Professional Documents
Culture Documents
Ruang Sidang Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Jl. Salemba 10, Jakarta Pusat Selasa, 26 April 2011
Center for Religious & Cross-cultural Studies Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada Tahun 2011
SAMBUTAN-SAMBUTAN
Sambutan CRCS dan peluncuran monograf KONTROVERSI GEREJA: KASUS-KASUS DI JAKARTA DAN SEKITARNYA
oleh Zainal Abidin Bagir
Salam sejahtera untuk kita semua. Saya ingin menceritakan sedikit mengenai konteks penelitian dan penerbitan buku ini. Program studi yang menaungi kerja-kerja ini adalah Program Studi Agama dan Lintas Budaya yang fokusnya adalah studi agamaagama, dan sudah berusia 11 tahun. Kami punya beberapa konsen utama. Salah satu perhatian kami adalah hubungan antar agama atau pluralisme agama. Proyek ini berawal pada tahun 2008 dan kolaborasi empat negara, kami dari Indonesia, lalu ada dari India, Uganda dan Belanda. Isu utama yang diusung adalah pluralisme dan tantangan fundamentalisme. Tapi kami lebih melihat kepada isu pluralisme agama karena ingin lebih menekankan sisi positif, dan tidak begitu melihat fundamentalismenya walaupun tentu saja hal itu tidak bisa dipisahkan. Kami mencoba mengaitkan antara dunia akademik dan organisasi masyarakat sipil, jadi riset-riset ini sebagian melibatkan dunia akademik dan organisasi masyarakat sipil.
Hasil pertama dari program ini adalah penerbitan Laporan Tahunan Kehidupan Beragama yang telah dilakukan selama 3 tahun terakhir ini, kemudian mulai 2009 kami bekerjasama dengan 7 tim peneliti di 7 wilayah di Indonesia, salah satunya Tim Peneliti Yayasan Paramadina. Ini yang kami lakukan di Jogja waktu itu yaitu melempar ide, selama ini berbicara pluralisme cuma pada tingkat konsep padahal kita memiliki praktik-praktik pluralisme, bukan sekadar gagasan saja. Jadi tidak lagi menekankan pada wacana keagamaan tapi pada praktik pluralisme itu sendiri. Di Jogja kami luncurkan buku Pluralisme Kewargaan. Pada bab pertama buku yang diluncurkan bulan lalu di Jogja, kita menggeser wacana yang teologis ke persoalan bagaimana negara me-manage keagamaan dan masyarakat memberikan respons atau menanggapi. Jadi pilihan mengapa meneliti hal-hal ini, diajukan sendiri oleh masing-masing tim peneliti. Di Jakarta isu Problematika Pendirian Gereja ini yang diangkat, di Jogja muncul isu Politik Ruang Publik Sekolah yang dilakukan oleh LKIS, di Medan ada yang meneliti soal Parmalin, di Banjarmasin ada yang teliti identitas etnis dan agama, di Makasar langkah lanjut perda syariah, di Papua ada satu penelitian juga. Jadi ada 7 penelitian, dua sudah diluncurkan dan dalam waktu mendatang beberapa monograf serupa akan muncul. Sedangkan buku Pluralisme Kewargaan sendiri ditulis oleh beberapa orang yang mengawal Pluralisme Knowledge Program untuk memberi frame terhadap praktik pluralisme di Indonesis. Kami mengucapkan selamat untuk Ihsan dan teman-teman dari Tim Peneliti Yayasan Paramadina untuk hasil penelitian ini. Yang menyenangkan juga, hasil penelitian ini baru mau terbit, sudah ada rencana untuk melanjutkannya dan memang akan sangat menarik untuk mengulangnya di tempat-tempat lain. Selamat menikmati diskusi ini.
