You are on page 1of 58

faaqihgroup.wordpress.

com
ebook gratis – animasi gratis – mp3 arabic gratis – software gratis – islam video gratis – islam galeri gratis
– edukasi games gratis – tips/tutorial computer gratis – 3D wallpaper gratis – info bisnis online

Judul Asli : Mafaahim Islamiyyah


Pengarang : Muhammad Husain Abdullah
Penerjemah : A.R Al Amien Hasanain

BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM

 Kepada Para Muslim yang ingin menegakkan keadilan Ilahi, walaupun di


depannya menghadang batu karang yang besar dan kuat, tapi tanpa
peduli diluluhlantahkan penghalang itu, lalu dibangun diatasnya jembatan
penyebrangan menuju kepada-Nya.
 Kepada para Muslim yang ingin menerangi kegelapan dan kepekatan
pemikiran saudaranya yang sudah berjalan dalam masa panjang, dengan
pemikiran yang bersih dan lurus.
 Kepada para pemuda yang mengharapkan kebangkitan yang benar, di
bawah panji perlindungan “Laailaaha illallah”.
 Kepada bintang gemilang (al-Islam) yang bersinaran di ufuk langit sebagai
tanda turunya hidayah kepada umat menuju jalan lurus.

MUQODIMAH

Pemikiran (Al-Fikr) berfungsi sebagai penentu atas realitas. Adapun


sarana pengungkap pemikiran adalah bahasa, jadi bahasa bukan pemikiran,
namun bahasa sekedar sebagai sarana pengungkapan dan ekspresi pemikiran
semata. Perkataan kita “Al-Insan Hayawaanun naatiq / manusia itu hewan
yang berbicara dan berfikir” preposisi di atas menunjukan adanya suatu
argumen atau dalil dan argumen tersebut adalah pemikiran . Maka jika
argumen itu merupakan waaqi‟ khoorijiy (realitas yang nampak oleh indera),
akal akan mampu memahaminya, seperti pada preposisi ”Al Insan
Hayawaanun naatiq” di atas. Maka preposisi tersebut mudah difahami oleh
pemikiran siapa saja yang mendapatkan preposisi itu.
Sebaliknya tidak akan bisa dimengerti oleh pemikiran pada preposisi
“Manusia itu terbentuk dari materi dan ruh”, pemikiran tidak akan faham
karena indera tidak bisa menjangkau argumen preposisi di atas yang hanya
menjadi suatu yang mengendap dalam pemikiran saja, tanpa bisa
memahaminya. Pemikiran Plato tentang teori “Republiknya” bukan sebuah
mafahim, karena argumen-argumen pemikiran yang diungkapkan Plato
dengan bahasanya itu, bukanlah sesuatu yang faktual dan terindera di dalam
kehidupan.
Al-afkaar / pemikiran-pemikiran akan bisa menjadi mafahim bagi
manusia, dengan syarat hendaklah argumen pemikiran ini faktual (ada
faktanya) bagi manusia.
Buku dihadapan anda ini mencakup sebagian mafahim yang akal
manusia mampu memahami dan mendapatkan argumen-argumennya pada
realitas luar secara langsung, seperti mafahim preposisi “Manusia itu
terbentuk dari materi saja” maka preposisi di atas bukan semata makna
lafadz saja, tetapi itu adalah pengungkapan dari pemahaman dan argumen
yang sifatnya faktual yang akal bisa mengetahui secara langsung.
Buku ini juga mencakup sebagian mafahim yang akal tidak bisa
mengetahui dan mendapatkannya secara langsung, tetapi akal bisa
mendeteksi atsar / indikasinya, atau mengetahui madhohir /
penampakannya, seperti mafahim di dalam diri manusia itu ada potensi
sumber daya / khosiyyah yang disebut gharizah nau‟ maka akal manusia
tidak akan bisa mengetahui dan mendapatkan secara langsung pada
gharizah nau‟ , karena indera tidak bisa mencapainya, tetapi manusia bisa
mengetahui dengan penampakan gharizah nau‟ itu yaitu terindera dengan
bukti manusia mencintai anaknya, dan anak cederung sayang kepada orang
tuanya dan punya kecenderungan mencintai lawan jenis, dan madhohirnya
yang bisa diketahui dan di dapatkan ini adalah untuk membantu penjagaan /
muhafadhoh kepada keturunan manusia, maka akal manusia mampu
mendapatkan dan mengetahui bahwa di dalam diri manusia ada khosiyyah
yang akan bisa memenuhi muyul / kecenderungan-kecenderungan itu, dan ini
disebut dengan gharizah nau‟.
Juga dari mafahim ini dipaparkan pemahaman tentang “ruh sirru al-
hayah” sungguh manusia mampu mengetahui eksistensi ruh dari eksistensi
madhohirnya (penampakan / indikasinya), yaitu kesanggupan dan
kecenderungan menjadi banyak, berkembang dan bergerak, dan telah datang
ayat karimah yang menjelaskan tentang ketidakmampuan manusia untuk
mengetahui dzat dari ruh itu sendiri.
“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah:
“Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sekdikit.” (QS. Al Israa 85).
Sebagai pengecualian dalam buku ini tidak mencakup mafahim
Islamiyyah, mengenai mafahim yang berhubungan dengan hal-hal yang ghaib,
seperti surga, neraka dan malaikat. Hal tersebut adalah mafahim yang akal
tidak akan bisa mendapatkan dan mengetahui secara langsung, dan juga
tidak akan bisa menjangkau dan menemui secara langsung baik itu indikasi
ataupun penampakannya. Sesungguhnya akal hanya bisa mengetahui dan
mendapatkan dari informasi naqli / wahyu yang pasti dan shahih yaitu dari
ayat-ayat Al-Qur‟an dan hadits-hadits nabawiyyah yang mutawatir, yang
menunjukan secara dilalah qot‟iyyah (petunjuk yang pasti) atas bukti-
buktinya, maka petunjuk itu tidak difahami dari lafadznya kecuali arti satu
saja (yakni surga dan neraka itu ada).
Maka bagi seorang Muslim, neraka dengan siksanya serta surga dengan
ni‟matnya adalah mafahim „aqidah dan sungguh dalil realitas neraka telah
didapatkan dari wahyu, Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya orang-orang kafir pada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami
masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti
kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan adzab,
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana .Dan orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal-amal sholeh, kelak akan Kami masukkan
mereka ke dalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, kekal
mereka di dalamnya, mereka di dalamnya mempunyai isteri-isteri yang suci,
dan Kami masukkan mereka ke dalam tempat yang teduh lagi nyaman.”(QS. An
Nisaa’ 56-57).
Adapun wujud Malaikat bisa difahami bagi kaum muslimin dari firman
Allah SWT:
“Segala puji bagi Allah pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat
sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang
mempunyai sayap, masing-masing ada yang dua, tiga dan empat., Allah
menambahkan pula ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya
Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”(QS. Faathir 1).
Sedang suluk (tingkah laku manusia) terikat mafahim dari kehidupannya
(pandangan hidup), sebab mafahim adalah standar bagi suluk. Sehingga bila
kita mengingkan merombak suluk manusia , dari suluk yang rendah menuju
suluk yang tinggi maka kita harus merombak mafahim yang benar, luas dan
tinggi.
Dan sesungguhnya mafahim islamiyyah adalah mafahim tertinggi tentang
kehidupan, maka menjadi keharusan bagi kita untuk menerangkan mafaahim
ini kepada kaum muslimin agar di jadikan sebagai standar gerak hidupnya
dan agar mereka bangkit menuju kebangkitan yang benar berasaskan
mafahim Islamiyyah.
Buku ini kami ibaratkan sebagai sebuah batu bata yang rendah di dalam
membangun sebuah istana yang tinggi yakni tsaqofah islamiyyah yang tinggi
yang telah memperkuat bangunan itu oleh para pendahulu kita, dan hanya
kepada Allah SWT Saya memohon semoga hal ini bisa menjadikan kembalinya
api yang bisa menerangi dengan penerangan yang terang benderang untuk
kembali cemerlangnya mafaahim Islamiyyah dan untuk mencucikan dari
noda-noda yang melekat padanya, dan sungguh Allah beserta orang-orang
yang baik.

RUH

Dan mereka bertanya tentang ruh


(QS. AL Israa’ 85)

Manusia adalah makhluk yang ada, hidup terbentuk dari maddah /


materi, dan Allah menciptakan alam dari tanah, firman Allah SWT:
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya aku
akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan
kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan) Ku; maka hendaklah kamu
tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS. Shaad 71-72)
Manusia saling bertanya tentang substansi ruh kepada Rasul
Muhammad, maka datanglah waktu untuk menjawab pertanyaan mereka
langsung dari Allah Rabbil „Alamin:
“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah:
“Ruh itu urusan Tuhanku, kamu tidak tiberi pengetahuan kecuali hanya sedikit.”
(QS. Al Israa’ 85).
Ruh adalah sirru al-hayah / rahasia kehidupan, mutlak urusan Allah
SWT, diletakan di dalam diri manusia dan disandarkan pada dirinya. Firman
Allah: “Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan) Ku.”, yakni ruh buatan-Ku , hal ini
bukan maksud ruh bagian dari Allah SWT, sebab firman selanjutnya: “
Katakanlah: ruh itu adalah urusan Tuhanku.”, yakni tercipta dari perintah
Allah SWT.
Manusia tidak akan bisa menjumpai dan mengetahui ruh ini secara
realistis substansial langsung, akan tetapi manusia bisa mengetahui bahwa
ruh itu ada dari mengetahui madhohir-nya (penampakan / indikasi), hanya
kemampuan untuk berkembang, bergerak dan menjadi banyak, hal ini
menunjukan keberadaan ruh, jadi selama didapatkannya kapabilitas menjadi
banyak, berkembang dan bergerak ada pada diri manusia, maka dikatakan
manusia itu hidup dan di dalamnya ada ruh, dan jika hilang madhohirnya ini,
manusia dikatakan mati berarti tiada ruh di dalamnya.
Allah meletakkan ruh pada diri Adam AS. Ruh adalah fenomena yang
berhubungan dengan kehidupan, ruh selalu ada pada diri manusia dari
zaman Adam AS sampai zaman manusia sekarang, sedang berakhirnya ruh,
bila telah lenyap kehidupan manusia dari muka bumi.
Ruh menyebar dari manusia ke manusia lain dengan jalan perkawinan
antara sperma pria dengan ovum wanita, hal ini dimulai dengan
perkembangan tubuh (jasad bayi) yang baru yang akan terus berkembang
hingga menjadi manusia yang sempurna setelah melalui tahap-tahap tertentu,
firman Allah SWT:
“Hai manusia jika kamu ada dalam keraguan tentang kebangkitan (dari
kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari
tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian
dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna,
agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang
Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan. “
(QS. Al Hajj 5)
Proses terjadinya manusia seperti ini adalah sesuatu yang sudah lazim
pada diri manusia, yang bisa diketahui dengan indera, kecuali pada
penciptaan „Isa AS. Karena proses penciptaan „Isa AS, Allah langsung
meniupkan ruh ciptaan-Nya tanpa ada perpindahan ruh dengan perkawinan,
karena Allah memerintahkan ruh lepas secara langsung dan pindah pada diri
„Isa AS firman Allah:
“Sesunggunya misal (penciptaan) „Isa di sisi Allah seperti (penciptaan) Adam.
Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya:
“Jadilah” (seseorang manusia), maka jadilah dia.”(QS. Ali ‘Imran 59).
Yakni Allah menjadikan dan meletakan ruh pada „Isa AS dari tidak ada,
seperti menjadikan dan meletakan ruh pada diri Adam, dan firman Allah
mengenai Maryam:
“Dan (ingatlah kisah) Maryam yang telah memelihara kehormantannya, lalu
kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari Kami dan Kami jadikan dia dan
anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam. “ (QS. Al
Anbiyaa’ 91).
Maryam adalah perempuan yang sangat menjaga kehormatannya yang
tidak pernah berbuat mesum ataupun kejelekan, tidak bersuami, tidak ada
perpindahan ruh ke rahimnya dengan jalan pertemuan sel sperma pria
dengan ovum Maryam, akan tetapi Allahlah yang telah meletakan dengan
jalan peniupan ruh di dalam rahimnya dengan dominasi kekuasaan-Nya
melalui perintah-Nya dari tidak ada menjadi ada, seperti peletakan ruh pada
al thin / tanah yang kemudian dijadikan Adam AS.
Ruh adalah sirru al-hayah, merupakan hak mutlak dan hanya Allah yang
tahu substansinya, dan ruh itulah yang menjadikan materi bisa membentuk
tubuh manusia, mempunyai kemampuan berkembang, bergerak dan menjadi
banyak. Dan Allah semata yang mampu untuk menghilangkan kemampuan
ini dengan mengambil ruh dari tubuh tersebut.
Adapun ruh yang disampaikan oleh para ahli barat, dimulai dari para ahli
Yunani, yang mengatakan bahwa ruh itu adalah bagian dari manusia, mereka
berkata bahwa manusia itu terbentuk dari materi dan ruh, serta ruh adalah
limpahan dari Dzat Tuhan, jika ruh mampu menundukan jasmani, maka
manusia akan tinggi derajatnya, mulia dan dekatlah perbuatannya dari
kesempurnaan Ilahi, akan tetapi bila ruh itu dikalahkan oleh jasmani maka
manusia akan menjadi rendah dan hina. Ruh yang disampaikan ahli barat
yang wujudnya seperti itu sebetulnya tidak ada dan bukanlah ia sirru al-
hayah, karena jika dilihat secara indera manusia maka ia bukan lagi sirru al-
hayah. Sesungguhnya manusia itu terdiri dari materi saja, dan sirru al-hayah
itu tidak berkurang juga tidak bertambah dengan rendah atau tingginya
derajat manusia.
Walhasil, manusia yang bisa tinggi karena adanya ruh adalah sesuatu
yang lain, ruh tidak membentuk ataupun menyusun bagian dari manusia
karena sesungguhnya ruh itu bersifat tambahan yang datang dari luar dirinya
dan mempengaruhi pada suluk / tingkah lakunya, dan dengan ruh itulah
manusia akan menjadi tinggi bila hal ini dihubungkan dengan pemenuhan
gharizah dan haajah al-„udhowiyyah-nya, dan sifat ini tidak akan ada kecuali
jika manusia menjalankan perbuatannya berdasarkan aturan dari luar dirinya
yang datang dari kekuatan yang Maha Tinggi dari pada manusia biasa, Yakni
Allah SWT.
Dan ketetapan seperti ini tidak akan pernah datang kecuali bagi mereka
yang iman kepada Allah SWT dan mendapatkan shilah / hubungan
dengannya. Maka dengan begitu ruh yang telah dibahas tadi dan yang bisa
meninggikan manusia bukan sirru al-hayah lagi tetapi adalah idraak as shilah
billah.
Dan tidak akan didapatkan sifat tambahan seperti ini (idraak shilah
billah) kecuali bila manusia telah beriman kepada-Nya bahwa pencipta wujud
ruh adalah Allah dan setelah manusia mampu mengetahui hubungan dengan
setiap ciptaan dengan-Nya yakni (al-kaun, al- insan dan al-hayah), maka jika
manusia melihat segala macam makhluk, seperti bulan misalnya maka ia
akan idraak / mengetahui dan mendapatkan bahwa bulan mempunyai shilah
billah yakni bahwa pencipta bulan adalah Allah SWT, maka idraak /
mengetahui ini adalah ruh bagi manusia. Dan jika belum mendapatkan
hubungan seperti ini atau masih kosong dari mengetahui ini maka jadilah ia
tanpa ruh.
Sedangkan ruh yang didakwakan para ahli barat bukanlah bagian dari
manusia. Karena sesungguhnya ruh itu adalah idraak as shilah billah yang
bila manusia mengerjakan segala perbuatannya berdasarkan perintah dan
larangan dari Allah SWT, dan mekanisme inilah yang menujukan adanya ruh
ini pada manusia.
Dan perasaan manusia akan keagungan Khaliq maha Kuasa dan Maha
Mengetahui dibangun atas dasar al idraak ini yaitu al ruhaniyah dan jika
terus-menerus perasaan (manusia ) seperti ini maka manusia iru hidup di
tengah kedalaman iman, yang membantu manusia mengikatkan dirinya
dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan ridho
dan tenang / thuma‟ninah.
Adapun korelasi (hubungan) al-ruhiyyah pada al-asyya / sesuatu yakni
adanya sesuatu yang dicipta oleh sang Pengcipta, maka aspek ruhiyah pada
gunung, binatang maupun manusia, ini adalah adanya sesuatu yang dicipta
oleh Pencipta, aspek seperti ini tidak akan bisa dijumpai kecuali bagi mereka
yang beriman dengan adanya Pencipta yang menciptakan segala sesuatu.
Islam telah memotivasi manusia agar mampu memikirkan pada aspek al-
ruhiyyah terhadap segala sesuatu di dalam dirinya, dan ini semua berguna
untuk memperkuat ruhiyyah, yakni dengan memikirkan hubungan mahluk
dengan Allah, firman Allah SWT:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bgaimana ia diciptakan,
dan langit, bagaimana ia ditinggikan?, Dan gunung-gunung bagaimana ia
ditegakkan ?, dan bumi bagaimana ia dihamparkan ?” (QS. Al Ghaasyiyah 17-
20).
Dan setelah ayat ini, Allah selanjutnya berfirman:
“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang
yang memberi peringatan.” (QS.Al- Ghaasyiyah 21)
Maka Allah menyuruh Rasul agar mengingatkan kepada manusia untuk
memikirkan hubungan antara makhluk dengan khaliqnya, yakni shilah al-
khalqi (hubungan penciptaan) dan itu semua untuk memperkuat ruh bagi
manusia, firman Allah SWT:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.”(QS. Ali
‘Imran 190)
Ayat diatas menunjukan agar manusia memikirman shilah antara
makhluk dengan khaliq. Allah SWT memulai wahyu surat Makkiyah dengan
menyebutkan makhluk-makhluk-Nya yang bisa menambah kekuatan di
dalam aspek ruhiyyah manusia, firman Allah SWT:
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila
mengiringnya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila
menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta
penghamparannya.” (QS. Asy Syams 1-6)
Firman Allah SWT:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhannmu yang menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah.”(QS. Al ‘Alaq 1-2)
Islam menuntut kepada setiap muslim untuk mencampur antara materi /
jasad dan ruh, yakni menuntut kepada manusia agar mengikatkan dengan
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, firman Allah:
”Ikutilah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah
kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.”(QS. Al A’raaf 3)
Firman-Nya:
“Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka
ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain).” (QS. Al
An’aam 153)
Firman-Nya:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu‟min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu‟min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.
Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia
telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab 36)
Dan Allah menerangkan hukum atas segala sesuatu, firman-Nya:
”Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al
Baqarah 75)
Firman Allah SWT:
“Menghalalkan (Allah) bagi mereka apa-apa yang baik dan mengharamkan
bagi mereka apa-apa yang buruk.” (QS. Al A’araaf 157)
Dan keterikatan dengan hukum-hukum ini ketika manusia melakukan
aktifitas-aktifitasnya dan inilah yang disebut dengan percampuran antara ruh
dan materi, sebab keterikatan dengan hukum-hukum ini di jumpai ketika
melakukan aktifitas yang menghubungkan dengan Allah SWT
Kesimpulan :
Ar-Ruuh : 1. Sirru al-hayah
2.Ruuhiyyah/idraak shillah billah

KHAASHIYATUL AL-INSAN
( POTENSI MANUSIA )

Tuhan kami ialah Tuhan yang


telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadianya, kemudian
memberinya petunjuk
(QS. Thaaha.50)

Tiga potensi yang merupakan tiang penyangga utama dalam aktifitas,


mobilitas dan kreativitasnya itu adalah :
1. Al-GHARIZATU / NALURI
2 . AL-HAAJAATUL AL‟UDWIYYAH / KEBUTUHAN
JASMANI
3. AL-TAFKIR / PEMIKIRAN
Manusia tersusun dari materi, Allah telah meletakan di dalamnya ruh-
sirru al-hayah, dan dalam diri manusia terdapat thooqotu al-hayawiyyah
(potensi kehidupan) yang terkumpul di dalam tiga khaasiyah sebagai berikut:
al-gharizah, al-hajah al-„uwwiyyah,al-tafkir.

