You are on page 1of 68

JAI

Volume I Nomor 01, Maret 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia


Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesia melalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif

Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi (IDSAI) Jawa Tengah

JAI

Jurnal Anestesiologi Indonesia Pelindung: Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP Ketua Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia (IDSAI) Cabang Jawa Tengah Ketua Redaksi: dr. Uripno Budiono, SpAn Wakil Ketua Redaksi: dr. Johan Arifin, SpAn, KAP Anggota Redaksi: dr. Abdul Lian Siregar, SpAn, KNA dr. Hariyo Satoto, SpAn dr. Witjaksono, MKes, SpAn, KAR dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP dr. Sofyan Harahap, SpAn, KNA dr. Jati Listianto Pujo, SpAn, KIC dr. Doso Sutiyono, SpAn dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn dr. Himawan Sasongko, SpAn, MSi.Med dr. Aria Dian Primatika, SpAn, MSi.Med dr. Danu Soesilowati, SpAn dr. Hari Hendriarto, SpAn, MSi.Med Mitra Bestari: Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO

Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat artikel penelitian klinik dan preklinik. Diantaranya adalah mengenai penggunaan ajuvan Klonidin pada anestesi lokal, pengaruh koloid HES dan Ketorolak pada studi koagulasi, dan studi imunohistokimia IL-10 pada infiltrasi Levobupivakain. Dua tinjauan pustaka, mengenai neurotransmitter pada saraf otonom dan pemberian nutrisi pada pasien cedera kepala diharapkan menambah pengetahuan kita dalam bidang anestesi. Semoga bermanfaat.

Salam,

dr. Uripno Budiono, SpAn

Seksi Usaha: dr. Mochamat Administrasi: Maryani, Nik Sumarni Jurnal Anestesiologi diterbitkan 3 kali per tahun, setiap bulan Maret, Juli dan November sejak tahun 2009. Harga Rp.200.000,- per tahun. Untuk berlangganan dan sirkulasi: Ibu Nik Sumarni (081326271093) Ibu Kamtini (081325776326) Alamat Redaksi: Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi, Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang. Telp. 024-8444346.

Artikel dalam jurnal ini boleh di-copy untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Apabila akan menggunakannya sebagai acuan, hendaknya mencantumkan artikel tersebut sebagai daftar pustaka dengan sitasinya.

DAFTAR ISI
PENELITIAN Artsanto R, Doso Sutiyono, Witjaksono Perbedaan Lama Analgesi Antara Lidokain 5% 100 mg Hiperbarik, Kombinasi Lidokain 5% 100 mg Hiperbarik + Klonidin 75g Serta Kombinasi Lidokain 5% 100 mg Hiperbarik + Klonidin 150g Pada Blok Subarakhnoid Waktu regresi 2 segmen kelompok Lidokain-Klonidin 150 g lebih lama secara bermakna dibandingkan kelompok Lidokain dan kelompok Lidokain-Klonidin 75 g, serta kelompok Lidokain-Klonidin 75 g lebih lama secara bermakna dibandingkan kelompok Lidokain. Hari Hendriarto Satoto, Ery Leksana, Uripno Budiono Perbedaan Pengaruh Pemberian Infus HES Dengan Berat Molekul 40 kD dan 200 kD Terhadap Plasma Prothrombin Time dan Partial Thromboplastin Time Kajian Pada Pasien Dengan Perdarahan Sampai 20% Estimated Blood Volume Pemberian HES 200 kD memperpanjang PT dan PTT lebih besar dari pada HES 40 kD. Aryono Hendrasto, Eva Susana Putridaya, Mohammad Sofyan Harahap Pengaruh Pemberian Ketorolak 30 mg Intravena pada Penderita dengan Anestesi Spinal Terhadap Fungsi Pembekuan Darah : Protrombin Time, Partial Tromboplastin Time with Kaolin Pemberian dosis tunggal ketorolak 30 mg intravena pada penderita dengan anestesi spinal tidak berpengaruh terhadap fungsi koagulasi jalur ekstrinsik (PT) tapi akan memperpanjang fungsi koagulasi jalur intrinsik (PTTK) namun pemanjangan ini masih dalam batas normal atau tidak nampak secara klinis. Winarto, Uripno Budiono, Mohamad Sofyan Harahap Perbandingan Sekresi IL-10 di Jaringan Sekitar Luka Insisi Dengan dan Tanpa Infiltrasi Levobupivakain : Studi Imunohistokimia pada Tikus Wistar Sekresi IL-10 di jaringan sekitar luka dengan infiltrasi levobupivakain lebih tinggi dibanding tanpa levobupivakain Hal 1

13

26

32

TINJAUAN PUSTAKA Iwan Dwi Cahyono, Himawan Sasongko, Aria Dian Primatika Neurotransmitter Dalam Fisiologi Saraf Otonom Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis yang kerjanya saling berlawanan. Memahami anatomi dan fisiologi sistem saraf otonom berguna memperkirakan efek farmakologi obat-obatan baik pada sistem saraf simpatis maupun parasimpatis. Yusnita Debora, Yulia Wahyu Villyastuti, Mohamad Sofyan Harahap Nutrisi Pada Pasien Cedera Kepala Status hipermetabolik sering ditemukan pada pasien-pasien stroke ataupun cedera kepala, sehingga tidak jarang keadaan ini akan memperburuk keadaan pasien. Laju hipermetabolik ini dipercepat dengan puasa yang lama sehingga tubuh akan memobilisasi lemak dan protein yang nantinya akan digunakan sebagai untuk energi. Keadaan ini dapat dicegah dengan pemberian nutrisi secara dini dan pada keadaan ini lebih terpilih pemberian enteral nutrisi.

42

56

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN Perbedaan Lama Analgesi Antara Lidokain 5% 100 mg Hiperbarik, Kombinasi Lidokain 5% 100 mg Hiperbarik + Klonidin 75g Serta Kombinasi Lidokain 5% 100 mg Hiperbarik + Klonidin 150g Pada Blok Subarakhnoid
Artsanto R*, Doso Sutiyono*, Witjaksono*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT Background: Subarachnoid block using hyperbaric lidocaine, has been applicated on many variable clinic surgeries. The disadvantages of using hyperbaric lidocain 5% is short duration, 45-60 minutes, despite many surgeries take more than 1 hour. Purpose: Prove whether addition of Clonidine 75g and Clonidine 150 g on subarachnoid block with hyperbaric lidocaine 5% 100 mg able to make longer time of analgesia. Methods: It is experimental study with quota sampling design on the 60 patients which are undergoing surgery on abdominal region. In the room, blood pressure, heart rate, respiratory rate were measured. All of the patients were fasting 6 hours and no premedications. In the Instalasi Bedah Sentral vein access 18 G was inserted and colloid 7,5 cc/kg as preload. The patients were divided randomly into 3 groups. Uncooperative patient and who need additional analgesia during surgery, was excluded. Using ANOVA and p < 0,05. Datas were gathered in tables. Results: There was no difference for patient characteristic and surgery distribution among 3 groups. Regression time of 2 segments on the lidocaine-clonidine 150 g group was longer than lidocaine group and lidocaine-clonidine 75 g group (p=0,000). The onset of sensoric block on lidocaine-clonidine 150 was shorter than lidocaine group and lidocaineclonidine 75 g group (p=0,000). The onset of motoric block on lidocaine-clonidine 150 g was shorter than lidocaine group and lidocaine-clonidine 75 g group (p=0,000). Duration of motoric block on lidocaine-clonidine 150 g group was longer than lidocaine group and lidocaine-clonidine 75 g group (p=0,000). Maximal level of sensoric block on lidocaine-clonidine 150 g was higher than lidocain group and lidocaine-clonidine 75 g group (p=0,038). Conclusion: Regression time of 2 segments on lidocaine-clonidine 150 g group was longer significantly than lidocaine group and lidocaine-clonidine 75 g group ; lidocaineclonidine 75 g was longer significantly than lidocain group. Keywords: Subarahcnoid block, hyperbaric lidocaine 5% 100 mg, Clonidine 75g, Clonidine 150 g.

ABSTRAK Latar belakang: blok subarakhnoid menggunakan lidocain hiperbarik, banyak digunakan pada operasi untuk pasien dengan berbagai kondisi klinik. Kerugian dari penggunaan lidocain 5% hiperbarik adalah durasinya yang singkat, dimana banyak tindakan pembedahan yang durasinya lebih dari 1 jam.

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tujuan: Membuktikan apakah penambahan klonidin 75 g dan klonidin 150 g pada blok subarakhnoid dengan lidokain 5% 100 mg hiperbarik dapat memperpanjang lama analgesia. Metode: Penelitian eksperimental dengan desain quota sampling pada 60 pasien yang menjalani operasi di daerah regio abdominal. Saat di ruangan dilakukan pengukuran tekanan darah, laju jantung dan laju nafas. Semua penderita dipuasakan 6 jam dan tidak diberikan obat premedikasi. Saat datang di Instalasi Bedah Sentral dilakukan pemasangan infus kateter intravena 18 G, dan diberikan preload cairan dengan larutan koloid 7,5 cc/kgBB. Penderita dikelompokkan secara acak dengan menggunakan tabel random menjadi 3 kelompok. Pasien tidak kooperatif dan membutuhkan analgetik tambahan selama pembedahan, pasien dikeluarkan dari penelitian. Uji statistik menggunakan ANOVA dan derajat kemaknaan p < 0,05. Penyajian data dalam bentuk tabel. Hasil: Karakteristik penderita dan distribusi operasi antara ketiga kelompok tidak berbeda. Waktu regresi 2 segmen kelompok Lidokain-Klonidin 150 g lebih lama dibandingkan kelompok Lidokain dan kelompok Lidokain-Klonidin 75 g (p=0,000). Mula kerja blok sensorik kelompok Lidokain-Klonidin 150 g lebih cepat dibandingkan kelompok Lidokain dan kelompok Lidokain-Klonidin 75 g (p=0,000). Mula kerja blok motorik kelompok Lidokain-Klonidin 150 g lebih cepat dibandingkan kelompok Lidokain dan kelompok Lidokain-Klonidin 75 g (p=0,000). Lama blok motorik kelompok LidokainKlonidin 150 g lebih lama dibandingkan kelompok Lidokain dan Lidokain-Klonidin 75 g (p=0,000). Level maksimal blok sensorik kelompok Lidokain-Klonidin 150 g lebih tinggi dibandingkan kelompok Lidokain dan kelompok Lidokain-Klonidin 75 g (p=0,038). Kesimpulan: Waktu regresi 2 segmen kelompok Lidokain-Klonidin 150 g lebih lama secara bermakna dibandingkan kelompok Lidokain dan kelompok Lidokain-Klonidin 75 g, serta kelompok Lidokain-Klonidin 75 g lebih lama secara bermakna dibandingkan kelompok Lidokain. Kata kunci: Blok Subarakhnoid, Lidokain 5% 100 mg hiperbarik, Klonidin 75 g, Klonidin 150 g PENDAHULUAN Pada pembedahan perut bagian bawah, ekstremitas bawah dan daerah perineum, blok subarakhnoid dengan obat anestesi lokal digunakan sebagai analgesia.1 Menurut formularium rumah sakit program askeskin tahun 2007 yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan, dikatakan bahwa lidokain 2 ml 100 mg merupakan obat anestetik lokal yang digunakan untuk blok subarakhnoid.2 Salah satu kekurangan dari lidokain adalah lama analgesia (duration of action) yang berkisar antara 45-60 menit, sehingga hanya cocok untuk pembedahan yang durasinya singkat. Oleh karena itu perlu diupayakan usaha untuk memperpanjang lama analgesia, antara lain dengan penambahan epinefrin, klonidin dan opioid (morfin, pethidin, fentanyl) pada obat tersebut.3 Klonidin sebagai alternatif dipilih digunakan bersama lidokain 5% hiperbarik pada anestesi spinal untuk memperpanjang lama analgesi. Lidokain 5% hiperbarik dipilih karena dari segi harga yang cukup relatif lebih murah, penyimpanan lebih mudah, dan banyak digunakan untuk operasi dengan durasi singkat dengan pemulihan yang cepat. Penambahan klonidin melalui intratekal akan memperpanjang kerja lidokain spinal dan mengurangi kebutuhan obat

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

lokal anestesi. FDA menyatakan bahwa morfin dan klonidin merupakan obat yang diperbolehkan untuk intratekal sebagai analgesik.4 Klonidin dipilih karena obat tersebut tidak mendepresi saluran pernafasan dan cenderung tidak membuat adiksi seperti obat-obat golongan narkotik. Seperti halnya golongan narkotik, klonidin dapat berlaku sebagai analgesik poten jika diberikan secara intratekal. Dosis klonidin adalah 1,5 g/kgBB dengan dosis maksimal sebesar 150 g intratekal. Thaib melaporkan bahwa kombinasi bupivakain 0,5% hiperbarik dan klonidin 150 g yang diberikan pada analgesia spinal menghasilkan efek analgesia yang sangat efektif, dimana blokade motorik dan blokade sensorik lebih diperpanjang.5 Kombinasi dengan adrenalin maupun klonidin memperpanjang masa analgesia, dimana blokade sensorik lebih lama pada kombinasi dengan klonidin, sedang blokade motorik lebih lama dengan adrenalin. Secara bermakna keduanya tidak memberikan perubahan hemodinamik yang bermakna.5 Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah penambahan klonidin 75 g dan klonidin 150 g pada lidokain 5% 100 mg hiperbarik dapat memperpanjang lama analgesia blok subarakhnoid. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi acuan dalam penggunaan obat tersebut dalam praktek klinik pada blok subaraknoid yang dapat menghasilkan analgesia yang lebih lama. METODE Desain penelitian adalah eksperimental berupa uji klinik tahap 2 yang dilakukan secara acak tersamar ganda. Subyek penelitian adalah semua pasien di RSDK yang dipersiapkan untuk pembedahan elektif dengan menggunakan teknik

anestesi blok subarakhoid yang memenuhi kriteria inklusi tertentu. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Sentral selama 6-10 minggu dan telah disetujui oleh seluruh subyek penelitian telah untuk menjadi sukarelawan. Cara pemilihan sampel dilakukan dengan cara Consecutive Random Sampling terhadap semua penderita yang dipersiapkan untuk operasi elektif, dimana semua penderita yang memenuhi kriteria dimasukkan dalam sampel sampai jumlah yang diperlukan, dan memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inklusi antara lain pembedahan elektif regio abdomen dengan blok subarakhnoid, usia 20-35 tahun dengan ASA I-II, berat badan 5075 kg, tinggi badan 150-75 cm, bersedia jadi sukarelawan, lama operasi diperkirakan sekitar 1 jam. Sedangkan kriteria eksklusi antara lain pasien tidak kooperatif, pasien membutuhkan analgetik tambahan selama pembedahan dan operator menolak dilakukan tindakan blok subarakhnoid. Seleksi penderita dilakukan pada saat kunjungan pra bedah, penderita yang memenuhi kriteria ditentukan sebagai sampel. Penelitian dilakukan terhadap 60 penderita yang sebelumnya telah mendapatkan penjelasan dan setuju mengikuti semua prosedur penelitian. Saat di ruangan dilakukan pengukuran tekanan darah, laju jantung (Heart Rate), dan laju pernafasan (Respiratory Rate). Semua penderita dipuasakan 6 jam dan tidak diberikan obat premedikasi. Pada saat datang di Instalasi Bedah Sentral, dilakukan pemasangan infus dengan kateter intravena 18 G, dan diberikan preload cairan dengan larutan koloid 7,5 cc/kgBB. Penderita dikelompokkan secara acak dengan menggunakan tabel acak menjadi 3 kelompok, yaitu : kelompok A (kontrol) blok subarakhnoid dengan lidokain 5% hiperbarik 100 mg

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

ditambah NaCl 0,9% (0,5 cc) ; Kelompok B (perlakuan 1) blok subarakhnoid dengan lidokain 5% hiperbarik 100 mg ditambah Klonidin 75 g ; Kelompok C (Perlakuan 2) blok subarakhnoid dengan lidokain 5% hiperbarik 100 mg ditambah Klonidin 150 g. Penderita dibaringkan diatas meja operasi yang horizontal dengan posisi miring ke lateral. Setelah dilakukan tindakan aseptik antiseptik, dengan pendekatan median atau paramedian melalui celah antar ruas vertebra lumbal III-IV disuntikkan jarum spinal standar nomor 25G dengan arah jarum membentuk sudut kearah cephal dan bevel menghadap ke atas. Cairan serebrospinal mengalir lancar dan. jernih menunjukkan ujung jarum spinal berada dalam ruang subarakhnoid. Kecepatan penyuntikan obat 1ml/5 detik tanpa dilakukan barbotase. Setelah selesai penyuntikan penderita segera dibaringkan dengan posisi terlentang horizontal, kepala dialasi bantal dan selama blok subarakhnoid penderita diberi oksigen. Pada saat selesai penyuntikan digunakan sebagai awal perhitungan waktu. Level analgesi ditentukan berdasarkan dermatom dengan cara pinprick menggunakan jarum 22G bevel pendek. Penilaian diakukan kanan dan kiri pada garis medioklavikuler dengan interval waktu setiap 2 menit selama 10 menit pertama. Bila blok positif dalam 10 menit pertama, maka tindakan bedah dapat dimulai dan bila negatif berarti blok gagal, selanjutnya anestesi diteruskan dengan anestesi umum dan penderita dikeluarkan dari penelitian. Bila terjadi blok yag tidak sama tinggi antara kanan dan kiri, maka digunakan blok yang tinggi untuk perhitungan statistik. Penilaian blok selanjutnya dilakukan tiap 10 menit sampai terjadinya regresi analgesi 2 segmen.

Penilaian blok motorik dilakukan pada saat yang sama dengan penilaian level analgesi dengan menggunakan kriteria dari Bromage. Mula kerja blok motorik dicatat waktunya jika Bromage score 3 dan mulai hilangnya blok motorik jika Bromage Score 2. Penilaian tekanan darah, TAR, laju jantung, dan laju nafas dilakukan sebelum dan sesudah blok subarakhnoid, selama 10 menit pertama pembedahan dilakukan tiap menit, menit ke-15, 20, selanjutnya setiap 10 menit sampai hilangnya blok motorik. Bila terjadi penurunan tekanan darah sistolik 30% dari tekanan sistolik preanestesi diberikan infus cepat larutan ringer laktat, bila tidak menolong diberikan efedrin 10 mg intravena secara intermitten. Bila terjadi bradikardi dimana laju jantung <60x/menit diterapi dengan sulfas atropin 0,5 mg intravena. Semua efek samping yang timbul selama pembedahan dan pasca pembedahan seperti mual, muntah, pusing, mengantuk, mulut kering, menggigil, pruritus, sesak nafas dan retensio urine dicatat. Data yang dicatat untuk perhitungan statistik yang termasuk dalam tujuan penelitian ini meliputi waktu regresi analgesi 2 segmen. Data lain yang perlu dicatat yang meliputi tekanan darah, TAR, lama blok motorik, laju jantung dan efek samping. Data yang diperoleh dicatat dalam suatu lembar penelitian khusus yang telah disediakan satu lembar untuk setiap penderita dan dipisahkan antara kelompok kontrol dan perlakuan. Analisa deskriptif dilakukan dengan menghitung proporsi gambaran karakteristik responden menurut kelompok (kontrol dan perlakuan). Uji statistik menggunakan ANOVA dengan derajat kemaknaan p < 0,05. Hasil statistik akan disajikan dalam bentuk tabel.

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

HASIL Untuk karakteristik penderita dan distribusi operasi antara ketiga kelompok (Kelompok A, B dan C) tidak berbeda (tabel 1). Waktu regresi 2 segmen pada kelompok Lidokain-Klonidin 150 g lebih lama secara bermakna dibandingkan kelompok Lidokain dan kelompok Lidokain-Klonidin 75 g (p=0,000). Mula kerja blok sensorik pada kelompok Lidokain-Klonidin 150 g lebih cepat secara bermakna dibandingkan kelompok Lidokain dan kelompok Lidokain-

Klonidin 75 g (p=0,000). Mula kerja blok motorik pada kelompok LidokainKlonidin 150 g lebih cepat secara bermakna dibandingkan kelompok Lidokain dan kelompok LidokainKlonidin 75 g (p=0,000). Lama blok motorik pada kelompok LidokainKlonidin 150 g lebih lama secara bermakna dibandingkan kelompok Lidokain dan kelompok LidokainKlonidin 75 g (p=0,000). Level maksimal blok sensorik pada kelompok

Variabel

1. Umur (Tahun) 2. Jenis Kelamin(n) - Laki-laki Perempuan 3.Pendidikan (n) - SD - SMP - SMA - Sarjana 4. Berat badan (Kg) 5. Tinggi badan (cm) 6. Tek.darah sistole (mmHg) 7.Tek.darah diastol(mmHg 8. Tek.arteri rata-rata (mmHg) 9. Laju Jantung 10. Laju Nafas 11. Status ASA - ASA I - ASA II 12. Jenis Operasi(%) - TURP - Hemorhoidektomi - Hernioraphy - Appendiktomi - SCTP+MOW - ORIF

Tabel 1. Karakteristik Penderita dan Distribusi Jenis Operasi Kelompok Kelompok Kelompok Lidokain Lidokain5% Lidokain 5% 5% 100mg+Klonidin 100mg (n=20) 100mg+Klonidin 150g (n=20) 75g (n=20) 44,85 7,98 42,40 12,51 42,15 13,20 14 6 8 3 8 1 56,15 6,01 158,30 4,78 127,55 5,69 76,54 6,85 93,50 6,32 87 2,49 18,20 0,83 14 6 5 3 4 5 3 0 12 8 2 9 9 0 58,05 8,06 157,80 3,38 129,60 8,50 78,30 6,80 95,40 6,86 87,60 3,22 18,30 1,17 12 8 3 0 7 0 5 4 12 8 4 5 10 1 57,00 7,33 157,80 3,99 125,7 8,01 76,00 5,98 92,55 6,29 86,50 2,14 18,0 0,92 15 5 3 1 4 0 4 9

Uji Statistik

Anova Kruskall wallis Kruskall wallis

0,714 0,441

0,689

Anova Anova Anova Anova Anova Anova Anova Kruskall wallis

0,705 0,905 0,517 0,505 0,375 0,428 0,621 0,754

0,053 Kruskall wallis

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 2. Karakteristik Blok Subarakhnoid Kel. Lidokain, Lidokain-Klonidin 75 g dan Lidokain 150 g Variabel Kelompok Lidokain Kelompok Lidokain Kelompok Lidokain P 5% 100 mg (n=20) 5% 100 mg+ 5% 100 mg+ klonidin 75 g klonidin 100 g (n=20) (n=20) Mula Blok Sensorik 4,67 0,53 3,780,38 3,780,34 0,000* (menit) Level Maksimal(T) 6,950,76 6,850,67 6,40,68 0,038* Regresi 73,46,55 96,658,15 102,955,031 0,000* 2segmen(menit) Mula Blok Motorik 3,880,39 3,330,40 3,180,29 0,000* Lama Blok Motorik 77,806,67 100,67,59 107,055,64 0,000* Sumber:Data Primer Tabel 3. Keadaan Hemodinamik Setelah Preload Kelompok Lidokain Kelompok Lidokain Kelompok Lidokain 5% 100 mg (n=20) 5% 100 mg+ klonidin 5% 100 mg+ klonidin 75 g (n=20) 100 g (n=20) 132,8 6,34 133,755,36 131,656,84 79,255,14 96,65,63 82,33,77 16,901,02 80,004,65 97,353,99 83,854,72 17,451,28 79,54,66 96,15,38 81,252,34 16,551,05

Variabel

Tekanan Darah Sistolik (mmHg) Tekanan Darah Diastolik (mmHg) Tekanan Arteri Rata-rata(mmHg) Laju Jantung(x/menit) Laju Nafas (x/menit) Sumber: Data Primer

0,567 0,874 0,735 0,095 0,045

Tabel 4. Tekanan Sistolik Selama Blok Subarakhnoid Kelompok Lidokain, Lidokain- Klonidin 75 g dan Lidokain 150 g Tekanan Darah Kelompok Lidokain Kelompok Lidokain Kelompok Lidokain P Menit ke 5% 100 mg (n=20) 5% 100 mg+ klonidin 5% 100 mg+ klonidin 75 g (n=20) 100 g (n=20) 1 132,8 6,34 133,755,36 131,656,84 0,567 2 128,36,50 129,105,12 126,55,39 0,224 3 126,505,00 126,004,98 124,954,94 0,606 4 125,24,96 124,005,55 122,254,37 0,179 5 122,705,03 122,704,68 122,055,32 0,894 6 122,353,80 122,106,25 121,33,77 0,923 7 122,454,63 121,504,47 121,33,77 0,623 8 122,103,95 123,355,59 120,804,93 0,263 9 123,754,98 121,556,25 121,054,09 0,222 10 124,356,37 121,255,55 121,653,53 0,140 15 123,104,23 121,854,42 121,955,49 0,653 20 123,055,77 122,608,58 123,455,2 0,922 30 123,257,22 121,958,10 122,85,94 0,843 40 121,309,22 121,309,96 121,866,01 0,973 50 123,3510,33 121,858,02 121,357,24 0,749 60 124,207,95 122,658,89 122,36,11 0,712 70 125,806,88 123,359,29 122,56,19 0,572 80 126,506,45 123,7010,54 124,76,14 0,534 90 128,505,54 125,009,40 124,45,71 0,193 100 129,305,81 128,109,99 128,006,72 0,631 110 133,155,50 130,958,26 130,056,08 0,331 120 134,355,72 134,907,34 132,96,66 0,616

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Lidokain-Klonidin 150 g lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kelompok Lidokain dan kelompok LidokanKlonidin 75 g (p=0,038). TDS, TDD, TAR, laju jantung pada keadaan hemodinamik setelah preload tidak terdapat perbedaan bermakna. Pada laju nafas terdapat perbedaan bermakna antar ketiga kelompok (p=0,045). TDS selama blok subarakhnoid tidak terdapat perbedaan antara ketiga kelompok. TDD selama blok subarakhnoid terdapat perbedaan bermakna pada menit ke-6 antar ketiga kelompok (p=0,005). TAR terdapat perbedaan bermakna pada menit ke-6 antara ketiga kelompok penelitian (p=0,024). Laju jantung selama blok subarakhnoid tidak terdapat perbedaan antara ketiga kelompok. Laju nafas terdapat perbedaan bermakna pada menit ke-1, 2, 30, 120 antara ketiga kelompok penelitian. Distribusi efek samping terdapat perbedaan tidak bermakna antara ketiga kelompok penelitian. Nilai pada tiap kelompok dalam rerata simpang baku. Karakteristik penderita distribusi operasi untuk kelompok Lidokain, Lidokain-Klonidin 75g dan Lidokain Klonidin 150 g. Nilai dinyatakan sebagai rerata simpang baku dengan kisaran waktu regresi 2 segmen pada kelompok LidokainKlonidin 150g lebih lama secara bermakna dibandingkan kelompok Lidokain dan kelompok Lidokain-

Klonidin 75g (p=0,000). Mula kerja blok sensorik pada kelompok LidokainKlonidin 150g lebih cepat secara bermakna dibandingkan kelompok Lidokain dan kelompok LidokainKlonidin 75g (p=0,000). Lama blok motorik pada kelompok LidokainKlonidin 150g lebih lama secara bermakna dibandingkan kelompok Lidokain dan kelompok LidokainKlonidin 75g (p=0,00). Level maksimal blok sensorik pada kelompok LidokainKlonidin 150g lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kelompok Lidokain dan kelompok LidokainKlonidin 75g (p=0,038). Nilai dinyatakan sebagai rerata simpang baku dengan kisaran, TDS, TDD, TAR, laju jantung pada keadaan hemodinamik setelah preload tidak terdapat perbedaan bermakna. Pada laju nafas terdapat perbedaan bermakna antara ketiga kelompok (p=0,045). Nilai dinyatakan sebagai rerata simpang baku dengan kisaran, TDS selama blok subarakhnoid tidak terdapat perbedaan antara ketiga kelompok. Nilai dinyatakan sebagai rerata simpang baku dengan kisaran, TDD selama blok subarakhnoid tedapat perbedaan bermakna pada menit ke-6 antara ketiga kelompok (p=0,005). Nilai dinyatakan sebagai rerata simpang baku dengan kisaran, TAR selama blok subaraknoid terdapat perbedaan bermakna pada menit ke-6 antara ketiga kelompok (p=0,024).

