You are on page 1of 16

Tugas Pandas RSAL Dr.

Mintohardjo

MENINGITIS SEROSA

Monica Raharjo NIM: 030 09 157

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta, 26 May 2013

1. JUDUL Meningitis Serosa

2. DEFINISI Meningitis merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan reaksi peradangan pada meningens atau selaput otak yang biasanya disebabkan oleh infeksi dan bisa juga disebabkan oleh reaksi terhadap obat maupun trauma. Diagnosis dari meningitis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan terhadap cairan serebrosinal yang diperoleh dengan melakukan tindakan lumbal pungsi. Berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan serebrospinal maka meningitis dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu meningitis purulenta dan meningitis serosa. Meningitis purulenta ditandai oleh cairan serebrospinal yang keruh, hitung leukosit lebih dari 1000 leukosit/mcL predominan netrofil (neutrophilic pleocytosis), glukosa yang rendah (0-10 mg/dL), dan protein yang meningkat (lebih dari 100 mg/dL). Meningitis purulenta sebagian besar, namun tidak selalu, disebabkan oleh infeksi bakteri maka sering juga digunakan istilah meningitis bakterial. Meningitis serosa ditandai oleh cairan serebrospinal yang jernih dengan hitung leukosit 10-500/mcL atau lebih dari 1000/mcL predominansi limfosit (lymphocytic pleocytosis). Istilah lain yang lebih sering digunakan ialah meningitis aseptik. Wallgren mendefinisikan meningitis aseptik sebagai suatu penyakit akut yang melibatkan meningens dimana tidak dapat ditemukan bakteri pada pewarnaan maupun kultur cairan serebrospinal, tidak disertai oleh infeksi generalisata maupun parameningeal, dan memiliki perjalanan penyakit yang relatif singkat. The Centers of Disease Control and Prevention (CDC) selain hal yang sudah dikemukakan Wallgren juga mendefinisikan meningitis aseptik sebagai meningitis yang dapat sembuh tanpa terapi antibiotik. Singkat kata, definisi meningitis serosa atau meningitis aseptik meliputi poin-poin berikut ini: 1) Dapat ditemukan gejala dan tanda yang menggambarkan keterlibatan meningens (acute meningeal signs and symptoms) 2) Cairan serebrospinal jernih dengan atau tanpa pleositosis limfositik dan negatif untuk bakteri pada pewarnaan rutin (pewarnaan Gram) maupun kultur 3) Tidak disertai infeksi generalisata atau infeksi parameningeal 4) Perjalanan penyakit relatif singkat 5) Penyembuhan/ perbaikan gejala tanpa terapi antibiotik

3. ETIOLOGI Meningitis serosa biasanya disebabkan oleh infeksi virus maka seperti yang dikemukakan oleh CDC bisa mengalami penyembuhan tanpa terapi antiobiotik. Namun infeksi virus bukan satu-satunya etiologi daripada meningitis serosa maka istilah meningitis viral dan meningitis serosa tidak dapat dianggap sebagai sinonim (walaupun pada kenyataanya kedua istilah tersebut sering digunakan secara bergantian). Pada tabel berikut tertulis kondisi klinis dan agen infeksius yang merupakan etiologi dari meningitis serosa:

Etiologi dari meningitis serosa bisa diklasifikasikan menjadi infeksi dan noninfeksi seperti pada tabel berikut:

A. Etiologi Infeksi 1) Infeksi virus: Seperti yang telah dikemukakan infeksi virus merupakan penyebab paling sering daripada meningitis serosa. Pada anak secara umum meningitis akibat infeksi virus lebih sering daripada meningitis akibat infeksi bakteri. Infeksi virus pada susunan saraf pusat (SSP) dapat menyebabkan meningitis aseptik, ensefalitis, atau meningoensefalitis. Hanya 40% kasus yang etiologinya diketahui: 67% diantaranya terkait dengan parotitis, varisela, morbili, dan rubella; 20% berhubungan dengan kelompok Arbovirus dan Herpes simpleks virus; 5% berhubungan dengan kelompok Enterovirus; dan sisanya virus lain seperti Cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, virus influenza maupun parainfluenza. 2) Infeksi bakterial: Infeksi bakteri pada SSP umumnya menyebabkan meningitis purulenta namun pada beberapa kasus dapat menyebabkan meningitis serosa. Infeksi bakteri bisa menyebabkan meningitis serosa pada beberapa keadaan berikut: 1.awal perjalanan penyakit meningitis bakterial, 2.meningitis bakterial pada neonatus, 3.meningitis bakterial dimana sudah diberikan terapi antibiotik sebelum pemeriksaan cairan serebrospinal, 4.infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis (meningitis tuberkulosis). 3) Infeksi jamur: Infeksi jamur pada SSP jarang dan biasa terjadi pada anak dengan immunodefisiensi. 4) Infeksi parasit: Infeksi parasit terutama helminthes atau cacing umumnya menyebabkan meningitis eosinofilik dimana dapat ditemukan 10 atau lebih eosinofil/mm3 pada pemeriksaan cairan serebrospinal. 4

