You are on page 1of 15

BAB 1 PENDAHULUAN

Penyakit paru obstrukstif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.1 Penyakit paru obstrukstif kronik adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya. Penyebabnya antara lain meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor resiko seperti faktor penjamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK; semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda; serta pencemaran udara di dalam maupun di luar ruangan dan di tempat kerja. 1,2 Berdasarkan hasil SUSENAS (Survai Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001, sebnayak 54.5% penduduk laki- laki dan 1.2% perempuan merupakan perokok, 92% dari perokoko menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah ketika bersama anggota keluarga lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota keluarga merupakan perokok pasif. Jumlah perokok yang beresiko menderita PPOK atau kanker paru berkisar antara 2025%. Hubungan antara rokok dengan PPOK merupakan dose reponse, lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka resiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar.1 Data World Health Organization (WHO), menunjukkan tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia dan akan menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker (WHO,2002). Diperkirakan jumlah pasien PPOK di Asia tahun 2006 mencaapi 56,5 juta pasien dengan prevalens 6,3%. Angka prevalens berkisar 3,5 6,7 % seperti di Cina dengan angka kasus mencapai 38.160 juta jiwa, Jepang sebanyak 5.014 juta jiwa dan Vietnam sebesar 2.068 juta jiwa. Di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta pasien dengan orevalens 5,6%. Angka ini bisa meningkat dengan semakin banyaknya jumlah perokok karena 90% pasien PPOK adalah perokok atau mantan perokok.1 Penatalaksanaan PPOK secara umum bertujuan untuk mencegah progresivitas dari penyakit, mengurangi gejala, meningkatkan toleransi terhadap aktivitas, meningkatkan status

kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi, mencegah dan menangani eksaserbasi, dan menurunkan angka kematian. Penghentian merokok mempunyai pengaruh besar untuk mempengaruhi riwayat dari PPOK. Konseling dengan dokter secara signifikan meningkatkan angka berhenti merokok, konseling selama 3 menit dapat menghasilkan angka berhenti merokok hingga 5-10%. Terapi farmakologis dilakukan untuk mengurangi gejala, mengurangi keparahan eksaserbasi dan meningkatkan status kesehatan. Setiap pengobatan harus spesifik terhadap setiap pasien, karena keparahan dari gejala dan keterbatasan aliran udara dipengaruhi oleh banyak faktor seperti frekuensi keparahan eksaserbasi, adanya gagal nafas dan status kesehatan secara umum. Terapi farmakologisnya meliputi kombinasi antara kortikosteroid inhalasi dengan bronkodilator, bronkodilator, Phosphodiesterase-4 inhibitors dan methylxanthine. Untuk manajemen eksaserbasi dapat dilakukan dengan oksigen, bronkodilator, kortikosteroid sistemik dan antibiotik. Karakteristik umum PPOK eksaserbasi akut penting untuk diketahui dalam hal pertimbangan diagnosis, pengobatan, prognosis, dan kualitas hidup pasien.2,3

