Professional Documents
Culture Documents
com
ebook gratis – animasi gratis – mp3 arabic gratis – software gratis – islam video gratis – islam galeri gratis
– edukasi games gratis – tips/tutorial computer gratis – 3D wallpaper gratis – info bisnis online
BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM
MUQODIMAH
RUH
KHAASHIYATUL AL-INSAN
( POTENSI MANUSIA )
Al-Gharizah ( Naluri )
Naluri adalah salah satu potensi yang ada pada diri manusia, yang
mampu mendorongnya bertendensi pada al-asyya dan al-a‟maal, atau punya
tendensitas untuk menahan dari al-asyya dan al-a‟maal. Semua itu mengacu
kepada pemenuhan semua perkara yang terdapat dalam diri manusia.
Para pembahas dan para pakar telah berbeda pendapat tentang kuantitas
gharizah-gharizah ini, sebab perbedaan ini dikembalikan atas
ketidakmampuan indera dalam menjangkau realitas naluri ini, dan tiadanya
kemampuan akal untuk memikirkan realitas ini secara langsung.
Para pakar dan pembahas menyatakan bahwa madhohir dari gharizah-
gharizah ini beragam, dan kesimpulannya jumlah naluri itu banyak, seperti
gharizah al-khauf (naluri takut), gharizatu al-maili al-jinsi ( instink senang
lawan jenis ), gharizah al-tamalluk (naluri ingin memiliki, sense of belonging ),
gharizah al-taqdis (naluri beragama), dan gharizah hubbi al-istithla (pamer,
suka menampakkan sesuatu) dan lain-lainnya.
Setelah faham madhohir dari naluri di atas, dapat dimengerti madhohir
tersebut bisa diklasifikasikan di dalam tiga kelompok, dan tiap kelompok
mengacu kepada satu gharizah.
Jenis pertama dari tiga kelompok gharizah adalah madhohir /
penampakan khauf, hubbu al-tamalluk, hubbu al-istithla‟, hubbu al-wathan
(cinta negeri), hubbu al-qaum (bangsa, kaum), hubbu al-siyadah (cinta
kemuliaan), hubbu al-saitaroh (cinta kepada kekuasaan), dan lain
sebagainnya. Semua di atas dikembalikan kepada satu gharizah yakni
gharizah baqa, sebab seluruh penampakan ini mengantarkan kepada
perbuatan-perbuatan yang membantu baqa (langgengnya) manusia yaitu diri
pribadinya.
Adapun jenis kedua dari madhohir ini adalah: al-mailu al-jinsi (senang
lawan jenis), al -umuumah (keibuan), al-abuwwah (kebapakan), hubbu al-bana
(cinta kepada anak), al-„athfi „ala al-insan (kasih sayang kepada sesama
manusia), kecendrungan untuk menolong orang yang membutuhkan
pertolongan dan lain sebagainya. Semua itu di atas dikembalikan kepada
gharizah Nau‟. Sebab semua penampakan di atas mengantarkan kepada
perbuatan-perbuatan baqa al-nau‟ (kelanggengan jenisnya).
Sedangkan yang ketiga dari madhohir ini adalah al-mailu li al-ihtirom al-
abthol (kecendrungan untuk menghormati pahlawan), al-mailu li‟ibaadatillah
(kecendrungan untuk ibadah kepada Allah), perasaan kurang dan lemah dan
membutuhkan serta lain sebagainya dikembalikan kepada gharizah tadayyun
sebab penampakan di atas mendorong manusia untuk membahas, mencari
kepada al-Khaliq yang kuasa dan sempurna, tidak menyandarkan wujud-Nya
kepada orang lain dan makhluklah yang bersandar kepada sang Pencipta.
Adapun naluri adalah suatu khaasiyah yang fitri dan ada di dalam diri
manusia yang berguna untuk memelihara kepada baqanya dan untuk
menjaga kepada nau‟nya juga untuk memahami wujud dari Khaliq. Naluri ini
tidak bisa diketahui oleh indera secara langsung, akan tetapi bisa di jangkau
oleh akal lewat indikasi madhohirnya.
Allah telah menciptakan khasiat-khasiat dan mengilhamkan
penggunaannya kepada manusia ataupun hewan, Allah berfirman kepada
lisan Musa di dalam menghindari dan menolak keganasan Fira‟un, firman
Allah:
“Berkata Musa: “ Tuhan kami ialah Tuhan yang telah memberikan kepada
tiap-tiap sesuatu bentuk kejadian-Nya, kemudian memberikan petunjuk.”(QS.
Thaahaa 50)
Yakni Allah meletakkan pada tiap sesuatu sebuah khasiat, dan
memberinya petunjuk melalui khasiat ini, di dalam melakukan aktifitas untuk
memenuhi rasa ketidakcukupan dan kekurangan oleh gharizah dan haajaah
„udwiyahnya. Sebagian ulama telah menafsirkan ayat di atas demikian:
sesungguhnya Allah telah menciptakan setiap sesuatu terdiri dari jenis jantan
dan betina dan Allah mengilhamkan cara perkawinannya, maka selanjutnya
sebagian ulama tersebut menafsirkan kata kholqohu dengan penafsiran
kemiripannya di dalam penciptaan.
Adapun makna yang awal adalah lebih „aam (umum) dan lafadz-lafadz
nash mencakup segala kholqohu, ini adalah lebih sahih sebab ayat tersebut
redaksinya berbunyi kullu syaiin adalah „aam yang mencakup segala macam
makhluk. Firman Allah:
“Dan Tuhannu mewahyukan kepada lebah:” Buatlah sarang-sarang di
bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan ditempat-tempat yang dibuat oleh
manusia.”(QS. An Nahl 68)
Yakni Allah telah memberi dan mengilhamkan kepada lebah khasiat
untuk membangun sarang di gunung, pohon dan rumah. Dan Allah telah
mengisyaratkan sebagian madhohir gharaiz ini, firman-Nya:
Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah
menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebagian dari apa yang telah
Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami sendiri, lalu mereka menguasainya?”
(QS. Yaa Siin 71).
Maka Allah menciptakan segala sesuatu bagi manusia, salah satunya
adalah binatang untuk dimilikinya sebagai pemuas hubbu al-tamalluknya,
sebagai penampakan gharizah baqa. Firman Allah yang ditujukan kepada nabi
Ibrahim AS:
“Berfiman Allah: sesungguhnya Aku akan menjadikan kamu imam bagi
seluruh manusia. Ibrahim berkata: (Dan saya mohon juga) dari keturunanku.
Allah berfirman: JanjiKu (ini) tidak mengenai orang yang dholim.”(QS. Al
Baqarah 124).
Dari ayat ini terlihat Ibrahim cinta kepada keturunannya dengan
memohon kepada Allah agar keturunannya juga dijadikan Imam manusia,
apa yang dilakukan Ibrahim adalah penampakan dari gharizah nau‟. Hal ini
adalah untuk memnuhi gharizah nau‟ yang telah Allah fitrahkan kepada
manusia, dan terbukti Allah mengabulkan doa Ibrahim, banyak keturunannya
yang dijadikan Rasul-Rasul tetapi Allah juga menolak dengan Firman-Nya : „
Janjiku ini tidak mengenai orang-orang yang dhalim.” (QS.Al Baqarah 124)
Firman Allah diatas menegaskan kepada Ibrahim bahwa imamah
diberikan kepada keturunannya yang shalih, dan janji tersebut tidak
mencakup kepada keturunan Ibrahim yang dhalim. Firman Allah:
“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu)
dengan Yusuf dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu
andaikata ia tidak melihat tanda (dari) Tuhan-Nya. Demikian agar Kami
memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf
termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf 24).
Maka kecenderungan suka kepada lawan jenis adalah penampakan
gharizah nau‟, yang juga pada isteri Raja Mesir dengan menyukai Yusuf, dan
hal ini adalah untuk memenuhi gharizah nau‟nya.
