You are on page 1of 42

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN Nama Umur Alamat Pekerjaan Status Suku Bangsa : : : : : : Tn. R 71 tahun Labuhan Ratu Pensiunan PNS Menikah Jawa

II. RIWAYAT PENYAKIT Anamnesis Keluhan utama : Nyeri pada jari tangan Rasa kaku pada jari tangan disertai pembengkakan pada beberapa jari tangan. Riwayat Perjalanan Penyakit Pasien datang dengan keluhan nyeri pada jari tangan pada kedua tangannya sejak + 3 bulan yang lalu, selain itu pasien juga mengeluhkan rasa kaku pada jari-jari tersebut terutama pada pagi saat bangun tidur, kekakuan berlangsung + 1 jam. Kekauan selanjutnya berangsur berkurang dan pasien pun dapat menggerakkan kembali jari-jarinya. Keluhan ini disertai pembengkakan pada jari manis pasien. Pasien pun berobat ke dokter, dan diberikan obat pengurang rasa sakit, namun keluhan masih sering kambuh. Keluhan pada sendi lain disangkal oleh pasien, riwayat demam yang lama tidak didapatkan, riwayat kelainan pada kulit juga disangkal oleh pasien. Pasien memiliki riwayat darah rendah, riwayat menderita kencing manis disangkal oleh pasien. Keluhan tambahan :

Riwayat Penyakit Dahulu Pasien belum pernah merasakan keluhan seperti ini sebelumnya. Riwayat Penyakit Keluarga Pasien menyangkal adanya anggota keluarga yang merasakan keluhan seperti ini. Riwayat Sosio Ekonomi Dalam kesehariannya pasien merupakan pensiunan PNS, tinggal bersama istrinya yang merupakan pengawas di Sekolah Menengah Pertama. Pasien memiliki tiga anak dan semuanya telah berkeluarga. Pasien dapat digolongkan berasal dari keluarga ekonomi menengah ke atas. III.PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum : Kesadaran : Tampak sakit ringan Compos mentis, GCS E4M6V5 = 15 E4 = M6 = V5 = Vital sign Tekanan darah : Nadi RR Suhu Gizi Kepala Rambut Mata Telinga Hidung : : : : Hitam beruban, tidak mudah dicabut Konjungtiva ananemis, sklera anikterik, pupil bulat di sentral, isokor Bentuk simetris, liang lapang, membran timpani intak Septum tidak deviasi, sekret (-), pernafasan cuping Hidung (-) : : : : 100/60 mmHg 82 x/menit 20 x/menit 36,7o C cukup dapat membuka mata secara spontan mengikuti perintah waktu bicara orientasi baik

Mulut Leher Toraks (Cor) Inspeksi Palpasi Perkusi

: :

Bibir tidak kering, lidah tidak kotor,tidak berdeviasi Pembesaran KGB (-), trakhea di tengah Pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP tidak meningkat

: : :

Iktus kordis tidak terlihat Iktus kordis tidak teraba Batas atas intercostal II garis parasternal kiri Batas kanan garis parasternal kanan Batas kiri intercostal V garis midklavikula kiri

Auskultasi (Pulmo) Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Abdomen Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Extremitas Superior Inferior

Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

: : : : : : : :

Pergerakan pernafasan kanan-kiri simetris Fremitus taktil kanan = kiri Sonor pada seluruh lapangan paru Suara nafas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-) Cembung dan simetris Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-) Timpani, nyeri ketok (-) Bising usus (+) normal.