BAB II LAPORAN KASUS

Seorang pasien pria bernama JM, umur 73 tahun masuk RS Prof. dr. R. D. Kandou pada tanggal 10 Juni 2013 dengan keluhan utama sesak napas. Sesak napas sejak 4 hari sebelum masuk RS. Sesak napas dirasakan penderita semakin menghebat sehingga penderita dibawa ke rumah sakit. Sesak napas pertama kali dialami penderita pada bulan Desember 2012 (7 bulan lalu). Sesak napas dirasakan terus menerus dan bertambah berat bila melakukan aktivitas. Penderita juga mengeluh batuk berlendir berwarna putih kental sejak yang dirasakan semakin bertambah sejak 3 hari yang lalu. Batuk dialami penderita hilang timbul. Penderita juga mengalami demam hilang timbul yang dialami sejak 4 hari yang lalu. BAB terakhir 2 hari yang lalu. BAK biasa. Riwayat penyakit dahulu penderita menderita hipertensi sejak tahun yang lalu dan minum obat captopril secara teratur. Penyakit diabetes mellitus, ginjal dan jantung disangkal oleh penderita. Riwayat penyakit keluaga dimana hanya penderita yang menderita sakit seperti ini. Penderita memiliki riwayat merokok sejak 45 tahun yang lalu dengan jumlah 1-2 bungkus per hari dan telah berhenti merokok sejak 3 tahun yang lalu. Riwayat minum alkohol tidak ada. Pekerjaan penderita adalah seorang guru. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 100x/menit, respirasi 24x/menit dan suhu badan 36.50C. Pada pemeriksaan kepala didapatkan konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik. Pada pemeriksaan leher tidak terdapat pembesaran KGB, JVP 5+0 cm H2O. Pada pemeriksaan jantung, inspeksi iktus cordis tidak tampak, palpasi iktus cordis tidak teraba, pada perkusi didapatkan batas jantung kanan pada sela iga ke IV linea sternalis kanan dan batas jantung kiri pada sela iga ke V linea midklavikularis sinistra. Pada pemeriksaan paru, inspeksi didapatkan pergerakan dada simetris kiri sama dengan kanan, palpasi stem fremitus kiri sama dengan kanan, pada perkusi didapatkan sonor pada paru kiri dan kanan, serta auskultasi didapatkan suara pernapasan vesikuler, ronkhi -/+, wheezing +/+. Pada pemeriksaan abdomen, pada inspeksi perut datar, palpasi di dinding abdomen lemas, tidak ada nyeri tekan epigastrium, tidak ada nyeri tekan suprapubik, hepar dan lien tidak teraba. Pada perkusi bunyi timpani dan pada auskultasi bising usus yang normal. Pada pemeriksaan ekstremitas akral yang hangat dan tidak ada edema.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit 8900 mm3, eritrosit 4,94 x 106 mm3, Hb 14,7 g/dL, hematokrit 42,3%, trombosit 245000 mm3, GDS 90 mg/dL, kreatinin 1,2 mg/dL, ureum 19 mg/dL, natrium 139 mEq/ L, kalium 3,4 mEq/L dan klorida 104 mEq/L. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien didiagnosis dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dan hipertensi grade II. Pengobatan pada pasien ini berupa IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/menit, ceftriaxone 2x1 gr iv (hari peertama), ambroxol 3x1 tab, nebulizer combivent + pulmicort 3x1, metilprednisolon 120 mg 2x1 ampul iv, amlodipin 10 mg 1-0-0 tab, valsartan 1x80 mg. Pada pasien ini direncanakan pemeriksaan foto thoraks PA, sputum BTA 3x dan kontrol darah lengkap. Pada hari kedua (11 Juni 2013) keluhan utama sesak napas. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tekanan darah 160/100 mmHg, nadi 92 x/menit, respirasi 32 x/menit, suhu badan 36,7 0C. Pada pemeriksaan fisik masih sama. Pasien didiagnosis dengan penyakit paru obstruktif kronik dan hipertensi grade II. Pasien diterapi dengan O2 2-4 L/menit, IVFD D5% + aminofilin 1 ampul 10 gtt/menit, ceftriaxone 2x1 gr iv (hari ke-2), ambroxol 3x1 tab, nebulizer combivent + pulmicort 3x1, metilprednisolon 3x1 ampul, amlodipin 10 mg 1-0-0 tab, valsartan 1x80 mg. Pasien direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan sputum BTA 3x, urinalisis, elektrokardiografi (EKG) dan spirometri. Pada hari ketiga (12 Juni 2013) didapatkan keluhan utama sesak napas. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tekanan darah 160/100 mmHg, nadi 90 x/menit, respirasi 28 x/menit, suhu badan 36,5 0C. Pada pemeriksaan fisik masih sama. Pasien didiagnosis dengan PPOK dan hipertensi grade II. Pasien diterapi dengan O2 2-4 L/menit, IVFD D5% + aminofilin 1 ampul 20 gtt/menit, ceftriaxone 2x1 gr iv (hari ke3), ambroxol 3x1 tab, metilprednisolon 3x ampul, nebulizer combivent + pulmicort + NS 2cc 4x1, amlodipin 10 mg 1-0-0 tab, valsartan 1x80 mg tab. Pasien direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan sputum BTA 3x dan urinalisis. Pada pemeriksaan urinalisis, leukosit (-), nitrit (-), protein (-), glukosa normal, keton (-), urobilinogen normal, bilirubin (-), darah/ eritrosit (-). Pada hari keempat (13 Juni 2013) didapatkan keluhan utama sesak napas. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 98 x/menit, respirasi 20 x/menit, suhu badan 36,6 0C. Pada pemeriksaan fisik masih sama. Pasien didiagnosis dengan PPOK dan hipertensi grade II. Pasien diterapi dengan O 2 2-4 L/menit, IVFD D5% + aminofilin 1 ampul 20 gtt/menit, ceftriaxone 2x1 gr iv (hari ke-4),