Penampakan ini juga terdapat pada Yusuf, akan tetapi Yusuf tidak
melakukan perbuatan tersebut dengan berpaling dari ajakan isteri Raja Mesir,
sebab Allah telah memperlihatkan kepada Yusuf apa yang bisa mencegahnya
dari keinginan dengan wanita itu. Maka kata “laula” pada firman Allah diatas
berfungsi sebagai sekat dan alat pencegah adanya perbuatan kekejian, Yusuf
telah menahan dari “keinginan” dengan Isteri Raja Mesir disebabkan telah
melihat sinyal yang berupa “tanda” dari Allah, sehingga makna ayat diatas
sebagai berikut, seandainya Yusuf tidak melihat tanda dari Tuhannya, maka
ia akan “berkehendak” dengan isteri Raja Mesir sebagai hasil dari al-mailu al-
junsinya kepada wanita tersebut, akan tetapi Yusuf tidak berkehendak kepada
wanita isteri Raja Mesir, sebab ia melihat tanda dari Allah yang
menghalanginya dari perbuatan keji dan munkar.
Firman Allah :
“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon
(pertolongan) kepada Tuhannya, dengan kembali kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar
8 ).
Firman-Nya lagi :
“Sesungguhnya kami takut akan (adzab) Tuhan kami pada suatu hari yang
(hari itu) orang-orang bermuka asam penuh kesulitan.”(QS. Al-Insaan 10).
Maka kembali kepada Allah dan takut siksa-Nya adalah penampakan dari
gharizah tadayyun.
Tiga naluri di atas ada pada setiap manusia, dan tidak mungkin diganti
dan tidak mungkin disilangkan atau didistribusikan dari manusia satu ke
manusia lainnya, tetapi dimungkinkan sebagian penampakan dari salah satu
naluri terhimpun dan bertempat salah satunya pada posisi yang lain. Maka
dimungkinkan hubbu al-zaujah (cinta isteri) menempati tempat hubbu al-um
(cinta kepada ibu), hubbu al-siyaadah menempati tempat hubbu al-tamalluk,
dan taqdiisul al-basyar (pengutusan manusia) dan tasdiisul al-asnaam
(pemujaan pada patung) menempati tempat ibadah kepada Allah.
Akan tetapi tidak mungkin menghapus dan memutus tiga naluri di atas
dari manusia, sebab gharizah adalah bagian dari esensi manusia. Sedangkan
penampakan dari gharizah bukanlah bagian dari esensi manusia.
Adapun bagaimana manusia mengetahui penisbatan penampakan ke
gharizah, maka sesungguhnya hal itu adalah dengan mempelajari realitas dari
penampakan (madhhar), maka jika madhhar condong atau menahan yang
menghasilkan perbuatan untuk membantu baqanya dzat manusia , maka
madhhar seperti itu dinisbatkan kepada gharizah baqa seperti takut, kikir
berani dan sebagainya. Maka jika madhhar menghasilkan perbuatan yang
membantu baqanya al-nau‟ al insaaniy maka madhhar ini dinisbatkan ke
gharizah nau‟ seperti mengasihi, lemah lembut, senang kepada lawan jenis
dan lain sebaginya.
Jika madhhar menghasilkan perbuatan yang membantu perasaan
manusia seperti lemah dan membutuhkan kepada Khaliq, maka madhhar ini
dinisbatkan ke gharizah tadayyun seperti takut kepada hari akhir,
menghormati sesuatu yang lebih kuat dan kagum dengan nidhomu al-kaun
dan sebagainya.
Maka madhhar adalah tanpa perbuatan, seperti kecenderungan untuk
memiliki (al-mailu al tamalluk) bukanlah al-tamalluk (memiliki), karena al-
mailu li al-tamalluk adalah rasa yang ad di dalam diri manusia ketika
menghadapi sesuatu itu dan menyimpannya, sedangkan “memiliki” adalah
hasil pelaksanaan suatu aktifitas. Seperti menjual mobil atau mencuri harta,
jadi madhhar itu tidak memuaskan gharizah, karena sesungguhnya aktivitas
yang mendorong kepada madhhar itulah memuaskan gharizah atau yang
merealisasikan bagian dari pemuasan, maka kecenderungan mendapatkan
keridloan dari Allah bukanlah ibadah, sebab ibadah itu memuaskan gharizah
tadayyun, sedangkan kecenderungan semata-mata tidaklah bisa memuaskan
gharizah tadayyun dan kecenderungan senang lawan jenis tidaklah bisa
memuaskan gharizah nau‟, sedangkan berkumpulnya suami isteri (jima‟) bisa
memuaskan sebagian dari gharizah nau‟ ini, sehingga walaupun jima‟ ini
dilakukan berulang-ulang tanpa menghasilkan anak, maka aktivitas tersebut
tidak memuaskan secara total gharizah nau‟ dari aspek madhhar ini. Karena
pada asalnya suatu aktifitas sebagai hasil dari madhhar adalah untuk
membantu gharizahnya, yang madhhar menisbatkan pada naluri… sedangkan
jima‟ tanpa menghasilkan anak tidak bisa menguatkan pemuasan secara
sempurna, karena jima‟ tidak bisa berpengaruh pada kelangsungan tetapnya
al-nau‟ al insany maka tidak bisa membatu gharizah nau‟.
Penampakan (madhaahir) adalah kekuatan yang bisa menarik dalam
rangka pemuasan naluri manusia yang sifatnya dari dalam manusia,
berdasarkan kekuatan yang menyamai pada madhoohir gharizah baqa (seperti
al-mailu li al-tamalluk, al-siyaadah, al-saitaroh, keberanian dan lainnya)
adalah untuk menarik segala sesuatu yang lazim untuk memuaskan gharizah
ini.
Naluri dan cabang-cabang dari madhoohirnya berbeda dalam kuat
lemahnya diantara manusia yang satu dengan yang lain, dan berbeda di
dalam lemah serta kuatnya diri manusia itu sendiri. Perbedaan lemah serta
kuatnya mengikuti pengaruh ekstern darinya dan perbedaan dalam tingkatan
umur manusia.
Maka kita mendapatkan manusia yang hidupnya penuh dengan keinginan
dalam pemuasan tiga naluri sekaligus secara kuat, juga kita dapati manusia
lain yang di dalam umurnya malas dan lemah sehingga merasa cukup dengan
sedikit demi sedikit untuk memuaskan naluri ini.
Juga dari sudut pandang yang lain kita dapatkan manusia yang
mencurahkan diri di dalam memuaskan gharizah baqa, gharizah nau‟ dan
tidak memperhatikan dalam pemuasan gharizah tadayyun. Atau kita bisa
memperhatikan kasih sayang ibu dicurahkan kepada suaminya karena
kecenderungannya suka kepada lawan jenis dan cintanya kepada
pasangannya atau sebaliknya.
Juga kita bisa memperhatikan kecenderungan suka kepada lawan jenis
pada umumnya timbul secara kuat pada waktu muda kemudian mulai
menjadi lemah pada usia tua, yang biasanya dilanjutkan dengan pemusatan
ibadah serta takut kepada hari akhir dan ini umumnya terjadi pada waktu
tua dibanding pada usia muda.