Pengantar Moderator
Mengapa isu gereja yang diangkat di Jakarta? Di Jakarta kasus-kasus yang dominan adalah gereja, tapi pertanyaan pokok bukan sekadar gereja melainkan rumah ibadah. Pak Zainal sudah menyinggung soal penelitian lanjutan dari penelitian ini. Dalam penelitian lanjutan itu, kita akan lihat apakah masjid mengalami masalah yang sama di Manado atau NTT. Penelitian sekarang memang hanya di Jabodetabek dan isu utamanya adalah gereja. Seperti yang sering kita baca dari laporan-laporan Wahid Institut, Setara Institut dan CRCS, banyak sekali inventarisasi masalah yang terjadi di Jakarta terkait rumah ibadah, tetapi yang ingin kami lihat adalah sesuatu yang sedikit lebih mendalam yaitu pada pertanyaan mengapa, jadi bukan saja gereja bermasalah tapi dinamika yang membuat dia bermasalah, ada ataukah tidak jalan keluarnya, kami ingin melihat secara empiris dari emat segi yaitu pertama, gereja yang sama sekali tidak bermasalah, kedua bermasalah dan selesai, yang ketiga dulu tidak bermasalah dan kemudian bermasalah atau dipermasalahkan, atau gereja-gereja yang sejak dulu sampai sekarang masih bermasalah atau dipermasalahkan. Hal ini akan diperluas dengan penelitian rumah-rumah ibadah di tempat lain. Kami ingin melihat kemungkinan adanya persoalan mayoritas dan minoritas terkait hal ini. Untuk hasil penelitian yang sekarang, ada satu lembaga riset di Melbourne yang juga akan menerjemahkan dan menerbitkan di Australia. Hasil penelitian ini akan dipresentasikan oleh Nathanael Gratias Sumaktoyo. Ini adalah pekerjaan tim, tim kami antara lain terdiri atas saya, Ihsan Ali-Fauzi, Samsu Rizal Panggabean, Nathanael G. Sumaktoyo, Anick H. T., Husni Mubarak, Testriono, Siti Nurhayati. Mereka akan bisa bercerita lebih banyak menyangkut gereja-gereja yang mereka pelajari.
10
11
12
13
14
Pertanyaan penelitian ini antara lain: Apa peran FKUB dalam pendirian rumah ibadah? --- Apakah FKUB melaksanakan tugas dengan baik, memediasi masalah, atau bagian dari masalah Faktor apa saja yang menyebabkan kontroversi rumah ibadah berlarut-larut (tidak terselesaikan)? Faktor apa saja yang berperan dalam resolusi konflik pendirian rumah ibadah? --- jika berlarut, apa yang bisa membuat rumah ibadah menyelesaikan masalahnya? Penelitian ini ingin menggali hal positif untuk belajar Aktor mana saja yang berperan dalam memediasi maupun memperburuk kontroversi pendirian rumah ibadah? Apakah ada relasi antara polemik pendirian rumah ibadah dengan kondisi demografis dan tingkat sosial ekonomi masyarakat sekitar? ---- kita juga ingin melihat polemic pendirian rumah ibadah dengan kondisi demografis dan ekonomi masyarakat sekitar Apakah ada relasi antara polemik pendirian rumah ibadah dengan dinamika politik lokal, misalnya terkait pemilihan kepala daerah? --- yang terakhir menarik, karena agama menjadi komoditi yang menarik di Indonesia, kepala daerah menggunakan simbol-simbol agama untuk mendapatkan dukungan saja. Kita ingin melihat problematika politik dalam kasus-kasus ini.
Untuk membatasi lingkup penelitian, kita tetapkan beberapa definisi operasional. Kami cari anggota PGI atau KWI, karena dalam opini publik, dua lembaga ini representasi Kristen dan Katolik di Indonesia. Bagi yang belum berbentuk bangunan kami ingin memastikan bahwa bangunan itu gereja tanpa melihat ibadahnya, memiliki tanah untuk gereja, telah memiliki atau sedang mengajukan IMB, bagi yang sudah berbentuk bangunan, ada tanda berbentuk plang/jadwal ibadah/papan nama/salib. Kategori bermasalah kami didefinisikan sebagai gereja yang menemui hambatan baik dari regulasi negara maupun sosial. Definisi ini cukup longgar dengan tujuan membuka kemungkinan bagi variasi kasus.