ambroxol 3x1 tab, metilprednisolon 3x ampul, nebulizer combivent + pulmicort + NS 2cc 3x1, amlodipin 10 mg 1-0-0 tab, valsartan 1x80 mg tab dan dulcolactol syr 3xCI. Pasien direncanakan pemeriksaan DL, GDS, LED, ureum, kreatinin, asam urat, profil lipid, protein total, albumin, globulin, SGOT, SGPT, Na, K,Cl, konsul mata dan gizi, urinalisis lengkap. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan LED 35 mm, leukosit 12000 mm 3, 4.25x106 mm3, Hb 13.7 g/dL, hemtokrit 38,3%, trombosit 240000 mm3, protein total 7 g/dL, GDS 93 mg/dL, kreatinin 1.1 mg/dL, ureum 20 mg/dL, asam urat 6.6 mg/dL, albumin 3.8 g/dL, globulin 3.2 g/dL, SGOT 26 U/L, SGPT 21 U/L, kolesterol total 190 mg/dL, HDL 48 mg/dL, LDL 130 mg/dL, trigliserida 60 mg/dL, natrium 132 mmol/L, kalium 2.42 mmol/L, klorida 93.2 mmol/L. Pada hari kelima (14 Juni 2013) didapatkan keluhan utama sesak napas. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tekanan darah 140/100 mmHg, nadi 76 x/menit, respirasi 24 x/menit, suhu badan 36,2 0C. Pada pemeriksaan fisik masih sama. Pasien didiagnosis dengan PPOK dengan infeksi sekunder, hipertensi grade II dan hipokalemia (2.42). Pasien diterapi dengan O2 2-4 L/menit, Line I: NaCL 0.9% + KCL 50 mEq 10 gtt/menit, Line II: IVFD D5% + aminofilin 1 ampul 20 gtt/menit, ceftriaxone 2x1 gr iv (hari ke-5), ambroxol 3x1 tab, metilprednisolon 3x ampul, nebulizer combivent + pulmicort + NS 2cc 3x1, amlodipin 10 mg 1-0-0 tab, valsartan 1x80 mg tab dan dulcolactol syr 3xCI. Pada hari keenam (15 Juni 2013) didapatkan keluhan utama sesak napas. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 80 x/menit, respirasi 24 x/menit, suhu badan 36,6 0C. Pada pemeriksaan fisik masih sama. Pasien didiagnosis dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik dengan infeksi sekunder, hipertensi grade II dan hipokalemia (2.42). Pasien diterapi dengan O 2 2-4 L/menit, Line I: NaCL 0.9% + KCL 50 mEq 10 gtt/menit, Line II: IVFD D5% + aminofilin 1 ampul 20 gtt/menit, ceftriaxone 2x1 gr iv (hari ke-6), metilprednisolon 3x ampul, GG 3x2 tab, nebulizer combivent (k/p), amlodipin 10 mg 1-0-0 tab, valsartan 1x80 mg tab, dulcolactol syr 3xCI dan spiriva inhaler. Pada hari ketujuh (16 Juni 2013) didapatkan keluhan utama sesak napas. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 80 x/menit, respirasi 24 x/menit, suhu badan 36,5 0C. Pada pemeriksaan fisik masih sama. Pasien didiagnosis dengan PPOK dengan infeksi sekunder, hipertensi grade II dan