: :

oedem (-/-),sianosis (-/-),turgor kulit baik oedem (-/-),sianosis(-/-), turgor kulit baik

(Status Lokalis) Pada region proximal interphalangel joint dextra jari phalang keempat didapatkan: Rubor Kalor Dolor Tumor Fungstio lesa : Hiperemis (-) : Teraba Panas (-) : Nyeri (+) : Pengengkakan : Agak sulit untuk ditekuk

IV. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS Saraf cranialis N.Olfactorius (N.I) Daya penciuman hidung : (Normal/Normal) (Kanan/kiri)

N.Opticus (N.II) Tajam penglihatan Lapang penglihatan Tes warna Fundus oculi : Tidak ada kelainan : Normal/Normal : Tidak dilakukan : Tidak dilakukan

N.Occulomotorius, N.Trochlearis, N.Abdusen (N.III N.IV N.VI) Kelopak mata Ptosis Endophtalmus Exopthalmus Ukuran Bentuk Isokor/anisokor Posisi Refleks cahaya lansung : (-/-) : (-/-) : (-/-) : (3 mm / 3 mm) : (Bulat / Bulat) : (Isokor / Isokor) : (Sentral / Sentral) : (+/+) 4

Pupil

Refleks cahaya tidak langsung Medial, lateral Superior, inferior Obliqus, superior Obliqus, inferior : (+/+) : (+/+) : (+/+) : (+/+) : (+/+) : (+/+)

: (+/+)

Gerakan bola mata

Refleks pupil akomodasi Refleks pupil konvergensi N.Trigeminus (N.V) Sensibilitas Ramus oftalmikus Ramus maksilaris Ramus mandibularis

: (Normal / Normal) : (Normal / Normal) : (Normal / Normal)

Motorik M.maseter dan M.tempolaris : (Baik/Baik) M.pterigoideus lateralis Refleks kornea Refleks bersin : (Baik/Baik) : Tidak dilakukan : Tidak dilakukan

Refleks

N.Fascialis (N.VII) Inspeksi wajah sewaktu Diam Tertawa Meringis Bersiul Menutup mata Mengerutkan dahi Mengembungkan pipi : : : : : : : Simetris Simetris Simetris Simetris Simetris Simetris Simetris Simetris 5

Pasien disuruh untuk Menutup mata kuat-kuat :

Sensoris Pengecapan 2/3 depan lidah : tidak dilakukan

N.Acusticus (N.VIII) N.cochlearis Ketajaman pendengaran Tinitus Test vertigo Nistagmus : (baik/baik) : (-/-) : Tidak dilakukan : (-/-)

N.vestibularis

N.Glossopharingeus dan N.Vagus (N.IX dan N.X) Suara bindeng/nasal Posisi uvula Palatum mole Arcus palatoglossus Arcus palatoparingeus Refleks batuk Refleks muntah Peristaltik usus Bradikardi Takikardi : (-) : ditengah, deviasi (-) : Istirahat Bersuara : Istirahat Bersuara : Istirahat Bersuara : : : : : : Simetris Terangkat simetris Terangkat simetris Terangkat

: tidak dilakukan : Tidak dilakukan : Bising usus (+) normal : (-) : (-)

N.Accesorius (N.XI) M.Sternocleidomastodeus M.Trapezius : ( Normal/Normal ) : ( Normal/Normal )

N.Hipoglossus (N.XII) Atropi : (-) 6

Fasikulasi Deviasi

: (-) : tidak ada

Tanda perangsangan selaput otak Kaku kuduk Kernig test Lasseque test Brudzinsky I Brudzinsky II : (-) : (-) : (-) : (-) : (-) Superior kanan/kiri : (aktif/aktif) : (5/5) : (Normal/Normal) : (Normal/Normal) : Biceps (+/+) Triceps (+/+) Refleks patologis : Hoffman trommer (-/-) Inferior kanan/kiri (aktif/aktif) (5/5) (Normal/Normal) (Normal/Normal) Pattela (+/+) Achiles (+/+) Babinsky (-/-) Chaddock (-/-) Oppenheim (-/-) Schaefer (-/-) Gordon (-/-)

Sistem motorik Gerak Kekuatan otot Tonus Klonus Tropi Refleks fisiologis

: (Normotonus/Normotonus) (normotunus/normotonus)