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tekanan Darah Menit ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 15 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120

Tabel 5. Tekanan Darah Diastolik Selama Blok Subarakhnoid Kelompok Lidokain Kelompok Lidokain 5% 100 Kelompok Lidokain 5% 5% 100 mg (n=20) mg+ klonidin 75 g (n=20) 100 mg+ klonidin 100 g (n=20) 79,255,14 80,004,65 79,554,66 76,904,47 76,753,67 77,403,44 75,303,70 75,453,88 76,703,29 74,153,57 73,753,31 75,853,45 73,953,36 73,153,47 75,452,52 72,453,15 72,353,60 75,453,02 72,003,75 73,503,66 74,853,36 72,103,61 73,24,69 74,103,36 72,804,20 73,304,82 74,103,58 72,904,13 73,905,43 74,403,33 73,104,01 73,504,77 74,753,92 72,954,44 74,205,01 74,254,22 73,104,60 73,506,79 75,053,50 73,205,44 73,355,48 74,904,64 73,305,33 73,205,34 74,254,46 73,755,88 73,204,56 75,354,67 74,955,13 71,708,34 75,054,64 76,005,44 74,605,24 75,653,53 77,355,59 76,054,26 76,202,94 77,905,50 77,255,83 77,004,89 79,405,96 78,505,38 78,104,62 81,505,46 80,355,56 79,455,33

P 0,876 0,858 0,424 0,133 0,072 0,005 0,062 0,270 0,621 0,548 0,447 0,597 0,454 0,524 0,770 0,332 0,165 0,635 0,596 0,864 0,702 0,495

Laju Jantung Menit ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 15 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120

Tabel 7. Laju Jantung Selama Blok Subarakhnoid Kelompok Lidokain5% Kelompok Lidokain 5% Kelompok Lidokain 5% 100mg (x/menit) 100mg+Klonidin 75g 100mg+Klonidin 150g (x/menit) (x/menit) 82,30 3,77 83,85 4,72 81,25 2,34 79,15 4,36 80,65 4,37 79,20 2,71 77,80 4,56 78,90 4,59 77,50 3,20 75,00 4,44 76,95 4,76 76,80 4,76 74,75 4,68 76,95 5,45 75,80 3,63 73,90 3,99 74,60 4,46 75,35 3,54 73,60 3,50 75,20 5,16 75,25 3,77 73,55 3,35 75,40 5,97 74,15 3,08 73,50 4,54 75,50 5,01 74,25 2,55 73,55 4,19 75,05 5,60 75,10 2,57 73,45 4,29 74,70 6,05 75,60 3,42 74,40 4,40 74,65 5,16 75,35 3,08 74,35 4,23 74,85 6,42 75,20 5,27 75,20 5,25 75,10 5,70 75,05 3,51 75,80 4,53 75,45 4,87 75,75 3,48 76,20 4,42 75,00 3,67 77,05 5,27 76,80 5,06 75,80 3,96 75,90 3,96 76,65 5,90 76,50 4,11 75,90 3,68 77,40 5,74 78,40 4,94 76,05 4,24 77,50 5,38 79,35 4,67 77,10 4,67 78,60 4,60 81,05 4,69 78,35 4,61 80,05 5,43 81,25 5,34 79,50 3,95

0,095 0,390 0,539 0,760 0,675 0,525 0,376 0,393 0,317 0,437 0,457 0,786 0,882 0,995 0,963 0,420 0,728 0,841 0,284 0,311 0,135 0,525

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Nilai dinyatakan sebagai rerata simpang baku dengan kisaran, laju jantung selama blok ubarakhnoid tidak terdapat perbedaan antara ketiga kelompok.Nilai dinyatakan sebegai rerata simpang bakudengan kisaran. Laju nafas selama blok subarakhnoid terdapat perbedaan
Laju Nafas Menit ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 15 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120

bermakna pada menit ke-1, 2, 30, dan 120 antara ketiga kelompok. Nilai dinyatakan dalam jumlah, pada distribusi efek samping pada ketiga kelompok tidak terdapat perbedaan bermakna (p=0,567).
P

Tabel 8. Laju Nafas Selama Blok Subarakhnoid Kelompok Lidokain5% Kelompok Lidokain 5% Kelompok Lidokain 100mg (x/menit) 100mg+Klonidin 75g 5% 100mg+Klonidin (x/menit) 150g (x/menit) 16,90 1,02 17,45 1,28 16,55 1,05 17,15 1,18 17,50 1,43 16,55 0,95 17,15 0,81 17,40 1,19 16,80 1,02 17,10 0,97 17,20 1,01 16,75 0,91 17,25 1,02 17,20 1,01 16,80 0,77 17,45 0,83 17,30 0,92 17,0 1,08 17,55 0,89 17,35 0,93 17,05 1,28 17,40 1,14 17,30 0,03 17,10 1,02 17,40 1,19 17,30 1,13 17,35 0,67 17,85 1,09 17,40 0,99 17,35 0,87 18,95 1,23 17,40 1,27 17,45 1,10 18,05 1,05 17,20 1,24 17,40 1,05 18,00 1,08 17,25 1,25 17,25 0,85 17,65 0,99 17,30 1,03 17,20 1,01 17,75 1,02 17,70 1,46 16,95 0,83 17,65 0,99 17,55 1,43 16,80 1,01 17,50 0,95 17,55 1,67 16,70 0,66 17,40 1,39 17,85 1,42 17,00 1,17 17,65 1,60 17,75 1,48 16,85 0,88 17,75 1,33 17,50 1,05 17,05 1,05 17,00 1,03 17,30 1,56 17,15 0,99 18,40 1,35 17,90 1,33 17,30 1,26 Tabel 9. Distribusi Efek Samping Kelompok Kelompok Kelompok Lidokain Lidokain5% 100mg Lidokain 5% 5% (n) 100mg+Klonidin 100mg+Klonidin 75g (n) 150g (n) 1 3 2 1 2 1 0 1 0 2 2 4 16 12 13

0,045* 0,049* 0,180 0,307 0,259 0,318 0,322 0,665 0,953 0,222 0,287 0,051 0,046* 0,340 0,051 0,052 0,053 0,140 0,080 0,161 0,071 0,037*

Efek Samping

Hipotensi Menggigil Bradikardi Mual-mual Tidak ada efek samping Sumber: data primer

0,567

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Distribusi Efek Samping Pada Kelompok Lidokain, Lidokain-Klonidin 75g dan Lidokain-Klonidin 150g

Dapat disimpulkan nilai median dari regresi 2 segmen kelompok Lidokain lebih rendah dibandingkan kelompok Lidokain-Klonidin 75g dan LidokainKlonidin 150g. Kelompok LidokainKlonidin 75g dan Lidokain-Klonidin 150g masih dapat dikatakan berdistribusi normal. Kelompok Lidokain, Lidokain-Klonidin 75g dan Lidokain-Klonidin 150g garis hitam median agak kebawah, ini menunjukkan distribusi miring ke kanan. Keterangan efek samping : 1 (tidak ada efek samping), 2 (mual), 3 (menggigil), 4 (hipotensi) dan 5 (bradikardi). Kelompok Lidokain-Klonidin 75 g tidak ada efek samping terhadap penurunan tekanan darah Kelompok Lidokain-Klonidin 150 g : garis hitam median kebawah (condong ke kanan) pada angka 1 ini berarti efek samping kebanyakan pada tidak ada efek samping terhadap penurunan tekanan darah Kelompok Lidokain : garis hitam agak bawah (miring ke kanan) pada angka 4 ini berarti efek samping kebanyakan pada tidak ada efek samping. PEMBAHASAN Teknik kombinasi antara obat anestesi lokal dengan opioid digunakan untuk menghilangkan rasa sakit karena mempunyai dua tempat kerja yang berbeda, dimana anestesi lokal pada Spesific Sodium Channel (SSC) dan opioid pada reseptor opioid di medula spinalis. Blok subarakhnoid opioid menimbulkan analgesi karena adanya inhibisi sel neuron di substansia gelatinosa yang bekerja pada presinaps dan postsinaps. Pada presinaps menghambat pelepasan substansi P, yaitu pada reseptor dan reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis. Penambahan opioid pada blok subarakhnoid

Efek Samping

10

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

menimbulkan efek analgesi sinergis dengan jalan menghambat transmisi sinaptik nosiseptik aferent serabut A dan serabut C dan tidak menghambat hantaran jalur sinaptik atau bangkitan somatosensorik. Blok selektif A dan C pada penambahan opioid dapat meningkatkan penyebaran dermatom dan memperpanjang regresi analgesia sensorik. Pada penelitian ini ketiga kelompok tidak terdapat perbedaan bermakna tentang karakteristik penderita distribusi operasi untuk kelompok Lidokain, LidokainKlonidin 75g dan Lidokain-Klonidin 150 g. Hasil dari penelitian ini didapatkan perbedaan bermakna antara mula kerja blok sensorik kelompok Lidokain (4,67 0,53 menit), kelompok Lidokain-Klonidin 75 g (3,78 0,38 menit), dan kelompok Lidokain-Klonidin 150 g (3,78 0,34 menit). Juga didapatkan perbedaan bermakna antara mula kerja blok motorik kelompok Lidokain (3,88 0,39 menit), kelompok Lidokain-Klonidin 75 g (3,33 0,40 menit), dan kelompok LidokainKlonidin 150 g (3,18 0,29 menit). Pada lama blok motorik didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok Lidokain (77,80 6,67 menit), kelompok Lidokain-Klonidin 75 g (100,60 7,59 menit), dan kelompok Lidokain-Klonidin 150 g (107,05 5,64 menit). Pada level maksimal blok sensorik didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok Lidokain (6,95 0,76menit), kelompok Lidokain-Klonidin 75 g (6,85 0,67), dan kelompok Lidokain-Klonidin 150 g (6,40 0,68). Pada penelitian ini didapatkan waktu regresi 2 segmen pada kelompok Lidokain-Klonidin 150 g (102,95 5,03 menit) lebih lama secara bermakna dibandingkan kelompok Lidokain (73,40

6,55 menit) dan kelompok LidokainKlonidin 75 g (96,65 8,15 menit). Hasil penelitian ini menunjukkan TDS, TDD, TAR, laju jantung, pada keadaan hemodinamik setelah preload tidak terdapat perbedaan bermakna. Pada laju nafas terdapat perbedaan bermakna antara ketiga kelompok, dimana pada kelompok Lidokain (16,90 1,02 x/menit), kelompok Lidokain-Klonidin 75 g (17,451,28 x/menit), dan kelompok Lidokain-Klonidin 150 g (16,55 1,05 x/menit). Penelitian ini menunjukkan TDS selama blok subarakhnoid tidak terdapat perbedaan antara ketiga kelompok. Pada TDD selama blok subarakhnoid terdapat perbedaan bermakna pada menit ke-6 antar ketiga kelompok. Hipotensi pada anestesi blok subarakhnoid sering terjadi dikarenakan blok simpatis yang menyebabkan dilatasi arteri dan vena. Dilatasi arteri menyebabkan penurunan tahanan perifer total dan tekanan arteri sistolik sampai 30%. Dilatasi vena dapat meyebabkan hipotensi yang berat sebagai akibat penurunan aliran balik vena dan curah jantung. Tindakan untuk mencegah hipotensi setelah anestesi spinal antara lain dilakukan dengan pemberian preload cairan dan vasopresor. Sudah diberikan preload cairan dengan cairan koloid 7,5 cc/kgBB sebelum dilakukan blok subarakhnoid. Pemberian preload cairan akan memenuhi ruang vaskular, meningkatkan volume cairan sirkulasi dan curah jantung sehingga dapat mengkompensasi penurunan tahanan vaskular sistemik. Pada penelitian ini penurunan TDD diatasi dengan pemberian efedrin 10 mg intarvena. Sedangkan pada TAR terdapat perbedaan bermakna pada menit ke-6 antara ketiga kelompok penelitian. Perbedaan dapat terjadi karena TAR

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

11

Jurnal Anestesiologi Indonesia

merupakan hasil dari 2 kali TDD ditambah TDS dibagi tiga. Bila TDD turun, maka TAR ikut turun. Pada laju jantung selama blok subarakhnoid, tidak terdapat perbedaan antara ketiga kelompok. Pada laju nafas selama blok subarakhnoid, terdapat perbedaan bermakna pada menit ke-1, 3, 30, 120 antara ketiga kelompok penelitian. Penelitian yang dilakukan Cozian dkk tahun 1998 menunjukkan pemberian pethidin 1 mg/kgBB pada blok subarakhnoid akan mengurangi TAR karena adanya perubahan tahanan pembuluh darah sistemik dan terjadi pengurangan sedikit laju jantung serta laju nafas, waluapun perubahan ini terkadang tidak bermakna secara statistik tetapi bermakna secara klinik. Klonidin 75 g menimbulkan efek samping seperti hipotensi, bradikardi, depresi nafas, mual muntah, dan gatalgatal jika diberikan dosis lebih dari 0,5 mg/kgBB pada blok subarakhnoid. Terjadinya bradikardi akibat blok subarakhnoid dapat dikarenakan pengisian curah jantung yang menurun akibat kronotropik miokardia strech reseptor. Blok simpatis cardiac accelerator fibers (T1-4). Efek kardiovaskular blok simpatis, pada saraf akselerasi jantung (T1-4), hal ini memicu bradikardi. Level blok spinal dapat meninggi terjadi bradikardi karena simpatis tinggi, terjadinya bradikardi setelah 30-60 menit blok subarakhnoid. Pada level tinggi T4 serat-serat preganglion simpatis ke jantung (T 1-4) terpengaruh dan menyebabkan bradikardi karena aktivitas parasimpatis. Pada penelitian ini, efek samping yang terjadi pada ketiga kelompok berbeda tidak bermakna karena dosis Klonidin 75 g dan Klonidin 150 g yang diberikan kecil. Penelitian yang dilakukan Liu S dkk mengatakan bahwa penambahan fentanyl 20 g pada blok subarakhnoid lidokain

5% hiperbarik hanya menimbulkan efek samping menggigil serta mual-mual, tidak ada efek samping seperti bradikardi dan depresi nafas. Pada penelitian ini juga tidak didapatkan efek samping bradikardi dan depresi nafas walaupun masih ada kejadian menggigil dan mual.6 SIMPULAN Waktu regresi 2 segmen kelompok Lidokain-Klonidin 150 g lebih lama secara bermakna dibandingkan kelompok Lidokain dan kelompok LidokainKlonidin 75 g, serta kelompok LidokainKlonidin 75 g lebih lama secara bermakna dibandingkan kelompok Lidokain. Hal ini dapat menjadi dasar sebagai salah satu alternatif untuk memperpanjang lama analgesia pada operasi yaitu dengan penambahan Klonidin 75 g serta Klonidin 150 g pada blok subarakhnoid dengan Lidokain 5% 100 mg.
DAFTAR PUSTAKA
1. Atkinson RS, Rushman GB, Lee JA. Spinal analgesia intradural extradural. In Atkinson RS, Rushman GB, Lee JA, ed. Synopsis of anaesthesia. 10th ed. Singapore : PG Publishing, 1998 : 662-3 Slover RB, Phels RW. Opioid and nonopioid analgesic. In : Brown DL ed. Regional anasthesia and analgesic. Hiladelphia : WB Saunders Company, 1996 : 143-56 Rawal N. Neuraxial administration of opioid and nonopioids. In : Brown DL, ed. Regional anesthesia and analgesia. Phladelphi : WB Saunders Company, 1996 : 208-31 Hendrawardani, Tahib, Suntoro. Perbandingan penambahan klonidin atau epinefrin pada analgesia subarakhnoid menggunakan Lidokain 5% hiperbarik. Kumpulan Makalah PIB VIII IDSAI Surakarta, 10 Juni 1994 Veering B. Local Anesthetics. In : Brown DL, ed. Regional anesthesia and anelgesia. Philadelphia : WB Saunders Company. 1996 : 188-97 Stevens RA. Neuraxial blocks. In : Brown DL, ed. Regional Anesthesia and Anelgesia. Phildelphia : WB Saunders Company. 1996 : 319-56

2.

3.

4.

5.

6.

12

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN

Perbedaan Pengaruh Pemberian Infus HES Dengan Berat Molekul 40 kD dan 200 kD Terhadap Plasma Prothrombin Time dan Partial Thromboplastin Time Kajian Pada Pasien Dengan Perdarahan Sampai 20% Estimated Blood Volume
Hari Hendriarto Satoto*, Ery Leksana*, Uripno Budiono*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT Background : There were increased number of patient with major surgey. High molecular weight HES had better haemodynamic function but affected coagulation much. PT and PTT study were done to know effect HES in coagulation system. Objective : To compare difference of PT and PTT between HES 40 kD and HES 200 kD in patient up to 20% Estimated Blood Volume bleeding. Methods : We had experimental study with Single Blind Randomized Clinical Trial design. 46 patients were randomly divide into 2 group. Group 1 were given HES 40 kD and group 2 were given HES 200 kD. All the patient were administrated PT and PTT study before operation. In operating room, they were inducted by thiopentone 5 mg/kgBB, atracurium besilat 0,5 mg/kgBB, inhalation agent with isofluran, tramadol atracurium were added in necessary. PT and PTT were administrated 15 minute and 2 hours after administrated. Statisic data were analyzed with SPSS 11,5 for windows. Result : It was demonstrated in this study that HES 00 kD had longer PTT from preoperation (29,72 1,70) to (32,69 0,77) and preoperation PT (12,85 0,86) to (13,31 0,73). There were longer PTT in HES 40 kD from (29,89 1,47) to (34,10 1,30). There were significantly higher PTT in HES 200 kD after administration of HES. (mean 4,21 1,28 vs 2,97 1,76 repectively, p = 0,009; p < 0,05). Conclusion : HES 200 kD was significantly longer PT and PTT than HES 40 kD. Key words : HES, Prothrombin Time, Partial Thromboplastin Time. ABSTRAK Latar belakang : Pasien dengan operasi besar yang beresiko terjadi perdarahan semakin meningkat setiap tahun. HES dengan berat molekul besar mempertahankan hemodinamik lebih baik tetapi mengganggu faktor koagulasi. Pemeriksaan PT dan PTT dilakukan untuk memeriksa pengaruh HES pada koagulasi. Tujuan : Membuktikan pemanjangan PT dan PTT pada pemberian larutan HES 40 kD dan HES 200 kD terhadap pasien yang menjalani operasi dengan pendarahan sampai 20% EBV. Metode : Dilakukan penelitian eksperimental pada 46 pasien dengna de sain Single Blind Randomized Clinical Trial. Kelompok penelitian dibagi menjadi 2 kelompok secara acak, masing-masing 23 pasien. Pasien diambil sampel PT dan PTT pre operasi. Pasien diinduksi dengan thiopentone 5 mg/kgBB, atracurium besilat 0,5 mg/kgBB, pemeliharaan anestesi dengan isofluran, tramadol sebagai analgetik dan ditambahakan atracurium bila perlu. Sebagai cairan rumatan anestesi, kelompok I (HES 40 kD) dan kelompok II (HES 200 kD) sebagai pengganti kehilangan darah. 15 menit dan 4 jam setelah pemberian perlakuan dilakukan pemeriksaan PT dan PTT. Analisis data statistik menggunakan SPSS 11,5 for windows.