hipokalemia (2.42). Pasien diterapi dengan O2 2-4 L/menit, IVFD NaCL 0.9% + KCL 50 mEq 10 gtt/menit, ceftriaxone 2x1 gr iv (hari ke-7), metilprednisolon 2x ampul, GG 3x2 tab, nebulizer combivent (k/p), amlodipin 10 mg tab 1-0-0, valsartan 1x80 mg tab, dulcolactol syr 3xCI dan spiriva inhaler. Pada pemeriksaan sputum BTA didapatkan hasil BTA negative. Pada hari kedelapan (17 Juni 2013) didapatkan keluhan sesak napas berkurang. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tekanan darah 130/70 mmHg, nadi 88 x/menit, respirasi 24 x/menit, suhu badan 37,1 0C. Pada pemeriksaan paru didapatkan suara pernapasan vesikuler, ronkhi +/+, wheezing -/-. Pasien didiagnosis dengan PPOK dengan infeksi sekunder, hipertensi grade II dan hipokalemia (2.42). Pasien diterapi dengan O2 2-4 L/menit, IVFD NaCL 0.9% + KCL 50 mEq 10 gtt/menit, cefixime 2x200 mg tab metilprednisolon 3x4 mg tab, GG 3x2 tab, nebulizer combivent (k/p), amlodipin 10 mg 1-0-0 tab, valsartan 1x80 mg tab, dulcolactol syr 3xCI dan spiriva inhaler. Pasien direncanakan pemeriksaan DL, protein total, ureum, kreatinin, asam urat, albumin, globulin, SGOT, SGPT, natrium, kalium, klorida. Dari hasil pemeriksaan laboratorium (17/6/2013) didapatkan leukosit 8000 mm3, eritrosit 4,63x106 mm3, Hb 14,6 g/dL., hematokrit 41,8%, trombosit 249000 mm3, protein total 6.5 g/dL, kreatinin 1.2 mg/dL, ureum 23 mg/dL, asam urat 6.9 mg/dL, albumin 3.7 g/dL, globulin 2.8 g/dL, SGOT 18 U/L, SGPT 21 U/L, natrium 139 mmol/L, kalium 3.21 mmol/L, klorida 101.1 mmol/L. Pada hari kesembilan (18 Juni 2013) tidak didapatkan adanya keluhan. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 88 x/menit, respirasi 24 x/menit, suhu badan 36.8 0C. Pada pemeriksaan paru, suara pernapasan vesikuler, ronkhi +/+, wheezing -/-. Pasien didiagnosis dengan PPOK dengan infeksi sekunder, hipertensi grade II. Pasien diterapi dengan O 2 2-4 L/menit, cefixime 2x200 mg tab, metilprednisolon 3x4 mg tab, GG 3x2 tab, nebulizer combivent (k/p), amlodipin 10 mg 1-0-0 tab, valsartan 1x80 mg tab, dulcolactol syr 3xCI dan spinva inhaler. Pasien direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan urialisis lengkap. Pada pemeriksaan urinalisis (18/6/2013) didapatkan epitel 3-4/lpk, leukosit 6-7/lpk, leukosit negative, nitrit negative, protein +, glukosa +, keton (-), urobilinogen (-), bilirubin (-), darah/ eritrosit (-). Pada hari kesepuluh (19 Juni 2013) tidak ada keluhan. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 82 x/menit, respirasi 18 x/menit, suhu badan 36.6 0C. Pada pemeriksaan paru, suara pernapasan vesikuler,

