You are on page 1of 4

KAJIAN BUDIDAYA SAWI HIJAU DI LAHAN SAWAH IRIGASI SETELAH PANEN PADI I.B.K. Suastika, A.A.N.B.

Kamandalu, I Ketut Kariada dan I.G.K. Dana Arsana Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali ABSTRAK
Budidaya sawi hijau dengan memanfaatkan lahan setelah panen padi pada lahan sawah irigasi pada umumnya dilakukan oleh sebagian besar petani di Kabupaten Tabanan dan Kecamatan Tabanan khususnya. Penelitian dilakukan di Subak Priyuk, Kecamatan Tabanan dari bulan Mei sampai Juni 2006. Penelitian bertujuan untuk mengkaji produktivitas dan besarnya pendapatan yang diterima petani dari budidaya sawi hijau setelah panen padi pada lahan sawah irigasi. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan 5 perlakuan Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 6 kali. Perlakuan dimaksud adalah mencampur benih sawi dengan urea sebelum disebar dengan perbandingan (1) 100g benih: 2 kg Urea (P1); (2) 100:3 (P2); (3) 100:4 (P3) dan 100:5 (P4). Benih yang telah dicampur dengan urea kemudian di tanam dengan cara disebar merata pada bedengan berukuran 1,5 m. Pemupukan menggunakan urea sebanyak 6 kg/are yang diberikan pada 14 hari setelah tanam (hst). Penyiangan dan pengairan dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Parameter yang diamati meliputi keragaan tanaman (tinggi tanaman, jumlah daun/tanaman, lebar daun dan panjang daun), jumlah tanaman/m2 dan hasil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebar daun dan panjang daun sawi hijau yang diberi perlakuan P1, P2 dan P3 lebih besar dan berbeda nyata dibanding P4 yaitu 11,44 cm, 12,13 cm, 11,62 cm dan 17,03 cm, 18,41 cm, 16,8 cm dibanding dengan 9,52 cm dan 13,99 cm. Perlakuan P1, P3 dan P4 meningkatkan jumlah tanaman/m2 dan hasil/m2 dan bebeda nyata dibanding dengan P2 yaitu 116,33, 139,33, 123,67 dan 1970 g, 2416,33 g, 1883,33 g dibanding dengan 87 dan 1790,11 g. Keuntungan yang diperoleh petani dalam satu kali musim tanam dari budidaya sawi hijau setelah panen padi pada lahan sawah irigasi dalam luasan 2 are (0,02 ha) berkisar antara Rp. 2.518.150,- sampai 1.423.750,-. Kata kunci : sawi hijau, budidaya, pendapatan petani, lahan sawah irigasi

PENDAHULUAN Menurut hasil kajian, pendapatan rumah tangga tani pada daerah dengan usahatani berbasis non padi umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah berbasis padi. Perkembangan ekonomi berbasis padi di lahan sawah juga menunjukkan kejenuhan bahkan dari segi produktivitas telah terjadi levelling off. (Anonimus, 2005) Beberapa permasalahan pokok yang menyebabkan kejenuhan usahatani di lahan sawah diantaranya adalah: (1) rata-rata penguasaan lahan kecil dan bahkan makin mengecil; (2) semakin terbatasnya kapasitas ekonomi usahatani padi dalam meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani; (3) terhambatnya upaya diversifikasi akibat kendala teknis, sosial dan ekonomi. Untuk mengantisipasi tantangan tersebut di atas, petani sawah di Bali khususnya telah lama melakukan kegiatan usahatani non padi dengan mengusahakan tanaman sayuran berumur pendek setelah panen padi. Tanaman sayuran yang cukup potensial diusahakan dan memberikan keuntungan yang cukup tinggi adalah sawi hijau (caisim), mentimun, kacang panjang, bayam potong, dan gonda (sayuran khas Bali). Diantara tanaman sayuran tersebut, caisim yang paling banyak diusahakan karena ditinjau dari aspek teknis budidaya caisim relatif lebih mudah dibandingkan dengan jenis tanaman hortikultura lainnya. Dari segi pengusahaan, caisim cukup menjanjikan keuntungan yang lebih baik. Sebagai contoh, pengusahaan caisim seluas 2 are (0,02 ha) dengan teknik sebar benih langsung (tanpa pesemaian) dapat dihasilkan 4-5 kwintal atau rata-rata 4,5 kwintal sayur segar pada musim kemarau per periode penanaman. Dengan harga rata-rata Rp. 1500/kg maka akan diperoleh keuntungan tidak kurang dari Rp. 675. 000. Haryanto dkk (2005) melaporkan bahwa dari pengusahaan caisim seluas 1 ha dengan rata-rata produksi 25 ton sayur segar dengan rata-rata harga Rp. 100/kg keuntungan yang diperoleh tidak kurang dari Rp. 13.000.000 pada musim kemarau per periode penanaman. Pengembangan berbagai tanaman hortikultura, khususnya penanaman caisim, mentimun, kacang panjang, bayam potong, dan gonda setelah padi dapat ditingkatkan, namun masih belum seimbang dengan permintaan pasar. Keadaan ini dimungkinkan antara lain sebagai akibat peningkatan jumlah penduduk, perbaikan pendapatan dan peningkatan kesadaran gizi masyarakat. Selain itu di kota-kota besar tumbuh permintaan pasar yang menghendaki kualitas yang baik dengan berbagai jenis yang lebih beragam. Konsekuensi dari kebutuhan yang demikian menyebabkan permintaan beberapa jenis sayuran meningkat (Pabinru, 1991). Permintaan terhadap komoditas sayuran yang meningkat tersebut menghendaki penanganan yang optimal, baik dari segi produksi, panen dan pasca panen, pemasaran dan pendekatan aspek kelembagaan.