Al-Gharizah ( Naluri )
Naluri adalah salah satu potensi yang ada pada diri manusia, yang
mampu mendorongnya bertendensi pada al-asyya dan al-a‟maal, atau punya
tendensitas untuk menahan dari al-asyya dan al-a‟maal. Semua itu mengacu
kepada pemenuhan semua perkara yang terdapat dalam diri manusia.
Para pembahas dan para pakar telah berbeda pendapat tentang kuantitas
gharizah-gharizah ini, sebab perbedaan ini dikembalikan atas
ketidakmampuan indera dalam menjangkau realitas naluri ini, dan tiadanya
kemampuan akal untuk memikirkan realitas ini secara langsung.
Para pakar dan pembahas menyatakan bahwa madhohir dari gharizah-
gharizah ini beragam, dan kesimpulannya jumlah naluri itu banyak, seperti
gharizah al-khauf (naluri takut), gharizatu al-maili al-jinsi ( instink senang
lawan jenis ), gharizah al-tamalluk (naluri ingin memiliki, sense of belonging ),
gharizah al-taqdis (naluri beragama), dan gharizah hubbi al-istithla (pamer,
suka menampakkan sesuatu) dan lain-lainnya.
Setelah faham madhohir dari naluri di atas, dapat dimengerti madhohir
tersebut bisa diklasifikasikan di dalam tiga kelompok, dan tiap kelompok
mengacu kepada satu gharizah.
Jenis pertama dari tiga kelompok gharizah adalah madhohir /
penampakan khauf, hubbu al-tamalluk, hubbu al-istithla‟, hubbu al-wathan
(cinta negeri), hubbu al-qaum (bangsa, kaum), hubbu al-siyadah (cinta
kemuliaan), hubbu al-saitaroh (cinta kepada kekuasaan), dan lain
sebagainnya. Semua di atas dikembalikan kepada satu gharizah yakni
gharizah baqa, sebab seluruh penampakan ini mengantarkan kepada
perbuatan-perbuatan yang membantu baqa (langgengnya) manusia yaitu diri
pribadinya.
Adapun jenis kedua dari madhohir ini adalah: al-mailu al-jinsi (senang
lawan jenis), al -umuumah (keibuan), al-abuwwah (kebapakan), hubbu al-bana
(cinta kepada anak), al-„athfi „ala al-insan (kasih sayang kepada sesama
manusia), kecendrungan untuk menolong orang yang membutuhkan
pertolongan dan lain sebagainya. Semua itu di atas dikembalikan kepada
gharizah Nau‟. Sebab semua penampakan di atas mengantarkan kepada
perbuatan-perbuatan baqa al-nau‟ (kelanggengan jenisnya).
Sedangkan yang ketiga dari madhohir ini adalah al-mailu li al-ihtirom al-
abthol (kecendrungan untuk menghormati pahlawan), al-mailu li‟ibaadatillah
(kecendrungan untuk ibadah kepada Allah), perasaan kurang dan lemah dan
membutuhkan serta lain sebagainya dikembalikan kepada gharizah tadayyun
sebab penampakan di atas mendorong manusia untuk membahas, mencari
kepada al-Khaliq yang kuasa dan sempurna, tidak menyandarkan wujud-Nya
kepada orang lain dan makhluklah yang bersandar kepada sang Pencipta.
Adapun naluri adalah suatu khaasiyah yang fitri dan ada di dalam diri
manusia yang berguna untuk memelihara kepada baqanya dan untuk
menjaga kepada nau‟nya juga untuk memahami wujud dari Khaliq. Naluri ini
tidak bisa diketahui oleh indera secara langsung, akan tetapi bisa di jangkau
oleh akal lewat indikasi madhohirnya.
Allah telah menciptakan khasiat-khasiat dan mengilhamkan
penggunaannya kepada manusia ataupun hewan, Allah berfirman kepada
lisan Musa di dalam menghindari dan menolak keganasan Fira‟un, firman
Allah:
“Berkata Musa: “ Tuhan kami ialah Tuhan yang telah memberikan kepada
tiap-tiap sesuatu bentuk kejadian-Nya, kemudian memberikan petunjuk.”(QS.
Thaahaa 50)
Yakni Allah meletakkan pada tiap sesuatu sebuah khasiat, dan
memberinya petunjuk melalui khasiat ini, di dalam melakukan aktifitas untuk
memenuhi rasa ketidakcukupan dan kekurangan oleh gharizah dan haajaah
„udwiyahnya. Sebagian ulama telah menafsirkan ayat di atas demikian:
sesungguhnya Allah telah menciptakan setiap sesuatu terdiri dari jenis jantan
dan betina dan Allah mengilhamkan cara perkawinannya, maka selanjutnya
sebagian ulama tersebut menafsirkan kata kholqohu dengan penafsiran
kemiripannya di dalam penciptaan.
Adapun makna yang awal adalah lebih „aam (umum) dan lafadz-lafadz
nash mencakup segala kholqohu, ini adalah lebih sahih sebab ayat tersebut
redaksinya berbunyi kullu syaiin adalah „aam yang mencakup segala macam
makhluk. Firman Allah:
“Dan Tuhannu mewahyukan kepada lebah:” Buatlah sarang-sarang di
bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan ditempat-tempat yang dibuat oleh
manusia.”(QS. An Nahl 68)
Yakni Allah telah memberi dan mengilhamkan kepada lebah khasiat
untuk membangun sarang di gunung, pohon dan rumah. Dan Allah telah
mengisyaratkan sebagian madhohir gharaiz ini, firman-Nya:
Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah
menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebagian dari apa yang telah
Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami sendiri, lalu mereka menguasainya?”
(QS. Yaa Siin 71).
Maka Allah menciptakan segala sesuatu bagi manusia, salah satunya
adalah binatang untuk dimilikinya sebagai pemuas hubbu al-tamalluknya,
sebagai penampakan gharizah baqa. Firman Allah yang ditujukan kepada nabi
Ibrahim AS:
“Berfiman Allah: sesungguhnya Aku akan menjadikan kamu imam bagi
seluruh manusia. Ibrahim berkata: (Dan saya mohon juga) dari keturunanku.
Allah berfirman: JanjiKu (ini) tidak mengenai orang yang dholim.”(QS. Al
Baqarah 124).
Dari ayat ini terlihat Ibrahim cinta kepada keturunannya dengan
memohon kepada Allah agar keturunannya juga dijadikan Imam manusia,
apa yang dilakukan Ibrahim adalah penampakan dari gharizah nau‟. Hal ini
adalah untuk memnuhi gharizah nau‟ yang telah Allah fitrahkan kepada
manusia, dan terbukti Allah mengabulkan doa Ibrahim, banyak keturunannya
yang dijadikan Rasul-Rasul tetapi Allah juga menolak dengan Firman-Nya : „
Janjiku ini tidak mengenai orang-orang yang dhalim.” (QS.Al Baqarah 124)
Firman Allah diatas menegaskan kepada Ibrahim bahwa imamah
diberikan kepada keturunannya yang shalih, dan janji tersebut tidak
mencakup kepada keturunan Ibrahim yang dhalim. Firman Allah:
“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu)
dengan Yusuf dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu
andaikata ia tidak melihat tanda (dari) Tuhan-Nya. Demikian agar Kami
memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf
termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf 24).
Maka kecenderungan suka kepada lawan jenis adalah penampakan
gharizah nau‟, yang juga pada isteri Raja Mesir dengan menyukai Yusuf, dan
hal ini adalah untuk memenuhi gharizah nau‟nya.
Penampakan ini juga terdapat pada Yusuf, akan tetapi Yusuf tidak
melakukan perbuatan tersebut dengan berpaling dari ajakan isteri Raja Mesir,
sebab Allah telah memperlihatkan kepada Yusuf apa yang bisa mencegahnya
dari keinginan dengan wanita itu. Maka kata “laula” pada firman Allah diatas
berfungsi sebagai sekat dan alat pencegah adanya perbuatan kekejian, Yusuf
telah menahan dari “keinginan” dengan Isteri Raja Mesir disebabkan telah
melihat sinyal yang berupa “tanda” dari Allah, sehingga makna ayat diatas
sebagai berikut, seandainya Yusuf tidak melihat tanda dari Tuhannya, maka
ia akan “berkehendak” dengan isteri Raja Mesir sebagai hasil dari al-mailu al-
junsinya kepada wanita tersebut, akan tetapi Yusuf tidak berkehendak kepada
wanita isteri Raja Mesir, sebab ia melihat tanda dari Allah yang
menghalanginya dari perbuatan keji dan munkar.
Firman Allah :
“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon
(pertolongan) kepada Tuhannya, dengan kembali kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar
8 ).
Firman-Nya lagi :
“Sesungguhnya kami takut akan (adzab) Tuhan kami pada suatu hari yang
(hari itu) orang-orang bermuka asam penuh kesulitan.”(QS. Al-Insaan 10).
Maka kembali kepada Allah dan takut siksa-Nya adalah penampakan dari
gharizah tadayyun.
Tiga naluri di atas ada pada setiap manusia, dan tidak mungkin diganti
dan tidak mungkin disilangkan atau didistribusikan dari manusia satu ke
manusia lainnya, tetapi dimungkinkan sebagian penampakan dari salah satu
naluri terhimpun dan bertempat salah satunya pada posisi yang lain. Maka
dimungkinkan hubbu al-zaujah (cinta isteri) menempati tempat hubbu al-um
(cinta kepada ibu), hubbu al-siyaadah menempati tempat hubbu al-tamalluk,
dan taqdiisul al-basyar (pengutusan manusia) dan tasdiisul al-asnaam
(pemujaan pada patung) menempati tempat ibadah kepada Allah.
Akan tetapi tidak mungkin menghapus dan memutus tiga naluri di atas
dari manusia, sebab gharizah adalah bagian dari esensi manusia. Sedangkan
penampakan dari gharizah bukanlah bagian dari esensi manusia.
Adapun bagaimana manusia mengetahui penisbatan penampakan ke
gharizah, maka sesungguhnya hal itu adalah dengan mempelajari realitas dari
penampakan (madhhar), maka jika madhhar condong atau menahan yang
menghasilkan perbuatan untuk membantu baqanya dzat manusia , maka
madhhar seperti itu dinisbatkan kepada gharizah baqa seperti takut, kikir
berani dan sebagainya. Maka jika madhhar menghasilkan perbuatan yang
membantu baqanya al-nau‟ al insaaniy maka madhhar ini dinisbatkan ke
gharizah nau‟ seperti mengasihi, lemah lembut, senang kepada lawan jenis
dan lain sebaginya.
Jika madhhar menghasilkan perbuatan yang membantu perasaan
manusia seperti lemah dan membutuhkan kepada Khaliq, maka madhhar ini
dinisbatkan ke gharizah tadayyun seperti takut kepada hari akhir,
menghormati sesuatu yang lebih kuat dan kagum dengan nidhomu al-kaun
dan sebagainya.
Maka madhhar adalah tanpa perbuatan, seperti kecenderungan untuk
memiliki (al-mailu al tamalluk) bukanlah al-tamalluk (memiliki), karena al-
mailu li al-tamalluk adalah rasa yang ad di dalam diri manusia ketika
menghadapi sesuatu itu dan menyimpannya, sedangkan “memiliki” adalah
hasil pelaksanaan suatu aktifitas. Seperti menjual mobil atau mencuri harta,
jadi madhhar itu tidak memuaskan gharizah, karena sesungguhnya aktivitas
yang mendorong kepada madhhar itulah memuaskan gharizah atau yang
merealisasikan bagian dari pemuasan, maka kecenderungan mendapatkan
keridloan dari Allah bukanlah ibadah, sebab ibadah itu memuaskan gharizah
tadayyun, sedangkan kecenderungan semata-mata tidaklah bisa memuaskan
gharizah tadayyun dan kecenderungan senang lawan jenis tidaklah bisa
memuaskan gharizah nau‟, sedangkan berkumpulnya suami isteri (jima‟) bisa
memuaskan sebagian dari gharizah nau‟ ini, sehingga walaupun jima‟ ini
dilakukan berulang-ulang tanpa menghasilkan anak, maka aktivitas tersebut
tidak memuaskan secara total gharizah nau‟ dari aspek madhhar ini. Karena
pada asalnya suatu aktifitas sebagai hasil dari madhhar adalah untuk
membantu gharizahnya, yang madhhar menisbatkan pada naluri… sedangkan
jima‟ tanpa menghasilkan anak tidak bisa menguatkan pemuasan secara
sempurna, karena jima‟ tidak bisa berpengaruh pada kelangsungan tetapnya
al-nau‟ al insany maka tidak bisa membatu gharizah nau‟.
Penampakan (madhaahir) adalah kekuatan yang bisa menarik dalam
rangka pemuasan naluri manusia yang sifatnya dari dalam manusia,
berdasarkan kekuatan yang menyamai pada madhoohir gharizah baqa (seperti
al-mailu li al-tamalluk, al-siyaadah, al-saitaroh, keberanian dan lainnya)
adalah untuk menarik segala sesuatu yang lazim untuk memuaskan gharizah
ini.
Naluri dan cabang-cabang dari madhoohirnya berbeda dalam kuat
lemahnya diantara manusia yang satu dengan yang lain, dan berbeda di
dalam lemah serta kuatnya diri manusia itu sendiri. Perbedaan lemah serta
kuatnya mengikuti pengaruh ekstern darinya dan perbedaan dalam tingkatan
umur manusia.
Maka kita mendapatkan manusia yang hidupnya penuh dengan keinginan
dalam pemuasan tiga naluri sekaligus secara kuat, juga kita dapati manusia
lain yang di dalam umurnya malas dan lemah sehingga merasa cukup dengan
sedikit demi sedikit untuk memuaskan naluri ini.
Juga dari sudut pandang yang lain kita dapatkan manusia yang
mencurahkan diri di dalam memuaskan gharizah baqa, gharizah nau‟ dan
tidak memperhatikan dalam pemuasan gharizah tadayyun. Atau kita bisa
memperhatikan kasih sayang ibu dicurahkan kepada suaminya karena
kecenderungannya suka kepada lawan jenis dan cintanya kepada
pasangannya atau sebaliknya.
Juga kita bisa memperhatikan kecenderungan suka kepada lawan jenis
pada umumnya timbul secara kuat pada waktu muda kemudian mulai
menjadi lemah pada usia tua, yang biasanya dilanjutkan dengan pemusatan
ibadah serta takut kepada hari akhir dan ini umumnya terjadi pada waktu
tua dibanding pada usia muda.
Tingkat perbedaan naluri ini, baik dari skala intensitas, prioritas dan
aktualitasnya menjadikan sebagian orang mendahulukan salah satu gharizah
daripaa gharizah lainnya. Hal ini kadangkala disebabkan kuat dan lemahnya
naluri dan kadangkala disebabkan perbedaan pengaruh-pengaruh yang ada
…yakni berbeda dan bertentangan hukum-hukum yang dibuat manusia atas
al-af‟aal dan al-asyya yang berhubungan dengan pemenuhan gharizahnya
juga pengaruh lingkungan serta pengaruh ekstern lainnya. Manusia telah
memberikan macam-macam cara di dalam pemenuhan, salah satunya adalah
pemenuhan yang benar yakni aktivitas seseorang di dalam memenuhi
gharizahnya pada tempat pemenuhan yang sesuai, yakni denga jalan yang
telah ditentukan oleh nidhom yang shahih dalam pemenuhan ini. Sehingga
bila mendatangi perempuan dengan aqad yang shahih untuk pemenuhan
mailu al-jinsi maka pemenuhan seperti itu adalah pemenuhan gharizah nau‟
yang benar sebab perempuan menjadi pendorong ekstern bagi mailu al-jinsi
dan hal ini adalah tempat yang memang telah diciptakan Allah sebagai
pemenuhan al mailu al-jinsi laki-laki dan Allah telah mengatur aktivitas ini
dengan satu-satunya legalitas yang absah yakni dengan jalan pernikahan.
Adapun bila seorang laki-laki mendatangi perempuan yang tidak halal
baginya yakni mahram atau mendatangi perempuan yang tanda aqad yang
sah maka pemenuhan mailu al-jinsi tersebut adalah salah, sebab ia telah
melakukan pemenuhan dengan menyalahi dengan norma yang shahih
walaupun ia telah tepat di dalam pemilihan tempat pemenuhan mailu al-jinsi
yaitu perempuan. Sedangkan bila laki-laki mendatangi binatang atau sesama
laki-laki misalnya maka pemenuhan mailu al-jinsi tersebut adalah syad /
menyimpang karena hal itu adalah pemenuhan gharizah yang bukan pada
tempatnya sekaligus bertentangan dengan nidhom yang shohih di dalam
pemenuhan, sebaliknya begitu pula dengan perempuan.
Sedangkan pemenuhan ghaizah tadayyun yang datang dari Allah kepada
manusia dengan suatu aktifitas ibadah yang telah ditentukan baik norma
fundamen, format sekaligus mekanismenya seperti shalat ini adalah
pemenuhan yang shahih, tetapi apabila beribadah kepada Allah dengan
mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan seperti berputar-putar di
sekitar diri sendiri hal ini adalah pemenuhan yang salah walaupun maksud
orang yang berputar tadi adalah beribadah untuk mencari ridlo Allah. Disini
kita semakin faham tentang legalitas syahadatain yang sifatnya primordial
yakni Islam, sehingga berangkat dari konsep di atas kita bisa menjawab
lontaran orang-orang substansial yang biasanya beragumen yang penting
tujuan, yang penting baik walaupun itu tidak diatur dalam Islam, lebih-lebih
yang memang orangnya tidak melegalisasikan dirinya dengan syahadat.
Demikian juga beribadah kepada berhala yang dianggap sebagai Tuhan.
Hal ini adalah pemenuhan yang menyeleweng, karena dengan demikian
bukanlah tempat pemenuhan gharizah tadayyun sebab penyembahan
terhadap berhala tidaklah memuaskan pemenuhan perasaan serba kurang
dan lemah yang ada pada diri manusia , karena sesungguhnya berhala lebih
lemah dibanding manusia.
Dan pemenuhan gharizah baqa seperti al-tamalluk dengan jalan jual-beli
adalah pemenuhan yang shahih, sedangkan pemenuhan dengan jalan
mencuri harta benda orang lain adalah pemenuhan yang salah, sebab
pencurian adalah aktifitas yang dilarang Syara. Adapun pemenuhan gharizah
baqa seseorang dengan jalan perdagangan semisal khamr atau babi, ini
adalah pemenuhan yang menyeleweng sebab aktivitas ini diharamkan, tiada
nilainya di mata Islam dan dilarang memilikinya, seperti itu bukan sebagai
tempat untuk pemenuhan yang benar dalam kerangka pandang Islam.

AL-HAAJATUL AL-‘UDWIYYAH
(KEBUTUHAN JASMANI)

(Allah) yang menciptakan dan


menyempurnakan (penciptaan-Nya) dan yang menentukan kadar (masing-
masing) dan memberi petunjuk (QS. Al-A’laa 2-3)

Jasad manusia adalah materi dalam dirinya ada thaaqotu al-hayawiyyah


(potensi hidup) yang terbagi pada naluri, al-haajatul al udwiyyah dan al-tafkir
dan khasiat ini tetap ada selama manusia hidup serta akan hilang bila ia
mati.
Kita telah membahas tiga naluri dan penampaknnya dalam bab terdahulu
sedangkan sekarang adalah pemabahasan al-haajatul al-udwiyyah dengan
kebutuhannya serta pembahasan tentang tubuh manusia, yakni materi yang
membentuk jasad manusia.
Jasad manusia yang dapat diraba /disentuh terbentuk dari sel-sel yang
bermacam-macam baik bentuk warna dan fungsi. Jumlahnya mencapai lebih
dari 300.000 juta sel. Tiap sel tersusun dari dinding sel yang di dalamnya
berisi materi-materi makanan yaitu sitoplasma di tengahnya ada inti sel
terbentuk dari kromosom-kromosom berjumlah 46 kromosom saja, tidak
berkurang dan tidak bertambah kecuali pada sperma laki-laki dan ovum
wanita masing-masing berjumlah 23 kromosom.
Adapun susunan manusia tidak berbeda antara yang satu dengan yang
lain jika dilihat dari aspek susunan anggota dan fungsi, bilamana berbeda
mungkin di dalam warna kulit, postur tubuh dan penampakan gerak tubuh.
Setiap diri manusia terdiri dari kepala, jantung perut / lambung, paru-paru,
usus dan lain sebagainya dan seluruh tubuhnya terbentuk dari sel-sel yang
sama sifatnya seperti yang telah diterangkan di atas. Tiap anggota tubuh
membutuhkan zat-zat makanan, pernapasan dan butuh istirahat, berhenti,
bergerak, melepaskan sisa-sisa kerja organ dengan jalan yang sama.
Khasiyat kebutuhan tubuh manusia hanya pada hal-hal tertentu, dan
manusia mencari hal-hal ini, yakni khasiat yang Allah telah menitipkan pada
diri manusia yang disebut dengan al-haajatul al-„udwiyyah.
Dan kebutuhan di atas membutuhkan pemenuhan, untuk memenuhi
pemuasan ini tubuh membutuhkan kepada audloo‟ (tempat / kondisi), asyya
(sesuatu) dan a‟maal (perbuatan) tertentu. Adapun kondisi yang dibutuhkan
tubuh adalah tempat tidur, istirahat dan derajat panas tertentu serta suhu
udara yang sesuai dengan tubuh manusia.
Sedangkan sesuatu yang dibutuhkan tubuh adalah makanan, minuman
dan udara. Dan a‟maal yang dibutuhkan tubuh adalah bernafas, aktivitas
makan dan buang air. Jika kebutuhan jasmani ini tidak dijaga untuk
kelangsungan proses mekanisme tubuh manusia maka akan mengalami
kerusakan.
Kondisi dan sesuatu ini dituntut oleh tubuh agar bisa melaksakan fungsi-
fungsi tubuh. Maka bila tubuh kekurangan air, melalui otak akan
mengirimkan sinyal akan kekurangan air ini, kemudian indera mencari air
untuk menutup kekurangan ini. Jika tidak di dapatkan air secara perlahan
tapi pasti tubuh tersebut akan rusak. Dan demikian dengan kebutuhan yang
lain seperti kebutuhan pada makanan, udara dan tidur.
Dalam waktu tertentu tubuh membutuhkan melepas sisa-sisa proses
tubuh yang berbahaya bila tidak dikeluarkan seperti keringat, urine, berak
dan karbondioksida.
Kebutuhan jasmani tetap didapat dari dalam tubuh manusia Allah telah
memberi syinyalemen tentang hal ini di dalam Al-quran surat Al-Ruum 23:
“Dan diantara tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan
siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya.”
Dan firman Allah selanjutnya yang menerangkan bahwa Rasul juga
manusia biasa:
“(Nabi) ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, dia makan dari apa
yang kamu makan dan minum dari apa yang kamu minum.” (QS.Al-Mukminun
33).
Allah telah membolehkan kepada manusia memakan terhadap segala
makanan yang telah disediakan Allah untuk pemenuhan kebutuhan jasmani,
kecuali yang diharamkan namun ketika hal itu tidak dipenuhi dan akan
menyebabkan rusaknya tubuh, Allah membolehkan memakan yang haram,
firman Allah SWT:
“Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakan yang haram)
sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak
ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al Baqarah 173).
Demikan juga khalifah “Umar bin Khaththab tidak memotong tangan
pencuri pada waktu musim paceklik yang melanda daerah kekuasaan Islam,
karena kebutuhan si pencuri untuk memenuhi Al Haajatul Al-„Udwiyyahnya.

PERSAMAAN, PERBEDAAN, HUBUNGANNYA


GHARIZAH DAN KEBUTUHAN JASMANI

Gharizah dan kebutuhan jasmani mempunyai persamaan jika ditinjau


dari karakter khasiat fitriyyah yang ada dari pemberian Allah pada manusia,
seperti khasiat banjir pada air, khasiat membakar pada api. Tidak ada
seorangpun yang mampu menyilangkan ataupun menghilangkan kecuali
Allah Rabbul „Alamin.
Sedangkan perbedaan antara kebutuhan jasmani dengan naluri ada dua
segi:
Segi pertama, pelaksanaan pemenuhan kebutuhan jasmani adalah wajib
tidak bisa ditinggalkan, sehingga jika tidak dipenuhi, tubuh dan aparatur
mekanisme akan rusak, jika seseorang tidak tidur atau tidak makan atau
tidak bernafas dan lainnya maka lama kelamaan akan rusak.
Adapun naluri pelaksanaan pemenuhan tidak suatu keharusan, jadi bisa
ditinggalkan, sehingga jika tidak dipenuhi tidak akan berpengaruh pada
kerusakan tubuh dan mekanismenya, tetapi hanya sebatas pada
keguncangan, kacau, gelisah serta tidak tenang. Sehingga bila seseorang
tidak memenuhi gharizah tadayyun tidak akan merusak dirinya tetapi akan
merasa gelisah, sempit dan goncang, perasaan seperti ini nyata dan jelas pada
pasangan suami isteri yang tidak menghasilkan keturunan karena mandul
salah satunya atau keduanya.
Segi kedua, Sesungguhnya kebutuhan jasmani munculnya dipengaruhi
dari faktor intern tubuh, seseorang merasa butuh makan atau minum jika ia
lapar atau haus disebabkan tubuh membutuhkan pasokan materi-materi
makanan atau minuman yang diuraikankan tubuh untuk kebutuhan
internnya, serta merasa butuh tidur atau istirahat jika sangat menagantuk
atau payah.
Anggota tubuh tidak akan bisa melaksanakan fungsi-fungsinya jika tidak
tidur atau tidak beristirahat, setiap kekurangan di dalam kebutuhan jasmani
dari tempat dan sesuatu, manusia merasa sendiri dari dalam tubuhnya, jadi
bukan tugas indera untuk memberikan syinyalemen bila tubuh memerlukan
pemenuhan ini.
Lalu bagaimana manusia merasakan kebutuhan anggota tubuhnya
kepada kondisi dan sesuatu ?
Maka jika kekurangan di dalam kebutuhan jasmani hal ini di mulai dari
pengaruh sebagian sel-sel yang tersebar diseluruh jaringan tubuh, kemudian
pengaruh ini berpindah melalui syaraf-syaraf menuju pusat tertentu di dalam
otak, kemudian otak bekerja dengan pengkaitan Al-ma‟luumaatu al-sabiiqoh
dari rasa ini mendorong manusia untuk mencari sesuatu yang bisa
memenuhinya, maka hal ini mendorong manusia untuk mencari sesuatu yang
bisa memenuhinya.
Sedangkan naluri dipengaruhi dari faktor ekstern tubuh, maka jika
melihat harta yang banyak, berpengaruh baginya hubbu al-tamalluk (untuk
memiliki) yang muncul dari gharizah baqa, jika melihat mayat akan
berpengaruh baginya pemikiran bahwa manusia itu lemah, dan ini adalah
penampakan dari gharizah tadayyun, jika melihat seseorang perempuan yang
cantik berpengaruh baginya al-mailu al-jinsi dan ini adalah penampakan dari
gharizah nau‟, dan kadang-kadang naluri dipengaruhi dari cara berfikir
(thoriiqu al-tafkir) pada sesuatu yang mempengaruhi, yang kembali kepada
naluri, maka akan tergambar kepada sesuatu yang mempengaruhi tersebut
dan menghadirkan sesuatu itu di dalam otak, yang kemudian akan
mempengaruhi naluri, sebab manusia telah mengindera sesuatu yang terjadi
itu sebelummya, maka terpengaruhlah gharizahnya kepada sesuatu itu, disini
terjadi peran persepsi.
Dari uraian tersebut ternyata ada hubungan antara kebutuhan jasmani
dengan gharizah baqa yaitu apabila sesuatu yang memenuhi kebutuhan
jasmani manusia membantu baqa / langgenya manusia pada rantai
kehidupannya, seperti makanan, minuman ,bernafas, tidur, buang air dan
berkeringat adalah untuk menjaga langgengnya manusia. Semua itu adalah
kebutuhan yang merupakan keharusan bagi tubuh dalam menjalankan
fungsi-fungsi alamiahnya, akan tetapi mekanisme organ tubuh di atas juga
merupakan keharusan bagi kelangsungan rantai kehidupannya. Maka
kecenderungan memiliki makanan atau kecenderungan untuk makan adalah
penampakan grarizah baqa, karena kecenderungan ini kadang-kadang
terdapat pada manusia walaupun organ tubuhnya tidak sedang
membutuhkan makanan, hal ini karena adanya ma‟lumat sabiqah tentang
lezatnya makanan ini dan bergunanya untuk memenuhi kebutuhan jasmani.
Maka jika pengaruh-pengaruh datang dari luar manusia saja tanpa
adanya anggota tubuh membutuhkan makanan maka itu adalah al-istijaabatu
ghariiziyyah (reaksi gahrizah), dan kecenderungan untuk makan adalah
madhhar ghariiziyyah (penampakan yang sifatnya naluri). Dan jika stimulus
yang datang dari intern tubuh karena adanya organ tubuh yang
membutuhkan makanan maka itu adalah reaksi kebutuhan jasmani, maka
aktifitas makan menjadi sifat sebagai pemenuhan terhadap kebutuhan
jasmani jika manusia merasa lapar, dan makanan juga sebagai sarana
pemenuhan gharizah baqa, jika aktifitas makan manusia semata hasil dari
cintanya manusia kepada makanan, walaupun sebenarnya ia tidak lapar dan
organ tubuhnya tidak membutuhkan kepada penguraian materi atau gizi-gizi
makanan, atau istilah lain memberi makan nafsu, bukan memberi makan
perut.
Kebutuhan jasmani yang terdapat pada manusia juga terdapat pada
hewan, walaupun al-audlo‟ dan al-asyya yang bisa memenuhi kebutuhan
jasmani manusia tidak sama dengan kondisi dan sesuatu yang bisa
memenuhi kebutuhan jasmani hewan, maka makanan yang dapat memenuhi
kebutuhan manusia bukanlah makanan yang bisa memenuhi laparnya perut
dari sebagian besar hewan. Bejana dan tempat yang biasa sebagian hewan
hidup seperti ikan dan burung bukanlah bejana dan tempat yang biasa
manusia hidup, dan hal ini disebabkan perbedaan organ tubuh diantara
keduanya.
Sedangkan naluri juga terdapat pada hewan, seperti juga yang terdapat
pada manusia, semisal gharizah nau‟ dan apa yang muncul dari
penampakannya seperti al-mailu al-jinsi dan juga seperti gharizah baqa dan
penampakannya seperti takut kepada bahaya.
Kecuali penampakan sebagian dari gharizah nau‟ dan gharizah baqa tidak
ada pada hewan, seperti hubbu al-istithla‟, dan kecenderungan
menyelamatkan diri dari kerusakan dengan berada pada tempat yang tinggi.
Atau antara manusia dengan hewan sama-sama memiliki gharizah baqa
dan gharizah nau‟ tapi berbeda seperti hubbu al-tamalluk.
Sedangkan gharizah tadayyun, antara manusia dengan hewan berbeda
penampakannya dan punya cara tersendiri. Manusia tidak bisa mengetahui
penampakan gharizah tadayyun hewan, hal ini hanya bisa kita ketahui dari
dalil qath‟I yang keabsahannya terjamin, yakni dalil yang datangnya dari Al-
Qur‟an yang mengabarkan tasbih dan shalatnya segala macam kehidupan
lainnya, firman Allah:
“Dan tak ada sesuatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi
kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka, sesungguhnya Dia Maha
Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Israa 44).
Firman Allah SWT:
“Tidakkah kamu mengetahui bahwasanya Allah: Kepadanya bertasbih apa
yang ada di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan
sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) shalat dan tasbihnya, dan
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. An Nuur 41)
Maka tasbih dan shalat adalah aktivitas sebagai hasil dari kecenderungan
manusia untuk mentaqdiskan Khaliq, dan ini adalah sebagian penampakan
dari gharizah tadayyun yang semua makhluk melakukan, dan informasi ini
datang langsung dari Allah, tetapi kita tidak bisa mengetahui esensi ibadanya,
firman-Nya :
“Tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.”(QS. Al-Israa 44).