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

13

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Hasil : Dari hasil penelitian, pemberian ES 200 kD memperpanjang PTT dari preoperasi (29,72 1,70) menjadi (32,69 0,77) dan PT dari preoperasi (12,85 0,86) menjadi (13,31 0,73). Pada HES 40 kD didapatkan pemanjangan PTT dari preoperasi (29,89 1,47) menjadi (34,10 1,30). Analisis statistik antara PTT kelompok HES 40 kD dan 200 kD menunjukkan hasil berbeda bermakna dengan nilai p = 0.009 (p<0.05). Simpulan : Pemberian HES 200 kD memperpanjang PT dan PTT lebih besar dari pada HES 40 kD. Kata kunci : HES, Prothrombin Time, Partial Thromboplastin Time. PENDAHULUAN Pasien yang mengalami pembedahan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006 di RSUP Dr.Kariadi terdapat 6499 pasien yang mengalami pembedahan dengan 4390 pasien(67,5%) dilakukan operasi dalam kategori mayor.1 Operasi mayor adalah operasi besar dengan kemungkinan perdarahan lebih dari 20% estimated blood volume (EBV) yang akan berpotensi terjadi syok.2,3 Kehilangan darah dapat diganti dengna kristaloid, koloid atau darah.4 Koloid mempunyai keuntungan yaitu efek intravaskular lama, reaksi imunologi minimal, infeksi virus, parasit, bakteri minimal dan tidak didapatkan keracunan sitrat sebagai antikoagulan darah. Kerugian koloid yaitu reaksi anafilaksis, edema paru, penurunan filtrasi ginjal dan gangguan koagulopati.5,6,7 Terdapat beberapa jenis koloid yaitu hydroxy ethyl starch (HES), dextran, albumin dan gelatin. HES merupakan koloid sintetis yang paling sering digunakan. HES mempunyai keuntungan yaitu harga lebih murah dibanding albumin dan reaksi anafilaksis lebih kecil dibandingkan dengan koloid lain.7 HES mempertahankan tekanan osmotik koloid plasma, meminimalkan akumulasi cairan interstitial lebih baik dan mempunyai waktu paruh lebih panjang sehingga bertahan lebih lama di darah dibandingkan dengan kristaloid. Pemberian HES sebagai cairan substitusi diberikan sesuai perdarahan yang keluar, dibanding dengan kristaloid yang memerlukan volume yang lebih besar, yaitu diberikan 3 kali perdarahan yang terjadi.8,9 HES dengan berat molekul besar mempunyai keuntungan yaitu memperbaiki keadaan hemodinamik lebih baik tetapi mempunyai kerugian yaitu gangguan faktor koagulasi lebih besar dan kerja ginjal lebih berat.10 Pemeriksaan Protrombin Time (PT) digunakan untuk memeriksa pembekuan darah melalui jalur ekstrinsik dan jalur bersama yaitu faktor pembekuan VII, X, V, protrombin dan fibrinogen. Prothrombine time adalah waktu yang diperlukan untuk terbentuknya bekuan bila pada plasma sitrat ditambahakan thromboplastin jaringan. Pemeriksaan Partial Thromboplastin Time (PTT) digunakan untuk menguji pembekuan darah melalui jalur intrinsik dan jalur bersama yaitu faktor pembekuan XII, prekalikrein, kininogen, XI, IX, VIII, X, V, protrombin dan fibrinogen. Partial thromboplastin adalah campuran fosfolipid yang merupakan pengganti platelet factor 3 (PF3) dalam sistem reaksi APTT. Bila campuran plasma sitrat dan partial thromboplastin ditambah dengan larutan yang mengandung ion calsium, maka terjadi pembekuan.11,12,13,14,15 Dari penelitian yang dilakukan KozekLangenecker dan Arellano menyatakan bahwa HES menurunkan faktor VIII dan faktor von Willebrand. Dimana hal ini

14

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

akan menyebabkan penurunan fungsi koagulasi terutama faktor intrinsik.16,17,18 Sedangkan Madjpur melaporkan pemerian HES dengan berat molekul tinggi menurunkan fungsi koagulasi (faktor ekstrinsik dan intrinsik) dan memperpanjang waktu paruh dalam darah.19 Dari penelitian-penelitian tersebut didapatkan masih ada perbedaan titik tangkap atau mekanisme pengaruh HES terhadap fungsi koagulasi. Pengaruh HES terhadap fungsi koagulasi yang terbanyak disebut di literatur adalah faktor VIII dan faktor von Willebrand yang merupakan faktor intrinsik, namun ada juga yang mengemukakan pengaruh terhadap faktor ekstrinsik. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan pemanjangan PT dan PTT pada pemberian larutan HES 40 kD dan HES 200 kD terhadap pasien yang menjalani operasi dengan pendarahan sampai 20% EBV. Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai acuan dalam pemilihan larutan koloid pada operasi yang memiliki tendensi terjadinya perdarahan durante dan pasca operasi. Penelitian ini meneliti hal baru dimana dari penelitian sebelumnya belum pernah dibandingkan nilai PT dan PTT antara HES 40 kD dan 200 kD, pada penelitian ini ditambahkan analisa mengenai perubahan nilai PT dan PTT. METODE Penelitian dikerjakan pada tanggal 14-28 November 2008 dan telah disetujui oleh Ketua Bagian Anestesi Fakultas Kedokteran Univesitas Diponegoro/ RSUP Dr.Kariadi Semarang. Penelitian ini juga sudah memperoleh ijin dari Komisi Etik & Penelitian FK UNDIP/RSUP Dr.Kariadi serta dekan FK UNDIP dan Direktur RSUP Dr.Kariadi. jam sebelum operasi, kebutuhan cairan selama operasi dipenuhi sebelum operasi dengan menggunakan RL sebelum

Setiap pasien yang dilakukan penelitian telah dimintakan persetujuan. Jenis penelitian adalah Single Blind Randomized Clinical Trial dengan metode randomisasi dengan tabel random. Sampel penelitian adalah pasien operasi elektif di Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr. Kariadi Semarang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi antara lain adalah usia 1645 tahun, status fisik ASA I-II, menjalani operasi dengan anestesi umum, lama operasi 1-3 jam, pasien dengan perdarahan 10-20% estimated blood volume (EBV), berat badan normal, dan bersedia ikut dalam penelitian. Sedangkan kriteria eksklusi antara lain pasien dengan kontraindikasi pemakaian obat anestesi yang digunakan yaitu isofluran, thiopental, atracurium besilat dan tramadol, pasien yang mengkonsumsi obat-obatan antikoagulan, pasien dengan kadar trombosit < 100.000/L, pasien dengan kadar SGOT > 50 I/U dan SGPT > 100 IU, pasien yang mendapat pemberian transfusi darah selama perlakuan, pasien dengan penyakit perdarahan dan pasien dengan kehamilan. Seleksi penderita dilakukan saat kunjungan prabedah di RSUP Dr.Kariadi Semarang pada penderita yang akan menjalani operasi elektif dengan anestesi umum, bedasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Penderita diberikan penjelasan tentang hal-hal yang akan dilakukan, serta bersedia untuk mengikuti penelitian dan mengisi informed consent. Pasien secara random dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok I : larutah HES 40kD, kelompok II : larutan HES 200 kD. Sehingga masing-masing kelompok berjumlah 23.Semua pasien dipuasakan 6 induksi. Sampel diambil dari akses jalur pembuluh darah vena perifer sebanyak 3cc.

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

15

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Sampel dimasukkan tabung vakum plastik yang sudah berisi citrate anticoagulant. Sampel segera dikirim ke Laboratorium Patologi Klinik RSUP Dr.Kariadi sebagai sampel sebelum perlakuan untuk dilakukan pemeriksaan PT dan PTTK. Saat operasi semua pasien diinduksi dengna thiopentone 5mk/kgBB, setelah reflek bulu mata hilang diberikan atracurium besilat 0,5 mg/kgBB, kemudian dilakukan intubasi endotrakheal dan dilanjutkan penggunaan isoflurane sebagai agen anestesi. Untuk cairan rumatan anestesi pada kedua kelompok mendapat perlakuan berbeda, kelompok I menggunakan larutan HES 40 kD sebagai pengganti kehilangan darah sampai dengan operasi berakhir, sedangkan kelompok II menggunakan larutan HES 200 kD sebagai pengganti kehilangan darah sampai dengan operasi berakhir. Kedua kelompok dapat diberikan penambahan obat pelumpuh otot atracurium besilat 0,2 mg/kgBB bila diperlukan dan pemeberian tramadol sebagai analgetik intravena rumatan. Kurang lebih 15 menit setelah pemberian larutan HES, sampel darah pada kedua kelompok perlakuan diambil sebanyak 3 cc, dimasukkan tabung vacum plastik yang sudah berisi citrate anticoagulant. Sampel segera dikirim ke Laboratorium Patologi Klinik RSUP Dr.Kriadi sebagai sampel sesudah perlakuan untuk dilakukan pemeriksaan Plasma Prothrombin Time (PT) dan Partial Thromboplastin Time (PTT). 4 jam sesudah perlakuan diambil kembali darah sebanyak 3 cc dimasukkan tabung vakum plastik yang sudah berisi citrate anticoagulant. Setelah semua data terkumpul, dilakukan analisis deskriptif menurut kelompok perlakuan (HES 40 kD dan HES 200 kD). Hasil analisis

disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Pembuatan grafik dengan box-plot dilakukan pada gambaran nilai PT dan PTT menurut kelompok perlakuan (HES 40 kD dan HES 200 kD). Dari hasil uji normalitas data, hasil dengan distribusi normal dilakukan pengujian dengan uji independent t-test. Hasil dengan distribusi tidak normal dilakukan uji non parametrik Mann-Whitney. Semua uji analitik menggunakan 0.05 dengan interval kepercayaan 95% dan menggunakan software SPSS 11.5. HASIL Penelitian dilakukan pada 46 orang penderita laki-Iaki dan perempuan dengan status fisik ASA I dan II yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi tertentu, yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok A 23 penderita Kelompok HES 40 kD kelompok B 23 orang Kelompok HES 200 kD. Untuk data nominal meliputi jenis kelamin, status ASA dan jenis operasi menggunakan uji Mann Whitney. Untuk data rasio meliputi variabel umur, berat badan, tinggi badan, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rata-rata, laju jantung, saturasi oksigen, jumlah trombosit, SCOT, SGPT, lama operasi dan jumlah perdarahan selama operasi menggunakan indepedent t-test. Dari tabel 3 mengenai karakteristik penderita kedua kelompok perlakuan diatas dapat kita lihat bahwa dari uji statistik yang dilakukan menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna (p > 0,05) untuk semua variabel yaitu jenis kelamin, status ASA, jenis operasi, umur, berat badan, tinggi badan, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rata-rata, laju jantung, saturasi

16

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

oksigen, jumlah trombosit, lama operasi dan jumlah perdarahan selama operasi. Atas dasar hasil uji statistik yang dilakukan pada data dasar subyek penelitian pada kedua kelompok perlakuan dengan hasil menunjukkan perbedaan tidak bermakna, maka kedua keiompok dapat dikatakan homogen dan semuanya layak untuk diperbandingkan

Pada Tabel 4, dinyatakan bahwa tekanan darah sistolik selama pemberian perlakiian tidak terdapat perbedaan secara bermakna dari kedua keiompok (p > 0,05). Kecuali pada menit ke - 5 terdapat perbedaan yang bermakna. Nilai pada tabel di atas dinyatakan sebagai rerata simpangan baku dengan kisaran.

Tabel 3. Karakteristik Pasien Karakteristik HES 40KD HES 200KD Uji Statistik Pasien (n=23) (n=23) 1.Umur (Tahun) 41,6113,65 43,5612,76 Indep t-test 2.Jenis Kelamin Mann Whitney Laki-laki 11(47,82) 13(56,52) Perempuan 12(52,18) 10(43,48) 3.Berat badan(kg) 56,307,72 57,957,91 Indep t-test 4.Tinggi 157,263,91 157,783,27 Indep t-test badan(cm) 5.Status ASA(%) Mann Whitney -ASA1 18(78,26) 15(65,21) -ASAII 5(21,74) 8(34,79) 6.Tek. darah 127,735,31 127,527,61 Indep t-test sistolik(mmHg) 7.Tek. darah 7,216,70 76,735,94 Indep t-test diastolic (mmHg) 8.Tek. arteri rata93,915,98 93,526,14 Indep t-test rata (mmHg) 9. Laju Jantung 94,138,42 93,048,48 Indep t-test 10. Saturasi O2 98,671,05 98,581,21 Indep t-test 11.Jumlah 196,4214,62 193,8915,30 Indep t-test Trombosit 12.SGOT(U/l) 25,563,86 88,9111,17 Indep t-test 13.SGPT(U/l) 49,176,45 26,224,54 Indep t-test 14. Lama operasi 15,2112,10 50,306,11 Indep t-test (menit) 15. Jenis Operasi Mann Whitney -Orif 6(26,1) 9(39,1) -Excisi Mamae 6(26,1) 4(17,4) -Sub Total 5(21,7) 5(21,7) Thyroidectomi -Laparatomi 6(26,1) 5(21,7) Eksplorasi 16. Perdarahan 651,5261,58 676,3056,75 Indep t-test Keterangan: Uji statistik menggunakan Independent T test dan Mannn Whitney (p<0,05)

P 0,618 0,559

0,477 0,626 0,331

0,911 0,709 0,828 0,665 0,804 0,576 0,228 0,604 0,553 0,769

0,163

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

17

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 4. Tekanan Darah Sistolik Selama Pemberian Infus Kelompok HES400KD dan Kelompok HES 200KD Tekanan DarahSistolik HES 400KD(mmHg) HES 200KD(mmHg) P Menit ke 0 97,706,35 98,575,61 0,625 5 99,003,40 106,607,54 0,001 10 109,435,97 110,956,37 0,408 15 114,174,17 115,046,76 0,603 20 120,655,06 121,043,19 0,756 25 125,043,59 126,733,29 0,103 30 129,063,46 130,654,14 0,173 35 130,363,20 131,473,98 0,599 40 132,132,76 132,733,68 0,531 45 132,912,37 133,063,48 0,844

Tabel 5. TDD Selama Pemberian Infus Kelompok HES 40kD dan Kelompok HES 200kD Tekanan DarahSistolik HES 400kD(mmHg) HES 200kD(mmHg) P Menit ke 0 67,173,73 67,134,22 0,971 5 68,173,25 70,953,78 0,008* 10 72,302,28 73,432,29 0,101 15 74,472,57 75,650,72 0,076 20 74,563,42 76,043,44 0,152 25 76,783,04 77,212,69 0,611 30 77,732,09 78,042,70 0,672 35 77,392,01 77,561,97 0,769 40 77,822,14 77,411,12 0,509 45 77,392,18 77,081,88 0,616 Keterangan: Uji statistic menggunakan Independent T tes, dengan derajat kemaknaan p<0,05. *=berbeda makna

Pada Tabel 5, dinyatakan bahwa tekanan darah diastolik selama pemberian perlakuan tidak terdapat perbedaan secara bermakna dari kedua kelompok (p > 0,05). Kecuali pada menit ke - 5 terdapat perbedaan yang bermakna. Nilai pada tabel di atas dinyatakan sebagai rerata simpangan baku dengan kisaran.

Pada Tabel 6, dinyatakan bahwa tekanan darah arteri rata - rata selama pemberian perlakuan tidak terdapat perbedaan secara bermakna dari kedua keiompok (p > 0,05). Nilai pada tabel di atas dinyatakan sebagai rerata simpangan baku dengan kisaran.

Tabel 6. Tekanan Arteri rata-rata Selama Pemberian Infus Kelompok HES 40 KD dan Kelompok HES 200KD Tekanan DarahSistolik HES 400KD(mmHg) HES 200KD(mmHg) P Menit ke 0 78,964,25 78,955,25 0,24 5 80,785,06 82,737,08 0,28 10 82,604,77 84,825,69 0,15 15 85,014,43 86,525,74 0,34 20 88,173,48 89,564,19 0,22 25 92,302,89 93,212,59 0,26 30 93,132,22 93,822,10 0,28 35 93,042,22 93,652,10 0,34 40 93,601,82 94,001,85 0,47 45 93,392,08 93,822,12 0,48 Keterangan : Uji statistic menggunakan Independent T tes, dengan kemaknaa p<0,05

18

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 7. Laju Jantung Selama Pemberian Infus Kelompok HES 40 kD dan Kelompok HES 200kD Tekanan DarahSistolik HES 400KD(mmHg) HES 200KD(mmHg) P Menit ke 0 95,917,70 95,357,70 0,805 5 94,138,42 93,048,48 0,665 10 90,607,86 89,087,56 0,507 15 89,475,02 88,045,15 0,344 20 87,044,16 86,474,09 0,645 25 86,604,09 86,863,87 0,826 30 86,604,11 86,653,89 0,855 35 87,173,82 87,083,52 0,936 40 87,473,72 87,173,47 0,776 45 87,213,75 87,003,37 0,837 Keterangan: Uji statistik menggunakan Independent t test, dengan derajat kemaknaan p<0,05 Tabel 8. Perbandingan Rerata Pemeriksaan Koagulasi Preoperasi dan Sesudah 15 menit Pada Kelompk HES 40KD dan HES 200KD No Pemeriksaan HES 40KD Uji Statistik P Koagulasi Preoperasi Sesudah 15 (n=23) menit (n=23) 1 PT 12,890,91 13,220,84 Paired t tes 0,180 2 PTT 29,721,70 32,690,77 Paired t tes 0,013* HES 200KD 3 PT 12,850,86 13,310,73 Paired t tes 0,047* 4 PTT 29,891,47 34,101,30 Paired t tes 0,000* Keterangan: Uji Statistik menggunakan Paired t test, dengan derajat kemaknaan p<0,05 *= berbeda bermakna

Pada Tabel 7, dinyatakan bahwa laju jantung selama pemberian perlakuan dari tidak terdapat perbedaan secara bermakna dari kedua kelompok (p > 0,05). Nilai pada label di atas dinyatakan sebagai rerata simpangan baku dengan kisaran. Pada Tabel 8, Nilai dinyatakan sebagai rerata simpangan baku dengan kisaran, pada kelompok HES 40 kD nilai plasma prothrombin time (PT) pada preoperasi dan sesudah 15 menit tidak terjadi perbedaan secara bermakna (p = 0,180), sedangkan partial thromboplastin time (PTT) preoperasi dan sesudah 15 Menit operasi terjadi perbedaan bermakna (p = 0,013). Pada kelompok HES 200 KD untuk nilai plasma prothrombin time (PT) dan partial thromboplastin time (PTT)

pada preoperasi dan sesudah 15 menit operasi terjadi perbedaan secara bermakna (p =0,047 dan p = 0,000). Pada tabel 9, nilai dinyatakan sebagai rerata simpangan baku dengan kisaran, pada kelompok HES 40 kD nilai Plasma Prothrombin Time (PT) pada Sesudah 15 Menit dengan sesudah 4 jam tidak terjadi perbedaan secara bermakna (p = 0,180), sedangkan Partial Thromboplastin Time (PTT) Pada Sesudah 15 Menit dengan 4 jam Operasi terjadi perbedaan bermakna (p = 0,000). Pada kelompok HES 200 kD untuk nilai Plasma Prothrombin Time (PT) dan Partial Thromboplastin Time (PTT) pada Sesudah 15 Menit dan Sesudah 4 Jam terjadi perbedaan secara bermakna (p =0,046 dan p = 0,000)

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

19

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 9. Perbandingan Rerata Pemeriksaan Koagulasi Sesudah 15 menit Dan Sesudah 4 Jam Operasi Kelompok HES 40 KD serta HES 200KD No Pemeriksaan HES 40KD Uji Statistik P Koagulasi Sesudah 15 Sesudah 4 jam menit (n=23) (n=23) 1 PT 13,220,84 13,060,73 Paired t tes 0,180 2 PTT 32,690,77 50,340,92 Paired t tes 0,000* HES 200KD 3 PT 13,380,73 13,060,69 Paired t tes 0,046* 4 PTT 34,101,30 50,481,58 Paired t tes 0,000* Keterangan: Uji Statistik menggunakan Paired t test, dengan derajat kemaknaan p<0,05 *= berbeda bermakna Tabel 10. Perbandingan Rerata Pemeriksaan Koagulasi Preoperasi Dan Sesudah 4 Jam Operasi Kelompok HES 40 kD serta HES 200kD No Pemeriksaan HES 40kD Uji Statistik P Koagulasi Preoperasi Sesudah 15 (n=23) menit (n=23) 1 PT 12,890,91 13,060,73 Paired t tes 0,491 2 PTT 29,721,70 50,340,92 Paired t tes 0,143 HES 200KD 3 PT 12,850,86 13,060,69 Paired t tes 0,426 4 PTT 29,891,47 50,481,58 Paired t tes 0,250 Keterangan: Uji Statistik menggunakan Paired t test, dengan derajat kemaknaan p<0,05 *= berbeda bermakna

Pada Tabel 10, Nilai dinyatakan sebagai rerata + simpangan baku dengan kisaran, pada kelompok HES 40 kD nilai plasma prothrombin time (PT) dan partial thromboplastin time (PTT) pada preoperasi dengan sesudah 4 jam operasi tidak terjadi perbedaan secara bermakna (p = 0,491 dan p=0,143). Pada kelompok HES 200 kD nilai plasma prothrombin time (PT) dan partial thromboplastin time (PTT) pada preoperasi dengan sesudah 4 jam operasi tidak terjadi perbedaan secara bermakna (p = 0,426 dan p=0,250)

Pada Gambar 6, pada kelompok HES 40 kD dan 200 kD terdapat pemanjangan Prothrombin Time saat 15 menit setelah perlakuan dan berangsur kembali ke kadar normal setelah 4 jam pemberian.

Pada Gambar 7, pada kelompok HES 40 KD dan 200 kD terdapat pemanjangan Partial Thromboplastin Time saat 15 menit setelah perlakuan dan berangsur kembali ke kadar normal setelah 4 jam pemberian.

20

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 11. Perbandingan Rerata Pemeriksaan Koagulasi Preoperasi Kelompok HES 40kD dengan HES 200 kD No Pemeriksaan HES 40kD Uji Statistik P Koagulasi Preoperasi Sesudah 15 (n=23) menit (n=23) 1 PT 12,890,91 12,850,86 Paired t tes 0,895 2 PTT 29,721,70 29,891,47 Paired t tes 0,720 Keterangan: Uji statistik menggunakan independent t test, dengan derajat kemaknaan p<0,05 Tabel 12. Perbandingan Rerata Pemeriksaan Koagulasi Sesudah 15 menit Operasi Kelompok HES 40kD dengan HES 200kD No Pemeriksaan Sesudah 15 Uji Statistik P Koagulasi menit HES 40KD HES 200KD 1 PT 13,220,84 13,310,73 Paired t tes 0,710 2 PTT 32,690,77 34,101,30 Paired t tes 0,000* Keterangan: Uji statistic menggunakan Independent t tes, dengan derajat kemaknaan p<0,05 *= berbeda bermakna Tabel 13. Perbandingan Rerata Pemeriksaan Koagulasi Sesudah 4 Jam Operasi Kelompok HES 40kD dengan HES 200kD No Pemeriksaan Sesudah 4jam Uji Statistik P Koagulasi HES 40KD HES 200KD 1 PT 13,080,73 13,060,69 Paired t tes 0,918 2 PTT 30,680,51 31,060,85 Paired t tes 0,071 Keterangan: Uji statistik menggunakan Independent t test, dengan derajat kemaknaan p<0,05

Pada tabel 11, nilai dinyatakan sebagai rerata simpangan baku dengan kisaran, nilai Plasma Prothrombin Time (PT) pada preoperasi pada kelompok HES 40 kD dengan HES 200 kD tidak terjadi perbedaan secara bermakna (p = 0,895), sedangkan Partial Thromboplastin Time (PTT) pada preoperasi pada kelompok HES 40 kD dengan HES 200 kD tidak terjadi perbedaan secara bermakna (p = 0,895). Pada tabel 12, nilai dinyatakan sebagai rerata simpangan baku dengan kisaran Nilai Prothrombin Time (PT) sesudah 15 menit operasi pada kelompok HES 40 kD dengan HES 200 kD tidak terjadi perbedaan secara bermakna (p = 0,710), sedangkan pada Partial Thromboplastin Time (PTT) sesudah 15 menit operasi pada kelompok HES 40 kD dengan HES

200 kD terjadi perbedaan secara bermakna (p = 0,000). Partial Thromboplastin Time (PTT) pada kelompok HES40 kD nilai rata-ratanya 32,69 sedangkan pada kelompok HES 200 kD lebih panjang dengan rata-rata 34,10 tetapi semuanya masih dalam nilai normalnya. Pada tabel 13, nilai dinyatakan sebagai rerata simpangan baku dengan kisaran nilai prothrombin time (PT) pada preoperasi operasi pada kelompok HES 40 kD dengan HES 200 kD tidak terjadi perbedaan secara bermakna (p = 0,895), sedangkan partial thromboplastin time (PTT) pada preoperasi pada kelompok HES 40 kD dengan HES 200 kD juga tidak terjadi perbedaan secara bermakna (p = 0,071).

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

21

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 14. Perbandingan Rerata Pemanjangan Pemeriksaan Koagulasi Sebelum Operasi dan Sesudah 15 No Pemeriksaan P Koagulasi HES 40KD HES 200KD 1 PT 0,401,11 0,461,04 0,863 2 PTT 2,971,76 4,211,28 0,009* Keterangan: Uji statistik menggunakan Independent t test, dengan derajat kemaknaan p<0,05 Tabel 15. Perbandingan Rerata Pemanjangan Pemeriksaan Koagulasi Sebelum Sesudah 15 Menit dan Sesudah 4 Jam No Pemeriksaan P Koagulasi HES 40kD HES 200kD 1 PT 0,251,04 0,150,98 0,733 2 PTT 2,351,04 3,622,26 0,020* Keterangan: Uji statistik menggunakan Independent t test, dengan derajat kemaknaan p<0,05 Tabel 16. Produksi Urin Selama Pemberian HES 40 kD dan 200kD Produksi Urin P HES 40kD HES 200kD >1cc/kgBB/jam 1,1980,118 1,1590,090 0,209 <1cc/kgBB/jam Keterangan: Uji statistik menggunakan Independent t test, dengan derajat kemaknaan p<0,05

Pada tabel 14, nilai dinyatakan sebagai rerata simpangan baku dengan rerata pemanjangan sebelum operasi dan sesudah 15 menit operasi Nilai Prothrombin Time (PT) tidak terjadi perbedaan bermakna(p=0,863), sedangkan pada Partial Thromboplastin Time (PTT) terdapat perbedaan bermakna dari kedua kelompok (p=0,009). Pada tabel 15, nilai dinyatakan sebagai rerata simpangan baku dengan kisaran rerata pemanjangan sesudah 15 menit dan sesudah 4 jam operasi selama operasi untuk nilai Prothrombin Time (PT) tidak terjadi perbedaan bermakna (p=0,733) sedangkan pada Partial Thromboplastin Time (PTT) terdapat perbedaan bermakna dari kedua kelompok (p=0,020). Pada tabel 16, nilai dinyatakan sebagai rerata simpangan baku dengan kisaran jumlah perdarahan selama selama operasi tidak terdapat perbedaan secara bermakna dari kedua kelompok (p>0,05). Produksi urine selama operasi tidak terdapat perbedaan secara bermakna dari kedua kelompok (p = 0,209).