Kondisi tersebut di atas dibenarkan oleh Baharsyah (1990), yang menyatakan bahwa pola permintaan pangan dan hortikultura secara umum akan tetap meningkat dengan percepatan disekitar pertumbuhan penduduk dan elastisitas pendapatan yang sudah mengecil. Demikian pula komposisi menu makanan rumah tangga akan berubah secara dinamis kearah peningkatan proporsi konsumsi hasil-hasil peternakan, perikanan dan hortikultura, sehingga terjadi keseimbangan konsumsi karbohidrat, protein dan vitamin serta mineral yang lebih baik. Sementara itu Pasandaran dan Hadi (1994) melaporkan bahwa konsumen sayuran sebagian besar adalah masyarakat perkotaan, dimana rata-rata konsumsi sayuran masyarakat kota perkapita adalah 6,9% lebih tinggi daripada masyarakat desa, yaitu mencapai 29-32 kg/kapita/tahun dari anjuran 60 kg/kapita/tahun. Dengan demikian pengeluaran untuk pangan di pedesaan lebih kecil dari pada perkotaan. Hal yang menarik terjadi adalah semakin tinggi pengeluaran rumah tangga maka semakin tinggi pula pengeluaran untuk sayuran dan buah (Gatoet & Arifin, 1992). Kondisi ini memberikan prospek bagi pengembangan usahatani sayuran di daerah pedesaan yang memiliki nilai ekonomis serta memiliki orientasi pasar. Sementara itu produktivitas dan keuntungan yang diperoleh dari usahatani caisim setelah padi dengan teknik sebar langsung yang biasa dilakukan oleh petani rendah. Karena itu diperlukan adanya inovasi teknologi terutama dalam teknik penanaman untuk memperoleh perlakuan (perbandingan benih caisim dan urea) sebelum disebar yang memberikan produktivitas yang paling optimal. Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji produktivitas dan keuntungan yang diperoleh petani dari budidaya caisim setelah panen padi pada lahan sawah irigasi melalui perbaikan teknik penanaman. BAHAN DAN METODA Penelitian dilakukan di lahan sawah irigasi setelah panen padi di Subak Priyuk, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan dari bulan Mei sampai Juni 2006. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 6 kali. Perlakuan dimaksud adalah mencampur benih sawi dengan urea sebelum disebar dengan perbandingan (1) 100 g benih: 2 kg Urea (P1); (2) 100:3 (P2); (3) 100:4 (P3) dan 100:5 (P4). Benih yang telah dicampur dengan urea kemudian di tanam dengan cara disebar merata pada bedengan berukuran 1,5 m dalam luasan kurang lebih 2 are (0,02 ha). Pemupukan dengan urea diberikan pada 14 hari setelah tanam (hst) dengan dosis 6 kg/0,01m2 (600 kg/ha). Penyiangan dilakukan secara mekanis pada 14 hst. Kegiatan panen dilakukan pada 30 hst. Parameter yang diukur meliputi tinggi tanaman, jumlah daun/tanaman, lebar dan panjang daun dari 5 sampel tanaman serta jumlah tanaman/m 2 dan hasil diukur dari 3 sampel dari masing-masing perlakuan. Data yang terkumpul dari masing-masing parameter yang diamati kemudian dianalisis dengan menggunakan program SPSS 11.00, yang dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaan pertumbuhan tanaman caisim sangat dipengaruhi oleh perlakuan terutama terhadap ukuran lebar dan panjang daun, tetapi tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun/tanaman (Tabel 1).
Tabel 1. Keragaan Tanaman Sawi Hijau yang Diusahakan Setelah Panen Padi pada Lahan Sawah Irigasi di Subak Priyuk, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, Bali. 2006. Perlakuan Tinggi Tanaman(cm) Jml daun/ Tanaman Lebar Daun(cm) Panjang Daun(cm)

P1 = 100 g benih sawi + 2 kg urea P2 = 100 g benih sawi + 3 kg urea P3 = 100 g benih sawi + 4 kg urea P4 = 100 g benih sawi + 5 kg urea Keterangan : Angka dalam kolom yang diikuti oleh Duncan.