AL-IDRAAK
(PEMIKIRAN)

Firman Allah SWT:


”Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran-Nya)
bagi kaum yang memikirkan.”(QS. Ar Ra’d 3).
“Sesungguhnya yang demikian terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
kaum yang menggunakan akalnya.”(QS. Ar Ra’d 4).
“Dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”(QS. Al
‘Ankabuut 43).
Al-Idraak, al-fikr, al-„aql bermankana satu yaitu khasiat yang telah
diletakan Allah kepada manusia yang merupakan hasil dari khoosiyatu al-
ribthi (khasiat pengkaitan) yang ada di dalam otak manusia yaitu berfungsi
sebagai hukum atas realitas berupa pemindahan penginderaan dari realitas
kepada otak beserta adanya ma‟luumat saabiqoh (informasi sebelumnya) yang
menafsirkan realitas itu.
Kelebihan manusia dari hewan ada pada khasiat al-Idraaknya (akal), dan
inilah yang menjadikan manusia pada derajat lebih utama dari hewan, firman
Allah:
“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar
atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al Furqaan 4).
Ayat tersebut menunjukan binatang itu tidak berfikir. Proses berfikir
harus memenuhi empat syarat, yaitu :
1. Al-dimaagh al-shaalih (otak yang baik)
2. Al-waaqi‟ al-mahsus (realita yang terindera)
3. Al-ihsaas (alat indera)
4. Al-ma‟luumaatu al-saabiqah (informasi yang
sebelumnya telah masuk).
Al-dimaagh adalah materi yang ada pada tengkorak kepala. Otak ini
dikelilingi tiga lapisan / selaput secara baik, yang menembus dari sela-sela
lapisan ini syaraf-syaraf yang banyak, yang menghubungkan dengan otak, al-
hawaas dan seluruh organ tubuh. Serabut-serabut syaraf ini menyebar
sampai batas yang sulit dipercayai, karena telah diketahu bahwa urat syaraf
/ darah tersebar pada seluruh jaringan tubuh yang panjangnya mendekati
200.000 mil. Dalam tugas otak menjaga tubuh melalui 76 urat syaraf kepala.
Berat otak manusia dewasa sekitar 1200 gram, yang menghabiskan 25 %
dari oksigen yang masuk melalui paru-paru. Para pakar ilmu syaraf telah
menguji dengan menggunakan alat dari listrik pada otak manusia, dan
berkesimpulan bahwa otak adalah salah satu organ yang berfungsi untuk
berfikir pada manusia, serta dari penelitian tersebut diketahui munculnya
gelombang listrik secara tiba-tiba dari sel otak, pada saat manusia
mengkonsentrasikan fikirannya atau ketika dipengaruhi emosi dan
mendengar kegaduhan yang sangat atau ketika menghitung sesuatu yang
rumit.
Juga para pakar belum tahu tempat secara pasti di dalam otak yang
bertanggung jawab pada memori penghafalan informasi. Dan diketahui
putusnya sebagian dimaagh pada sebagian orang sakit tidak menghilangkan
ingatannya. Juga telah diprediksi oleh sebagian pakar bahwa tempat
penyimpan memori dari informasi yang memungkinkan manusia menguasai
informasi tersebut sama kapasitasnya dengan 90 juta jilid buku yang penuh
berisi dengan tulisan, ini adalah suatu penciptaan yang mengagumkan pada
otak manusia sebagai argumen Maha hebatnya kekuasaan Allah, firman Allah
:
“Dan bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang
yakin, dan juga pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan
?” (QS. Adz Dzaariyaat 20-21).
Adapun realitas yang bisa dideteksi indera kadang-kadang realias yang
sifatnya materi seperti bulan, buku dan kuda dan juga kdang-kadang realitas
yang terdeteksi hanya bekas atau pengaruh dari realitas yang sifatnya materi
seperti suara angin, suara kapal terbang dan bau harumnya bunga. Akan
tetapi kadang-kadang ada juga realitas yang sifatnya immateri hanya
terdeteksi dari indikasi dan bekasnya saja seperti sifat pemberani, muruuah
(malu), takut dan penyayang.
Adapun sesuatu yang diketahui wujudnya kadang-kadang mempunyai
sifat mahsuusah dan malmuusah (terindera dan terpegang) seperti tali, pohon
dan himar / kuda. Dan kadang-kadang hanya mahsuusah tanpa malmuusah
seperti gembira, sakit. Juga kadang-kadang tidak mahsuusah dan tidak
malmuusah hanya bisa diketahui wujudnya dari wujud penampakannya saja,
seperti tiga naluri (baqa, nau‟, tadayyun) dan adanya kehidupan pada
manusia.
Adapun penginderaan pada realitas adalah pemindahan realitas ke otak
melalui alat panca indera yaitu penginderaan penglihatan dengan alat mata,
penginderaan pendengaran dengan telinga, penginderaan perabaan dengan
alatnya kulit, dan penginderaan rasa dengan alatnya lidah serta penginderaan
penciuman dengan alatnya hidung.
Adapun mekanisme penginderaan dengan jalan mata secara lengkapnya
sebagai berikut:
Sampainya sinar yang terang yang terpantul dari benda ke dalam kelopak
mata menuju jaring mata, lalu jaring mata meneruskan sinar terang tadi
menuju syaraf mata dalam bentuk gelombang-gelombang listrik ke pusat
penglihatan di bagian belakang otak, seketika manusia melihat bentuk
gambar yang ada di depannya, akan tetapi orang yang bisa melihat tersebut
belum bisa memahami gambar yang ada di depannya, yakni tidak bisa
menghukumi gambar tersebut kecuali bila mempunyai ma‟lumat sabiqah
tentang gambar yang dilihatnya yang sudah tersimpan di dalam otaknya.
Penglihatan manusia terbatas karena mata manusia punya daya jangkau
penglihatan sampai batas yang tidak mampu lagi melihat, hal ini terbukti
ketika mata manusia melihat sesuatu yang sangat lembut atau ketika melihat
atom juga ketika melihat sebagian bintang yang sangat jauh. Oleh karena kita
tidak bisa melihat sebagian besar apa yang sebetulnya ada, ini karena
keterbatasan tadi, firman Allah :
“Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat, dan dengan apa yang
tidak kamu lihat.” (QS. Al Haaqqah 38-39).
Indera pendengaran adalah salah satu indera yang penting, karena
melalui indera ini manusia memperoleh ilmu, Allah telah menyebutkan di
dalam ayat-ayat-Nya tentang penginderaan ini dengan penyebutan lebih
dahulu daripada indera penglihatan, firman-Nya:
“Atau siapakah yang berkuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan.” (QS.Yunus 31)
Firman-Nya :
“Dan dia memberi kamu pendengaran dan penglihatan.” (QS. An-Nahl 78)
“Sesungguhnya pengendengaran, penglihatan dan hati semua itu akan
diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al Israa 36)
Indera pendengaran adalah yang menerima gelombang-gelombang suara
lalu diteruskan menuju ke syaraf pendengaran kemuadian ke otak. Telinga
manusia bisa menangkap getaran-getaran suara yang kecepatannya antara
16-20 ribu getaran tiap detik, adapun suara yang getarnnya lebih cepat dari
di atas, telinga manusia tidak mampu memindahkannya ke otak.
Sedang telinga kucing kemampuannya 50 ribu getaran tiap detik, dan
telinga kelelawar mampu memindahkan getaran yang diterima ke otak sekitar
120 ribu getaran tiap detik, sehingga mampu menggantikan penglihatannya,
karena mempunyai ketajaman terhadap benda yang ada di depannya walau
tidak melihatnya, Maha Besar Allah , Firman-Nya:
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang yang
yakin. “(QS. Adz Dzaariyaat 20)
Dan manusia tidak bisa mendengarkan sesuatu, kecuali sebagian dari
suara yang ada di sekitarnya.
Indera perasa dengan syaraf-syaraf yang banyak tersebar diseluruh
bagian tubuh manusia, terutama di kulit, tiap syaraf mempunyai fungsi
tertentu, maka seperti indera perasa mempunyai syaraf-syaraf yang tidak
seluruhnya berfungsi memindahkan indera rasa sakit, atau indera rasa dingin
dan indera rasa panas. Seperti syarat-syarat penginderaan rasa sakit terdapat
di kulit, sehingga bila ditusukkan sebuah jarum lewat di kulit, maka bila
sudah masuk ke dalam otot-otot tidak terasa sakit, firman Allah :
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan
Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus,
Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka meraskan
adzab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS. An
Nisaa’ 56)
Setiap Kulit orang kafir itu hangus terbakar api neraka, maka Allah akan
menggantikan dengan kulit yang lain agar syaraf-syaraf indera yang ada
dikuliti bisa memindahkan kepada orang kafir dengan merasakan sakitnya
terbakar.
Sedangakan hidung dan mulut memindahkan penginderaan, bau atau
makanan melalui proses mekanisme kimiawi, yakni melalui syaraf-syaraf
penciuman dan syaraf-syaraf pengecapan ke otak.
Dan yang terakhir dari unsur-unsur pemikiran adalah al-ma‟luumat
saabiqoh, yaitu apa yang tersimpan di dalam otak dari informasi-informasi
yang telah masuk berupa realitas yang terindera. Otak akan mengeluarkan
simpanan informasi yang telah masuk tadi, bila dibutuhkan dalam proses
pemikiran. Informasi ini ada 2 macam:
1. Pemikiran-pemikiran yang lalu tentang realitas yang terindera, pemikiran
inilah yang lazim digunakan untuk mempersepsi atau menghukumi
tentang realitas yang ada di depannya, yakni dengan menghubungkan
antara al-afkar al-sabiqoh dengan ealitas yang ada didepannya.
2. Informasi yang merupakan hasil dari respon otak karena penginderaannya
yang lalu, yang punya hubungan dengan realitas yang terindera, hal ini
disebabkan berulang-ulangnya penginderaan kepada realitas yang
mempunyai hubungan dengan pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmani
secara langsung.
Umumnya yang membentuk ma‟lumat dari realitas ini adalah dilihat
apakah dapat memenuhi atau tidak terhadap al-gharaaiz dan kebutuhan
jasmani, ma‟lumat seperti ini tidak sesuai bila digunakan untuk menghukumi
sesuatu.
Informasi sebelunya dari realitas adalah bagian penting dari mekanisme
berfikir („amaliyyatu al-tafkir), Jadi tidak mungkin bisa berfikir tentang
realitas tanpa adanya informasi sebelumnya.
Sekarang timbul pertanyaan kritis, kalau informasi sebelumnya adalah
bagian penting dari mekanisme berfikir, dari mana awal mula datangnnya
informasi sebelumnya itu pada realitas pertama yang bisa dibuat pemikiran
manusia ?
Konsekwensi logis dari manusia, bagaimanapun manusia tetap manusia,
dengan asumsi manusia yang pertama kali hidup atau yang pertama kali ada
di dunia, lalu bagaimana manusia yang pertama kali itu mendapatkan al-
ma‟luumatu al-saabiqah yang bisa di tangkap oleh inderanya ?
Dari sini bisa difikirkan, bahwa manusia yang pertama kali hidup di
dunia harus ada informasi sebelumnya dari sesuatu, sehingga ia bisa
memikirkan dan mendapatkan informasi sesuatu itu. Manusia tidak mungkin
mendapatkan informasi yang bisa dan cocok untuk digunakan sebagai salah
satu dari empat syarat berfikir kalau hanya penginderaan yang berulang-
ulang dari sesuatu, apalagi bila digunakan untuk mempersegi atau
menghukumi sesuatu, hal ini bisa dihadirkan ketika dihadirkan dihadapan
kita realitas yang bisa terindera berupa bahasa china, lalu kita suguhkan
secara berulang-ulangbahasa china tersebut kepada orang yang tidak
mengetahui dan sebelumnya tidak pernah paham bahasa ini. Maka orang
tersebut tidak akan bisa mempersepsi dan memahami bahasa tersebut
walaupun dengan cara diulang-ulang.
Jadi harus ada ma‟lumat yang datang dari luar manusia pertama, dan
dari luar realitas, karena penginderaan pada realitas bagaimanapun berulang-
ulangnya senantiasa hanya sebatas penginderaan saja, tidak bisa didapatkan
ma‟lumat saabiqah yang bisa memindahkan dari penginderaan ke pemikiran.
Manusia senantiasa tidak akan bisa membentuk ma‟lumat sabiqah dari
sesuatu, dan manusia adalah makhluk tertinggi yang ada di bumi, maka
harus ada ma‟lumat sabiqah yang pertama untuk pemikiran yang datang dari
luar dirinya yang lebih sempurna dan lebih mengetahui, Dialah Al-Khaliq
Allah SWT:
Dan Al-Qur‟an telah menukilkan kepada kita, yaitu kalaamullah yang al-
qoth‟I al-tsubuut, bahwa Allahlah yang telah memberikan kepada manusia
berupa ma‟lumat, firman-Nya:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Malaikat lalu berfirman
Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu orang-orang yang
benar!”. Mereka menjawab:”Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui
selain apa yang telah engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah
yang Maha mengetahu lagi maha bijaksana”. Allah berfirman:” hai Adam,
beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda itu. Allah
berfirman:”Bukankah sudah-Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku
mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan
dan apa yang kamu sembunyikan?” (QS. Al-Baqarah 31-33)
Malaikat tidak mampu mengetahui nama-nama benda yang diajarkan
kepada Adam karena Malaikat tidak bisa mengidraak / memikirkan nama-
nama benda itu, Malaikat berkata: “Tidak ada yang kami ketahui selain apa
yang telah Engkau ajarkan kepada kami.” (QS. Al Baqarah 32)
Sedangkan Adam dapat memberitahukan kepada Malaikat karena Allah
telah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya, yaitu
mengajarkan rahasia sesuatu itu seperti yang dianjurkan Allah kepada
Malaikat. Allah memberikan ma‟lumat yang pasti, yang dapat memikirkan
sesuatu itu. Sehingga ketika Adam dituntut Allah untuk memberitahukan
hakekat sesuatu itu kepada Malaikat, Adam dengan menggunakan ma‟lumat
tersebut mampu menerangkan kepada Malaikat.
Dan inilah awal penggunaan akal oleh Adam dan awal pemikiran terhadap
sesuatu yang dibangun atas ma‟lumat sabiqah dari sesuatu yang
diberitahukan Allah Rabbul‟alamin, yang mengetahui rahasia di langit dan di
bumi dan mengetahui apa yang disembunyikan makhluq-Nya ataupun yang
ditampakan, dan ma‟lumat ini adalah ni‟mat besar yang diberikan kepada
manusia, firman-Nya:
“Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui.” (QS. Al ‘Alaq
5).
Ma‟lumat tersebut adalah inti / butir pemikiran bagi manusia yang
bertambah dari sesuatu ke sesuatu dari generasi ke generasi dari zaman ke
zaman hingga bermilyar-milyar ma‟luumat, sebagai hasil penggunaan
manusia pada ma‟lumat untuk menghukumi al-assyya dan al-af‟aal, sebab
pemikiran manusia sebelumnya akan menjadi ma‟lumat untuk manusia yang
kemudian, dan hal ini akan berlanjut selama kehidupan manusia di bumi.
Lantas bagaimana berhasilnya pemikiran, inilah yang disebut dengan
„amaliyyatu al-tafkir al-aqli (mekanisme akal dalam berfikir). Ketika manusia
melihat, mendengar, mencium, merasakan dan meraba, indera memindahkan
realitas ini ke otak melalui syaraf-syaraf indera, sehingga bila di dalam otak
ada ma‟lumat sabiqah dari realitas yang diindera maka otak akan
menyambungkan realitas ini dengan ma‟lumat. Proses selanjutnya otak akan
memberikan penafsiran terhadap realitas dan mempersepsi /
menghukuminya. Semisal kita menyuguhkan tulisan bahasa inggris kepada
seseorang yang mempunyai ma‟lumat sabiqah tentang bahasa tersebut maka
indera mata orang tersebut akan melihat tulisan yang di depannya, kemudian
dilanjutkan indera ke otak yang di dalam otak tersebut sudah tersimpan
ma‟lumat sabiqah terhadap bahasa yang dikirimkan otak, lalu otak tersebut
akan memproses apa yang masuk, yang dilanjutkan oleh orang tersebut
dengan membaca memahami bahasa tersebut, tetapi bila bahasa tadi
disuguhkan kepada orang lain yang tidak mempunyai sedikitpun ma‟lumat
sabiqah pada bahasa inggris, maka indera penglihat akan melihat tulisan
bahasa inggris yang ada di hadapannya.
Walaupun penginderaan terhadap realitas tersebut berulang-ulang hanya
jadi sekedar penginderaan saja, tanpa bisa dibuat sebagai hasil dari
pemikiran.
Adapun proses berfikir kadang-kadang hadir dengan realitas yang
terindera tetapi juga kadang-kadang tanpa terindera hanya tergambar di
dalam otak saja. Manusia kadang-kadang berfikir tentang seorang laki-laki
yang dia lihat fotonya ketika membaca berita kematiannya di koran, maka
foto tersebut akan menjadi ma‟lumat di dalam otak dan suatu saat dia bisa
mengatakan kepada orang lain bahwa orang yang mati tersebut mulia, karena
sebelumnya dia telah memiliki ma‟lumat tentang kemulian orang yang mati
tersebut.
Kadang-kadang manusia berfikir tentang kapal terbang, dan dia bisa
mempresepsi kapal terbang tersebut apakah milik sipil atau militer, dengan
mendengar suaranya, karena sebelumnya telah ada ma‟lumat yang masuk
tentang ciri-ciri kapal terbang.
Penginderaan pada realitas kadang-kadang dengan sampainya indera itu
sendiri pada realitas, dengan penginderaan mata dan lainnya , juga kadang
terjadi dengan sampainya indera pada realitas tidak secara langsung tetapi
berhubungan dengan realitas seperti suara atau gambar. Juga kadang-
kadang dengan pengembalian indera pada realitas di dalam otak, tanpa
adanya realitas atau bekasnya di dalam pusat indera, hal ini sering
digunakan di dalam pembahasan di dalam pemikiran politik, pakar politik
bisa memecahkan problema politik melalui kumpulan-kumpulan berita, yang
dari itu dapat digambarkan sebuah realitas dan kemudian mengeluarkan ide
politik tadi, yang sebetulnya indera tidak mendapatkan realitas secara
langsung.
Seperti apa yang telah dianalogikan oleh sebagian orang bahwa ma‟lumat
sabiqah bisa dihasilkan dari eksperimen seseorang pada dirinya sendiri tanpa
dimulai dari ma‟lumat sabiqah yang datang dari luar dirinya.
Mereka mengemukakan argumen dengan eksperimen dari binatang, yang
kemudian dari sini mereka menganalogikan antara manusia pertama dengan
binatang. Di dalam eksperimen tersebut mereka berhasil menjadikan
beberapa binatang seperti anjing, kera dan tikus tunduk pada eksperimen
mereka, yakni mereka memukul bel setiap kali memberikan makanan pada
anjing tersebut dan diulangi setiap kali …. Kemudian pada suatu saat mereka
memukul bel tanpa diiringi pemberian makanan maka anjing tersebut
mengalir air liurnya.
Dari sini mereka menyimpulkan bahwa ma‟lumat sabiqah didapat pada
anjing tersebut dengan teori berulang kali eksperimen, dan menghukumi pada
realitas dengan menggunakan ma‟lumat yang diambil dari eksperimen tadi.
Kemudian mereka menganalisa di padang penggembalaan yang banyak
binatannya, binatang-binatang tersebut menjauhi dan tidak mau memakan
rumput yang kering, maka mereka menghukumi bahwa binatang faham dan
bisa memikiran hakekat sesuatu dengan disandarkan pada eksperimen di
atas, yaitu binatang telah mendapatkan ma‟lumat untuk menafsirkan realitas
yang dihadapi.
Adapun yang benar apa yang dihasilkan dari eksperimen pada anjing di
atas adalah rasa naluriah / instink yang berhubungan dengan apa bisa
memenuhi rasa naluriah dan apa yang tidak, dan mengetahui secara instink
ini adalah hasil dari khasiat yang telah diberikan Allah kepada binatang
tersebut, agar bisa menjaga baqa dan nau‟nya. Adapun apa yang dihasilkan
binatang tersebut adalah pengembalian penginderaan yang dahulu karena hal
tersebut bisa memenuhi gharizah atau kebutuhan jasmani maka hasilnya
binatang tersebut menahan tidak memakan rumput kering itu, jadi tidak bisa
menghukumi esensi dari sesuatu.
Anjing pada eksperimen diatas mendengar suara bel, maka akan muncul
reaksi balik pada penginderaan yang dahulu, yakni yang berhubungan
dengan pemenuhan rasa lapar berupa makanan, sebab suara bel menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dengan makanan, yang bisa memenuhi rasa
laparnya, maka suara bel tidak ada bedanya menurut anjing dari
penglihatannya atau penciumannya pada makanan, maka dua hal ini
(makanan dan bel) ada dalam penginderaan yang dahulu yang terkait dengan
apa yang bisa memenuhi laparnya.
Dan dari sini menjadi jelas, sekiranya kita memukul bel di dekat telinga
anjing lain yang lapar, maka eksperimen di atas tentu tidak berguna, juga
tentu air liur anjing tersebut tidak akan mengalir. Dan akan mengalir air
liurnya bila melihat atau mencium makanan saja yang bisa memenuhi
laparnya.
Adapun binatang tidak bisa berfikir karena otak yang ada padanya
kosong dari khaasiyatu al-ribthi (Khasiat bisa menghubungkan ma‟lumat/
penginterrelasian antara reliatas dan ma‟lumat oleh otak). Jika alat inderanya
mengindera suatu realitas, maka otak dan inderanya akan memberikan reaksi
balik terhadap sesuatu yang bisa memenuhi gharizah atau haajatu al-
udwiyyah saja. Jadi binatang bisa mengindera, tetapi tidak bisa berfikir
seperti manusia, firman Allah:
“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan dari mereka itu
mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang
ternak, menahan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al
Furqaan 44).
Dari ayat ini bisa dipahami binatang itu tidak bisa berfikir.
Peneliti dari eksperimen di atas telah melakukan kesalahan, karena
mereka menganalogikan antara manusia dengan binatang, padahal manusia
mempunyai khaasiyatu al-ribthi sedangkan binatang tidak mempunyai,
binatang tidak bisa berfikir sedangkan manusia bisa. Juga kesalahan lain
adalah menganalogikan orang yang menyaksikan dengan orang yang tidak
ada dan tidak menyaksikan, maka mereka menganalogikan antara manusia
yang ada sekarang dengan manusia yang pertama ada. Dan analog yang
benar adalah antara manusia dengan manusia, dan analog orang yang tidak
ada pada orang yang ada / menyaksikan.
Masih dalam pembahasan tentang manusia, manusia itu ada dan
didapatkan kekhususannya, yaitu manusia tidak bisa berfikir tentang sesuatu
serta menghukuminya tanpa ada ma‟lumat sabiqah, maka faedah apa yang
bisa kita petik dari mengetahui cara berfikir manusia pertama ? Pertama:
manusia pertama memiliki kekhususan yang sama dengan manusia
sekarang, dan dengan ini manusia sekarang tidak bisa berfikir menghukumi
sesuatu kecuali dengan ma‟lumat sabiqah, begitu juga manusia pertama tidak
akan bisa dengan kemampuannya berfikir dan menghukumi sesuatu kecuali
dengan ma‟lumat sabiqah, dan inilah yang telah diinformasikan oleh Al-Quran
tentang ma‟lumat sabiqah yang pertama yaitu dari Allah:
“Dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya.”
(QS. Al-Baqarah 31)
Firman-Nya lagi:
“Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al
‘Alaq 5 )
Adapun ma‟lumat yang terbentuk pada manusia dari proses berulang-
ulang pengindraannya yang berhubungan dengan pemenuhan naluri dan
kebutuhan jasmani adalah ma‟lumat yang tidak layak untuk menghukumi
sesuatu, karena ma‟lumat seperti ini hanya sebatas yang berhubungan
dengan bisa dan tidaknya pemenuhan terhadap naluri dan kebutuhan
jasmani. Maka khaasiyatu al-ribthi yang terdapat pada otak manusia dan
tidak terdapat pada otak binatang, mampu menjadikan inderanya melakukan
proses reaksi balik yakni dalam mengembalikan realitas dengan bentuk yang
lebih baik dan lebih cepat dari hewan, maka jika disuguhkan kepada manusia
sepotong buah yang belum pernah diinderanya, lalu dimakannya dan
merasakan rasa serta baunya , dan orang tersebut setelah memakannya
merasakan bahwa buah tadi bisa memenuhi kebutuhan jasmani, maka pada
suatu saat yang lain orang tersebut melihat melihat buah itu untuk kedua
kalinya, maka otaknya akan mengulang kembali ma‟lumat dulu yang telah
terbentuk sebagai hasil dari penginderaannya yang pertama kali pada buah
tersebut, yakni berhubungan dengan rasa, bau dan bisa memenuhi
kebutuhan jasmani. Akan tetapi ma‟lumat seperti ini mempunyai hubungan
denga gharaiz dan hajatu al-udwiyyah tidak berarti dan tidak concern untuk
menghukumi terhadap esensi sesuatu materi, atau dalam menghukumi
terbentuknya materi tersebut.
Manusia tidak bisa menghukumi buah di atas dengan pernyataan,
apakah masak atau mentah juga apakah buah tersebut mengandung gula,
garam dan air serta vitamin-vitamin dan lainnya.
Bagaimanapun pengulangan atas penginderaan pada buah tersebut
senantiasa akan berkisar pada kesimpulan bahwa buah itu adalah materi
yang bisa memenuhi dari rasa lapar saja. Dan jika ingin menghukumi buah
tersebut dari segi yang lain maka dibutuhkan ma‟lumat sabiqah dari luar
otaknya dan dari luar buah tersebut, maka tanpa ma‟luumat ini senantiasa
pengetahuan pada buah tadi berkisar sama dengan penginderaan hewan.
Dari preposisi di atas timbul masalah, lebih dahulu mana adanya
pemikiran dengan al-maddah (materi)? Untuk menjawab pertanyaan ini kami
berkata: Materi lebih dahulu dari fikir hal ini dinisbatkan kepada nabi Adam
AS, Allah telah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda yang ada,
sebelum pemberian Adam ma‟lumat sabiqah tentang benda-benda tersebut.
Materi telah ada sebelum manusia berfikir, tanpa materi (yang berupa
realitas) proses berfikir karena berjalan karena realitas adalah unsur asasi
dari unsur-unsur berfikir dan karena pemikiran berfungsi untuk
menghukumi realitas (alfikru hukmu „ala waaqi‟), jka tidak di dapatkan
realitas tentu tidak akan didapatkan pemikiran, jadi materi bila dinisbatkan
dengan pemikiran adalah lebih dahulu.
Hal diatas bila dinisbatkan dengan manusia, adapun bila materi
dinisbatkan dari tidak adanya, telah datang dalil yang jelas dan qath‟I, bahwa
perintah Allah lebih dahulu dari adanya materi, firman-Nya:
“Sesungguhnya perinyah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah
berkata kepadanya: “jadilah” maka jadilah ia .” (QS. Yaa Siin 82)
Maka perintah Allah dengan “jadilah” lebih dahulu dari adanya materi,
maka Allah Azza Wajalla adalah yang awal tempat bergantung yang tidak bisa
disandarkan wujudnya atau sesuatu, justru mahkluklah yang disandarkan
wujudnya kepada-Nya, Firman Allah:
“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-
ukuran dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqaan 2)
“Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat
sesuatu apapun, sedang berhala-berhala itu (sendiri) dibuat orang.” (QS. An
Nahl 20)

MEMAHAMI ‘AMAL (AKTIVITAS) MENURUT ISLAM

A. Esensi / Hakekat ‘Amal

Manusia dari materi, dan Allah telah meletakan ruh di dalam dirinya
sebagai´”sirru al-hayaah”. Di dalam diri manusia tersimpan sumber daya
/potensi,yakni berupa tiga khasiat, Hajatu „udwiyyah, naluri dan al-idraak.
Ketiga-tiganya itu terdapat di dalam diri manusia yang hidup lalu bagaimana
manusia menggunakan khasiat di atas ?
Kebutuhan jasmani dan naluri menuntut pemenuhan. Dan akan
mendorong manusia untuk memenuhinya karena hasil dari pengaruh intern
bila itu kebutuhan jasmani dan pengaruh ekstern bila itu naluri. Maka
manusia menggunakan tubuhnya dan angota-anggota tubuh tertentu untuk
menjalankan aktifitas-aktifitas yang bisa memenuhi kebutuhan jasmani dan
naluri.
Seorang peneliti mengetahui bahwa „amal / aktivitas manusia adalah
berwujud materi saja, karena amal adalah kemampuan / energi (al-thaaqah),
dan kemampuan adalah satu bentuk dari bentuk-bentuk materi. Para ahli
sampai berkesimpulan pada hakekat ini setelah memecahkan atom, mereka
mendapatkan dan mengetahui materi berubah menjadi energi, tetapi juga ahli
tersebut mendapatkan energi berubah menjadi materi, kemudian mereka
menetapkan tentang proses kerja dari sinar X yang berubah menjadi materi
yang tersusun dari anoda yang memproduksi elektron dan menumbuk katoda
yang akan menghasilkan foton.
Aktivitas manusia adalah suatu kekuatan yang direalisasikan dengan
gerakan anggota badan, seperti tangan, kaki, mulut dan sebagainya,
sedangkan kekuatan adalah al-thaaqah (energi) sebagai hasil dari proses
kimiawi (metabolisme) dari makanan dan udara di dalam tubuh manusia.
Setiap aktivitas membutuhkan kekuatan yang besar, membutuhkan kekuatan
materi yang banyak. Pandai besi, tukang kayu dan tukang batu yang
menggunakan anggota tubuhnya dan otot-ototnya untuk melakukan aktifitas-
aktifitas tertentu membutuhkan materi-materi yang bukan materi-materi yang
dibutuhkan anggota tubuh sebagai alat berfikir yaitu otak, dan itu semua
ternyata anggota tubuh melaksanakan tugas sesuai dengan fungsinya.
Sehingga bila materi yang merupakan keharusan bagi tubuh berkurang, maka
indera memindahkan kekurangan ini ke otak, sehingga manusia terdorong
untuk melaksanakan aktivitas yang bisa memenuhi kebutuhan yang dituntut
tubuh, sama juga apakah itu kebutuhan yang sifatnya materi (maddah) seperi
makanan, minuman, dan udara ataupun yang berbentuk tempat (wadl‟un)
seperti tidur dan istirahat.
Sehingga bila kebutuhan jasmani tidak terpenuhi maka tubuh akan
rusak, karena tubuh manusia dari segi ini tidak ada bedanya dengan mesin
pabrik yang bila habis materi yang dibutuhkan mesin pabrik, seperti minyak,
lemak, kayu api, dan air maka secara otomatis akan berhenti segala aktivitas
dari peralatan mesin tersebut, dan kemungkinan akan dilanjutkan dengan
peledakan ataupun mati. Begitu juga dengan tubuh manusia jika habis materi
yang di butuhkan tubuh seperti gula, garam, protein dan vitamin serta air,
maka lama-kelamaan tubuh menjadi lemah, sakit dan kemudian rusak.
Selain energi sebagai hasil dari proses kimiawi tubuh terhadap materi-
materi yang digunakan tubuh, tidak mungkin bagi tubuh memperoleh
materi-materi tersebut tanpa al-thooqatu al-hayawiyyah yang timbul dari
adanya ruh-sirru-al-hayaah di dalam diri manusia, karena disana ada
gerakan-gerakan yang tidak disengaja dan tidak dikehendaki anggota tubuh
seperti jantung, perut, paru-paru dan lain sebagainya, yang muncul pada
manusia yang hidup, maka jika manusia mati berhentilah aktifitas tubuh.
Maka al-thooqotu al-hayawiyyah adalah penggerak yang asli pada tubuh yang
berwujud naluri dan kebutuhan jasmani serta tafkir dan apa yang dihasilkan
dari thooqoh hayawiyyah berupa aktifitas-aktifitas, seperti bergerak, menjadi
banyak dan berkembang.

