunder otak, baik sistemik dan intrakranial. Oleh karena itu, evaluasi pasien dengan TBI berat harus terdiri dari evualasi dari sisi neurologis umum dan khusus.
3

Evaluasi Umum Selama perawatan neurointensive pasien dengan TBI berat, parameter umum yang dievaluasi secara teratur termasuk elektrokardiografi (Evaluasi EKG), saturasi oksigen arteri (pulse OXYMETRY, SpO2), capnography (endtidal CO2, PetCO2), tekanan darah arteri (kateter arteri), tekanan vena sentral (CVP), suhu sistemik, urin, gas darah arteri, serum elektrolit dan osmolaritas. Evaluasi secara Invasif atau non-invasif output jantung mungkin diperlukan pada kasus gangguan hemodinamik pada pasien yang tidak merespon terhadap terapi cairan resusitasi dan pemberian vasopressor. Evaluasi Neurologik Evaluasi tekanan intrakranial Brain Trauma Foundation (BTF) merekomendasikan bahwa "tekanan intrakranial (TIK) harus dievaluasi pada semua pasien dengan prognosis baik TBI berat dengan computed tomography (CT) scan yang abnormal. Evaluasi TIK juga menjadi indikasi pada pasien dengan TBI berat dengan CT scan yang normal jika dua atau lebih dari fitur berikut ditemukan saat masuk: usia di atas 40 tahun, unilateral atau bilateral motorik, atau tekanan darah sistolik (BP) <90 mm Hg [4]. Berdasarkan prinsip-prinsip fisiologis, potensi manfaat evaluasi TIK meliputi deteksi dini besar lesi intrakranial, pedoman terapi dan menghindari penggunaan terapi tidak tepat untuk mempertahankan TIK, drainase cerebrospinal fluid (CSF) dengan pengurangan TIK dan peningkatan CPP, dan penentuan prognosis. Saat ini, metode yang tersedia untuk pemantauan TIK termasuk metode epidural, subdural, subarachnoid, parenkima, dan lokasi ventrikel. Secara historis, kateter TIK ventrikel telah digunakan sebagai metode evaluasi standar dan menjadi teknik pilihan bila memungkinkan. Metode ini adalah metode yang paling akurat, murah, dan dapat diandalkan pada evaluasi TIK [4]. Metode ini juga memungkinkan untuk pengukuran berterusan TIK dan terapi drainase CSF pada kasus hipertensi intrakranial untuk mengontrol peningkatan TIK. Evaluasi subarachnoid, subdural, dan epidural merupakan metode yang kurang akurat. Alat evaluasi TIK biasanya ditempatkan pada sisi kanan, karena sekitar 80% dari populasi manusia mempunyai hemisfera otak kanan sebagai hemisfera yang non-dominan, sisi kanan adalah daerah pilihan kecuali

adanya kontraindikasi. [12]. Namun, alat evaluasi TIK boleh ditempatkan di sisi yang terdpat gejala patologis maksimal atau pembengkakan [13]. Penggantian rutin kateter ventrikel atau penggunaan antibiotik profilaksis pada pemasangan kateter ventrikel tidak dianjurkan untuk mengurangi infeksi [4]. Namun, penggunaan alat evaluasi TIK biasanya berlangsung selama 1 minggu, dengan pemeriksaan CSF setiap hari untuk kadar glukosa, kadar protein, jumlah sel, pewarnaan Gram, serta kultur dan sensitivitas. pengobatan untuk hipertensi intrakranial harus dimulai dengan TIK pada batas di atas 20 mm Hg. Selain evaluasi TIK, evaluasi gejala klinis dan hasil CT scan harus dijadikan pedoman untuk menentukan kebutuhan untuk perawatan yang tepat[4]. Meskipun tidak ada uji coba, secara randomized controlled (RCT) yang telah dilakukan sebelumnya untuk menunjukkan bahawa evaluasi TIK meningkatkan keberhasilan perawatan atau mendukung penggunaannya sebagai pemeriksaan standar; evaluasi TIK telah menjadi bagian integral dalam pengelolaan pasien dengan TBI berat di sebagian besar pusat trauma dunia. Namun, ada juga bukti bertentangan tentang apakah evaluasi TIK meningkatkan keberhasilan perawatan. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa evaluasi TIK mengurangi tingkat kematian keseluruhan TBI berat [14-21]. Penelitian lain belum menunjukkan manfaat dari evaluasi TIK [22-24]. Selain itu, beberapa studi menunjukkan bahwa evaluasi TIK dikaitkan dengan memburuknya kadar mortalitas [25,26]. Potensi komplikasi dari evaluasi TIK termasuk infeksi, perdarahan, kerusakan, obstruksi, atau malposisi. Baru-baru ini, kami melaporkan bahwa pada pasien dengan TBI berat, evaluasi TIK tidak menjadi faktor yang bermain peran penting dengan berkurangnya kadar mortalitas di rumah sakit, namun evaluasi TIK menjadi antara faktor penting yang berperan menyebabkan terjadinya peningkatan yang signifikan pada durasi penggunaan ventilasi mekanis, peningkatan indikasi penggunaan tracheostomy, dan durasi perawatan ICU [27].

Evaluasi TIK

Gambar 1 * TIK pada kadar 20-25 mm Hg digunakan

Mempertahankan CPP> 60 mm Hg

sebagai batas indikasi pentalaksanaan

Ya

Hipertensi Intrakranial* Evalasi kepala pada tempat tidur dengan sudut 30o Oksigenasi yang memadai Normocapnia Memperdalam sedasi / analgesia kelumpuhan Normovolemia, atau hypervolemia sedang Mempertahankan suhu normal penatalaksanaan kejang

Tidak

- apn - Memperdalam sedasi / analgesia kelumpuhan ( - Normovolemia, hypervolemia moderat


Ya Hipertensi Intrakranial* Tidak Drainase CSF (jika memungkinkan)

- Suhu kontrol
Pertimbangkan CT-scan

akut (15-30 - Pengobatan Hiperventilasi kejang menit) untuk PaCO2 30-35mm Hg Ya Hipertensi Intrakranial* Tidak

ulangan

Menurunkan intensitas terapi penurunan TIK secara bertahap

Manitol (0,25-1,0 g / kg IV selama 15-20 menit) atau cairan Saline hipertonik(NaCl 7,5%: 2 mL / kgBB IV lebih dari 15 menit)

Dapat diulangi jika serum osmolaritas <320 mOsm / kg (mempertahankan Keadaan euvolemic pasien) Tidak

Ya

Hipertensi Intrakranial*

Ya

Terapi lini kedua yang lain

Koma Barbiturat (barbiturate dosis tinggi)

hiperventilasi dipertahankan pada PaCO2 <30 mm Hg (evaluasi SjO2, dan / atau PbtO2 direkomendasikan)

terapi lini kedua

Dalam database Cochrane, Revisi secara sistematis terbaru tidak menemukan RCT yang dapat memperjelas peran TIK pada evaluasi koma akut baik traumatik atau non-traumatik[26]. Namun demikian, ada bukti, dan kebanyakan dokter setuju, untuk mendukung penggunaan evaluasi TIK pada pasien TBI berat yang berisiko mempunyai hipertensi intrakranial. Nilai TIK adalah prediktor absolut dan mandiri terhadap prognosis akhir TBI secara neurologis, namun, TIK refraktori dan respon untuk penatalaksanaan peningkatan TIK dapat menjadi prediktor yang lebih baik prognosis neurologis dibandingkan nilai TIK absolut [28]. Treggiari et al. melakukan penelitian sistematis untuk memperkirakan hubungan antara nilai-nilai dan pola TIK dan hasil vital dan neurologis dari sisi prognosis jangka pendek dan jangka panjang. Sehubungan dengan TIK normal (<20 mm Hg), peningkatan TIK dikaitkan dengan peningkatan kematian odds ratio(OR): 3,5 [95% CI: 1.7, 7.3] untuk TIK 20-40, dan 6,9 [95% CI: 3,9,12.4] untuk TIK> 40 mm Hg. Peningkatan TIK yang dapat direduksi dikaitkan dengan peningkatan 3-4-kali lipat pada kadar kematian OR atau prognosis neurologis yang buruk. Pola TIK refraktori dikaitkan dengan peningkatan secara dramatis dan relative risiko kematian (OR = 114,3 [95% CI: 40.5, 322,3]) [29]. Saturasi oksigen bulbus vena jugular Saturasi oksigen vena jugularis (SjvO2) merupakan indikator dari kadar oksigenasi otak dan kadar metabolisme otak, Saturasi oksigen vena jugularis (SjvO2) memberi gambaran rasio antara aliran darah otak (CBF) dan tingkat metabolisme oksigen serebral (CMRO2). Kateterisasi retrograde dari vena jugularis interna (IJV) digunakan untuk evaluasi SjvO2. Secara umumnya IJV kanan adalah daerah yang biasanya dominan [30], daerah ini biasanya digunakan untuk kanulasi yang dapat memberikan gambaran oksigenasi serebral global[31]. Evaluasi SjvO2 dapat dilakukan secara terus menerus melalui serat kateter optik atau secara intermiten melalui pemeriksaan sampel darah berulang. Dalam sebuah penelitian prospektif pasien dengan trauma otak berat yang akut disertai hipertensi intrakranial, Cruz menyimpulkan bahwa evaluasi secara terus menerus SjvO2 dikaitkan dengan perbaikan prognosis [32]. Rata-rata normal dari SjvO2, dalam subjek terjaga normal, adalah sebanyak 62% dengan kisaran 55% sampai 71%. desaturasi berkelanjutan vena jugularis dari <50% merupakan batas iskemia serebral dan menjadi indikasi pentalaksanaan [33]. Evaluasi SjvO2 dapat mendeteksi secara klinis episode okultisme iskemia serebral, yang memungkinkan pencegahan episode ini dengan penyesuaian sederhana pada
7

