You are on page 1of 33

Memahami Gerakan Zakat, Infaq, dan Shadaqah dalam Muhammadiyah

AIK III (Kemuhammadiyahan)


Professor Dr Ishomuddin, M.Si

Zakat (Bahasa Arab: ;transliterasi: Zakah) adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya) menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syarak. Zakat merupakan rukun ketiga dari Rukun Islam.

Secara harfiah zakat berarti "tumbuh", "berkembang", "menyucikan", atau "membersihkan". Sedangkan secara terminologi syari'ah, zakat merujuk pada aktivitas memberikan sebagian kekayaan dalam jumlah dan perhitungan tertentu untuk orang-orang tertentu sebagaimana ditentukan.

Setiap muslim diwajibkan memberikan sedekah dari rezeki yang dikaruniakan Allah. Kewajiban ini tertulis di dalam Alquran. Pada awalnya, Alquran hanya memerintahkan untuk memberikan sedekah (pemberian yang sifatnya bebas, tidak wajib). Namun, pada kemudian hari, umat Islam diperintahkan untuk membayar zakat. Zakat menjadi wajib hukumnya sejak tahun 662 M. Nabi Muhammad melembagakan perintah zakat ini dengan menetapkan pajak bertingkat bagi mereka yang kaya untuk meringankan beban kehidupan mereka yang miskin. Sejak saat ini, zakat diterapkan dalam negara-negara Islam.

Hal ini menunjukan bahwa pada kemudian hari ada pengaturan pemberian zakat, khususnya mengenai jumlah zakat tersebut.. Pada zaman khalifah, zakat dikumpulkan oleh pegawai sipil dan didistribusikan kepada kelompok tertentu dari masyarakat. Kelompok itu adalah orang miskin, janda, budak yang ingin membeli kebebasan mereka, orang yang terlilit hutang dan tidak mampu membayar. Syari'ah mengatur dengan lebih detail mengenai zakat dan bagaimana zakat itu harus dibayarkan. Kejatuhan para khalifah dan negaranegara Islam menyebabkan zakat tidak dapat diselenggarakan dengan berdasarkan hukum lagi.

Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah seperti salat, haji, dan puasa yang telah diatur secara rinci berdasarkan Alquran dan Sunah. Zakat juga merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia dimana pun.

Zakat terbagi atas dua jenis yakni:

Zakat fitrah Zakat yang wajib dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri pada bulan Ramadan. Besar zakat ini setara dengan 3,5 liter (2,5 kilogram) makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan. Zakat maal (harta) Mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak. Masingmasing jenis memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.

Ada delapan pihak yang berhak menerima zakat, yakni: Fakir - Mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup. Miskin - Mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup. Amil - Mereka yang mengumpulkan dan membagikan zakat. Mu'allaf - Mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan barunya Hamba sahaya yang ingin memerdekakan dirinya Gharimin - Mereka yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk memenuhinya Fisabilillah - Mereka yang berjuang di jalan Allah (misal: dakwah, perang dsb) Ibnus Sabil - Mereka yang kehabisan biaya di perjalanan.

Orang kaya. Rasulullah bersabda, "Tidak halal mengambil sedekah (zakat) bagi orang yang kaya dan orang yang mempunyai kekuatan tenaga." (HR Bukhari). Hamba sahaya, karena masih mendapat nafkah atau tanggungan dari tuannya. Keturunan Rasulullah. Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya tidak halal bagi kami (ahlul bait) mengambil sedekah (zakat)." (HR Muslim). Orang yang dalam tanggungan yang berzakat, misalnya anak dan istri. Orang kafir.

Dengan berzakat berarti telah menjalankan salah satu dari Rukun Islam yang mengantarkan seorang hamba kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat. Merupakan sarana bagi hamba untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Rabb-nya, akan menambah keimanan karena keberadaannya yang memuat beberapa macam ketaatan. Pembayar zakat akan mendapatkan pahala besar yang berlipat ganda, sebagaimana firman Allah, yang artinya: "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah" (QS: Al Baqarah: 276). Dalam sebuah hadits yang muttafaq "alaih Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam" juga menjelaskan bahwa sedekah dari harta yang baik akan ditumbuhkan kembangkan oleh Allah berlipat ganda. Zakat merupakan sarana penghapus dosa, seperti yang pernah disabdakan Rasulullah Muhammad SAW.