15
Realita tidak sesuai desktop riset, setelah turun ke lapangan, kami menemukan dinamika seperti berikut: Tidak Bermasalah 1) St. Aloysius Gonzaga, Cijantung Bermasalah dan Selesai 1) St. Mikael, Kranji 2) GKP Seroja, Bekasi 3) GKI Terang Hidup, Kota 4) Katedral 5) GKJ Nehemia, Lebak Bulus 6) St. Albertus, Harapan Indah Bermasalah dan Belum Selesai 1) HKBP Filadelfia, Tambun 2) St. Yohanes Maria Vianney 3) St. Yohanes Baptista, Parung
Tidak Bermasalah dan Dipermasalahkan 1) GKI Yasmin, Bogor 2) HKBP Cinere, Depok 3) St. Bernadet, Ciledug
Mungkin cara membaca paling tepat bukan hanya satu gereja yang tidak bermasalah di Jakarta, tapi lebih kepada ada kok gereja yang tidak bermasalah. Profil dan Dinamika Gereja yang Tidak Bermasalah: St. Aloysius Gonzaga. Dirintis oleh Pusat Perawatan Rohani Angkatan Darat mulai tahun 1962, berdiri di atas tanah Angkatan Darat. Pada awal pembangunan banyak mendapat bantuan pemerintah termasuk (RPKAD) Kopassus melalui Sarwo Edhie Wibowo, memiliki umat sekitar 8.500 orang dengan ekonomi kelas menengah, RW mengakui hubungan baik dengan gereja; salah satu sebabnya adalah umat gereja yang aktif dalam kegiatan masyarakat. Jadi, bukan semata karena gereja ini dikelilingi tentara, tapi umat memiliki hubungan baik dengan warga sekitar, kalau lebaran dikunjungi, dan saat natalan, umat Muslim mengunjungi yang Kristen. Profil dan Dinamika Gereja yang Bermasalah dan Masalahnya Selesai: St. Albertus Harapan Indah. IMB keluar hanya dalam 4 bulan, namun proses dan pengajuan sebelumnya memakan waktu lebih dari 15 tahun. Ketua pembangunan gereja Laksamana Pertama TNI AL. Permasalahan selesai setelah soliditas internal dicapai, yang kemudian membantu perbaikan hubungan dengan pengembang dan warga sekitar. Jadi, empat bulan setelah terjadi pergantian ketua panitia pembangunan gereja yaitu seorang Laksamana Pertama TNI AL baru tercapai soliditas internal. Panitia sebelumnya tidak solid secara internal sehingga hubungan dengan warga sekitar, maupun dengan pengembang buruk. St. Mikael - Kranji. Proses memakan waktu 13 tahun, 5 tahun struggling membangun gereja, mendapat IMB tahun 2004 tapi baru berdiri 2009. Proses pendekatan dengan warga membaik saat panitia pembangunan diganti (aspek soliditas). Sebelum 2004, panitia gereja tidak solid tetapi yang menarik ketika di lapangan setelah solidaritas terbangun, RT/RW menyeleksi penceramah masjid agar tidak menyebar permusuhan. Ada seorang tokoh yang tidak lagi diperbolehkan mengisi ceramah karena dinilai terlalu banyak menyebar permusuhan. GKI Terang Hidup. Dipermasalahkan saat renovasi, awalnya dalam pertemuan RW seorang ustad merasa pembangunan gereja akan menghalangi ventilasi rumahnya, kalau gereja ditinggikan, rumahnya jadi panas karena ketutupan gereja. Pendeta mengakui mereka kurang peka atau gereja kurang tanggap. Mediasi dibantu oleh RW sebelum kemudian diambil alih Polsek Taman Sari. Dana operasional kepolisian untuk mediasi ditanggung gereja. 16