RESUME Pasien datang dengan keluhan nyeri pada jari tangan pada kedua tangannya sejak + 3 bulan yang lalu, selain itu pasien juga mengeluhkan rasa kaku pada jari-jari tersebut terutama pada pagi saat bangun tidur, kekakuan berlangsung + 1 jam. Kekauan selanjutnya berangsur berkurang dan pasien pun dapat menggerakkan kembali jari-jarinya. Keluhan ini disertai pembengkakan pada jari manis pasien. Pasien pun berobat ke dokter, dan diberikan obat pengurang rasa sakit, namun keluhan masih sering kambuh. Keluhan pada sendi lain disangkal oleh pasien, riwayat demam yang lama tidak didapatkan, riwayat kelainan pada kulit juga disangkal oleh pasien. Pasien memiliki riwayat darah rendah, riwayat menderita kencing manis disangkal oleh pasien. Keadaan umum : Kesadaran : Tampak sakit ringan Compos mentis, GCS E4M6V5 = 15 E4 = M6 = V5 = Vital sign Tekanan darah : Nadi RR Suhu Gizi (Status Lokalis) Pada region proximal interphalangel joint dextra jari phalang kedua didapatkan: Rubor Kalor : Hiperemis (-) : Teraba Panas (-) : : : : 100/60 mmHg 82 x/menit 20 x/menit 36,7o C cukup dapat membuka mata secara spontan mengikuti perintah waktu bicara orientasi baik

Dolor Tumor Fungstio lesa

: Nyeri (+) : Pengengkakan : Agak Sulit untuk ditekuk

DIAGNOSIS Artritis Rematoid DIAGNOSIS BANDING Osteoarthritis Polikondritis PENATALAKSANAAN 1. Terapi medikamentosa Meloxicam 3x1 Ranitidin 3x1 Methylprednisolon 3x 1 Mobilisasi aktif Okupasi terapi Fisioterapi : Lilin Parafin cair

2. Rehabilitasi

PEMERIKSAAN ANJURAN Pemeriksaan Darah Lengkap (Hb, Leukosit, LED) Rheumatoid Factor Radiologi PROGNOSA Quo ad vitam Quo ad Fungsionam Quo ad sanationam = Ad bonam = Ad bonam = Ad bonam

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Rheumatoid arthritis adalah inflamasi sistemik kronik yang menyerang beberapa sendi dan termasuk gangguan auto-imun (hipersensitivitas tipe III). Proses inflamasi ini terutama mempengaruhi lapisan sendi (membran sinovial), tetapi dapat juga mempengaruhi organ tubuh lainnya. Rheumatoid arthritis dapat menyebabkan sinovitis, serositis (inflamasi pada permukaan lapisan sendi, perikardium, dan pleura), nodul rheumatoid, dan vaskulitis bila proses ini terus-menerus dapat menyebabkan penghancuran tulang rawan artikular dan ankylosis. Sel-sel radang rheumatoid arthritis dapat juga menyebar ke paru-paru, perikardium, pleura, sklera, lesi nodular, jaringan subkutan di bawah kulit. Meskipun penyebab rheumatoid arthritis tidak diketahui, namun peranan auto-imunitas sangat penting terjadinya proses inflamasi kronik. Peradangan sinovium dapat menyerang dan merusak tulang dan kartilago. Sel radang melepaskan enzim yang dapat mencerna tulang dan kartilago, sehingga dapat terjadi kehilangan bentuk dan kelurusan pada sendi, yang menghasilkan rasa sakit dan pengurangan kemampuan bergerak. Predileksi peradangan sinovium adalah persendian tangan dan kaki, lutut, bahu, leher, panggul. Epidemiologi Artritis reumatoid merupakan penyakit yang jarang pada laki-laki dibawah umur 30 tahun. Insiden penyakit ini memuncak pada umur 60-70 tahun. Pada wanita, prevalensi penyakit ini meningkat dari pertengahan abad ke-20 dan konstan pada level umur 45-65 tahun dengan masa puncak 65-75 tahun. Prevalensi dari artritis reumatoid mendekati 0,8 % dari populasi (kisaran 0,3 2,1%), wanita terkena tiga kali lebih sering dibandingkan dengan laki-laki. Prevalensi penyakit ini meningkat dengan umur, dan jenis kelamin, perbedaannya

