You are on page 1of 2

TOR (term of reference) DISKUSI KRITIS PENERBITAN KA ANDAL TAMBANG BIJI BESI KULON PROGO Gejolak penolakan tambang

oleh masyarakata pesisir di Kulonprogo dimulai sejak kehadiran PT. Jogja Magasa Iron (JMI) berencana melakukan eksporasi biji besi di sepajang pesisir. Gelombang penolakan terus memanas sejak penandatanganan Kontrak Karya pada 4 Nopember 2008 silam, hingga aksi demi aksi terus digelar. Hingga aksi ricuh pun pecah ketika konsultasi penyusunan AMDAL yang digelar oleh Pemerintah Kabupaten Kulon Progo bersama PT JMI bulan Oktober 2009 lalu. Puluhan warga terluka, namun tak menyurutkan semangat penolakan hingga sekarang. PT JMI adalah sebuah perusahaan baru dengan komposisi kepemilikan saham adalah PT Jogja Magasa Mining (Indonesia) sebesar 30% dan Indo Mines Limited (Australia) sebesar 70%. Rencana penambangan ini telah menjadi sorotan Komnas HAM dan telah memberikan rekomendasi bahwa akan terjadi pelanggaran HAM, terutama masyarakat yang berada di sekitarnya seperti hilangnya mata pencaharian, hilangnya tempat tinggal akibat penggusuran, serta munculnya kasus-kasus sengketa lahan antara penduduk lokal dan pihak Pakualaman. Analisis daya rusak tambang untuk pesisir telah banyak dirilis, namun pemerintah tetap bersikukuh bahwa rencana eksploitasi harus diwujudkan. Dalih peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dan kesejahteraan masyarakat menjadi marak dirilis melalui media cetak lokal akhir tahun 2009 silam. Sementara itu kerusakan lingkungan akibat industri ekstraktif yang terjadi di Bumi Nusantara akhir-akhir ini menyebabkan keresahan, kesengsaraan dan penderitaan masyarakat yang tak kunjung usai. Hal ini menjadi refleksi bahwa tidak berfungsinya peraturan perundang-undangan dan perangkat hukum sebagaimana mestinya, sehingga apa yang diamanatkan dalam semangat lahirnya UUPPLH Nomor 32 tahun 2009 dengan berdasarkan pada UUD'45 pasal 33 bahwa mewajibkan agar sumber daya alam dipergunakan untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat, tampaknya masih jauh dari kenyataan. Salah satu kewajiban penyelenggara industri ekstraktif sebelum menjalankan usahanya adalah kewajiban untuk membuat Analisis Masalah Dampak Lingkungan (AMDAL). Hal ini sebagai upaya untuk mengendalikan dampak lingkungan hidup yang akan muncul akibat industry ekstraktif tersebut. Suatu perangkat hukum yang bersifat preventif berupa izin melakukan usaha telah diatur dalam PP 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Oleh karena itu apa yang ada dalam dokumen Amdal yang di dalamnya berupa hasil penelitian analisis dampak lingkungan hidup (Andal), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) menjadi syarat mutlak yang harus dimiliki dalam rangka kegiatan pengelolaan atau pemanfaatan SDA. AMDAL yang diharapkan sebagai benteng terakhir untuk pelestarian lingkungan hidup dan perlindungan kesejahteraan masyarakat justru mengancam fungsi lingkungan itu sendiri dan bahkan merugikan kehidupan masyarakat. Terbukti dengan semakin banyaknya kerusakan lingkungan akibat eksplorasi dan eksploitasi SDA yang ironisnya justru dilegalkan oleh pemerintah dengan diterbitkannya surat izin melakukan usaha/kegiatan berdasarkan pertimbangan yang ada dalam dokumen Amdal. Kekhawatiran yang sama juga terjadi dikalangan masyarakat terkait dengan sedang disusunnya dokumen AMDAL untuk penambangan biji besi. Untuk mememuluskannya, pemerintah mengeluarkan izin pemanfaatan ruang kawasan pesisir untuk pertambangan. Padahal didalam perda tata ruang Kabupaten Kulonprogo no. 1 tahun 2003 secara tegas mengatur peruntukan kawasan pesisir adalah untuk perikanan dan pertanian.

Terkait dengan telah selesainya penyusunan dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA ANDAL) rencana kegiatan penambangan dan pemrosesan pasir besi di Kulonprogo yang dibuat oleh pemrakarsa PT. JMI. Maka kami bermaksud mengadakan diskusi kritis terkait dengan dokumen KA ANDAL tersebut. Tujuan 1. Mengkritisi dokumen KA ANDAL agar sesuai dengan semangat UU Perlindungan dan Pengelolahan Lingkungan Hidup. 2. Sebagai bahan dalam menolak rencana pelaksanaan proyek tambang biji besi di pesisir pantai Kulonprogo. 3. Merancang aksi penolakan Tambang dan AMDAL pada saat penyelenggaraan Sidang AMDAL 15 Desember 2010. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Kamis, 9 Desember 201, Pukul 09.00 Wib - selesai WALHI Yogyakarta Jl. Nyi Pembayun No.14-A Kotagede Yogyakarta Telp 0274-37861 diy@walhi.or.id Peserta Diskusi 1. Eksekutif Nasional WALHI 2. Eksekutif Daerah WALHI Yogyakarta 3. JATAM 4. KIARA 5. LBH Yogyakarta 6. BINGKAI Indonesia 7. SeTAM 8. Akademisi (STTNAS Yogyakarta)

You might also like