B. Etiologi Non-Infeksi Etiologi non-infeksi pada umumnya jarang ditemukan dan meliputi efek dari obat (termasuk kortikosteroid, obat injeksi yang disuntikkan ke dalam ruang subaraknoid atau subdural, dan obat anastesi spinal), neoplasma meningeal, maupun perdarahan intrakranial atau hematoma akibat trauma.

4. KLASIFIKASI Untuk mempermudah penegakkan diagnosis, meningitis serosa dibedakan menjadi meningitis serosa dengan konsentrasi glukosa pada cairan serebrospinalis yang rendah (hypoglycorrhachia) dan dengan konsentrasi glukosa pada cairan serebrospinalis yang normal. Penurunan konsentrasi glukosa pada cairan

serebrospinalis berhubungan dengan penurunan transport glukosa melalui bloodbrain-barrier/ blood-cerebrospinal fluid-barrier yang menandakan bahwa infeksi SSP yang terjadi lebih luas. Maka, meningitis serosa yang disertai oleh hypoglycorrhachia berhubungan dengan perjalanan penyakit yang lebih kronik dan penyebab/ etiologi yang lebih serius. Batasan hypoglycorrhachia adalah bila kadar glukosa cairan serebrospinal kurang dari 40% kadar glukosa dalam darah atau bila kadar glukosa pada cairan serebrospinal kurang dari 40 mg/dL (bila kadar glukosa dalam darah tidak diketahui). Klasifikasi meningitis serosa adalah sebagai berikut: 1) Meningitis serosa dengan hypoglycorrhachia: meningitis bakterial; meningitis tuberkulosis; meningitis fungal; meningitis viral yang disebabkan oleh mumps virus, echovirus, dan coxsackievirus; meningitis amebic; meningitis akibat injeksi obat subaraknoid; meningitis akibat neoplasma; meningitis akibat perdarahan intrakranial atau hematoma. 2) Meningitis serosa dengan kadar glukosa cairan serebrospinal yang normal: meningitis viral; awal perjalanan penyakit meningitis bakterial; meningitis bakterial yang sudah mendapatkan terapi antibiotik; meningitis akibat injeksi obat subdural; meningitis akibat konsumsi obat oral seperti kortikosteroid; meningitis pada penyakit sistemik seperti Kawasaki disease.

5. PATOFISIOLOGI Patofisiologi meningitis bervariasi tergantung dari etiologinya: 1) Meningitis bakterial: Infeksi meningens oleh bakteri dapat terjadi akibat penyebaran bakteri secara hematogen (pada infeksi sistemik terjadi bakteriemia yang diikuti oleh masuknya bakteri ke dalam cairan serebrospinal melalui pleksus 5

koroid ventrikel lateralis), per kontinuitatum, ataupun karena implantasi langsung bakteri misalnya pasca trauma kepala atau operasi. Setelah bakteri masuk ke dalam cairan serebrospinal, bakteri berproliferasi dengan mudah karena kadar immunoglobulin dan antibodi dalam cairan serebrospinal rendah. Infeksi bakteri menimbulkan respons inflammasi yang menimbulkan gejala klinis. 2) Meningitis viral: Meningitis viral merupakan komplikasi dari infeksi sistemik viral. Virus masuk kedalam tubuh host melalui traktus respiratorius, traktus gastrointestinal, traktus urogenital, atau melalui kulit yang tidak intak. Virus mengalami replikasi pada port dentre nya (replikasi primer) kemudian virus dibawa ke jaringan limfatik dimana ia akan mengalami replikasi lebih lanjut dan selanjutnya masuk ke dalam aliran darah (viremia). Dari darah virus masuk ke dalam SSP melalui pleksus koroid atau yang disebut sebagai penyebaran secara hematogen. Selain itu beberapa virus seperti virus rabies, herpes simples, varicella zoster, dan poliovirus dapat masuk ke dalam SSP melalui saraf (axonal transport) dari mukosa, otot, maupun taut otot dan saraf (neuromuscular junction). Virus yang mengalami penyebaran secara hematogen biasanya menyebabkan meningitis sedangkan virus yang mengalami penyebaran melalui saraf biasanya menyebabkan ensefalitis. Virus yang berada di SSP akan masuk ke dalam sel dan mengalami replikasi intraseluler, menyebabkan kerusakan sel, dan akhirnya mencetuskan proses inflammasi pada meningens yang akhirnya menimbulkan gejala klinis. 3) Meningitis tuberkulosis: Meningitis tuberkulosis merupakan komplikasi dari infeksi tuberkulosis primer pada paru. Meningitis tuberkulosis dapat terjadi akibat penyabaran limfogen daripada Mycobacterium tuberculosis dimana bakteri akan membentuk lesi pada meningens dan mengadakan replikasi. Setelah replikasi, bakteri tahan asam tersebut akan masuk ke dalam ruang subaraknoid dan mencetuskan proses inflammasi pada meningens yang disertai oleh