10

dikurangi pada kelompok usia tua. Penyakit ini menyerang orang-orang di seluruh dunia dari berbagai suku bangsa. Onset dari penyakit ini sering pada dekade keempat dan ke-lima dari kehidupan. Faktor Risiko 1) Transfusi darah 2) Usia 25-45 tahun 3) Jenis kelamin perempuan : laki-laki = 2 : 1 4) Faktor genetik autoimun 5) Suku berkulit putih, penduduk asli Amerika (Yakima, Chippewa, or Inuit) 6) Berat badan obesitas 7) Kopi dan rokok Etiologi Penyebab artritis reumatoid masih belum diketahui. Dikatakan bahwa artritis reumatoid mungkin merupakan manifestasi dari respon terhadap agen infeksius pada orang-orang yang rentan secara genetik. Karena distibusi artritis reumatoid yang luas, hal ini menimbulkan hipotesis bahwa jika penyebabnya adalah agen infeksius, maka organisme tersebut haruslah tersebar secara luas. Beberapa kemungkinan agen penyebab tersebut diantaranya termasuk mikoplasma, virus Epstein-Barr (EBV), sitomegalovirus, parvovirus, dan virus rubella, tetapi berdasarkan bukti-bukti, penyebab ini ataupun agen infeksius yang lain yang menyebabkan artritis reumatoid tidak muncul pada penderita artritis reumatoid. Walaupun etiologi dari artritis reumatoid belum diketahui, namun nampaknya multifaktorial. Terdapat kerentanan genetik yang jelas, dan penelitian pada orang kembar mengindikasikan indeks sekitar 15-20%. Sebanyak 70% dari pasien artrirtis reumatoid ditemukan human leucocyte antigen-DR4 (HLA-DR4), sedangkan faktor lingkungan seperti merokok dan agen infeksius dikatakan memiliki peranan penting pada etiologi, namun kontribusinya sampai saat ini belum terdefinisikan.

11

Patofisiologi Arthritis rheumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang terjadi pada individu rentan setelah respon imun terhadap antigen pemicu yang tidak diketahui. Agen pemicunya adalah bakteri, mikoplasma, atau virus yang menginfeksi sendi atau mirip sendi secara antigenik. Biasanya respon antibody awal terhadap mikroorganisme diperantarai oleh IgG. Walaupn respon ini berhasil menghancurkan mikroorganisme, individu yang mengalami AR mulai membentuk antibody lain, biasanya oleh IgM atau IgG, terhadap antibody IgG awal. Antibody yang ditujukan ke komponen tubuh sendiri ini disebut faktor rheumatoid (Rheumatoid factor/ RF). RF menetap di kapsul sendi sehingga menyebabkan inflamasi kronis kerusakan jaringan (Corwin, 2009). Antibody RF berkembang dan melawan IgG untuk membentuk kompleks imun. IgG sebagai antibody alami tidak cukup kemudian tubuh membentuk antibody (RF) yang melawan antibody itu sendiri (IgG) dan akibatnya terjadi transformasi IgG menjadi antigen atau protein luar yang harus dimusnahkan. Makrofag dan limfosit menghasilkan sebuah proses pathogenesis dari respon imun untuk antigen yang tidak spesifik. Bentuk kompleks imun antigen-antibodi ini menyebabkan pengaktifan sistem complement dan pembebasan enzim lisosom dari leukosit. Kedua reaksi ini menyebabkan inflamasi. Kompleks imun yang tersimpan didalam membrane synovial atau lapisan superficial kartilago, adalah pagositik yang terdiri atas polimorphonuklear (PMN) leukosit, monosit, dan limfosit. Pagositik menonaktifkan kompleks imun dan menstimulasi produksi enzim additional (radikal oksigen, asam arasidonik) yang menyebabkan hyperemia, edema, bengkak, dan menebalkan membrane synovial (Black & Hawks, ). Hipertropi synovial menyebabkan aliran darah tersumbat dan lebih lanjut manstimulasi nekrosis sel dan respon inflamasi. Sinovium yang menebal menjadi ditutup oleh jaringan granular inflamasi yang disebut panus. Panus dapat menyebar keseluruh sendi sehingga menyebabkan inflamasi dan pembentukan