B. Tandhiimu Al-‘Amal (Peraturan di Dalam


Beraktivitas)

Aktifitas-aktifitas yang dilaksanakan manusia tidak terlepas dari usaha


untuk memenuhi naluri dan kebutuhan jasmani misalnya berupa aktifitas
shalat, berjalan, jual-beli dan makan.
Dan dalam aktifitas-aktifitas ini terdapat hubungan antara manusia,
seperti pemenuhan al-mailu al jinsi di dapat hubungan antara laki-laki dan
perempuan, sedangkan jual-beli didapat hubungan antara penjual dan
pembeli, sedangkan penyelamatan dari tenggelam di dapat hubungan antara
penyelamat dan orang yang diselamatkan. Dan hubungan-hubungan ini lahir
diantara manusia karena adanya problematika (masyaakil) yang
membutuhkan solusi.
Sehingga jika tidak ada pemecahan problema manusia akan hidup dalam
situasi anarchisme / tanpa aturan dan bingung selanjutnya mereka akan
diperhamba oleh kekuatannya, kelemahannya dan pemaksaan serta
kodholiman merajalela, maka mereka tidak akan mengindahkan aturan main
yang benar dalam pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmani, sehingga
tersebar disitu ketakutan, pembunuhan dan pergulatan diantara manusia,
terutama yang kuat dan yang pandai di dalam usaha pemilikan sesuatu
dengan menggunakan kekuatannya, bahkan menggunakan cara-cara
pembunuhan dengan penggunaan senjata untuk mendapatkan apa yang
diinginkan.
Lalu bagaimana cara agar tiap individu manusia dapat memenuhi naluri
dan jasmani dengan benar, dan tidak bertentangan ataupun merugikan
kepentingan pemenuhan individu yang lain, sehingga mereka bisa hidup
dalam keadaan mulia. Tentu disini dibutuhkan miqyaas (standar) pengaturan
hubungan antara sesama manusia, sehingga akan ada aturan yang
menjadikan tiap individu memperoleh haqnya dan hidup dalam keadaan baik.
Jika menggunakan aturan pada masyarakat yang disandarkan pada akal
manusia, maka hukum yang berkaitan dengan al-af‟al dan al-asyya yang
lazim untuk pemenuhan kebutuhan manusia, tentu berbeda, berkontradiksi,
berat sebelah dan dipengaruhi oleh lingkungan. Hal ini konsekkwensi dari
perbedaan naluri dengan kebutuhan jasmani.
Maka hal seperti di atas dapat dilihat dari hukuman jariimah pencurian,
ada yang mengatakan dimasukan penjara dan yang lain tidak sependapat
dengan ide di atas dengan memberikan alternatif hukuman denda harta. Juga
tentang zina ada pendapat bahwa layak bagi pelakunya adalah pemberian
sebuah hukuman, tetapi yang lain mengatakan pelaku zina tidak perlu
dihukum. Juga kadang-kadang bagi mereka yang setuju dengan
penghukuman terhadap kejahatan maupun pelanggaran, tapi masih berbeda
dalam waktu, persyaratan dan cara penghukuman, ada yang mengatakan
pencurian harus dihukum penjara selama sebulan tiap mencuri satu dinar,
tapi ada juga yang berpendapat tiap mencuri satu dinar masuk penjara satu
minggu, juga tentang liwath (berkumpul sesama laki-laki) ada yang
berpendapat perlu ada hukuman karena masyarakat menganggap perbuatan
itu adalah kotor, juga ada yang membolehkan liwath karena masyarakat
mendiamkan perbuatan itu, tidak mengatakan jelek dan kotor. Walhasil,
banyak terjadi sekelompok masyarakat membolehkan sesuatu dan yang lain
mengharamkannya.
Hukum-hukum tentang manusia yang berhubungan dengan al-af‟al dan
al-asyya sering berbeda, bertentangan atau dipengaruhi lingkungan, apa yang
dilihat sebagian orang baik, banyak kemungkinan dilihat oleh orang lain jelek,
oleh sebab itu kacaulah hubungan mereka lantas kehidupan mereka menjadi
berbeda dan bermusuhan dan tidak ada satu kesepakatan tentang satu
nidhom (aturan) yang saling meridloinya. Walaupun bersepakat mungkin
hanya sebatas perkara luarnya saja seperti yang terjadi pada komunis
(syuyu‟iyyah) dan kapitalis (ro-sumaaliyah), mereka tidak semua ridho
menerima aturan yang diterapkan, sehingga bila sudah tidak rela maka
dirubahlah atau diganti aturan yang sudah ada, demikian seterusnya dan
selanjutnya selalu berganti-ganti aturan.
Dan sebab-sebab lain dari ketidakcocokkan hukum wad‟iy (hukum
buatan manusia) bagi seluruh manusia terletak tidak adanya chek pemikiran
terhadap perbedaan-perbedaan individu yang dituangkan ke dalam aturan
tersebut, karena sudah dimafhumi di dalam masyarakat sungguh berbeda di
dalam pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmani dan khasiat al-ribthi yang
ada di dalam otaknya.
Juga karena pembentuk hukum wad‟iy / penguasa ketika membentuk
undang-undang dipengaruhi dengan khasiat yang penguasa miliki (gharizah,
haajah u‟dwiyyah dan idraak). Sehingga ketika pembentuk undang-undang
mempunyai gharizah baqa yang kuat, maka dibentuklah undang-undang
yang bisa menjamin secara optimal pemenuhan gharizah tadayyun dan
gharizah nau‟, karena dua gharizah yang terakhir ini ada dalam keadaan
lemah pada pembentuk undang-undang.
Begitu juga bila pembentuk undang-undang suka daging kambing dan
menyayangi sapi karena disembahnya, maka dia akan menghalalkan kambing
dan mengharamkan sapi, walhasil undang-undang way‟iy dituangkan dan
diselaraskan dengan naluri, haajaah serta idraaknya pembentuk undang-
undang tersebut, dan kekacauan ini bisa dilihat di barat maupun di timur
baik itu Inggris, Jerman, Amerika, Jepang dan lain-lain.
Maka tentu akan terjadi ketidakselarasan dan kelemahan di dalam
pemenuhan gharizah dan haajaah orang lain di luar pembentuk undang-
undang, karena orang yang menetapkan aturan dan undang-undang ini tidak
mengetahui batas kuat dan lemahnya tiga khasiat diatas pada seluruh
individu pada masyarakat, oleh sebab itu khasiat di atas dicampuradukan
kuat dan lemahnya di dalam pembentukan aturan.
Dari sinilah nampak hukum wad‟iy itu gagal di dalam pengaturan naluri
dan haajaah manusia, pada suatu aturan yang bisa menjamin setiap individu
dengan pemenuhan yang benar membutuhkan “pengatur” yang tahu hakekat
dari seluruh khasiat yang ada pada manusia seluruhnya secara perindividu-
individu. Dan seperti ini tidak akan datang kecuali dari Allah SWT yang
menciptakan segala sesuatu dan menentukan ukuran-ukurannya, dan yang
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, yang tentu akan
Maha memahami seluruh khasiat yang ada pada diri manusia.
Allah telah mengutus Muhammad dengan membawa Islam dan itulah
aturan yang mengatur seluruh hubungan antara sesama manusia, dan
mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya dengan aqooid dan
ibadah yang bisa memenuhi gharizah tadayyun yang merupakan pemenuhan
yang benar. Dan mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri berupa
al-math‟uumaat (makanan) dan al-malbuusaat (pakaian) serta ahklaq. Serta
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dengan „Uquubah
(hukuman-hukuman) dan mu‟aamalat untuk memenuhi gharizah al-nau‟ dan
baqa serta kebutuhan jasmani. Maka jika ditinjau dari aqooid dan ibadah
sebagai dasar pertama dan utama Islam telah menunjukan satu perkara
penting yaitu iman dan apa-apa yang perlu diimani, firman-Nya:
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur‟an yang diturunkan kepadanya,
demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya.”(QS. Al Baqarah
285).
Juga Allah menunjukan suatu aktifitas yang harus dikerjakan setiap
muslim yang bisa mentaqarubkan diri kepada-Nya dan bisa memenuhi
gharizah tadayyun, firman-Nya:
“Dan dirikannlah sholat dan tunaikanlah zakat.‟ (QS. Al Muzzammil 20 ).
Selanjutnya Firman-Nya:
“Berdoalah kepadaku niscaya Aku kabulkan permintaanmu.”(QS. Al
Mu’min 60)
Dilihat dari segi math‟uumaat (yang berhubungan dengan makanan-
minuman), malbuusaat (yang berhubungan dengan pakaian dan perhiasan)
dan akhlaq, Islam telah menunjukan sebuah al-„amaal dan al-asyya yang bisa
memenuhi gharizah baqa dan haajaah u‟dwiyyah manusia, firman-Nya:
“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk.”(QS. Al A’raaf 157).
“Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-kitab itu halal
bagimu.”(QS. Al Maaidah 5)
“Makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan, sesungguhnya Alah
tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. AlA’raaf 31).
Sabda Rasulullah SAW:
Diharamnkan bagi umatku laki-laki mengenakan hiasan kain sutera dan
emas dan dihalalkan bagi umatku yang perempuan.”(Al Hadits).
Firman Allah:
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang
yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil
menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al-Furqaan
63).
Sabda Nabi SAW:
Berahklaqlah kepada manusia dengan akhlaq yang mulia.” (Al Hadits)
Dan dilihat dari pengaturan u‟quubat dan muamalah, Islam telah
menunjukan sebuah al-a‟maal dan al-asyya yang bisa memuaskan gharizah
nau dan baqa manusia, firman-Nya:
“Dan pencuri laki-laki dan pencuri perempuan potonglah kedua tangannya
(sebagai) pembalasan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Maaidah 38)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar.” (QS.
Al Baqarah 282).
Sabda nabi Saw:
“Barang siapa yang mati dan tiada dipundaknya bai‟at maka kematiannya
adalah kematian jahiliyyah.” (Al Hadits)
Seperti itulah Allah mengatur segala al-a‟maal dan al-asyya yang
merupakan keharusan untuk dipenuhi oleh naluri dan haajaah u‟dwiyyah.
Dan telah dijadikan nash-nash syariat dari al-Qur‟an dan al-Sunnah yang
sangat luas untuk menerangkan hukum-hukum yang sudah terjadi atau yang
diperbaharui dari al-a‟maal dan al-asyya, firman Allah:
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu ni‟matKu dan telah Ku-ridloi Islam jadi agama bagimu.”
(QS. Al Maaidah 3).
“Dan kami turunkan kepadamu kitab (Al-Qur‟an) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang
berserah diri.” (QS.An Nahl 89 ).
Dan Allah telah menuntut kepada manusia untuk menghukumi segala al-
af‟al dan al-asyya dengan menggunakan syariat ini firman-Nya:
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan .”
(QS. An Nisaa’ 59).
Kata “kembalikanlah” adalah kepada Al-Qur‟an, Al-hadits, Qiyas dan Ijma‟
shahabat.
Maka pada asalnya setiap al-af‟aal terikat dengan hukum syara‟, tidak
akan seorang muslim beraktifitas kecuali setelah mengetahui hukum
syara‟nya, karena Allah akan menghisab setiap aktifitas yang dilakukan
seorang muslim yang mukallaf, baik itu aktifitas yang baik ataupun yang
jelek, firman-Nya:
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrahpun, niscaya ia
akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan
sebesar Dzarahpun niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.”(QS. Az
Zalzalah 7-8)
Dan pada asalnya setiap al-asyya adalah ibaahah (boleh) selama belum
ada dalil yang mengharamkannya, firman Allah:
“Dan Dia menundukan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang di
bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari pada-Nya.” (QS. Aj Jaatsiyah 13).
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah
disegala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizqi-Nya.”(QS. Al Mulk 15).
Maka Allah membolehkan kepada manusia segala apa yang ada
berdasarkan dalil-dalil „aam diatas, kecuali yang diharamkan saja yang
sebetulnya sangat sedikit dibanding dengan yang dibolehkan, firman Allah:
Dan menghalalkan bagi mereka semua yang baik, dan mengharamkan bagi
mereka semua yang buruk.”(QS. Al A’raaf 157).
“Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih dengan nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul,
yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas kecuali yang sempat
kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk
behala.”(QS. Al Maaidah 3).
Sabda Rasulullah SAW:
“Diharamkan khamr (arak) karena bendanya arak itu sendiri.”(Al Hadits).
Dan dengan itu semua seorang muslim yang mukallaf terikat dengan
hukum syara‟ di dalam segala al-af‟aal (aktifitasnya), dan terhadap al-asyya
(sesuatu) yang ia pakai. Hukum syara‟ adalah ketentuan Syaari‟ (Allah) yang
dihubungkan dengan aktivitas manusia. Dan ketentuan tersebut diambil dari
Al-Qur‟an, Sunnah Nabawiyyah, Qiyas dan Ijma‟ Shahabat. Tetapi juga ada
pendapat sebagian orang yang menyangka selain empat sumber dalil diatas,
masih ada sumber dalil yang lain sebagai sebagai sumber-sumber syari‟at
Islamiyyah, seperti Istihsan, mashaalih mursalah, dan lain sebaginya.
Menurut pendapat saya Istihsan, mashaalih mursalah bukanlah sumber
hukum Islam, karena hukum yang diistinbathkan (ditarik suatu kesimpulan)
dari sumber tadi adalah berpegang kepada istimbath dari dalil yang samar,
sedangkan dalil-dalil syar‟iyyah yang ijmal haruslah dari dalil yang yakin,
yakni qath‟iy tsubuut dan qath,iy dilalah, firman Allah:
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu dari apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesunguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.”(QS. Al-Israa’ 36).
Yakni janganlah kamu mengikuti terhadap sesuatu yang kamu sendiri
tidak mempunyai keyakinan terhadap apa yang kamu ikuti itu.
Sesungguhnya Syara‟ telah menentukan penuntutan qiimah dari setiap
aktifitas, sehingga seorang Muslim tidak boleh melaksanakan suatu aktifitas
untuk mewujudkan suatu qiimah selain qiimah yang ditentukan syara‟ seperti
shalat bukanlah untuk mewujudkan qiimah insaaniyah atau maadiyyah, dan
juga berdagang bukan untuk mewujudkan qiimah ruuhiyyah atau
khuluqiyyah.
Dari sana timbul masalah: apa hubungan pemenuhan antara gharizah,
haajaah „udwiyyah dan antara perwujudan qiimah yang empat ?
Manusia melaksanakan suatu aktifitas untuk memenuhi gharizah dan
haajah „udwiyyah sekaligus simultan dengan aktifitas perwujudan qiimah
tertentu.
Gharizah tadayyun dari sebagian madhohirnya adalah perasaan manusia
dengan kekurangan, lemah, membutuhkan membutuhkan yang “supra” dari
dirinya, mendorong seorang muslim untuk melaksanakan aktifitas
pemenuhan, maka sempurnalah pemenuhan tersebut dengan perwujudan
qiimah ruuhiyyah yang diniatkan pelaku dari aktifitasnya, maka jika seseorang
melakukan ibadah haji tentu maksudnya adalah taqarrub ilallah, untuk
menambah hubungan dengan-Nya (al shilah billah) akan menjadi terpenuhi
gharizah tadayyun dan terwujudlah qiimah ruhiyah.
Sehingga bila seseorang berbisnis dan mendapatkan keuntungan akan
terwujud qiimah maadiyyah, terpenuhillah gharizah baqanya yang
madhahirnya adalah hubbu al-tamalluk.
Begitu juga bila seseorang menikah maka terpenuhilah al-mailu al-jinsi
yang merupakan madhoohir dari gharizah nau‟, dan terwujud qiimah
khuluqiyyah yaitu kasih sayang dan pemeliharaan, lalu jika anak taat kepada
orang tua, dan merendahkan diri kepada mereka berdua dengan kasih
sayang, akan terpenuhi gharizah nau‟ dan akan terwujud qiimah khuluqiyyah.
Jika seseorang bercepat-cepat untuk menyelamatkan orang lain dari
tenggelam hal ini untuk mempertahankan gharizah nau‟, maka penyelamatan
ini termasuk dalam perwujudan qiimah insaaniyyah.
Maka aktifitas yang telah ditentukan syara‟ dalam perwujudan qiimah
ruuhiyyah adalah aktifiyas yang sifatnya pemenuhan gharizah tadayyun.
Dan aktifitas yang telah ditentukan syara‟ untuk perwujudan qiimah
khuluqiyyah dan qiimah insaniyyah adalah aktifitas di dalam rangka
pemenuhan gharizah nau‟.
Dan aktifitas yang telah ditentukan untuk perwujudan qiimah
maadiyyah, adalah aktifitas yang paling umum, yang sering dilakukan
manusia adalah untuk pemenuhan gharizah baqa dan haajaah „udwiyyah.
Sesungguhnya tahapan-tahapan yang dilewati aktifitas manusia dimulai
dari gharizah, maka gharizah baqa misalnya menuntut pemuasan bagi
madhoohirnya seperti hubbu al-tamalluk, maka mendorong manusia untuk
memenuhi madhoohir ini dengan melaksanakan aktifitas kerja, maka dia
mendapatkan uang, dan ini berarti terwujud sudah qiimah maadiyyah. Maka
tahapan aktifitasnya terurut sebagai berikut:
Gharizah ------ madhoohir / hajah „udwiyyah ------- aktifitas pemenuhan -
----- qiimah
Adapun aktifitas seorang muslim wajib melewati tahapan sebagai berikut:
Gharizah ------ madhoohir / haajaah „udwiyyah ------ ihsaas ------- tafkir
sebelum beraktifitas ----- beraktifitas di dalam cakrawala keimanan untuk
perwujudan qiimah yang telah ditentukan syara‟.
Dan pelaku aktifitas dalam waktu yang sama mewujudkan satu qiimah
untuk satu pelaksanaan aktifitas akan tetapi kadang-kadang berhasil
mewujudkan qiimah yang lain diluar qiimah yang dimaksud di dalam
pelaksanaan satu aktifitas yang sama, tanpa adanya maksud untuk
mewujudkan qiimah yang lain di atas.
Seorang pedagang yang jujur berdagang untuk mewujudkan qiimah
madiyyah, akan tetapi orang lain ketika bermuamalah dengannya memujinya
dengan sifat jujur, pujian dengan sifat jujur kepada pedagang adalah qiimah
khuluqiyyah yang pedagang itu tidak bermaksud mewujudkan qiimah
khuluqiyyah ini.
JENJANG QIIMAH / NILAI

Seorang muslim sering menghadapi posisi-posisi yang menuntut aktifitas-


aktifitas perwujudan terhadap nilai tertentu, diwaktu dia sibuk dengan
aktifitas lain untuk mewujudkan qiimah lainnya, lantas bagaimana kita
bertindak?
Qiimah yang empat di atas tidak ada yang utama atau sama di dalam
dzatnya, sebab tidak didapatkan salah satu darinya spesifikasi ciri khas yang
menjadikan salah satu menjadi istimewa, kecuali manusia itu sendiri yang
menjadikannya istimewa di dalam mewujudkan salah satu qiimah yang
dilihat dari perspektif manfaat dan bahaya, untung serta ruginya, lantas dia
menciptakan miqyaas / parameter sendiri untuk menentukan istimewa atau
biasa, sama atas berlainan diantara qiimah tadi.
Maka dengan ini manusia akan berbeda di dalam menentukan manfaat-
manfaat dan pengaruh-pengaruh qiimah tersebut, oleh sebab itu berbedalah
paramaternya, seseorang yang mempunyai gharizah tadayyun yang kuat,
maka ia akan mengutamakan qiimah ruuhiyyah dan cenderung untuk
mewujudkan qiimah ruuhiyyah sehingga mengalahkan qiimah yang lain.
Begitu juga seseorang yang mempunyai kecenderungan pemenuhan
gharizah baqa yang kuat maka ia akan cenderung memenuhinya dan
berpaling dari qiimah yang lain.
Dari sini terlihat adanya perbedaan bahkan pertentangan antara manusia
di dalam menentukan qiimah tersebut, oleh sebab itu seorang muslim
haruslah kembali kepada syara‟ sebagai paraneter pembatas di dalam mencari
salah satu qiimah sehingga aktifitas yang akan dilakukan akan ada
pembatasan qiimah tertentu bila ada pertentangan.
Syara‟ telah meletakan jenjang / tangga qiimah yang empat tersebut,
sehingga bila ada pertentangan di dalam melaksanakan empat qiimah tadi,
harus didahulukan yang satunya, firman Allah:
Katakannlah: „Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu,
isteri-isterimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan,
perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat
tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-
Nya dan (dari) berjihad di jalann-Nya maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang fasiq.” (QS. At Taubah 24).
Ayat diatas menerangkan agar kita mengutamakan qiimah ruuhiyyah
(Cinta Allah, Rasul dan berjihad) sehingga bila ada pertentangan dalam
pelaksanaan qiimah ruuhiyyah dengan qiimah maadiyyah misalnya
perdagangan dan kemiskinan maka didahulukan qiimah ruuhiyyah dari qiimah
maadiyyah dan jika bertentangan qiimah ruuhiyyah dengan qiimah
akhlaaqiyyah seperti menghormati orang tua dan saudara, cinta kasih kepada
anak dan isteri, maka didahulukan qiimah ruuhiyyah dari pada qiimah
akhlaqiyyah.
Firman Allah SWT;
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada orang tua. Dan
jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang
tidak ada pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.
Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku khabarkan kepadamu apa yang
telah kamu kerjakan.” (QS.Al Ankabuut 8).
Dan jika bertentangan qiimah ruuhiyyah yaitu beribadah semata-mata
kepada Allah dengan qiimah khuluqiyyah yaitu berbakti kepada orang tua,
maka harus didahulukan qiimah ruuhiyyah.
Firman Allah,
“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat
kemurkaan dari Allah), kecuali orang-orang yang dipaksa untuk kafir padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya
dan baginya adzab yang besar.”(QS.An Nahl 106).
Ayat di atas diturunkan kepada „Ammar bin Yaasir yang dianiaya oleh
kaum musyrik Makkah yang hampir membuat dirinya rusak oleh beratnya
siksaan tersebut bila tidak mengucapkan dengan mulutnya kekafiran kepada
Allah, maka agar dirinya selamat “Ammar mengucapkan kekafiran kepada
Allah dengan mulutnya, maka „Ammar mengucapkan kekafiran kepada Allah
dengan Mulutnya, maka Rasul bersabda kepada „Ammar:
“Dan jika mereka menanyaimu berkali-kali / memaksamu, maka
ucapkanlah dengan mulutmu kekafiran (bila kamu tidak mampu bertahan).” (Al
Hadits)
Syara‟ membolehkan untuk mendahulukan perwujudan qiimah
insaaniyyah atas qiimah ruuhiyyah. Firman Allah:
“Dan janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang
sedikit (murah), sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah, itulah yang lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. An Nahl 94).
Ayat di atas menerangkan, menepati janji kepada Allah dan konsisten
terhadapnya, sebagai perwujudan dari qiimah khuluqiyyah harus didahulukan
karena qiimah madiyyah yakni kemanfaatan duniawi.
Maka mendahulukan, mengutamakan dan menyamakan suatu qiimah
dari qiimah yang lain hanyalah syara‟ yang berhak menentukannya, karena
dengan begitu jikalau seseorang meninggalkan suatu qiimah karena
perbedaannya dengan individu yang lain di dalam memperkirakan
pengutamaan atau penyamaan ini, mereka akan kembali kepada parameter
yang khusus, yaitu syara‟.
Oleh sebab itu diharuskan bagi setiap muslim berjalan di dalam
kehidupan ini berdasarkan perintah Allah dan larangan-Nya. Dari sini
dibangun aktifitas-aktifitas yang hendak diwujudkan dari setiap qiimah, serta
mampu menentukan skala pioritas qiimah yang harus didahulukan, bila
dalam waktu yang sama ada dua qiimah yang dihadapinya.
Dan bukanlah kewajiban seorang muslim, kecuali beraktifitas demi
terwujudnya qiimah-qiimah dengan suatu aktifitas yang dituntut Allah.
Hal ini dinisbatkan kepada individu, adapun bila dinisbatkan pada
masyarakat, maka perwujudan qiimah bagi individu-individu pada
masyarakat adalah apa yang merupakan keharusan bagi mereka dalam
kehidupannya, yaitu pemenuhan gharizah dan haajaah „udwiyyah,
perwujudan nilai-nilai ini sebelum individu-individu menemukan
keseimbangan di dalam masyarakat manusia, dan setelah syara‟ mengatur
maka timbullah madhohir kebangkitan pada masyarakat.
Maka perwujudan qiimah insaniyyah akan didapatkan seorang fakir
dengan seorang yang bersodaqoh kepadanya, dan seorang yang
membutuhkan bantuan kepada orang yang menolongnya. Dan hal ini akan
dihasilkan ikatan dan kepercayaan yang kuat antar individu-individu di dalam
masyarakat dengan akhlaq mulia sebagai karakternya, seperti jujur, adil, iffah
/ menjaga kehormatan, maka akan terangkatlah derajat kehidupan mereka
dengan adanya qiimah maadiyyah dan akan diliputi masyarakat itu dengan
cakrawala keimanan yakni adanya perwujudan qiimah ruuhiyyah pada
mereka, dan berjalanlah segala aktifitas mereka berdasar perintah dan
larangan Allah.
Dan dengan itu dianjurkan setiap individu dari masyarakat ini untuk
memenuhi gharizah dan haajaah „udwiyyahnya dengan benar. Dengan begitu
akan tampak sebuah kondisi masyarakat seperti satu tubuh yang hidup,
masing-masing anggota tubuh saling membantu dalam melaksanakan
fungsinya.
Otak akan berfikir untuk mengarahkan manusia, jantung memompa
darah untuk dialirkan ke urat nadi dan urat-urat lainnya keseluruh tubuh,
mata serta indera yang lain membantu sampainya makanan, sel-sel darah
putih akan menghadang penyakit yang datang dan menyembuhkan dari
penyakit, perut dan usus serta cairan-cairan mencerna makanan sebagai
persiapan bila tubuh membutuhkannya, begitu juga dengan masyarakat
setiap individu sebagai bagian yang lain di dalam beraktifitas dan berinteraksi
dengan masyarakat berdasarkan nidhom yang detail dan teliti.