Menanamkan sifat kemuliaan, rasa toleran dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar zakat. Pembayar zakat biasanya identik dengan sifat rahmah (belas kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak punya. Merupakan realita bahwa menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat baik berupa harta maupun raga bagi kaum Muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa. Sebab sudah pasti ia akan menjadi orang yang dicintai dan dihormati sesuai tingkat pengorbanannya. Di dalam zakat terdapat penyucian terhadap akhlak.

Zakat merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia. Memberikan dukungan kekuatan bagi kaum Muslimin dan mengangkat eksistensi mereka. Ini bisa dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah mujahidin fi sabilillah. Zakat bisa mengurangi kecemburuan sosial, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam dada fakir miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka yang berkelas ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaaat bisa tersulut rasa benci dan permusuhan mereka.

Jikalau harta yang demikian melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan dan cinta kasih antara si kaya dan si miskin. Zakat akan memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah. Membayar zakat berarti memperluas peredaran harta benda atau uang, karena ketika harta dibelanjakan maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak pihak yang mengambil manfaat.

Hikmah dari zakat antara lain: Mengurangi kesenjangan sosial antara mereka yang berada dengan mereka yang miskin. Pilar amal jama'i antara mereka yang berada dengan para mujahid dan da'i yang berjuang dan berda'wah dalam rangka meninggikan kalimat Allah SWT. Membersihkan dan mengikis akhlak yang buruk Alat pembersih harta dan penjagaan dari ketamakan orang jahat. Ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan Untuk pengembangan potensi ummat Dukungan moral kepada orang yang baru masuk Islam Menambah pendapatan negara untuk proyek-proyek yang berguna bagi ummat.

QS (2:43) ("Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'".) QS (9:35) (Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.") QS (6: 141) (Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanamtanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan).

Saudi Arabia: Department of Zakat and Income Tax Amerika Serikat: Zakat Foundation of America Australia: Bayt Al-Zakat Australia: The Islamic Associatian of Australia India: Zakat Foundation of India Kanada: Islamic Society of North America, Canada Johor: Majlis Agama Islam Negeri Johor Perak: Majlis Agama Islam Dan Adat Melayu Perak Trerengganu: Majlis Agama Islam Dan Adat Melayu Terengganu Kelantan: Majlis Agama Islam Kelantan Sabah: Pusat Zakat Sabah (PZS) Singapura: Majlis Ugama Islam Singapura Indonesia: Rumah Zakat Indonesia Indonesia: Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhiid

Allah telah menegaskan bahwa penyaluran zakat hanyalah untuk orang-orang yang telah disebutkan dalam Al-Quran surat AtTaubah ayat 60, yaitu sebanyak delapan golongan. Firman Allah : Sesungguhnya shadaqah ( zakat-zakat) itu hanyalah untuk orangorang fakir, orang-orang miskin, pengeuru-penguru zakat, para muallaf yang dibujuik hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk dijalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana. Para ulama telah sepakat atas delapan golongan penerima zakat yang termaktub dalam ayat diatas, tetapi mereka berbeda pendapat tentang tafsir makna setiap golongan. Diantara mereka ada yang mempersempit makna, sebagian lainnya memperluas.

Terlepas dari itu semua, ada hikmah yang tersebunyi dibalik ashnaf atau golongan yang telah ditentukan Allah sebagai mustahik zakat. Mengapa Allah yang secara langsung mengatur golongan yang berhak menerima zakat? padahal Allah telah menyebutkan zakat dalam Al-Quran secara ringkas, sebagaimana halnya shalat, bahkan lebih ringkas dari shalat? dalam Al-Quran Allah tidak menyebutkan berapa besar zakat, apa syarat-syaratnya, tapi sunnahlah yang menjabarkan pelaksanaan, memperinci, dan menjelaskan dengan keterangan-keterangan, baik berupa perkataan atau perbuatan.