12

jaringan parut lebih lanjut. Proses ini secara lambat akan merusak tulang dan menimbulkan nyeri hebat deformitas (Corwin, 2009). Pannus menutupi kartilago dan kemudian masuk ke tulang sub chondria. Jaringan granulasi menguat karena radang menimbulkan gangguan pada nutrisi kartilago artikuer. Kartilago menjadi nekrosis. Tingkat erosi dari kartilago menentukan tingkat ketidakmampuan sendi. Bila kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara permukaan sendi, karena jaringan fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis). Kerusakan kartilago dan tulang menyebabkan tendon dan ligamen jadi lemah dan bisa menimbulkan subluksasi atau dislokasi dari persendian. Invasi dari tulang sub chondrial bisa menyebkan osteoporosis setempat.

Gambar 1. Patofisiologi arthritis rheumatoid

13

14

Gambar 2. Mekanisme terjadinya arthritis rheumatoid

Gejala Klinik Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita artritis reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang bervariasi. 1. 2. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya. Poliartritis simetris, terutama pada sendi perifer: termasuk sendi-sendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalang distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang. 3. Kekakuan pagi hari, selama lebih dari satu jam: dapat bersifat generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung selama

15

beberapa menit dan selalu kurang dari satu jam 4. 5. Artritis erosif: merupakan ciri khas dari penyakit ini pada gambaran radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang. Deformitas: kerusakan struktur penunjang sendi meningkat dengan perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dan subluksasi metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terserang dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerak ekstensi. 6. Nodul-nodul rheumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar sepertiga orang dewasa pasien artritis reumatoid. Lokasi yang paling sering dari deformitas ini adalah bursa olecranon (sendi siku) atau sepanjang permukaan ekstensor dari lengan. Walaupun demikan, nodul-nodul ini dapat juga timbul pada tempat lainnya. Adanya nodul-nodul ini biasanya merupakan petunjuk dari suatu penyakit yang aktif dan lebih berat. 7. Manifestasi ekstra-artikular; artritis reumatoid juga dapat menyerang organorgan lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak. Bila ditinjau dari stadium, maka pada RA terdapat tiga stadium yaitu: a. Stadium sinovitis Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai adanya hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat istirahat maupun saat bergerak, bengkak, dan kekakuan. b. Stadium destruksi Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon. Selain tanda dan gejala tersebut diatasterjadi pula perubahan bentuk pada tangan yaitu bentuk jari swan-neck.

16

c.

Stadium deformitas Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan ganggguan fungsi secara menetap. Perubahan pada sendi diawali adanya sinovitis, berlanjut pada pembentukan pannus, ankilosis fibrosa, dan terakhir ankilosis tulang

Kerusakan

fungsi

pada

sendi

yang

mengalami

rheumatoid

arthritis

diklasifikasikan berdasarkan tingkat kerusakan pada sendi berdasarkan klasifikasi Steinbroker yaitu; Stadium I : hasil radiografi menunjukkan tidak adanya kerusakan pada sendi. Stadium II : terjadi osteoporosis dengan atau tanpa kerusakan tulang yang ringan disertai penyempitan pada ruang sendi. Stadium III : terjadi kerusakan pada kartilago dan tulang tertentu dengan penyempitan ruang sendi; sehingga terjadi perubahan bentuk sendi. Stadium IV : imobilisasi menyeluruh pada sendi karena menyatunya tulangtulang dengan sendi. Dibawah ini merupakan tabel revisi kriteria untuk klasifikasi dari artritis reumatoid dari American Rheumatism Association tahun 1987.
Tabel 1: 1987 Revised American Rheumatism Association Criteria for the Classification of Rheumatoid Arthritis

Kriteria 1.