PENGAMBILAN KEPUTUSAN YANG TAJAM

Seperti kami sebutkan di atas aktifitas yang sukses harus melewati


tahapan-tahapan yang teratur sebagai berikut: Gharizah/haajaah „udwiyyah -
--- madhar ---- ihsas ----waqi‟----tafkir---- aktifitas untuk mendapatkan salah
satu empat qiimah di atas.
Di sana ada tempat pemisah antara tafkir dan aktivitas yaitu tahapan
pengambilan keputusan yang tajam.
Kadang-kadang seorang muslim setelah berfikir atas asas-asas Islam di
dalam suatu aktifitas yang akan dilaksanakan, dan qiimah yang akan
diwujudkan mengalami keraguan dalam pelaksanaan, dan sering masalah ini
menyangkut pelaksanaan suatu aktifitas yang penting, baik bagi pelaku itu
sendiri ataupun kepada yang lain, terutama di dalam persoalan nasib hidup.
Maka manusia akan berhenti setelah berfikir sebelum melaksanakan
aktifitas karena adanya perselisihan dan pertentangan di dalam pemikiran,
dilaksanakan aktifitas ini atau tidak?
Untuk menerangkan di atas, kami suguhkan kisah sepasukan sahabat
Rasulullah secara ringkas pada hari kembali dari suatu peperangan:
Datang kepada Rasulullah setelah perang uhud, kabilah „Udhol dan
Qooroh dua kabilah dari Arab, lalu mereka berkata: “Wahai Rasulullah banyak
diantara kami sebagai muslim, maka utuslah beberapa orang dari Sahabat rasul
kepada kami, agar kami bisa memperdalam agama, membaca Al-Qur‟an dan
menyampaikan Syariat Islam.”
Maka Rasulullah mengutus enam sahabat yang berangkat bersama
kabilah itu. Mereka adalah shahabat Martsad al-Ghonawy, Khaalid bin al-
Bakir, „Aashim bin Tsaabit, Thaariq bin Abdullah, Khubaib bin „Adiy, Zaid bin
al-Datsnah, dengan dipinpin oleh Martsad al-Ghonawy.
Lalu mereka keluar menuju ke daerah dua kabilah tersebut, ketika
mereka berada di daerah Raaji‟ yang berada disebelah Hijaz, kelompok dari
kabilah tersebut menipu kepada para shahabat, ditangan mereka memegang
senjata, maka dengan sigap para sahabat menghunus senjatanya untuk
memerangi mereka, akan tetapi para musyrikin itu berkata:”Demi Allah kami
tidak berkehendak membunuh anda sekalian, kami hanya ingin menjaga
anda dari gangguan ahli Makkah, atas kamu janji Allah yang kuat bahwa
kami tidak akan membunuh anda sekalian.”
Maka Murtsad al-Ghonawy, Khaalid bin al-Bakir serta „Ashim bin tsabit
berkata kepada para musyrik: “Demi Allah kami tidak akan menerima janji
dan aqod dari kaum musyrik, kemudian „Ashim bin Tsaabit bersyair:
Tiada kekurangan bagi saya yang mencegah untuk memerangi kamu,
karena saya adalah orang kuat, sebagai pemanah yang ulung.
Satu anak panah dari tali panah yang sangat kuat
Yang akan meluncur dari muka besur mata panah yang lebar dan panjang
Mati itu haq (pasti datang) sedangkan hidup itu bathil (penuh tipuan)
Dan setiap apa yang ditetapkan Allah pasti terjadi
Dari orang per orang akan kembali kepada-Nya
Jika aku tidak membunuhmu maka ibuku akan kehilangan anaknya (tiada
keberanian untuk menjadi mujahid)
Maka Martsad al-Ghonawy, “Ashim bin Tsaabit dan Khaalid bin al-bakir
memerangi mereka hingga terbunuh shahid para sahabat itu, sedangakan tiga
sahabat yang lain : Zaid bin Datsnah dan Hubaib bin „Ady dan Thaariq bin
Abdullah mereka lemah dan tipis serta senang hidup, maka menyerahlah
mereka lalu ditawan oleh kaum musyrik itu.
Lalu para sahabat itu dikeluarkan untuk dijual kepada penduduk
Makkah, ketika sampai di daerah Dhohron, “Abdullah bin Thaariq memutus
tali yang mengikat tangannya, kemudian mengambil pedangnnya, orang-
orang yang ada disekitarnya takut lalu mundur dengan melempari kepada
Abdullah bin thaariq dengan batu hingga syahidlah beliau.
Sedangkan yang dua lagi dijual kepada penduduk Makkah dan tidak lama
kedua sahabat itu dibunuh oleh penduduk Makkah.
Kisah enam shahabat diatas memberikan kita tiga contoh dalam
mengambil keputusan yang tajam dalam suatu keadaan.
1. Contoh pertama, yang terjadi pada Mustsad al-Ghonawy sebagai
pemimpin pasukan serta sahabatnya Khalid bin al-Bakir dan „Ashim bin
Tsaabit. Menghadapi kondisi keterkejutan para sahabat berfikir dan terlintas
secara cepat dalam proses berfikirnya, yakni para sahabat mengambil
keputusan yang tegas dan tajam sebelum melakukan aktifitas, keputusan ini
jelas dengan ucapan beliau: “Demi Allah kami tidak akan menerima janji dan
aqod orang musyrik selama-lamanya”‟ juga dari syair „Ashim bin tsaabit.
2. Contoh kedua terlihat dari keputusan Thaariq bin „Abdullah, yang pada
mula pertama menyerah, kemudian dijadikan tawanan dan diikat tangannya
dengan tali. Kemudian pada keputusan yang kedua yaitu dia meniru
keputusan pemimpinnya yakni Murtsad al ghonawy dengan melepas
tangannnya dari ikatan, dan mengeluarkan senjata untuk memerangi kaum
musyrik yang akhirnya beliau dilempari batu oleh kaum musyrik sehingga
mati syahid.
3. Contoh ketiga terlihat dari keputusan Hubaib bin „Ady dan Zaid bin
Datsnah yang menerima untuk ditawan, kemudian dua shahabat tadi
dibunuh sebagai balas dendam orang musyrik kepada orang kafir karena
kekalahan mereka pada perang badar dan sungguh mereka telah menghadapi
maut dengan jiwa yang berani dan hati yang tenang dengan qadla Allah.
Zaid bin Datsnah berkata sebagai tolakan atas pernyataan yang diajukan
oleh abu Sufyan: “Demi Allah saya tidak rela Muhammad SAW sekarang ada
di tempat yang banyak durinya dan menyakitinya, sedang saya dalam
keadaan duduk berada dalam keluargaku (Rasulullah dalam keadaan banyak
gangguan dan Zaid bin Datsnah dalam keadaan tidak menolong.Pen).
Juga Hubaib bin „Ady setelah shalat 2 rakaat sebelum dibunuh berkata:
“Demi Allah andaikata kamu sekalian tidak menyangka saya menunda
kegelisahan dari pembunuhan dengan shalat, tentu saya akan memperbanyak
shalat.”
Semua shahabat enam tadi mati shahid dijalan Allah, akan tetapi
keputusan yang mereka ambil berbeda walaupun dalam kondisi, tempat dan
masalah yang sama, perbedaan itu didasarkan atas pemikiran para shahabat
sebelum melakukan aktifitas.
Setelah tahu kisah mereka di dalam mengambil keputusan yang tajam
dalam kondisi dan masalah yang sama seperti yang dialami sahabat, tentu
kita memilih keputusan yang pertama yang diambil oleh pemimpin pasukan
dan dua sahabatnya. Karena mereka lebih teliti dan cermat dari yang lain di
dalam memahami karakter kaum musyrikin yang tidak pernah memelihara
dan menepati janji dan aqod jadi Murtsad al-Ghonawy dan dua sahabat
lainnya telah mengetahui sinyal-sinyal maksud kaum musyrikin lebih cepat
dari sahabat yang lain.
Dan hal ini tidak bermaksud bahwa keputusan yang diambil Thaariq bin
„Abdullah adalah haram atau menyerahnya Hubaib bin „Ady dan Zaid bin
Datsnah juga haram karena mereka semuah telah mengambil keputusan
setelah pengerahan kemampuan akalnya di dalam memahami dan
menghukumi situasi yang terjadi yang tentu pemahaman tersebut didasarkan
atas hukum syara‟.
Maka seorang muslim setelah mengindera realitas, harus memikirkan
realitas yang diindera, kemudian mengambil keputusan yang sesuai
didasarkan atas hukum syara‟ yang dihubungkan situasi dan realitas,
kemudian melaksanakan atau menahan suatu aktifitas untuk mewujudkan
qiimah yang telah ditentukan syara‟ pada aktifitas ini.
Firman Allah:
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada
Allah.”(QS.Ali ‘Imran 159).
Maka setelah mengambil penegakkan pemikiran yang benar dan
menghukumi realitas yang dihadapi, seorang muslim harus menetapkan
keputusan yang tegas dan tajam, yaitu kebulatan tekad untuk melaksanakan
aktifitas dengan bertawakal kepada Allah.
Pengambilan keputusan yang tegas dan tajam yang sesuai adalah perkara
yang sangat penting di dalam kehidupan individu dan umat, keputusan yang
ditetapkan Hamzah pada hari masuk Islamnya adalah contoh keputusan dari
kehidupan Hamzah yang berani dan tepat, serta keputusan Abu bakar di
dalam memerangi orang yang tidak mau berzakat contoh juga keputusan
yang tajam dari kehidupan daulah yang masih muda.

AL-SYAKHSIYYAH
(KEPRIBADIAN)

Manusia melaksanakan aktifitasnya untuk memenuhi gharizah dan


haajaah „udwiyyah dan kumpulan dari aktifiats ini adalah suluk (tingkah
laku) manusia. Suluk terikat dengan mafaahim manusia dari al-asyya dan al-
af‟aal dan al-hayaah. Suluk adalah yang menunjukkan syakhsiyah seseorang,
tidak termasuk di dalam syakhsiyah ini seperti poster tubuh seorang dan baik
buruknya tubuh, bentuknya, warna kulitnya atau ras bangsanya.
Syakhsiyah adalah thariqah akal manusia terhadap suatu realitas, atau
muyulnya terhadap realitas. Arti lain dari Syakhsiyah manusia adalah aqliyah
dan nafsiyyah manusia lantas apa aqliyyah dan apa nafsiyyah itu ?

A. Al Aqliyyah

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang
dilarannnya maka tinggalkanlah. (QS. Al Hasyr 7)
Manusia mengindera realitas dan mengkaitkan dengan ma‟lumat saabiqah
yang ada padanya tentang realitas yang diindera itu, kemudian menghukumi
realitas tersebut berdasarkan al-qaaidah al-fikriyyah yang dipakai sebagai
parameter di dalam proses berfikirnya.
Minyak tanah misalnya, yang sering disebut sebagai emas hitam, realitas
minyak akan diindera manusia, dan minyak itu kemudian mempengaruhi
hubbu al tamalluknya maka dia akan menghukuminya bahwa minyak tadi
bisa memenuhi gharizah baqanya. Akan tetapi qaaidah fikriyah yang
digunakan manusia sebagai parameter untuk menghukumi sesuatu
disandarkan pada penghukuman yang dahulu sama dengan yang akhir.
Maka seorang muslim melihat bahwa minyak tanah yang bisa
memuaskan gharizah baqa wajib menjadi milik umum, jika dia mengambil
akan menguranginya seperti mengurangi sesuatu yang bukan bagiannya,
maka individu-individu dari masyarakat mempunyai hak atas minyak tanah
tersebut. Sedangkan kapitalisme / liberalisme melihat bahwa minyak tanah
bisa memuaskan Gharizah baqa dan menjadi milik individu, berhak setiap
individu untuk memilikinya asal mampu, tanpa mengindahkan kepentingan
yang lain.
Seorang wanita cantik secara realitas akan mempengaruhi al-mailu al-jinsi
bagi seorang pria, maka dia akan menghukuminya bahwa wanita tersebut
bisa memuaskan sebagian dari gharizah nau‟nya. Akan tetapi qaaidah fikriyah
yang digunakan manusia sebagai parameter dalam menghukumi realitas,
disandarkan kepada penghukuman yang pertama (seorang muslim) berbeda
dengan yang akhir (kapitalis).
Maka seorang muslim melihat bahwa wanita yang bisa memuaskan
gharizah nau‟nya adalah sesuatu yang harus dijaga dan dipelihara,
sedangkan kapitalisme / liberalisme melihat wanita selain bisa memuaskan
gharizah nau‟nya, juga sebagai barang perniagaan yang bisa dimanfaatkan
untuk pemuasan gharizah baqa, juga bisa digunakan di dalam perwujudan
usaha-usaha maadiyyah seperti untuk mata-mata / spionase, mengundang
seorang pembesar sebagai jamuan dan lain-lain. Dan sebab perbedaan dalam
menghukumi sesuatu yang dilakukan seorang muslim dan kapitalis / liberalis
atas minyak tanah dan atas wanita dari perbedaan qaaidah fikriyah yang
dibuat landasan berfikir. Maka aqidah Islamiyyah yang timbul darinya
hukum-hukum bagi seorang muslim bukanlah aqidah kapitalis / liberalis
yang menjadi sumber hukum orang kapitalis.
Aqliyah adalah cara berjalan atas asasnya untuk berfikir sesuatu atau
disebut juga dengan cara manusia mengaitkan realitas dengan ma‟lumat yang
disandarkan pada qaaidah tertentu. Adapun aqliyyah Islamiyyah adalah cara
berfikir dan menghukumi tentang al-asyya dan al af‟aal yang berlandaskan
atas al-qaaidah al-fikriyyah al-asaasiyyah bagi seorang muslim yaitu aqidah
Islamiyyah karena hal itu merupakan hukum-hukum syara‟ yang mengatur
hubungan manusia dengan dirinya dan dengan Tuhannya serta dengan yang
lainnya. Seorang muslim menggunakan hukum syara‟ untuk menghukumi al-
asyya dan al-af‟aal dan hukum-hukum ini bersumber dari aqidah Islamiyyah.
Seorang muslim yang mengindera realitas kemudian mengkaitkannya
dengan ma‟lumat saabiqah maka ia akan menemukan esensi realitas tersebut,
kemudian esensi tersebut dibahas dari hukum syara‟ selanjutnya realitas ini
dijelaskannya, jadi proses dari ihsaas sampai ke pengaitan penjelasan
berdasarkan hukum syara‟ disebut al-aqliyyah al-Islamiyyah. Barang siapa
yang menempuh cara ini di dalam memahami realitas dan menghukuminya,
maka berarti telah menggunakan „aqliyyah Islamiyyah, sehingga ia dapat
menghukumi bahwa jihad itu fardhu, shadaqoh itu sunnat, buah apel itu
mubah dimakan, berobat dengan barang yang najis itu makruh dan zina itu
haram karena hukum syara khitob pembuat syara‟ yang dikaitkan dengan
aktifitas manusia yang tidak akan keluar dari al-ahkaamu al-khomsah, yakni :
fardhu, mandhub / sunat, mubah, makruh dan haram.
Jadi aqidah Islamiyyah merupakan sumber munculnya hukum syara‟
yang berasal dari wahyu Allah. Firman Allah:
Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa-
apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah.”(QS.Al hasyr 7).
Para sahabat nabi semuanya memegang „aqliyyah Islamiyyah
mutamayyizah (modern), setiap mendapatkan dan mengetahui realitas
dipandang dari sisi dan visi Islam.
Dalam perdamaian hudaibiyyah berkata Ibnu Hisyam yang dinukilkan
dari ibnu Ishaq dari Al-Zuhri:
Ketika selesai perdamaian Hudaibiyyah, tapi masih di dalam tulisan saja,
„Umar bin al-Khaththob bergegas mendatangi Abu Bakar kemudian berkata.”
Bukankah dia itu rasululah ?”Abu bakar menjawab:”Betul dia Rasulullah.”
Maka berkata lagi:”Bukankah kita kaum muslimin?” Beliau menjawab: Betul,
kita kaum muslimin. Berkata lagi „Umar:” Bukankah mereka kaum musyrikin?”
Menjawab Abu Bakar:” betul mereka kaum musyrikin.Berkata Umar:” Untuk apa
kita memberi kehinaan pada agama kita ( mengadakan perjanjian dengan
mereka ?” Berkata Abu Bakar :” Yaa Umar, tetaplah pada prinsipnya (pegang
tegung keputusan yang telah dipegang nabi), maka saya bersaksi bahwa dia
adalah Rasulullah..”
Abu Bakar dengan „aqliyyah Islamiyyah-nya yang tunggal menemukan
bahwa perdamaian Hudaibiyyah adalah jaiz / mubah, maka berkata kepada
umar yang belum menemukan hukum atas perkara itu: Tetaplah pada
prinsipnya yaitu ikutilah perintah Rasul, Saya bersaksi bahwa Dia adalah
Rasulullah.”
Maka penghukuman perdamaian Hudaibiyah yang dikatakan Abu Bakar
berangkat dari pemikiran aqiidah Islamiyyahnya, yakni dengan adanya
persaksian beliau terhadap kerasulan Muhammad…, dan datang perkara ini
dari Allah SWT.
Adapun „Umar bin al-khaththab juga menggunakan aqiidah Islamiyyah
mutamayyizah, terbukti dia telah berkata kepada Abu Bakar: “Saya bersaksi
bahwa dia adalah Rasulullah”, kemudian beliau mendatangi Rasul dan
berkata: “Wahai Rasulullah bukankah anda seorang Rasul? Rasul menjawab:”
Benar saya Rasul. Berkata „Umar:” Untuk apa kita memeberikan kehinaan
pada agama kita ? Jawab Rasul: Saya hamba Allah dan Rasul-Nya dan tidak
akan menyalahi perintah-Nya dan Allah juga tidak akan mengabaikan saya.
Berkata al-Zuhri:”maka „Umar berkata:”Saya senantiasa bersodaqoh,
berpuasa, shalat dan memerdekakan budak, saya takut dan berlindung
kepada Allah dari perkataan yang saya katakan dan mengharap semua
perkataan saya menjadi baik. Maka „Umar berkata: “ Saya bersaksi bahwa dia
adalah Rasulullah”, menerangkan bahwa beliau masih muslim, dan masih
mengambil penghukuman terhadap sesuatu berdasarkan Islam, lalu beliau
pergi kepada Rasul dan melaksanakan dengan ridlo terhadap perdamaian
Hudaibiyah.
Maka „aqidah Islamiyyah yang digunakan manusia sebagai parameter
untuk menghukumi realitas itulah yang membatasi dan membedakan dengan
al-aqliyyah yang lain, maka siapa yang berfikir terhadap realitas dari
perspektif Islam (Islamic thinking oriented) itulah „aqliyyah islamiyyah dan
siapa yang berfikir terhadapa realitas dari perspektif kapitalisme / liberalis
maka itulah „aqliyyah kapitalisme dan siapa berfikir terhadap realitas dari
perpektif komunis, maka itulah aqliyyah komunisme yang tidak modern.

B. Al Nafsiyyah

Tidak sempurna Iman salah seorang diantara kamu hingga nafsunya


mengikuti apa yang datang dari saya (Nabi). (Al-Hadits)
Gharizah dan haajaah „udwiyyah yang dimiliki manusia menuntut
pemenuhan, yang akan mendorong manusia melakukan aktifitas pemenuhan
tersebut. Manusia akan bergerak secara fitri sebagai pemenuhan (isyba‟) yang
disebut dengan dorongan-dorongan (dawaafi‟), maka jika dibiarkan manusia
di dalam dorongan-dorongan ini tanpa aturan dan patokan, manusia akan
memenuhi gharizah dan haajaah „udwiyyah menurut hawa nafsunya,
sehingga haruslah dorongan-dorongan tersebut dikaitkan dengan mafaahim
manusia tentang al-a‟maal dan al-asyya.
Karena mansuia hidup di dalam masyarakat, maka konsekwensinya
disitu harus ada pemikiran-pemikiran tertentu di dalam menghukumi al-
asyya dan al-af‟al, yang bisa mempengaruhi dan mengakses kepada
masyarakat. Sehingga pemikiran tersebut dijadikan sebagai mafahin tertentu
untuk menghukumi terhadap dorongan-doronga tersebut. Pengkaitan antara
dorongan-dorongan manusia dan mafahimnya disebut dengan muyul
(kecenderungan). Maka muyul itu lebih tinggi dari dorongan-dorongan karena
muyul itu dorongan-dorongan yang dikaitkan dengan mafahim.
Dorongan-dorongan pemenuhan ada di dalam manusia dan hewan,
sedangkan muyul ada pada manusia dan tidak ada pada hewan, karena beda
fundamen manusia dengan hewan pada idraak / tafkir, manusia bisa berfikir,
hewan tidak dan dengan tafkir saja didapatkan mafahim. Maka nafsiyyah
adalah cara mengkaitkan manusia di dalam dorongan-dorongan pemenuhan
dengan suatu mafahim, dan mafahim ini kembali kepada pemikiran-
pemikiran tertentu yang bersumber dari perspektif kehidupan dalam arti
hidup itu dibatasi atau tidak.
Maka jika mafaahim itu muncul dari „aqiidah islamiyyah tentu
nafsiyyahnya adalah nafsiyyah Islamiyyah, begitu juga jika mafahimnya
muncul dari aqiidah komunis atau kapitalis maka nafsiyyahnya adalah
komunis dan kapitalisme. Dan jika mafahimnya muncul dari qaidah / aturan
yang bermacam-macam berarti nafsiyyahnya adalah nafsiyyah yang kacau
dan cenderung anarchisme.
Nafsiyah adalah yang menjadikan manusia mendahulukan beraktifitas
atau menahan beraktifitas dan nafsiyah inilah yang menghukumi dan
memutuskan di dalam dorongan-dorongan gharizah dan haajaah „udwiyyah.
Seorang muslim sebelum diharamkan khamr, suka meminum khamr,
karena mafahimnya terhadap khamr adalah mubah / boleh, maka ketika
turun ayat :
“Sesungguhnya syaiton itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan
dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan Shalat; maka berhentilah kamu
(dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al Maaidah 91).
Ketika mendengar ayat pengharaman khamr di atas, mereka berkata:
“Sesungguhnya kami telah menghentikan meminum khamr dan menahan
mereka yang masih terbelit dengan minuman khamr, lalu dilanjutkan
penumpahan seluruh khamr di jalan-jalan madinah, setelah itu mereka tidak
meminum khamr lagi.
Maka perubahan pemahaman dari khamr, telah merubah muyul mereka
kepada khamr. Dan kecenderungan baru ini adalah hasil dari pengkaitan
dorongan-dorongan dengan mafahim (nafsiyyah).
Mafahim islam datang untuk merubah muyul orang Arab (untuk pertama
kali) dan dengan mafahim Islam ini telah mampu merubah totalitas muyul
mereka sampai akar-akarnya.
Kita bisa menyimak kisah dua saudara sekandung, salah satunya masuk
Islam yaitu Muhayyishoh bin Mas‟ud dan satunya lagi masih kafir, Yaitu
Huwayyishoh bin Mas‟ud. Ketika Rasulullah menyuruh sahabat yang muslim
yaitu Muhayyishoh untuk membunuh Ka‟ab bin Yahuudza. Kemudian
saudaranya yang kafir yaitu Huwayyishoh mencela Muhayyishoh seraya
berkata: Apakah engkau telah membunuh Ka‟ab bin Yahuudza, sungguh
ka‟ab telah sering memberi makan kamu dan tumbuh di dalam perutmu
hartanya, sungguh engkau tercela Muhayyishoh. Maka Muhayyishoh bin
Mas‟ud menjawab: “ Sungguh Rasul telah menyuruh saya untuk
membunuhnya, seandainya Rasul menyuruh saya membunuh kamu maka
akan kubunuh kamu. Huwayyishoh menjawab: Demi Allah sungguh agama
yang datang padamu itu betul-betul mengagumkan, maka Masuk Islamlah
Huwayyishoh bin Mas‟ud.
Maka nafsiyyah Muhayyishoh bin Mas‟ud adalah adanya pengkaitan
dorongan-dorongan dengan mafahimnya, sehingga menjadikan muyulnya
berdasarkan hukum syara‟ hal ini jelas dari perkataan Muhayyishoh kepada
Huwayyishoh: “Sungguh Rasul menyuruh saya membunuh Ka‟ab, sehingga
seandainya Rasul menyuruh saya membunuh kamu tentu aku akan
membunuhmu”, jadi tidak berdasar gharizah atau kemaslahatan, seperti yang
dijadikan pegangan saudaranya yang akfir. Dan itulah nafsiyyah yang benar
seperti yang diajarkan Islam sehingga menjadikan kekaguman saudara yang
kafir, yang dilanjutkan dengan proklamasi dirinya menjadi Islam.

