You are on page 1of 12

TUGAS RESUME

MATA KULIAH JUDUL BUKU PENGARANG PENERBIT : HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL : HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL (SUATU TINJAUAN TEORITIS SERTA PENGALAMAN-PENGALAMAN DI INDONESIA) : PROF. DR. SATJIPTO RAHARDJO, S.H. : GENTA PUBLISHING YOGYAKARTA, CETAKAN KETIGA, OKTOBER 2009.

BAB II SUATU KERANGKA BERPIKIR DALAM MENINJAU MASALAH HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL

DEWA PUTU TAGEL NIM : 0990561036 KONSENTRASI : HUKUM DAN MASYARAKAT

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2010
1

BAB II SUATU KERANGKA BERPIKIR DALAM MENINJAU MASALAH HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL

A. HUKUM DALAM MASYARAKAT Sebelum mempelajari hubungan antara hukum dan perubahan sosial, maka perlu kita ketahui tempat hukum itu dalam masyarakat. Menurut teori Parsons, tindakan individu pada tempatnya sebagai suatu prilaku yang bermakna dalam suatu kaitan sosial tertentu merupakan tindakan yang terstruktur. Tindakan tersebut dibatasi dua macam lingkungan yang bersifat fisik dan ideal, yang disebut alam fisik organis dan realitas terakhir. Struktur tindakan itu terdiri dari beberapa sub sistem. Masing-masing sub sistem mempunyai fungsinya sendiri, seperti: 1. Fungsi mempertahankan pola adalah menghubungkan sub sistem sosial dengan sub sistem budaya dari aktivitas tersebut, pemberian makna dari sub sistem budaya menampakkan diri dalam penggunaan lambang-lambang. 2. Fungsi mencapai tujuan adalah berhubungan dengan kepribadian, yaitu merupakan perantara untuk melakukan tindakan-tindakan, kepribadian sebagai suatu perwujudan dari manusia. 3. Fungsi melakukan integrasi adalah sub sistem yang berhubungan erat dengan interaksi dalam masyarakat. Dalam Teori Parson proses interaksi tersebut tidak cukup mempertahankan pola juga penegakkan nilai-nilai. 4. Fungsi adaptasi adalah mempunyai hubungan yang paling dekat dengan lingkungan fisik organis.

Dilihat dari segi dinamikanya, maka sub sistem-sub sistem serta fungsifungsi tersebut terhubung ke dalam arus hubungan yang dinamakan hubungan sibernetika. Dalam proses interaksi akan timbul fenomena saling merasuki di antara sub sistem. Misalnya pada proses pelembagaan, akan terjadi saling pertukaran diantara sistem kebudayaan dan sistem sosial, sehingga hal semula masuk pada sistem kebudayaan kemudian menjadi bagian sistem sosial. Fenomena tersebut menimbulkan wilayah-wilayah, yang oleh Parsons dinamakan wilayah-wilayah saling perasukan. Dengan demikian sistem sosial sebagai suatu sistem yang terbuka, yakni selalu mengalami proses saling pertukaran dalam bentuk masukan dan keluaran dengan lingkungannya. Hukum disini ditekankan pada fungsinya untuk menyelesaikan konflikkonflik yang timbul dalam masyarakat secara teratur. Pada saat penyelesaian sengketa dalam masyarakat, maka dibutuhkan mekanisme yang mampu menyatukan (integrasi) kekuatan-kekuatan dalam masyarakat. Pada saat itu hukum mulai bekerja sebagai mekanisme pengintegrasi melibatkan ketiga proses yang lain (seperti: bidang ekonomi, bidang politik dan bidang budaya), berupa pemberian masukan-masukan yang nantinya diubah menjadi keluaran-keluaran. a. Masukan dari bidang ekonomi. Proses ekonomi memberikan bahan informasi kepada hukum mengenai latar belakang sengketa dan bagaimana kemungkinannya apabila sesuatu keputusan dijatuhkan. Pertukaran proses ini menghasilkan keluaran yang berupa pengorganisasian atau perstrukturan masyarakat.

b.

Masukan bidang politik. Hukum dalam hal ini pengadilan, menerima masukan dari sektor politik berupa petunjuk tentang apa dan bagaimana menjalankan fungsi hukum. Petunjuk tersebut tercantum dalam hukum positif dan menjadi pegangan pengadilan untuk menyelesaikan perkara.

c.

Masukan bidang budaya. Pertukaran yang terjadi disini bisa dikatakan sebagai proses sosialisasi dengan hukum. Sebagai pertukaran bagi masukan yang datang dari bidang budaya tersebut, maka keluaran yang datang dari pengadilan berupa keadilan. Uraian di atas menggambarkan hubungan di antara bidang-bidang serta

proses dalam masyarakat sebagai hubungan masukan dan keluaran.