PEMBAHASAN Penelitian ini membandingkan perbedaan pengaruh pemberian infus HES terhadap Prothrombin Time (PT) dan Partial Thromboplastin Time (PTT). Penderita dibagi menjadi 2 kelompok (kelompok HES 40 kD dan kelompok HES 200 kD) yang masing-masing terdiri dari 23 penderita. Dari data karakteristik penderita, yang meliputi jenis kelamin, status ASA, jenis operasi, umur, berat badan, tinggi badan, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rata-rata, laju jantung, saturasi oksigen, jumlah trombosit, SGOT, SGPT, lama operasi dan jumlah perdarahan selama operasi, dapat kita lihat tidak didapatkan perbedaan bermakna dari kedua kelompok perlakuan. Variabelvariabel tersebut di atas telah dikendalikan dengan teknik inklusi dan eksklusi. Dengan demikian, kedua kelompok dapat dikatakan homogen dan layak untuk diperbandingkan.

22

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Hasil pengukuran tanda vital yang meliputi tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik pada kelompok HES 40 kD terdapat perbedaan yang bermakna pada awal pemberian (menit ke-5). Hal ini sesuai dengan kerja HES sebagai pengisi volume intravaskuler, dimana HES dengan berat molekul yang tinggi akan bekerja lebih cepat dan lebih baik dalam mengisi volume intravaskular. Sedangkan tekanan arteri rerata dan laju jantung pada kedua kelompok relatif stabil dan tidak terdapat perbedaan. Penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik, tetapi dengan tekanan arteri rerata dan laju jantung yang stabil, menunjukkan bahwa baik HES 40 kD dan 200 kD mampu mempertahankan kondisi hemodinamik dari pasien. Secara klinis, parameter tekanan arteri rata-rata maupun laju jantung lebih menggambarkan kondisi hemodinamik pasien. Dari uji statistik, didapatkan bahwa pemberian HES baik kelompok HES 40 kD dan 200 kD akan menyebabkan memanjangnya waktu PTT setelah diberikan 15 menit. Hal ini sesuai dengan pendapat Kozek-Langenecker SA dan Arellano et al, yang menyatakan bahwa hydroxyethyl starch (HES) menurunkan faktor VIII dan faktor von Willebrand sehingga akan menyebabkan penurunan fungsi platelet. Akibat penurunan faktor VIII, akan terjadi pemanjangan faktor intrinsik pada proses koagulasi yang ditandai dengan pemanjangan kadar PTT, sedangkan pada HES 200 kD terdapat pemanjangan waktu PT. Hal ini sesuai dengan pernyataan Madjpur et al, yang menyatakan bahwa pemberian HES dengan berat molekul tinggi menurunkan fungsi koagulasi baik intrinsik maupun ekstrinsik, sehingga pada pemberian HES 200 kD (berat molekul besar) akan mempengaruhi fungsi koagulasi baik intrinsik (ditandai dengan pemanjanangan

waktu PTT) maupun ekstrinsik (ditandai dengan pemanjangan waktu PT). Perlu diperhatikan bahwa, walaupun terdapat pemanjangan waktu dari pemeriksaan PTT (pada kedua kelompok) dan PT (pada kelompok HES 200 kD), pemanjangan waktu ini masih dalam batas harga normal PT yaitu 10-15 detik dan harga normal untuk PTT yaitu 23,435,8. Tidak didapatkan pula pemanjangan waktu dari kontrol lebih dari 1,5 kali dari normal. Pada pemeriksaan waktu PT dan PTT, antara preoperasi dan 4 jam setelah operasi didapatkan bahwa waktu PTT dan PT pada kedua kelompok kembali ke nilai seperti waktu sebelum operasi. Hal ini menunjukkan bahwa setelah kerja larutan HES berakhir, maka gangguan koagulasi yang timbul akan berangsurangsur kembali ke keadaan sebelum operasi dan bersifat reversibel. Pada kelompok HES 200 kD di 15 menit setelah pemberian terdapat pemanjangan waktu PTT yang bermakna dibanding dengan kelompok HES 40 kD. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar berat molekul HES akan semakin mengganggu fungsi koagulasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Standl T et al dan Holman J yang menyebutkan bahwa berat molekul HES berpengaruh terhadap berat ringannya gangguan koagulasi, dimana semakin kecil berat molekul semakin kecil resiko untuk terjadinya gangguan koagulasi.15,16 Pada kedua kelompok tidak terdapat penurunan produksi urin sampai di bawah 1 cc/kgBB/jam. Hal ini menunjukkan efek samping pemberian HES, baik pada HES 40 KD dan HES 200 KD yaitu penurunan filtrasi ginjal, tidak terjadi bila diberikan sesuai dosis. Ini sesuai pendapat Neff et al yaitu pemberian HES sampai 50 cc/kgBB tidak menyebabkan gangguan fungsi klirens kreatinin dan aman bagi fungsi ginjal pasien.17

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

23

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Hasil penelitian ini belum dapat menjelaskan secara spesifik pengaruh HES pada cascade koagulasi. PT dan PTT sebagai parameter fungsi kogulasi merupakan pemeriksaan tak langsung yang non spesifik terhadap faktor VIII, sebagai faktor yang paling dipengaruhi oleh kerja HES. Meskipun demikian kelainan pada faktor VIII (faktor intrisik) dapat diduga jika kadar PT normal dan kadar PTT memanjang. SIMPULAN Pemberian HES 200 kD memperpanjang nilai Prothrombin Time (PT) dan Partial Thromboplastin Time (PTT) lebih besar daripada HES 40 kD. Hal ini dapat menjadi dasar untuk pemakaian HES 40 kD dan HES 200 kD sebagai alternatif pengganti darah yang aman bila diberikan sesuai dosis, khususnya pada pasien yang dilakukan anestesi umum. DAFTAR PUSTAKA 1. Canada Health Ministry. Annual Report
2. 2001-2002. Saskatchewan : Saskatchewan Government; 2002. Hoobs G. Complication During Anesthesia. In ; Aitkenhead AR, Rowbotham DJ, Smith G, eds. Textbook of Anesthsia. 4th Ed. London : Elsevier Science Limited; 2001. P. 501-24. Soenarjo. Resusitasi Cairan. In : Soenarjo, Riwanto I, eds. Penanganan Penderita Gwat Darurat. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2000; p 42-7. Morgan GE. Fluid Management & Transfusion. In : Morgn GE, Mikhael MS, Murray MJ, eds. Clinical Anesthesiology. 4th Ed. Nem York : Mc Graw Hill Companies; 2006. P 690-707. Prough DS, Wolf SW, Funston S, Svensen CH. Acid Base, Fluids, and Electrolytes. In : Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical Anesthesia 5th Ed. Philadelphia :Lippincott Williams & Wilkins; 2006. P 175-207. Stoelting RK, Miller Rdeds. Basics of Anesthesia. 4th Ed. Philadelphia : Churchill Livingstone; 2006. P 233-46. Hall BA, Frigas E, Matesic D, Gillet MD, Sprung J. Case Report. Intraoperative

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

3.

4.

15.

5.

16.

6.

7.

Anaphylactoid Reaction and Hydroxyethyl Starch in Blanced Electrolyte Solution. Can J Anesthesia. 2006; 53 : p 989-93. Kaye AD, Kucera IJ. Intravascular Fluid and Electrolyte Phisiology. In : Miller RD, ed. Millers Anesthesia. 6th Ed. Philadelphia : Elsevier Churchill Livingstone; 2005. P 1763-98. Wilkes NJ, Woolf RL, Powanda MC, Gan TJ, Machin SJ, Webb A. Hydroxyethyl Starch in Balanced Electrolyte Solution. Pharmacokinetic and Pharmacodynamic Profiles. Anesth Analg. 2002; 94: p 538-44. Standl T, Burmeister MA, Schroeder F, Currlin E, Schulte J, Freitag M, et al. Hydroxyethyl Starch (HES) 130/0,4 provides Larger and Faster Increases in Tissue Oxygen Tension in Comparison with Prehemodilution Values than HES 70/0,5 or 200/0,5 in Volunteers Undergoing Acute Normovolemic Hemodilution. Anesth Analg. 2003; 96 : 93643. Kozek Langenecker. The Effect of Drugs Used in Anesthesia on Trombosit Membrane Receptors an On Trombosit Function. Medical Chemistry Reviews 2004; 1 : 10110. Sibylie A, Kozek-Langenecker. Effects on Hydroxyethyl Starch Solution on Hemostasis. Anesthesiology 2005 ; 103 : 654-60. Arellano R, Gn BS, Salpeter MJ, Yeo E, McCluskey S, Pinto R et al. A Triple-Blinded Randomized Trial Comparing the Hemostatic Effects of Large-Dose 10% Hydroxyethyl Starch 264/0,45 versus 5% Albumin During Major Reconstructive Surgery. Anesth Analg. 2005; 100 : 1846-53. Madjpour C, Dettori N, Feascolo P, Burki M, Boll M, Fisch A et al. Molecular Weight of Hydroxyethyl Starch : Is There An Effect on Bicod Coagulation and Pharmakokinetics. British Journal Anesthesia. 2005; 10; p 1093201. Neff TA, Doelberg M, Junguheinrich C, Sauerland A, Spahn DR, Stocker R. Repetitive Large Dose Infusion of The Nevel Hydroxyethyl Starch 130/0,4 in Patients with Severe Head Injury. Anesth Analg. 2003; 93 :p 1453-9. Standl T, Burneister MA, Schroeder F, Curline E. Hydroxyethyl Starch (HES) 130/0,4 provides Larger and Faster Increases in Tissue Oxygen Tension in Comparison with Prehemodilution Values than HES 70/0,5 or 200/0,5 in Volunteers Undergoing Acute Normovolemic Hemodilution. Anesth Analg. 2003; 96 : 936-43.

24

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

17. Kostering H, Ghifforn J, NegendankDamenzB. Effect of Expafusin (HES 40/0,5) on The Corpuscular Elements of Blood and Inhibitors of Blood Coagulation. Infusionther Klin Ernahr. 1995; 12 (6) ; p 304-7.

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

25

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN Pengaruh Pemberian Ketorolak 30 mg Intravena pada Penderita dengan Anestesi Spinal Terhadap Fungsi Pembekuan Darah : Protrombin Time, Partial Tromboplastin Time with Kaolin
Aryono Hendrasto*, Johan Arifin*, Mohammad Sofyan Harahap*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT Background: The use of ketorolak as an analgesic have been increasing recently because of its advantage in fasting ambulatory patient, but it will extend bleeding time by its aggregation disturbances. Despite of trombosit function disturbances, the bleeding can also caused by vessels and coagulation disturbances. There is a relation between trombosit and coagulation function. Purpose: To establish that administration of intravenous 30 mg ketorolak in patient with spinal anesthesia will extend coagulation function (prothrombin time and partial thromboplastin time). Method: An experimental study with randomized post test only controlled group design in 30 patients who underwent elective surgery with spinal anesthesia. Patients divided in two groups randomizely : group P received 30 mg ketorolak iv and group K received placebo (NaCl 0,%). PT and PTT examination will be held before operation and 60 minutes after administration of ketorolak or placebo. The results were analyzed by using T-test parametric statistical assay, with reliability p<0,05. Results: Independent T-test assay for post operative PT and PTTK variable showed no significant differences between group P and group K. On Paired T-test assay, for pre and post operative PT variable in P group showed no significant differences (p=0,327). For pre and post operative PTTK in P group showed significant differences (p=0,029). On Paired T-test assay, for pre and post operative PT variable in K group showed no significant differences (p=0,062). For pre and post operative PTTK variable in K group there were also no significant differences (p=0,160). Conclusion: Administration of single dose intravenous 30 mg ketorolak in patients with spinal anesthesia has no influence to extrinsic coagulation pathway function (PTTK) although this extention still in normal value or not visible clinically. Keywords: ketorolak, spinal anesthesia, trombosit aggregation, PT and PTTK ABSTRAK Latar belakang : Saat ini penggunaan ketorolak sebagai analgesik meningkat karena sifatnya yang menguntungkan untuk mempercepat ambulatory pasien, namun mempunyai efek samping memperpanjang waktu perdarahan (bleeding time) melalui gangguan fungsi trombosit. Perdarahan juga dapat disebabkan gangguan pembuluh darah dan fungsi koagulasi. Ada hubungan saling terkait antara fungsi trombosit dan fungsi koagulasi. Tujuan : Membuktikan bahwa pemberian ketorolak 30 mg intravena pada penderita dengan spinal anestesi menyebabkan pemanjangan fungsi koagulasi (protrombin time dan partial tromboplastin time) Metode : Merupakan penelitian eksperimental dengan randomized post test only controlled group pada 30 penderita yang akan menjalani operasi elektif dengan anestesi

26

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

spinal. Penderita secara random dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok P yang mendapat ketorolak 30 mg iv dan kelompok K yang mendapat placebo ((NaCl 0,9%). Pemeriksaan PT, PTT dilakukan menjelang operasi dan 60 menit setelah pemberian ketorolak atau placebo. Hasilnya dinilai dengan menggunakan uji statistikparametric Ttest, dengan derajat kemaknaan p<0,05. Hasil: Uji Independent T-test variable PT post tindakan dan PTTK post tindakan antara kelompok P dan kelompok K menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05). Uji Paired T-test, untuk variabel PT pre tindakan dan PT post tindakan pada kelompok P menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna (p=0,237). Untuk variable PTTK pre tindakan dan PTTK post tindakan pada kelompok P menunjukkan perbedaan bermakna (p=0,029). Uji Paired T-test, untuk variabel PT pre tindakan dan PT post tindakan pada kelompok K menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna(p=0,062). Untuk variabel PTTK pre tindakan dan PTTK post tindakan pada kelompok K menunjukkan perbedaan tidak bermakna(p=0,160). Kesimpulan: Pemberian dosis tunggal ketorolak 30 mg intravena pada penderita dengan anestesi spinal tidak berpengaruh terhadap fungsi koagulasi jalur ekstrinsik (PT) tapi akan memperpanjang fungsi koagulasi jalur intrinsik (PTTK) namun pemanjangan ini masih dalam batas normal atau tidak nampak secara klinis. Kata kunci: ketorolak, anestesi spinal, agregasi trombosit, PT, PTTK PENDAHULUAN Ketorolak adalah suatu obat anti inflamasi non steroid (AINS) yang mempunyai sifat analgesik poten untuk nyeri ringan sampai sedang dan hanya mempunyai sifat anti inflamasi sedang, dapat diberikan oral, intramuskular (IM) atau intravena (IV).1,2,3 Obat ini sangat efektif digunakan sebagai analgesi post operatif, baik sebagai obat tunggal maupun bersama opioid karena sifat potensiasi antara ketorolak dan opioid sehingga dosis opioid dapat diturunkan. Ketorolak dosis tunggal, 30 mg IM memberikan efek analgesi yang equivalen dengan morfin 10 mg atau meperidin 100 mg.4 Keuntungan dari pemberian ketorolak untuk analgesi adalah tidak ada efek depresi respirasi maupun kardiovaskuler dan bersifat sinergis dengan obat opioid.5,6 Namun demikian, ketorolak mempunyai efek samping seperti pada umumnya AINS yaitu dapat menghambat produksi tromboksan dan agregasi trombosit karena yang sifatnya menghambat sintesis prostaglandin. Bleeding time (waktu perdarahan) mungkin meningkat dengan pemberian dosis tunggal ketorolak IV pada pasien dengan anestesi spinal7. Ketorolak menghambat siklooksigenase yang potensinya sama dengan aspirin dan AINS yang lain. Respon trombosit terhadap ketorolak pada anestesi general berbeda dengan anestesi spinal. Selama anestesi general pada pembedahan, timbul stres neuroendokrin, sedang pada anestesi spinal tidak terjadi. Respon stress akan meniadakan efek ketorolak terhadap bleeding time.7 Trauma bedah (nyeri) menyebabkan respon neuroendokrin melalui respon inflamatori lokal dan aktivasi dari serabut saraf aferen somatik dan viscera8. Reflek respon neuroendokrin terhadap nyeri menyebabkan peningkatan tonus simpatis, peningkatan katekolamin dan sekresi hormon katabolik, misalnya kortisol, adrenokortikotropik, ADH,

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

27

Jurnal Anestesiologi Indonesia

glukagon, aldosteron, renin, angiotensin II dan penurunan sekresi hormon 9 anabolik. Pengurangan respon neuroendokrin dan nyeri post operatif mempercepat pemulihan penderita post operatif. 10 Respon neuroendokrin merupakan faktor penting dalam post operatif hiperkoagulabilitas. Meningkatkan koagulasi dengan cara menurunkan anti koagulan alami, meningkatkan faktor prokoagulan, menghambat fibrinolisis, meningkatkan reaktivitas trombosit dan viskositas plasma. 11 Blokade neuroaksial (anestesi spinal) dapat menekan atau meniadakan respon neuroendokrin. Untuk memaksimalkan penekanan dari respon neuroendokrin ini, blok neuroaksial harus sudah terjadi sebelum insisi dan tetap berlangsung setelah periode post operatif.8 Pengaruh pemberian ketorolak terhadap beberapa sistem tubuh antara lain : 1. Sistem kardiovaskular, ketorolak tidak menyebabkan perubahan yang bermakna pada parameter jantung dan tidak banyak mempengaruhi hemodinamik 12 2. Sistem pernapasan, tidak terdapat depresi pernapasan 3 3. Sistem pencernaan, ketorolak 30 mg menyebabkan mual dan muntah yang lebih jarang dibandingkan dengan morfin 10 dan 12 mg, dapat menyebabkan iritasi lambung, 2,3 perdarahan gastrointestinal 4. Sistem saraf pusat, penggunaan ketorolak 30 mg pada dosis berulang menunjukkan rasa kantuk sebesar 14%
13

dalam waktu 24-48 jam setelah obat dihentikan 1,2,3 Trombosit ikut aktif berinteraksi dengan sistem koagulasi. Trombosit teraktivasi melepaskan 5 prokoagulan, yaitu III, IV, V, VIII dan XIII 14. Trombosit mempunyai daya kohesi satu dengan yang lainnya karena pengaruh ADP dan tromboksan A2. Proses koagulasi (pembekuan darah) berlangsung melalui beberapa tahap dengan pembentukan fibrin sebagai hasil akhir. Jalur intrinsik membutuhkan faktor pembekuan VIII, IX, X, XI dan XII, serta memerlukan protein prekalikrei (PK), high-molecular-weight kininogen (HMWK), ion kalsium dan fosfolipid yang disekresi dari trombosit. Semua jalur itu pada pokoknya untuk mengubah faktor X (inaktif) menjadi Xa (aktif). Jalur koagulasi ekstrinsik diawali adanya trauma jaringan yang akan melepaskan faktor jaringan (faktor III). Faktor jaringan bekerja pada faktor VII, mengubahnya menjadi VIIa, yang secara langsung mempengaruhi faktor X 15. Baik jalur intrinsik maupun ekstrinsik akan bertemu membentuk jalur bersama, yang akhirnya akan mengaktifkan faktor X. Protrombin Time (PT) menilai jalur koagulasi ekstrinsik dan jalur koagulasi bersama. PTTK menilai jalur koagulasi intrinsik dan jalur koagulasi bersama. Sejauh ini belum pernah diteliti bagaimana pola fungsi koagulasi pada penggunaan ketorolak dosis 30 mg IV. Hipotesis penelitian ini, pemberian ketorolak 30 mg iv memperpanjang fungsi pembekuan darah yang ditunjukkan dengan adanya pemanjangan PT dan PTTK pada pasien dengan anestesi spinal.

5. Di bidang hematologi, ketorolak menghambat agregasi trombosit dan dapat memperpanjang waktu perdarahan, penghambatan ini hilang

28

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

METODE Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain randomized post test only controlled group design. Kriteria inklusi : usia 20-50 tahun, status fisik ASA I-II, angka trombosit normal, operasi dengan spinal anestesi, BMI 2025 kg/m2, tidak ada kontraindikasi penggunaan ketorolak. Kriteria eksklusi : gangguan koagulasi, terapi antikoagulan atau terapi AINS. Setelah dirandomisasi, subjek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu
Karakteristik pasien

kelompok P (15 orang) mendapat ketorolak 30 mg iv durante operasi dan kelompok K (15 orang) mendapat NaCl 0,9% durante operasi. Subjek dipuasakan 6 jam sebelum operasi dan diinfus RL. Sebelum anestesi spinal, diberikan preload 1000 ml RL, ketorolak 30 mg IV diberikan setelah pasien teranestesi. Pengambilan sampel darah dari v. mediana cubiti dilakukan 1 jam sebelum operasi dan 1 jam setelah dilakukan anestesi spinal, untuk diperiksa PT dan PTTK.

Umur (tahun) Jenis kelamin Perempuan 3 Laki-laki 12 Berat badan (kg) 59,6 8,733 Status Fisik ASA I 8 ASA II 7 Jumlah Trombosit 276,33 50,532 Keterangan : * Uji T-test : berbeda tidak bermakna p>0,05, ** Uji Kai-kuadrat : berbeda tidak bermakna p>0,05

Tabel 1. Data karakteristik pasien Kelompok P Kelompok K (n = 15) (n = 15) 30,73 5,418 36,13 5,817 8 7 56,27 7,601 9 6 273,60 53,627

P 0,995* 0.064** 0,274* 0,500** 0,887*

Tabel 2. Perbedaan PT dan PTTK post tindakan antara kedua kelompok penelitian Tes Koagulasi Kelompok N Mean SD PT post tindakan P 15 15,347 2,287 K 15 15,473 1,217 PTTK post tindakan P 15 34,780 6,582 K 15 31,233 5,244 Keterangan : uji statistik dengan Independent T-test, p>0,05 berbeda tak bermakna

Sig. 0,851 0,114

Tabel 3. Perbedaan PT, PTTK Pre dan Post Tindakan pada kelompok perlakuan Tes Koagulasi N Mean SD Sig. PT pre tindakan 15 14,313 2,676 0,237 PT post tindakan 15 15,347 2,287 PTTK pre tindakan 15 30,307 5,131 0,029 PTTK post tindakan 15 34,780 6,583 Keterangan : uji statistik dengan Paired T-test, p>0,05 berbeda tak bermakna Tabel 4. Perbedaan PT, PTTK Pre dan Post Tindakan pada kelompok kontrol Tes Koagulasi N Mean SD Sig. PT pre tindakan 15 13,893 2,278 0,062 PT post tindakan 15 15,473 1,217 PTTK pre tindakan 15 32,960 5,007 0,160 PTTK post tindakan 15 31,233 5,245 Keterangan : uji statistik dengan Paired T-test, p>0,05 berbeda tak bermakna

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

29

Jurnal Anestesiologi Indonesia

HASIL Didapatkan subjek penelitian sejumlah 30 orang, dengan karakteristik seperti dalam Tabel. PEMBAHASAN Test APTT memerlukan komponen Ca2+, fosfolipid (keduanya intrinsik terdapat dalam plasma) dan kaolin. Bila terdapat hambatan sekresi komponen tersebut, maka PTT akan memanjang 15,16. Pemberian ketorolak intravena sudah terbukti dengan penelitian-penelitian sebelumnya akan menghambat agregasi trombosit melalui mekanisme 1,2,3,13,17,18,19 penghambatan TX2. Agregasi yang terhambat ini akan mengganggu aktivasi dari trombosit dalam mensekresi fosfolipid yang akan berikatan dengan komplek Ca2+, faktor VIIIa, IXa, dan X di permukaan trombosit, yang berguna untuk mempertahankan faktor X menjadi Xa.15,19 Mekanisme tersebut terjadi pada jalur koagulasi intrinsik yang dapat dinilai melalui tes PTTK.14,15,16,20 Hambatan sekresi fosfolipid akibat gangguan agregasi trombosit, yang disebabkan pemberian ketorolak 30 mg, menyebabkan hasil tes PTTK akan memanjang. Hasil tes PT setelah pemberian ketorolak 30 mg pada penelitian ini tidak ada perubahan yang signifikan. Tes PT menilai jalur koagulasi ekstrinsik. Jalur ekstrinsik diawali dengan terjadinya trauma jaringan yang akan melepaskan faktor III (faktor jaringan). Faktor jaringan bekerja pada faktor VII, mengubahnya menjadi VIIa, yang secara langsung mempengaruhi faktor X.15,16 Mekanisme koagulasi jalur ekstrinsik tidak dipengaruhi oleh fosfolipid, sehingga pemberian ketorolak 30 mg tidak berefek pada tes PT.15,16 Menurut penelitian Thwaites, pemberian ketorolak 30

60 mg IV dosis tunggal mengakibatkan gangguan agregasi trombosit namun gangguan ini tidak nampak secara klinis.7 SIMPULAN Pemberian dosis tunggal ketorolak 30 mg intravena pada pasien dengan anestesi spinal tidak berpengaruh terhadap jalur koagulasi ekstrinsik (PT) tapi akan memperpanjang jalur koagulasi intrinsik (PTTK) namun masih dalam batas nilai normal.