Definisi Keka Kekakuan pagi hari pada sendi atau disekitar sendi, lamanya setidaknya 1 jam Setidaknya tiga area sendi secara bersama-sama dengan peradangan pada jaringan lunak atau cairan sendi. 14 kemungkinan area yang terkena, kanan maupun kiri proksimal interfalangs (PIP), metacarpofalangs (MCP), pergelangan tangan, siku, lutut, pergelangan kaki, dan sendi metatarsofalangs (MTP) Setidaknya satu sendi bengkak pada pergelangan tangan, 17

kuan pagi hari

2.

Artrit is pada tiga atau lebih area sendi

3.

Artrit

is 4.

pada

sendi Artrit

tangan is simetris 5. Nodu l-nodul reumatoid 6. Seru m reumatoid 7.

sendi MCP atau sendi PIP Secara bersama-sama terjadi pada area sendi yang sama pada kedua bagian tubuh Adanya nodul subkutaneus melewati tulang atau

permukaan regio ekstensor atau regio juksta-artikular Menunjukkan adanya jumlah abnormal pada serum faktor positif jika < 5% pada subyek kontrol yang normal Perubahan radiografik tipikal pada artritis reumatoid pada

faktor reumatoid dengan berbagai metode yang mana hasilnya

Perub radiografik ahan radiografik

tangan

dan

pergelangan

tangan

posteroanterior, dimana termasuk erosi atau dekalsifikasi

terlokalisasi yang tegas pada tulang. Untuk klasifikasi, pasien dikatakan menderita atrtritis reumatoid jika pasien memenuhi setidaknya 4 dari 7 kriteria diatas. Kriteria 1 - 4 harus sudah berlangsung sekurang-kurangnya 6 minggu. Pasien dengan dua diagnosis klinis, tidak dikeluarkan pada kriteria ini.

Dasar Diagnosis Anamnesis 1) Riwayat penyakit, diperlukan riwayat penyakit yang deskriptif dan kronologis, tanyakan faktor yang memperberat penyakit dan hasil pengobatan untuk mengurangi keluhan penyakit. 2) Umur, penyakit reumatik dapat menyerang semua umur, tetapi frekuensi penyakit terdapat pada kelompok umur tertentu, misalnya penyakit rheumatoid arthritis lebih banyak ditemukan pada usia lanjut. 3) Jenis kelamin, penyakit rheumatoid arthritis lebih banyak diderita oleh wanita daripada pria, dengan perbandingan 3:1 4) Nyeri sendi, nyeri merupakan keluhan utama pada pasie dengan reumatik. Pasien sebaiknya diminta untuk menjelaskan lokasi nyeri serta penyebarannya. Pada pasien RA, nyeri yang paling berat terjadi dipagi hari, membaik disiang hari, dan sedikit lebih berat dimalam hari. 18

5) Kaku sendi, merupakan rasa reperti diikat, pasien merasa sukar untuk menggerakkan sendinya. Keadaan ini biasanya akibat desakan cairan yang berada disekitar jaringan yang mengalami inflamasi. 6) Bengkak sendi dan deformitas, pasien sering mengalami bengkak sendi, perubahan warna, perubahan bentuk, dan perubahan posisi struktur ekstremitas (dislokasi atau sublukasi). 7) Disabilitas dan handicap, disabilitas terjadi apabila suatu jaringan, organ atau sistem tidak dapat berfungsi secara adekuat. Handicap adalah apabila disabilitas menyebabkan aktivitas sehari-hari terganggu, termasuk aktivitas sosial. 8) Gejala siskemik, penyakit sendi inflamator baik yang disertai maupun tidak disertai keterlibatan multisystem akan menyebabkan peningkatan reaktan fase akut seperti peninggian LED atau CRP. Selain itu akan disertai dengan gejala siskemik seperti panas, penurunan berat badan, kelelahan, lesu dan mudah terangsang. Kadang-kadang pasien mengeluh hal yang tidak spesifik, seperti merasa tidak enak badan. Pada orang tua disertai dengan gangguan mental. 9) Gangguan tidur dan depresi, gangguan tidur dapat disebabkan oleh adanya nyeri kronik, terbentuknya reaksi reaktan, obat antiinflamasi nonsteroid. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pada sistem musculoskeletal meliputi: Inspeksi pada saat diam Inspeksi pada saat gerak Palpasi a. Gaya berjalan yang abnormal pada pasien RA yaitu pasien akan segera mengangkat tungkai yang nyeri atau deformitas, sementara tungkai yang nyeri akan lebih lama diletakkan dilantai, biasanya diikuti oleh gerakan lengan yang asimetris, disebut gaya berjalan antalgik. b. Sikap/fostur badan, pasien akan berusaha mengurangi tekanan artikular pada sendi yang sakit dengan mengatur posisi sendi tersebut senyaman mungkin, biasanya dalam posisi pleksi. 19