Tapi mengapa Allah dalam Al-Quran secara langsung menyebutkan dan memperinci orang-orang yang berhak menerima zakat? mengapa Allah tidak menyebutkannya secara umum saja, misalnya untuk orangorang yang membutuhkan tanpa memperincinya satu persatu, sebagimana halnya kewajiban menunaikan zakat yang disebutkan secara umum dalam Al-Quran tanpa memperincinya? Pada masa Rosulullah, orang-orang yang serakah dengan harta dunia, mereka tidak dapat menahan hawa nafsu ketika mereka melihat dana sedekah dan zakat. Mereka mengharapkan percikan harta tersebut dari Rosulullah. Tetapi ternyata mereka tidak diperhatikan oleh Rosulullah. Mereka mulai menggunjing dan menyerang kedudukan beliau sebagai seorang Nabi. Kemudian turunlah ayat Al-Quran yang menyingkap sifat-sifat mereka yang munafik dan serakah itu dengan menunjukan kepalsuan mereka yang hanya mementingkan kepentingan pribadi. Dan sekaligus ayat itu menerangkan kemana sasaran zakat itu harus dikeluarkan.

Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 58-60: Dan diantara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) sedekah-sedekah. Jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya (maka) dengan serta merta mereka menjadi marah. Jika mereka sungguh sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rosulnya kepada mereka, dan berkata: cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberi kepada kami sebagian dari karuniaNya, dan dengan demikian (pula) RosulNya, sesungguhnya adalah orang-orang yang berharap kepada Allah, (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka). Sesungguhnya shadaqah ( zakat-zakat) itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengeuru-penguru zakat, para muallaf yang dibujuik hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk dijalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.

Maka dengan turunnya ayat tersebut harapan merekapun menjadi buyar, sasaran zakat menjadi jelas dan masing-masing mengetahui haknya. Dengan dijelaskannya lebih rinci oleh Allah dalam Al Quran tentang penyaluran zakat, maka para penguasa atau petugas zakat, atau juga lembaga-lembaga pengelola zakat tidak dapat membagikan zakat sesuai dengan sekehendak hati mereka. Karena jika demikian, hal itu akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang akan mereka gunakan untuk kepentingan pribadi mereka atau juga kepentingan golongan mereka dan bukan untuk kepentingan Islam dan umat Islam.
Kalau kita perhatikan, sebelum Islam datang, sejarah keuangan sudah mengenal banyak sekali berbagai macam perpajakan. Pemungutan pajak sudah dilakukan oleh berbagai bangsa sejak dari zaman dahulu.

Hasil pemungutan pajak kemudian disimpan diperbendaharaan kerajaan atau pemerintahan, untuk kemudian dibagikan kepada pejabat dan aparatnya dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka dan keluarganya, bahkan untuk kemewahan dan kebesaran mereka sendiri, tanpa pedulikan segala apa yang menjadi kebutuhan rakyat pekerja dan golongan fakir miskin yang lemah (Fiqhuzzakah, Syekh Yusuf Qardhawi).

Itulah penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan masyarakat sebelum datangnya Islam terhadap harta pajak. Itu semua terjadi karena tidak adanya hukum yang secara tegas sebagaimana halnya Al-Quran, yang memperinci dan mempertegas tentang penyaluran harta tersebut.

Meski semua ekonom mengenal Adam Smith dan buku Wealth of Nations-nya, hanya segelintir yang membacanya dengan teliti. Dalam buku itu, Adam Smith mengutip laporan perjalanan Doktor Pocock yang menjelaskan rahasia kesuksesan para pedagang Arab. Keberhasilan mereka, tulis Smith, terletak pada keramahan dan kemurahannya. Tepatnya, ia menulis, ketika mereka memasuki sebuah kota, mereka mengundang orang-orang di jalan, baik kaya maupun miskin, untuk makan bersama dengan duduk bersila. Mereka memulai makan dengan mengucap bismillah dan mengakhirinya dengan ucapan hamdalah. (Adam Smith, Wealth of Nations [Oxford University Press, 1993] hal.261,541).