pembentukan eksudat dan infiltrate terutama pada batang otak.

6. GEJALA KLINIK Pasien anak dengan infeksi pada susunan saraf pusat pada umumnya menunjukkan gejala klinik yang mirip walaupun etiologinya dapat berbeda-beda. Gejala yang umumnya dijumpai antara lain adalah sakit/ nyeri kepala, mual, muntah, anoreksia, gelisah, penurunan kesadaran, dan irritabilitas. Tanda yang umumnya dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik antara lain adalah demam, fotofobia, nyeri pada leher, rigiditas/ kaku leher, stupor, koma, kejang, dan defisit neurologis fokal. 6

Biasanya meningitis bakterial dan meningitis fungal ditandai oleh peningkatan tekanan intrakranial, sedangkan meningitis viral lebih sering ditandai oleh kejang, perubahan kepribadian dimana anak tampak gelisah dan irritable, serta penurunan kesadaran.

A. Anamnesis Pada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan etiologi yang diduga untuk kepentingan diagnosis seperti yang dituliskan pada tabel berikut:

Selanjutnya akan dibahas hal-hal yang bisa didapatkan pada anamnesis yang dapat menunjang diagnosis meningitis viral dan meningitis tuberkulosis: 1) Meningitis viral: Presentasi klinis seorang anak dengan meningitis viral bervariasi dari ringan hingga berat tergantung dari etiologi dan keparahan infeksi dimana bila parenkim otak terlibat (ensefalitis) bisa didapatkan presentasi klinis yang lebih berat ditandai oleh penurunan kesadaran yang lebih dalam dan sering disertai oleh terjadinya kejang. Pada anamnesis umumnya akan didapatkan perjalanan penyakit yang akut (kurang dari 1 minggu) dimana gejala muncul secara tiba-tiba. Masa prodormal sebelum gejala susunan saraf pusat muncul ditandai oleh gejala non-spesifik seperti demam selama beberapa hari (1-4 hari), cephalgia atau sakit kepala (frontal, umum/ generalisata, atau retrobulbar), gejala infeksi susunan saraf pusat seperti nyeri tenggorok, mialgia, dan anoreksia. Setelah masa prodormal selama beberapa hari akan timbul gejala susunan saraf pusat antara lain anak tampak lelah (lethargy), anak gelisah (irritabilitas), terjadi penurunan kesadaran secara progresif, mual, muntah, fotofobia, nyeri kepala semakin berat disertai nyeri pada leher, punggung bahkan sampai kaki, hiperestesia, dan tanda neurologis fokal (seperti paralisis dan ataksia). Pada meningitis viral juga dapat ditanyakan tentang adanya ruam kulit, biasanya timbul sebelum ataupun bersamaan dengan gejala neurologis dan berhubungan dengan infeksi enterovirus, varicella-zooster-virus, measles/ campak, dan rubella.