DAFTAR PUSTAKA
1. Stoelting RK. Pharmacology and physiology in anesthetic practice, 3rd ed. Philadelphia and New York: Lippincott Raven; 1999: 24756 2. Ketorolak [homepage on the Internet].c2006 [updated 2006 May 08].Available from: http://en.wikipedia.org/wiki/ketorolak 3. Ketorolak drug information online. [homepage on the Internet].c2006 [updated 2006 May 08]. Available from: http://www.drugs.com/MTM/ketorolak 4. Mc Cormack K. Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs and Spinal Nociceptive Processing. Pain 1999; 59: 9-43. 5. Ding Y, Fredman B, White PF. Use of ketorolak and fentanyl during outpatient gynecologic surgery. Anesth Aanalg. 1998; 77:205-10. 6. OHara DA, Fragen RJ, Kinzer M, Pemberton D. Ketorolak tromethamine as compared with morphine sulfate for treatment of post operative pain. Clin Pharmacol Ther. 1997; 41:556-61. 7. Thwaites. Intravenous ketorolak tromethamine worsens platelet function during knee arthroscopy under spinal anesthesia. Anaesth Analg. 1996; 82:1176-81. 8. Kleinman W. Regional anesthesia & pain management. In : Morgan GE, Mikhail MS, Murry MJ, Larson CP, eds. Clinical Anesthesiology. 3rd ed. New York : Lange Medical Book; 2002: 253-62. 9. Kehlet H,. Modification of responses to surgery by neural blockade. In : Cousin MJ, Bridenbaugh PO, eds. Neural Blockade in Clinical Anesthesia and Management of Pain. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott-Raven; 1998.

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

10. Liu S, Carpenter RL, Neal JM. Epidural anesthesia and analgesia. Their role in postoperative outcome. Anesthesiology. 1998; 82: 1474. 11. Rosenfeld BA. Benefit of regional anesthesia on thromboembolic compications following surgery. Reg Anesth. 1996; 21 : 9. 12. Jung D, Mroszcak E, Bynum L. Pharmacokinetics of ketorolak tromethamine in human after intravenous, intramuscular and oral administration. Eur J Clin Pharmacol. 1998; 35:423-25. 13. Malmberg AB, Yaksh TL. Hyperalgesia mediated by spinal glutamate or substance p receptor blocked by cyclooxygenase inhibition. Science. 1997; 257:1276-9. 14. Firkin BG. Morphology of the platelet. In : Firkin BG ed. The platelet and its disorders. Victoria: MTP Press; 1994: 9. 15. The clotting cascades. [homepage on the Internet].c2007 [updated 2007 January]. Available from : http://web.indstate.edu /thcme/mwking /blood-coagulation.html 16. Blood coagulation. [homepage on the Internet].c2007 [updated 2007 January]. Available from: http://tollefsen.wustl.edu /projects/coagulation/coagulation.html 17. Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC, Fisher BD. Antiinflammatory drugs. In : Lippincotts illustrated reviews : Pharmacology. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Raven; 2001: 403-5. 18. Gillis JO, Brogden RN. Ketorolak: a reappraisal of its pharmacodynamic and pharmacokinetic properties and therapeutic use in pain management. Drug Adis Drug Evaluation. 1997, 53(1):139-88. 19. Sutter KA, Levine JD, Dibble S. Analgesic Efficacy and Safety of Single Dose Intramuskuler Ketorolak for Postoperative Pain Management. Pain 1995; 61: 145-53. 20. Widmann FK. Clinical Interpretation of Laboratory Test. Terjemahan : Kresno SB, Gandasoebrata R, Latu J, ed 9. Jakarta: EGC; 1999: 117-44.

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

31

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN Perbandingan Sekresi IL-10 di Jaringan Sekitar Luka Insisi Dengan dan Tanpa Infiltrasi Levobupivakain : Studi Imunohistokimia pada Tikus Wistar
Winarto*, Uripno Budiono*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT Background: The acute pain occurs after wound could depress the immune function that leads to the inhibition of the wound healing processes. Local anesthetic which has a long duration effect such as levobupivacain could be used to relief the pain so that protect the depression of immune function. Activation of macrophage can promote the T cell to produce IL-10. Objective: To compare the IL-10 secretion between levobupivacain tread and non levobupivacain on the tissue surround the wound. Methods: A laboratoric experimental study designed with randomized post test only control group method. Thirty five female rats were randomly devided into three groups. Control group (K), Non-Levobupivacain infiltration group (P1) and Levobupivacain infiltration group (P2). No incision and no infiltration in K group. Two cm of skin incision was performed to P1 and P2. After the incision, levobupivacain infiltration were given every 8 hours for 24 hours to the P2 group. No levobupivacain was given to the first group. On day 1st, 2nd, 3th the rats were sacrified and the tissue surround the wound were taken for immunohistochemistry staining. The IL-10 secretion were analyzed for histologic scoring. Kruskal Wallis Test, Mann-Whitney Test were used for statistic analysis. Result: It was demonstrated in this study that the histologic score of IL-10 of the levobupivacain treated group was significanly higher than non levobupivacain group in 2nd day (mean 5.36 1.25 vs 3.00 2.11 respectively, p=0,023 ; p<0,05). Conclusion: The IL-10 secretion was significantly higher in levobupivacain treated group than non levobupivacain group on the tissue surround the wound Keyword: IL-10 secretion, levobupivacain infiltration, after incision pain

ABSTRAK Latar belakang : Nyeri menyebabkan peningkatan hormon glukokortikoid yang memperlama penyembuhan luka. Transmisi nyeri dapat dihambat dengan obat anestesi lokal levobupivakain. Terapi ini akan mengurangi supresi imunitas seluler sehingga fungsi makrofag dalam membantu aktifasi sel T tidak terhambat. Aktifasi sel T ini diduga akan meningkatkan sekresi IL-10. Tujuan : Membandingkan sekresi IL-10 di jaringan sekitar luka dengan dan tanpa infiltrasi levobupivakain. Metode: Eksperimental laboratorik dengan desain Randomized Post test only control group design, pada tiga puluh lima ekor tikus Wistar. Kelompok penelitian dibagi menjadi tiga kelompok secara acak, Kelompok Kontrol (K) 5 ekor, Perlakuan 1 (P1) dan Perlakuan 2 (P2) masing-masing lima belas ekor. Kelompok Kontrol, tikus tanpa insisi dan tanpa infiltrasi. Kelompok P1, tikus yang dilakukan insisi 2 cm, tanpa diberikan infiltrasi levobupivakain. Kelompok P2, tikus yang dilakukan insisi 2 cm, diberikan infiltrasi

32

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

levobupivakain tiap 8 jam selama 24 jam. Ekspresi IL-10 di sekitar luka insisi dinilai dengan skor histologi dari preparat dengan menggunakan pengecatan imunohistokimia, yang diambil dari biopsi jaringan pada hari ke 1, 2, dan 3. Metode perhitungan statistik menggunakan Kruskal Wallis Test dilanjutkan Mann Whitney Test. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan pada jaringan insisi rerata skor histologi IL-10 pada kelompok levobupivakain lebih tinggi (5.36 1.25) dibanding kelompok tanpa levobupivakain (3.00 2.11) pada hari ke dua. Perhitungan statistik antara kedua kelompok tanpa levobupivakain dan dengan kelompok levobupivakain berbeda bermakna (p=0,023 ; p<0,05). Kesimpulan: Sekresi IL-10 di jaringan sekitar luka dengan infiltrasi levobupivakain lebih tinggi dibanding tanpa levobupivakain Kata Kunci: Sekresi IL-10, infiltrasi levobupivakain, nyeri pasca insisi. PENDAHULUAN Penyembuhan luka merupakan proses kompleks dan dinamis dari perbaikan struktur sel dan jaringan. Penyembuhan luka melibatkan berbagai proses dengan urutan : hemostasis, inflamasi akut, regenerasi sel parenkim, migrasi dan proliferasi sel parenkim, sintesis protein ECM, remodeling jaringan ikat dan komponen parenkim, kolagenasi dan akuisisi kekuatan luka.1,2 Pembagian secara garis besar meliputi fase inflamasi, proliferasi dan remodeling.3 Terdapat faktor sistemik dan lokal yang mempengaruhi penyembuhan luka. Salah satu faktor yang berperan adalah hormon glukokortikoid. Hormon ini mempunyai efek antiinflamasi, supresi netrofil, menghambat pembentukan fibroblast dan mengganggu sintesis kolagen.1 Elenkov dkk melaporkan bahwa glukokortikoid, katekolamin dan histamin akan menyebabkan supresi imunitas seluler dan respon imun humoral.4 Terjadinya proses penyembuhan luka tidak terlepas dari peran sitokin dan faktor pertumbuhan yaitu : PDGF, FGF, TGF-, VEGF, Angiopoetin, IL-1, IL-6, IL 10, TNF-, IFN-, makrofag yang diproduksi oleh limfosit dan lekosit pada tahap sintesis kolagen.1,2 IL-10 adalah salah satu sitokin anti inflamasi, berfungsi menghambat produksi beberapa jenis sitokin lain (TNF, IL-1, chemokine,dan IL-12 ), dan menghambat fungsi makrofag dalam membantu aktifasi sel T. Dampak akhir dari aktifasi IL-10 adalah hambatan reaksi inflamasi non spesifik maupun spesifik yang diperantarai oleh sel T.5 Sato Y dkk, mengemukakan bahwa kadar IL-10 mencapai puncak 3 jam setelah insisi kulit tikus, lalu menurun normal sampai 24 jam, dan meningkat lagi serta mencapai puncak kedua pada 72 jam.6 Pembedahan menimbulkan respon stres berupa peningkatan sekresi hormon katabolik yaitu glukokortikoid, hipermetabolisme, aktivasi sistem otonom, peningkatan kerja jantung, rasa nyeri, gangguan terhadap paru, saluran cerna, gangguan sistem koagulasi, fibrinolitik dan imunosupresi.7 Pedersen mengurangi respon stres pembedahan dengan teknik pembedahan non invasif, penggunaan analgetik opioid dan blok saraf. Cara ini mampu menurunkan katabolisme protein, gangguan paru, mengurangi pelepasan katekolamin, kortisol dan glukosa.7 Bardram melaporkan teknik laparoskopi, anestesi ekstradural, nutrisi dini, mobilisasi dini, dan analgetik adekuat

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

33

Jurnal Anestesiologi Indonesia

terbukti stres.5

mampu

mengurangi

respon

Infiltrasi bupivakain 0,25% dosis tunggal dapat mengurangi nyeri selama 24 jam pasca operasi.8 Penggunaan konsentrasi 0,25% lebih efektif dibandingkan 0,5%, namun berbeda tidak bermakna dengan 0,125%.8,9 Penggunaan infiltrasi bupivakain pada dosis berulang dengan menyisipkan kateter subkutan pada ujung luka terbukti efektif mengurangi nyeri, tanpa komplikasi infeksi dan inflamasi lokal.9,10 Infiltrasi levobupivakain dapat mengurangi intensitas nyeri, menurunkan respon stres6 sehingga menurunkan sekresi hormon glukokortikoid.1,2 Berdasar teori tersebut, penurunan hormon glukokortikoid ini akan mengurangi supresi imunitas seluler sehingga fungsi makrofag dalam membantu aktifasi sel T tidak terhambat. Aktifasi sel T ini diduga akan meningkatkan sekresi IL-10. Semakin berkembangnya ilmu biologi molekuler memungkinkan identifikasi sekresi IL-10 pada jaringan, sehingga penelitian guna mengetahui perbedaan sekresi IL-10 pada penanggulangan nyeri insisi dengan infiltrasi obat anestesi local dan tanpa infiltrasi levobupivakain perlu dilaksanakan. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan desain Randomized Post test only control group design. Kelompok penelitian dibagi menjadi Kelompok Kontrol (K), Perlakuan 1 (P1) dan Perlakuan 2 (P2) dengan penjelasan sebagai berikut: K : Kelompok Kontrol, tikus Wistar yang tidak dilakukan insisi dan tidak diinfiltrasi. P1: Kelompok perlakuan 1, tikus Wistar yang dilakukan insisi sepanjang 2

cm, disuntik ulang tanpa obat 2x setiap 8 jam berikutnya. P2 : Kelompok Perlakuan 2, tikus Wistar yang dilakukan insisi sepanjang 2 cm, diberikan infiltrasi levobupivakain di sekitar luka dan diinfiltrasi ulang 2x setiap 8 jam berikutnya Hewan coba adalah tikus jenis Wistar yang diperoleh dari Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta. Kriteria Inklusi: - Tikus Wistar - Keturunan murni - Umur dua sampai setengah bulan - Berat badan 250-300 gram. - Tidak ada abnormalitas anatomis yang tampak Kriteria ekslusi: - Sakit (gerakan tidak aktif) selama masa adaptasi 7 hari - Mati selama perlakuan berlangsung (drop out). Besar sampel : menurut rumus WHO tiap kelompok minimal 5 ekor. Pada penelitian ini jumlah sampel yang digunakan 35 ekor yang dibagi menjadi 3 kelompok. Randomisasi : 35 tikus dikelompokkan secara random menjadi tiga kelompok yaitu: - Kelompok kontrol (K): 5 ekor - Kelompok perlakuan 1 (P1): 15 ekor - Kelompok perlakuan 2 (P2): 15 ekor Penelitian dan pengumpulan data dilakukan selama 6 bulan. Perlakuan dan proses pengambilan jaringan pada tikus dilakukan di Unit Pemeliharaan Hewan Coba Bagian Histologi Universitas Diponegoro Semarang. Fiksasi dan proses pewarnaan dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas

34

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Sementara interpretasi hasil dilakukan di Laboratorium Biomedik Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Sejumlah 35 ekor tikus Wistar dilakukan adaptasi di laboratorium dengan dikandangkan secara individual dan diberi pakan standar secukupnya selama 7 hari. Tikus dibagi menjadi tiga kelompok yang dilakukan secara acak masing-masing terdiri dari 5 ekor tikus untuk Kelompok Kontrol (K), 15 ekor tikus untuk Kelompok Perlakuan 1 (P1) dan 15 ekor tikus untuk Kelompok Perlakuan 2 (P2). Setelah adaptasi selama 7 hari, tikus-tikus dari kelompok perlakuan maupun kontrol dibius dengan menggunakan ether. Sesudah terbius, bulu disekitar punggung dicukur bersih dan disinfeksi menggunakan betadine. Selanjutnya dibuat irisan sepanjang 2 cm dan kedalaman sampai subkutan. Luka irisan dibersihkan dan diolesi larutan betadine, kemudian luka ditutup dengan 5 jahitan tunggal sederhana menggunakan benang side. Infiltrasi dilakukan pada kelompok P2 berupa larutan bupivakain 0,25% memakai spuit tuberculin disekitar luka irisan. Sedangkan pada kelompok P1 suntikan dengan spuit tuberculin tanpa obat. Selanjutnya jahitan dibersihkan dan dioles dengan betadine dan dirawat. Pasca bedah diberikan penicillin oil 15 mg, intra muskular. Pengulangan penyuntikan baik dengan atau tanpa levobupivakain dilakukan sebanyak dua kali dengan tenggang waktu 8 jam. Pada hari ke 1, 2 dan 3 pasca perlakuan, pada ketiga kelompok masing-masing diambil 5 ekor. Dilakukan pembiusan dengan menggunakan ether. Setelah tikus terbius kemudian dibuat eksisi-biopsi.

Jaringan biopsi diproses menjadi preparat histologik setelah dibuat dengan blok parafin. Dilakukan pengecatan imunohistokimia dengan antibodi monoclonal anti IL-10. Interpretasi hasil dilakukan di Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran UNS Surakarta. Pada hari ke 1,2,3 pasca perlakuan, pada kedua kelompok masing-masing diambil 5 ekor. Dilakukan pembiusan dengan menggunakan ether. Setelah tikus terbius kemudian pada jaringan bekas irisan diusap dengan alkohol 70% lalu dibuat eksisi-biopsi kira-kira 0,5 cm persegi melintasi garis irisan pada bagian tengah dan tepi. Jaringan biopsi diproses menjadi preparat histologik setelah dibuat dengan blok paraffin. Prosedur pembuatan preparat histopatologi a. Fiksasi Jaringan eksisi biopsy dimasukkan kedalam larutan formalin buffer ( larutan formalin 10% dalam buffer Natrium asetat sampai mencapai pH 7,0 ). Waktu fiksasi jaringan 18-24 jam. Setelah fiksasi selesai, jaringan dimasukkan dalam larutan aquadest selama 1 jam untuk proses penghilangan larutan fiksasi. b. Dehidrasi Potongan jaringan dimasukkan dalam alcohol konsentrasi bertingkat. Jaringan kemudian dimasukkan dalam larutan alcohol-xylol selama 1 jam dan kemudian larutan xylol murni selama 2x2 jam. c. Impregnasi Jaringan dimasukkan dalam paraffin cair selama 2x2 jam d. Embedding Jaringan ditanam dalam paraffin padat yang mempunyai titik lebur 56-58C, ditunggu sampai paraffin padat. Jaringan dalam paraffin dipotong setebal 4m dengan mikrotom.

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

35

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Potongan jaringan ditempelkan pada kaca obyek yang sebelumnya telah diolesi polilisin sebagai perekat. Jaringan pada kaca obyek dipanaskan dalam incubator suhu 56-58C sampai paraffin mencair. Prosedur pembuatan preparat imunohistokimia merupakan metode pemeriksaan pewarnaan jaringan berdasar kerja imunoenzym untuk memeriksa adanya antigen atau mencari lokasi antigen dalam specimen. Imunohistokimia dilaksanakan berdasarkan pada interaksi antigen antibodi yang terjadi antara marker IL-10 dengan antibodi primer. Deteksi yang digunakan adalah deteksi kromogenik berdasarkan warna yang timbul sebagai akibat reaksi enzimatis yang terjadi antara enzim HRP dengan substratnya. Sistem deteksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Novocasta. Fiksasi sediaan dilaksanakan dengan tehnik presipitasi menggunakan etanol dan dengan pengikatan silang menggunakan paraformaldehide 2%. Pretreatment sediaan sesudah deparafinisasi dan rehidrasi. Langkah ini dilaksanakan. Dengan inaktivasi enzim peroksidase endogenous dengan menggunakan 3% H2O2 dalam methanol atau PBS selama 30 menit. Blocking dilakukan dengan menggunakan buffer blocking TNB selama 30 menit pada temperature kamar. Pemberian antibodi primer dilakukan pada suhu kamar selama 30 menit. Pencucian slide dilaksanakan dengan buffer PBS pH= 7,4 selama 3x5 menit pada temperature kamar. Slide selanjutnya direaksikan dengan antibodi sekunder yang berlabel Biotin. Deteksi dilaksanakan secara kromogenik berdasarkan pada intensitas warna yang

timbul setelah slide direaksikan dengan SA-HRP dan DAB (diaminobenzidine) dan H2O2 sebagai substrat enzim peroksidase. Pengamatan dilaksanakan dengan mikroskop cahaya dalam skala pembesaran 400x. Dipilih lapang pandang yang paling banyak area positifnya, selanjutnya dihitung (dilakukan cropping) jumlah area positif pada lima lapang pandang searah jarum jam. Dengan mikroskop OLYMPUS seri BX 41 yang dilengkapi dengan kamera digital DP-70 dan memakai software OLYSIA, intensitas warna dan area IL-10 dapat diketahui. Tingkat ekspresi ditentukan secara kuantitatif sebagai nilai rata-rata pengamatan. Masing masing sediaan diteliti sebanyak lima lapang pandang dan nilai dari setiap lapang pandang akan dihitung sebagai nilai skor histologi untuk memperoleh ekspresi IL10 secara kuantitas. Penilaian skor histology IL-10 berdasar presentasi dan intensitas. Jika Persentasi : 0: tidak area positif 1: area positif 1-25% 2:area positif 26-50% 3: area positif 51-75% 4: area positif 76-100% Intensitas : 0: tidak terwarnai/negative 1: positif lemah. 2: positif sedang. 3: positif kuat. Nilai ekspresi IL-10 ditentukan dengan rumus sebagai berikut : Skor = ( IK x PK ) + ( IS x PS ) + ( IL x PL ) + ( IN x PN) I = Intensitas. P = Persentase ( Luas Area dalam m2) K = kuat S = sedang

36

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

L = lemah N = negative ( Leake, et al. 2000 ) Skor dari kelima lapang pandang kemudian dirata-rata untuk menentukan nilai ekspresi secara kuantitatif dari sediaan tersebut. Data dikumpulkan dan diolah dengan menggunakan computer SPSS 13.0 for windows dan dinyatakan dalam rerata simpang baku ( mean SD ). Kemudian dilakukan uji beda skor histologi IL-10 antar kelompok dengan menggunakan uji Kruskal Wallis. Dengan batas derajat kemaknaan p < 0,05 dengan 95% interval kepercayaan dan penyajian dalam bentuk table dan grafik. HASIL Telah dilakukan pengecatan imunohistokimia dengan menggunakan antibodi monoclonal mouse (MoAb) anti IL-10 terhadap 35 sediaan jaringan biopsi kulit tikus Wistar. Masing-masing kelompok diwakili 5 sediaan uji. Dengan mikroskop OLYMPUS seri BX 41 yang dilengkapi dengan kamera digital DP-70 dan memakai software OLYSIA, intensitas warna dan area IL-10 dapat diketahui sebagai nilai kuantitatif.
Gambar 3. Contoh hasil cropping dengan menggunakan software OLYSIA Preparat dengan kode 3P2.1B.

Nilai intensitas warna dikelompokkan sebagai berikut : Intensitas kuat : 45 85 Intensitas lemah : 86 125 Intensitas sedang : 126 165 Intensitas negatif : 166 206 Masing-masing sediaan dilihat 5 lapang pandang, dan nilai setiap lapang pandang akan dihitung sebagai nilai skor histologi guna menentukan nilai sekresi IL-10 secara semi kuantitatif. Sistem perhitungan dengan penentuan skor histologi adalah sebagai berikut : Jika presentasi luas area IL-10 adalah : 0 25% diberi nilai 1 25 50% diberi nilai 2 50 - 75% diberi nilai 3 75 100% diberi nilai 4 Intensitas eksperisi IL-10 adalah : 0 = negatif 1 = positif lemah 2 = positif sedang 3 = positif kuat Nilai skor histologis tampilan IL-10 ditentukan dengan rumus sebagai berikut: Skor Histologis :
( IK x PK ) + ( IS x PS ) + ( IL x PL ) + ( IN x PN )

Gambar 2. Contoh hasil foto hari ketiga kelompok tanpa levobupivakain ( kode preparat 3P1.3D )

Dengan : P = persentase. K = intensitas positif kuat.

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

37

Jurnal Anestesiologi Indonesia

L = intensitas positif lemah. I = intensitas S = intensitas positif sedang N = intensitas negatif. (Leake, et al., 2000). Skor histologis tampilan IL-10 dari kelima lapang pandang kemudian diambil rerata untuk menentukan ekspresi secara kuantitatif dari sediaan tersebut. Hasilnya adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Hasil pengamatan rerata SD (Median) skor histology IL-10

Tabel 4. Uji normalitas data skor histologi.

Dari tabel 4 menunjukan kelompok control, kelompok tanpa levobupivakain varian datanya tidak normal.
Tabel 5. Hasil uji beda Kruskal Wallis Test skor histology IL-10 antara kelompok tanpa levobupivakain dan kelompok dengan levobupivakain Hari 1 Hari 2 Hari 3 X2 0.513 7.552 3.432 df 2 2 2 Nilai P 0.774 0.023 0.180

Keterangan : Satuan dalam skor histologi.