Tingkat perbedaan naluri ini, baik dari skala intensitas, prioritas dan
aktualitasnya menjadikan sebagian orang mendahulukan salah satu gharizah
daripaa gharizah lainnya. Hal ini kadangkala disebabkan kuat dan lemahnya
naluri dan kadangkala disebabkan perbedaan pengaruh-pengaruh yang ada
…yakni berbeda dan bertentangan hukum-hukum yang dibuat manusia atas
al-af‟aal dan al-asyya yang berhubungan dengan pemenuhan gharizahnya
juga pengaruh lingkungan serta pengaruh ekstern lainnya. Manusia telah
memberikan macam-macam cara di dalam pemenuhan, salah satunya adalah
pemenuhan yang benar yakni aktivitas seseorang di dalam memenuhi
gharizahnya pada tempat pemenuhan yang sesuai, yakni denga jalan yang
telah ditentukan oleh nidhom yang shahih dalam pemenuhan ini. Sehingga
bila mendatangi perempuan dengan aqad yang shahih untuk pemenuhan
mailu al-jinsi maka pemenuhan seperti itu adalah pemenuhan gharizah nau‟
yang benar sebab perempuan menjadi pendorong ekstern bagi mailu al-jinsi
dan hal ini adalah tempat yang memang telah diciptakan Allah sebagai
pemenuhan al mailu al-jinsi laki-laki dan Allah telah mengatur aktivitas ini
dengan satu-satunya legalitas yang absah yakni dengan jalan pernikahan.
Adapun bila seorang laki-laki mendatangi perempuan yang tidak halal
baginya yakni mahram atau mendatangi perempuan yang tanda aqad yang
sah maka pemenuhan mailu al-jinsi tersebut adalah salah, sebab ia telah
melakukan pemenuhan dengan menyalahi dengan norma yang shahih
walaupun ia telah tepat di dalam pemilihan tempat pemenuhan mailu al-jinsi
yaitu perempuan. Sedangkan bila laki-laki mendatangi binatang atau sesama
laki-laki misalnya maka pemenuhan mailu al-jinsi tersebut adalah syad /
menyimpang karena hal itu adalah pemenuhan gharizah yang bukan pada
tempatnya sekaligus bertentangan dengan nidhom yang shohih di dalam
pemenuhan, sebaliknya begitu pula dengan perempuan.
Sedangkan pemenuhan ghaizah tadayyun yang datang dari Allah kepada
manusia dengan suatu aktifitas ibadah yang telah ditentukan baik norma
fundamen, format sekaligus mekanismenya seperti shalat ini adalah
pemenuhan yang shahih, tetapi apabila beribadah kepada Allah dengan
mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan seperti berputar-putar di
sekitar diri sendiri hal ini adalah pemenuhan yang salah walaupun maksud
orang yang berputar tadi adalah beribadah untuk mencari ridlo Allah. Disini
kita semakin faham tentang legalitas syahadatain yang sifatnya primordial
yakni Islam, sehingga berangkat dari konsep di atas kita bisa menjawab
lontaran orang-orang substansial yang biasanya beragumen yang penting
tujuan, yang penting baik walaupun itu tidak diatur dalam Islam, lebih-lebih
yang memang orangnya tidak melegalisasikan dirinya dengan syahadat.
Demikian juga beribadah kepada berhala yang dianggap sebagai Tuhan.
Hal ini adalah pemenuhan yang menyeleweng, karena dengan demikian
bukanlah tempat pemenuhan gharizah tadayyun sebab penyembahan
terhadap berhala tidaklah memuaskan pemenuhan perasaan serba kurang
dan lemah yang ada pada diri manusia , karena sesungguhnya berhala lebih
lemah dibanding manusia.
Dan pemenuhan gharizah baqa seperti al-tamalluk dengan jalan jual-beli
adalah pemenuhan yang shahih, sedangkan pemenuhan dengan jalan
mencuri harta benda orang lain adalah pemenuhan yang salah, sebab
pencurian adalah aktifitas yang dilarang Syara. Adapun pemenuhan gharizah
baqa seseorang dengan jalan perdagangan semisal khamr atau babi, ini
adalah pemenuhan yang menyeleweng sebab aktivitas ini diharamkan, tiada
nilainya di mata Islam dan dilarang memilikinya, seperti itu bukan sebagai
tempat untuk pemenuhan yang benar dalam kerangka pandang Islam.
AL-HAAJATUL AL-‘UDWIYYAH
(KEBUTUHAN JASMANI)
AL-IDRAAK
(PEMIKIRAN)
Manusia dari materi, dan Allah telah meletakan ruh di dalam dirinya
sebagai´”sirru al-hayaah”. Di dalam diri manusia tersimpan sumber daya
/potensi,yakni berupa tiga khasiat, Hajatu „udwiyyah, naluri dan al-idraak.
Ketiga-tiganya itu terdapat di dalam diri manusia yang hidup lalu bagaimana
manusia menggunakan khasiat di atas ?
Kebutuhan jasmani dan naluri menuntut pemenuhan. Dan akan
mendorong manusia untuk memenuhinya karena hasil dari pengaruh intern
bila itu kebutuhan jasmani dan pengaruh ekstern bila itu naluri. Maka
manusia menggunakan tubuhnya dan angota-anggota tubuh tertentu untuk
menjalankan aktifitas-aktifitas yang bisa memenuhi kebutuhan jasmani dan
naluri.
Seorang peneliti mengetahui bahwa „amal / aktivitas manusia adalah
berwujud materi saja, karena amal adalah kemampuan / energi (al-thaaqah),
dan kemampuan adalah satu bentuk dari bentuk-bentuk materi. Para ahli
sampai berkesimpulan pada hakekat ini setelah memecahkan atom, mereka
mendapatkan dan mengetahui materi berubah menjadi energi, tetapi juga ahli
tersebut mendapatkan energi berubah menjadi materi, kemudian mereka
menetapkan tentang proses kerja dari sinar X yang berubah menjadi materi
yang tersusun dari anoda yang memproduksi elektron dan menumbuk katoda
yang akan menghasilkan foton.
Aktivitas manusia adalah suatu kekuatan yang direalisasikan dengan
gerakan anggota badan, seperti tangan, kaki, mulut dan sebagainya,
sedangkan kekuatan adalah al-thaaqah (energi) sebagai hasil dari proses
kimiawi (metabolisme) dari makanan dan udara di dalam tubuh manusia.
Setiap aktivitas membutuhkan kekuatan yang besar, membutuhkan kekuatan
materi yang banyak. Pandai besi, tukang kayu dan tukang batu yang
menggunakan anggota tubuhnya dan otot-ototnya untuk melakukan aktifitas-
aktifitas tertentu membutuhkan materi-materi yang bukan materi-materi yang
dibutuhkan anggota tubuh sebagai alat berfikir yaitu otak, dan itu semua
ternyata anggota tubuh melaksanakan tugas sesuai dengan fungsinya.
Sehingga bila materi yang merupakan keharusan bagi tubuh berkurang, maka
indera memindahkan kekurangan ini ke otak, sehingga manusia terdorong
untuk melaksanakan aktivitas yang bisa memenuhi kebutuhan yang dituntut
tubuh, sama juga apakah itu kebutuhan yang sifatnya materi (maddah) seperi
makanan, minuman, dan udara ataupun yang berbentuk tempat (wadl‟un)
seperti tidur dan istirahat.
Sehingga bila kebutuhan jasmani tidak terpenuhi maka tubuh akan
rusak, karena tubuh manusia dari segi ini tidak ada bedanya dengan mesin
pabrik yang bila habis materi yang dibutuhkan mesin pabrik, seperti minyak,
lemak, kayu api, dan air maka secara otomatis akan berhenti segala aktivitas
dari peralatan mesin tersebut, dan kemungkinan akan dilanjutkan dengan
peledakan ataupun mati. Begitu juga dengan tubuh manusia jika habis materi
yang di butuhkan tubuh seperti gula, garam, protein dan vitamin serta air,
maka lama-kelamaan tubuh menjadi lemah, sakit dan kemudian rusak.
Selain energi sebagai hasil dari proses kimiawi tubuh terhadap materi-
materi yang digunakan tubuh, tidak mungkin bagi tubuh memperoleh
materi-materi tersebut tanpa al-thooqatu al-hayawiyyah yang timbul dari
adanya ruh-sirru-al-hayaah di dalam diri manusia, karena disana ada
gerakan-gerakan yang tidak disengaja dan tidak dikehendaki anggota tubuh
seperti jantung, perut, paru-paru dan lain sebagainya, yang muncul pada
manusia yang hidup, maka jika manusia mati berhentilah aktifitas tubuh.