penatalaksanaan pengobatan. Pada TBI, desaturasi vena jugularis sebagian besar memainkan peran dalam penurunan kadar CBF sekunder akibat dari penurunan kadar CPP (hipotensi,

hipertensi intrakranial, dan vasospasme) atau hipokapnia-terkait vasokonstriksi serebral. Penelitian menunjukkan bahwa penurunan secara berkelanjutan dari SjvO2 hingga batas <50% dikaitkan dengan faktor risiko yang mandiri dan mampu menyebabkan prognosis buruk [34-37]. Akibatnya, evaluasi SjvO2 sangat penting untuk penentuan ventilasi selama perawatan medis pada kasus hipertensi intrakranial. Namun, manfaat dari evaluasi SjvO2 pada hasil pasien TBI berat belum pernah dikonfirmasi dengan suatu RCT. Tekanan oksigen jaringan otak Evaluasi pengukuran SjvO2 dan tekanan oksigen jaringan otak (PbtO2) bertujuan untuk mengukur oksigenasi otak, bagaimanapun, SjvO2 mengukur oksigenasi serebral global manakala PbtO2 mengukur oksigenasi serebral fokal menggunakan invasive Probe (Licox). Rosenthal et al. mendokumentasikan dalam penelitian mereka bahawa, pengukuran dari PbtO2 mewakili hasil dari perbedaan tekanan CBF dan tekanan arteriovenous oksigen serebral dan bukan merupakan pengukuran langsung pengiriman oksigen Total atau oksigen serebral [38]. PbtO2 merupakan pengukuran khusus fokal, hal ini terutama digunakan untuk mengevaluasi perfusi kritis oksigenasi dari jaringan otak. PbtO2 adalah teknik yang pilihan untuk mengevaluasi oksigenasi serebral fokal dan bertujuan untuk mencegah episode desaturasi. Namun, penggunaan metode ini sahaja tidak dapat mengevaluasi perubahan oksigenasi serebral global. Normal PbtO2 berkisar antara 35 mm Hg dan 50 mm Hg [39]. Nilai PbtO2 <15 mm Hg dianggap sebagai indikator untuk fokus serebral iskemia dan indikasi penatalaksanaan terapi [4]. Beberapa studi menunjukkan bahwa terapi berbasis evaluasi PbtO2 mampu membantu mengurangi mortalitas pasien dan memberi prognosis yang baik pada pasien dengan kasus TBI berat [40-42]. Dalam revisi sistematis terbaru, literatur medis yang tersedia ditinjau untuk memeriksa apakah terapi berbasis PbtO2 dapat memperbaiki prognosis pasien dengan kasus TBI berat [43]. Antara pasien yang menerima terapi berbasis PbtO2, 38,8% menunjukkan hasil yang kurang baik dan 61,2% memiliki hasil yang menguntungkan. Antara pasien yang menerima TIK/ CPP-berbasis terapi 58,1% menunjukkan hasil kurang baik dan 41,9% memiliki hasil yang menguntungkan. Terapi berbasis PbtO2 secara umumnya dapat memberikan hasil yang menguntungkan (OR = 2,1, 95% CI = 1,4-3,1). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gabungan TIK/CPP-berbasis terapi dan
8

PbtO2-berbasis terapi dikaitkan dengan hasil yang lebih baik untuk kasus pasca TBI berat dibandingkan dengan hanya penggunaan TIK/CPP-berbasis terapi sahaja [43]. Oddo et al. Melaporkan bahwa hipoksia otak atau penurunan PbtO2 merupakan hasil prediktor yang mandiri dan berhubungan dengan prognosis buruk jangka pendek pasca TBI berat. Selain dari TIK, CPP yang rendah, dan tingkat keparahan cedera. PbtO2 merupakan salah satu sasaran terapi yang penting pasca TBI berat [44]. PbtO2 telah didokumentasikan lebih unggul dari metode SjvO2, near infrared spectroscopy [45], dan regional transcranial oxygen saturation dalam mendeteksi iskemia otak. Evaluasi PbtO2 adalah metode yang menjanjikan, aman dan dapat diaplikasikan secara klinis pada pasien dengan TBI berat; Namun, metode ini tidak banyak digunakan dan ketersediaannya sangat minimal. Kombinasi metode evaluasi TIK/PbtO2 intra-parenkim adalah penting dan sangat membantu dalam pentalaksanaan terapi pada pasien dengan kasus TBI berat. Microdialisis serebral Microdialisis serebral (MD) merupakan perangkat laboratorium invasif yang baru dikembangkan, MD merupakan perangkat laboratorium yang mudah digunakan untuk menganalisis biokimia dari jaringan otak[47]. Kateter MD dimasukkan ke daerah jaringan otak dimana terdapat lesi untuk mengukur perubahan biokimia di daerah otak yang paling rentan terhadap cedera sekunder. Tes yang berbeda tersedia untuk mengukur konsentrasi dialisat termasuk glukosa, laktat, piruvat, gliserol, dan glutamat. Secara karakteristik, hipoksia atau iskemia serebral menunjukkan ada terjadinya peningkatan yang signifikan pada rasio laktat:piruvat (LPR) [48]. Nilai LPR> 20-25 dianggap sebagai indikator untuk iskemia otak dan berkaitan dengan prognosis yang buruk pada TBI [49]. Meskipun, MD adalah perangkat yang baik untuk memberikan pemeriksaan tambahan dan membantu dalam pentalaksanaan pasien dengan TBI berat, penggunaannya sangat terbatas. Transkranial doppler ultrasonografi Transkranial Doppler (TCD) adalah metode non-invasif untuk mengukur velositas CBF. metode ini semakin sering digunakan dalam perawatan kritis gawat neurologis termasuk TBI. Alat ini sangat berguna secara klinis untuk membantu menegakkan diagnosis komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien dengan kasus TBI seperti vasospasme, peningkatan kritis TIK dan
9

penurunan CPP, diseksi karotis, dan gangguan peredaran darah otak (kematian otak). TCD dapat memprediksi vasospasme pasca-trauma sebelum timbulnya manifestasi klinis. Karena pemantauan TIK merupakan prosedur invasive dengan potensi risiko komplikasi yang terkait, TCD merupakan teknik alternatif non-invasif teknik untuk mengevaluasi TIK dan CPP [50,51]. Secara umum sensitivitas TCD untuk mengkonfirmasikan kematian otak adalah 75% sampai 88%, dan spesifisitas keseluruhan adalah 98% [52,53]. Meskipun, TCD adalah metode evaluasi pada perawatan kritis gawat neurologis, bukti untuk mendukung nya sebagai modalitas pilihan utama untuk membantu untuk manajemen TIK / CPP pada pasien dengan kasus TBI berat masih sangat kurang. Electrophysiological monitoring Electroencephalogram (EEG) adalah alat yang berguna secara klinis untuk memantau kedalaman koma, mendeteksi kejang non-convulsif (sub-klinis) atau kejang pada pasien dengan kelumpuhan secara farmakologi serta mendiagnosa kematian otak [54,55]. EEG terus menerus telah merupakan modalitas pilihan untuk membantu penegakkan diagnosis kejang pasca-trauma (PTS) pada pasien dengan TBI, terutama pada mereka yang menerima blokade neuromuskular. Sensory-evoked potentials (SEP) dapat memberikan data yang akurat tentang fungsi otak pada pasien TBI berat, namun, penggunaannya sangat terbatas dalam pengelolaan awal TBI. Near infrared spectroscopy Near infrared spectroscopy (NIRS) merupakan metode non-invasif untuk mengevaluasi langsung secara berterusan, oksigenasi serebral dan volume darah otak (CBV). Didalalam jaringan otak, dua chromophores utama (senyawa yang menyerap cahaya) adalah hemoglobin (Hb) dan sitokrom oksidase. Prinsip kerja NIRS adalah didasarkan pada perbedaan sifat penyerapan chromophores pada kisaran NIR, yakni antara 700 dan 1.000 nm. Pada 760 nm, wujud Hb bersifat terdeoksigenasi (deoxyHb), sedangkan pada kadar 850 nm, wujud Hb bersifat beroksigeni (oxyHb). Oleh karena itu, dengan mengevaluasi perbedaan serap antara dua panjang gelombang, tingkat deoksigenasi jaringan dapat dievaluasi. Jika dibandingkan dengan SjvO2, NIRS kurang akurat dalam menentukan oksigenasi serebral [56]. Meskipun, NIRS adalah teknologi yang berkembang dan berpotensi sebagai modalities pemeriksaan pilihan untuk