Gambar 4. Grafik rerata skor histologi IL-10

Dari tabel 5 diatas menunjukkan pada hari pertama (p=0.774; p>0.05) dan pada hari ke tiga (p=0.180; p>0.05) berbeda tidak bermakna. Sedangkan pada hari ke 2, skor histology IL-10 antara kelompok tanpa levobupivakain dan kelompok dengan levobupivakain berbeda bermakna (p=0.023 ; p<0.05). Uji lebih lanjut dengan test Mann Whitney U juga menunjukkan berbeda bermakna (tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa pada luka insisi hewan coba dengan infiltrasi levobupivakain sekresi IL-10 pada hari ke 2 secara bermakna lebih banyak di banding pada hewan coba tanpa infiltrasi anestesi local levobupivakain.

Uji homogenitas (uji beda) ditujukan untuk mengetahui apakah data parameter klinis atau laboratoris dari ketiga kelompok berasal dari populasi yang homogen. Uji normalitas ditujukan untuk mengetahui apakah data parameter klinis atau laboratoris berdistribusi normal. Pengujian skor histology IL-10 dilakukan dengan tehnik Shapiro-Wilk.

38

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 6. Hasil uji beda Mann Whitney U Test skor histology IL-10 antara Kelompok tanpa levo dan kelompok dengan levo pada hari kedua HARI ke 2 Mann-Whitney U 2.000 Wilcoxon W 17.000 Z -2.207 Nilai P .027

adrenal sehingga melepas hormone steroid (kortisol). Hormon steroid yang tinggi akan meniombulkan disregulasi system imun berakibat terjadi penurunan ketahanan tubuh yang dapat menurunkan sekresi IL-10, sehingga menghambat penyembuhan luka. Dengan menghambat jalur nyeri menggunakan infiltrasi levobupivakain di sekitar luka insisi, diharapkan sistem imun tidak terganggu sehingga skor histologi IL-10 tidak menurun dan penyembuhan luka dapat lebih baik. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Mulyata S, (2002) stress pada hewan coba menyebabkan hambatan kesembuhan luka pasca episiotomi. Hewan coba tidak stres, kesembuhan lukanya lebih cepat. Vintar N, (2002) melaporkan penggunaan lokal anestesi bupivakain lewat kateter dalam luka akan efektif mengurangi nyeri setelah operasi hernia inguinalis dan penyembuhan luka lebih baik. Penelitian ini, bertujuan membuktikan perbedaan sekresi IL-10 dengan dan tanpa infiltrasi levobupivakain pada nyeri pasca insisi disekitar luka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada hari kedua rerata dari kelompok dengan levobuvipakain lebih tinggi (5.36 1.25) dari kelompok levobupivakain (3.002.11). Analisis statistik skor histologi IL-10 pada jaringan sekitar luka dipengaruhi oleh pemberian infiltrasi anestesi loka levobupivakain, perbedaannya bermakna p=0.023 ;p<0.05 (tabel 6), artinya terdapat perbedaan skor histologi IL-10 dengan infiltrasi levobupivakain dibanding tanpa infiltrasi levobupivakain dibanding tanpa infiltrasi levobupivakain hari kedua pada nyeri pasca insisi sekitar luka. Hal ini menunjukkan bahwa pada luka insisi hewan coba yang diinfiltrasi

PEMBAHASAN Dalam penelitian ini dilakukan pada 35 ekor tikus betina GALUR Wistar dewasa yang dibuat insisi pada punggung, kemudian dilakukan infiltrasi anestesi lokal levobupivakain pada sekitar luka dan dilihat perbedaannya terhadap skor histologi IL-10 pada hari kesatu, kedua dan ketiga. Untuk uji homogenitas kedua kelompok dengan variabel yang dapat diukur yaitu berat badan, hasil statistik menunjukkan berbeda tidak bermakna dengan p=0.733 ; p>0.05 (tabel 3). Berarti kedua kelompok berasal dari populasi yang homogen, pada umumnya tikus berasal dari satu indukan dimana mempunyai karakteristik yang mirip. Pengambilan biopsi jaringan pada luka dilakukan pada hari satu, dua dan tiga, karena IL-10 berperan pada fase inflamasi proses penyembuhan luka sehingga pada pemeriksaan imunohistokimia diharapkan terdapat IL10 dalam jumlah yang bermakna untuk dibandingkan antara yang diberi perlakuan dan tidak. Menurut Constantinnides P, (1994) bahwa luka insisi akan menimbulkan nyeri. Nyeri akut bila tidak dikelola dengan tepat akan berakibat memperpanjang fase katabolic berupa peningkatan glucagon, kortikoid, dan resistensi insulin. Nyeri akan merangsang kelenjar pituari melepaskan adrenocorticotropin hormone (ACTH) yang selanjutnya akan mengaktifkan kelenjar
Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

39

Jurnal Anestesiologi Indonesia

anestesi lokal levobupivakain jumlah IL10 secara bermakna lebih tinggi dibanding pada hewan coba tanpa infiltrasi anestesi lokal levobupivakain pada hari kedua. Sato Y (1999) mengemukakan bahwa kadar IL-10 pada luka akut akan meningkat 3 jam setelah insisi kemudian turun normal dan meningkat lagi pada 72 jam setelah insisi. Pola kurva yang terbentuk (pola huruf V) mirip dengan pola pada penelitian ini tanpa infiltrasi levobupivakain. Sedangkan pada kelompok dengan infiltrasi levobupivakain pola membentuk garis lurus mendatar, berarti sekresi IL-10 tetap dipertahankan untuk menekan agar fase inflamasi tidak memanjang. IL-10 terutama diproduksi oleh Th2 akibat rangsangan aktifasi makrofag. Sedangkan makrofag muncul pertama 4896 jam setelah terjadi luka dan mencapai puncak pada hari ke 3. Adanya ekspresi IL-10 pada hari pertama baik kelompok control, tanpa levobupivakain dan kelompok dengan levobnupivakain karena IL-10 juga diproduksi oleh sel-sel B dan keratinosit serta neutrofil meskipun dalam jumlah yang sedikit. Hollman (2000) mengemukakan bahwa makrofag tetap di dalam luka sampai proses penyembuhan berjalan sempurna. Nyeri yang tak dikelola dengan baik menyebabkan kortisol tetap tinggi, hal ini mengakibatkan depresi pada Th2 sehingga produksi IL-10 akan menurun. Akibatnya tidak ada yang menahan makrofag dalam memproduksi sitokin pro-inflamasi sehingga fase inflamasi relatif menjadi lebih panjang. Dengan infiltrasi levobupivakain menyebabkan blok/terputusnya transmisi nyeri sehingga respon akibat nyeri tidak

terjadi, seperti tampak pada gambar 2, sekresi IL-10 mendekati harga kontrol. Setelah makrofag muncul (48 jam setelah insisi) mengakibatkan Th2 memproduksi IL-10, pada kelompok dengan levobupivakain mencapai harga sesuai kontrol pada hari kedua lebih, sedangkan pada kelompok tanpa levobupivakain pada hari ketiga belum mencapai harga sesuai kontrol (gambar 2). Dengan kata lain (onset) hambatan terhadap makrofag terjadi lebih cepat pada kelompok dengan levobupivakain dibandingkan tanpa levobupivakain. Percepata hambatan ini akan mempersingkat fase inflamasi dan diharapkan proses penyembuhan menjadi lebih singkat. SIMPULAN Sekresi IL-10 dijaringan sekitar luka dengan infiltrasi levobupivakain lebih tinggi dibandingkan tanpa infiltrasi levobupivakain pada nyeri pasca insisi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disarankan sebagai berikut: Pada luka insisi operasi dilakukan infiltrasi anestesi local levobupivakain pada sekitar luka karena sekresi IL-10 akan tetap dipertahankan dibandingkan tanpa levobupivakain pada jaringan sekitar luka sehingga penyembuhan luka menjadi lebih baik.DIlakukan penelitian dengan jangka waktu yang lebih lama untuk mengetahui lebih banyak mekanisme biomolekuler pengaruh infiltrasi levobupivakain terhadap penyembuhan luka

DAFTAR PUSTAKA
1. Cotran RS, Kumar V, Collins T. Pathology basic of disease. 6th ed.Philadelphia:WB Saunders Co, 1999: 201-21. 2. Constantinnides P. General pathobiology. 1 st ed. Norwalk Connecticut : Appleton and Lange, 1994 : 173-86. 3. Mast AB. Normal wound healing. In : Achauer BM, Eriksson E, eds. Plastic

40

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Surgery, Indications, Operations and Outcomes, Mosby : Mosby Inc, 2000 : 37-53 4. Elenkov IJ, Webster E, Torpy Dj, et al. Stress, corticotrophin-releasing hormone, glococorticoids, and the immune inflammatory response : acute and cronic effects. Annals of the New York academy of sciences 1999; 876 : 1-13. Available from : http://annalsnyas.org/cgi/876/1/1 5. Bardram L, Funch Jensen P, Kehlet H. Recovery after laparoscopic colonic surgery with epidural analgesia and early oral nutrition and mobilization. Lancet 1995 ; 345 : 763-4 6. Sato Y, Ohshima T, Kondo T. Regulatory of endogenous interleukin-10 in cutaneus inflammatory response ofmurine wound healing. Biochem Biophys Res Commun. 1999 Nov;265 (1):194-9 7. Pedersen D. Accelerated surgical stay programe. Annals of Surgery 1994 ; 219 : 374-81. 8. Christie Jm, Chen GW. Secondary hyperalgesia is not affected by wound infiltration with bupivakain. Can J of An 1993 ; 40 : 1034-37 9. Petterson N, Berggren P, Larsson M, et al. Pain relief by wound infiltration with bupivacaine or high dose ropivacaine after inguinal hernia repair. Reg Anesth Pain Med 1999 ; 24 : 569-75. 10. Bultmann M, Streich R, RIsse A, et al. Postoperative analgesia in children after hernioplasty, wound infiltration with different concentrations of bupivacaine: a pilot study (German). Anaesthesist 1999 ; 48 : 439-43. 11. Scheres H.M.E, Goei A.F.P.M, rousch M.J.m. Qualification of oestrogen receptors in breast cancer: radiochemical assay on cytosols and cryostat sections compared with semiquantitative immunocytochemical analysis. J Clin Pathol 1988; 41 : 623-6

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

41

Jurnal Anestesiologi Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA

Neurotransmitter Dalam Fisiologi Saraf Otonom


Iwan Dwi Cahyono*, Himawan Sasongko*, Aria Dian Primatika*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT The autonomic nervous system consists of two subsystems, namely the sympathetic nervous system and parasympathetic nervous system that work against each other. Understanding the anatomy and physiology of the autonomic nervous system is useful estimate pharmacological effects of drugs in both the sympathetic and parasympatheticnervoussystems. Sympathetic nervous system starts from the spinal cord segments torakolumbal. Nerve of the parasympathetic nervous system leaves the central nervous system through cranial nerves III, VII, IX and X and sacral spinal nerves the second and third; sometimes the first and fourth sacral nerves. Approximately 75% of all parasympathetic nerve fibers is dominatedbythevagus(cranialnerveX) Autonomic reflex is a reflex that regulates visceral organs including the cardiovascular autonomic reflexes, gastrointestinal autonomic reflex, sexual reflexes, other autonomic reflexes including reflex that helps regulate the secretion of the pancreas, gall bladder emptying, urinary excretion of the kidneys, sweat, blood glucose concentrations and most of thefunctionsothervisceral. Parasympathetic system usually leads to a specific local response, in contrast to the general response of the sympathetic system on the release of mass impulse, then the function of the parasympathetic system settings seem much more specific. ABSTRAK Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis yang kerjanya saling berlawanan. Memahami anatomi dan fisiologi sistem saraf otonom berguna memperkirakan efek farmakologi obat-obatan baik pada sistem saraf simpatis maupun parasimpatis. Sistem saraf simpatis dimulai dari medula spinalis segmen torakolumbal. Saraf dari sistem saraf parasimpatis meninggalkan sistem saraf pusat melalui saraf-saraf kranial III, VII, IX dan X serta saraf sakral spinal kedua dan ketiga; kadangkala saraf sakral pertama dan keempat. Kira-kira 75% dari seluruh serabut saraf parasimpatis didominasi oleh nervus vagus (saraf kranial X). Sistem saraf simpatis dan parasimpatis selalu aktif dan aktivitas basalnya diatur oleh tonus simpatis atau tonus parasimpatis. Nilai tonus ini yang menyebabkan perubahan-perubahan aktivitas pada organ yang dipersarafinya baik peningkatan maupun penurunan aktivitas. Refleks otonom adalah refleks yang mengatur organ viseral meliputi refleks otonom kardiovaskular, refleks otonom gastrointestinal, refleks seksual, refleks otonom lainnya meliputi refleks yang membantu pengaturan sekresi kelenjar pankreas, pengosongan

42

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

kandung empedu, ekskresi urin pada ginjal, berkeringat, konsentrasi glukosa darah dan sebagian besar fungsi viseral lainnya. Sistem parasimpatis biasanya menyebabkan respon setempat yang spesifik, berbeda dengan respon yang umum dari sistem simpatis terhadap pelepasan impuls secara masal, maka fungsi pengaturan sistem parasimpatis sepertinya jauh lebih spesifik.

PENDAHULUAN Bagian sistem saraf yang mengatur fungsi viseral tubuh disebut sistem saraf otonom.Sistem ini membantu mengatur tekanan arteri, motilitas dan sekresi gastro- intestinal pengosongan kandung kemih, berkeringat suhu tubuh dan banyak aktivitas lainnya.Ada sebagian yang diatur saraf otonom sedangkan yang lainnya sebagian saja.1 Sistem saraf otonom adalah bagian sistem saraf tepi yang mengatur fungsi viseral tubuh.2 Sistem saraf otonom terutama diaktifkan oleh pusat-pusat yang terletak di medula spinalis, batang otak, dan hipotalamus.3 Juga, bagian korteks serebri khususnyakorteks limbik, dapat menghantarkan impuls ke pusat-pusat yang lebih rendah sehingga demikian mempengaruhi pengaturan otonomik. Memahami anatomi dan fisiologi sistem saraf otonom berguna memperkirakan efek farmakologi obat-obatan baik pada sistem saraf simpatis maupun parasimpatis.4

Anatomi sistem saraf simpatis Sistem saraf simpatis dimulai dari medula spinalis segmen torakolumbal (torak 1 sampai lumbal 2).3,5,6,7,9Serabut-serabut saraf ini melalui rangkaian paravertebral simpatetik yang berada disisi lateral korda spinalis yang selanjutnya akan menuju jaringan dan organ-organ yang dipersarafi oleh sistem saraf simpatis. Tiap saraf dari sistem saraf simpatis terdiri dari satu neuron preganglion dan saraf postganglion.Badan sel neuron preganglion berlokasi di intermediolateral dari korda spinalis.9 Serabut saraf simpatis vertebra ini kemudian meninggalkan korda spinalis melalui rami putih menjadi salah satu dari 22 pasang ganglia dari rangkaian paravertebral simpatik.4,9 Ganglia prevertebra yang berlokasi di abdomen dan pelvis, terdiri dari ganglia coeliaca, ganglia aoarticorenal, mesenterica superior dan inferior.Ganglia terminal berlokasi dekat dengan organ yang disarafi contohnya vesica urinaria dan rektum.4,6

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

43

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Gambar 1. Bagan pembagian sistem saraf manusia 8

Berdasarkan letaknya, ganglia simpatetik digolongkan menjadi :5,6 1. Ganglia servikalis, terdiri dari 3 ganglia yaitu : - ganglia servikalis superior - ganglia servikalis media - ganglia servikalis inferior 2. Ganglia thorakalis 3. Ganglia lumbalis

Gambar 2. Alur perjalanan rami putih simpatetik


11

44

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Gambar ganglia servikalis dan distribusinya.11

Gambar . Ganglion lumbalis11

Pembagian segmental saraf simpatis Jaras simpatis yang berasal dari berbagai segmen medula spinalis tak perlu didistribusikan ke bagian tubuh yang sama seperti halnya saraf-saraf spinal somatik dari segmen yang sama.9,11 Serabut-serabut saraf dari sistem saraf simpatis tidak menginnervasi bagianbagian tubuh sesuai dengan Sifat- sifat khusus ujung saraf simpatis dalam medula adrenal Serat saraf preganglionik simpatis berjalan tanpa mengadakan sinaps, melalui jalan-jalan dari seluruh jalan dari kornu intermediolateral medula spinalis, melalui rantai simpatis, kemudian melewati rantai splanknikus dan berakhir di medula adrenal. Di medula adrenal, serat serat saraf ini langsung berakhir pada sel-sel neuron khusus yang mensekresikan epinefrin dan norepinefrin kedalam aliran darah. Secara embriologi, sel-sel sekretorik ini berasal dari jaringan saraf dan analog dengan neuron postganglionik, bahkan sel-sel ini masih mempunyai serat-serat saraf yang
Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

rudimenter, dan serat serat inilah yang mensekresikan hormon-hormon Anatomi sistem saraf parasimpatis Saraf dari sistem saraf parasimpatis meninggalkan sistem saraf pusat melalui saraf-saraf kranial III,VII, IX dan X serta saraf sakral spinal kedua dan ketiga; kadangkala saraf sakral pertama dan keempat.3,6,9,10,11,Kira-kira 75% dari seluruh serabut saraf parasimpatis didominasi oleh nervus vagus (saraf kranial X) yang melalui daerah torakal dan abdominal,seperti diketahui nervus vagus mempersarafi jantung, paruparu,esophagus, lambung, usus kecil, hati, kandung kemih, pankreas, dan bagian atas uterus.Serabut saraf parasimpatis nervus III menuju mata, sedangkan kelenjar air mata,hidung,dan glandula submaksilla menerima innervasi dari saraf kranial VII, dan glandula parotis menerima innervasi dari saraf kranial IX. segmennya. Sebagai contoh, serabut yang berasal dari torakal 1 biasanya melewati rangkaian paravertebral simpatik naik kedaerah

45

Jurnal Anestesiologi Indonesia

kepala, torakal 2 untuk leher, torakal 3 sampai torakal 6 untuk dada, torakal 7 sampai torakal 11 ke abdomen dan torakal 12, lumbal 1 sampai lumbal 2 ke

ekstremitas inferior. Pembagian ini hanya kurang lebih demikian dan sebagian besar saling tumpang tindih.4,9,10,11,12

Gambar 3. Distribusi sistem saraf otonom dan organ yang dipersarafinya 15

Sistem saraf parasimpatis daerah sakral terdiri dari saraf sakral II dan III serta kadang-kadang saraf sakral I dan IV. Serabut -serabut saraf ini mempersarafi bagian distal kolon,rektum, kandung kemih, dan bagian bawah uterus, juga mempersarafi genitalia eksterna yang dapat menimbulkan respon seksual. Berbeda dengan sistem saraf simpatis,serabut preganglion parasimpatis

menuju ganglia atau organ yang dipersarafi secara langsung tanpa hambatan. Serabut postganglion saraf parasimpatis pendek karena langsung berada di ganglia yang sesuai,ini berbeda dengan sistem saraf simpatis, dimana neuron postganglion relatif panjang, ini menggambarkan ganglia dari rangkaian paravertebra simpatis yang berada jauh dengan organ yang dipersarafinya.3,11

46

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Gambar 6. Neurotransmiter parasimpatik4

simpatik

dan

Gambar 5. Perbedaan dasar anatomi dan respon simpatik dan parasimpatik11

KONSEP TRANSMISI SISTEM SARAF SIMPATIS DAN PARASIMPATIS Mekanisme sekresi dan pemindahan transmitter pada ujung postganglionik Beberapa ujung saraf otonom postganglionik terutama saraf parasimpatis memang mirip dengan taut neuromuskular skeletal,namun ukurannya jauh lebih kecil. Beberapa serat saraf parasimpatis dan hampir semua serat saraf simpatis hanya bersinggungan dengan sel-sel efektor dari organ yang dipersarafinya, pada beberapa contoh, serat-serat ini berakhir pada jaringna ikat yang letaknya berdekatan dengan sel-sel yang dirangsangnya. Ditempat filamen ini berjalan atau mendekati sel efektor, biasanya terdapat suatu bulatan yang membesar yang disebut varikositas ; didalam varikositas ditemukan vesikel transmitter asetilkolin atau norepinefrin. Didalam varikositas ini juga terdapat banyak sekali mitokondria untuk mensuplai adenosin triphosphat yang dibutuhkan untuk memberi energi pada sintesis asetilkolin atau norepinefrin3,4,10. Bila ada penjalaran potensial aksi disepanjang serat terminal, maka proses

Fisiologi sistem saraf otonom Serat-serat saraf simpatis maupun parasimpatis mensekresikan salah satu dari kedua bahan transmiter sinaps ini, asetilkolin atau norepinefrin.1,3,4,6,9,16 Serabut postganglion sistem saraf simpatis mengekskresikan norepinefrin sebagai neurotransmitter. Neuron- neuron yang mengeluarkan norepinefrin ini dikenal dengan serabut adrenergik. Serabut postganglion sistem saraf parasimpatis mensekresikan asetilkolin sebagai neurotransmitter dan dikenal sebagai serabut kolinergik. Sebagai tambahan serabut postganglion saraf simpatis kelenjar keringat dan beberapa pembuluh darah juga melepaskan asetilkolin sebagai neurotransmitter. Semua saraf preganglion simpatis dan parasimpatis melepaskan asetilkolin sebagai neurotransmitter karenanya dikenal sebagai serabut kolinergik. Sedangkan asetilkolin yang dilepaskan dari serabut preganglion mengaktivasi baik postganglion simpatis maupun parasimpatis.

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

47

Jurnal Anestesiologi Indonesia

depolarisasi meningkatkan permeabilitas membran serat saraf terhadap ion kalsium, sehingga mempermudah ion ini untuk berdifusi keujung saraf atau varikositas saraf. Disini ion kalsium berinteraksi dengan vesikel sekretori yang letaknya berdekatan dengan membran sehingga vesikel ini bersatu dengan membran dan menggosongkan isinya keluar. Jadi, bahan transmitter akhirnya disekresikan.3,4,10 Sintesis asetilkolin penghancurannya setelah disekresikan, dan lama kerjanya Asetilkolin disintesis di ujung terminal serat saraf kolinergik. Sebagian besar sintesis ini terjadi di aksoplasma di luar vesikel. Selanjutnya, asetilkolin diangkut ke bagian dalam vesikel, tempat bahan tersebut disimpan dalam bentuk kepekatan tinggi sebelum akhirnya dilepaskan. Reaksi kimia dasar dari sintesis ini adalah sebagai berikut : Asetilkolon transferase Asetil-KoA + Kolin Asetilkolin

Sintesis norepinefrin, pemindahannya dan lama kerjanya Sintesis norepinefrin dimulai di aksoplasma ujung saraf terminal dari serat saraf adrenergik, namun disempurnakan di dalam vesikel. Tahap tahap dasarnya adalah sebagai berikut :
1. Hidroksilasi Tirosin DOPA

2. 3.

Dekarboksilasi DOPA Dopamin Pengangkutan dopamin menuju vesikel Hidroksilasi Dopamin Norepinefrin

4.