Maka al-thooqotu al-hayawiyyah adalah penggerak yang asli pada tubuh yang
berwujud naluri dan kebutuhan jasmani serta tafkir dan apa yang dihasilkan
dari thooqoh hayawiyyah berupa aktifitas-aktifitas, seperti bergerak, menjadi
banyak dan berkembang.
AL-SYAKHSIYYAH
(KEPRIBADIAN)
A. Al Aqliyyah
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang
dilarannnya maka tinggalkanlah. (QS. Al Hasyr 7)
Manusia mengindera realitas dan mengkaitkan dengan ma‟lumat saabiqah
yang ada padanya tentang realitas yang diindera itu, kemudian menghukumi
realitas tersebut berdasarkan al-qaaidah al-fikriyyah yang dipakai sebagai
parameter di dalam proses berfikirnya.
Minyak tanah misalnya, yang sering disebut sebagai emas hitam, realitas
minyak akan diindera manusia, dan minyak itu kemudian mempengaruhi
hubbu al tamalluknya maka dia akan menghukuminya bahwa minyak tadi
bisa memenuhi gharizah baqanya. Akan tetapi qaaidah fikriyah yang
digunakan manusia sebagai parameter untuk menghukumi sesuatu
disandarkan pada penghukuman yang dahulu sama dengan yang akhir.
Maka seorang muslim melihat bahwa minyak tanah yang bisa
memuaskan gharizah baqa wajib menjadi milik umum, jika dia mengambil
akan menguranginya seperti mengurangi sesuatu yang bukan bagiannya,
maka individu-individu dari masyarakat mempunyai hak atas minyak tanah
tersebut. Sedangkan kapitalisme / liberalisme melihat bahwa minyak tanah
bisa memuaskan Gharizah baqa dan menjadi milik individu, berhak setiap
individu untuk memilikinya asal mampu, tanpa mengindahkan kepentingan
yang lain.
Seorang wanita cantik secara realitas akan mempengaruhi al-mailu al-jinsi
bagi seorang pria, maka dia akan menghukuminya bahwa wanita tersebut
bisa memuaskan sebagian dari gharizah nau‟nya. Akan tetapi qaaidah fikriyah
yang digunakan manusia sebagai parameter dalam menghukumi realitas,
disandarkan kepada penghukuman yang pertama (seorang muslim) berbeda
dengan yang akhir (kapitalis).
Maka seorang muslim melihat bahwa wanita yang bisa memuaskan
gharizah nau‟nya adalah sesuatu yang harus dijaga dan dipelihara,
sedangkan kapitalisme / liberalisme melihat wanita selain bisa memuaskan
gharizah nau‟nya, juga sebagai barang perniagaan yang bisa dimanfaatkan
untuk pemuasan gharizah baqa, juga bisa digunakan di dalam perwujudan
usaha-usaha maadiyyah seperti untuk mata-mata / spionase, mengundang
seorang pembesar sebagai jamuan dan lain-lain. Dan sebab perbedaan dalam
menghukumi sesuatu yang dilakukan seorang muslim dan kapitalis / liberalis
atas minyak tanah dan atas wanita dari perbedaan qaaidah fikriyah yang
dibuat landasan berfikir. Maka aqidah Islamiyyah yang timbul darinya
hukum-hukum bagi seorang muslim bukanlah aqidah kapitalis / liberalis
yang menjadi sumber hukum orang kapitalis.
Aqliyah adalah cara berjalan atas asasnya untuk berfikir sesuatu atau
disebut juga dengan cara manusia mengaitkan realitas dengan ma‟lumat yang
disandarkan pada qaaidah tertentu. Adapun aqliyyah Islamiyyah adalah cara
berfikir dan menghukumi tentang al-asyya dan al af‟aal yang berlandaskan
atas al-qaaidah al-fikriyyah al-asaasiyyah bagi seorang muslim yaitu aqidah
Islamiyyah karena hal itu merupakan hukum-hukum syara‟ yang mengatur
hubungan manusia dengan dirinya dan dengan Tuhannya serta dengan yang
lainnya. Seorang muslim menggunakan hukum syara‟ untuk menghukumi al-
asyya dan al-af‟aal dan hukum-hukum ini bersumber dari aqidah Islamiyyah.
Seorang muslim yang mengindera realitas kemudian mengkaitkannya
dengan ma‟lumat saabiqah maka ia akan menemukan esensi realitas tersebut,
kemudian esensi tersebut dibahas dari hukum syara‟ selanjutnya realitas ini
dijelaskannya, jadi proses dari ihsaas sampai ke pengaitan penjelasan
berdasarkan hukum syara‟ disebut al-aqliyyah al-Islamiyyah. Barang siapa
yang menempuh cara ini di dalam memahami realitas dan menghukuminya,
maka berarti telah menggunakan „aqliyyah Islamiyyah, sehingga ia dapat
menghukumi bahwa jihad itu fardhu, shadaqoh itu sunnat, buah apel itu
mubah dimakan, berobat dengan barang yang najis itu makruh dan zina itu
haram karena hukum syara khitob pembuat syara‟ yang dikaitkan dengan
aktifitas manusia yang tidak akan keluar dari al-ahkaamu al-khomsah, yakni :
fardhu, mandhub / sunat, mubah, makruh dan haram.
Jadi aqidah Islamiyyah merupakan sumber munculnya hukum syara‟
yang berasal dari wahyu Allah. Firman Allah:
Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa-
apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah.”(QS.Al hasyr 7).
Para sahabat nabi semuanya memegang „aqliyyah Islamiyyah
mutamayyizah (modern), setiap mendapatkan dan mengetahui realitas
dipandang dari sisi dan visi Islam.
Dalam perdamaian hudaibiyyah berkata Ibnu Hisyam yang dinukilkan
dari ibnu Ishaq dari Al-Zuhri:
Ketika selesai perdamaian Hudaibiyyah, tapi masih di dalam tulisan saja,
„Umar bin al-Khaththob bergegas mendatangi Abu Bakar kemudian berkata.”
Bukankah dia itu rasululah ?”Abu bakar menjawab:”Betul dia Rasulullah.”
Maka berkata lagi:”Bukankah kita kaum muslimin?” Beliau menjawab: Betul,
kita kaum muslimin. Berkata lagi „Umar:” Bukankah mereka kaum musyrikin?”
Menjawab Abu Bakar:” betul mereka kaum musyrikin.Berkata Umar:” Untuk apa
kita memberi kehinaan pada agama kita ( mengadakan perjanjian dengan
mereka ?” Berkata Abu Bakar :” Yaa Umar, tetaplah pada prinsipnya (pegang
tegung keputusan yang telah dipegang nabi), maka saya bersaksi bahwa dia
adalah Rasulullah..”
Abu Bakar dengan „aqliyyah Islamiyyah-nya yang tunggal menemukan
bahwa perdamaian Hudaibiyyah adalah jaiz / mubah, maka berkata kepada
umar yang belum menemukan hukum atas perkara itu: Tetaplah pada
prinsipnya yaitu ikutilah perintah Rasul, Saya bersaksi bahwa Dia adalah
Rasulullah.”
Maka penghukuman perdamaian Hudaibiyah yang dikatakan Abu Bakar
berangkat dari pemikiran aqiidah Islamiyyahnya, yakni dengan adanya
persaksian beliau terhadap kerasulan Muhammad…, dan datang perkara ini
dari Allah SWT.