C. Asy-Syakhsiyyatu ‘Aqliyyatun Wa
Nafsiyyahtun

“Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu sehingga aku (nabi)
dijadikan akalnya untuk berfikir.” (Al Hadits).
“Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu hingga nafsunya mengikuti
apa yang datang dari saya (nabi) atau Al hadits.
„Aqliyyah adalah cara yang berlandaskan asasnya berfikir tentang realitas,
atau juga disebut cara manusia mengkaitkan ma‟lumat saabiqah dengan
realitas berdasarkan kepada qaaidah tertentu.
Dan nafsiyyah adalah cara manusia mengkaitkan dorongan-dorongan
pemenuhan gharizah dan haajaah „udwiyyah dengan mafahimnya, atau
disebut juga dengan muyul yang merupakan hasil dari pengkaitan mafahim
dengan dorongan-dorongan. Lantas apa pengait antara aqliyyah dan
nafsiyyah?
Sesungguhnya sudah merupakan urusan alami manusia adalah berfikir
tentang al-asyya dan al-a‟maal, kemudian menghukuminya berlandaskan
qaaidah tertentu seperti aqidah yang dipegangnya. Dari tafkir ini akan
dihasilkan mafahim yaitu menjadikan pemikirannya sebagai dalil-dalil atas
realitas yakni indera menemukan relitas atau tergambarnya realitas di dalam
otak dan meyakininya seperti menemukan realitas yang bisa diindera
langsung.
Mafahim ini mempengaruhi pada dorongan-dorongan pemenuhan. Maka
jadilah baginya muyul pemenuhan sebagai hasil dari pengkaitan antara
mafaahim dengan dorongan, bagi mafahim ada ikatan antara „aqliyyah
manusia dengan nafsiyyahnya, karena mafahim yang terbentuk adalah dari
jalan berfikir tentang realitas (aqliyyahnya) yang akan menghukumi muyul
yang dihasilkan dari pengkaitan antara mafaahim dan dorongan-dorongan
(nafsiyyahnya).
Dan pengkaitan antara „aqliyyah dan nafsiyyah nampak jelas di dalam
syakhsiyyah mutamayyizah contohnya yang bisa diteladani adalah Anas bin
Nadhor salah satu sahabat semoga Allah ridlo padanya, dalam perang Uhud
beliau bersama „Umar bin al-Khaththab dan Tholhah bin „Ubaidillah melewati
kelompok shahabat muhajirin dan anshor, kelompok shahabat tersebut
duduk dan melemparkan senjatanya setelah tersebar berita bahwa Rasulullah
terbunuh. Maka Anas bin nadhor berkata kepada mereka:” Apa yang
membuat anda sekalian duduk? Mereka menjawab: “ Rasulullah SAW
terbunuh”, berkata Anas bin Nadhor: “ Apa yang akan anda perbuat dengan
hidup anda setelah Rasulullah mati? (apakah anda akan berhenti berjuang
dengan wafatnya Rasul SAW?) bangkit dan matilah seperti matinya
Rasulullah, kemudian mereka bangkit dan menghadapi kaun Quraisy lalu
memeranginya sehingga mereka mati syahid.
Suluk dari Anas bin Nadhor menunjukan sebuah syakhsiyyah
mutamayyizah, menunjukan adanya ikatan yang kuat antara „aqliyyah dan
nafsiyyahnya. Anas bin Nadhor mengindera realitas yakni para shahabat
membiarkan tidak saling menolong dalam peperang an setelah tersebar berita
terbunuhnya Rasululah dan Anas bin Nadhor mengikatkan realitas dengan
ma‟lumat saabiqah (pahitnya kekalahan dan haramnya berpaling pada hari
kepayahan pada waktu perang dan pengaruh tersebarnya kematian
Rasulullah pada shahabat) Anas bin nadhor berpijak dari pemikiran qaaidah
asasiyyah yaitu aqidah Islamiyyah dan bahwa peperangan itu wajib dan
balasan bagi mujahid atau mati sahid adalah surga juga ajal itu sudah
ditentukan Allah dan lari dari peperangan adalah haram.
Pemikiran-pemikiran ini bagi Anas bin Nadhor sebagai mafahim karena
beliau yakin dan percaya atas pemikiran tersebut, kemudian mengkaitkan
antara mafahim ini dengan dorongan-dorongan gharizah baqa‟ yang terlihat
madhahirnya dari para sahabat yaitu menjaga kehidupan dan takut dari mati,
kemudian Anas bin Nadhor menyesuaikan dorongan-dorongan ini dengan
mafahimnya maka jadilah mereka cenderung untuk berperang walaupun
mereka melaksanakan sesuatu yang kontradiksi dengan dorongan-dorongan
gharizahnya, maka „aqliyyah Anas bin Nadhor adalah aqliyyah Islamiyyah
beliau bisa merubah dorongan-dorongannya dan menjadikannya sebagai
muyul yang Islamiyyah, sehingga jadilah nafsiyyahnya cenderung berperang
melawan musuh dan lebih baik mati sahid menyusul Rasulullah.
Sungguh Anas bin Nadhor telah menterjemahkan Syaksiyyah
mutamayyizah yang tinggi kepada suluk yang menjasad (mengkristal) dalam
dirinya dengan memerangi kaum Musyrikin.
Adapun aktifitasnya bukanlah Syakhsiyyah buka pula „aqliyyah dan
bukan pula nafsiyyah akan tetapi merupakan bekas dari bekas-bekasnya
syakhsiyyah,‟aqliyyah dan nafsiyyah.
Syakhsiyyah kadang-kadang bisa berbentuk syaksiyyah mutamayyizah
dan syaksiyyah ghairu mutamayyizah.

D. Syakhsiyyah Mutamayyizah

Syakhsiyyah mutamayyizah adalah syakhsiyyah yang antara aqliyyah dan


nafsiyyah dalam satu jenis yakni dari satu sumber aqidah, maka muyulnya
ikut pada mafahimnya, yaitu nafsiyyahnya ikut kepada aqliyyahnya, yaitu
kecenderungan kepada al-asyya dan al a‟maal di dalam memenuhi gharizah
dan haajaah „udwiyyah berdasarkan mafahim yang bersumber dari qaiidah
fikriyyah asasiyyah yang semua pemikiran disandarkan kepadanya.
Sehingga syakhsiyyah mutamayyizah mempunyai warna tertentu, dan
haruslah qaaidah fikriyyah asassiyyah yang timbul darinya hukum-hukum
pemiliknya sebagai penghukum atas realitas, qaaidah asasiyyah „ammah
hendaknya sebagai rujukan, karena darinya bersumber hukum-hukum yang
lazim untuk mengatur hubungan manusia, dengan tuhannya, dirinya dan
lainnya.
Dan hal itu tidak akan bisa datang kecuali jika qaaidah asasiyyah sebagai
fikroh kulliyyah (pemikiran yang total) dari kaun, insan dan kehidupan,
sehingga dijadikan qaidah asasiyyah sebagai pengurai problema besar
(„uqdatul Kubra) bagi manusia, yaitu pemenuhan perasaan kekurangan,
kelemahan dan membutuhkan yang kemuadian akan muncul nidhom
pemenuhan gharizah dan haajaah „udwiyyah secara keseluruhan.
Syakhsiyyah mutamayyizah tidak akan ada kecuali sebagai mabda,
seperti syakhsiyyah Islamiyyah, syakhsiyyah ro‟sumaaliyyah, syakhsiyyah
syuyu‟iyyah, karena aqliyyah dan nafsiyyah seluruh darinya menggunakan
ukuran pemikiran dan muyul dari aqidah aqliyyah yang terpancar darinya
nidhom yang mengatur seluruh hubungan manusia dan itulah mabda, atau
lebih mudahnya mabda adalah pemikiran yang mendasar yang diatasnya
dibangun pemikiran-pemikiran lain.
Dan syakhsiyyah Islamiyyah yang tinggi sebagai al-diin Islam menyebar di
atas bumi, sudah berjasad pada diri manusia yang beriman kepada aqiidah
Islamiyyah, sebagai fikroh kuliyyah atas kaun, insan dan kehidupan serta
apa-apa sebelum hidup di dunia dan apa-apa setelah hidup di dunia dan
hubungan antara sebelum dan sesudah hidup di dunia. Jadilah aqidah ini
sebagai qaaidah fikriyyah yang diatas asasnya seorang muslim berfikir, dan
mengkaitkan realitas dengan ma‟lumat saabiqah dan menghukumi realitas
dengan parameter hukum syara‟ yaitu: fardlu, madhub, mubah, makruh dan
haram.
Dan jadilah aqidah ini sebagai asas pada muyulnya maka jadilah
mafahimnya mengkaitkan dengan dorongan-dorongan pemenuhan yang
merupakan reaksi dari aksi thaaqah hayawiyyah yang berupa gharizah dan
haajaah „udwiyyah.
Dan dengan itu jadilah syakhsiyyah islamiyyah adalah syaksiyyah
mutamayyizah, aqliyyah dan nafsiyyah dari satu jenis, yang keduanya
disandarkan kepada satu qaaidah asasiyyah yaitu aqiidah Islamiyyah.
Syakhsiyyah Islamiyyah seseorang berbeda dalam kekuatannya, seorang
muslim yang menjadikan aqidah Islamiyyah sebagai asas di dalam pemikiran
dan kecenderungannya, maka dialah yang bisa dikatakan mempunyai
syakhsiyyah Islamiyyah, selain itu pemilik syaksiyyah ini sangat suka
mengerjakan yang sunat disamping yang fardhu dan menjauhi dari yang
makruh dan juga yang haram, mengerjakan yang mubah yang dekat dengan
sunat dan fardhu dan menahan dari mengerjakan yang mubah yang dekat
dengan haram-dan makruh.
Jika bisa mengerjakan seperti itu maka itulah syaksiyyah islamiyyah
saamiyyah (tinggi), pelakunya mampu mengkaitkan dan menguatkan fikroh
dan muyulnya, oleh sebab itu aktifitasnya dilakukan dengan mafahim
Islamiyyah.
Seorang Muslim yang merasa cukup dengan mengerjakan yang fardhu
dan mubah dan sebagian yang mandhub, serta menahan dari pekerjaan
haram dan sebagian yang makruh, maka dia mempunyai syaksiyyah
Islamiyyah adl‟af dari syakhsiyyah Islamiyyah saamiyyah, yakni secara
hierarki berada di bawah syakhsiyyah islamiyyah saamiyyah yang disebutkan
di atas.
Dan jika seorang, muslim merasa cukup dengan mengerjakan yang
fardhu dan mubah saja, serta menahan dari mengerjakan yang haram, dan
tidak merasa bahaya dan khawatir untuk mengerjakan yang makruh dan
meninggalkan yang mandhub maka dia mempunyai syaksiyyah dlo‟iifah /
lemah, secara hierarki berada di bawah syakhsiyyah Islamiyyah adl‟af.
Dari tiga contoh di atas terdapat derajat perbedaan yang kuat dan
lemahnya syaksiyyah islamiyyah seorang muslim.
Kadang-kadang seorang muslim menempuh yang haram atau
meninggalkan yang fardhu, dan syaksiyyah islamiyyahnya hanya masih
sebagai asas untuk pemikiran dan muyulnya saja, atau masih sebagai
aqliyyah dan nafsiyyahnya saja karena adanya lubang kekosongan di dalam
suluknya yang sebetulnya seorang muslim tidak akan lepas dari suluk
tersebut sebagai komponen lengkap syaksiyyah Islamiyyah maka kadang-
kadang seorang muslim lupa atau salah di dalam mengkaitkan suatu
pemahaman dari mafahim dengan aqidah islamiyyah dan kadang-kadang
tidak tahu adanya kontradiksi antara muyulnya dengn aqidah, maka jadinya
dia menghukumi waqi‟ / realitas dengan hukum yang tidak islami sehingga
kecenderungan melaksanakan aktifitas yang tidak diakui syara‟.
Rasul berkata kepad mereka:” Wahai Hatib apa yang membawamu atas
perkara ini”? Hatib menjawab:” Wahai Rasulullah demi Allah saya masih
seorang mu‟min yang percaya kepada Allah dan Nabi-Nya, dan saya tidak
akan merubah dan mengganti keimanan saya, akan tetapi saya sebagai
Qurasy asli dan juga keluargaku, maka jagalah keluarga saya dan jangan
perangi kaum Qurasy.”.
Maka Umar bin al-Khaththab berkata: “ Wahai Rasulullah biarkan saya
mematahkan batang lehernya, karena orang ini telah munafiq”, Bersabda
Rasul:” Apa yang engkau ketahui wahai Umar sungguh Allah telah
mengetahui sahabat Badr pada peperangan Badr, selanjutnya sabda
Rasul:”Lakukanlah apa yang kamu semua kehendaki sungguh saya memohon
ampun dan memaafkan kalian, maka Allah menurunkan ayat kepada Hatib
bin Abi Balta‟ah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan
musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka
(berita-berita muhammad), karena rasa kasih sayang.” (QS. Al Mumtahanah 1
).
Haatib bin Abi Balta‟ah masih sebagai seorang muslim, syakhsiyyahnya
Islamiyyah, dia tunduk untuk melakukan aktifitas yang haram, yaitu
memata-matai kaum muslimin dan dia berhak mendapat hukuman,
terkecuali dia tidak mengingkari aqidah Islamiyyah, dan tidak pisah darinya
qaaidah asasiyyah di dalam tafkir dan muyulnya, hal ini ditunjukukkan
dengan jawaban yang diberikan kepada Rasulullah,”Sungguh saya beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya dan saya tidak akan mengganti atau merubah
iman saya”‟ akan tetapi dia membenarkan tindakannya yang bertentangan
dengan hukum syara‟ karena dia ingin menjaga keluarganya yang ada di
Makkah, dan dalam tindakan ini dia tidak mengkaitkan muyulnya dengan
mafahim Islamiyyahnya, dan dia menjalankan gharizah nau‟nya untuk
menjaga anaknya dan keluarganya sehingga di dalam perilakuknya ada
lubang kekosongan pada suluknya, sebagai hasil dari kecenderungannya yang
terlepas dari sasaran / majal aqidah Islamiyyah, dan itulah yang menarik dia
untuk mengutamakan gharizah al nau‟nya.
Demikian juga para shahabat bertindak di dalam perang uhud dan perang
bani mustholaq mereka tidak keluar dari syakhsiyyah Islamiyyah. Sungguh
hal ini telah disifati oleh dalil syar‟iyyah dari Al-qur‟an dan Al-Hadits akan
syakhsiyyah Islamiyyah ini kepada Shahabat dan orang mu‟min, Firman
Allah:
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama
dengan dia adalah keras terhadap orang kafir, tapi berkasih sayang sesama
mereka: kamu lihat mereka ruku‟ dan sujud mencari karunia Allah dan
Keridloan-Nya.”(QS. Al Fath 29).
Dan firman Allah tentang Jihad mereka:
Dan mereka menolong Allah dan Rasulnya,” (QS.Hasyr 8).
“Mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka.” (QS. An Anfaal 72).
Dan Allah mensifati mereka di dalam „ibadahnya, firman-Nya:
“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk
Tuhan mereka.” (QS. Al Furqaan 64).
Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedangkan mereka berdoa
kepada Tuhannya dengan rasa takut dan Harap, dan mereka menafkahkan
sebagaian rizqi yang Kami berikan kepada mereka” (QS. As Sajdah 16).
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang
(miskin) yang meminta dan orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang
tidak mau meminta).” (QS. Al Ma’aarij 244-25)
“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadah, yang
memuji Allah, yang melawat (mencari ilmu atau berjihad), yang ruku‟ yang
sujud, yang menyuruh berbuat ma‟ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang
memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakannlah orang-orang mu‟min itu.”
(QS. At Taubah 112).
Dan Allah mensifati akhlaqnya dengan firmanNya:
“Dan Hamba-hamba Tuhan yang maha Penyayang itu (ialah) orang orang
yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati apabila orang jahil menyapa
mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al Furqaan 63).
“Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hujuraat 15 ).
“Mereka tidak meminta kepada orang-orang secara mendesak.” (QS.Al
Baqarah 273).
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan)
orang.” (QS.Ali ‘Imran 134).
Sabda Nabi SAW:
“Sahabat-sahabatku seperti bintang jika kamu mengikutinya, tentu akan
mendapat petunjuk.”(Al Hadits).
Bagi mereka tampak sekali syakhsiyyah islamiyyahnya yang tinggi,
mereka mengumpulkan antara ibadah dan siayah, antara kepemimpinan dan
pemeliharaan rakyat, antara kasih sayang dan „adil antara bangun malam
dan berjihad, kesemua itu mereka mencari apa yang diberikan Allah berupa
rumah akhirat dan tidak melupakan nasib mereka di dunia, mereka menahan
diri mereka dari menahan diri dari meminta walaupun mereka miskin dan
mengkoreksi pemimpin yang dholim. Dalam berjuang dijalan-Nya tidak takut
celaan orang suka mencela, akal dan kecenderungan mereka mengikuti apa
yang datang dari Allah dan rasul-Nya, karena mereka berfikir dan memahami
sabda Nabi:
“Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu sehingga (Nabi) dijadikan
akalnya untuk berfikir.” (Al-Hadits)
“Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu hingga nafsu mengikuti apa
yang datang dari saya (Nabi).” (Al Hadits)

E. Asy-Syakhsiyyah Ghoiru Mutamayyizah

“Dan jika dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan


di muka bumi, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang
mengadakan perbaikan.”
(QS. Al Baqarah 11).
Syakhsiyyah ghoiru mutamayyizah mempunyai indikasi aqliyyah
pemiliknya bukanlah nafsiyyahnya, jadi bukan satu sumber yang saling
mendukung, tidak ada sinkronisasi.
Syakhsiyyah ghoiru Mutamayyizah dipakai manusia jika qaaidah yang
dibangun di atas asas pemikirannya bukanlah qaaidah yang dibangun atas
asas muyulnya maka dia akan menghukumi al-asyya dan al-af‟aal dengan
parameter qaaidah yang digunakan berfikir tentang realitas (yaitu
aqliyyahnya), ketika cenderung memuaskan gharizah dan haajaah
„udwiyyahnya berdasarkan mafahim yang diambil dari qaaidah lain yang
digunakan dalam pengkaitan antara mafahim dngan dorongan-dorongannya
(yaitu nafsiyyahnya).
Orang yang mempunyai syakhsiyyah ghoiru mutamayyizah nampak
padanya kekacauan, kegoyahan di dalam suluknya, karena tafkirnya
bukanlah muyulnya, maka mereka memberikan hukum-hukum terhadap
realitas berbeda dengan muyulnya dan tindakannya yang ditunjukan pada
realitas ini.
Dan sungguh nampak syakhsiyyah ghoiru mutamayyizah ini dalam
masyarakat Madinah Munawwarah pada zaman rasulullah SAW, ketika
menampakkan keislamannya sekaligus menyamarkan kekufurannya, dan
jadilah mereka menghukumi atas al-asyya dan al-af‟aal dari visi Islam, akan
tetapi muyulnya masih tunduk pada mafahim jahilliyyah yang disandarkan
pada kekufurannya.
Dan Allah telah mensifati mereka secara detail di dalam Al-Qur‟an yang
menerangkan kontradiksi aqliyyah dan cara menghukuminya beserta muyul
dan aktifitasnya, firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 8 -14:
“Diantara manusia ada yang mengatakan : Kami beriman kepada Allah dan
hari kemudian, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang beriman.
Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal hanya
menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada
penyakit, lalu ditambah oleh Allah penyakitnya dan bagi mereka siksa yang
pedih, disebabkan mereka berdusta. Dan bila dikatakan kepada mereka :
“janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab:
Sesungguhnya kami orang-orang yang mengdakan perbaikan. Ingatlah,
sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi
mereka tidak sadar. Apabila dikatakan kepada mereka : Berimanlah kamu
sebagaimana orang-orang lain yang telah beriman, mereka menjawab: Akan
berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?
Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak
tahu. Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka
mengatakan: “Kami telah beriman”. Dan bila mereka kembali kepada syaitan-
syaitan mereka mengatakan: Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu,
kami hannyalah berolok-olok.” (QS.Al Baqarah 4-14).
Allah SWT berfirman:
“Dan diantara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan
dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenarannya)
isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras, dan apabila ia
berpaling (dari kamu) ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan
padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak
menyukai kebinasaan.” (QS. Al Baqarah 204-205).
Maka ucapan mereka menunjukan aqliyyahnya, tampak mereka
sepertinya seorang muslim, maka mereka mengatakan: kami beriman kepada
Allah, Rasul-Nya dan Hari Akhir dan ditambah dengan kamuflase /
penyamarannya dengan bersaksi Allah tuhannya yang ada di hati, akan tetapi
muyulnya senantiasa berjalan dengan mafahim kufur , karena sebenarnya
kufur itulah aqidahnya dan mereka melaksanakan aktifitas pemuasan
gharizah dan haajaa „udwiyyah dibangun atas mafahim kufur.
Maka mereka mengadakan kerusakan di bumi memusuhi manusia dan
menggunakan berbagai cara dan alasan untuk menahan peperangan, dan
lebih parah lagi mengendurkan pasukan yang lain, seperti yang terjadi ketika
perang Uhud dimana mereka mengundurkan diri dari pasukan kaum
muslimin sebelum dimulai peperangan menghadapi kaum musyrikin.
Dan juga syakhsiyyah ghoiru mutamayyizah yaitu yang menggunakan
qaidah-qaidah tertentu sebagai ukuran dalam tafkir dan muyulnya, yakni
qaidah tertentu itu sebagai aqliyyah dan nafsiyyahnya.
Akan tetapi qaidah-qaidah ini hanya memancarkan aturan-aturan yang
mengatur pemuasan sebagian hubungan-hubungan manusia seperti nasrani
sekarang ini yang hanya mengatur sebagian gharizah dan haajaah „udwiyyah
saja, sehingga, membuat pemeluknya mengalami kekacauan dan kegoyahan.
Sebab dalam mengatur sisa pemuasan gharizah dan haajaah „udwiyyah lain,
berdasar qaidah-qaidah lain dan nidhom yang lain. Qaidah tersebut tidak
memberikan fikroh kulliyyah (pemikiran totalitas) tentang kaun (fenomena
alam), manusia dan kehidupan yang darinya terpancar nidhom syamil
(lengkap) dan kamil (sempurna) yang mengatur seluruh hubungan manusia.
Syakhsiyyah ghoiru mutamayyizah kadang-kadang anarchis, karena
pemilik aqidah ini tidak mengambil qaidah yang tetap untuk aqliyyah dan
nafsiyyahnya, maka pemikiran dan muyulnya ditujukan kepada al-asyya dan
al-af‟aal yang keduanya berbeda, bertentangan dan dipengaruhi lingkungan
yang satu beda dengan yang lain.
Karena pemilik syakhsiyyah ini tidak menggunakan qaidah tertentu yang
tetap, dalam menghukumi al-asyya dan al-af‟aal maka timbullah hukum-
hukum yang berbeda dalam satu perkara seperti mengharamkan daging
untuk dirinya pada satu saat, dan dilain waktu menghalalkannya kembali.
Dan juga pemilik syakhsiyyah tidak menggunakan qaidah tertentu yang
tetap untuk nafsiyyahnya, maka pada waktu tertentu mereka cenderung
memuaskan gharizah tadayyunnya dengan menyembah matahari, kemudian
meninggalkannya dan beralih menyembah sungai.
Syakhsiyyah ghoiru mutamayyizah kadang-kadang bersifat rutinitas /
stagnasi, pemiliknya menggunakan patokan-patokan yang tetap untuk
menghukumi al-asyya dan al-af‟aal yang terindera baginya, qaidah ini tidak
akan bisa meluas untuk menghukumi al-asyya dan al-af-„aal yang
diperbaharui. Muyulnya dibatasi qaidah yang baku ini tanpa adanya subyek
atau obyek terhadap apa yang diketahui dari realitas-realitas, maka jadilah
rutinitas / terus menerus di dalam tafkir dan muyulnya, maka tinggallah
tindakan-tindakannya seperti sebuah alat yang disetir manusia pada waktu
bergerak di jalan tanpa bisa berinisiatif, sehingga bila diperlihatkan padanya
peristiwa-peristiwa baru, maka berhentilah otaknya dan kosong, perasaannya
menjadi pandir, maka tidak dia tidak bisa berfikir untuk menghukumi
peristiwa tersebut, dan muyulnya tidak bisa membatasi dengan parameter
yang dihadapi dari peristiwa tadi.