10

pengukuran CBF, penggunaannya dalam perawatan kritis gawat neurologis masih sangat terbatas. Suhu otak Setelah terjadinya trauma kepala, dilaporkan bahawa gradien suhu otak dibandingkan dengan suhu tubuh lebih tinggi hingga mencapai perbedaan 3 C di otak. suhu tinggi adalah stressor sistemik umum sekunder untuk cedera otak. Terdapat beberapa alat invasif (baru Licox PMO: Integra LifeSciences, Plainsboro, NJ) [57] dan non-invasif [58], untuk mengevaluasi suhu otak secara terus menerus yang tersedia secara komersial. Namun, evaluasi suhu otak masih belum banyak digunakan sebagai pedoman dalam perawatan kritis gawat neurologis pasien dengan TBI berat. Manajemen Perawatan Kritis Pedoman pengelolaan TBI parah tersedia secara luas dan harus menjadi dasar utama dan landasan untuk pengembangan institusi praktek klinis dengan protokol manajemen berbasis pedoman klinis. Beberapa penelitian telah menunjukkan kepentingan dan dampak dari implementasi protokol yang benar seperti pada hasil prognosis pasien dengan TBI berat [5-7]. Kami melaporkan bahwa pemanfaatan praktek klinis pedoman berbasis protokol untuk TBI berat memainkan peran yang sangat signifikan pada penurunan mortalitas baik di perawatan ICU atau rumah sakit rumah sakit [8]. Analgesia, sedasi dan pelumpuhan otot Pada pasien TBI berat, intubasi endotrakeal, ventilasi mekanik, trauma, intervensi bedah (jika ada), biaya perawatan, dan prosedur ICU mempunyai potensial menjadi penyebab nyeri. Narkotika, seperti morfin, fentanyl dan remifentanil, harus dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama karena golongan ini memberikan efek analgesia, sedasi ringan dan depresi refleks saluran napas (batuk) yang semuanya dibutuhkan dalam proses intubasi dan ventilasi mekanik pasien. Administrasi narkotika sebaik diberikan dalam bentuk infus terus menerus atau sebagai bolus intermiten. Sedasi yang memadai dengan analgesia poten; dapat memberikan efek anxiolysis, ini akan dapat membantu membatasi peningkatan TIK yang disebabkan oleh agitasi, perasaan tidak
11

nyaman, batuk atau rasa nyeri; analgesia poten juga dapat memfasilitasi perawatan pasien dan ventilasi mekanis, menurunkan konsumsi O2, menurunkan produksi CMRO2, dan CO2, meningkatkan kenyamanan pasien; dan mencegah gerakan yang boleh meperburuk kondisi pasien. obat sedasi yang ideal untuk pasien dengan TBI harus mempunyai karekteristik waktu kerja cepat dalam onset dan offset, mudah dititrasi untuk memberikan kesan yang diinginkan, dan kurangnya metabolit aktif. Secara garis besar pemilihan analgesia bertujuan sebagai antikonvulsan, menurunkan TIK dan CMRO2, dan untuk membantu dalam pemeriksaan neurologis. Akhirnya, analgesia juga harus mempunyai efek yang tidak merugikan terhadap sistem kardiovaskular. Buat waktu ini tidak ada obat sedasi yang digunakan dapat dikatakan sebagai obat sedasi yang paling ideal. Propofol adalah obat untuk menginduksi hipnotis pilihan pada pasien dengan gejala neurologis akut, karena mudah dititrasi dan efek sedasinya dapat cepat sekali dihentikan cukup dengan hanya menghentikan administrasi. Karekteristik propofol ini mengizinkan waktu sedasi diprediksi dan memungkinkan untuk evaluasi neurologis secara periodik pada pasien. Namun, propofol harus dihindari pada pasien dengan kondisi hipotensi atau hipovolemik karena efek deleterious hemodynamic nya. Selain itu, propofol infusion syndrome (rhabdomyolysis, asidosis metabolik, gagal ginjal, dan bradycardia) merupakan komplikasi potensial dari administrasi propofol yang lama dan berterusan baik secara infusi maupun dosis tinggi. Benzodiazepine seperti midazolam dan lorazepam sangat direkomendasikan sebgai obat sedasi dan digunakan secara infus berterusan atau bolus intermiten. Selain sedasi, golongan obat ini juga memberikan efek amnesia dan antikonvulsan. Namun penggunaan obat ini secara Infus berterusan, dosis tinggi, adanya kegagalan ginjal atau hati, dan usia lanjut adalah antara faktor yang dapat menyebabkan risiko terjadinya akumulasi dan sedasi berlebihan. Penggunaan secara rutin agen pemblokir neuromuskuler (NMBAs) untuk melumpuhkan pasien dengan TBI tidak dianjurkan. NMBAs mengurangi TIK dan harus dianggap sebagai terapi lini kedua untuk hipertensi refrakter intrakranial. Namun, penggunaan NMBA dapat menyebabkan terjadinya peningkatan risiko pneumonia, memperpanjang waktu perawatan ICU (LOS), dan terjadinya komplikasi neuromuskuler.

12

Ventilasi mekanis Penatalaksanaan pasien dengan TBI berat biasanya disertai dengan intubasi dan ventilasi mekanik. Hipoksia, didefinisikan sebagai saturasi O2 <90%, atau PaO2 <60 mm Hg, dan keadaan ini harus dihindari [4]. Hiperventilasi profilaksis dengan PaCO2 <25 mm Hg tidak dianjurkan [4]. Dalam 24 jam pertama setelah TBI berat, hiperventilasi harus dihindari, karena akan menyebabkan peningkatan penurunan kadar perfusi serebral yang sebelumnya sudah sangat kritis. Coles et al. melaporkan bahwa, pada pasien dengan TBI, hiperventilasi meningkatkan hipoperfusi pada volume jaringan di jaringan otak yang cedera, meskipun terdapat perbaikan pada CPP dan TIK. Penurunan perfusi serebral pada daerah otak ini menyebabkan daerah ini berpotensi menjadi daerah jaringan otak yang iskemik[59]. Hiperventilasi berlebihan dan berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi dan iskemia serebral. Dengan demikian, hiperventilasi dianjurkan hanya sebagai prosedur sementara untuk mengurangi peningkatan TIK. Hiperventilasi dengan periode yang singkat (15-30 menit), dengan PaCO2 3035 mm Hg direkomendasikan untuk mengobati kerusakan neurologis akut yang disebabkan oleh peningkatan TIK. Waktu hiperventilasi yang lebih lama diperlukan untuk hipertensi refrakter intrakranial, hal ini juga termasuk metode perawatan lainnya seperti durasi obat penenang, pelumpuh otot, CSF drainase, larutan saline hipertonik (HSSs) dan diuretik osmotik. Namun, ketika metode hiperventilasi digunakan, evaluasi SjvO2 atau PbtO2 direkomendasikan untuk mengevaluasi oksigenasi otak dan menghindari serebral iskemia. Pengaturan ventilasi harus disesuaikan untuk mempertahankan pulse oximetry (SpO2) pada 95% atau lebih dan / atau PaO2 pada 80 mm Hg atau lebih dan untuk mencapai normoventilation (eucapnia) kadar PaCO2 dipertahankan dari 35 sampai 40 mm Hg. Mascia et al. melaporkan bahwa ventilasi tidal volume tinggi merupakan prediktor yang mandiri dan dapat menyebabkan cedera akut pulmonal (ALI) pada pasien dengan TBI berat [60]. Oleh karena itu, ventilasi perlindungan dengan tidal volume rendah dan positive end-expiratory pressure (PEEP) menjadi rekomendasi untuk mencegah cedera paru yang disebabkan oleh penggunaan ventilator dan peningkatan TIK [61]. Sebelum melakukan suctioning melalui endotrakeal tube (ETT), dapat dilakukan preoksigenasi dengan sebagian kecil dari oksigen inspirasi (FiO2) = 1,0, dan administrasi sedasi