GKP Seroja di Bekasi. Berada di kompleks pejuang Timor Timur eks pejuang Seroja, didirikan atas amanat Presiden Soeharto. Yayasan Darmais diminta untuk menyediakan tempat beribadah karena banyak orang Kristen dan Katolik. Sekitar tahun 2006 dipersoalkan oleh beberapa warga kompleks karena dinilai membuat macet. Dengan bantuan Yayasan Dharmais (disupervisi Pusrehabcat TNI-AD) kemudian dicarikan lahan dan bangunan baru, masih di dalam area kompleks. Ada dukungan dari Wakil Walikota (saat itu) Mochtar Mohammad. Setelah gereja pindah masalah selesai Katedral. Bermasalah terutama pada masa Belanda, ini menunjukkan kaitan dengan masalah pengaruh rejim. Katedral bermasalah pada jaman Belanda, ini menunjukkan masalah rejim. Kenapa gereja katedral bisa berdiri karena intervensi dari gubernur Belanda yang Katolik. Awalnya di lokasi Atrium Senen sekarang tapi lalu terbakar. Penguasa wilayah yang beragama Kristen tidak mengijinkan pembangunan kembali. Barulah ketika ada intervensi dari Gubernur Jenderal Du Bus yang beragama Katolik, umat dapat mendirikan gereja di lokasi baru. GKJ Nehemia. Mulai dirintis sejak 1972 dan baru berdiri 1985. Permasalahan terutama terjadi akibat birokrasi. Setelah beberapa kali memiliki lahan, gereja diminta pindah karena peruntukan lahan yang tidak sesuai. Mereka dipimpong sana-sini hingga akhirnya mengambil tempat di kebun karet di Lebak Bulus yang masih kosong dan gereja bisa berdiri. Profil dan Dinamika Gereja yang Tidak Bermasalah dan Menjadi Bermasalah atau Dipermasalahkan: HKBP Cinere. IMB keluar tahun 1999 namun pembangunan terhenti karena masalah dana. Ketika melanjutkan pembangunan, dipertanyakan, penentangan mulai muncul dan IMB dicabut Walikota pada Februari 2009. Menang dalam gugatan di Pengadilan Negeri dan PTUN. Proses pembangunan mulai berlangsung kembali karena telah menang di pengadilan sekaligus kasus Ciketing membuat kepolisian lebih perhatian. Polisi sekarang menjaga gereja karena tidak mau kasus Cikeuting terjadi. GKI Taman Yasmin. Sudah mendapat IMB dari Pemkot Bogor tahun 2006. Atas berbagai alasan, IMB dicabut tahun 2008. Gereja telah menang hingga tingkat MA namun Pemkot tidak mengubah keputusannya dan masih menyegel gereja. Ibadah juga dihalang-halangi. St. Bernadet Ciledug. Menggunakan kompleks sekolah Sang Timur. Telah beribadah 12 tahun (1992-2004) atas ijin dari Lurah Karang Tengah. Tahun 2004, dihentikan warga yang keberatan dengan peribadatan. Saat ini mengusahakan gereja baru di lahan berbeda namun terbentur dukungan warga (tandatangan minimal sudah didapat tapi Ketua RT tidak mau mengesahkan). Selain keberatan warga karena peribadatan, akses jalan juga menjadi masalah karena kecil dan menyebabkan macet. Profil dan Dinamika Gereja yang Menemui Masalah dan Belum Selesai: HKBP Filadelfia. Berhasil mengumpulkan tanda tangan melebihi syarat minimal tapi kemudian dituduh pemalsuan tandatangan. Proses tidak dapat berlanjut karena FKUB dan pemerintah daerah menolak perijinan. Aktor utama kelompok penentang adalah 3 ustadz yang mempersoalkan tandantangan dukungan warga dan meminta warga menarik dukungannya. Menang di PTUN tapi Pemkab Bekasi tetap bergeming. St. Yohanes Maria Vianney. Terhambat birokrasi Pemda, kesulitan datang dari ormas. Ada lebih dari 20 ormas di sekitar gereja dan semuanya meminta didekati. Ada kasus bisa dibaca di monograf, ada satu tokoh yang tadinya mendukung, tapi karena tidak dilibatkan dalam pembelian tanah sehingga ia berubah menentang. Selain itu ada juga masalah dengan perijinan. Berhasil mendapatkan ijin FKUB tapi terhambat birokrasi Pemda. Dualisme peraturan PBM 9/8 Tahun 2006 dan Kepgub 137 Tahun 2002 dinilai menjadi salah satu akar masalah. 17
St Yohanes Baptista. Berhasil mengumpulkan tandatangan melebihi jumlah minimal namun terhambat birokrasi pemda dan FKUB. MUI Parung turut terlibat sebagai aktor yang tidak suportif, antara lain dengan melakukan penolakan mengatasnamakan warga.