Pada medula adrenal, reaksi ini dilanjutkan satu tahap lagi untuk mengalihkan sekitar 80 persen norepinefrin menjadi epinefrin, yakni sebagai berikut :
5. Metilasi Norepinefrin Epinefrin

Asetilkolin begitu disekresikan oleh ujung saraf kolinergik, maka akan menetap dalam jaringan selama beberapa detik, kemudian sebagian besar dipecah menjadi ion asetat dan kolin oleh enzim asetilkolin esterase yang berikatan dengan kolagen dan glikosaminoglikans dalam jaringan ikat setempat. Jadi, ruparupanya mekanisme ini mirip dengan mekanisme penghancuran asetilkolin yang terjadi pada taut neuromuskular direrat saraf skeletal. Sebaliknya, kolin yang terbentuk diangkut kembali ke ujung saraf terminal, tempat bahan ini dipakai kembali untuk sintesis asetilkolin yang baru.3,9,10

Setelah norepinefrin disekresikan oleh ujung ujung saraf terminal, maka kemudian dipindahkan dari tempat sekresinya melalui tiga cara berikut : 1. Dengan proses tranport aktif, diambil lagi ke dalam ujung saraf adrenergik sendiri, yakni sebanyak 50 80 % dari norepinefrin yang disekresikan. 2. Berdifusi keluar dari ujung saraf menuju cairan tubuh di sekelilingnya dan kemudian masuk ke dalam darah, yakni seluruh sisa norepinefrin yang ada. 3. Dalam jumlah yang sedikit, dihancurkan oleh enzim (salah satu enzim tersebut adalah monoamin oksidase, yang dapat dijumpai dalam ujung saraf itu sendiri, dan enzim katekol-O-metil transferase yang

48

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

dapat berdifusi 3,9,10 jaringan).

ke

seluruh

Perangsangan atau penghambatan sel efektor oleh perubahan permeabilitas membrannya Karena protein reseptor merupakan bagian integral dari membran sel, maka perubahan konformasional pada struktur protein reseptor dari banyak sel organ akan membuka atau menutup saluran ion melalui sela-sela molekul itu sendiri, dengan demikian merubah permeabilitas membran sel terhadap berbagai ion. Sebagai contoh, saluran ion natrium dan atau kalsium seringkali menjadi terbuka dan memungkinkan influks ion ion tersebut dengan cepat untuk masuk ke dalam sel yang biasanya akan mendepolarisasikan membran sel dan merangsang sel. Pada saat lain, saluran kalium terbuka sehingga memungkinkan ion kalium berdifusi keluar dari sel dan biasanya hal ini akan menghambat sel akibat hilangnya ion kalium elektro positif yang membentuk hipernegatifisme di dalam sel. Juga pada beberapa sel perubahan lingkungan ion intraseluler akan menyebabkan kerja sel internal seperti efek langsung ion kalsium dalam menimbulkan kontraksi otot polos.3,9 Kerja reseptor melalui enzim intraseluler perubahan

Biasanya norepinefrin disekresikan secara langsung ke dalam jaringan yang tetap aktif hanya selama beberapa detik, hal ini memperlihatkan bahwa proses pengambilan kembali norepinefrin dan difusinya keluar dari jaringan berlangsung dengan cepat. Namun, norepinefrin dan epinefrin yang disekresikan ke dalam darah oleh medula adrenal masih tetap aktif sampai didifusikan ke suatu jaringan, tempat keduanya dihancurkan oleh katekol-Ometil transferase, peristiwa ini terutama terjadi di dalam hati. Oleh karena itu, bila di sekresikan ke dalam darah baik norepinefrin dan epinefrin akan tetap sangat aktif selama 10 sampai 30 detik dan kemudian aktivitasnya menurun, menjadi sangat lemah dalam waktu satu sampai beberapa menit.3,9,10 Sebelum transmitter asetilkolin atau norepinefrin disekresikan pada ujung saraf otonom untuk dapat merangsang organ efektor, transmiter ini mula-mula harus berikatan dulu dengan reseptor yang sangat spesifik pada sel-sel efektor. Reseptor ini terdapat di bagian dalam membran sel, terikat sebagai kelompok prostetik pada molekul protein yang menembus membran sel. Ketika transmitter berikatan dengan reseptor, hal ini menyebabkan perubahan konformasional ( bentuk tertentu dari keseluruhan) pada struktur molekul protein. Kemudian molekul protein yang berubah ini merangsang atau menghambat sel, paling sering dengan : (1) menyebabkan perubahan permeabilitas membran sel terhadap satu atau lebih ion, atau (2) mengaktifkan atau justru mematikan aktivitas enzim yang melekat pada ujung protein reseptor lain dimana reseptor ini menonjol ke bagian dalam sel.3

Cara lain agar reseptor dapat berfungsi adalah dengan mengaktifkan atau mematikan aktivitas suatu enzim (atau zat kimia intraseluler lainnya) di dalam sel. Enzim seringkali terlekat pada protein reseptor dimana reseptor menonjol ke bagian dalam sel. Sebagai contoh, pengikatan epinefrin dengan reseptornya pada bagian luar sel akan meningkatkan aktivitas enzim adenilatsiklase pada bagian dalam sel, dan hal ini kemudian menyebabkan pembentukan adenosin monofosfat siklik (cAMP). cAMP kemudian dapat mengawali salah satu kerja dari sekian banyak aktivitas intraseluler yang berbeda-beda, efek

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

49

Jurnal Anestesiologi Indonesia

pastinya bergantung pada mesin kimiawi dari sel efektor. Oleh karena itu, mudahlah untuk mengerti bagaimana substansi transmiter otonomik dapat menyebabkan inhibisi pada beberapa organ atau eksitasi pada organ lain. Hal ini biasanya ditentukan oleh sifatprotein reseptor pada membran sel dan efek reseptor yang terikat pada keadaan konformasionalnya. Pada setiap organ, efek yang dihasilkannya secara keseluruhan cenderung berbeda dengan yang terdapat pada organ lain.3,9

pengaruh perangsangan yang berbeda pada reseptor alfa dan beta. Norepinefrin terutama merangsang reseptor alfa namun kurang merangsang reseptor beta. Sebaliknya, epinefrin merangsang kedua reseptor ini sama kuatnya. Oleh karena itu, pengaruh epinefrin dan norepinefrin pada berbagai organ efektor ditentukan oleh jenis reseptor yang terdapatdalam organ tersebut. Bila seluruh reseptor adalah reseptor beta, maka epinefrin akan menjadi organ perangsang yang lebih efektif.3 Reseptor dopamin juga dibagi menjadi dopamin 1 dan dopamin 2. Presinap alfa dan dopamin 2 merupakan negative feedback karena bila diaktivasi akan menyebabkan pelepasan neurotransmitter. Reseptor-reseptor alfa 2 juga terdapat di platelet yang berfungsi sebagai mediator pada agregasi platelet yang dengan cara mempengaruhi konsentrasi enzim platelet adenilatsiklase. Pada sistem saraf pusat, stimulasi postsinap alfa 2 dengan menggunakan obat seperti klonidin atau dexmetomidine akan meningkatkan konduksi dan hiperpolarisasi membran sehingga kebutuhan zat anestesi akan menurun. Sistem signal transmembran terdiri dari 3 bagian, yaitu : (a) sisi pengenalan, (b) sisi efektor atau katalitik, dan (c) tranducing atau coupling protein.9 RESEPTOR ASETILKOLIN Reseptor-reseptor kolinergik dibagi menjadi nikotinik dan muskarinik.Secara fisiologi masing-masing reseptor dibagi menjadi beberapa subtipe.Reseptor nikotinik dibagi menjadi 2 yaitu reseptor N1 dan N2.N1 terdapat di ganglia otonom sedangkan N2 terdapat di neuromuscular junction. Hexamethonium memblok reseptor N1 sedangkan blokade ganglia otonom dalam beberapa tingkatan walaupun efek pada reseptor N2 tetap predominan.9

INTERAKSI NEUROTRANSMITER DENGAN RESEPTOR Norepineprin dan asetilkolin berinteraksi dengan reseptor ( protein makromolekul ) di membran lipid sel. Interaksi reseptor neurotransmitter ini akan menyebabkan aktivasi atau inhibisi enzim-enzim efektor seperti adenilatsiklase atau dapat merubah aliran ion-ion sodium dan potassium di membran sel melalui protein ion chanel. Perubahan-perubahan ini akan merubah stimulus eksternal menjadi signal intraseluler.3,9

RESEPTOR-RESEPTOR NOREPINEFRIN Efek farmakologi katekolamin merupakan konsep awal dari reseptorreseptor alfa dan beta adrenergik.9 Penelitian dengan memakai obat-obatan yang meniru kerja norepinefrin pada organ efektor simpatis (disebut sebagai simpatomimetik ) telah memperlihatkan bahwa terdapat dua jenis reseptor adrenergik, reseptor-reseptor ini dibagi menjadi alfa 1 dan alfa 2. Selanjutnya reseptor beta dibagi menjadi beta 1 dan beta 2.3,9 Norepinefrin dan epinefrin, keduanya disekresikan kedalam darah oleh medula adrenal, mempunyai 50

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Reseptor muskarinik dibagi menjadi M1 dan M2.Reseptor M1 terdapat di ganglia otonom dan sistem saraf pusat sedangkan reseptor M2 ada di jantung dan kelenjar ludah.Pirenzepin adalah salah satu contoh obat yang merupakan antagonis selektif pada reseptor M1 sedangkan atropine merupakan antagonis selektif pada reseptor M1 dan M2. Perbedaan antara reseptor nikotinik dan muskarinik adalah pada jarak reseptor antara atom-atom dalam berinteraksi dengan asetilkolin ataupun obat-obat.9 Efek Perangsangan Simpatis dan Parasimpatis pada Organ Spesifik Mata Ada dua fungsi mata yang diatur oleh sistem saraf otonom, yaitu dilatasi pupil dan pemusatan lensa.Perangsangan simpatis membuat serat-serat meridional iris berkontraksi sehingga pupil menjadi dilatasi, sedangkan perangsangan parasimpatis mengkontraksikan otot-otot sirkular iris sehingga terjadi konstriksi pupil.Perangsangan parasimpatis membuat otot siliaris berkontraksi, sehingga melepaskan tegangan tadi dan menyebabkan lensa menjadi lebih konveks. Keadaan ini membuat mata memusatkan objeknya dekat tangan.3 Kelenjar-kelenjar tubuh Kelenjar nasalis, lakrimalis, saliva, dan sebagian besar kelenjar gastrointestinalis terangsang dengan kuat oleh sistem saraf parasimpatis sehingga mengeluarkan banyak sekali sekresi cairan.Kelenjarkelenjar saluran pencernaan yang paling kuat dirangsang oleh parasimpatis adalah yang terletak di saluran bagian atas, terutama kelenjar di daerah mulut dan lambung.Kelenjar usus halus dan usus besar terutama diatur oleh faktor-faktor lokal yang terdapat di saluran usus sendiri dan oleh sitem saraf enterik usus serta sedikit oleh saraf otonom.Perangsangan simpatis mempunyai pengaruh langsung

pada sel-sel kelenjar dalam pembentukan sekresi pekat yang mengandung enzim dan mukus tambahan.Rangsangan simpatis ini juga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang mensuplai kelejar-kelenjar sehingga seringkali mengurangi kecepatan sekresinya.Bila saraf simpatis terangsang, maka kelenjar keringat mensekresikan banyak sekali keringat, tetapi perangsangan pada saraf parasimpatis tidak mengakibatkan pengaruh apapun. Sistem gastrointestinal Sistem gastrointestinal mempunyai susunan saraf intrinsik sendiri yang dikenal sebagai pleksus intramural atau sistem saraf enterik usus.Namun, baik perangsangan simpatis maupun parasimpatis dapat mempengaruhi aktivitas gastrointestinal, terutama oleh peningkatan atau penurunan kerja spesifik dalam pleksus intramural. Pada umumnya, perangsangan parasimpatis meningkatkan seluruh tingkat aktivitas saluran gastrointestinal, yakni dengan memicu terjadinya gerakan peristaltik dan relaksasi sfingter, jadi akan mempermudah pengeluaran isi usus melalui saluran pencernaan dengan cepat. Pengaruh dorongan ini berkaitan dengan penambahan kecepatan sekresi yang terjadi secara bersamaan pada sebagian besar kelenjar gastrointestinal, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.3 Fungsi normal dari saluran gastrointestinal tidak terlalu tergantung pada perangsangan simpatis Jantung Pada umumnya, perangsangan simpatis akan meningkatkan seluruh aktivitas jantung. Keadaan ini tercapai dengan naiknya frekuensi dan kekuatan kontraksi jantung. Perangsangan parasimpatis terutama menimbulkan efek yang berlawanan. Akibat atau pengaruh ini dapat diungkapkan dengan cara lain, yakni perangsangan simpatis akan 51

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

meningkatkan keefektifan jantung sebagai pompa yang diperlukan selama kerja berat, sedangkan perangsangan parasimpatis menurunkan kemampuan pemompaan tetapi menimbulkan beberapa tingkatan istirahat pada jantung di antara aktivitas kerja yang berat.3 Pembuluh darah sistemik Sebagian besar pembuluh darah sistemik, khususnya yang terdapat di visera abdomen dan kulit anggota tubuh, akan berkonstriksi bila ada perangsangan simpatis. Perangsangan parasimpatis hampir sama sekali tidak berpengaruh pada pembuluh darah, kecuali pada daerah-daerah tertentu malah memperlebar, seperti pada timbulnya daerah kemerahan di wajah. Pada beberapa keadaan, fungsi rangsangan simpatis pada reseptor beta akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah pada rangsangan simpatis yang biasa, tetapi hal ini jarang terjadi, kecuali setelah diberi obat-obatan yang dapat melumpuhkan reseptor alfa simpatis yang memberi pengaruh vasokonstriktor, yang biasanya lebih merupakan efek reseptor beta.3 Efek perangsangan simpatis dan parasimpatis terhadap tekanan arteri Tekanan arteri ditentukan oleh dua faktor, yaitu daya dorong darah dari jantung dan tahanan terhadap aliran darah ini yang melewati pembuluh darah. Perangsangan simpatis meningkatnya daya dorong oleh jantung dan tahanan terhadap aliran darah, yang biasanya menyebabkan tekanan menjadi sangat meningkat. Sebaliknya, perangsangan parasimpatis menurunkan daya pompa jantung tetapi sama sekali tidak mempengaruhi tahanan perifer. Efek yang umum adalah terjadi sedikit penurunan tekanan.

Efek perangsangan simpatis dan parasimpatis terhadapfungsi tubuh lainnya Karena begitu pentingnya sistem pengaturan simpatis dan parasimpatis, maka kedua sistem ini dibicarakan mengingat banyaknya fungsi tubuh yang belum dapat ditentukan secara rinci. Pada umumnya sebagian besar struktur entodermal,seperti hati, kandung empedu, ureter, kandung kemih, dan bronkus dihambat oleh perangsangan simpatis namun dirangsang oleh perangsangan parasimpatis. Perangsangan simpatis juga mempunyai pengaruh metabolik, yakni menyebabkan pelepasan glukosa dari hati, meningkatkan konsentrasi gula darah, meningkatkan proses glikogenolisis dalam hati ndan otot, meningkatkan kekuatan otot, meningkatkan kecepatan metabolisme basal, dan meningkatkan aktivitas mental. Akhirnya, perangsangan simpatis dan parasimpatis juga terlibat dalam tindakan seksual antara pria dan wanita.3

TONUS SISTEM SARAF OTONOM Sistem saraf simpatis dan parasimpatis selalu aktif dan aktivitas basalnya diatur oleh tonus simpatis atau tonus parasimpatis. Nilai tonus ini yang menyebabkan perubahan-perubahan aktivitas pada organ yang dipersarafinya baik peningkatan maupun penurunan aktivitas. Sebagai contoh tonus sistem saraf simpatis secara normal hanya menyebabkan konstriksi pembuluh darah sekitar 50% . Peningkatan atau penurunan aktivitas sistem saraf simpatis menyebabkan perubahan-perubahan yang saling berhubungan dalam resistensi sistem vaskuler. Bila tidak ada tonus simpatis, sistem saraf simpatis hanya menyebabkan vasokonstriksi.3

52

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

KEHILANGAN INERVASI SECARA AKUT Kehilangan sistem tonus saraf simpatis secara akut yang diakibatkan karena regional anesthesia atau transeksi korda spinalis akan menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah secara maksimal (spinal shock). Dalam beberapa hari tonus intrinsik dari otot pembuluh darah kecil meningkat sehingga terjadi vasokonstriksi dan pembuluh darah kembali normal.3

Refleks otonom gastrointestinal Bagian teratas dari traktusgastrointestinal dan juga rektum terutama diatur oleh refleks otonom.3 Refleks otonom lainnya Pengosongan kandung kemih caranya mirip dengan pengosongan rektum, peregangan kandung kemih menyebabkan timbulnya impuls ke medula spinalis, dan keadaan ini menyebabkan refleks kontraksi kandung kemih dan relaksasi sfingter urinaria, sehingga mempermudah pengeluaran urin.3 Refleks otonom lainnya meliputi refleks yang membantu pengaturan sekresi kelenjar pankreas, pengosongan kandung empedu, ekskresi urin pada ginjal, berkeringat, konsentrasi glukosa darah dan sebagian besar fungsi viseral lainnya. Sistem simpatis seringkali memberi respon terhadap pelepasan impuls secara massal Pada kebanyakan kasus, impuls yang dikeluarkan oleh sistem saraf simpatis hampir merupakan suatu unit yang sempurna, fenomena ini disebut pelepasan impuls masal (mass discharge). Serat vasodilator kolinergik spesifik pada otot skelet akan terangsang secara tersendiri, terpisah dari sistem simpatis lainnya. Sebagian besar reflek lokal, yang melibatkan serat afferen sensorik yang berjalan secara sentral di saraf simpatis menuju ganglia simpatis dan medula spinalis, menyebabkan respons refleks yang sangat terlokalisasi. Sebagai contoh pemanasan pada suatu daerah kulit setempat menyebabkan vasodilatasi dan meningkatnya pengeluaran keringat setempat sedangkan pendinginan menimbulkan akibat yang sebaliknya. Sebagian besar refleks simpatis yang mengatur fungsi gastrointestinal

KEHILANGAN INERVASI AKIBAT KEADAAN HIPERSENSITIF Keadaan ini terjadi karena adanya peningkatan ambang batas dari organorgan yang dipersarafinya terhadap norepineprin atau epineprin yang terjadi pada minggu-minggu pertama atau setelah gangguan mendadak dari organ yang dipersarafi oleh sistem saraf otonom. Mekanisme dari kehilangan innervasi secara akut akibat reaksi hipersensitif diakibatkan karena proliferasi dari resptor-reseptor (up regulation) pada membran postsinaptik yang terjadi akibat norepineprin atau asetilkolin tidak dilepaskan lagi pada sinap.3 REFLEKS OTONOM Refleks otonom kardiovaskular Ada beberapa refleks dalam sistem kardiovaskular yang terutama membantu mengatur tekanan darah arteri dan frekuensi denyut jantung. Salah satu refleks ini adalah refleks baroreseptor, secara kasar reseptor regang yang disebut baroreseptor terletak didalam dinding arteri besar, termasuk arteri karotis dan aorta.3,

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

53

Jurnal Anestesiologi Indonesia

mempunyai ciri tersendiri, yang kadangkala bekerja melalui jaras saraf namun tidak memasuki medula spinalis, hanya berjalan dari usus jalan ke ganglia simpatis, terutama di ganglia prevertebral, dan kemudian kembali ke usus melalui saraf saraf simpatis guna mengatur aktivitas motorik atau sekretorik.3 Respons "tanda bahaya " atau respon "stress" dari sitem saraf simpatis Bila sebagian besar daerah sistem saraf simpatis melepaskan impuls pada saat yang bersamaan yakni yang disebut pelepasan impuls secara massal maka dengan berbagai cara keadaan ini akan meningkatkan kemampuan tubuh untuk melakukan aktivitas otot yang besar. Marilah kita meringkaskan kejadian ini : 1. Peningkatan tekanan arteri 2. Peningkatan aliran darah untuk mengaktifkan otot-otot bersamaan dengan penurunan aliran darah ke organ-organ, seperti traktus gastro intestinal dan ginjal, yang tidak diperlukan untuk aktivitas motorik yang cepat 3. Peningkatan kecepatan metabolisme sel diseluruh tubuh 4. Peningkatan konsentrasi glukosa darah 5. Peningkatan prosesglikolisis di hati dan otot 6. Peningkatan kekuatan otot 7. Peningkatan aktivitas mental 8. Peningkatan kecepatan koagulasi darah Seluruh efek diatas menyebabkan orang tersebut dapat melaksanakan aktivitas fisik yang jauh lebih besar bila tidak ada efek diatas. Oleh karena stres fisik atau mental biasanya akan menggiatkan sistem simpatis, maka seringkali keadaan tersebut dianggap merupakan tujuan dari

sistem simpatis untuk menyediakan aktivitas tambahan tubuh pada saat stres, keadaan ini sering disebut respons stres simpatis. Sistem simpatis terutama teraktivasi dengan kuat pada berbagai keadaan emosi. Pengaturan medula, pons, dan mesensefalon pada sistem saraf otonom Sebagian besar area dalam substansia retikuler dan traktus solitarius medula, pons dan mesensefalon seperti halnya banyak nuklei khusus mengatur berbagai fungsi otonom seperti tekanan arteri, frekuensi denyut jantung sekresi kelenjar di traktus gastrointestinal, gerakan peristaltik gastrointestinal dan kuatnya kontraksi kandung kemih.Perlu ditekankan disini bahwa faktor palingpenting yang dikendalikan oleh batang otak adalah tekanan arteri,frekuensi denyut jantung dan frekuensi pernafasan. Tentu saja transeksi batang otak diatas tingkat midpontin tetap tidak mengganggu pengaturan tekanan dasar dari arteri namun mencegah pengaturan pusat saraf yang lebih tinggi terutama di hipotalamus sebaliknya transeksi tepat dibawah medula akan menyebabkan tekanan arteri turun sampai kurang dari setengah kali normal selama beberapa jam atau beberapa hari sesudah transeksi.Yang sangat berkaitan dengan pusat pengaturan kardiovaskular pada medula adalah pusat medula dan pontin untuk pengaturan pernafasan.Walaupun hal ini tidak dianggap sebagai suatu fungsi otonom, tetapi merupakan salah satu dari fungsi involunter tubuh. Pengaturan pusat otonom batang otak oleh area yang lebih tinggi Sinyal-sinyal yang berasal dari hipotalamus dan bahkan dari serebrum dapat mempengaruhi aktivitas hampir semua pusat pengatur otonom batang otak. Contohnya perangsangan daerah yang sesuai pada hipotalamus dapat
Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

54

Jurnal Anestesiologi Indonesia

mengaktifkan pusat pengatur kardiovaskular medula dengan cukup kuat untuk meningkatkan tekanan arteri sampai lebih dari dua kali normal. Demikian juga, pusat-pusat hipotalamik lainnya dapat mengatur suhu tubuh, meningkatkan atau menurunkan salivasi dan aktivitas gastrointestinal, atau menimbulkan pengosongan kandung kemih. Oleh karena itu, pada beberapa keadaan, pusat-pusat otonom di batang otak bekerja sebagai stasiun pemancar untuk mengatur aktivitas yang dimulai pada tingkat otak yang lebih tinggi.Sebagian besar respons perilaku kita dijalarkan melalui hipotalamus, area retikularis batang otak, dan sistem saraf otonom. Tentu saja area otak yang lebih tinggi dapat merngubah sistem saraf otonom atau sebagian darinya dengan cukup kuat untuk menimbulkan penyakit yang diinduksi otonom, seperti tukak lambung, konstipasi, palpitasi jantung bahkan serangan jantung.3

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

DAFTAR PUSTAKA
1. 2. Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran 1997 edisi 9, hal 957-970. Organization of The Nervous System available on URL:http://users.rcn.com/jkimball.ma.ultrane t/BiologyPages/P/PNS.html Autonomic Nervous System available on URL :http://enwikipedia.org/wiki/Autonomic_nerv ous_system Collins VJ. Physiologic and Pharmacologic Bases of Anesthesia, AutonomicNervous System.1996 .Vol :.281-301. Definition Autonomic Nervous System available on URL: http://www.medterms. com/script/main/art.asp?articlekey=2403 Autonomic nervous system, available on URL :http://www.merck.com/mmpe/sec16/ch208/c h208a.html Autonomic Nervous System. 2006 Available on URL:http://www.frca.co.uk/article.aspx?artic leid=100506

18.

3.

Autonomic Nervpous System Available on URL: htttp://www.yesselman.com/e3elwes.htm Stoelting RK. Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice. Autonomic Nervous System. 2005.vol : 643-653. Martini FH. Fundamental of Anatomy & Pysiology.7th edition. The Autonomic Nervous System and Higher-Order Functions.2006, vol :517-548 Ellis H, Feldman S, Griffiths WH.Anatomy for Anaesthetists.Eight edition. Blackwell publishing .The Autonomic Nervous System .vol : 222-240 available on: http://www.blackwellpublishing.com The Autonomic Nervous System, available on URL:http://nariratih.wordpress.com/ 2008/03/19/the-autonomic-nervous-system/ Autonomic Nervous System.available on URL:http://science.swu.edu/wsinnamon/A&P autonomic.htm Autonomic nervous system available on URL:http://findarticles.com/p/articles/mi_g2 699/is_0000/ai_2699000032 Autonomic Nervous System Available on URL: http://www://users.rcn.com/ biolopages/P/PNS.htm; Autonomic Nervous System. available on URL: http://www. Microneuroanatomy.com/ autonomicns.htm Hypothalamusand Autonomic Nervous System.2006. available on URL: http:// 209. 85.175.104/search?q =cache :A8IAE- 1AmsJ: www.psassupport.com/files/ hypothalamus%2520and%2520the%2520Aut onomic%2520Nervous%2520System.pdf+aut onomic+nervous+system&hl=id&ct=clnk&c d=289&gl=id Autonomic nervous system available on URL: http://www.daviddarling.info/encyclopedia/A /autonomic_nervous _system.html

4.

5.

6.

7.