13

tambahan dianjurkan untuk menghindari desaturasi dan peningkatan mendadak pada TIK. penyedotan ETT harus singkat dan tidak menyebabkan trauma tambahan.. Peningkatan PEEP dapat menyebabkan peningkatan tekanan intratorak dan menyebabkan penurunan drainase vena serebral hingga menyebabkan peningkatan CBV dan TIK. Namun, efek dari PEEP pada TIK terlihat signifikan hanya pada kadar PEEP diatas dari 15 cm H2O pada pasien dengan kondisi hipovolemik. Namun demikian, tingkat kadar terendah PEEP, biasanya digunakan hanya pada kadar 5 sampai 8 cm H2O untuk mempertahankan oksigenasi memadai dan mencegah kolaps ekspirasi akhir. PEEP pada kadar tinggi, yaitu diatas 15 cm H2O, mungkin dapat digunakan pada kasus hipoksemia refraktori. Sering terjadinya ALI atau sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), pada sejumlah besar pasien dengan TBI berat dengan kejadian ALI / ARDS dilaporkan mempunyai prevelensi sebanyak diantara 10% sampai 30% [62-64]. Etiologi ALI / ARDS pada pasien dengan TBI berat antaranya termasuk aspirasi, pneumonia, contusio paru, transfusi darah masif, cedera paru akut yang disebabkan oleh transfusi (TRALI), sepsis, edema paru neurogenik dan penggunaan tidal volume dan kadar pernapasan yang tinggi [65,66]. Proses terjadinya ALI / ARDS pada pasien dengan TBI berat menyebabkan perpanjangan waktu perawatan ICU (LOS) dan perpanjangan pengunaan ventilasi mekanis [60]. Manajemen ventilasi pasien dengan TBI berat dan ALI / ARDS merupakan suatu prosedur yang rumit. Strategi ventilasi yang seimbang, mengikuti pedoman untuk penatalaksanaan TBI berat dan "Pendekatan cedera otak konvensional" (oksigenasi yang memadai: mengoptimalkan oksigenasi serebral otak, drainase vena dengan menggunakan PEEP kadar rendah, dan hipokapnia ringan dengan menggunakan tidal volume tinggi), dan strategi ventilasi pelindungan pulmonal (dengan menggunakan PEEP kadar tinggi dan tidal volume rendah), adalah tujuan yang diinginkan, namun, sulit untuk dicapai. Hiperkapnia permisif, merupakan strategi yang dapat digunakan pada pasien dengan ALI / ARDS, namun harus dihindari, jika memungkinkan, pada pasien dengan kasus TBI berat disebabkan akan terjadinya vasodilatasi serebral dan peningkatan CBV dan TIK. Dukungan hemodinamik Gangguan hemodinamik adalah masalah umum yang sering terjadi pada pasien dengan kasus TBI berat. Hipotensi, yang didefinisikan sebagai SBP <90 mm Hg atau MAP <65 mmHg,
14

adalah antara stressor sekunder sistemik yang sering menyebabkan cedera otak sekunder telah dilaporkan sering terjadi pada sekitar 73% populasi pasien selama perawatan ICU [67]. Penelitian dari Traumatic Coma Data Bank (TCDB) mendokumentasikan bahwa hipotensi merupakan penentu utama dan merupakan prediktor mandiri prognosis TBI berat (68). Hipotensi secara signifikan berhubungan dengan peningkatan mortalitas pasca TBI [69-71]. Di antara prediktor prognosis TBI, hipotensi adalah prediktor yang paling harus diperhatikan dan dihindari serta ditangani dengan baik dan cepat. TBI dengan kondisinya sendiri dan terisolasir dari kondisi lain tidak akan menyebabkan hipotensi kecuali pada pasien yang telah terjadi mati batang otak. Berkurangnya volume intravaskular akibat perdarahan dari cedera yang terjadi seperti pada kulit kepala, leher, pembuluh darah, dada, perut, panggul dan ekstremitas, atau karena poliuria sekunder yang disebabkan oleh kondisi diabetes insipidus, adalah antara penyebab paling sering terjadinya hipotensi pada pasien dengan TBI berat. Selain itu antara faktor lain yang berperan untuk terjadinya hipotensi pada pasien dengan TBI berat adalah kerana terjadinya contusio miokard yang mengakibatkan kegagalan kerja primer jantung yaitu untuk memompa darah, dan trauma pada spinalis yang menyebabkan terjadinya syok spinalis (lesi servikal yang menyebabkan kehilangan total persarafan simpatik himgga terjadinya hipotensi vasovagal dan bradiaritmia). Penyebab hipotensi yang sering kurang diperhatikan pada pasien dengan TBI adalah penggunaan etomidate untuk intubasi. Telah dilaporkan bahwa bahkan dengan hanya penggunaan dosis tunggal etomidate dapat menyebabkan terjadinya insufisiensi adrenal yang akhirnya mengakibatkan hipotensi.[72]. Pemberian terapi cairan yang tepat dan agresif untuk mencapai volume intravaskular yang memadai adalah langkah pertama dalam prosedur resusitasi pasien dengan hipotensi parah pasca TBI. CVP dapat digunakan sebagai pedoman manajemen cairan dan dianjurkan untuk dipertahankan pada tekanan 8 - 10 mm Hg. Pada pasien yang tidak merespon secara baik dengan ekspansi volume yang adekuat dan administrasi vasopressor, merupakan petanda adanya gangguan hemodinamik atau penyakit kardiovaskular yang mendasari, kateter arteri pulmonal atau evaluasi hemodinamik non-invasif harus dipertimbangkan. Tekanan wedge kapiler pulmonal harus dipertahankan pada tekanan 12 - 15 mm Hg. Beberapa indikator yang dapat diandalkan sebagai keberhasilan terapi cairan adalah seperti
15

variasi tekanan nadi, variasi tekanan sistolik, variasi stroke volume, dan kolaps vena kava inferior direkomendasikan sebagai indikator manajemen terapi cairan. Kristaloid isotonik, larutan khusus normal saline (NS) adalah cairan pilihan untuk terapi resusitasi cairan dan volume pengganti. HSSs efektif untuk merestorasi tekanan darah pada syok hemoragik, namun tidak menurunkan kadar mortalitas [73]. The National Heart, Lung, and Blood Institute of the National Institutes of Health telah menghentikan pendaftaran untuk penelitian uji klinis efek HSSs pada pasien dengan TBI parah karena HSS tidak lebih baik daripada pengobatan standar NS [74]. Terapi pengganti darah dan produk darah masih dapat digunakan sesuai kebutuhan kasus. Anemia adalah stressor sekunder sistemik yang umumnya sering terjadi dan harus dihindari, kadar hemoglobin yang disasarkan adalah 100 g / L atau hematokrit 0,30. Jaringan otak merupakan jaringan yang kaya dengan tromboplastin dan kerusakan otak dapat menyebabkan koagulopati [75]. Kelainan koagulasi harus dikoreksi secara agresif dan cepat dengan produk darah yang sesuai, terutama pada kondisi perdarahan intrakranial pasca trauma. Sebelum dilakukan evaluasi invasif TIK, MAP yang dianjurkan adalah pada tekanan 80 mm Hg. Alasan untuk mempertahankan MAP pada tekanan 80 mm Hg adalah untuk mempertahankan CPP 60 mm Hg yang merupakan batasan pengobatan TIK> 20 mm Hg [4]. Setelah dilakukan evaluasi invasif TIK, manajemen MAP akan diarahkan mengikuti nilai TIK / CPP. Pada kasus-kasus yang jarang dimana kadar CPP atau MAP sasaran mungkin tidak dapat dicapai meskipun terapi resusitasi cairan yang tepat dan volume intravaskular yang adekuat telah dicapai. Pemberian cairan secara berlebihan untuk mencapai CPP atau MAP sasaran harus dihindari kerana dapat menjadi penyebab terjadinya overload cairan dan ARDS. Administrasi vasopressor harus digunakan untuk mencapai sasaran CPP atau MAP jika ini tidak dapat diperoleh dengan terapi resusitasi cairan yang adekuat. Norepinefrin, dititrasi melalui jalur vena sentral (CVL), direkomendasikan. Dopamin menyebabkan terjadinya vasodilatasi serebral dan peningkatan TIK, namun, dopamin dapat digunakan melalui kanula intravena perifer sampai CVL dimasukkan [76,77]. Phenylephrine, agen vasoaktif alpha-agonis murni, dianjurkan pada pasien TBI dengan takikardia. Penelitian terbaru melaporkan bahwa pasien yang menerima

16

Phenylephrine memberikan MAP dan CPP yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang menerima dopamin dan norepinefrin [78]. Hipertensi, yang didefinisikan sebagai SBP> 160 mm Hg atau MAP > 110 mm Hg, juga merupakan stressor sistemik sekunder yang dapat memperburuk edema vasogenik otak dan hipertensi intrakranial. Namun, hipertensi yang terjadi mungkin merupakan reaksi fisiologis terhadap berkurangnya perfusi jaringan otak. Akibatnya, sebelum dilakukan evaluasi TIK, hipertensi tidak boleh diturunkan kecuali penyebabnya dikenalpasti dan diterapi, terutama pada tekanan SBP> 180-200 mm Hg atau MAP> 110-120 mm Hg. Menurunkan tekanan darah yang meningkat, sebagai mekanisme kompensasi untuk mempertahankan CPP yang memadai, dapat memperburuk iskemia otak. Setelah dilakukan suatu prosedur evaluasi TIK, CPP harus menjadi patokan dalam pengelolaan MAP. Tekanan perfusi serebral/Cerebral perfusion pressure (CPP) Iskemia otak dianggap kondisi sekunder yang paling penting untuk dinilai pada pasien dengan kasus TBI berat. CPP, didefinisikan sebagai MAP dikurangi TIK, (CPP = MAP- TIK), CPP di bawah 50 mm Hg harus dihindari [4]. CPP yang rendah dapat membahayakan daerah otak yang mengalami iskemia, dan peningkatan tekanan CPP dapat membantu untuk menghindari terjadinya iskemia otak. Nilai sasaran dari CPP minimal yang harus dipertahankan sebelum melewati batas paling rendah dimana dikhwatiri terjadinya iskemik adalah pada tekanan 60 mm Hg [4]. Mempertahankan CPP diatas 60 mmHg adalah terapi pilihan yang mampu membantu mengurangi secara substansial kadar mortalitas dan peningkatan kemungkinan bertahan hidup, dan nilai sasaran diata 60 mmHg ini juga memungkinkan terjadinya peningkatan perfusi ke daerah otak yang iskemik pada pasien dengan kasus TBI berat. Tidak ada bukti peningkatan pada kadar terjadinya hipertensi intrakranial, morbiditas, atau mortalitas pada perawatan aktif mempertahankan CPP di atas 60 mmHg dengan normalisasi volume intravaskular atau induksi hipertensi sistemik. Pada literature yang diteliti CPP pada kadar 60 mm Hg dan 70 mm Hg batasan CPP harus dipertahankan sebagai patokan penatalaksanaan iskemia serebral pada pasien dengan TBI berat. CPP harus dipertahankan minimal 60 mm Hg pada kasus TBI tanpa adanya tanda iskemia serebral, dan minimal pada kadar 70 mm Hg pada kasus TBI dengan tanda iskemia serebral [4]. Evaluasi PbtO2 disarankan untuk mengidentifikasi secara individual kadar CPP optimal [79]. Dengan tidak adanya iskemia serebral, upaya secara
17