18
Aktor dalam problematika Ketua RT dan Ketua RW; dalam pendirian gereja mereka punya posisi mengesahkan dukungan warga, sehingga sosok ini penting. Ketua RT/RW juga penting karena memonitor pemuka agama di masjidnya. Di St. Mikael Kranji mereka sampai mem-blacklist tokoh agama yang ekstrim. Pemuka agama di mushalla atau masjid setempat; pemuka agama penting karena mereka referensi keagamaan bagi masyarakat di sekitarnya. FKUB; penting untuk memediasi. Kepala daerah, kepolisian dan organisasi kemasyarakatan; kepala daerah punya posisi penting untuk menerbitkan IMB. Ada 3 kemungkinan yaitu aktif mempersulit seperti kasus walikota Bandung, membantu dan mendukung misalnya pada sosok Mochtar Mohammad, yang ketika ambivalen/pasif, misalnya pemda DKI Jakarta dgn kepgubnya yang tidak membantu tapi juga tidak memudahkan. Kepala daerah, kepolisian dan ormas tidak dapat tidak saling dilibatkan. Untuk membuat ormas tidak berunjuk rasa, kepolisian harus tegas, dan harus ada cara bagi mereka untuk menyalurkan aspirasinya.
Faktor demografi dan sosial ekonomi Penelitian ini tidak menemukan relasi dengan faktor demografi dan sosial ekonomi karena gereja orang kaya pun yang berdiri di sekitar orang yang tidak mampu, tidak bermasalah. Relasi demografis lebih terkait mobilitas penduduk, ketika berpindah ke pinggiran, maka mereka mempunyai kebutuhan adanya gereja sehingga problematika ini muncul, bukan masalah antara pendatang dengan penduduk. Kebutuhan ini kemudian dapat saja terbentur kendala, namun tidak ada satu faktor demografi/ekonomi tertentu yang menjelaskan keseluruhan masalah
Generalisasi Mengingat kompleksitas Jakarta, ada alasan kuat untuk menduga temuan-temuan studi ini berlaku pula pada prinsipnya untuk dinamika rumah ibadah di daerah lain. Hal yang membedakan mungkin lebih kepada aktor penentangnya. Karena di Jakarta Islam mayoritas, maka gereja yang dipermasalahkan. Di daerah di mana Kristen/Katolik mayoritas, cukup beralasan untuk menduga bila masjid yang mengalami hambatan. Akan menarik untuk melihat hal ini dalam studi berikutnya. Maksudnya dimana ada mayoritas-minoritas, ambivalensi dan sebagainya maka akan ada masalah. Kita akan uji di Padang, Manado dan Bali. Temuan prinsipnya adalah gereja yang berhasil menyelesaikan masalah tidak terlepas dari keterlibatan pemerintah. Negara punya peran penting dan pemerintah harus berbuat lebih.
20
Penanggap
Moderator Waktu
: Jeiry Sumampouw (PGI) Sydney Jones (Peneliti ICG) Ahmad Syafii Mufid (FKUB) : Ihsan Ali-Fauzi : Pk. 14.30 15.23
panjang prosesnya tetapi tidak dihambat maka itu bukanlah masalah. Gereja sangat sadar untuk memenuhi aturan, walaupun panjang. Yang masuk kategori bermasalah aturan sudah dilaksanakan tapi ijin tidak keluar atau ijin keluar tapi dipersoalkan dan ijin dicabut seperti kasus GKI Taman Yasmin. Dua atau tiga minggu lalu, Filadelfia sudah menang lagi di pengadilan tapi belum tahu kelanjutannya, HKBP Filadelfia ada di kabupaten Bekasi, sedangkan Cikeuting di Kota. Bogor juga dengan kota Bogor, di kabupaten relatif tidak banyak masalah menonjol. Jadi untuk formalitas yang berbelit dan panjang, gereja tetap berusaha memenuhi dan tidak menganggapnya masalah.