ronkhi -/-, wheezing -/-. Pasien didiagnosis dengan PPOK dengan infeksi sekunder, hipertensi grade II. Pasien diterapi dengan cefixime 2x200 mg tab metilprednisolon 3x4 mg tab, GG 3x2 tab, nebulizer combivent (k/p), amlodipin 10 mg tab 1-0-0, valsartan 1x80 mg tab, dulcolactol syr 3xCI dan spinva inhaler. Pada hari kesebelas (20 Juni 2013) tidak ada keluhan. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 82 x/menit, respirasi 22 x/menit, suhu badan 36.0 0C. Pada pemeriksaan kepala,leher dan jantung dalam batas normal. Pada pemeriksaan paru, suara pernapasan vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-. Pasien didiagnosis dengan PPOK + infeksi sekunder dengan perbaikan, hipertensi grade II. Pasien diterapi dengan cefixime 2x200 mg tab metilprednisolon 3x4 mg tab, GG 3x2 tab, nebulizer combivent (k/p), amlodipin 10 mg tab 1-0-0, valsartan 1x80 mg tab, dulcolactol syr 3xCI dan spinva inhaler. Pasien direncanakan pemeriksaan DL, protein total, ureum, kreatinin, asam urat, albumin, globulin, SGOT, SGPT, natrium, kalium, klorida. Hasil pemeriksaan laboratorium (20/6/2013) didapatkan leukosit 10800 mm3, eritrosit 4.95x106 mm3, Hb 14 g/dL, hematokrit 42%, trombosit 255000 mm 3, GDS 52 mg/dL, kreatinin 1.1 mg/dL, ureum 28 mg/dL, asam urat 6 mg/dL, SGOT 27 U/L. SGPT 21 U/L, kolesterol total 200 mg/dL, HDL 60 mg/dL, LDL 84 mg/dL, trigliserida 279 mg/dL, natrium 140 mmol/L, kalium 3.56 mmol/L, klorida 100,5 mmol/L. Pada hari kedua belas (21 Juni 2013) tidak didapatkan adanya keluhan. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tekanan darah 160/90 mmHg, nadi 70 x/menit, respirasi 24 x/menit, suhu badan 36.5 0C. Pada pemeriksaan kepala, leher, jantung, paru dan ekstermitas dalam batas normal. Pasien didiagnosis dengan PPOK + infeksi sekunder dengan perbaikan dan hipertensi grade II. Pasien diterapi dengan cefixime 2x200 mg tab, metilprednisolon 3x4 mg tab, GG 3x2 tab, nebulizer combivent (k/p), amlodipin 10 mg tab 1-0-0, valsartan 1x80 mg tab, dulcolactol syr 3xCI dan spiriva inhaler. Pada hari ketiga belas (22 Juni 2013) tidak ada keluhan. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tekanan darah 150/90 mmHg, nadi 64 x/menit, respirasi 20 x/menit, suhu badan 36.1 0C. Pada pemeriksaan kepala, leher, jantung, paru dan ekstermitas dalam batas normal. Pasien didiagnosis dengan PPOK + infeksi sekunder dengan perbaikan dan hipertensi grade II. Pasien diterapi dengan cefixime 2x200 mg tab, metilprednisolon 3x4 mg tab, GG 3x2 tab, nebulizer combivent (k/p), amlodipin 10

mg tab 1-0-0, valsartan 1x80 mg tab, dulcolactol syr 3xCI dan spiriva inhaler. Pasien direncanakan untuk rawat jalan.

BAB III PEMBAHASAN

Penyakit paru obstrukstif kronik adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya. Eksaserbasi dan komorbid berkontribusi terhadap beratnya penyakit.1 Keterbatasan aliran udara kronis pada Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) disebabkan oleh kombinasi antara penyakit jalan napas kecil (Bronkitis obstruktif) dan dekstruksi parenkim (emfisema). Inflamasi kronis menimbulkan perubahan struktural dan penyempitan saluran napas kecil. Destruksi dari parenkim paru juga disebabkan oleh proses inflamasi menyebabkan hilangnya perlekatan alveolus terhadap jalan napas kecil dan menurunkan elastisitas paru, sehingga perubahan tersebut mengurangi kemampuan jalan napas untuk tetap terbuka saat ekspirasi.1,2 Bentuk utama PPOK yaitu emfisema paru dan bronkitis kronis dan ternyata emfisema merupakan kontributor terbesar pada kejadian PPOK. Kelainan pada emfisema berbentuk pelebaran abnormal dan permanen ruang udara distal bronkiolus terminalis yang diakibatkan oleh destruksi difus dinding alveoli tanpa fibrosis yang nyata, bersifat kronik, progresif dan memberikan kecacatan menetap. Kelainan struktur parenkim diawali inflamasi kronik sehingga terjadi destruksi jaringan elastin parenkim dan berakibat terjadi penurunan fungsi paru.3 Bentuk kelainan struktur yang dijumpai berupa destruksi serat elastin septum interalveoler dan ditemukan peningkatan serat kolagen sebagai bentuk remodeling jaringan ikat paru. Elastin dan kolagen merupakan komponen utama yang menyusun anyaman (network) jaringan ikat paru dan secara bersama menentukan daya elastisitas dan kekuatan tensil paru. Destruksi serat elastin merupakan penyebab hilangnya daya elastisitas dan tensil dinding alveolar sehingga terjadilah pembesaran ruang udara pada emfisema. Destruksi serat elastin dinding saluran napas diakibatkan oleh ketidak seimbangan enzimatis antara elastase anti elastase.3,4 Beberapa bukti menunjukkan kebenaran teori. Penderita yang mengalami defisiensi anti elastase sangat potensial terjadi emfisema paru. Menurut hipotesa, ketidak seimbangan enzimatis elastase-antielastase disebabkan oleh pelepasan konstan atau episodik elastase dalam jaringan paru. Pada keadaan normal, paru dilindungi oleh anti elastase, dan