agresif untuk mempertahankan CPP otak di atas 70 mm Hg dengan administrasi cairan dan vasopressor harus dihindari karena berisiko menyebabkan terjadinya ARDS [4]. Terapi Hiperosmolaritas Administrasi manitol merupakan metode yang efektif untuk menurunkan peningkatan TIK pasca terjadinya TBI berat [80]. manitol meningkatkan gradien osmotik sementara dan akan dan keadaan ini menyebabkan peningkatan osmolaritas serum sehingga 310-320 mOsm / kg H2O. Namun pemberian manitol profilaksis tidak dianjurkan [4]. Sebelum dilakukan evaluasi TIK, penggunaan manitol harus dibatasi untuk pasien dengan tanda-tanda herniasi transtentorial atau kerusakan neurologis progresif yang tidak disebabkan faktor ekstrakranial.

walaubagaimanapun, manitol tidak boleh diberikan jika osmolaritas serum > 320 mOsm / kg H2O. Diuresis osmotik harus dikompensasi oleh penggantian cairan yang memadai dengan larutan garam isotonik untuk mempertahankan euvolmia. Dosis manitol yang efektif adalah 0,25 1 g / kg, diberikan secara intravena selama 15 sampai 20 menit. Pemberian sering manitol dapat menyebabkan dehidrasi intravaskular, hipotensi, azotemia/uremia prerenal dan hiperkalemia [81]. Manitol boleh melewati Blood Brain Barrier (BBB) dan menumpuk di otak, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran reversal pada tekanan osmotik atau rebound efek, dan hal ini menyebabkan osmolaritas otak meningkat, sehingga TIK juga meningkat [82,83]. Pada pasien TBI dengan gagal ginjal pemberian manitol menjadi kontraindikasi karena berrisiko menyebabkan terjadinya edema paru dan gagal jantung. HSSs telah diusulkan sebagai alternatif untuk manitol. HSS memiliki sejumlah efek menguntungkan pada pasien dengan cedera kepala, antaranya termasuk peningkatan volume intravaskular, ekstraksi air dari ruang intraseluler, penurunan TIK, dan peningkatan kontraktilitas jantung. HSS dapat menyebabkan dehidrasi osmotik dan peningkatan viskositas yang boleh menyebabkan terjadinya vasokonstriksi serebral. Administrasi berterusan dari HSS dapat membantu menurunkan TIK, menghindari terjadinya edema serebral, tanpa efek samping supraphysiologic hyperosmolarity seperti gagal ginjal, edema paru, atau demielinasi pontine sentralis [84,85]. Pada meta-analisis yang baru dilakukan, Kamel et al. menemukan bahwa saline hipertonik lebih efektif dibandingkan administrasi manitol, dan mungkin adalah lebih baik dari manitol yang menjadi pilihan untuk perawatan standar peningkatan TIK buat masa kini.[86].

18

Modulasi suhu Hipotermia sistemik sedang pada suhu 32 C hingga 34 C, dapat mengurangi metabolisme otak dan CBV, menurunkan TIK, dan meningkatkan CPP [87]. Namun bukti adanya dampak hipotermia pada pasien dengan kasus TBI masih kontroversial. Penelitian awal menunjukkan bahwa hipotermia sedang, pada saat pasien dibawa masuk, dikatakan mampu memberi perbaikan signifikan prognosis pada bulan ke 3 dan 6 setelah TBI [88]. Namun, pada suatu RCT besar yang dilakukan, tidak ditemukan korelasi dari efek hipotermia sedang yang dapat mempengaruhi prognosis TBI [89,90]. The National Acute Brain Injury Study: Hypothermia II was a randomized, multicentre clinical trial of patients with severe TBI merupakan uji klinis pasien dengan TBI berat yang mengambil sampel pasien dengan karekteristik 2 sampai 5 jam pasca TBI. Pasien secara acak dikelompokan untuk kelompok hipotermia (pendinginan sampai 33 C selama 48 jam) atau normothermia. Tidak ada perbedaan signifikan dari prognosis antara kelompok hipotermia dan kelompok normothermia. Uji klinis ini tidak mengkonfirmasi metode terapi hipotermia sebagai strategi proteksi neurologis pada pasien dengan kasus TBI berat [88]. Namun, suhu pasien harus harus tetap dikontrol dan demam harus diobati dengan cepat pada pasien dengan TBI berat. Hipotermia sedang dapat digunakan pada kasus peningkatan TIK tidak terkendali dan refrakter. Profilaksis anti-kejang Kejang pasca trauma diklasifikasikan sebagai kejang kejang pasca-trauma awal yang terjadi dalam waktu 7 hari dari terjadinya cedera, atau kejang pasca-trauma lambat yaitu melewati 7 hari dari terjadinya cedera [91]. Terapi profilaksis (fenitoin,carbamazepine, atau fenobarbital) tidak dianjurkan untuk mencegah kejang pasca trauma lambat[4]. BTF merekomendasikan terapi profilaksis untuk mencegah kejang pasca-trauma awal pada pasien TBI yang berisiko tinggi untuk kejang [4]. Faktor risiko meliputi: GCS skor <10, contusio kortikal, depresi fraktur cranii, subdural hematoma, epidural hematoma, intraserebral hematoma, TBI dengan penetrasi, dan kejang dalam waktu 24 jam cedera [4,92]. Fenitoin adalah obat yang direkomendasikan sebagai profilaksis pada kasus kejang pascatrauma awal. Dosis awal sebesar 15 sampai 20 mg / kg intravena (IV) dapat diberikan selama 30 menit diikuti dengan dosis 100 mg, IV, setiap 8 jam, dititrasi ke level plasma, selama 7 hari, merupakan penatalaksanaan yang direkomendasi. Pasien yang menerima profilaksis anti-kejang harus dievaluasi potensi terjadinya efek samping.
19

Profilaksis thrombosis vena dalam Pasien TBI berat mempunyai risiko lebih tinggi untuk terjadinya proses thromoembolik vena (VTEs) termasuk thrombosis vena dalam (DVT) dan emboli paru. Risiko terjadinya DVT pada keadaan ketiadaan profilaksis diperkirakan terjadi sebanyak 20% pasca TBI berat[93]. Metode tromboprofilaksis mekanik, seperti alat graduated compression stockings dan alat kompresi berurutan, dianjurkan penggunaannya namun menjadi kontraindikasi jika adanya cedera ekstremitas bawah. Penggunaan alat tersebut harus dilanjutkan sehingga kondisi pasien cukup hanya dirawat jalan. Jika tidak adanya kontraindikasi, heparin dengan berat molekul rendah (LMWH) atau dosis rendah unfractionated heparin harus digunakan dengan kombinasi profilaksis mekanik. Namun, penggunaan profilaksis farmakologis berpotensi menyebabkan terjadinya peningkatan risiko untuk perluasan perdarahan intrakranial. Meskipun, bukti untuk mendukung rekomendasi waktu yang tepat untuk menggunakan profilaksis farmakologis kurang, kebanyakan ahli menyarankan memulai profilaksis farmakologis sedini mungkin yaitu sekitar 48 sampai 72 jam setelah terjadinya cedera, tanpa adanya kontraindikasi lain [94]. Profilaksis stres ulkus TBI berat merupakan faktor risiko yang diketahui mampu menyebabkan ulkus stres (Ulkus Cushing) di perawatan ICU. Profilaksis termasuk pemberian awal asupan nutrisi secara enteral dan profilaksis farmakologi seperti H2-blocker, proton pump inhibitor dan sukralfat [95,96]. Dukungan nutrisi Pasien TBI berat biasanya berada didalam kondisi hipermetabolik, hiperkatabolik dan hiperglikemia, dengan disertai gangguan fungsi GI. Ada bukti yang menunjukkan kondisi gizi buruk meningkatkan kadar mortalitas pada pasien TBI [97]. Telah dilakukan penelitian sebelumnya dimana didokumentasikan pemberian asupan nutrisi secara enteral adalah lebih baik dari pemberian asupan nutrisi secara parenteral (PN). Penggunaan PN harus dibatasi dan hanya dipilih jika adanya kontraindikasi dari pemberian asupan nutrisi enteral, hal ini karena ia dapat menyebabkan peningkatan terjadinya komplikasi dan kadar mortalitas [98]. Oleh karena itu, pemberian awal asupan nutrisi enteral dianjurkan pada pasien dengan TBI berat, karena pemberian asupan nutrisi enteral aman, murah, hemat biaya, dan fisiologis. Potensi keuntungan dari pemberian asupan nutrisi secara enteral termasuk menstimulasi semua fungsi saluran gastrointestinal, mempertahankan immunitas usus, mempertahankan fungsi dan integritas mukosa usus,
20