kemungkinan ia akan membuat SK pembekuan yang baru dan berulang terus. Yang dilakukan oleh Walikota dalam kasus GKI Taman Yasmin bisa jadi preseden. Seringkali negara menghindar dengan mengembalikan masalah pada masyarakat padahal masih problematik. Jika ada masyarakat yang ngotot tidak membolehkan, bahkan berlaku keras, kepolisian takut.
dilakukan ormas yang betul menghalangi pembangunan rumah ibadah atau menghambat dan bisa diambil dari riset-riset yang dibuat ini. Sehingga harapannya ada directive dari Kapolri bahwa untuk aksi semacam ini bisa berakibat penangkapan pelaku yang terlibat, dan vonisnya seberat-beratnya yang diijinkan KUHP, dan kalau ada aksi massa tanpa ijin harus ada tindakan terhadap organisasi. Bila ada permintaan dari ormas seperti FPI, menurut saya, tidak melanggar hak berkumpul jika permintaan itu ditolak, apalagi jika di daerah yang sudah diketahui mengalami ketegangan dalam urusan hubungan antar agama. Itu yang harus kita pikirkan. Kalau misalnya ada kasus dimana polisi tidak bertindak seperti semestinya, harus ada proses lapor dan tersampaikan kepada Kapolri agar dikenai tindakan disiplin.
Hampir Tidak Ada Kasus Benturan Sosial Terkait Rumah Ibadah di Jakarta
Di laporan ini disebutkan sejarah pertumbuhan gereja dari masa ke masa. Di Jakarta, mulai turun dari stasiun Gambir ada gereja, memutar sedikit ada katedral, ke Kwitang ada GKI, kemudian ke Kramat Raya dan ke 24
Jatinegara, pada awalnya belum ada masjid tapi gereja. Pada jaman kolonial sampai orde baru tidak ada masalah, yang ada di luar Jakarta. Sampai sekarang, kalau berbicara Jakarta, memang ada beberapa kasus tidak enak tapi tetap perlu disebut seperti kasus di Jakarta timur, tapi dari tahun ke tahun, di Jakarta cenderung hampir tidak ada kasus benturan sosial terkait pendirian rumah ibadah.
25
Tentang otonomi daerah berkaitan agama, jelas bukan agama dalam pengertian pelayanan peribadatan, yang diatur dan dilimpahkan adalah persoalan keaamanan, ketertiban dan kerukunan. Regulasi yang berkaitan dengan hal tersebut bukan mengacu mengatur agama an sich. Terimakasih.
26
Narasumber
Moderator Waktu
: Jeiry Sumampouw (PGI) Sydney Jones (Peneliti ICG) Ahmad Syafii Mufid (FKUB) Nathanael G. Sumaktoyo (Tim Peneliti Yay. Paramadina) : Ihsan Ali-Fauzi : Pk. 15.23 16.15 WIB
Termin 1.
Pertanyaan
Penanya 1. Miriam Nainggolan (Anggota Gereja) 1. Terkait latar belakang, regulasi negara dan regulasi sosial, menurut saya masalah politik untuk kasus Indonesia sangat penting, ada keterkaitan antara calon pemimpin daerah yang punya transaksi politik sehingga ketika terpilih menjadi Kepala Daerah, ia melakukan pembatasan-pembatasan dalam kebebasan beragama. Mohon ditambahkan. 2. Apakah peneliti coba mengidentifikasi masalah keagamaan sebelum dan sesudah reformasi karena menurut saya signifikan. Hal lainnya, pak Ahmad katakan peran FKUB, di wilayah barat, tengah dan timur ada kesamaan di mana mayoritas ingin mempertahankan kelangsungan sebagai mayoritas dan minoritas kuatir mengalami penindasan oleh mayoritas, saya tidak mengerti apakah FKUB menambah atau mengurangi persoalan? Apakah FKUBN masuk regulasi negara atau masuk regulasi sosial? Bila Kepala Daerah lemparkan sampah ke FKUB, itu salahnya negara, kenapa kita menambah keruwetan yang ada? Saya harap hasil penelitian yang baik ini bisa dimanfaatkan untuk advokasi, sayang bila hanya untuk pengetahuan saya. Semoga bisa dilanjutkan dalam penelitian akan datang agar informasi lebih lengkap dan mempermudah advokasi.