B. HUBUNGAN ANTARA PERUBAHAN SOSIAL DAN PERUBAHAN HUKUM 1. Dasar-dasar pemikiran tentang hubungan antara perubahan sosial dan perubahan hukum Dalam pembahasan mengenai hubungan antara perubahan sosial dan perubahan hukum ini perlu diketahui mengenai hukum yang mengandung petunjuk tentang kepekaan hukum terhadap perubahan sosial, sebagai berikut: 1. Merumuskan hubungan-hubungan antar anggota masyarakat dengan

menunjukkan perbuatan yang dilarang dan dibolehkan atau dengan kata lain hukum mengandung perintah dan larangan. 2. Mengalokasikan dan menegaskan siapa-siapa yang boleh menggunakan kekuasaan. 3

3. 4.

Penyelesaian sengketa-sengketa. Mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara mengatur kembali hubungan-hubungan dalam masyarakat apabila keadaan berubah. (Hoebel, 1976:275). Dari uraian mengenai pekerjaan hukum tersebut di atas, maka pekerjaan

pada nomor 4 (empat) menunjukkan betapa eratnya hubungan antara hukum dan perubahan sosial. Untuk lebih mengembangkan peninjauan kita mengenai hubungan antara perubahan sosial dengan perubahan hukum, berikut ini akan dikaji lebih jauh mengenai kelanjutan-kelanjutan dari perubahan sosial. Perubahan sosial akan menimbulkan problem sosial, yang bisa dirumuskan sebagai suatu ketidaksesuaian antara ukuran-ukuran yang diterima dalam pergaulan sosial. Dalam suasana perubahan sosial maka bagian-bagian atau sektor-sektor dalam masyarakat itu tidak tidak berubah sama cepatnya. Oleh karena adanya saling ketergantungan di antara bagian-bagian tersebut, maka perubahan di satu bidang menimbulkan keharusan bagi dilakukannya penyesuaian oleh bagian yang lain, sehingga keadaan kembali menjadi lancar.

2.

Aspek-Aspek Perubahan Sosial Yang Berhubungan Dengan Perubahan Hukum Aspek-aspek perubahan sosial meliputi : irama, jangkauan dan faktor-

faktor perubahan sosial.

1.

Aspek perubahan sosial dalam hal iramanya, meliputi: a. Perubahan yang beringsut adalah perubahan yang memberikan tambahan pada keadaan semula tetapi tanpa mengadakan perubahan dalam substansi maupun strukturnya. Bentuk penambahannya bisa pengurangan, peniadaan dan modifikasi terhadap substansi yang ada. b. Perubahan yang luas adalah hampir sama dengan perubahan beringsut, tapi jangkuannya lebih luas. c. Perubahan revolusioner adalah penggantian suatu tipe norma secara menyeluruh dan penolakan terhadap pola tingkah laku yang lama.

2.

Aspek perubahan sosial dipandang dari jangkauannya, meliputi : a. Perubahan norma secara individu yang meliputi perubahan dalam tingkah laku individual. b. Perubahan dalam norma-norma kelompok terjadi pada satuan-satuan yang dinamakan sebagai sistem politik. c. Perubahan nilai-nilai atau norma-norma dasar dalam masyarakat.

3.

Aspek perubahan sosial dilihat dari faktor-faktor perubahan sosial, meliputi: a. Kependudukan (demografi) Besar kecilnya jumlah penduduk sangat mempengaruhi perubahan sosial. b. Habitat fisik Peranan habitat fisik ini dalam perubahan sosial diakui sangat lambat dan berada di luar pengamatan manusia.

c. Teknologi Teknologi bukan sesuatu yang berdiri sendiri (otonom) melainkan sebagai suatu proses sosial bersifat kolektif yang dikaitkan dengan sistem kebudayaan untuk aspek tekniknya, berhubungan pula dengan ekonomi yang mengatur prosedurnya dan berhubungan pula kompleks

kelembagaan, seperti pemilikan dan kontrak. d. Struktur-struktur masyarakat dan kebudayaan. Struktur yang dimiliki oleh masyarakat dan struktur kebudayaanya mempunyai hubungan yang erat dengan perubahan sosial. Sekalipun tidak sehebat teknologi, namun kita tidak dapat memikirkan terjadinya perubahan sosial dengan mengabaikan kedua faktor tersebut di atas.