dan pengurangan infeksi dan komplikasi septik. Secara umum, pasien dengan TBI berat memiliki intoleransi lambung terhadap asupan nutrisi karena berbagai alasan antaranya termasuk pengosongan lambung yang abnormal dan gangguan fungsi lambung yang merupakan akibat sekunder dari peningkatan TIK, dan penggunaan opiat. Agen prokinetik seperti metoclopramide atau eritromisin, meningkatkan toleransi. Asupan makanan postpyloric dapat menghindari

intoleransi lambung dan dapat memastikan suplai kalori yang tinggi dan asupan nitrogen. Meskipun BTF merekomendasikan instruksi istirahat dari aktivitas metabolik sebanyak 140% pada pasien tidak lumpuh dan 100% pada pasien lumpuh untuk tidak lagi digunakan, ada bukti yang menunjukkan adanya manfaat dari asupan rendah kalori [99-102]. kontrol glikemik Pada pasien dengan TBI berat, stres hiperglikemia adalah merupakan antara stressor sekunder otak sistemik yang sering terjadi. Penelitian menunjukkan hiperglikemia yang terjadi berulang kali dikaitkan dengan prognosis neurologis buruk pasca terjadinya TBI [103-108]. Namun meskipun hiperglikemia merugikan, mempertahankan kadar glukosa darah yang rendah dalam batas optimal masih menjadi isu yang kontroversial pada pasien dengan TBI berat, karena hipoglikemia, yang merupakan komplikasi umum dari penurunan kadar glukosa yang intensif, dapat malah menyebabkan cedera otak dan memperburuk cedera otak sudah terjadi[109]. Vespa et al. melaporkan bahwa terapi insulin intensif (IIT) memberikan hasil penurunan microdialisis glukosa dan peningkatan microdialisis glutamat dan rasio laktat / piruvat tanpa memberikan hasil keuntungan fungsional [110]. Oddo dkk. menndokumentasikan bahwa kontrol glukosa sistemik secara intensif mampu menyebabkan terjadinya penurunan ketersediaan glukosa otak ekstraseluler dan meningkatkan prevalensi terjadinya krisis energi otak, yang pada akhirnya berkorelasi dengan meningkatnya kadar mortalitas. IIT dapat mengganggu metabolisme glukosa otak setelah terjadinya cedera otak berat [111]. Suatu meta-analisis IIT pada cedera otak mengungkapkan bahwa IIT tampaknya tidak mengurangi risiko meningkatnya mortalitas di rumah sakit atau mortalitas lambat (RR = 1,04, 95% CI = 0,75, 1,43 dan RR = 1,07, 95% CI = 0,91, 1,27 masing-masing). Selain itu, IIT juga tidak memiliki efek protektif neurologis jangka panjang (RR = 1,10, 95% CI = 0,96, 1,27). IIT malah meningkatkan kadar terjadinya episode hipoglikemik (RR = 1,72, 95% CI = 1,20, 2,46) [112]. Akibatnya, Mayoritas bukti klinis yang tersedia saat ini tidak mendukung kontrol glukosa intensif (mempertahankan kadar glukosa darah di bawah 110-120 mg / dl) selama perawatan akut pasien dengan TBI berat [113].
21

Steroid Administrasi steroid tidak dianjurkan untuk memperbaiki prognosis atau mengurangi TIK pada pasien dengan TBI berat. Pemberian steroid dapat membahayakan pada kasus TBI. Penelitian CRASH merupakan suatu penelitian kolaborasi internasional yang multisenter, bertujuan untuk mengkonfirmasi atau menolak efek steroid pada kasus TBI telah melakukan penelitian dengan target merekrut 20000 pasien sebgai sampel. Pada bulan Mei 2004, data monitoring committee mempresentasikan hasil penelitian mereka kepada steering committee, bahawa penelitian CRASH yang berhenti pada perekrutan 10008 pasien memberikan hasil jumlah pasien yang dibandingkan dengan plasebo, risiko mortalitas dari semua penyebab dalam waktu 2 minggu lebih tinggi pada kelompok yang dialokasikan pada kelompok yang diberi kortikosteroid (1052 [21,1%] vs 893 [17,9%] kematian, risiko relatif = 1,18 [95% CI = 1,091,27], p = 0,0001). Para penulis menyimpulkan bahwa tidak ada pengurangan kematian dengan pemberian metilprednisolon dalam jangka waktu 2 minggu setelah terjadinya cedera kepala. Penyebab kenaikan risiko kematian dalam 2 minggu pada penelitian ini bagaimanapun masih tidak jelas [114]. Oleh karena itu, pada pasien dengan TBI parah, pemberian dosis tinggi metilprednisolon menjadi kontraindikasi [4] Koma barbiturat Barbiturat terbukti sebagai terapi yang efisien untuk kasus hipertensi intrakranial refrakter. Barbiturat mengurangi metabolisme serebral dan CBF, dan menurunkan TIK [115]. Admnistrasi dosis tinggi barbiturat dapat dipertimbangkan pada pasien TBI berat dengan kondisi hemodinamik yang stabil, namun refrakter terhadap penatalaksanaan terapi maksimal TIK secara medis maupun bedah. efek samping utama dari golongan obat ini adalah: hipotensi, terutama pada hipovolemik, dan imunosupresi yang dapat meningkatan terjadinya infeksi [116]. Namun, administrasi profilaksis barbiturat untuk menginduksi keadaan burst suppression EEG tidak dianjurkan [4]. Pentobarbital merupakan obat yang direkomendasikan untuk menginduksi koma barbiturat sebagai dengan pemberian seperti berikut: Pentobarbital: 10 mg / kgBB selama 30 menit, kemudian 5 mg / kgBB / jam selama 3 jam, kemudian 1 mg / kgBB / jam Sebagai alternatif, natrium thiopental dapat digunakan sebagai berikut: 2,5-10 mg / kgBB IV, bolus perlahan, diikuti dengan
22

0,5-2 mg / kgBB / jam

Cairan dan elektrolit Tujuan dari terapi cairan adalah untuk mengembalikan dan mempertahankan keadaan euvolemia ke hipervolemia sedang (CVP = 8-10 mm Hg, PCWP = 12 - 15 mm Hg). Keseimbangan cairan negatif telah terbukti berhubungan dengan faktor yang merugikan dan juga merupakan faktor yang mandiri namun dapat mempengaruhi TIK, MAP, dan CPP [117]. Kristaloid isotonik harus digunakan pada terapi cairan, dan cairan Normal saline (NS) adalah cairan kritaloid yang direkomendasikan. Namun resusitasi cairan secara intensif dengan NS dapat mengakibatkan hiperkloremik metabolik asidosis, hal ini merupakan komplikasi yang dapat diprediksi dari pemberian NS dalam volume besar, dengan implikasi klinis yang berbeda. Solusi hipotonik, seperti 1/2 NS, NS , Dextrose 5% dalam air (D5% W), D5% 1/2 NS, atau D5% NS harus dihindari. Larutan ringer laktat sedikit hipotonik dan merupakan cairan yang kurang direkomendasi untuk resusitasi cairan pada pasien TBI berat, terutama untuk melakukan resusitasi dengan volume besar, hal ini karena Riner laktat dapat menurunkan osmolaritas serum. glukosa mengandung solusi, seperti yang disebutkan sebelumnya atau D10% W harus dihindari pada periode 24 sampai 48 jam pertama, kecuali pada pasien yang mengalami hipoglikemia dengan tidak adanya dukungan nutrisi. Kondisi hiperglikemia pada TBI adalah keadaan yang sangat membahayakan, metabolisme anaerobic glukosa otak menghasilkan asidosis dan molekul air bebas, kedua senyawa dapat memperburuk edema otak. Pemberian cairan koloid harus digunakan secara berhati-hati karena penggunaan cairan ini seperti yang dilaporkan pada, penelitian SAFE, merupakan antara faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan mortalitas pada pasien dengan TBI [118]. HSSs telah terbukti efektif dalam mengurangi edema otak, mengurangi TIK, dan meningkatkan MAP dan CPP [119]. Potensi bermanafaat lain dari pemberian cairan HSSs termasuk, dapat cepat meningkatkan volume intravaskular (dengan pemberian volume kecil), meningkatkan curah jantung dan pertukaran gas pulmonal, pembalikan immunomodulation yang disebabkan oleh hipotensi, dan penurunan produksi CSF. Namun HSS mempunyai potensi efek samping seperti hipertensi mendadak, hipernatremia, penurunan kesadaran dan kejang. Namun, secara umum penelitian penggunaan HSS menunjukkan hasil yang tidak konsisten sehingga penilitian klinis selanjutnya adalah diperlukan untuk menentukan perannya dalam penatalaksanaan terapi cairan.