27
Penanya 2. Favor Bancin - PGI 1. Dalam hasil analisa disebutkan ada kontradiksi di FKUB, kalau kita lihat kalimat di sini, FKUB jadi masalah juga. Di beberapa daerah, menurut PBM, orang di FKUB berdasarkan komposisi warga, dan ini larinya pada voting dan lama sekali prosesnya. 2. Nathan menceritakan pentingnya pendekatan budaya, saya merasa itu memang perlu disentuh. Pertanyaannya adalah apakah sangat susah bagi minoritas mendapatkan haknya di negara ini? Misalnya suatu saat, selain nugget, dirinya pun harus diberikan? Penanya 3. Alay (Gusdurian) 1. Saya melihat ini sesuatu yang sudah dipiara, di daerah tertentu kalau partai ini menang maka kebijakan lain, FKUB saya tidak tahu peranannya, menurut saya orang beribadah tidak perlu minta ijin, memang Tuhan yang satu harus minta ijin ke Tuhan yang lain? Ukuwah Islamiyah menggebug minoritas? Apakah ini ajaran Muhammad? Penanya 4. Antonius (Lembaga) 1. Untuk indikator gereja bermasalah, kita bisa melihat berapa lama proses pendirian suatu gereja terutama dalam hal perijinan, pembangunan fisik dan dana. Kasus gereja bermasalah dari puluhan tahun lalu padahal kalau kita mengangkat kasus-kasus terakhir, ada juga gereja Katolik di Jakarta yang mulus-mulus saja misalnya gereja Katolik di Pantai Indah Kapuk yang hanya berlangsung 2 tahun tetapi tidak diangkat. Maka ada pertanyaan, apakah tidak ada gereja yang tidak bermasalah dalam 5-10 tahun terakhir? 2. Apakah tidak ada isu analisa dampak lingkungan terhadap kasus-kasus ini? Termasuk ketika ada complain soal lahan parkir? 3. Tentang mayoritas menjaga kelangsungan mayoritas dan sebaliknya, ini ada hal yang subjektif, tapi perlu juga dilihat kondisi objektif. Selama ini kita memberi ruang terlalu luas untuk persoalan subjektif, tapi kondisi ruang objektif kurang diberi ruang. Peran polisi yang tegas akan sangat membantu dan untuk tersedianya ruang objektif, maka polisi harus didorong. Penanya 5. Iqbal (Pers) 1. Apakah ada kasus dimana minoritas bisa mendirikan rumah ibadah tanpa hambatan dari mayoritas di tempat lain? 2. Soal waktu yang diperlukan untuk mendapat IMB sampai 10 tahun, perlu dicari tahu alasannya apa sampai harus 10 tahun, dan bagaimana orang beribadah selama 10 tahun itu, apakah harus beribadah pindah-pindah? 3. Apakah ada persoalan ABRI, atau aktor pemerintahan atau persoalan ada persoalan ketidakmampuan negara.