c. Deformitas, akan lebih terlihat pada saat bergerak d. Perubahan kulit, kemerahan disertai deskuamasi pada kulit di sekitar sendi menunjukkan adanya inflamasi pada sendi. e. Kenaikan suhu sekitar sendi, menandakan adanya proses inflamasi di daerah sendi tersebut f. Bengkak sendi, bisa disebabkan oleh cairan, jaringan lunak, atau tulang. g. Nyeri raba h. Pergerakan, sinovitis akan menyebabkan berkurangnya luas gerak sendi pada semua arah. i. Krepitus, merupakan bunyi berderak yang dapat diraba sepanjang gerakan struktur yang diserang. j. Atropi dan penurunan kekuatan otot k. Ketidakstabilan l. Gangguan fungsi, gangguan fungsi sendi dinilai dengan observasi pada penggunaan normal, seperti bangkit dari kursi atau kekuatan menggenggam m. Nodul, sering ditemukan pada berbagai atropi, umumnya ditemukan pada permukaan ekstensor (punggung tangan, siku, tumit belakang, sacrum) n. Perubahan kuku, adanya jari tabuh, thimble pitting onycholysis atau serpihan darah o. Pemeriksaan sendi satu persatu, meliputi pemeriksaan rentang pergerakan sendi, adanya bunyi krepitus dan bunyi lainnya. p. Rheumatoid arthritis mempengaruhi berbagai organ dan sistem lainnya, yaitu: 1) Kulit: nodul subkutan (nodul rheumatoid) terjadi pada banyak pasien dengan RA yang nilai RF nya normal, sering lebih dari titik-titik tekanan (misalnya, olekranon. Lesi kulit dapat bermanifestasi sebagai purpura teraba atau ulserasi kulit. 2) Jantung: morbiditas dan mortalitas kardiovaskular yang meningkat pada pasien dengan RA. Faktor risiko non tradisional tampaknya memainkan peran penting. Serangan jantung , disfungsi miokard, dan efusi perikardial tanpa gejala yang umum, dan gejala perikarditis konstriktif jarang. Miokarditis, vaskulitis koroner, penyakit katup, dan cacat konduksi kadangkadang diamati.