23

Pada pasien TBI berat dengan peningkatan TIK atau adanya bukti edema otak, tingkat natrium serum (Na+) yang diterima sebagai kadar aman adalah pada kadar 150-155 mEq / L [120]. Namun, gangguan konsentrasi serum elektrolit merupakan komplikasi yang umum setelah terjadinya TBI. Cedera pada sistem hipotalamus-hipofisis adalah merupakan faktor utama terjadinya kondisi ini. Penyebab paling umum untuk kondisi hipernatremia (Na+> 150 mmol / L) pada pasien dengan TBI adalah diabetes insipidus sentral atau neurogenik, penggunaan diuresis osmotik (mannitol), dan HSS. Koreksi hipernatremia berat (Na+> 160 mmol / L) harus dilakukan secara bertahap, kerana perubahan secara mendadak pada osmolaritas serum dan penurunan cepat konsentrasi natrium dapat memperburuk edema serebral. Resusitasi cairan pada kasus pasien TBI dengan kondisi hipovolemik dan hipernatremik harus diterapi dengan hanya pemberian NS pada awalnya. Penatalaksanaan gangguan elektrolit harus diikuti dengan restorasi total volume. Hiponatremia merupakan kondisi yang membahayakan dan merupakan stressor sekunder otak sistemik utama pada cedera otak sekunder pada pasien yang menderita TBI berat, karena kondisi ini mengarah ke eksaserbasi edema otak dan peningkatan TIK. Hal ini merupakan efek sekunder dari cerebral salt wasting syndrome [121], syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion (SIADH). Hipofosfatemia dan hipomagnesemia adalah komplikasi umum pada pasien dengan cedera kepala dan hal ini adalah faktor kejang sering terjadi [122123]. Terapi Lund Terapi Lund pada TBI berat didasarkan pada prinsip regulasi fisiologis antara jaringan otak dan volume darah. Terapi ini bertujuan untuk mencegah hipoksia otak dan sekaligus mengambil langkah-langkah menghindari filtrasi transkapiler. Konsep Lund lebih

menguntungkan jika terjadinya gangguan pada fungsi blood brain barrier dan lebih tepat digunakan jika tekanan autoregulasi hilang. Terapi ini memiliki dua tujuan utama: pertama untuk mengurangi atau Terapi ini memiliki dua tujuan utama: pertama untuk mengurangi terjadinya peningkatan TIK (TIK sasaran), dan yang kedua adalah untuk meningkatkan perfusi dan oksigenasi pada sekitar daerah kontusio (perfusi sasaran) dengan mempertahankan oksigenasi darah yang normal, normovolemia dan kadar hematokrit normal. Protokol pengobatan, untuk mengurangi peningkatan TIK, antaranya termasuk mempertahankan tekanan normal penyerapan dari koloid (konsentrasi protein plasma normal), penurunan tekanan intrakapiler dengan cara mengurangkan tekanan darah sistemik dengan terapi antihipertensi (a beta1-antagonis, metoprolol, dikombinasikan dengan alpha 2-agonis, clonidine) dan secara bersamaan, konstriksi
24

sedang pada resistensi pembuluh darah prekapiler dengan memberi thiopental dan dihydroergotamine dosis rendah. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa terapi Lund dapat memberikan hasil klinis yang baik [124] Perawatan intensif umum Mirip dengan pasien lain pada perawatan intensif, pasien dengan kasus TBI harus menerima perawatan rutin sehari-hari seperti berikut berikut: Meninggikan posisi kepala pada tempat tidur pada sudut 30 - 45 : yang akan dapat membantu mengurangi TIK dan meningkatkan CPP [125], dan menurunkan risiko ventilator-associated pneumonia (VAP). Mempertahankan kepala dan leher pasien dalam posisi netral: ini akan dapat membantu meningkatkan drainase vena serebral dan mengurangi TIK. Menghindari kompresi vena jugular interna atau eksterna dengan menghindari pemasangan cervical collar secara keras atau fiksasi berlebihan endotrakeal tube yang akan menghambat drainase vena serebral dan dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan TIK. Menggerakkan pasien miring ke kiri dan ke kanan secara teratur dan sering namun dengan pengamatan secara tetap TIK [126]. Memberikan perawatan mata, mulut dan kebersihan kulit Menerapkan evidence-based bundles untuk pencegahan infeksi termasuk VAP [127] dan central line bundle [128]. Pengadministrasian rejimen usus untuk menghindari konstipasi yang dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen dan TIK. Melakukan fisioterapi

Dekompresi cranioectomy dan hemicranioectomy Prosedur bedah dekompresi cranioectomy merupakan rekomendasi pendekatan terapi yang menjanjikan untuk pasien dengan TBI berat akut yang beresiko untuk dapat terjadinya edema otak berat. Prosedur dekompresi cranioectomy dan hemicranioectomy, secara umum diterima sebagai prosedur bedah yang dapat dipilih untuk mengatasi hipertensi intrakranial pada kasus di mana penatalaksanaan non-bedah gagal. Operasi dekompresi dilakukan sebagai lifesaving procedure saat hipertensi intracranial dapat menyebabkan terjadinya mortalitas yang cepat. Meskipun prosedur operasi semakin sering digunakan, bukti tentang efek keseluruhan
25

pada prognosis adalah bertentangan. Albanese et al, dalam penelitian kohort retrospektif pada 40 pasien dengan hipertensi intrakranial yang beresiko tinggi terjadinya kematian otak, prosedur dekompresi cranioectomy membantu 25% dari jumlah pasien sampel untuk mencapai rehabilitasi sosial dalam jangka waktu 1 tahun [129]. Cooper et al, dalam sebuah penelitian prospektif, terkontrol secara acak pada 155 orang dewasa dengan TBI berat yang diffus dan hipertensi intrakranial yang refrakter dibandingkan dengan terapi konvensional non-bedah, prosedur bifrontotemporoparietal decompressive craniectomy, menunjukkan hasil penurunan tekanan intrakranial (P <0,001) dan pengurangan durasi perawatan di ICU (P <0,001), namun, dengan prognosis yang kurang baik (rasio odds = 2,21, 95% CI = 1,14-4,26, P = 0,02). Tingkat mortalitas dalam jangka waktu 6 bulan adalah sama pada kelompok craniectomy (19%) dan kelompok perawatan konvensional (18%) [130]. Memprediksi prognosis TBI Prediksi awal prognosis TBI adalah penting. Beberapa model prediktif prognosis pasien dengan TBI berat telah diusulkan [131132]. Sebuah model prognostik relatif sederhana yang menggunakan dasar prediktif dengan 7 karakteristik penilaian termasuk usia, skor motorik, reaktivitas pupil, hipoksia, hipotensi, klasifikasi CT-scan, dan perdarahan subarachnoid traumatic telah dilaporkan secara akurat dapat memprediksi prognosis untuk jangka waktu 6 bulan pada pasien dengan TBI berat atau sedang [131]. Model prediktif berdasarkan usia, tidak adanya refleks cahaya, adanya perdarahan subarachnoid luas, TIK, dan midline shift terbukti memiliki nilai prediksi yang tinggi dan berguna untuk pengambilan keputusan, merevisi pengobatan, dan konseling keluarga pada kasus TBI [132]. Konklusi Pengelolaan TBI berat berpusat pada perawatan intensif yang teliti dan komprehensif dan mencakup, pendekatan multimodel protocol. Pendekatan ini mencakup dukungan hemodinamik yang tepat, perawatan pernapasan, terapi cairan, dan aspek lain dari terapi, ditujukan untuk mencegah stressor sekunder otak, menjaga CPP yang memadai, dan mengoptimalkan oksigenasi serebral. Pendekatan ini jelas memerlukan upaya dari tim yang multidisiplin termasuk ahli saraf, ahli bedah saraf, perawat, pemberi perawatan jalan nafa dan anggota lain dari tim medis. Walaupun untuk mencapai target ini merupakan tugas yang sukar, namun ianya dapat memberikan hasil yang baik mengingat faktor umur pasien dan faktor socio-ekonomi dari permasalahan ini.
26

Abbreviations BTF: Brain Trauma Foundation; CBF: Cerebral blood flow; CBV: Cerebral blood volume; CPP: Cerebral perfusion pressure; CSF: Cerebral spinal fluid; CVP: Central venous pressure; EEG: Electroencephalogram; GCS: Glasgow coma scale; HSS: Hypertonic saline solution; ICP: Intracranial pressure; MAP: Mean arterial pressure; NS: Normal saline; PbtO2: Brain tissue oxygen tension; PEEP: Positive end expiratory pressure; SBP: Systolic blood pressure; SIADH: Syndrome of inappropriate anti-diuretic hormone secretion; SjvO2: Jugular venous oxygen saturation; TBI: Traumatic brain injury.