emfisema terjadi apabila keseimbangan elastase-antielastase cenderung meningkatnya elastase, sehingga mengarah ke proses lisis atau destruksi jaringan elastin. Elastin merupakan senyawa protein yang berfungsi mempertahankan elastisitas paru sedangkan elastase merusak jaringan elastin dinding saluran napas dan paru, maka akibat yang terjadi pada kerusakan jaringan elastin mempengaruhi komponen Matriks Ekstra Seluler (MES) parenkim paru berupa peningkatan serat kolagen sebagai konsekuensi remodeling jaringan ikat paru dan sifat elastisitas paru menjadi hilang.5 PPOK dapat disebabkan oleh faktor endogen (kelainan generik) misalnya defisiensi alfa-1- antiripsin dan faktor eksogen misalnya polusi udara, rokok dan infeksi paru. Kebiasaan merokok adalah satu- satunya penyebab kausal yang terpenting. Asap rokok mempunyai prevalens yang tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan gangguan fungsi paru. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa terdapat penurunan VEP1. Resiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai rokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok. Perokok pasif atau dikenal sebagai environmental tobacco smoke (ETS) dapat juga member kontribusi terjadinya gejala respirasi dan PPOK, karena terjadi peningkatan jumlah inhalasi partikel dan gas.6 Hasil SUSENAS (Survai Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001, sebanyak 54.5% penduduk laki- laki dan 1.2% perempuan merupakan perokok, 92% dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah ketika bersama anggota keluarga lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota keluarga merupakan perokok pasif. Jumlah perokok yang beresiko menderita PPOK atau kanker paru berkisar antara 20-25%. Hubungan antara rokok dengan PPOK merupakan dose reponse, lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka resiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar.1 Derajat berat merokok dapat diukur dengan Indeks Brinkman (IB) yaitu perkalian jumlah rata- rata batang rokok dihisap sehari dikali lama merokok dalam tahun. Ringan 0200, sedang 200-600 dan berat > 600.1,2 Pada pasien didapatkan adanya riwayat merokok selama 45 tahun dengan jumlah 1-2 bungkus perhari. Berdasarkan perhitungan Indeks Brinkman pasien ini tergolong dalam kategori sedang (540). Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan hingga berat. Penderita biasanya datang dengan keluhan sesak yang progresif (sesak bertambah berat seiring berjalannya waktu), bertambah berat dengan akitivitas, persisten (menetap sepanjang hari), pasien mengeluh seperti membutuhkan usaha untuk bernapas, rasa berat saat bernapas, sukar bernapas dan terengah- engah. Selain itu adanya batuk kronik dengan atau tanpa dahak

yang hilang timbul serta adanya riwayat terpajan faktor resiko seperti asap rokok, debu, bahan kimia di tempat kerja ataupun polutan. Penderita yang datang dengan keluhan klinis dispneu, batuk kronik atau produksi sputum dengan atau tanpa riwayat paparan faktor risiko PPOK sebaiknya dipikirkan sebagai PPOK.1,8 Pada pemeriksaan fisik pasien PPOK didapatkan adanya pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu), barrel chest (diameter anteroposterior transversal sebanding), pelebaran sela iga, bila terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai, penampilan pink puffer (gambaran khas pada emfisema, pasien kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed lips breathing) atau blue bloater (gambaran khas pada bronchitis kronik, pasien gemuk, sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer). Pada palpasi bila emfisema didapatkan stem fremitus yang melemah. Pada perkusi bila terdapat emfisema didapatkan hipersonor dan batas jantung mengecil,letak diafragma rendah dan hepar terdorong ke bawah. Pada auskultasi didapatkan suara pernapasan vesikuler normal atau melemah, terdapat ronkhi atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa dan ekspirasi memanjang.1,2,8 Diagnosis PPOK di pastikan melalui pemeriksaan spirometri paksa bronkhodilator. Uji faal paru dengan spirometri merupakan suatu hal yang wajib di lakukan pada penderita yang memang sudah di curigai PPOK untuk lebih memastikan diagnosa yang ada sekaligus memantau progresifitas penyakit. Perangkat ini merupakan alat bantu diagnosis yang paling objektif, terstandarisasi dan most reproducible akan adanya hambatan aliran nafas. Spirometri akan menilai Kapasitas Vital Paksa (KVP) Paru dan Volume Ekspirasi Paksa 1 detik (VEP1). Diagnosa PPOK ditegakkan bila didapati nilai paksa paska bronkodilatornya VEP1/KVP < 0,70 dan VEP1 < 80% prediksi, dan berdasarkan penilaian VEP1 tadi, dapat dinilai derajat keparahan dari PPOK. Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan radiologis untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit paru lain, pemeriksaan EKG untuk mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh P pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan, pemeriksaan darah untuk menilai adanya penyebab infeksi sekunder, pemeriksaan bakteriologi melalui permeriksaan sputum untuk mengetahui pola kuman serta memilih antibiotic yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada pasien PPOK di Indonesia. 1,8 Pada pasien ini didapatkan adanya gejala PPOK eksaserbasi akut berupa sesak napas yang menetap sepanjang hari yang dirasakan semakin memberat. Selain itu ditemukan adanya batuk berdahak yang dirasakan semakin bertambah. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya demam, ronkhi +/+ dan wheezing +/+ serta adanya gambaran barrel chest dan pink