F. Pembentukan Syakhsiyyah Islamiyyah

“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia Maha sucu Engkau , maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
(QS. Ali Imran 191).
Manusia mendapatkan pengetahuan-pengetahuannya dari jalan indera.
Alat terpenting dari indera yang berperan di dalam mendapatkan pengetahuan
adalah pendengaran dan penglihatan. Firman Allah:
“Dan kami jadikan bagi mereka pendengaran, penglihatan dan hati.” (QS.Al-
Ahqaaf 26).
“Dialah yang menciptakan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati .”
(QS. Al Mu’minuun 78).
“Dan (Allah) memberi bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar
kamu bersyukur.” (QS. An Nahl 78).
Pendengaran dan penglihatan adalah dua indera yang melalui keduanya
manusia mendapatkan sebagian pemikiran-pemikirannya bahkan bisa
dikatakan semuanya.
Dalam pembentukan syakhsiyyah Islamiyyah haruslah dengan pemberian
pemikiran-pemikiran Islam untuk pembentukan aqliyyahnya, dan kemudian
nafsiyyahnya serta metode yang baik untuk pemberian dan pengambilan
pemikiran-pemikiran, adalah dengan cara al-talqiy al-fikry, (pola pemberian ide
dengan dengan pendekatan pemikiran) dengan cara ini manusia mengambil
dengan pemikiran-pemikiran dari jalan mendengar atau membaca, maka dia
akan mendengar atau membaca kalimat-kalimat , kemudian memaknai
maknanya seperti apa yang ada pada kalimat tersebut, bukan apa yang
dikehendaki oleh pembaca atau apa yang dikehendaki oleh pengulas
bukunya, kemudian memahami dalil-dalil dan makna kalimat makna tersebut
seperti apa yang ada pada realitas maka jadillah bacaan yang sudah masuk
dalam afkarnya sebagai mafahim, bukan sekedar berupa lapadz saja, karena
bacaan tersebut mempunyai dalil-dalil yang bisa diindera sehingga pembaca
realitas (bacaan) tersebut bisa mengungkapkannya dengan bahasanya dan
dapat mentransfer pemikiran-pemikiran ini kepada yang lain dengan jalan
seperti yang ia dapatkan sebelumnya, yaitu al-talqy al-fikri.
Sesungguhnya pemikiran itu fitri ada pada manusia, adapun yang
menjadikan aqiidah Islamiyyah sebagai qaaidah fikriyyah asaasiyyah pada
pemikirannya dalah aktifitas yang dilakukan manusia sendiri, dan aktifitas ini
membentuk aqliyah Islamiyyah yang bisa menjadikan pemiliknya berfikir
berdasarkan asas-asas Islam.
Gharizah dan haajaah „udwiyyah fitri ada pada manusia, adapun yang
menjadikan aqidah Islamiyyah sebagai qaaidah fikriyyah asaasiyyah adalah
juga aktifitas yang dilakukan manusia itu sendiri. Dan aktifitas ini akan
membentuk nafsiyyah Islamiyyah, yang akan menjadikan pemiliknya bisa
mengkaitkan dorongan-dorongan pemenuhan dengan mafahim Islamiyyah,
maka muyulnya akan muyul Islamiyyah yang akan cenderung kepada yang
halal dan berpaling dari yang haram. Maka tafkir dan muyul yang ada pada
manusia juga sebagai fitrah, adapun dijadikannya aqidah Islamiyyah sebagai
asas di dalamnya bertafkir dan muyulnya ini juga dari usaha manusia itu
sendiri.
Maka suatu keniscayaan bagi siapa yang ingin membentuk syakhsiyyah
pada manusia haruslah dimulai dengan asas ini, yakni aqiidah Islamiyyah,
dan itu dengan pengajaran aqidah, menggunakan pendekatan pendidikan
secara aqliyyah bukan secara talqin (pendiktean secara lisan). Karena dengan
aqliyyah ini akalnya akan bisa menetapkan dan faham bahwa Allah itu ada.
Al-Qur‟an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw,
yang kemudian bisa mengimani terhadap apa yang datang dari Al-Qur‟an dan
semua di atas adalah hasil dari penggunaan aqidah aqliyyah.
Setelah pembentukan asas ini yaitu aqidah Islamiyyah, harus dipasok
pemikirannya dengan tsaqofah Islamiyyah sebagai input yang akan
memperkuat pemikirannya dari penambahan Tsaqofah Islamiyyah ini
diharapkan mempunyai kapabillitas berfikir tentang al-asyya dan al-af‟aal
berlandaskan asas-asas Islam.
Tsaqofah ini kadang-kadang bersifat aqliyyah seperti tauhid, daan kadang
bersifat syar‟iyyah seperti fiqih dan tafsir dan kadang bersifat lughowiyyah
(bahasa) seperti nahwu dan balagoh, dan manusia berbeda di dalam
menyerap tsaqofah ini karena perbedaan kemampuan aqliyyahnya dan
kekuatan al-ribthnya (penghubungan ma‟lumat yang satu dengan ma‟lumat
lainnya).
Seorang muslim yang hanya mengambil aqidah Islamiyyah sebagai asas di
dalam aqliyyah dan nafsiyyahnya yaitu sebagai asas di dalam tafkir dan
muyulnya, sudah representatif akan adanya syakhsiyyah islamiyyah dalam
dirinya, karena dengan itu dia bisa menghukumi realitas berdasarkan aqidah
Islamiyyah, dan bisa menentukan posisi dirinya terhadap al-asyya dan al-
af‟aal yang bisa memenuhi gharizah dan haajaah „udwiyyahnya berdasarkan
aqidah Islamiyyah, maka dia akan cenderung kepada yang halal dan berpaling
dari yang haram.
Untuk pengembangan aqliyyah Islamiyyah haruslah dengan penambahan-
penambahan tsaqofah islamiyyah yang akan menjadikan seorang muslim
mampu mengambil hukum syara‟ dengan usahanya sendiri melalui
penggunaan dalil-dalil syar‟iyyah dan juga akan menjadikan dia mampu
membentuk aqliyyah Islamiyyah dengan tsaqofah ini.
Sedang untuk mengembangkan nafsiyyah islamiyyah haruslah dengan
cara pengkaitan dorongan-dorongan gharizah dengan mafahim sebagai hasil
dari aqliyyah Islamiyyah, maka haruslah dikondisikan hidup dalam cakrawala
keimanan dari dirinya sendiri, maka hal ini adalah dengan cara
memperbanyak amalan-amalan mandhub seperti tadabbur terhadap ayat-
ayat Allah berupa Al-qur‟an dan tadabbur terhadap ciptaan Allah dan
muthola‟ah serta mengamalkan sirah rasul dan sahabat seperti seringnya
rasul dan sahabat berdo‟a dan qiyaamul lail, firman-Nya:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (yaitu) orang-
orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia.
Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran
190-192).
Firman Allah :
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur‟an)
dan dirikannlah Shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-
perbuatan) keji dan munkar.” (QS. Al Ankabut 45).
Di dalam cakrawala keimanan seorang muslim akan merasakan ke Maha
Agungan dan Maha Kuasanya Allah, dan bertambahlah idraak shillah billah,
maka akan memperkuat ke dalaman nafsiyyahnya dan akan menjadikan
muyul serta aktifitasnya tunduk pada perintah dan larangan Allah.
Pelaksana / Pembina syakhsiyyah Islamiyyah haruslah memperhatikan
dalam pembinaan asas-asas yang berdiri dan tegak-nya syakhsiyyah atas
asas-asas ini (aqiidah Islamiyyah), sehingga menghasilkan al-tashdiiq al-jaazim
(penerimaan kebenaran secara pasti) terhadap aqidah Islamiyyah dan
hendaknya thasdiiq sesuai dengan realitas yang terindera dan hendaknya ada
dalil-dalil aqliyyah atau naqliyyah yang diyakini atas wujudnya Allah, agar
aqidah ini menjadi mafahim dan agar pemikiran-pemikiran yang muncul dari
aqidah juga sebagai mafahim.
Dalam hal di atas kita mencontoh uswah hasanah dari Rasulullah SAW,
di dalam membentuk syakhsiyyah shahabat yang mengkokohkan tiang
daulah Islamiyyah yang telah didirikannya dan yang membawa Islam dengan
bersih dan jelas kepada manusia. Maka Rasululah SAW melakukan di dalam
pembinaan syakhsiyyah yang tanggal ini terstruktur pada garis-garis sebagai
berikut:
Pertama, mengarahkan pandangan para sahabat kepada makhluq-
makhluq yang menunjukan adanya Allah dan kuasa-Nya, firman Allah:
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia
menciptakan manusia dari segumpal darah.” (QS. Al ‘Alaq 1-2).
“Demi fajar dan malam yang sepuluh. Dan yang genap dan yang ganjil. Dan
malam bila berlalu . Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat
diterima) oleh orang-orang yang berakal.”(QS. Al Fajr 1-5).
“Demi langit yang mempunyai gugusan bintang.” (QS. Al Buruuj 1).
Bukankah kami telah memberikan padanya dua buah mata. Lidah dan dua
buah bibir.”(QS. AL Balad 8-9).
Kemudian pandangan Al-Qur‟an adalah kalamullah yang menunjukan
kenabian Muhammd SAW, firman Allah:
Qaaf, demi al-Qur‟an yang sangat mulia. Mereka (mereka tidak menerima)
bahkan mereka tercengang karena telah datang kepada mereka seorang
pemberi peringatan dari (kalangan) mereka sendiri, maka berkatalah orang-
orang kafir : “ Ini adalah suatu yang amat ajaib.” (QS. Qaaf 1-2).
“Haa miim. Diturunkan dari Tuhan yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa
Arab, Untuk kaum yang mengetahui.” (QS.41:1-3).
“Sesungguhnya kami menjadikan Al-Qur‟an dalam bahasa Arab supaya
kamu memahaminya.” (QS. Az Zukhruf 3).
Dan tantangan kepada mereka yang meragukan Al-Qur‟an, firman-Nya:
Atau (patutkah) mereka mengatakan: “Muhammad membuat-buatnya”
Katakanlah “ (Kalau benar yang kamu katakan itu) maka cobalah datangkan
sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu
panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”
(QS. Yunus 38).
Mula pertama konsentrasi Islam di dalam pembinaan syakhsiyyah ini
adalah pada aqiidah Islamiyyah yang dasar pencariannya dari akal, maka
berpindahlah ayat-ayat yang mulia kepada manusia dari penginderaan yang
dia ketahui dari kaun, manusia dan kehidupan, kepada penegasan wujudnya
Al-Kholiq dan penegasan bahwa Al-Qur‟an adalah kalamullah dan
Muhammad adalah RasulNya.
Kedua, penjelasan hubungan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat,
penjelasan ini banyak terdapat pada surat-surat Makkiyyah, Firman Allah:
“Dan adapun orang-orang yang berat timbangannya (kebaikannya) maka
dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang yang ringan
timbangannya (kebaikannya). Maka tempat kembalinya adalah neraka
Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka hawiyah itu? (yaitu) api yang
sangat panas.”(QS. AL Qaari’ah 6-11).
Firman Allah :
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kelebihan
dunia. Maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-
orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan
hawa nafsunya . Maka surgalah tempat tinggal(nya). (Orang-orang) kafir
bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari berbangkit kapankah
terjadinya?” (QS An Naazi’aat 37-42).
“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada
dalam surga yang penuh dengan kenikmatan Dan sesungguhnya orang-orang
yang durhaka , benar-benar berada di dalam neraka. Mereka masuk
kedalamnya pada hari pembalasan.” (QS. Al Infithaar 13 -15).
“Sesungguhnya neraka jahanam itu padanya ada tempat pengintai. Lagi
menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas.” (QS. An
Naba’ 21-22).
“Sesungguhnya orang-orang bertaqwa mendapat kemenangan (Yaitu)
kebun-kebun dan buah anggur.” (QS.An Naba 32-33 ).
Inilah hubungan antara dunia dan akhirat dengan hasil final pahala bagi
orang yang beriman dan beramal sholeh dan hukuman karena dosa bagi yang
kufur dan yang beramal jelek.
Syakhsiyyah Islamiyyah dijadikan pijakan berfikir sebelum suatu aktifitas
dilaksanakan yang nantinya final dari aktifitas di dunia tergambar dari ni‟mat
yang langgeng sebab adzab yang pedih, akan merasakan kelejatan rahmat
Allah dan surga-Nya, serta takut akan adzab Allah dari nerakanya, dan selalu
meminta keridhoan Allah terhadap segala apa yang dikerjakannya dan akan
menjauhi apa-apa yang bisa membuat Allah murka.
Ketiga, menuntut kaum muslimin untuk memecahkan problema hidupnya
dengan menggunakan asas–asas Islam, oleh sebab itu mereka harus
mengetahui hukum syara‟ sebelum melaksanakan aktifitas , maka jika tidak
tahu haruslah bertanya kepada yang tahu :Firman Allah :
Maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl 43).
Sehingga para sahabat tidak akan melaksanakan suatu aktifitas sebelum
bertanya kepada Rosulnya tentang hukum aktifitas itu, dan ini terjadi pada
Khoulah binti Tsa‟labah, yang menyebabkan turunnya ayat kepadanya:
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan
gugatan kepada kamu tentang suaminya , dan mengadukan (halnya) kepada
Allah, dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua, Allah Maha
Mendengar Lagi Maha Melihat”(QS.Al Mujaadilah 1).
Khoulah binti Tsa‟labah bertanya kepada Nabi SAW tentang hubungannya
dengan suaminya Aus bin Shamit yang telah mendziharnya.
Dan turunlah wahyu yang merupakan syakhsiyyah Islamiyah bila
dilaksanakan, seperti apa yang telah ditanyakan Khoulah binti Tsa‟labah
kepada Nabi tentang problematika yang dihadapinya.
Contoh lain dari firman Allah SWT tentang hal-hal yang ditanyakan
sahabat:
“Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan
perang. Katakanlah: “Harta rampasan itu kepunyaan Allah dan Rosul.” (QS. Al
Anfal 1).
“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan
Katakanlah:”Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-
ayatnya kepadamu supaya kamu berfikir.” (QS. Al Baqarah 219).
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah
kotoran” oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu
haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.”(QS. Al
Baqarah 222)
“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah:”Allah
memberi fatwa kepadamu tentang mereka dan apa yang dibacakan kepadamu
dalam Al Qur‟an”.(QS. An Nisaa’ 127).
Dan Rasul SAW menampakan rasa cinta diantara para shahabat,
sehingga mereka bertanya kepada nabi maka nabi menjawabnya dengan apa
yang diwahyukan dari Allah untuk memberi pembekalan kepada mereka
menuju ke dalaman iman yang bisa menambah perasaaan mereka dengan
ketenangan karena shilahbillah. Dan Rasul menjadikan para shahabat cinta
kepada Allah sehingga seakan-akan Allah hadir dan mengatur di dalam
suluknya. Maka jadilah Islam di dalam diri mereka sebagai aqliyyah dan
nafsiyyahnya. Salah satu contoh shahabat adalah Mas‟ud bin Umair, dengan
syakhsiyyah Islamiyyah yang diajarkan oleh Rasulullah kepadanya ini, Ia
mampu mempersiapkan masyarakat Madinah Munawarah sebagai
masyarakat Islami pertama yang dibentuk pada awal Daulah Islamiyyah.
Dan syakhsiyyah Islamiyyah saamiyah yang didatangkan oleh Rasul SAW
selalu sebagai penolong di dalam menjaga daulah dalam mengemban da‟wah
selama hidupnya, sampai adanya khilafah pengggati setelah wafatnya Rasul.
Karena adanya kontinuitas hubungan aktifitas dalam pembentukan
syakhsiyyah yang disampaikan shahabat dengan berlandaskan asas Islam,
hingga berlangsung tetapnya syakhsiyyah mutamayyizah ini sepanjang situasi
dan kondisi, di kota-kota dan penjuru Daulah Khilaafah.

AL-MUJTAMA’ (MASYARAKAT)

“Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhannu yang telah


menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya, dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak .”(QS. An Nisaa’ 1).
“Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan dari seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. (QS. Al Hujuraat 13).
Allah menciptakan manusia sekaligus menciptakan khaasiyah gharraiz,
haajah „udwiyyah dan idraak. Salah satu dari gharizah ini adalah gharizah
nau‟ contoh dari madhohirnya seperti suka lawan jenis, cinta anak,
menghormati orang tua, madhohir gharizah nau‟ di atas terdapat hubungan
pria dan wanita, orang tua dan anak.
Sedang gharizah baqa contoh dari madhohirnya seperti cinta kaum, cinta
tanah air, cinta kekuasaan, cinta penghormatan, madhohir ini terdapat
hubungan antara individu-individu dalam kabilah atau keluarga atau putera
negeri. Gharizah baqa mendorong manusia saling menolong dengan yang lain,
karena rasa takut kehilangan keberadaannya dari bahaya, ganguan, yang
secara konvensional adanya rasa takut dari bahaya binatang buas, sungai
yang dalam, gangguan manusia dan lain sebagainya. Itu semua ditanggulangi
dengan cara membangun rumah, dinding-dinding penghalang yang semuanya
membutuhkan bantuan bantuan dari yang lain, karena manusia secara
individu tidak bisa melakukan sendiri, inilah yang mendorong manusia untuk
berhubungan dengan yang lain karena adanya kebutuha yang mendesak di
dalam hidupnya.
Serta gharizah tadayyun, yakni adanya perasaan kurang, lemah dan
membutuhkan yang lebih darinya, mendorong manusia untuk mencari
sesuatu yang bisa menutupi kelemahan ini, maka dia membangun hubungan
dengan sesama individu untuk menutupi kekurangan ini, juga ada dalam
usaha ini mereka yang mentaqdiskan manusia yang lain, seperti yang terjadi
pada zaman mesir kuno yang menyembah Fir‟aun.
Manusia terdorong melakukan hubungan ini karena gharizah dan haajaah
„udwiyyah yang ternyata membutuhkan hubungan dengan yang lain, karena
itu diciptakan hubungan yang bermacam-macam diantara manusia, hal ini
agar mereka bisa mempersiapkan dirinya di dalam pemenuhan gharizah dan
haajaah „udwiyyahnya.
Maka itulah manusia beradab dengan segala tabiatnya, karena gharizah
dan haajaah „udwiyyahnya mendorong untuk hidup bersama dengan yang
lain, dengan berusaha menyambung hubungan dengan sesamanya.
Walhasil, masyarakat ini terbentuk dari individu-individu dan mempunyai
hubungan-hubungan yang sifatnya tabiat / alami sebagai hasil dari
dorongan-dorongan pemenuhan individu-individu.
Dan jika ditinggalkan hubungan antara individu-individu dalam
masyarakat, tanpa aturan yang benar maka akan membawa kepada
kekacauan dan pertarungan untuk memperoleh al-asyya dan al-af‟aal yang
vital bagi kehidupan manusia.
Awal pertarungan darah antara dua anak adam AS terjadi pada Haabil
dan Qaabiil, Firman Allah:
“Ceritakannlah kepada mereka kedua putera Adam (Qaabiil dan Haabil)
menurut yang sebenarnya, ketika yang keduanya mempersembahkan korban,
maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Haabil) dan tidak
diterima dari yang lain (Qaabil). Ia berkata (Qaabil): “Aku pasti membunuhmu!‟.
Berkata (Haabil) :”Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-
orang yang bertaqwa.” (QS. Al Maaidah 27).
Kemudian firman Allah selanjutnya:
“Maka hawa nafsu (Qaabil) menjadikannya menganggap mudah membunuh
saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang diantara orang-
orang yang merugi.” (QS. Al Maaidah 30).
Dan hasil dari tidak adanya peraturan, orang kaya mengharamkan /
melarang hartanya dan makanannya digunakan orang miskin, firman Allah:
Sekali-kali tidak (demikian) sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim
dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin. Dan kamu
memakan harta pusaka dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang
bathil) dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang
berlebihan.”(QS.Al Fajr 17-20).
Hasil dari anarchisme, yang kuat membunuh yang lemah, firman Allah :
Sesungguhnya Fir‟aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan
menjadikan penduduknya berpecah-belah, dengan menindas segolongan dari
mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak
perempuan mereka. Sesungguhnya Fir‟aun termasuk orang-orang berbuat
kerusakan.” (QS. Al Qashash 44).
Didapatkannya hubungan antara individu-individu, karena adanya
pemikiran-pemikiran tentang al-asyaa dan al-af‟aal yang vital untuk dipenuhi,
maka akan menghukumi terhadap sesuatu bahwa itu baik dan sesuatu yang
lain bahwa itu buruk. Begitu juga terhadap aktifitas bahwa itu penuh moral
dan yang lain amoral, kesemuanya itu dilihat dari kemaslahatan al-asyya itu
atau di dasarkan atas al-af‟aal pemenuhan itu, dan ini difahami setelah
diinderanya al-asyya atau al-af‟aal pemenuhan itu, dan ini difahami setelah
diinderanya al-asyya atau al-af‟aal tersebut.
Maka mereka akan melakukan pemenuhan terhadap al-asyya dan al-
af‟aal yang telah ada pada frame ma‟luumatnya.
Akan tetapi jarang difahami bahwa hukum-hukum gharizah seperti di
atas berbeda antara individu yang satu dan yang lainnya, juga antara
kelompok yang satu dengan yang lainnya.
Pemikiran-pemikiran yang ditujukan kepada al-asyya dal al-af‟aal yang
mempunyai hubungan dengan pemenuhan gharizah dan haajaah „udwiyyah
dibentuk manusia berdasarkan masyaa‟irnya (perasaan dan indera), maka
akan cenderung kepada apa yang bisa memuaskan dan berpaling terhadap
yang tidak bisa memuaskan.
Jika afkaar dan masyaair seperti ini dimiliki lebih dari satu manusia, atau
kelompok manusia, mereka dapat mengatur hubungan-hubungannya yang
didasarkan atas afkaar dan masyaa‟ir tadi, dari itu akan dibentuk nidhom.
Kemudian jika berkumpul individu-individu pada sebuah tanah / bumi
untuk hidup bersama maka gharizah baqanya akan mendorong mereka untuk
memiliki tanah tersebut, untuk diolah dan ditanami yang kemudian
menghasilkan apa-apa yang bisa menutupi gharizah dan haajaah
„udwiyyahnya. Dan sudah dima‟lumi tabiat tanah berbeda-beda dari satu
tempat dari tempat yang lain, berdasarkan subur atau tidaknya atau tempat
tersebut dekat dengan air atau jauh atau berdasarkan mudah tidaknya untuk
dimanfaatkan, bagaimana sumber daya alamnya dan lain sebagainya, hal
seperti ini kadang-kadang mansua bisa saling membunuh , akhirnya yang
kuat yang menang dana akan memimpin kepada yang lemah setelah
terjadinya pembunuhan atau pengusiran.
Hasil dari pergulatan seperti ini tinggallah yang kuat beserta keluarga dan
kelompoknya, maka mereka akan menyombongkan, individu-individunya
sampai beranak cucu, maka dia akan membentuk pergulatan yang baru agar
bisa memiliki bumi, dan begitu seterusnya, aktualita dari pergulatan seperti
ini tampak jelas pada zaman modern sekarang ini.
Seperti gharizah nau‟ sering mendorong anak turunnya menjaga
kelompoknya agar nau‟nya, maka akan berganti-ganti problema diantara
mereka, lalu mereka akan mengeluarkan dengan suatu aturan hubungan
mereka yang diarahkan pada bumi.
Hubungan mereka sekitar bumi, dijadikan baginya sebagai pemikiran-
pemikiran tentang bumi yaitu pemuliaan pada bumi, dan menganggap rizqi
datang dari bumi, karena begitu didapatkan pada mereka masyaa‟ir cinta
kepada bumi. Selain perbedaan kuat dan lemah dan gharizah dan haajaah
„udwiyyah didorong perbedaan pemikiran-pemikiran sebagian mereka, maka
mereka menyerang dan melanggar bumi lainnya dan merampasnya lalu
membunuhnya atau mengusirnya untuk mendapatkan bumi tersebut.
Aktifitas ini adalah adanya perbedaan mafahim tentang bumi. Serta
kontradiksinya pandangan mereka tentang bumi dan pandangan
kemaslahatan dari mereka, maka mereka memaksa meletakan nidhom untuk
menghukum kepada siapa yang menentang atau menyerang hak-hak yang
lain. Kemudian sebagian dari mereka bersepakan atas suatu nidhom tertentu
untuk membatasi aktifitas yang baik dan yang jelek, dan membatasi
hukuman orang yang melanggar karena menolak nidhom atau menahan hak
yang lain.
Jadi masyarakat berdasarkan susunan secara tabiat ada seperti berikut:
 Individu-individu yang hidup bersama (Al-Frood).
 Pemikiran-pemikiran untuk menghukumi hubungan antara individu (Al-
Afkaar).
 Rasa kolektif seperti kecenderungan pada al-asyya dan al-af‟aal atau
menahan darinya (Masyaa‟ir).
 Aturan yang ditetapkan pemikiran dan pengaturan hubungan-hubungan
(Nidhom)
 Dan susunan ini adalah susunan yang sifatnya tabiat sebagai hasil dari
khoosiyyah yang telah diciptakan Allah kepada individu, maka Allah
menjadikan mereka hidup secara berkelompok seperti suku dan bangsa,
Firman Allah :
“Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan dari seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” (QS. Al Hujuraat 13).
Suku adalah kumpulan manusia adapun bangsa adalah kumpulan
manusia yang di nasabkan pada satu orang.
Masyarakat itu ada dan hidup seperti individu, akan tetapi susunannya
berbeda dengan susunan individu, maka jika didapatkan susunan kumpulan
di dalam kelompok seperti diatas maka disebut masyarakat dan jika tidak
begitu, maka bukan masyarakat. Dan empat susunan itu adalah :
 Al-Afrood
 Al-Afkaar
 Al-Masyaa‟ir
 Al-andhimah/nidhom
Maka jika tidak didapatkan satu susunan yang empat tersebut maka sisa
liganya bukanlah masyarakat.

A. Masyarakat Modern

Perumpamaan seorang mu‟min di dalam cinta dan kasih sayangnya seperti


satu tubuh, jika mengeluh salah satu anggota tubuh, maka yang lain akan
merasakan demam dan panas. (Al-hadits)

Mujtama‟ mutamayyiz / masyarakat modern adalah bila terdapat


susunan afkaar, masyaa‟ir, afrood dan nidhom dari satu jenis, dan seperti itu
tidak akan bisa terealisir kecuali jika individunya berpegang kepada aqidah
asassiyyah yang satu yang akan cocok untuk membangun seluruh afkar yang
vital di dalam memenuhi gharizah afrood dan haajaah „udwiyyahnya, dan
untuk memecahkan problematika kehidupan umat yang dihadapinya.
Mujtama‟ Islami adalah bila sebagian besar individunya kaum muslimin,
yang memgang aqidah Islamiyyah. Dan afkaarnya dibangun untuk
menghukumi al-asyya dan al-af‟aal berasaskan aqidah ini, maka terbentuklah
baginya masyaa‟ir yang satu, sebagai hasil dari pandangan yang satu tentang
kehidupanmereka akan cenderung kepada yang halal dan berpaling dari yang
haram, dan menerapkan nidhom Islam di dalam hubungan mereka secara
totalitas, baik hubungan dengan tuhannya, dirinya dan lainya.
Maka mujtama‟ Islamy sebagian besar afroodnya adalah muslim, dan
afkaar serta masyaa‟ir individunya adalah Islamiyyah, dan nidhom yang
diaplikasikan juga nidhom Islam.
Muztama‟ Islamy itu ada hidup dalam satu jenis, Rasulullah mensifatinya
dalam sabdanya:
Perumpamaan seorang mu‟min di dalam cinta dan kasih sayangnya seperti
satu tubuh, jika mengeluh salah satu anggota tubuh, maka yang lain akan
merasakan demam dan panas. (Al-hadits)
Tidak akan mujtama‟ mutamayyiz kecuali jika aqidah yang dipeluk
individu-individunya adalah fikrah kulliyah tentang kaun, insan dan
kehidupan yang akan terpancar darinya afkar yang mengatur seluruh
hubungan internal individu dan mengatur hubungan eksternal dengan
masyarakat yang lain.
Dan tidak akan didapatkan aqidah asasiyyah ini kecuali di dalam mabda,
karena mabda adalah aqidah aqliyah yang terpancar darinya nidhom.
Dan mabda-mabda yang sekarang diterapkan di dunia adalah ada tiga :
 Mabda Islam
 Mabda Kapitalisme / liberalisme / sekularisme
 mabda komunisme / sosialisme
Maka mujtama‟ mutamayiz juga tiga, yaitu:
 mujtama‟ Islami
 mujtama‟ syuyu‟iyyah (komunisme)
 mujtama‟ ra-sumaali (kapitalisme)
Mujtama‟ Islami sekarang ini belum ada, karena bangsa Islam yang ada
sekarang menerapkan nidhom yang ghoiru Islam, maka ini juga bukan
mujtama‟ Islam, walaupun individunya muslim yang berpegang kepada
aqidah Islamiyyah, afkaar dan masyaa‟irnya juga Islami, akan tetapi
nidhomnya bukan nidhom islam, baik itu nidhom hukum, nidhom ekonomi,
nidhom uqubat dan muamalah.
Mujtama‟ kapitalis adalah mujtama‟ mutamayyiz, karena individunya
berpegang kepada Aqidah kapitalis, yaitu fashlu al din „ani al hayah
(memisahkan agama dari kehidupan), dan afkaarnya terpancar dari
aqidahnya itu, dan masyaa‟ir yang diarahkan ke al-asyya dan al-af‟aal adalah
bersatu keluar dari afkaar ini, dan nidhom yang diterapkan dalam pemecahan
problematikanya dari aqidah tadi, juga mereka bergaul dengan yang lain dari
negara atau bangsa juga terilhami dari aqidahnya tersebut.
Mujtama‟ mutamayyiz sebagian besar individunya percaya dan berpegang
teguh kepada mabdanya, yang diterapkan kepada dirinya dan disebarkan
kepada yang lainnya.

B. Al Mujtama’Ghoiru Mutamayyiz

Seperti yang telah diterangkan di atas, bahwa individu-individu


mempunyai syakhsiyyah mutamayyizah dan syakhsiyyah ghoiru
mutamayyizah, maka begitu juga mujtama‟, ada mujtama mutamayyiz dan
mujtama ghoiru mutamayyiz.
Mujtama‟ mutamayyiz seperti yang telah diuraikan di atas yakni muztama
yang bermabda, yang tersusun dari 4 bagian, al-afrood, al afkaar, al masyaa‟ir
dan al andhimah dari satu jenis atau dari jenis mabdanya itu.
Adapun mujtama‟ ghoiru mujtamayyiz adalah mujtama yang tersusun ari
4 susunan (al-afrood, al-afkaar, al masyaa‟ir dan al andhimah) bukan dari
satu jenis, sehingga jika berbeda satu saja dari susunan di atas atau tiga
sisanya, maka bukanlah mujtama‟ mutamayyiz, dan juga tidak bisa
disandarkan pada sesuatu yang lain, seperti negaranya, kaumnya, maka
dikatakan mujtama‟ Mesir atau mujtama‟ Arab, dan tidak dikatakan mujtama‟
Mesir atau Arab itu apakah termasuk mujtama‟ kapitalisme atau mujtama‟
komunisme. Hal ini berbeda degan mujtama Amerika yang bisa dikatakan
mujtama‟ kapitalis, atau mujtama‟ china adalah mujtama‟ komunis.
Mujtama‟ India misalnya, adalah mujtama‟ mutammayiz, mujtama‟
kapitalis atau komunis atau hindu atau budha, karena individunya tidak
berpegang pada suatu aqidah yang akan terpancar darinya afkaar atau
nidhom yang bisa mengatasi problematika umat manusianya, juga karena
tidak diterapkan nidhom yang diterapkan merupakan tarikan hubungan
kepada aqidah, afkaar dan masyaa‟ir individunya.
Maka unsur-unsur yang tersusun pada mujtama‟ india (afrood, afkaar,
masyaa‟ir dan nidhom) tidak dari jenis yang satu, dari mereka ada yang
muslim, budha, penyembah sapi, nasrani dan lainnya, serta afkaar mereka
semisal terhadap al-asyya dan al-af‟aal berbeda dibandingkan dengan afkaar
mereka yang terpancar dari aqidah, seperti ketika dijajah Inggris mereka
menerapkan nidhom kapitalis, jadi mujtama‟nya bukan dari satu jenis, dan
tidak ada satu warna tertentu, sehingga dikatakan mujtama‟ india adalah
mujtama‟ ghoiru mutamayyiz, tidak disandarkan pada satu mabda dari tiga
mabda yang ada di dunia.
C. HUBUNGAN UNSUR-UNSUR PEMBENTUK
MUJTAMA’

Sesungguhnya afkaar mujtama‟ jika menjadi mafahim, akan melahirkan


bagi pemiliknya masyaa'‟ir dari jenis pemikiran yang sama, maka mujtama‟
yang Islami misalnya yang anggota individunya memahami bahwa hukum
sholat adalah fardhu, akan berpengaruh padanya masya‟ir marah yang
ditujuakn kepada orang yang mempermainkan atau menghina hukum ini dan
berpengaruh baginya masya‟ir ridlo jika mendengar muadzin memanggil
untuk sholat, karena afkaar mereka tentang sholat sudah menjadi mafahim
dan jadilah muyulnya tampak pada mafahim ini sehingga dengan itu dituntut
pula seorang hakim untuk menjatuhkan hukuman penahanan bagi orang
yang meninggalkan sholat, dan dituntut pula untuk memperhatikan masjid-
masjid, karena nidhom yang diterapkan ada mujtama‟ dari jenis afkaar dan
mafahim yang dipegang dan didirikan oleh individunya, maka jadilah ada
penjagaan terhadap pelaksanaan nidhom ini (muhaafadhotu al aqiidah), dan
ada mata-mata/intel untuk menjaganya.
Adapun nidhom yang diterapkan pada mujtama‟ yang bukan merupakan
afkar dan mafahimnya, maka akan tampak berbeda masyaa‟irnya, sehingga
mereka tidak memperhatikan penerapan nidhom ini, bahkan akan
menggerutu, menyesal dan marah dan berusaha untuk merubahnya supaya
sama dengan mafahimnya dan berusaha menyelaraskan dengan
masyaa‟irnya.
Kadang-kadang masyarakat mengajarkan afkaar yang tidak bersumber
dari aqidahnya, sehingga afkar ini bagi anggota individunya jadi sebuah
ma‟lumat saja.
Maka mereka akan berpura-pura, ragu-ragu memalingkan, dan berusaha
melepaskan diri dari sela-sela hukumnya atas al-asyya dan al-af‟aal. Afkaar
tersebut tidak bisa naik sampai pada tingkat mafahim baginya, maka jadilah
masyaa‟irnya tidak berdasarkan afkaar tersebut, dan sekalipun jika ada
nidhom yang diterapkan kepada mereka dan disandarkan pada afkaar
ini, maka nidhom itu akan menghalangi mereka untuk bertindak berdasarkan
afkaarnya itu, sebab sudah berangkat dari keraguan dan pura-pura.
Dan dalam kondisi seperti ini terputuslah syakhsiyyah mujtama‟, maka
anggota individunya akan menyenangi berbagai perkara, dan condong pada
perkara tersebut akan tetapi mereka mengerjakannya yang berbeda dengan
muyulnya, itu semua karena tidak adanya ikatan pada mereka antara afkaar
yang mereka terima, dan antara masyaa‟irnya yang disandarkan pada aqidah
yang mereka pegang.
Maka seorang muslim di dalam mujtama‟ seperti ini akan menempuh
keharaman seperti riba, minum khamr dan dalam waktu bersamaan
menggemborkan bahwa siapa minum khamr berarti telah menempuh haram,
dan berusaha mendapatkan kebaikan dalam melaksanakan al-af‟aal ini
(melarang minum khamr), dan ironisnya mereka juga senang mendengar
adzan dan pembacaan Al-Qur‟an dan tersisa dalam dirinya masyaa‟ir ruhiyah,
akan tetapi dia tidak sholat dan tidak membaca al-Qur‟an.
Terputusnya ini di dalam syakhsiyyah mujtama adalah penyakit yang
berbahaya, yang akan menghentikan penerus yang datang kemudian, di
dalam membangkitkan dan meninggikan mujtama‟ akan terjadi kesulitan
yang dihadapi oleh generasi yang menginginkan perubahan kepada mujtama‟
mutamayyiz.