Author details Surgical Intensive Care Unit, Intensive Care Department, King Abdulaziz Medical City, PO Box 22490, Riyadh 11426, K.S.A. 2Intensive Care Department, College of Medicine, King Saud Bin Abdulaziz University for Health Sciences, King Abdulaziz Medical City, PO Box 22490, Riyadh 11426, K.S.A. Authors contributions SHH performed literature review and wrote the initial draft of the manuscript. YMA edited and rewrote portions of the manuscript. All authors read and approved the final manuscript. Authors information Samir H. Haddad, MD, is Head Section of Surgical Intensive Care Unit; and Consultant in the Intensive Care Department at King Abdulaziz Medical City, Riyadh, Saudi Arabia. Yaseen M. Arabi, MD, FCCP, FCCM, is Chairman, Intensive Care Department; and Medical Director, Respiratory Services at King Abdulaziz Medical City, Riyadh, Saudi Arabia. He is also Associate Professor at College of Medicine, King Saud Bin Abdulaziz University for Health Sciences, Riyadh, Saudi Arabia. Competing interests The authors declare that they have no competing interests. Received: 22 October 2011 Accepted: 3 February 2012

27

DAFTAR PUSTAKA 1) Teasdale G, Jennett B: Assessment of coma and impaired consciousness: A practical scale. Lancet 1974, 2:81-84. 2) Bullock R, Chestnut RM, Clifton G, Ghajar J, Marion DW, Narayan RK, et al:Guidelines for the management of severe head injury. J Neurotrauma 1996, 13(11):643-734. 3) Bullock R, Chestnut RM, Clifton G, Ghajar J, Marion DW, Narayan RK, et al:Guidelines for the Management of Severe Traumatic Injury. J Neurotrauma 2000, 17:453-553. 4) Bullock R, et al: Guidelines for the Management of Severe TraumaticBrain Injury. J Neurotrauma , 3 2007, 24(Suppl 1):S1-S106. 5) Vukic M, Negovetic L, Kovac D, Ghajar J, Glavic Z, Gopcevic A: The effect of implementation of guidelines for the management of severe head injury on patient treatment and outcome. Acta Neurochir (Wien) 1999, 141(11):1203-8. 6) Hesdorffer D, Ghajar J, Iacono L: Predictors of compliance with the evidence-based guidelines for traumatic brain injury care: A survey of United States trauma centers. J Trauma 2002, 52:1202-1209. 7) Fakhry SM, Trask AL, Waller MA, Watts DD: Management of brain- injured patients by an evidence-based medicine protocol improves outcomes and decreases hospital charges. J Trauma 2004, 56(3):492-499, discussion 499-500. 8) Arabi Y, Haddad S, Tamim H, Al-Dawood A, Al-Qahtani S, Ferayan A, et al: Mortality Reduction after Implementing a Clinical Practice Guidelines-Based Management Protocol for Severe Traumatic Brain Injury. J Crit Care 2010, 25(2):190-195. 9) Chesnut RM: Secondary brain insults after head injury: clinical perspectives. New Horiz 1995, 3:366-75. 10) Unterberg AW, Stover JF, Kress B, Kiening KL: Edema and brain

trauma.Neuroscience 2004, 129:1021-9. 11) Jeremitsky E, Omert L, Dunham CM, Protetch J, Rodriguez A: Harbingers of poor outcome the day after severe brain injury: hypothermia, hypoxia, and hypoperfusion. J Trauma 2003, 54(2):312-319.
28

12) Abdoh MG, Bekaert O, Hodel J, Diarra SM, Le Guerinel C, Nseir R, Bastuji-Garin S, Decq P: Accuracy of external ventricular drainage catheter placement. Acta Neurochir (Wien) 2011. 13) Stiefel MF, Spiotta A, Gracias VH, Garuffe AM, Guillamondegui O, MaloneyWilensky E, Bloom S, Grady MS, LeRoux PD: Reduced mortality rate in patients with severe traumatic brain injury treated with brain tissue oxygen monitoring. J Neurosurg 2005, 103(5):805-811. 14) Saul TG, Ducker TB: Effect of intracranial pressure monitoring and aggressive treatment on mortality in severe head injury. J Neurosurg 1982, 56:498-503. 15) Saul TG, Ducker TB: Intracranial pressure monitoring in patients with severe head injury. Am Surg 1982, 48(9):477-480. 16) Eisenberg HM, Frankowski RF, Contant CF, et al: High-dose barbiturate control of elevated intracranial pressure in patients with severe head injury. J Neurosurg 1988, 69:15-23. 17) Howells T, Elf K, Jones P, et al: Pressure reactivity as a guide in the treatment of cerebral perfusion pressure in patients with brain trauma. J Neurosurg 2005, 102:311317. 18) Aarabi B, Hesdorffer D, et al: Outcome following decompressive craniectomy for malignant swelling due to severe head injury. J Neurosurg 2006, 104:469-479. 19) Timofeev I, Kirkpatrick P, Corteen E, et al: Decompressive craniectomy in traumatic brain injury: outcome following protocol-driven therapy. Acta Neurochir (Suppl) 2006, 96:11-16. 20) Bulger EM, Nathens AB, Rivara FP, Moore M, MacKenzie EJ, Jurkovich GJ:Management of severe head injury: institutional variations in care and effect on outcome. Crit Care Med 2002, 30:1870-1876. 21) Lane PL, Skoretz TG, Doig G, Girotti MJ: Intracranial pressure monitoring and outcomes after traumatic brain injury. Can J Surg 2000, 43:442-448. 22) Mauritz W, Steltzer H, Bauer P, Dolanski-Aghamanoukjan L, Metnitz P: Monitoring of intracranial pressure in patients with severe traumatic brain injury: an Austrian prospective multicenter study. Intensive Care Med 2008, 34:1208-1215.

29

23) Stocchetti N, Penny KI, Dearden M, Braakman R, Cohadon F, Iannotti F, Lapierre F, Karimi A, Maas A Jr, Murray GD, Ohman J, Persson L, Servadei F, Teasdale GM, Trojanowski T, Unterberg A, European Brain Injury Consortium: Intensive care management of head-injured patients in Europe: a survey from the European brain injury consortium. Intensive Care Med 2001, 27:400-406. 24) Cremer OL, van Dijk G, van Wensen E, et al: Effect of intracranial pressure monitoring and targeted intensive care on functional outcome after severe head injury. Crit Care Med 2005, 33:2207-2213. 25) Cremer OL: Does ICP monitoring make a difference in neurocritical care? European Journal of Anaesthesiology 2008, 25(Suppl 42):87-93. 26) Shafi S, Diaz-Arrastia R, Madden C, Gentilello L: Intracranial pressure monitoring in brain-injured patients is associated with worsening of survival. J Trauma 2008, 64(2):335-340. 27) Haddad S, AlDawood AS, AlFerayan A, Russell N, Tamim H, Arabi YM: Relationship between intracranial pressure monitoring and outcomes in severe traumatic brain injury patients. Anaesth Intensive Care 2011, 39(6):1043-1050. 28) Forsyth R, Wolny S, Rodrigues B: Routine intracranial pressure monitoring in acute coma. Cochrane Database Syst Rev 2010, , 2: CD002043. 29) Treggiari MM, Schutz N, Yanez ND, Romand JA: Role of intracranial pressure values and patterns in predicting outcome in traumatic brain injury: a systematic review. Neurocrit Care 2007, 6(2):104-12. 30) Robertson CS, Narayan RK, Gokaslan ZL, et al: Cerebral arteriovenous oxygen difference as an estimate of cerebral blood flow in comatose patients. J Neurosurg 1989, 70:222-230. 31) Lam JM, Chan MS, Poon WS: Cerebral venous oxygen saturation monitoring: is dominant jugular bulb cannulation good enough? Br J Neurosurg 1996, 10:357-364. 32) Cruz J: The first decade of continuous monitoring of jugular bulboxyhemoglobin saturation: management strategies and clinical outcome. Crit Care Med 1998, 26:344351. 33) Robertson CS, Cormio M: Cerebral metabolic management. New Horiz 1995, 3:410422.
30

34) Sheinberg M, Kanter MJ, Robertson CS, et al: Continuous monitoring of jugular venous oxygen saturation in head-injured patients. J Neurosurg 1992, 76:212-217. 35) Gopinath SP, Robertson CS, Contant CF, et al: Jugular venous desaturation and outcome after head injury. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1994, 57:717-723. 36) Robertson CS, Gopinath SP, Goodman JC, Contant CF, Valadka AB, Narayan RK: SjvO2 monitoring in head-injured patients. J Neurotrauma 1995, 12:891-896. 37) Lewis SB, Myburgh JA, Reilly PL: Detection of cerebral venous desaturation by continuous jugular bulb oximetry following acute neurotrauma. Anaesth Intensive Care 1995, 23:307-314. 38) Rosenthal G, Hemphill JC, Sorani M, Martin C, Morabito D, Obrist WD, Manley GT: Brain tissue oxygen tension is more indicative of oxygen diffusion than oxygen delivery and metabolism in patients with traumatic brain injury. Crit Care Med 2008, 36(6):1917-1924. 39) Haddad and Arabi Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine 2012, 20:12 http://www.sjtrem.com/content/20/1/12 Page 12 of 15

31

You might also like