puffer. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan spirometri dikarenakan kurangnya fasilitas yang memadai. Pada pemeriksaan radiologis paru dan jantung dalam batas normal. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan sputum BTA untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain dan dari hasil pemeriksaan didapatkan sputum BTA negative. Pada pemeriksaan darah didapatkan adanya peningkatan jumlah leukosit yaitu 12000 mm3 yang mengindikasikan adanya infeksi sekunder. Klasifikasi PPOK berdasarkan Gold 2010 membagi derajat PPOK dalam 4 derajat. Derajat I (PPOK ringan) dengan gejala klinis batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak sering. Pada derajat ini pasien sering tidak menyadari bahwa faal paru mulai menurun. Derajat II (PPOK sedang) dimana gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan produksi sputum. Pada derajat ini biasanya pasien mulai memeriksakan kesehatannya. Derajat III (PPOK berat), gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan eksaserbasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien. Derajat IV (PPOK sangat berat), gejala derajat III ditambah tanda- tanda gagal napas atau gagal jantung kanan dan ketergantungan oksigen. Pada derajat ini kualitas hidup pasien memburuk dan jika eksaserbasi dapat mengancam jiwa. Pada kasus ini, pasien tergolong dalam derajat III yaitu PPOK berat karena pasien mengalami sesak napas terus menerus dan sesak napas dirasakan semakin memberat bila melakukan aktivitas sehingga terdapat penurunan aktivitas pada penderita.1,7 Penalataksanaan PPOK meliputi terapi oksigen, bronkodilator, antiinflamasi, antibiotika, mukolitik dan phosphodiesterase-4 inhibitor. PPOK yang mengalami hipoksemia progresif dan kronik akan menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ- organ lain. 1 Pemberian bronkodilator sendiri terdiri dari 3 golongan yaitu golongan B2 agonist, golongan antikolinergik dan golongan xanthin. Golongan 2 agonis diberikan untuk terapi pada asma, bronkitis, empisema dan berbagai penyakit paru obstruksi lainnya. Golongan obat ini terdiri dari dua cara kerja yaitu short-acting (salbutamol, terbutalinsulfat, bambuterol hidroklorida, fenoterol hidrobromida) dan long-acting (formeterolfumarat, salmeterol). Efek karakteristik terbaik dari 2 agonis pada jalan napas adalah relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan bronkodilatasi. 2 agonis merupakan obat utama pada penyakit asma dan PPOK. Pada asma, short acting agonis 2 agonis digunakan sebagai terapi pada gejala akut dan untuk mencegah spasme bronkus. Sedangkan long acting agonis 2 digunakan sebagai terapi tambahan pada pasien dengan asma yang sedang hingga berat