Adapun „Umar bin al-khaththab juga menggunakan aqiidah Islamiyyah
mutamayyizah, terbukti dia telah berkata kepada Abu Bakar: “Saya bersaksi
bahwa dia adalah Rasulullah”, kemudian beliau mendatangi Rasul dan
berkata: “Wahai Rasulullah bukankah anda seorang Rasul? Rasul menjawab:”
Benar saya Rasul. Berkata „Umar:” Untuk apa kita memeberikan kehinaan
pada agama kita ? Jawab Rasul: Saya hamba Allah dan Rasul-Nya dan tidak
akan menyalahi perintah-Nya dan Allah juga tidak akan mengabaikan saya.
Berkata al-Zuhri:”maka „Umar berkata:”Saya senantiasa bersodaqoh,
berpuasa, shalat dan memerdekakan budak, saya takut dan berlindung
kepada Allah dari perkataan yang saya katakan dan mengharap semua
perkataan saya menjadi baik. Maka „Umar berkata: “ Saya bersaksi bahwa dia
adalah Rasulullah”, menerangkan bahwa beliau masih muslim, dan masih
mengambil penghukuman terhadap sesuatu berdasarkan Islam, lalu beliau
pergi kepada Rasul dan melaksanakan dengan ridlo terhadap perdamaian
Hudaibiyah.
Maka „aqidah Islamiyyah yang digunakan manusia sebagai parameter
untuk menghukumi realitas itulah yang membatasi dan membedakan dengan
al-aqliyyah yang lain, maka siapa yang berfikir terhadap realitas dari
perspektif Islam (Islamic thinking oriented) itulah „aqliyyah islamiyyah dan
siapa yang berfikir terhadapa realitas dari perspektif kapitalisme / liberalis
maka itulah „aqliyyah kapitalisme dan siapa berfikir terhadap realitas dari
perpektif komunis, maka itulah aqliyyah komunisme yang tidak modern.
B. Al Nafsiyyah
C. Asy-Syakhsiyyatu ‘Aqliyyatun Wa
Nafsiyyahtun
“Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu sehingga aku (nabi)
dijadikan akalnya untuk berfikir.” (Al Hadits).
“Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu hingga nafsunya mengikuti
apa yang datang dari saya (nabi) atau Al hadits.
„Aqliyyah adalah cara yang berlandaskan asasnya berfikir tentang realitas,
atau juga disebut cara manusia mengkaitkan ma‟lumat saabiqah dengan
realitas berdasarkan kepada qaaidah tertentu.
Dan nafsiyyah adalah cara manusia mengkaitkan dorongan-dorongan
pemenuhan gharizah dan haajaah „udwiyyah dengan mafahimnya, atau
disebut juga dengan muyul yang merupakan hasil dari pengkaitan mafahim
dengan dorongan-dorongan. Lantas apa pengait antara aqliyyah dan
nafsiyyah?
Sesungguhnya sudah merupakan urusan alami manusia adalah berfikir
tentang al-asyya dan al-a‟maal, kemudian menghukuminya berlandaskan
qaaidah tertentu seperti aqidah yang dipegangnya. Dari tafkir ini akan
dihasilkan mafahim yaitu menjadikan pemikirannya sebagai dalil-dalil atas
realitas yakni indera menemukan relitas atau tergambarnya realitas di dalam
otak dan meyakininya seperti menemukan realitas yang bisa diindera
langsung.
Mafahim ini mempengaruhi pada dorongan-dorongan pemenuhan. Maka
jadilah baginya muyul pemenuhan sebagai hasil dari pengkaitan antara
mafaahim dengan dorongan, bagi mafahim ada ikatan antara „aqliyyah
manusia dengan nafsiyyahnya, karena mafahim yang terbentuk adalah dari
jalan berfikir tentang realitas (aqliyyahnya) yang akan menghukumi muyul
yang dihasilkan dari pengkaitan antara mafaahim dan dorongan-dorongan
(nafsiyyahnya).
Dan pengkaitan antara „aqliyyah dan nafsiyyah nampak jelas di dalam
syakhsiyyah mutamayyizah contohnya yang bisa diteladani adalah Anas bin
Nadhor salah satu sahabat semoga Allah ridlo padanya, dalam perang Uhud
beliau bersama „Umar bin al-Khaththab dan Tholhah bin „Ubaidillah melewati
kelompok shahabat muhajirin dan anshor, kelompok shahabat tersebut
duduk dan melemparkan senjatanya setelah tersebar berita bahwa Rasulullah
terbunuh. Maka Anas bin nadhor berkata kepada mereka:” Apa yang
membuat anda sekalian duduk? Mereka menjawab: “ Rasulullah SAW
terbunuh”, berkata Anas bin Nadhor: “ Apa yang akan anda perbuat dengan
hidup anda setelah Rasulullah mati? (apakah anda akan berhenti berjuang
dengan wafatnya Rasul SAW?) bangkit dan matilah seperti matinya
Rasulullah, kemudian mereka bangkit dan menghadapi kaun Quraisy lalu
memeranginya sehingga mereka mati syahid.
Suluk dari Anas bin Nadhor menunjukan sebuah syakhsiyyah
mutamayyizah, menunjukan adanya ikatan yang kuat antara „aqliyyah dan
nafsiyyahnya. Anas bin Nadhor mengindera realitas yakni para shahabat
membiarkan tidak saling menolong dalam peperang an setelah tersebar berita
terbunuhnya Rasululah dan Anas bin Nadhor mengikatkan realitas dengan
ma‟lumat saabiqah (pahitnya kekalahan dan haramnya berpaling pada hari
kepayahan pada waktu perang dan pengaruh tersebarnya kematian
Rasulullah pada shahabat) Anas bin nadhor berpijak dari pemikiran qaaidah
asasiyyah yaitu aqidah Islamiyyah dan bahwa peperangan itu wajib dan
balasan bagi mujahid atau mati sahid adalah surga juga ajal itu sudah
ditentukan Allah dan lari dari peperangan adalah haram.
Pemikiran-pemikiran ini bagi Anas bin Nadhor sebagai mafahim karena
beliau yakin dan percaya atas pemikiran tersebut, kemudian mengkaitkan
antara mafahim ini dengan dorongan-dorongan gharizah baqa‟ yang terlihat
madhahirnya dari para sahabat yaitu menjaga kehidupan dan takut dari mati,
kemudian Anas bin Nadhor menyesuaikan dorongan-dorongan ini dengan
mafahimnya maka jadilah mereka cenderung untuk berperang walaupun
mereka melaksanakan sesuatu yang kontradiksi dengan dorongan-dorongan
gharizahnya, maka „aqliyyah Anas bin Nadhor adalah aqliyyah Islamiyyah
beliau bisa merubah dorongan-dorongannya dan menjadikannya sebagai
muyul yang Islamiyyah, sehingga jadilah nafsiyyahnya cenderung berperang
melawan musuh dan lebih baik mati sahid menyusul Rasulullah.
Sungguh Anas bin Nadhor telah menterjemahkan Syaksiyyah
mutamayyizah yang tinggi kepada suluk yang menjasad (mengkristal) dalam
dirinya dengan memerangi kaum Musyrikin.
Adapun aktifitasnya bukanlah Syakhsiyyah buka pula „aqliyyah dan
bukan pula nafsiyyah akan tetapi merupakan bekas dari bekas-bekasnya
syakhsiyyah,‟aqliyyah dan nafsiyyah.
Syakhsiyyah kadang-kadang bisa berbentuk syaksiyyah mutamayyizah
dan syaksiyyah ghairu mutamayyizah.
D. Syakhsiyyah Mutamayyizah
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia Maha sucu Engkau , maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
(QS. Ali Imran 191).
Manusia mendapatkan pengetahuan-pengetahuannya dari jalan indera.
Alat terpenting dari indera yang berperan di dalam mendapatkan pengetahuan
adalah pendengaran dan penglihatan. Firman Allah:
“Dan kami jadikan bagi mereka pendengaran, penglihatan dan hati.” (QS.Al-
Ahqaaf 26).