Keterbukaan terhadap perubahan, terhadap pemikiran-pemikiran serta penemuan-penemuan baru akan memberikan rincian kepada masyarakat dalam terjadinya perubahan sosial yang tinggi. Suatu ciri yang melekat pada masyarakat dalam perkembangannya adalah terjadinya diferensiasi. Melalui proses diferensiasi ini suatu masyarakat menjadi terurai ke dalam berbagai bentuk bidang spesialisasi yang masing-masing sedikit banyak mendapatkan kedudukan otonom. Oleh karenanya susunan masyarakatnya menjadi semakin kompleks.

C. PERUBAHAN HUKUM Apabila hukum dipakai sebagai suatu bentuk karya manusia tertentu untuk mengatur kehidupannya, maka akan dapat dijumpai dalam berbagai

lambang-lambang. Diantara lambang-lambang tersebut, yang paling tegas dan terperinci mengutarakan isinya adalah bentuk tertulis atau bentuk sistem hukum formal. Salah satu segi bentuk tersebut adalah terdapatnya kepastian dalam norma-normanya dan kekakuan pemberlakuannya. Kekakuan itu sendiri pada gilirannya menyebabkan timbulnya kesenjangan dalam masyarakat. Perubahan hukum pada hakekatnya dimulai dari adanya kesenjangan tersebut (Sinzheimer, 1935:86). Tuntutan bagi terjadinya perubahan hukum, mulai timbul apabila kesenjangan tersebut telah mencapai tingkatnya yang sedemikian rupa, sehingga kebutuhan akan perubahan semakin mendesak (Dror, 1959:90). Menurut Daniel S. Lev. bahwa perubahan hukum tersebut dimulai dari persepsi mengenai hukum yang digunakannya. Baginya yang disebut sebagai hukum bukanlah undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang

dianggapnya sebagai pengertian yang amat sempit. Adapun yang merupakan hukum adalah praktek sehari-hari oleh para pejabat hukum, seperti hakim, jaksa, polisi dan advokat. Oleh karena itu, apabila kelakuan mereka itu berubah, maka hal itu berarti hukum pun sudah berubah, walaupun undang-undang dan peraturan-peraturannya masih tetap saja seperti dahulu (Lev, 1971:2-7). Perubahan hukum sebagaimana dibicarakan di muka ternyata tidak selalu menyangkut perubahan peraturan hukum, tetapi dapat terjadi pada sub sistem kelakuan.

D. TEORI-TEORI TENTANG PERTUMBUHAN MASYARAKAT DAN HUKUMNYA Hubungan antara perubahan sosial dan perubahan hukum dapat juga diamati dari berbagai teori yang ada. Perhatian dari para pengkaji masyarakat banyak berkisar di sekitar pembagian secara dikotomois, yaitu tradisional atau sedang berkembang di satu pihak dan modern atau maju dilain pihak (Chodak,1973:42-75). Pembagi duaan masyarakat ini memang bisa mempermudah usaha kita untuk melihat dengan jelas perkaitan antara perkembangan masyarakat dan pertumbuhan hukumnya. Dari pemusatan perhatian terhadap fenomena tersebut muncullah perbedaan diantara masa sesudah industrialisasi dan sebelumnya. Masa-masa sesudah industrialisasi ditandai oleh urbanisasi, penyebaran pendidikan, mobilitas sosial dan lain-lain. Oleh para ahli sosiologi, perkembangan sesudah masa industrialisasi tersebut disebut sebagai kehancuran kelompok-kelompok primer,

pengelompokkan tersebut dapat dilihat sebagai suatu penjajaran masyarakat dengan ciri-ciri yang berbeda, tetapi juga dapat diterima sebagai suatu penggambaran proses pertumbuhan atau suatu perubahan sosial. Seluruh masyarakat kini terhubung kedalam suatu jaringan interdependensi sistemik (Chodak, 1973:66) oleh Szymon Chodak digunakan suatu ungkapan yang baik sekali untuk menggambarkan perkembangan tersebut, yaitu The proses of growing systemnes in societal structures. Menurut Parsons bahwa perkembangan masyarakat ditandai oleh kemampuannya untuk memanfaatkan lingkungannya, yaitu yang disebutnya