Ratusan tahun kemudian,umat Islam seakan meninggalkan konsep manajemen yang telah membuat dunia terkesima ini. Syukurlah, belakangan ini sejumlah mujtahid Islam menggali kembali khazanah keilmuan ini. Salah satunya adalah Abu Sin dalam bukunya Al-Idarah fi al Islam. Abu Sin mengkritik aliran-aliran manajemen konvensional mulai dari aliran scientific management, aliran bureaucratic, aliran human relations, aliran behavioral dan aliran pendekatan sistem. Menurut Abu Sin, scientific management hanya menekankan pada pentingnya efisiensi dan kompensasi ekonomis sebagai insentif utama bagi pekerja, padahal efisiensi menjadi kontraproduktif bila pekerja merasa diperlakukan seperti robot dan berapapun besarnya kompensasi ekonomis akan terasa kurang bila kebutuhan psikologisnya tidak terpenuhi.

Bahkan, konsep ini menimbulkan pertentangan yang tidak ada habisnya antara pekerja rendahan dengan manajemen atas. Dalam rumusan Abu Sin,ada empat hal yang harus terpenuhi untuk dapat dikategorikan manajemen islami: Pertama, manajemen islami harus didasari nilai-nilai dan akhlak islami. Etika bisnis islami yang ditawarkan Salafy dan Salam berlaku universal tanpa meneganl ras dan agama. Boleh saja berbisnis dengan label Islam dengan segala atributnya, namun bila nilai-nilai dan akhlak berbisnis ditinggalkan, cepat atau lambat bisnisnya akan hancur.

Kedua, kompensasi ekonomis dan penekanan terpenuhinya kebutuhan dasar pekerja. Cukuplah menjadi suatu kezaliman bila perusahaan memanipulasi semangat jihad seorang pekerja dengan menahan haknya, kemudian menghiburnya dengan pahala yang besar. Urusan pahala, Allah yang mengatur. Urusan kompensasi ekonomis, kewajiban perusahaan membayarnya. Ketiga, faktor kemanusiaan dan spiritual sama pentingnya dengan kompensasi ekonomis. Pekerja diperlakukan dengan hormat dan diikutsertakan dalam pengambilan keputusan. Tingkat partisipatif pekerja tergantung pada intelektual dan kematangan psikologisnya. Bila hak-hak ekonomisnya tidak ditahan, pekerja dengan semangat jihad akan mau dan mampu melaksanakan tugasnya jauh melebihi kewajibannya. Keempat, sistem dan struktur organisasi sama pentingnya. Kedekatan atasan dan bawahan dalam ukhuwah islamiyah, tidak berarti menghilangkan otoritas formal dan ketaatan pada atasan selama tidak bersangkut dosa.

Potensi zakat di Indonesia sesungguhnya sangat besar. Bahkan sebuah penelitian memperkirakan potensi zakat di Indonesia sebesar Rp.7,5 triliun. Namun, kenyataannya, dana zakat ditambah dengan infak, sedekah, serta wakaf yang dihimpun berkisar Rp. 200 milyar pertahun. Itu artinya penghimpunan zakat baru mencapai 2.67 persen dari potensi yang ada. Tampaknya memang ada banyak hal yang harus dibenahi dalam pengelolaan zakat di Indonesia.

Ada beberapa hal yang memang masih menjadi persoalan dalam penghimpunan zakat. Diantaranya adalah pengelolaan zakat masih berciri tradisional. Biasanya amil zakat bukanlah sebuah profesi atau pekerjaan yang permanen. Amil zakat hanya ditunjuk ketika ada aktivitas pemungutan zakat fitrah. Sedangkan untuk pungutan zakat harta biasanya dilakukan oleh pengurus masjid. Dengan sistem pengelolaan yang masih terbatas dan tradisional itu, sulit untuk mengetahui berapa sebenarnya jumlah zakat yang telah dihimpun. Manajemen zakat yang baik adalah suatu keniscayaan. Dalam Undang-Undang (UU) No.38 Tahun 1999 dinyatakan bahwa Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat.