2) Meningitis tuberkulosis: Pada anamnesis pasien yang menderita meningitis tuberkulosis akan didapatkan adanya riwayat infeksi tuberkulosis paru yang tidak diobati beberapa tahun sebelum menderita meningitis dan biasanya meningitis tuberkulosis paling sering pada anak antara 6 bulan sampai 4 tahun. Perjalanan penyakit meningitis tuberkulosis bisa berlangsung singkat atau bertahap. Meningitis tuberkulosis yang berlangsung singkat biasanya terjadi pada bayi dan anak kecil dimana gejala meningitis dialami beberapa hari kemudian menimbulkan komplikasi berupa hidrosefalus, kejang, dan edema serebri. Namun pada umumnya perjalanan penyakit meningitis tuberkulosis berlangsung secara bertahap selama beberapa minggu dan bisa dibagi menjadi 3 tahap: i. Tahap pertama: Tahap pertama berlangsung selama 1 hingga 2 minggu ditandai oleh gejala non-spesifik yaitu demam, nyeri kepala intermiten, irritabilitas, penurunan kesadaran dimana anak gampang mengantuk, dan malaise. Kadang pada tahap ini dapat ditemukan gangguan perkembangan anak. ii. Tahap kedua: Tahap kedua muncul secara tiba-tiba dan ditandai oleh penurunan kesadaran yang lebih dalam (anak mulai tampak lelah), muntah, kejang, tanda rangsang meningeal dan tanda neurologis fokal yang positif. iii. Tahap ketiga: Tahap ini ditandai oleh koma, hemiplegia atau paraplegia, perubahan tanda-tanda vital (hipertensi dan pernapasan yang irreguler), dan akhirnya bisa terjadi kematian. B. Pemeriksaan Fisik Hasil pemeriksaan fisik yang bermakna untuk menunjang diagnosis meningitis serosa adalah sebagai berikut: 1) Keadaan umum tampak sakit sedang sampai berat 2) Penurunan kesadaran bervariasi dari apatis hingga koma 3) Pemeriksaan hasil antropometri dapat menunjukkan gizi buruk yang merupakan faktor risiko untuk terjadinya meningitis terutama meningitis tuberkulosis 4) Pemeriksaan tanda vital menunjukkan adanya demam atau hipotermia dan mungkin dapat ditemukan gangguan pernafasan berupa takipnue dan apnue 5) Tanda peningkatan tekanan intrakranial ubun-ubun anak menonjol (bila belum menutup), papilledema (jarang ditemukan pada awal perjalanan penyakit), tangisan anak merupakan high-pitch cry

6) Tanda rangsang meningeal positif kaku kuduk (bisa negatif pada anak kurang dari 12 bulan), pemeriksaan Brudzinski 1 dan 2, serta pemeriksaan Kernig yang positif karena adanya rangsangan pada selaput meningens; pemeriksaan Laseq jarang dilakukan pada pasien anak

7) Tanda neurologis fokal hemiparesis atau hemiplegia, ataksia, gangguan nervus kranialis (paling sering melibatkan N.III, N.IV, N.VI, dan N.VII sehingga menyebabkan gangguan gerak bola mata dan asimetri wajah) 8) Refleks fisiologis normal dan refleks patologis negatif kecuali infeksi melibatkan parenkim otak (meningoensefalitis) 9) Ruam kulit vesikular atau macular dan lesi pada mukosa pada meningitis viral

10

10) Paradoxic irritability (anak lebih irritable saat digendong dibandingkan dengan saat anak berbaring/ tidur) 7. LABORATORIUM Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan untuk menunjang diagnosis ialah sebagai berikut: 1) Pemeriksaan darah lengkap: Pemeriksaan darah dapat menunjang adanya infeksi dan membedakan infeksi bakteri dari infeksi virus. Pada infeksi akan didapatkan peningkatan kadar leukosit. 2) Pemeriksaan cairan serebrospinal: Secara makroskopik diperhatikan warna dari cairan serebrospinal kemudian juga dilakukan pemeriksaan hitung sel, hitung leukosit, pewarnaan Gram, hitung kadar glukosa, hitung kadar protein, dan kultur bakteri serta kultur virus pada sampel cairan serebrospinal yang didapatkan dengan lumbal pungsi. Kultur perlu dilakukan karena merupakan suatu gold standard untuk menegakkan diagnosis meningitis dan sekaligus membedakan meningitis bakterial dan meningitis viral. Untuk mendapatkan hasil yang lebih cepat juga dapat dilakukan pemeriksaan PCR pada cairan serebrospinal yang berguna bila dicurigai etiologi herpes simpleks virus, cytomegalovirus, atau enterovirus. Pada meningitis serosa akan didapatkan cairan serebrospinal yang jernih (sering santokrom untuk meningitis tuberkulosis) dengan hitung sel yang rendah atau pleositosis yang predominan limfosit.