dimana biasanya diberikan bersamaan dengan inhalasi kortikosteroid. Mekanisme kerjanya adalah melalui stimulasi reseptor 2 di trakea (batang tenggorok) dan bronkus, yang menyebabkan aktivasi adenilsiklase. Enzim ini memperkuat pengubahan adenosintrifosat (ATP) yang kaya energi menjadi cyclic adenosin monophosphat (cAMP) dengan pembebasan energi yang digunakan untuk proses dalam sel. Meningkatnya kadar cAMP di dalam sel menghasilkan beberapa efek bronkodilatasi dan penghambatan pelepasan mediator oleh sel mast.2,8 Golongan antikolinergik digunakan pada derajat ringan sampai berat. Disamping sebagai bronkodilator juga dapat mengurangi sekresi mukus dengan maksimal pemberian 4 kali perhari. Di dalam sel-sel otot polos terdapat keseimbangan antara sistem adrenergic dan sistem kolinergis. Bila karena sesuatu sebab reseptor 2 dari sistem adrenergik terhambat, akan mengakibatkan bronkokonstriksi. Antikolinergik memblok reseptor muskarin dari sarafsaraf kolinergis di otot polos bronkhi, hingga aktivitas saraf adrenergis menjadi dominan dengan efek bronchodilatasi. Ipratropium bromida sangat efektif untuk terapi terhadap PPOK. Kombinasi obat antikolinergik dengan golongan bronkodilator lain seperti 2 agonis dan xanthin memberikan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Efek samping yang tidak dikehendaki adalah sifatnya yang mengentalkan dahak dan takikardia, yang tidak jarang mengganggu terapi. Yang terkenal pula adalah efek atropin, seperti mulut kering, obstipasi, sukar berkemih, dan penglihatan buram akibat gangguan akomodasi.2 Golongan xanthin mempunyai efek bronkodilator yang lebih rendah,

selain bersifat sebagai bronkodilator obat ini juga berperan dalam meningkatkan kekuatan otot diafragma. Teopilin dan aminopilin merupakan derivat xanthin yang digunakan sebagai terapi asma dan PPOK yang memberikan efek terapeutik berupa relaksasi otot bronkial, menurunkan hipertensi pulmonal, memperbaiki kontraktilitas diafragma, peningkatan kardiak output dan menghambat pelepasan mediator.1,8 Pemberian antiinflamasi pada PPOK digunakan bila terjadi eksaserbasi akut baik yang diberikan dalam bentuk oral maupun injeksi intravena yang berfungsi menekan inflamasi yang terjadi. Dipilih obat golongan metilprednisolon atau prednisone. Obat antibiotic pada pasien PPOK diberikan bila terdapat eksaserbasi. Penyebab eksaserbasi dapat disebabkan oleh infeksi trakeobronkial dan polusi udara. Mukolitik sendiri hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronchitis kronik dengan sputum yang kental (misalnya ambroxol,erdostein). Tetapi

penggunaan mukolitik tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin. Prosphodiesterasi-4 inhibitor diberikan pada pasien dengan derajat III atau derajat IV dan memiliki riwayat eksaserbasi bronchitis kronik.8 Pada pasien ini diberikan terapi oksigen serta pemberian nebuliser kombinasi 2 agonis kerja cepat dan antikolinergik yang memiliki lama kerja 4-8 jam. Selain itu juga diberikan antibronkodilator golongan methylxanthin dan metiprednisolon sebagai antiinflamasi karena pada pasien ini mengalami eksaserbasi akut yang ditandai oleh adanya peningkatan sputum dan semakin bertambahnya sesak napas. Pengobatan lainnya yaitu pengobatan simptomatik berupa pemberian obat antihipertensi dan mukolitik. Prognosis penyakit ini bervariasi. Bila pasien tidak berhenti merokok, penurunan fungsi paru akan lebih cepat dibandingkan pasien yang telah berhenti merokok. 6 Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang bergantung pada umur dan gejala klinis pada waktu berobat.Selain itu, prognosis penyakit PPOK dapat ditentukan dengan menggunakan index BODE. Indeks BODE merupakan penderajatan multidimensi yang dibuat untuk menilai risiko klinis pada penderita PPOK. Indeks BODE biasa digunakan untuk memprognosis kualitas pertahanan hidup pada penderita dengan melihat faktor pulmonal dan ekstra pulmonal. Indeks Bode ditentukan dengan menggunakan parameter yaitu pengukuran FEV1, Dispneu,Indeks Masa Tubuh, jarak tempuh jalan selama 6 menit.9

You might also like