39,81 a 6,13 a 11,44 ab 17,03 b 37,66 a 6,59 a 12,13 b 18,41 b 39,31 a 6,20 a 11,62 b 16,8 ab 38,90 a 5,73 a 9,52 a 13,99 a huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% pada uji

Pada perlakuan P1, P2 dan P3 menunjukkan ukuran lebar dan panjang daun caisim lebih besar dan berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan P4 yaitu 11,44 cm; 12,13 cm; 11,62 cm dibandingkan dengan 9,52 cm dan 17,03 cm; 18,41; 16,8 cm dibandingkan dengan 13,99 cm. Lebih tingginya ukuran lebar dan panjang daun caisim pada perlakuan P1, P2, dan P3 dibandingkan dengan P4 menunjukkan kecenderungan

lebih disebabkan karena pengaruh jumlah populasi tanaman per satuan luas (kerapatan tanaman/m 2). Pada perlakuan P1, P2 dan P3 jumlah populasi tanaman/m2 cenderung lebih sedikit dibanding dengan perlakuan P4 (Tabel 2) sehingga mengurangi adanya persaingan dalam hal unsur hara, air dan sinar matahari. Hal ini terkait dengan teknik penanaman tanpa melalui proses pesemaian sehingga berdampak kurang baik terhadap pertumbuhan tanaman. Hal senada juga dilaporkan oleh Haryanto dkk (2005) bahwa penanaman sawi yang dilakukan tanpa melalui tahap pesemaian biasanya tumbuh rapat dan kurang teratur sehingga menyebabkan adanya persaingan dalam menyerap unsur-unsur hara dalam tanah dan berdampak kurang baik terhadap pertumbuhan tanaman. Perlakuan juga mempengaruhi terhadap jumlah tanaman/m 2 dan hasil caisim terutama perlakuan P3 dan berbeda nyata disbandingkan dengan perlakuan P2 yaitu 129,33 tanaman/m 2 dibandingkan dengan 87,0 tanaman/m2 dan 2416,33 g/m2 dibandingkan dengan 1790,11 g/m2 (Tabel 2). Tetapi jumlah tanaman/m2 dan hasil/m2 pada perlakuan P3 tidak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan P1 dan P4. Tingginya hasil caisim yang diperoleh pada perlakuan P1, P3 dan P4 dibandingkan dengan perlakuan P2 diduga bahwa ketiga perlakuan tersebut merupakan perlakuan yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman caisim yang paling optimal, sehingga kemungkinan terjadinya persaingan antara tanaman terhadap unsur hara, air dan sinar matahari semakin kecil. Optimalnya pertumbuhan tanaman caisim secara tidak langsung akan mengakibatkan peningkatkan hasil.
Tabel 2. Jumlah Tanaman dan Hasil Sawi Hijau yang Diusahakan Setelah Panen Padi pada Lahan Sawah Irigasi di Subak Priyuk, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, Bali. 2006. Perlakuan Jumlah tanaman/m2 Hasil (g)/m2

P1 = 100 g benih sawi + 2 kg urea 116,33 ab 1970,00 ab P2 = 100 g benih sawi + 3 kg urea 87,00 a 1790,11 a P3 = 100 g benih sawi + 4 kg urea 139,33 b 2416,33 b P4 = 100 g benih sawi + 5 kg urea 123,67 b 1883,33 ab Keterangan : Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% pada uji Duncan.

Dari hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh dari budidaya caisim setelah padi tanpa melalui pesemaian dimana perlakuan P3 memberikan nilai keuntungan yang tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya dan terendah perlakuan P2 (Tabel 3). Dengan harga jual rata-rata Rp. 1500,-/kg caisim segar maka perlakuan P3 memberikan keuntungan sebesar Rp.2.518.150,- dan terendah perlakuan P2 yaitu sebesar Rp. 1.423.750,- pada musim kemarau (Mei sampai Juni) per musim tanam. KESIMPULAN Perlakuan P3 dalam budidaya caisim setelah panen padi produktivitas yang tertinggi (2416,33 kg/m2) per musim tanam. (Mei sampai Juni) memberikan

DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 2005. Adakah Prospek Diversifikasi Usahatani di Lahan Sawan Irigasi. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 27 (1):13-15. Baharsyah, S. 1990. Pokok-pokok Pemikiran Repelita VI Pertanian. Pengarahan Rapat Kerja Nasional. Departemen Pertanian Jakarta. 15-17 Januari 1990. Gatoet, S.H. & M. Arifin. 1992. Keragaan Konsumsi Sayuran dan Buah Indonesia. Info Hortikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Haryanto, E., Tina Suhartini, Estu Rahayu & Hendro Sunarjono. 2005. Sawi & Selada. Penebar Swadaya. Jakarta. 112 hal. Pabinru, M.A. 1991. Kebijakan Sayuran di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Sayuran. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pasandaran, E. & P.U. Hadi. 1999. Budidaya Hidroponik Pada Tanaman Sayuran. Prosiding Pengkajian Teknologi Usahatani Sayuran Pinggiran Perkotaan. BPTP Karangploso. Malang.

You might also like