“Dialah yang menciptakan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati .”
(QS. Al Mu’minuun 78).
“Dan (Allah) memberi bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar
kamu bersyukur.” (QS. An Nahl 78).
Pendengaran dan penglihatan adalah dua indera yang melalui keduanya
manusia mendapatkan sebagian pemikiran-pemikirannya bahkan bisa
dikatakan semuanya.
Dalam pembentukan syakhsiyyah Islamiyyah haruslah dengan pemberian
pemikiran-pemikiran Islam untuk pembentukan aqliyyahnya, dan kemudian
nafsiyyahnya serta metode yang baik untuk pemberian dan pengambilan
pemikiran-pemikiran, adalah dengan cara al-talqiy al-fikry, (pola pemberian ide
dengan dengan pendekatan pemikiran) dengan cara ini manusia mengambil
dengan pemikiran-pemikiran dari jalan mendengar atau membaca, maka dia
akan mendengar atau membaca kalimat-kalimat , kemudian memaknai
maknanya seperti apa yang ada pada kalimat tersebut, bukan apa yang
dikehendaki oleh pembaca atau apa yang dikehendaki oleh pengulas
bukunya, kemudian memahami dalil-dalil dan makna kalimat makna tersebut
seperti apa yang ada pada realitas maka jadillah bacaan yang sudah masuk
dalam afkarnya sebagai mafahim, bukan sekedar berupa lapadz saja, karena
bacaan tersebut mempunyai dalil-dalil yang bisa diindera sehingga pembaca
realitas (bacaan) tersebut bisa mengungkapkannya dengan bahasanya dan
dapat mentransfer pemikiran-pemikiran ini kepada yang lain dengan jalan
seperti yang ia dapatkan sebelumnya, yaitu al-talqy al-fikri.
Sesungguhnya pemikiran itu fitri ada pada manusia, adapun yang
menjadikan aqiidah Islamiyyah sebagai qaaidah fikriyyah asaasiyyah pada
pemikirannya dalah aktifitas yang dilakukan manusia sendiri, dan aktifitas ini
membentuk aqliyah Islamiyyah yang bisa menjadikan pemiliknya berfikir
berdasarkan asas-asas Islam.
Gharizah dan haajaah „udwiyyah fitri ada pada manusia, adapun yang
menjadikan aqidah Islamiyyah sebagai qaaidah fikriyyah asaasiyyah adalah
juga aktifitas yang dilakukan manusia itu sendiri. Dan aktifitas ini akan
membentuk nafsiyyah Islamiyyah, yang akan menjadikan pemiliknya bisa
mengkaitkan dorongan-dorongan pemenuhan dengan mafahim Islamiyyah,
maka muyulnya akan muyul Islamiyyah yang akan cenderung kepada yang
halal dan berpaling dari yang haram. Maka tafkir dan muyul yang ada pada
manusia juga sebagai fitrah, adapun dijadikannya aqidah Islamiyyah sebagai
asas di dalamnya bertafkir dan muyulnya ini juga dari usaha manusia itu
sendiri.
Maka suatu keniscayaan bagi siapa yang ingin membentuk syakhsiyyah
pada manusia haruslah dimulai dengan asas ini, yakni aqiidah Islamiyyah,
dan itu dengan pengajaran aqidah, menggunakan pendekatan pendidikan
secara aqliyyah bukan secara talqin (pendiktean secara lisan). Karena dengan
aqliyyah ini akalnya akan bisa menetapkan dan faham bahwa Allah itu ada.
Al-Qur‟an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw,
yang kemudian bisa mengimani terhadap apa yang datang dari Al-Qur‟an dan
semua di atas adalah hasil dari penggunaan aqidah aqliyyah.
Setelah pembentukan asas ini yaitu aqidah Islamiyyah, harus dipasok
pemikirannya dengan tsaqofah Islamiyyah sebagai input yang akan
memperkuat pemikirannya dari penambahan Tsaqofah Islamiyyah ini
diharapkan mempunyai kapabillitas berfikir tentang al-asyya dan al-af‟aal
berlandaskan asas-asas Islam.
Tsaqofah ini kadang-kadang bersifat aqliyyah seperti tauhid, daan kadang
bersifat syar‟iyyah seperti fiqih dan tafsir dan kadang bersifat lughowiyyah
(bahasa) seperti nahwu dan balagoh, dan manusia berbeda di dalam
menyerap tsaqofah ini karena perbedaan kemampuan aqliyyahnya dan
kekuatan al-ribthnya (penghubungan ma‟lumat yang satu dengan ma‟lumat
lainnya).
Seorang muslim yang hanya mengambil aqidah Islamiyyah sebagai asas di
dalam aqliyyah dan nafsiyyahnya yaitu sebagai asas di dalam tafkir dan
muyulnya, sudah representatif akan adanya syakhsiyyah islamiyyah dalam
dirinya, karena dengan itu dia bisa menghukumi realitas berdasarkan aqidah
Islamiyyah, dan bisa menentukan posisi dirinya terhadap al-asyya dan al-
af‟aal yang bisa memenuhi gharizah dan haajaah „udwiyyahnya berdasarkan
aqidah Islamiyyah, maka dia akan cenderung kepada yang halal dan berpaling
dari yang haram.
Untuk pengembangan aqliyyah Islamiyyah haruslah dengan penambahan-
penambahan tsaqofah islamiyyah yang akan menjadikan seorang muslim
mampu mengambil hukum syara‟ dengan usahanya sendiri melalui
penggunaan dalil-dalil syar‟iyyah dan juga akan menjadikan dia mampu
membentuk aqliyyah Islamiyyah dengan tsaqofah ini.
Sedang untuk mengembangkan nafsiyyah islamiyyah haruslah dengan
cara pengkaitan dorongan-dorongan gharizah dengan mafahim sebagai hasil
dari aqliyyah Islamiyyah, maka haruslah dikondisikan hidup dalam cakrawala
keimanan dari dirinya sendiri, maka hal ini adalah dengan cara
memperbanyak amalan-amalan mandhub seperti tadabbur terhadap ayat-
ayat Allah berupa Al-qur‟an dan tadabbur terhadap ciptaan Allah dan
muthola‟ah serta mengamalkan sirah rasul dan sahabat seperti seringnya
rasul dan sahabat berdo‟a dan qiyaamul lail, firman-Nya:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (yaitu) orang-
orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia.
Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran
190-192).
Firman Allah :
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur‟an)
dan dirikannlah Shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-
perbuatan) keji dan munkar.” (QS. Al Ankabut 45).
Di dalam cakrawala keimanan seorang muslim akan merasakan ke Maha
Agungan dan Maha Kuasanya Allah, dan bertambahlah idraak shillah billah,
maka akan memperkuat ke dalaman nafsiyyahnya dan akan menjadikan
muyul serta aktifitasnya tunduk pada perintah dan larangan Allah.
Pelaksana / Pembina syakhsiyyah Islamiyyah haruslah memperhatikan
dalam pembinaan asas-asas yang berdiri dan tegak-nya syakhsiyyah atas
asas-asas ini (aqiidah Islamiyyah), sehingga menghasilkan al-tashdiiq al-jaazim
(penerimaan kebenaran secara pasti) terhadap aqidah Islamiyyah dan
hendaknya thasdiiq sesuai dengan realitas yang terindera dan hendaknya ada
dalil-dalil aqliyyah atau naqliyyah yang diyakini atas wujudnya Allah, agar
aqidah ini menjadi mafahim dan agar pemikiran-pemikiran yang muncul dari
aqidah juga sebagai mafahim.