Kualitas manajemen suatu lembaga pengelola zakat harus dapat diukur. Untuk itu, ada tiga kata kunci yang dapat dijadikan sebagai alat ukurnya. Pertama, amanah. Sifat amanah merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap amil zakat. Tanpa adanya sifat ini, hancurlah semua sitem yang dibangun. Kedua, sikap profesional. Sifat amanah belumlah cukup. Harus diimbangi dengan profesionalitas pengelolaannya. Ketiga, transparan. Dengan transparannya pengelolaan zakat, maka kita menciptakan suatu sistem kontrol yang baik, karena tidak hanya melibatkan pihak intern organisasi saja, tetapi juga akan melibatkan pihak eksternal. Dan dengan transparansi inilah rasa curiga dan ketidakpercayaan masyarakat akan dapat diminimalisasi.

Ketiga kata kunci ini dapat diimplementasikan apabila didukung oleh penerapan prinsip-prinsip operasionalnya, yaitu pertama, kita harus melihat aspek kelembagaan. Dari aspek kelembagaan, pengumpul zakat seharusnya memperhatikan berbagai faktor, yaitu: visi dan misi, kedudukan dan sifat lembaga, legalitas dan struktur organisasi, aliansi strategis.
Kedua, aspek sumber daya manusia (SDM). SDM merupakan aset yang paling berharga. Sehingga pemilihan siapa yang akan menjadi amil zakat harus dilakukan dengan hati-hati. Untuk itu perlu diperhatikan faktor perubahan paradigma bahwa amil zakat adalah sebuah profesi dengan kualifikasi SDM yang khusus. Ketiga, aspek sistem pengelolaan. Pengumpul zakat harus memiliki sistem pengelolaan yang baik, unsur-unsur yang harus diperhatikan adalah lembaga tersebut harus memiliki sistem, prosedur dan aturan yang jelas, manajemen yang terbuka, mempunyai activity plan, mempunyai lending commite, memiliki sistem akuntansi dan manajemen keuangan, diaudit, publikasi, dan perbaikan secara berkala.

Setelah prinsip-prinsip operasional kita pahami, kita melangkah lebih jauh untuk mengetahui bagaimana agar pengelolaan zakat dapat berjalan optimal. Untuk itu, perlu dilakukan sinergi dengan berbagai stakeholder. Pertama, para pembayar zakat (muzakki). Jika lembaga tersebut ingin eksis, maka ia harus mampu membangun kepercayaan para muzakki. Banyak cara yang bisa digunakan untuk mecapainya, antara lain: memberikan progress report berkala, mengundang muzakki ke tempat mustahiq, selalu menjalin komunikasi melalui media cetak, silaturahmi, dan lain-lain. Kedua, para amil. Amil adalah faktor kunci keberhasilan pengumpul zakat. Untuk itu, lembaga tersebut harus mampu merekrut para amil yang amanah dan profesional. Setelah itu, pengumpul zakat juga harus mampu mendesain sistem operasional yang memberikan kesempatan kepada para amil untuk berkembang dan berkarya. Sehingga menjadi amil betul-betul merupakan sebuah pilihan dan pengabdian kepada Allah SWT.

Para amil dalam bekerja harus meletakkan prinsip-prinsip seperti: ikhlas, sabah, amanah, jujur dan inovatif. Disamping itu, sistem operasional lembaga juga mesti mengakomodasikan kebutuhan para amil. Sehingga para amil dapat memberikan karyanya secara maksimal di dalam membangun lembaga tersebut. Ketiga, pengambil kebijakan. Kebijakan dalam konteks kenegaraan juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan pengumpul zakat. Dengan adanya peraturan seperti UU, maka lembaga tersebut akan dapat bergerak secara legal. Sehingga pengumpul zakat mempunyai landasan yang cukup kuat dalam mengelola zakat. Lain halnya ketiga belum ada konstitusi yang mengatur, sehingga gerak dan langkah pengumpul zakat menjadi begitu terbatas. Keempat, media massa. Media merupakan penyambung lidah. Dengan begitu banyaknya oplah media diharapkan jangkauan sosialisasi kepada masyarakat akan semakin luas. Oleh karenanya pengumpul zakat mesti mampu menjalin kerjasama yang berkenjutan dengan media massa. Sehingga tidak adalagi jarak antara pengumpul zakat dengan masyarakat.

You might also like