Tanggapan Narasumber
Nathanael G. Sumaktoyo (Tim Peneliti Yay. Paramadina) Kita tidak menspesifikan politik, tapi dimasukkan ke dalam regulasi negara misalnya dengan melihat peran Walikota Bogor. Dalam banyak hal, banyak yang bisa masuk kategori regulasi negara dan regulasi sosial. Soal pra dan pasca reformasi, memang banyak yang bilang jaman Soeharto lebih mudah, tapi untuk menjawab apakah benar dulu lebih mudah itu juga mekanismenya beda. Jaman pak Harto 28
pendirian lewat Laksusda dan pertimbangannya bukan citizenright tapi lebih ke keamanan sehingga semua rumah ibadah yang diijinkan pasti akan dilindungi. Kalau sekarang, peran masyarakat juga dilihat. FKUB kontradiktif karena punya posisi kritis juga untuk menghambat, tapi akibat birokrasi berbelit, dengan rekomendasi pun tetap tidak bisa berdiri. Kalau FKUB dibubarkan, di mana pemuka agama bertemu. Hanya karena ada kelemahannya, tidak berarti dibubarkan, tidak semua semudah itu kecuali ada alternatif lain. Bisa jadi masalah tergantung orang-orang di dalamnya, bisa juga bagian dari solusi misalnya FKUB Jakarta yang dianggap cukup positif. Indikator gereja masalah, salah satu kesulitan terbesar adalah belum ada riset sebelumnya atau riset lain sehingga kami harus desktop research dari awal, kami nge-poll katanya si ini bermasalah dan sebagainya, setelah itu kita turun ke lapangan untuk mengkonfirmasi. Mengenai lama proses perijinan kita baru bisa tahu saat kita turun. Kita juga harus pertimbangkan disain awal penelitian juga. Rata-rata gereja memang lama perijinannya. Ini bagian dari dinamika lapangan karena tidak selamanya yang ada di informasi awal sesuai dengan kondisi lapangan. Kasus minoritas bisa dirikan rumah ibadah, dalam kenyataan di Jabodetabek itu ada, dan kita bisa berharap hal-hal yang sama di tempat lain. Ini akan kita lihat di penelitian selanjutnya.
29
Kalau bicara perumahan, biasanya ada fasilitas umum dan fasilitas sosial, di Jakarta dan sekitarnya seringkali gereja tidak kebagian, diambil semua oleh masjid. Di Rancaekekk ada 16 blok, tidak ada 1 blok pun yang diberikan untuk gereja, semuanya untuk masjid. Jadi seringkali lahan yang didapat gereja, bila bicara disain kompleks, tidak diperuntukan untuk tempat ibadah sehingga di kemudian hari bermasalah. Problem-problem yang muncul memang tidak direncanakan. Yang menarik tentang GKI Taman Yasmin, ia ada di jalan besar dua arah yang dipisahkan taman, di samping gereja ada lahan kosong dan rumah sakit, di depannya lebih banyak lahan kosong, hanya ada Radar Bogor sedangkan perumahan ada di bagian belakang. Sebenarnya hampir tidak ada penduduk di dekat situ tapi dipersoalkan, sehingga bukan cuma tentang penduduk tapi lebih kepada politik suka atau ketidaksukaan (like and dislike).
30
Termin 2.
Pertanyaan
Penanya 1. Edwin FKUB Tangerang 1. Untuk Aturan 2 Menteri itu penting tapi harus selalu di evaluasi. Di Tangerang, kemajuannya adalah rumah ibadah sudah cukup banyak yang direkomendasi. Ada yang belum diberi ijin karena berbenturan dengan RT RW. Penanya 2. Selwa USU/Desentara 1. HKBP melakukan kekerasan juga dengan Parmalin. Sudah puluhan tahun HKBP menindas Parmalin. Sebenarnya di Indonesia rumah ibadah tidak perlu dibangun. Negara tidak perlu mengurusi agama dan agama-agama impor dibubarkan saja karena hanya menindas. Lembaga yang dibangun pemerintah hanya untuk alat politik dan Departemen Agama juga hanya sarang korupsi, banyak fatwa juga hanya menyesatkan. Agama impor menindas agama lokal sehingga agama impor dibubarkan saja.
31
riset dari semua lembaga menunjukkan masalah intoleransi meningkat dan tidak ada solusi kecuali tindakan tegas dari pusat.
Penutup
Atas nama tim peneliti dan CRCS kami ucapkan terimakasih pada semuanya, semoga kita memperoleh manfaat yang banyak dari pertemuan ini.
32
33
34
35