Dalam hal di atas kita mencontoh uswah hasanah dari Rasulullah SAW,
di dalam membentuk syakhsiyyah shahabat yang mengkokohkan tiang
daulah Islamiyyah yang telah didirikannya dan yang membawa Islam dengan
bersih dan jelas kepada manusia. Maka Rasululah SAW melakukan di dalam
pembinaan syakhsiyyah yang tanggal ini terstruktur pada garis-garis sebagai
berikut:
Pertama, mengarahkan pandangan para sahabat kepada makhluq-
makhluq yang menunjukan adanya Allah dan kuasa-Nya, firman Allah:
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia
menciptakan manusia dari segumpal darah.” (QS. Al ‘Alaq 1-2).
“Demi fajar dan malam yang sepuluh. Dan yang genap dan yang ganjil. Dan
malam bila berlalu . Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat
diterima) oleh orang-orang yang berakal.”(QS. Al Fajr 1-5).
“Demi langit yang mempunyai gugusan bintang.” (QS. Al Buruuj 1).
Bukankah kami telah memberikan padanya dua buah mata. Lidah dan dua
buah bibir.”(QS. AL Balad 8-9).
Kemudian pandangan Al-Qur‟an adalah kalamullah yang menunjukan
kenabian Muhammd SAW, firman Allah:
Qaaf, demi al-Qur‟an yang sangat mulia. Mereka (mereka tidak menerima)
bahkan mereka tercengang karena telah datang kepada mereka seorang
pemberi peringatan dari (kalangan) mereka sendiri, maka berkatalah orang-
orang kafir : “ Ini adalah suatu yang amat ajaib.” (QS. Qaaf 1-2).
“Haa miim. Diturunkan dari Tuhan yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa
Arab, Untuk kaum yang mengetahui.” (QS.41:1-3).
“Sesungguhnya kami menjadikan Al-Qur‟an dalam bahasa Arab supaya
kamu memahaminya.” (QS. Az Zukhruf 3).
Dan tantangan kepada mereka yang meragukan Al-Qur‟an, firman-Nya:
Atau (patutkah) mereka mengatakan: “Muhammad membuat-buatnya”
Katakanlah “ (Kalau benar yang kamu katakan itu) maka cobalah datangkan
sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu
panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”
(QS. Yunus 38).
Mula pertama konsentrasi Islam di dalam pembinaan syakhsiyyah ini
adalah pada aqiidah Islamiyyah yang dasar pencariannya dari akal, maka
berpindahlah ayat-ayat yang mulia kepada manusia dari penginderaan yang
dia ketahui dari kaun, manusia dan kehidupan, kepada penegasan wujudnya
Al-Kholiq dan penegasan bahwa Al-Qur‟an adalah kalamullah dan
Muhammad adalah RasulNya.
Kedua, penjelasan hubungan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat,
penjelasan ini banyak terdapat pada surat-surat Makkiyyah, Firman Allah:
“Dan adapun orang-orang yang berat timbangannya (kebaikannya) maka
dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang yang ringan
timbangannya (kebaikannya). Maka tempat kembalinya adalah neraka
Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka hawiyah itu? (yaitu) api yang
sangat panas.”(QS. AL Qaari’ah 6-11).
Firman Allah :
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kelebihan
dunia. Maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-
orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan
hawa nafsunya . Maka surgalah tempat tinggal(nya). (Orang-orang) kafir
bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari berbangkit kapankah
terjadinya?” (QS An Naazi’aat 37-42).
“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada
dalam surga yang penuh dengan kenikmatan Dan sesungguhnya orang-orang
yang durhaka , benar-benar berada di dalam neraka. Mereka masuk
kedalamnya pada hari pembalasan.” (QS. Al Infithaar 13 -15).
“Sesungguhnya neraka jahanam itu padanya ada tempat pengintai. Lagi
menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas.” (QS. An
Naba’ 21-22).
“Sesungguhnya orang-orang bertaqwa mendapat kemenangan (Yaitu)
kebun-kebun dan buah anggur.” (QS.An Naba 32-33 ).
Inilah hubungan antara dunia dan akhirat dengan hasil final pahala bagi
orang yang beriman dan beramal sholeh dan hukuman karena dosa bagi yang
kufur dan yang beramal jelek.
Syakhsiyyah Islamiyyah dijadikan pijakan berfikir sebelum suatu aktifitas
dilaksanakan yang nantinya final dari aktifitas di dunia tergambar dari ni‟mat
yang langgeng sebab adzab yang pedih, akan merasakan kelejatan rahmat
Allah dan surga-Nya, serta takut akan adzab Allah dari nerakanya, dan selalu
meminta keridhoan Allah terhadap segala apa yang dikerjakannya dan akan
menjauhi apa-apa yang bisa membuat Allah murka.
Ketiga, menuntut kaum muslimin untuk memecahkan problema hidupnya
dengan menggunakan asas–asas Islam, oleh sebab itu mereka harus
mengetahui hukum syara‟ sebelum melaksanakan aktifitas , maka jika tidak
tahu haruslah bertanya kepada yang tahu :Firman Allah :
Maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl 43).
Sehingga para sahabat tidak akan melaksanakan suatu aktifitas sebelum
bertanya kepada Rosulnya tentang hukum aktifitas itu, dan ini terjadi pada
Khoulah binti Tsa‟labah, yang menyebabkan turunnya ayat kepadanya:
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan
gugatan kepada kamu tentang suaminya , dan mengadukan (halnya) kepada
Allah, dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua, Allah Maha
Mendengar Lagi Maha Melihat”(QS.Al Mujaadilah 1).
Khoulah binti Tsa‟labah bertanya kepada Nabi SAW tentang hubungannya
dengan suaminya Aus bin Shamit yang telah mendziharnya.
Dan turunlah wahyu yang merupakan syakhsiyyah Islamiyah bila
dilaksanakan, seperti apa yang telah ditanyakan Khoulah binti Tsa‟labah
kepada Nabi tentang problematika yang dihadapinya.
Contoh lain dari firman Allah SWT tentang hal-hal yang ditanyakan
sahabat:
“Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan
perang. Katakanlah: “Harta rampasan itu kepunyaan Allah dan Rosul.” (QS. Al
Anfal 1).
“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan
Katakanlah:”Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-
ayatnya kepadamu supaya kamu berfikir.” (QS. Al Baqarah 219).
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah
kotoran” oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu
haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.”(QS. Al
Baqarah 222)
“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah:”Allah
memberi fatwa kepadamu tentang mereka dan apa yang dibacakan kepadamu
dalam Al Qur‟an”.(QS. An Nisaa’ 127).
Dan Rasul SAW menampakan rasa cinta diantara para shahabat,
sehingga mereka bertanya kepada nabi maka nabi menjawabnya dengan apa
yang diwahyukan dari Allah untuk memberi pembekalan kepada mereka
menuju ke dalaman iman yang bisa menambah perasaaan mereka dengan
ketenangan karena shilahbillah. Dan Rasul menjadikan para shahabat cinta
kepada Allah sehingga seakan-akan Allah hadir dan mengatur di dalam
suluknya. Maka jadilah Islam di dalam diri mereka sebagai aqliyyah dan
nafsiyyahnya. Salah satu contoh shahabat adalah Mas‟ud bin Umair, dengan
syakhsiyyah Islamiyyah yang diajarkan oleh Rasulullah kepadanya ini, Ia
mampu mempersiapkan masyarakat Madinah Munawarah sebagai
masyarakat Islami pertama yang dibentuk pada awal Daulah Islamiyyah.
Dan syakhsiyyah Islamiyyah saamiyah yang didatangkan oleh Rasul SAW
selalu sebagai penolong di dalam menjaga daulah dalam mengemban da‟wah
selama hidupnya, sampai adanya khilafah pengggati setelah wafatnya Rasul.
Karena adanya kontinuitas hubungan aktifitas dalam pembentukan
syakhsiyyah yang disampaikan shahabat dengan berlandaskan asas Islam,
hingga berlangsung tetapnya syakhsiyyah mutamayyizah ini sepanjang situasi
dan kondisi, di kota-kota dan penjuru Daulah Khilaafah.