sebagai Generalized adaptive capacity (Parsons, 1977:11). Kemampuan ini pada suatu saat terhambat oleh hubungan-hubungan dalam masyarakat yang bersifat kekerabatan. Sebagai kelanjutan gambaran tersebut, maka penerobasan pertama yang menandai terjadinya suatu evolusi pada masyarakat yang bersangkutan adalah timbulnya stratifikasi soaial. Stratifikasi sosial ini menciptakan penggolongan dalam penikmatan hak-hak istimewa, seperti adanya golongan atas dan bawah. Peralihan masyarakat pada tahap modern ditandai oleh perkembangan tata hukum yang dapat dinyatakan secara umum sebagai hukum formal. Hukum tersebut mempuinyai ciri-cirinya : 1. Memuat ketentuan-ketentuan yang sangat umum, sesuai dengan azas-azas yang universalistic, 2. 3. Mempunyai tingkat keumuman, oleh Weber disebut rasionalitas formal, Menekankan pada faktor prosedur. Max Weber juga melihat pentingnya hukum sebagai mekanisme untuk mengantarkan perkembangan masyarakat menuju masyarakat modern, disamping memperlihatkan hubungan timbal balik yang erat antara perkembangan masyarakat dan keadaan hukumnya.

E. PEMIKIRAN-PEMIKIRAN

MENGENAI

PERKEMBANGAN

MASYARAKAT DAN HUKUMNYA DI NEGARA-NEGARA SEDANG BERKEMBANG Negara-negara sedang berkembang berusaha membangun negaranya dengan memanfaatkan kehadiran masyarakat modern industrial yang telah

menarik perhatian para ahli ilmu sosial. Di dunia barat sendiri, ilmu-ilmu tersebut berusaha menjelaskan hubungan antara industrialisasi dengan berbagai persoalan sosial yang timbul, seperti urbanisasi. Salah satu aspek dari konsepsi hukum modern yang mempunyai arti penting dalam pembicaraan selanjutnya adalah ciri instrumental hukum modern tersebut, yaitu penggunaannya dengan sengaja untuk mengejar tujuan-tujuan atau untuk mengantarkan keputusan-keputusan politik, sosial dan ekonomi yang diambil oleh Negara Usaha-usaha untuk memastikan hubungan hukum dan perkembangan masyarakat tersebut ternyata memancing timbulnya kritik-kritik. Kritik tersebut datang sehubungan dengan pemakaian hukum modern itu sendiri untuk mencapai masyarakat modern-industrial. Dan kritik selanjutnya berhubungan dengan sifat etnosentrik dari konsep pembaharuan tersebut. Dalam hal ini teori Parsons dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan. Adapun bagian teori yang dimaksud, yaitu mengemukakan perkembangan masyarakat sehingga terjadilah suatu proses peningkatan dalam kemampuannya untuk melakukan adaptasi kepada lingkungannya. Dalam rangka usaha itu terjadilah perubahan-perubahan dalam susunan komponen-komponen dalam masyarakat yang dikenal sebagai suatu proses diferensiasi. Uraian Nonet dan Selznick berikut ini dirasakan perlu, karena memberikan perspektif yang menarik dalam membicarakan hukum di negaranegara sedang berkembang. Nonet dan Selznick membuat pencirian hukum ke dalam tiga golongan, yaitu:

10

1. 2. 3.

Hukum yang represif Hukum yang otonom Hukum yang responsif. Konsep inti dari Nonet berkisar pada hukum dan politik. Seberapa jauh

dan seberapa besar peran yang dimainkan oleh kedua institusi dalam masyarakat itu menentukan tipe tipe hukumnya. Dalam kerangka ini, maka keterikatan hukum kepada politik, dalam arti belum dipisahkannya hukum dari politik, melahirkan tipe hukum yang represif. Sebaliknya, semakin besar tingkat otonomi yang bisa dinikmati oleh hukum berhadapan dengan politik, maka hukum pun sudah bisa dimasukkan kedalam golongan hukum yang otonom. Nonet menyinggung soal kemiskinan kekuatan bagi pihak pemegang kekuasaan. Dalam keadaan krisis, tidak berarti kekuatan yang ada pada pemegang kekuasaan lenyap. Adanya otoritas pada pemegang kekuasaan bergantung kepada dukungan pratek serta kepercayaan. Nonet melihat adanya situasi tersebut pada Negara-negara yang berada pada peringkat pembentukannya sebagai suatu masyarakat politik, yaitu yang kita kenal sebagai state building dan nation building. Ini merupakan tahap tahap penyusunan berbagai lembaga, struktur, proses, sebagai bagian dari pembentukan badan politik yang disebut Negara. Nation building seperti ini merupakan transformasi loyalitas dan kesadaran, yang pada mulanya merupakan pekerjaan dari golongan golongan elite yang pada saat itu tidak mempunyai modal lain kecuali kekuatan dan kelicikan. Pada saat saat seperti itu tampaknya mereka masih harus melicinkan jalan kearah singgasana kekuasaan dengan cara-cara yang polos, yaitu dengan mekanisme represi tersebut.

11

You might also like