D. PERUBAHAN MUJTAMA’

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaaan suatu kaum kecuali kaum


itu sendiri yang mau merubahnya .”(QS. Ar Rad 11).
Sesungguhnya mafahim itu sebagai parameter suluk seseorang, maka jika
kita menginginkan merubah suluk seseorang maka kita harus merubah
mafahim kehidupannya (pandangan hidup) dan dengan ini akan menjadikan
orang itu mempunyai syakhsiyyah mutamayyiz, yang disandarkan tafkir dan
muyulnya pada qaadiah fikriyyah asasiyyah yang terpancar darinya suatu
nidhom untuk memenuhi gharizah dan haajaah‟udwiyyah.
Sedangkan pengubahan masyarakat diperlukan pengubahan unsur-unsur
yang menyusun masyarakat yaitu (afrood, afkaar, masyaa‟ir dan nidhom).
Adapun susunan individu dan khosiyyah fitriyyahnya, tiada seorangpun
mempunyai hak untuk merubahnya atau menentukannya, akan yang
dimungkinkan untuk dirubah adalah aqidah syakhsiyyah individu karena dua
hal ini termasuk dalam lingkup kemampuan manusia.
Begitu juga pemikiran-pemikiran masyarakat yang digunakan utnuk
menghukumi al-asyya dan al-af‟aal dimungkinkan untuk dirubah dengan cara
diajak berdiskusi tentang pemikirannya setelah puas dengan pembahasan
aqidah yang sebagai sumber pemikirannya, maka diikuti dengan perubahan
afrood, masyaa‟ir, nidhom.
Dan perubahan harus menuju yang terbaik oleh sebab itu hendaklah
pengemban perubahan sementara berusaha merubah mujtama‟ ghoiru
mutamayyiz ghoiru nahidl (mayarakat yang tidak modern dan tidak bangkit),
menuju mujtama‟ mutamayyiz nahidl (masyarakat modern dan bangkit).
Kondisi sekarang tidak terdapat mujtama‟ mutamayyiz nahidl, kecuali dua
mujtama‟ yakni mujtama‟ kapitalisme dan komunisme, adapun selain dari
dua mujtama‟ ini adalah mujtama yang tidak bangkit dan tidak modern.
Sungguh sangat sulit untuk merubah menuju masyarakat modern yang
bangkit dari intern, menuju masyarakat modern yang bangkit dari jenis lain,
seperti merubah masyarakat kapitalis menuju masyarakat komunis, atau
menuju masyarakat yang tidak modern, seperti ini tidak mustahil kita
merubahnya, sehingga setiap pengemban da‟wah harus memusnahkan kata
tidak mungkin dalam setiap gerak langkahnya, sebab tiada sesuatupun yang
mustahil bagi Allah.
Ternyata terbukti efektif untuk merubah masyarakat, baik yang modern
maupun yang tidak modern dari ekstern dengan kekuatan militer dan
qiyaadah fikriyyah, kecuali merubah masyarakat yang tidak modern dari
internnya dimungkinkan lebih mudah, hal ini karena sifat masyarakat yang
tidak modern, sepert tidak adanya konsistensi dan ketentuan, disebabkan
kemundurannya dan tidak adanya kemungkinan individu-individu di dalam
masyarakat memenuhi gharizah dan haajaah „udwiyyahnya secara benar.

E. CARA MERUBAH

Sesungguhnya masyarakat yang tersusun dari 4 unsur, menyamai seperti


gelas tipis yang penuh berisi zat cair, al-afraad atau individu-individu yang
ada pada masyarakat sebagai gelas kacanya, sedangkan afkaar, masyaa‟ir
dan nidhom sebagai zat cair.
Gelas itu akan terlihat bagaimana warnanya sesuai dengan warna zat cair
yang ada dalam gelas. Perubahan masyarakat tidak dimaksudkan merubah
warna zat cair yang ada di dalam gelas dengan mencampurkan warna celupan
tertentu ke dalam zat cair itu akan tetapi maksud perubahan adalah
menumpahkan zat cair yang ada di dalam gelas seluruhnya, kemudian
dituangkan zat cair baru yang dikehendaki ke dalam gelas tersebut.
Begitulah perubahan masyarakat dengan perubahan totalitas sampai
akar-akarnya maka berubahlah warna masyarakat, karena afkaar dan
masyaa‟ir dan nidhom bagi kelompok masyarakat itu adalah yang membatasi
macam dari masyarakat dan warna masyarakat.
Maka jikalau kita menginginkan mengubah masyarakat yang tidak
modern menuju masyarakat modern dan bangkit, prinsip pertama yang harus
kita mulai adalah menumpahkan zat cair yang ada di dalam gelas dan itu
maksudnya adalah dengan memberi keterangan yang bisa memuaskan dan
memahamkan mereka tentang kelemahan, tidak benar dan tidak ada
maslahatnya afkaar, masyaa‟ir dan nidhom yang ada atau yang mereka
gunakan sekarang ini. Lalu menumpahkan zat cair baru pada tempat dimana
zat cair yang telah ditumpahkan tadi, maksudnya memberikan kepuasan
keterangan kepada individu-individu dengan afkaar, masyaa‟ir dan nidhom
yang baru yang seperti kita kehendaki untuk diterapkan pada masyarakat.
Setiap mabda mempunyai thoriqah untuk mengubah masyarakat seperti
kapitalis thoriqah adalah penjajahan, baik fisik, ekonomi, politik, dan lainnya.
Sedangkan komunis thoriqohnya adalah menciptakan gap atau jurang
kontradiksi (biasanya antara proletar dan borjuis), dan Islam thoriqahnya
adalah Al-jihad yakni mengemban aqidah Islamiyyah kepada manusia dalam
bentuk pengupasan dan penghancuran pembatas-pembatas maadiyyah yang
membelit mereka, Sabda Nabi SAW:
Saya diutus untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan
Lailaahaillallah Muhammadurrasulullah, maka jika mereka telah mengucapkan
kalimat itu berarti mereka telah saya lindungi dan haram darah dan hartanya
dengan hak.(Al Hadits).
Dan Thariqoh-thariqah perubahan ini digunakan sebelum pemilik tiga
mabda pada waktu adanya daulah sebagai mabda, dan ini tampak jelas
ketika kemenangan Islam setelah pendirian daulah Islamiyyah di madinah,
dan juga tampak ketiak perang dunia I dan perang dunia II yang dinisbatkan
perang mabda kapitalis dan mabda komunis, dimana mereka mengadakan
perjanjian dunia setelah peperangan dahsyat melawan daulah Utsmaniyah
dan melawan Jerman serta Italia.
Adapun ketika hilangnya daulah yang diemban sebagai mabda, maka
disini mulai ada perbedaan thariqah untuk mendapatkan mabda lagi dalam
kehidupan, dalam rangka eksistensi daulah, yakni bagaimana mewujudkan
kembali mabda dalam dalam kehidupan dan menciptakan masyarakat
modern yang mengemban mabda.
Sesungguhnya mabda ditinjau dari aspek pembinaannya yaitu dari aqidah
aqliyyah yang akan terpancar darinya nidhom dimana nidhom yang terpancar
dari aqidah sebagai tumbuhnya batang dari biji. Dan mabda dari aspek
pelaksanaannya haruslah adanya satu jenis fikroh dan thoriqah
Fikroh mencakup aqidah dan bagian dari nidhom, yaitu mu‟aalajah
(problem solving). Thariqah adalah bagian lain dari nidhom (sistem) dan
mencakup cara mengemban mabda, dan cara memeliharanya serta cara
pelaksanaan problem solving.
Barang siapa hendak merubah suatu masyarakat menuju masyarakat
modern berasaskan mabda tertentu agar bisa meletakan thoriqah pada ikatan
yang tepat bilamana menghadapi kesulitan dan penipuan karena thoriqoh
adalah bagian yang tidak terpisahkan dari mabda.
Dan thoriqah perubahan menurut Islam adalah dengan mencontoh
Rasululah SAW.
Allah telah mengutus beliau mulai pertama kepada masyarakat Makkah
jahiliyyah, maka Rasul melakukan thoriqoh seperti apa yang telah digariskan
kepada beliau, dan thoriqah ini telah berjalan dengan tiga tahapan:

Tahap Pertama:
Tahap Pembentukan Syaksiyyah Dengan Durus Dan Ta’lim

Setelah Rasul menerima risalah dari Allah memulai bertabligh menurut


apa yang telah diwahyukan Allah kepadanya ditujukan kepada orang-orang
terdekatnya, seperti Isteri Khadijah, Shahabatnya Abu Bakar dan anak
pamannya yaitu Ali bin Abi Thalib serta lainnya. Dan Rasul menjadikan
mereka memiliki syakhsiyyah Islamiyyah, aqidah Islamiyyah sandaran tafkir
dan muyulnya, dimana awal diturunkan wahyu berisi pemikiran tentang
aqidah ini, seperti iman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-Nya, Rasul-Nya,
hari Akhir, dan pemilik aqidah ini mengingatkan kejelekan terhadap
penyembahan berhala, mempercayai dukun dan tukang sihir, hal ini terlihat
jelas ketika Rasul ditanya pamannya Abu Thalib suatu hari “ Apakah ini
sebuah agama yang menunjukan kepada kamu sebagai suatu agama?”,
Berkata Rasul: Wahai pamanku ini adalah agama Allah, Malaikat dan rasul-
rasul-Nya serta agama moyang kita Ibrahim As, Allah menjadikan saya
sebagai utusannya kepada hamba-hamba-Nya dan engkau wahai pamanku
adalah yang lebih berhak untuk mengorbankan kepada agama ini dengan
memberikan nasihat kepada orang lain, menda‟wahkan agama ini kepada
orang lain agar menerima petunjuk serta yang lebih berhak menerima agama
ini dan menolong saya dalam menyebarkan agama ini”, Maka Abu Thalib
menjawab: “Wahai Muhammad, saya tidak bisa memisahkan agama nenek
moyang kita dan apa-apa yang ditinggalkannya, akan tetapi demi Allah saya
tidak rela terhadap sesuatu yang itu kamu benci datang kepadamu.
Maksud dari agama disini adalah aqidah saja, karena agama dalam hadits
ini disandarkan kepada Malaikat, Rasul dan Ibrahim, karena jelas syari‟ yang
dahulu sebelum Rasulullah saw bukanlah syari‟at Islamiyyah bila
dinisbathkan kepada nidhom maka maksud dengan agama pada hadits ini
adalah aqidah saja, karena aqidah yang dituntut untuk diimani pada hadits
ini untuk seluruh agama-agama yang satu (maksudnya) dari Allah saja yaitu
tidak terbilang yakni mengimani satu agama yang diturunkan oleh Allah Iman
dengan realitas keimanan yang pasti dengan adanya dalil, maka otak tidak
bisa berfikir bahwa sesuatu itu adalah sekaligus tidak ada dalam waktu
bersamaan.
Rasul memulai da‟wahnya dengan sembunyi-sembunyi, rasul mengajak
untuk membentuk dan mengajarkan kepada orang sudah beriman seperti
Abu Bakar, Jafar, dan Abi Ubaidah, Umar bin Khathtab, Bilal bin Rabah,
kepada Islam agar mempunyai syakhsiyyah modern, untuk mengemban
da‟wah bersama Rasulullah, dan mereka itulah yang nantinya mengemban
da‟wah setelah berdirinya daulah islamiyyah.
Rasulullah yang memindahkan atau mengajarkan wahyu yang diterima
dari Allah, dengan metode penyampaian da‟wah menggunakan pendekatan
pemikiran, yang nanti bisa memantapkan suluknya dan bisa memperkuat
shilahbillah dan membuat mereka semakin mantap dengan agama yang baru.

Tahap Kedua:
Tahap Tafaa’ul / Interaksi

Dari apa yang dijadikan thariqah Rasul dan Thariqah para shahabat yang
memang lain dari kebiasaan masyarakat jahiliyah pada waktu itu kemudian
dikenal oleh masyarakat Makkah dengan agama baru, maka mulailah
individu-individu dari masyarakat Makkah baik laki-laki maupun peempuan
masuk Islam secara berbondong-bondong, hingga tersebar di Makkah,
sehingga semakin banyak orang-orang Makkah membicarakan agama ini lalu
Allah menurunkan Wahyu:
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang
diperitahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” (QS. Al
Hijr 94).
Dan Allah menurunkan ayat:
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat dan
rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-
orang yang beriman.” (QS.Asy syu’araa 214-215).
Dan mulailah Rasulullah berda‟wah dengan terang-terangan serta
memulai al-kifaah al-siyaasi (interaksi politik), dan menjelaskan kelemahan
menyembah Tuhan-tuhan orang Quraisy dan menunjukan kebodohan
pemikiran mereka, serta mengingatkan bahwa aktifitas mereka adalah jelek.
Maka para pemimpin quraisy mendatangi paman Rasul SAW Abu Thalib
untuk mengadu, agar kemenakannya itu menghentikan da‟wahnya, dan
ketika Abu Thalib mengemukakan pendapat dari pemimpin Quraisy kepada
Rasul SAW beliau menjawab:”Wahai pamanku, demi Allah jikalau mereka
meletakan matahari pada tangan kananku dan bulan pada tangan kiriku,
untuk meninggalkan agama ini, saya tidak akan meninggalkannya, sampai
Allah akan menunjukan kemenangan agama ini atau menghancurkannya”.
Sikap yang teguh hati dan mantap ini menjadikan Abu Thalib berkata
kepada Muhammad : “Pergilah dan laksanakanlah hai anak saudaraku
(Muhammad) dan katakanlah apa yang kamu senangi (berda‟wahlah
sekehenadakmu) maka aku akan menjagamu dari gangguan sesuatu selama
aku hidup”.
Orang Quraisy berusaha dengan beragam cara untuk menghentikan
da‟wah dari agama baru ini, maka dia mencoba dengan metode politis, Walid
bin mughiroh menyebarkan berita bahwa muhammad itu penyihir, dan yang
lebih parah lagi dengan cara memisahkan anak, saudara, isteri dan karib
kerabat yang masuk Islam atau memasang jerat bagi orang muslim yang
masuk ke daerah Makkah ketika Musim Haji.
Tetapi da‟wah Islam dengan pengemban da‟wah yang tangguh dan
pantang menyerah tetap menyebar ke daerah arab, Bahkan Rasulullah
walaupun dilempari dengan berbagai macam kejelekan seperti tukang sihir,
orang gila pembual dan lainnya tidak pernah mundur. Pada suatu saat orang
musyrikin bertanya kepada nabi: “Apakah kamu yang mengatakan ini dan itu
kepada sesembahan kami dan agama kami? Rasul menjawab: “Betul saya
yang mengatakan itu”. Maka dengan marah orang musyrik itu bergerak mau
membunuh Nabi, dengan sigap Abu Bakar menghalanginya dan berkata:
“Apakah kamu akan membunuh seseorang yang mengatakan tuhanku adalah
Allah?”
Cara lain juga digunakan digunakan untuk membujuk nabi, disodorkan
kepada nabi kemulian , kerajaan dan harta kekayaan, tetapi Rasul tidak
memberi respon kepada iming-iming mereka.
Juga nabi diuji mereka dengan perintah agar Allah membuatkan sungai
seperti sungai Syam dan Iraq dan menghidupkan nenek moyangnya yang
telah mati , membuatkan sebuah istana agar Allah memberikan rizqi mereka
harta emas dan perak yang diturunkan dari langit, mak jawab Rasul:” Aku
diutus bukan untuk urusan seperti yang kamu minta , akan tetapi aku diutus
untuk menyampaikan risalah ini kepada kamu sekalian, maka jika kamu
menerima ini maka berarti inilah keuntunganmu di dunia dan di akhirat ,
akan tetapi jika kamu menolak , kita tunggu saja sampai Allah mengadili kita
semua.”
Kemudian mereka berusaha memalingkan manusia dari Islam dan dari
Muhammad, Serta dari membaca dan mendengar AlQur‟an dengan cara
menyuruh Nadhor bin Harits sebagai seorang pendongeng ulung untuk
mendongengkan tentang cerita-cerita raja-raja persi, akan tetapi semua tipu
daya, semua kesulitan dan semua gangguan dan teror tidak menggoyahkan
hikmah Rasul SAW.
Pada waktu kabilah-kabilah Makkah takut kepada Abu Yhalib bani
hasyim dan bani abdi manaf, mereka tidak terlalu menyakiti Rasul, akan
tetapi mereka menyakiti orang-orang muslim yang lemah dan yang ada pada
kabilah mereka, dengan siksaan dan pukulan tidak memberi makan dan
minum untuk memalingkan mereka dari agamanya, dari pedihnya siksaan
ada diantara mereka yang tidak kuat sehingga berpaling, juga ada yang kuat
dan teguh hingga akhirnya mati, maka melihat kondisi seperti ini Rasul
berkata kepada mereka: “ Jikalau anda sekalian masuk ke bumi Habasyah,
disana ada raja yang tidak mendholimi seorangpun dan itulah bumi yang
baik, hingga disana Allah akan memberikan kepada anda kegembiraan dan
kelonggaran”. Maka itulah hijrah pertama kaum muslimin.
Akan tetapi ternyata hingga hijrahpun kaum musyrikin Makkah
mendengar hal ini, karena hasad yang tidak pernah hilang untuk mematikan
da‟wah Islam, mereka mengejar kaum muslimin dengan mendatangi rajanya,
akan tetapi raja Najasy menolak dan menyelamatkan kaum muslimin.
Melihat kondisi kaum muslimin yang aman di daerah raja Najasi, dan
banyak kaum dari kabilah mereka yang masuk Islam, ditambah dengan
masuk Islamnya Umar bin Khoththab dan Hamzah 2 pendekar Quraisy yang
gagah berani, maka mereka bersepakat untuk melarang tiap orang dari
kabilahnya menikah atau menikahkan dengan bani hasyim dan bani Abdul
Muthalib juga mengadakan embargo ekonomi dengan melarang jual-beli dan
aktifitas lain yang berhubungan dengan kebutuhan sehari-hari , itu semua
diarahkan agar Rasul kosong dari perlindungan maupun pengikut.
Sesudah berusaha menentang sekuat tenaga seperti diatas tidak berhasil,
mereka mengeluarkan ide kerjasama saling bergantian beribadah, maka
turunlah ayat:
“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang
kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku
tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.Dan kamu tidak
pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah . Untukmulah
agamamu dan untukkulah agamaku.” (QS. AL Kaafiruun 1-6).
Rasulullah beserta para shahabat tetap mengadakan interaksi siyasi
untuk mengadakan perubahan tanpa henti-hentinya menghadapi penipuan
dan kesulitan dan semua dianggap sebagai tantanganda‟wah yang tidak
menghilangkan „azamnya untuk tetap berjuang.

Tahap Ketiga:
Penegakkan Daulah Dan Pemberlakuan Hukum

Rasulullah SAW masih berinteraksi dengan kaum Quraisy dengan


interaksi yang sifatnya politis, membuka kebatilan apa yang mereka peluk,
dan keburukan aktifitasnya serta menerangka kebenaran yang diturunkan
Allah berupa al-Qur‟an sebagai mu‟jizat.
Kebenaran Islam ini tidak begitu saja diterima oleh mereka, karena
masyarakat Makkah sudah terlalu kental dengan pemikiran kufur, juga
dikarenakan keras kepalanya pemimpin-pemimpin mereka dan
kesombongannya. Maka Rasul meminta pertolongan (Thalabun Nushrah)
untuk melindungi da‟wah dan rencana pendirian daulah kepada kabilah-
kabilah lain yang ada di Makkah dan orang yang pergi ke Makkah pada
musim haji, sampai Allah menyiapkan tempat da‟wah ini di Madinah Al
Munawarah, yang penduduknya menerima islam dan memberikan
pertolongan kepada Rasul SAW pada bai‟ah „aqobah kedua. Kemudian Rasul
dan Shahabatnya hijrah ke madinah dan mendirikan Daulah Islamiyyah.
Tiga tahapan ini berlaku untuk da‟wah Islamiyyah di dalam menciptakan
masyarakat Islam modern, hal ini adalah thoriqah syar‟iyyah dalam memulai
kehidupan yang Islami, tidak boleh ditinggalkannya. Maka seorang
pengemban da‟wah yang ingin mengubah masyarakat berdasar asas Islam
wajib baginya faham dengan baik.
Rasul adalah seorang individu di dalam masyarakat Makkah, oleh Allah
diberikan kepadanya penghayatan totalitas terhadap Islam, dengan kata lain
Islam telah menjasad dalam dirinya baik fikroh maupun thoriqahnya, maka
jadilah beliau seorang yang mempunyai jenis pemikiran yang bersih dan suci
dan nampaklah thoriqahnya jelas dan lurus.
Sehingga seseorang yang mempunyai syakhsiyyah modern ini, tidak akan
tinggal diam untuk selalu bergerak dan mempengaruhi bagian-bagian lain
dari apa yang ada disekitarnya dari masyarakat, yakni pemilik syakhsiyyah
modern ini bergerak untuk menciptakan masyarakat tersebut memiliki
syakhsiyyah modern. Maka haruslah terbentuk di dalam kelompoknya sebuah
kutlah (group) yang tersusun dari satu jaringan.
Penopang kutlah tersebut adalah manusia, fikroh, thoriqoh, yang akan
bergerak dalam kutlah tersebut bila ada yang sakit, dan akan segerak akan
dideteksi rahasia penyakitnya, kemudian digunakan obat yang manjur yang
telah diberikan Allah Tuhan Semesta Alam maka kutlah tersebut akan
menyuntikannya kemudian akan terjadi reaksi intern dalam jaringan-jaringan
dan sel-sel antara obat dan akar penyakit dengan terus berjalannya obat yang
manjur dan kuat akan melemahkan akar penyakit. Kemudian akan lenyaplah
penyakit itu hal ini ibarat tubuh dengan obat yang akan mengalir dalam
darah kehidupan , begitu juga akan terjadi di dalam kutlah sebuah
keselarasan antara pengemban perubahan dengan peletak nidhom mabda
yang bersumber pada aqidahnya pada saat pelaksanaannya , yang akan bisa
menjadikan masyarakat modern yang bangkit, dan masyarakt berikutnya
akan melakukan untuk memperoleh kesamaan ide antara peletak nidhom dan
masyarakatagar kekuatan masyarakat berpindah dengan bercampurnya
kepada kutlah, dan dengan begitu akan meliputi kesehatan yang sebenarnya
secara totalitas , sehingga tersingkaplah penyakit-penyakit yang ada dan
berguguranlah akar-akar penyakitnya dalam aliran darah yang panas.
Dan bagi pengemban di dalam kutlah hendaklah menentukan dan
membedakan serta mendiagnosis penyakit-penyakit masyarakat pada tempat
perubahan secara teliti.
Hal itu dengan cara mengetahui setiap apa yang ada dalam afrodd,
afkaar, masyaa‟ir dan nidhom serta apa-apa yang ada di dalam gerakan-
gerakan intern dan pengaruh-pengaruh ekstern kemudian mengkaji mabda
yang akan digunakan untuk perubahan dengan studi luas dan dalam lalu
dilanjutkan dengan membangun apa yang seharusnya bagi mereka untuk
perubahan seperti kutlah (kelompok) , dan hendaklah menjauhkan diri
membangun sesuatu yang tidak dibutuhkan ditengah berjalannya perubahan
walaupun mereka menuntut hukum yang merupakan kelaziman hidup bagi
manusia.
Pengemban perubahan hendaklah yakin dengan kebaikan thariqah dan
fikrohnya dengan keyakinan yang tidak akan terlintas padanya keraguan dan
kebimbangan dan hendaknya tidak berpengaruh dalam cita-citanya kesulitan-
kesulitan yang dihadapinya, dan haruslah sabar disebabkan lama dan
panjangnya thariqah yang harus ditempuh, sehingga seperti apa yang
difirmankan Allah :
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum
datang padamu (bobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum
kamu? Mereka di timpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan
(dengan macam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang
yang beriman bersamanya: “ bilakah datangnya pertolongan Allah?‟ Ingatlah
sesungguhnya pertolongan Allah sangat dekat.” (QS. Al Baqarah 214).
“Diantara orang-orang mu‟min itu ada orang yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepda Allah; Maka diantara mereka ada yang gugur. Dan
diantara mereka ada yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak
merubah janjinya.” (QS. Al Ahzab 23)
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu
dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sesungguhnya akan
menjadikan mereka kholifah di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-
orang sebelum mereka berkuasa dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi
mereka agama yang telah diridloi-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan
menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman
sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu
apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu,
maka mereka itu orang-orang yang fasiq.” (QS. An Nuur 55).

Miqdad Ash Shiddiq Al Sundii


Nurizzah Umair As Sidiq Al Sundawi
Diketik ulang Dzulhijjah 1420 H

You might also like