AL-MUJTAMA’ (MASYARAKAT)
A. Masyarakat Modern
B. Al Mujtama’Ghoiru Mutamayyiz
D. PERUBAHAN MUJTAMA’
E. CARA MERUBAH
Tahap Pertama:
Tahap Pembentukan Syaksiyyah Dengan Durus Dan Ta’lim
Tahap Kedua:
Tahap Tafaa’ul / Interaksi
Dari apa yang dijadikan thariqah Rasul dan Thariqah para shahabat yang
memang lain dari kebiasaan masyarakat jahiliyah pada waktu itu kemudian
dikenal oleh masyarakat Makkah dengan agama baru, maka mulailah
individu-individu dari masyarakat Makkah baik laki-laki maupun peempuan
masuk Islam secara berbondong-bondong, hingga tersebar di Makkah,
sehingga semakin banyak orang-orang Makkah membicarakan agama ini lalu
Allah menurunkan Wahyu:
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang
diperitahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” (QS. Al
Hijr 94).
Dan Allah menurunkan ayat:
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat dan
rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-
orang yang beriman.” (QS.Asy syu’araa 214-215).
Dan mulailah Rasulullah berda‟wah dengan terang-terangan serta
memulai al-kifaah al-siyaasi (interaksi politik), dan menjelaskan kelemahan
menyembah Tuhan-tuhan orang Quraisy dan menunjukan kebodohan
pemikiran mereka, serta mengingatkan bahwa aktifitas mereka adalah jelek.
Maka para pemimpin quraisy mendatangi paman Rasul SAW Abu Thalib
untuk mengadu, agar kemenakannya itu menghentikan da‟wahnya, dan
ketika Abu Thalib mengemukakan pendapat dari pemimpin Quraisy kepada
Rasul SAW beliau menjawab:”Wahai pamanku, demi Allah jikalau mereka
meletakan matahari pada tangan kananku dan bulan pada tangan kiriku,
untuk meninggalkan agama ini, saya tidak akan meninggalkannya, sampai
Allah akan menunjukan kemenangan agama ini atau menghancurkannya”.
Sikap yang teguh hati dan mantap ini menjadikan Abu Thalib berkata
kepada Muhammad : “Pergilah dan laksanakanlah hai anak saudaraku
(Muhammad) dan katakanlah apa yang kamu senangi (berda‟wahlah
sekehenadakmu) maka aku akan menjagamu dari gangguan sesuatu selama
aku hidup”.
Orang Quraisy berusaha dengan beragam cara untuk menghentikan
da‟wah dari agama baru ini, maka dia mencoba dengan metode politis, Walid
bin mughiroh menyebarkan berita bahwa muhammad itu penyihir, dan yang
lebih parah lagi dengan cara memisahkan anak, saudara, isteri dan karib
kerabat yang masuk Islam atau memasang jerat bagi orang muslim yang
masuk ke daerah Makkah ketika Musim Haji.
Tetapi da‟wah Islam dengan pengemban da‟wah yang tangguh dan
pantang menyerah tetap menyebar ke daerah arab, Bahkan Rasulullah
walaupun dilempari dengan berbagai macam kejelekan seperti tukang sihir,
orang gila pembual dan lainnya tidak pernah mundur. Pada suatu saat orang
musyrikin bertanya kepada nabi: “Apakah kamu yang mengatakan ini dan itu
kepada sesembahan kami dan agama kami? Rasul menjawab: “Betul saya
yang mengatakan itu”. Maka dengan marah orang musyrik itu bergerak mau
membunuh Nabi, dengan sigap Abu Bakar menghalanginya dan berkata:
“Apakah kamu akan membunuh seseorang yang mengatakan tuhanku adalah
Allah?”
Cara lain juga digunakan digunakan untuk membujuk nabi, disodorkan
kepada nabi kemulian , kerajaan dan harta kekayaan, tetapi Rasul tidak
memberi respon kepada iming-iming mereka.
Juga nabi diuji mereka dengan perintah agar Allah membuatkan sungai
seperti sungai Syam dan Iraq dan menghidupkan nenek moyangnya yang
telah mati , membuatkan sebuah istana agar Allah memberikan rizqi mereka
harta emas dan perak yang diturunkan dari langit, mak jawab Rasul:” Aku
diutus bukan untuk urusan seperti yang kamu minta , akan tetapi aku diutus
untuk menyampaikan risalah ini kepada kamu sekalian, maka jika kamu
menerima ini maka berarti inilah keuntunganmu di dunia dan di akhirat ,
akan tetapi jika kamu menolak , kita tunggu saja sampai Allah mengadili kita
semua.”
Kemudian mereka berusaha memalingkan manusia dari Islam dan dari
Muhammad, Serta dari membaca dan mendengar AlQur‟an dengan cara
menyuruh Nadhor bin Harits sebagai seorang pendongeng ulung untuk
mendongengkan tentang cerita-cerita raja-raja persi, akan tetapi semua tipu
daya, semua kesulitan dan semua gangguan dan teror tidak menggoyahkan
hikmah Rasul SAW.
Pada waktu kabilah-kabilah Makkah takut kepada Abu Yhalib bani
hasyim dan bani abdi manaf, mereka tidak terlalu menyakiti Rasul, akan
tetapi mereka menyakiti orang-orang muslim yang lemah dan yang ada pada
kabilah mereka, dengan siksaan dan pukulan tidak memberi makan dan
minum untuk memalingkan mereka dari agamanya, dari pedihnya siksaan
ada diantara mereka yang tidak kuat sehingga berpaling, juga ada yang kuat
dan teguh hingga akhirnya mati, maka melihat kondisi seperti ini Rasul
berkata kepada mereka: “ Jikalau anda sekalian masuk ke bumi Habasyah,
disana ada raja yang tidak mendholimi seorangpun dan itulah bumi yang
baik, hingga disana Allah akan memberikan kepada anda kegembiraan dan
kelonggaran”. Maka itulah hijrah pertama kaum muslimin.
Akan tetapi ternyata hingga hijrahpun kaum musyrikin Makkah
mendengar hal ini, karena hasad yang tidak pernah hilang untuk mematikan
da‟wah Islam, mereka mengejar kaum muslimin dengan mendatangi rajanya,
akan tetapi raja Najasy menolak dan menyelamatkan kaum muslimin.
Melihat kondisi kaum muslimin yang aman di daerah raja Najasi, dan
banyak kaum dari kabilah mereka yang masuk Islam, ditambah dengan
masuk Islamnya Umar bin Khoththab dan Hamzah 2 pendekar Quraisy yang
gagah berani, maka mereka bersepakat untuk melarang tiap orang dari
kabilahnya menikah atau menikahkan dengan bani hasyim dan bani Abdul
Muthalib juga mengadakan embargo ekonomi dengan melarang jual-beli dan
aktifitas lain yang berhubungan dengan kebutuhan sehari-hari , itu semua
diarahkan agar Rasul kosong dari perlindungan maupun pengikut.
Sesudah berusaha menentang sekuat tenaga seperti diatas tidak berhasil,
mereka mengeluarkan ide kerjasama saling bergantian beribadah, maka
turunlah ayat:
“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang
kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku
tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.Dan kamu tidak
pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah . Untukmulah
agamamu dan untukkulah agamaku.” (QS. AL Kaafiruun 1-6).
Rasulullah beserta para shahabat tetap mengadakan interaksi siyasi
untuk mengadakan perubahan tanpa henti-hentinya menghadapi penipuan
dan kesulitan dan semua dianggap sebagai tantanganda‟wah yang tidak
menghilangkan „azamnya untuk tetap berjuang.
Tahap Ketiga:
Penegakkan Daulah Dan Pemberlakuan Hukum