Pada meningitis viral kadar glukosa biasanya normal sedangkan pada meningitis tuberkulosis kadar glukosa rendah. Pada meningitis tuberkulosis dapat

11

ditemukan bakteri tahan asam yang positif pada cairan serebrospinal. Pada tabel berikut tertera gambaran cairan serebrospinal pada berbagai bentuk meningitis:

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG LAIN Umumnya pemeriksaan lumbal pungsi dan cairan serebrospinal saja cukup untuk dapat menegakan suatu diagnosis pada kasus meningitis serosa namun kadang diperlukan pemeriksaan penunjang yang lain sebagai berikut: 1) Tuberculin skin test (TST)/ Mantoux test: TST yang positif menunjang diagnosis meningitis tuberkulosis. Dimana TST disebut positif bila indurasi lebih dari 5 mm pada pasien anak suspek TB atau dengan riwayat TB; indurasi lebih dari 10 mm pada pasien anak dengan risiko TB misalnya ia punya riwayat kontak dengan orang dewasa yang menderita TB; indurasi lebih dari 15 mm pada anak lebih atau sama dengan 4 tahun tanpa adanya faktor risiko TB. 2) Foto roentgen paru: Foto roentgen paru dengan penebalan hilus menunjang diagnosis meningitis tuberkulosis. 3) Pemeriksaan CT atau MRI kepala: Pemeriksaan CT atau MRI diperlukan bila diduga meningitis serosa akita neoplasma, hematoma, atau perdarahan intrakranial. Selain itu juga dapat menunjang diagnosis meningitis viral contohnya infeksi cytomegalovirus, toxoplasmosis, rubella, dan HSV dapat menunjukan kalsifikasi pada pemeriksaan neuroimaging tersebut. Selain itu pemeriksaan CT 12

atau MRI juga berguna untuk mengetahui apakah terdapat keterlibatan parenkim otak yang ditandai oleh swelling.

9. DIAGNOSIS Diagnosis meningitis serosa dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, baik anamnesis maupun pemeriksaan fisik, dan juga pemeriksaan cairan serebrospinal seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Yang penting pada meningitis serosa adalah menegakkan diagnosis etiologi.

10. DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding daripada meningitis serosa ialah meningitis purulenta oleh karena gejala klinis kedua sindroma penyakit ini sangat mirip. Beberapa patokan penting yang dapat digunakan untuk membedakan meningitis purulenta dan meningitis serosa adalah sebagai berikut: 1) Anak dengan meningitis purulenta umumnya memiliki gejala klinis yang lebih buruk dibandingkan anak dengan meningitis serosa 2) Gejala klinis yang menonjol pada meningitis purulenta ialah peningkatan tekanan intrakranial sedangkan pada meningitis viral ialah penurunan kesadaran 3) Pada meningitis viral sering ditemukan ruam kulit ataupun ruam mukosa pada pemeriksaan fisik 4) Pemeriksaan cairan LCS dapat membedakan meningitis purulenta dan meningitis serosa

11. PENATALAKSANAAN Pada seorang anak yang didiagnosis menderita meningitis sulit untuk dapat mengetahui etiologi sebelum dilakukan pemeriksaan penunjang maka pada semua anak dengan meningitis perlu diterapi secara agresif yaitu perlu di rawat inap dan diberikan terapi antibiotik secara intravena. Semua pasien dengan keadaan umum yang buruk perlu dipantau secara intensif. Terapi antibiotik diberikdan sampai kultur bakteri didapatkan negatif paling sedikit selama 72 jam. Gambar berikut merupakan algoritma penatalaksanaan meningitis secara umum:

13

Pada prinsipnya, tatalaksana daripada meningitis serosa adalah tergantung daripada etiologinya. Untuk sebagian besar meningitis serosa, yang tidak disebutkan dibawah, terapi yang diberikan berupa terapi suportif dimana anak dianjurkan untuk bed-rest dan diberikan analgesik (yang non-aspirin) untuk mengurangi nyeri kepala, diberikan acetaminophen untuk menurunkan demam, dan juga diberikan terapi cairan intravena untuk mencegah kelainan elektrolit karena anak mengalami anoreksia dan sukar untuk makan. Pada pasien dengan tekanan intrakranial yang terlampau tinggi dapat dilakukan spinal tap untuk mengurangi tekanan.