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

55

Jurnal Anestesiologi Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA

Nutrisi Pada Pasien Cedera Kepala


Yusnita Debora *, Yulia Wahyu Villyastuti*, Mohammad Sofyan Harahap*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT Hypermetabolic conditions often found in stroke or head injury patients, so it is not uncommon to this situation will worsen the condition of the patient. This accelerated pace with the fast hypermetabolic the old one so that the body would mobilize fats and proteins that would later be used for energy. This situation can be prevented by administering the nutrition in early time and in these condition the granting of enteral nutrients over selected. Enteral nutrition can be granting via various pathways, such as through the gaster, jejunum, or dudenum with the use of feeding tube For the success of a therapeutic nutritional screening and assessment required nutritional state of patients. ABSTRAK Status hipermetabolik sering ditemukan pada pasien-pasien stroke ataupun cedera kepala, sehingga tidak jarang keadaan ini akan memperburuk keadaan pasien. Laju hipermetabolik ini dipercepat dengan puasa yang lama sehingga tubuh akan memobilisasi lemak dan protein yang nantinya akan digunakan sebagai untuk energi. Keadaan ini dapat dicegah dengan pemberian nutrisi secara dini dan pada keadaan ini lebih terpilih pemberian enteral nutrisi. Pemberian enteral nutrisi ini dapat melalui berbagai jalur, seperti melalui gaster, jejunum, ataupun dudenum dengan pemasangan feeding tube Untuk suksesnya suatu terapi nutrisi diperlukan penyaringan dan penilaian status gizi pasien-pasien tersebut.

PENDAHULUAN Cedera kepala merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia, angka kejadian cedera kepala menempati 15-20 % kematian pada orang berusia 5 hingga 35 tahun dan 1 % dari seluruh kematian pada orang dewasa. Di Amerika Serikat sekitar 1,4 juta orang menderita cedera kepala setiap tahunnya, dari semua pasien 3500 pasien harus dirawat di ICU. Penanganan modern terhadap cedera kepala saat ini telah dilakukan oleh tim dokter yang dipimpin oleh neurointensifis, neuroanesthesi dan ahli bedah saraf. Pasien dengan cedera kepala cenderung mengalami ketidakstabilan hemodinamik yang disebabkan penurunan volume

intravaskuler dan trauma miokardium yang menyebabkan kegagalan pompa primer, bahkan bila trauma pada batang otak dapat langsung mempengaruhi stabilitas kardiovaskuler. Hipotensi harus segera dicegah karena dapat menyebabkan reduksi aliran darah otak dan bila MAP (mean arterial pressure) rendah mengakibatkan iskhemik otak, sebaliknya bila hipertensi dapat mengeksaserbasi edema vesogenik sehingga terjadi vasokontriksi dengan efek yang berbahaya bagi tekanan intrakranial.1,2 Penanganan nutrisi juga memengang peranan penting dan disarankan dini diberikan pada pasien dengan cedera kepala. Hal ini bertujuan agar dapat

56

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

memenuhi kebutuhan nutrisi ketika stabilitas hemodinamik dicapai. Nutrisi dapat menentukan outcome bagi pasien demi kelangsungan hidup dan kecacatan, lebih lanjut lagi bila nutrisi diberikan awal secara agresif dapat meningkatkan fungsi imun dengan meningkatkan sel CD4, rasio CD4-CD8 dan kepekaan limfosit T. Jalur pemberian nurisi disesuaikan dengan kondisi klinis pasien, formula enteral lebih dipilih karena lebih fisiologis, tidak mahal dan resiko lebih kecil daripada nutrisi parenteral total, namun perlu pengawasan metabolisme yang baik untuk mencegah efek samping seperti hiperglikemia, ketoasidosis, intoleransi gaster, diare yang menimbulkan dehidrasi dan hipovolemia relatif yang mengganggu stabilitas hemodinamik. Pengelolaan Nutrisi Pasien dengan cedera kepala ataupun stroke merupakan salah satu bentuk manifestasi dari trauma, yang akan menyebabkan gangguan keseimbangan metabolisme tubuh secara keseluruhan, berupa hypermetabolisme dan katabolisme dengan hasil akhir adalah kehilangan protein dari sel sel tubuh dan pengurangan dari cadangan nutrient tubuh. Mekanisme ini terjadi oleh aktifasi dari system neuro-humoral berupa pelepasan dari cathecol amine endogen yang terdiri dari adrenalin noradrenalin, cortisol , juga peningkatan dari hormone-hormon glukagon, hormon pertumbuhan yang mempunyai peranan penting gangguan keseimbangan metabolisme tubuh, berupa peningkatan laju proteolysis, lipolysis, serta terjadinya peningkatan kadar gula darah. Keadaan ini akan diperberat lagi dengan adanya multiple trauma5 Pasien cedera kepala mengalami malnutrisi protein akut karena hipermetabolisme yang persisten,yang

mana akan menekan respon imun dan peningkatan terjadinya kegagalan multi organ (MOF) yang berhubungan dengan infeksi nosokomial. Nutrisi merupakan kebutuhan pokok, pembagian klasik pada fase-fase respon inflamasi sistemik pada cedera kepala atau trauma merupakan sarana yang penting untuk menginterprestasikan kejadian metabolik komplek yang terjadi selama trauma. mendiskripsikan ada 2 fase yaitu ebb fase dan flow fase. Eeb fase terdiri atas respon awal terhadap injuri dimana keadaan hemodinamik tidak stabil, ekstremitas dingin dan hipometabolisme sering terjadi. Ebb fase lamanya bervariasi umumnya berlangsung 24 jam pertama dan paling lama selama 3 hari, gejala yang muncul adalah cardiak output yang rendah dan penurunan perfusi jaringan. Pada ebb fase terjadi penurunan penggunaan substrat dan penurunan fungsi dari sel-sel akan terdepresi pada mayoritas jaringan tubuh. Gejala klinis lainnya dari fase akut syok mencakup hipotensi sistemik dan aktivasi dari sistem saraf otonom ( seperti berkeringat, sianosis perifer dan takikardi). Flow fase ditandai oleh peningkatan kardiak output dan peningkatan kebutuhan energi dan ekskresi dari nitrogen, pada phase hipermetabolik ini terjadi pelepasan insulin yang cukup tinggi tetapi efek insulin ini tidak terlihat karena hormonhormon anti insulin seperti glukagon, cathecolamin serta kortisol yang dilepaskan juga dalam kadar yang tinggi,akibat dari ketidakseimbangan hormon ini menghasilkan peningkatan mobilisasi asam amino dan asam lemak bebas dari otot perifer dan jaringan lemak, dimana sebagian besar digunakan sebagai sumber energi sedangkan yang lainnya akan dibentuk langsung menjadi

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

57

Jurnal Anestesiologi Indonesia

glukosa dan melalui proses di hepar menjadi trigliserida6 Sementara itu keadaan hipermetabolik akan melibatkan proses anabolik dan katabolik dan dengan hasil akhir adalah kehilangan protein dan lemak yang sangat bermakna. Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi mempunyai hubungan dengan berat ringannya perubahan yang terjadi pada ebb phase dan flow phase. Berdasarkan hal diatas, maka pemberian nutrisi sebaiknya diberikan pada saat flow phase, dimana umumnya pada ebb phase dilakukan resusitasi. Selama flow phase pada status hipermetobolik maka dukungan nutrisi penting untuk mencegahnya terjadinya terjadinya laju hiperkatabolisme yang cepat dan berat. Pasien-pasien yang dipuasakan lama dan dukungan nutrisi yang tidak adekuat baik ditinjau dari segi kalori dan protein akan menyebabkan perburukan kondisi umum pasien-pasien tersebut. Seperti diketahui, pada pasien-pasien dengan stroke ataupun post operasi otak, fungsi usus halus masih baik, tetapi oleh karena pengaruh dari system neurohumoral tadi, maka sering kali terjadi perlambatan pengosongan isi lambung dan colon. Sehingga tidak jarang dalam keadaan demikian pasien akan dipuasakan cukup lama, yang nantinya akan berpengaruh pada kondisi metabolisme tubuh penderita tersebut. Dukungan nutrisi secara dini pada pasienpasien stroke dan paska bedah otak melalui jalur enteral, dapat mencegah laju katabolisme, mengurangi terjadinya komplikasi dan mengurangi lama

perawatan di Rumah Sakit . Dianjurkan dilakukan pada 48 72 Jam pertama pada pasien-pasien ini segera setelah stroke terjadi ataupun paska bedah.7,8 Perubahan Metabolik selama Ebb dan Flow phase9
Ebb phase Hipometabolik Hipotermi Kebutuhan kalori rendah Produksi glukosa normal Katabolisme protein ringan Hiperglikemi Katekolamin meningkat Glukortikoid meningkat Insulin rendah Glukagon meningkat Perfusi jaringan normal Temperatur ekstremitas rendah Phase reanimation Flow phase Hipermetabolik Hipertemi Kebutuhan kalori tinggi Produksi glukosa meningkat Katabolisme protein tinggi Normal atau hiperglikemia Normal atau meningkat katekolamin Normal atau meningkat glukokorticoid Insulin tinggi Normal atau glukagon meningkat Kebutuhan jantung meningkat Temperatur ekstremitas normal Phase recovery

Fase hipermetabolik yang terdiri dari proses katabolik dan anabolik mengakibatkan kehilangan lemak dan protein, yang dapat menyebabkan perubahan komposisi tubuh secara keseluruhan yang ditandai dengan berkurangan cadangan prorein, karbohidrat yang disertai meningkatnya cairan ekstraseluler (dan berkurangannya cairan intreaselulera) Terapi nutrisi jelas lebih baik diberikan selama fase flow dari pada fase ebb, karena pada fase ebb resusitasi adalah diprioritaskan, sebaliknya selama flow fase hipermetabolik terapi nutrisi penting untuk mencegah efek dari puasa. Penelitian dari metabolisme glukosa dan asam lemak bebas pada individu yang sehat menunjukkan bahwa konsentrasi

58

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

substrat tidak terpengaruh oleh keadaan hipermetabolik. Pada prinsipnya fase hipermetabolik perubahan metabolisme oksidasi lebih digunakan daripada penggunaan substrat lemak. Pada trauma dan sepsis kebutuhan nutrisi berbeda pada keadaan puasa karena terdapat respon hipermetabolik dengan kebutuhan glukosa dan energi untuk menghasilkan kalori yang lebih untuk fungsi organ vital, pemeliharaan dan perbaikan kerusakan jaringan. Untuk keluaran yang lebih baik, rekomendasi khusus mencakup inisiasi asupan nutrisi dalam 24 hingga 48 jam pertama setelah masuk ICU. Nutrisi enteral dibutuhkan untuk fungsi usus yang optimal: pemeliharaan baarier usus dan system imun pada usus dan sekresi immunoglobulin A (IgA). Total parenteral nutrition (TPN) berperan dalam imunosupresi; ini diduga berkaitan dengan lipid intravena, yang mngandung asam lemak rantai panjang omega 6 yang tinggi. Penelitian melaporkan peningkatan risiko infeksi dibandingkan dengan nutrisi enteral pada pasien yang mengalami trauma, luka bakar, pembedahan, atau kemoterapi dan terapi radiasi pada kanker. Tingkat mortalitas yang lebih tinggi (daripada nutrisi enteral) pernah dilaporkan pada pasien yang mendapat TPN yang juga menjalani kemoterapi atau radioterapi atau cedera luka bakar. TPN tidak lebih baik daripada nutrisi enteral pada pasien dengan inflammatory bowel disease atau pancreatitis. Nutrisi enteral total (TEN/Total Enteral Nutrition) lebih dipilih dari pada TPN karena alasan keamanan, murah, fisiologis dan tidak membuat hiperglisemia. Intoleransi TEN dapat terjadi, yaitu muntah, distensi atau cramping abdomen, diare, keluarnya makanan dari selang nasogastrik. Pemberian TPN secara dini tidak diindikasikan kecuali pasien mengalami
Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

malnutisi berat. TPN bisa berguna pada pasien dengan short gut syndrome, beberapa tipe fistula GI atau chylothorax. Nutrisi enteral lebih disukai dalam metode pemberian nutrisi pada pasien dengan kemoterapi atau radioterapi atau setelah menjalani operasi, mengalami luka bakar, trauma, sepsis, gagal ginjal, kegagalan hepar, dan kegagalan respirasi. Nutrisi parenteral diindikasikan pada pasien jika nutrisi enteral tidak mungkin dilakukan (cth, fungsi saluran pencernaan yang tidak adekuat). Nutrisi enteral lebih murah daripada nutrisi parenteral. Nutrisi Enteral Nutrisi enteral merupakan rute yang lebih disukai baik pada pasien anak maupun dewasa. Cara pemberian nutrisi enteral dapat melalui beberapa rute : oral, pipa lambung (cth, nasogastrik atau gastric), atau small bowel feeding tube (cth., nasoduodenal, gastroduodenal, jejunal). Keuntungan nutrisi enteral adalah : Pemberian dini nutrisi enteral pada pasien trauma akan meningkatkan outcome pasien Cost efective Komplikasi dari pemasangan vena sentral berkurang

59

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Algoritme pemberian nutrisi enteral

Perbedaan komposisi Enteral Nutrisi


Nutrisi Karbohidrat Nutrisi Parenteral Dextrose

Parenteral

dan

Komplikasi utama dari pemberian nutrisi enteral adalah sebagai berikut: Aspirasi (pneumonia, pneumonitis kimia, ARDS) Kekacauan metabolic (cth. Gangguan elektrolit, hiperglikemia); ini lebih jarang daripada dengan nutrisi parenteral. Diare Penempatan pipa nutrisi yang meleset (cth., pneumothoraks, empiema, perforasi usus) Kelebihan pemberian nutrisi

Nutrisi Enteral Simple sugars, complx starches dan fiber Amino acids, peptides, intact proteins (whey, casein, soy) Medium chain triglycerides, long-chain fatty acids (omega-3 atau omega 6) Present in formulations Present in formulations

Nitrogen sources

Amino acids

Fats

Vitamin

Trace elements

Long-chain fatty acids (soy-based intralipids are primarily omega 6) Should be added before administration Should be added before administration

Indikasi nutrisi enteral adalah pada semua pasien yang airway dan fungsi usus baik, sedangkan kontraindikasi nutrisi enteral adalah : Gangguan fungsi usus obstruksi, iskhemik usus Peritonitis generalisata seperti

60

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Syok berat Distensi abdomen setelah pemberian enteral Abses intraabdomen, pankreatitis berat Pasien koma dengan resiko aspirasi Nyeri hebat setelah makan Short bowel syndrome Muntah yang intraktabel Diarrhea berat

Pemberian makanan melalui jalur ini dapat dilakukan segera setelah pembedahan otak, setelah motilitas usus mulai bekerja, tanpa menunggu motilitas gaster yang biasanya lambat. Posisi ujung kateter yang paling baik pada Post Pyloric acces adalah dibawah ligametum Treitz, sehingga reflux makanan ke gaster dapat dikurangi, dibandingkan dengan ujung kateter yang terletak dibawah Pylorus. Ada 2 jalur untuk pemberian makanan melalui pipa post- pyloric ini, yaitu : a. Melalui pipa naso-enterik, yang terdiri dari pipa naso-duodenal dan melalui pipa naso-jejunal, biasanya untuk watu yang pendek, kurang dari 4 minggu. Ukuran pipa yang biasanya digunakan berkisar antara 8 12 French dengan panjang berkisar antara 114 152 Cm ( 45 60 inches). Untuk pemasangan biadanya digunakan fasilitas endoscopik ataupun secara radiologik. b. Melalui pipa jejunostomy, biasanya digunakan untuk pemberian nutrisi enteral dalam waktu yang lama. Pemasangan pipa ini dapat dilakukan dengan bantuan endoscopik atau dengan cara pembedahan. Nutrisi Parenteral Nutrisi perenteral sebaiknya diberikan jika nutrisi enteral tidak mungkin diberikan (cth., short gut syndrome, chylothorax). Kegagalan pengosongan lambung bukan merupakan indikasi TPN, namun lebih kepada small bowel feeding tube. Kebanyakan pasien dengan diare dapat dikelola dengan nutrisi enteral. Secara keseluruhan, pengelolaan TPN paling baik dilakukan oleh tim spesialis nutrisi terlatih. Indikasi nutrisi parenteral :

Jalur penggunaan nutrisi enteral. Gastric acces Ada 2 jenis Gastric Acces yang dapat digunakan, yaitu : a. Melalui Naso- Gastric Tube ( NGT )/ pipa naso-gastrik. Biasanya digunakan dalam waktu yang singkat, tidak lebih dari 4 minggu, pemasangan mudah dapat secara blind ataupun dengan bantuan radiology. b. Melalui Gastrostomy. Digunakan pada pemakaian jangka lama, yaitu lebih dari 4 minggu, dapat dipasang dengan bantuan endoscopik, radiologik dan teknik pembedahan. Post-Pyloric Access Cara ini merupakan salah satu pilihan untuk pemberian nutrisi enteral kalau tidak dapat dilakukan pemasangan pipa melalui gaster, atau pada keadaan dimana pemberian nutrisi secara dini harus dilakukan. Indikasi pemberian nutrisi melalui PostPyloric Acces, adalah : a. Adanya risiko terjadinya refluks cairan lambung dan risiko aspirasi. b. Adanya kontraindikasi pemberian makanan melalui gaster, seperti pada gangguan motilitas gaster, atau adanya abnormalitas pada saluran makanan bagian atas.
Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

61

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Traktus gastrointestinal berfungsi Traktus gastrointestinal mungkin dipergunakan Intestinal rest diperlukan

tidak tidak

Termasuk separuh elektrolit yang dianjurkan untuk nutrisi parenteral.

Kontraindikasi nutrisi perenteral : Absorbsi dan dapat menerima makanan dengan adekuat baik peroral, gastric tube maupun enteral tube Hemodinamik tidak stabil Syok dan defisiensi cairan ekstraseluler Gagal nafas, PaO2 <80 % dab PaCO2 > 50% kecuali diberikan ventilator mekanik. Metabolisme KH akan meningkatkan produksi CO2 yang akan memperberat gagal nafas Terminal stage, brain death karena alasan biaya Nutrisi parenteral dapat diberikan lewat jalur vena perifer atau sentral. Nutrisi perenteral yang melalui vena sentral tergantung pada kebutuhan kalori, volume yang diberikan serta kondisi pasien, komponen yang terbaik : Asam amino > 5% Dekstrosa > 20% Lemak Mengandung vitamin, mineral dan trace elements Osmolalitas >700 mOsm/kg H2O. Nutrisi parenteral yang melalui vena perifer juga tergantung pada kondisi klinis, kebutuhan, toleransi terhadap volume. Metode ini menggunakan formula dengan ketentuan : Osmolalitas < 700 mOsm/kg H2O, maksimal 900 mOsm/kg H2O Total kcal dibatasi oleh konsentrasi dan rasio volume pemberian

Terapi nutrisi parenteral memiliki 2 kategori yaitu terapi nutrisi suportif dan nutrisi parenteral total. Komplikasi utama yang berhubungan dengan pemberian TPN sebagai berikut : Kegagalan pemasangan jalur vena sentral (pneumothorax, hemothorax, perforasi arteri karotis) Kekacauan metabolic (hiperglikemia, gangguan elektrolit) Imunosupresi Peningkatan risiko infeksi (catheterrelated sepsis, pneumonia, abses) Disfungsi liver (infiltrasi lemak, kolestasis, kegagalan hepar) Atrofi usus ( diare, translokasi bakteri) Trombosis vena Kelebihan pemberian nutrisi

Penyaringan dan penilaian status gizi pasien stroke dan paska bedah otak Penyaringan status gizi (nutritional screening), adalah suatu proses untuk mengenal sifat khusus yang mempunyai hubungan dengan masalah gizi pasien. Maksud dari penyaringan ini adalah untuk mengidentifikasi pasien dengan status nutrisi yang jelek dan masalah yang berhubungan dengan status gizi pasien tersebut. Sedangkan Penilaian status gizi (nutritional assessment) adalah suatu proses pengumpulan data dan evaluasi klinik, meliputi dietary, komposisi tubuh, data biokimia (laboratorium) dan identifikasi pasien status gizi yang buruk untuk menyusun program terapy nutrisi yang akan diberikan.

62

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Berdasarkan hal ini maka dalam klinik dikenal 3 jenis status nutrisi pasien, yaitu: 1. Kwashiorkor ( Malnutrisi akut ). 2. Marasmus ( Malnutrisi khronis ) 3. Marasmic-kwashirokor. Untuk penilaian status gizi pasien tersebut, maka yang penting adalah : 1. Komposisi tubuh ( dapat diukur menggunakan anthropometrik ). 2. Data2 biokimia, meliputi ( Serum albumin, jumlah limfosit total, serum transferin, serum prealbumin, total iron binding capacity, serum cholesterol ). 3. Klinik ( SGA = Subjective Global Assesment ), meliputi : Perubahan berat badan, perubahan pola makan, gejala2 GIT, functional capacity, apakah berhubungan dengan penyakit lain yang berhubungan dengan status gizi. Langkah selanjutnya adalah penetuan kebutuhan cairan, energi dan protein serta trace element yang akan digunakan pada pasien dengan stroke, ataupun paska operasi otak. Kebutuhan Nutrien Spesifik Nitrogen Beberapa asam amino menjadi esensial pada saat seseorang sakit berat; dikenal dengan asam amino esensial kondisional dan meliputi glutamine, sistein, arginin, dan taurin. Sebagai tambahan, beberapa asam amino tampaknya memiliki peran spesifik. Sebagai contoh, glutamine digunakan sebagai sumber primer oleh enterosit dan sel imun, dan arginin dibutuhkan untuk penyembuhan luka optimum dan fungsi imun. Sistein dan glutamine dibutuhkan untuk sintesis glutation. Perhatikan bahwa glutamine (terutama sistein) tidak ada dalam larutan TPN karena masalah

stabilitas. Branched-chain amino acids (BCAA) dapat memperbaiki status mental pada pasien dengan ensefalopati hepatic, karena mereka terutama dimetabolisme oleh otot perifer di samping hepar. Lemak Asam linoleat merupakan asam lemak esensial; kebutuhan manusia 7% sampai 12% dari total kalori yang disuplai sebagai asam linoleat. Asam linoleat merupakan suatu asam lemak rantai panjang omega 6 polyunsaturated (yang terbukti berperan imunosupresif) dan merupakan precursor membrane asam arakidonat. Soy-based lipid yang digunakan dalam larutan TPN adalah asam lemak omega-6. The omega 3 polyunsaturated fatty acids (PUFA) ditemukan pada minyak ikan dan asam linoleat; mereka mngurangi produksi prostaglandin dienoik (cth., PGE2), TNF, IL-1, dan sitokin pro inflamasi lainnya. The medium chain triglycerides (MCTs) merupakan sumber energy yang baik dan larut air. MCTs memasuki sirkulasi lewat saluran pencernaan. Short-chain fatty acids (SCFA) (cth. Asam butirat dan propionate) merupakan sumber energy utama untuk usus (terutama kolon) dan diturunkan dari serat yang dapat dimetabolisme, seperti pectin dan guar. Karbohidrat Pati dan gula adalah sumber energi yang baik. Serat memiliki beberapa manfaat. Serat metabolit dikonversikan ke SCFA oleh bakteri di kolon. Sumber serat lain menjadi kotoran, yang meningkatkan massa feses, melunakkan feses, member bentuk feses, dan member stimulasi massa pada usus. Asam Nukleat Asam nukleat (cth., RNA) diperlukan untuk fungsi imun dan ditambahkan untuk formulasi penguat sistem imun.

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

63

Jurnal Anestesiologi Indonesia

DAFTAR PUSTAKA
1. Werner C, Engelhard K, Pathophysiology of Traumatic Brain Injury. British Journal of Anaesthesia 2007 : 99(I) :4-9 Helmy A, Vizcaychipi M, Gupta A.K, Traumatic Brain Injury : Intensive care management, British Journal of Anaesthesia 2007 ; 99 ; 32-42 Srinivasa. R, The Intensive Care Unit, at the Mid Yorkshire Hospital NHS : 2008, 91-5 Morgan Edward, Mikhail S. Maget, Murray J. Michael, Anesthesia for Neurosurgery, In Clinical Anesthesiology, 4th ed. The McGraw-Hill 2006 : 631-8 Gupta.A.K, Summors. A, Nutrition in The Neurocritical Care Unit, In : Notes in Neuroanaesthesia and critical care, Green Wich Medical Media London : 2001 : 212-3. Zaloga GP in : Report of the twelfth Ross Round on Medical Issues Columbus OH. Ross Laboratories, 1992:44-51. Ghambari C . Protocol for Nutrition Support of Neuro Intensive Care Unit Patient. A Guide for Residents. The internet Journal of Emergency and Intensive Care Medicine 1999: vol 3N1. Linda L Liu . Nutritional Support. Handbook of Neuroanesthesia 3rd ed. Ed. Philipia, Newfiled & James E Cottrell. Lippincott Williams & Wilkins. 1999 ; 385 97. Escallon J, Metabolic Response to Starvation, Infection and Trauma, In : Total Nutritional Therapy, Version 2,0, Abboth Laboratories, 2003 : 104-14

2.

3. 4.

5.

6.

7.

8.

9.

64

Volume I, Nomor 1, Tahun 2009

You might also like