14

1) Meningitis viral akibat Herpes simpleks virus: Diberikan acyclovir dengan dosis 10-15mg/kgBB setiap 8 jam sekali selama 10 hari. 2) Meningitis viral akibat Enterovirus: Terapi hanya bersifat supportif. Pada kasus dengan tampilan klinis yang buruk dapat diberikan immunoglobulin secara intravena. Obat antiviral pleconaril dapat digunakan untuk meningitis enteroviral pada dewasa namun penggunaanya pada anak masih dalam penelitian lebih lanjut. 3) Meningitis viral akibat Cytomegalovirus: Diberikan ganciclovir untuk bayi dan anak dengan infeksi congenital Cytomegalovirus. 4) Meningitis tuberkulosis: Diberikan terapi obat anti tuberkulosis (OAT).

Penatalaksanaan dini membantu perbaikan dari gejala neurologis, maka pada anak yang asimptomatis dengan TST yang positif sudah dapat diberikan terapi isoniazid. Terapi OAT yang disarankan untuk meningitis tuberkulosis ialah sebagai berikut: diberikan selama 2 bulan pertama isoniazid (20 mg/kg/hari per oral sampai 500mg/hari), streptomycin (20mg/kg/hari secara intramuskular sampai 1 g/hari), rifampicin (15 mg/kg/hari per oral sampai 600 mg/hari), dan pirazinamide (30 mg/kg/hari); kemudian isoniazid dan rifampicin dilanjutkan selama 10 bulan. Selain OAT juga dapat diberikan kortikosteroid yaitu prednisone selama 2-3 minggu untuk mengurangi inflammasi dan edema serebri. 5) Meningitis fungal: Diberikan anti-jamur amphotericin B secara intravena dan harus diperhatikan fungsi ginjal karena sifat obat yang nefrotoksik. Untuk pasien yang menderita HIV selain diberikan terapi anti-retroviral (ARV) juga diberikan anti-jamur fluconazole seumur hidup.

12. KOMPLIKASI Komplikasi yang dapat terjadi pada anak dengan meningitis bisa bersifat akut maupun kronik. Komplikasi akut yang dapat terjadi meliputi kejang, syndrome of inappropriate antidiuretic hormone (SIADH), peningkatan tekanan intrakranial, serta defisit neurologik fokal. Komplikasi kronik yang dapat terjadi antara lain adalah hidrosefalus, tuli sensorineural, paralisis, gangguan saraf kranial, kebutaan, dan gangguan dalam perkembangan anak seperti gangguan belajar dan berbahasa, serta gangguan perilaku/ mental anak. Komplikasi jarang terjadi pada meningitis serosa dibandingkan dengan pada meningitis purulenta namun anak tetap harus di follow-up secara ketat setelah dipulangkan dari rumah sakit untuk mengantisipasi komplikasi yang dapat terjadi.

15

13. PROGNOSIS Prognosis pasien dengan meningitis serosa tergantung dari gejala klinis saat didiagnosis, usia pasien, dan respons terhadap pengobatan yang diberikan. Pada umumnya untuk meningitis viral prognosisnya baik karena merupakan penyakit yang self-limiting kecuali bila didapatkan adanya keterlibatan parenkim otak atau ensefalitis. Untuk meningitis tuberkulosis prognosis baik bila terapi diberikan pada tahap pertama dari gejala klinis sedangkan prognosis buruk bila terapi baru dapat diberikan saat sudah mencapai tahap ketiga dari gejala klinis karena dapat berakibat disabilitas yang menetap seperti buta, tuli, lumpuh, diabetes insipidus, dan retardasi mental. Prognosis umumnya lebih buruk untuk anak dengan usia yang lebih kecil dan faktor risiko seperti malnutrisi dan immunodefisiensi. Secara umum prognosis untuk meningitis serosa lebih baik dari meningitis purulenta.

14. PENCEGAHAN Meningtis serosa pada anak dapat dicegah dengan melakukan vaksinasi untuk penyakit yang berkaitan dengan etiologi meningitis serosa yaitu: vaksinasi polio, vaksinasi MMR, vaksinasi varicella, dan vaksinasi BCG. Untuk pencegahan infeksi arbovirus yang vektornya merupakan serangga seperti nyamuk dapat dilakukan eradikasi vektor serangga dengan menggunakan spray anti-nyamuk atau dilakukan berbagai upaya untuk meminimalisasi gigitan nyamuk misalnya dengan menggunakan insect-repellent yang mengandung DEET dan mengenakan baju dan celana yang berlengan panjang serta kaos kaki saat diluar rumah. Pencegahan infeksi pada umumnya ialah dengan menjaga asupan makanan anak agar tidak terjadi malnutrisi yang merupakan faktor risiko infeksi dan menjaga kebersihan anak serta lingkungan anak.

16

You might also like