20

3) Paru: RA mempengaruhi paru-paru dalam beberapa bentuk, termasuk efusi pleura , fibrosis interstisial, nodul (Caplan sindrom), dan obliterans bronchiolitis-pengorganisasian pneumonia. 4) GI: keterlibatan usus, seperti dengan keterlibatan ginjal, merupakan komplikasi sekunder akibat efek obat-obatan, peradangan, dan penyakit lainnya. Hati sering terkena pada pasien dengan sindrom Felty (yaitu splenomegali, dan neutropenia). 5) Ginjal: Ginjal biasanya tidak terpengaruh oleh RA langsung. Umumnya akibat pengaruh, termasuk karena obat-obat (misalnya, obat antiinflammatory peradangan (misalnya, amyloidosis ), dan penyakit yang terkait (misalnya, sindrom Sjgren dengan kelainan tubulus ginjal). 6) Vascular: lesi vasculitik dapat terjadi di organ mana saja namun yang paling sering ditemukan di kulit. Lesi dapat hadir sebagai purpura gamblang, borok kulit, atau infark digital. 7) Hematologi: Sebagian besar pasien aktif memiliki penyakit anemia kronis, termasuk anemia normokromik-normositik, trombositosis, dan eosinofilia, meskipun yang terakhir ini jarang terjadi. Leukopenia ditemukan pada pasien dengan sindrom Felty. 8) Neurologis: biasanya saraf jeratan, seperti pada saraf median di carpal, lesi vasculitik, multipleks mononeuritis, dan myelopathy leher rahim dapat menyebabkan konsekuensi serius neurologis. 9) Okular: keratoconjunctivitis sicca adalah umum pada orang dengan RA dan sering manifestasi awal dari sindrom Sjgren sekunder. Mata mungkin juga episkleritis , uveitis, dan scleritis nodular yang dapat menyebabkan scleromalacia. Pada artritis reumatoid yang lanjut, tangan pasien dapat menunjukkan deformitas boutonnierre dimana terjadi hiperekstensi dari sendi distal interfalangs (DIP) dan fleksi pada sendi proksimal interfalangs (PIP). Deformitas yang lain merupakan kebalikan dari deformitas boutonniere, yaitu deformitas swan-neck, dimana juga terjadi hiperekstensi dari sendi PIP dan fleksi dari sendi DIP. Jika sendi

21

metakarpofalangs telah seutuhnya rusak, sangat mungkin untuk menggantinya dengan protesa silikon. Pemeriksaan Laboratorium a. Tanda peradangan, seperti LED dan CRP, berhubungan dengan aktivitas penyakit, selain itu, nilai CRP dari waktu ke waktu berkorelasi dengan kemajuan radiografi. b. Parameter hematologi termasuk jumlah CBC dan analisis cairan sinovial. c. Jumlah sel darah lengkap (anemia, trombositopenia, leukositosis, leucopenia). d. Analisis cairan sinovial
1.

Inflamasi cairan sinovial (WBC count > 2000/L) hadir dengan jumlah WBC umumnya dari 5,000-50,000 / uL. Biasanya, dominasi neutrofil (60-80%) yang diamati dalam cairan sinovial (kontras dengan dominasi sel mononuklear di sinovium). Karena cacat transportasi, kadar glukosa cairan pleura, perikardial, dan sinovial pada pasien dengan RA sering rendah dibandingkan dengan kadar glukosa serum.

2.

3.

e. Parameter imunologi meliputi autoantibodies (misalnya RF, anti-RA33, antiPKC, antibodi antinuclear). f. Rheumatoid factor Rheumatoid Faktor, RF ditemukan pada sekitar 60-80% pasien dengan RA selama penyakit mereka, tetapi kurang dari 40% pasien dengan RA dini. g. Antibodi Antinuclear: Ini adalah hadir di sekitar 40% pasien dengan RA, namun hasil tes antibodi terhadap antigen subset paling nuklir negatif. h. Antibodi yang lebih baru (misalnya, anti-RA33, anti-PKC): Penelitian terbaru dari antibodi anti-PKC menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas sama atau lebih baik daripada RF, dengan peningkatan frekuensi hasil positif di awal RA. Kehadiran kedua-anti antibodi PKC dan RF sangat spesifik untuk RA. Selain itu, anti-PKC antibodi, seperti halnya RF, menunjukkan prognosis yang buruk. Foto Polos Pada tahap awal penyakit, biasanya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan radiologis kecuali pembengkakan jaringan lunak. Tetapi, setelah sendi mengalami

22

kerusakan yang lebih berat, dapat terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya rawan sendi. Juga dapat terjadi erosi tulang pada tepi sendi dan penurunan densitas tulang. Perubahan-perubahan ini biasanya irreversibel. Tanda pada foto polos awal dari artritis reumatoid adalah peradangan periartikular jaringan lunak bentuk fusiformis yang disebabkan oleh efusi sendi dan inflamasi hiperplastik sinovial. Nodul reumatoid merupakan massa jaringan lunak yang biasanya tampak diatas permukaan ekstensor pada aspek ulnar pergelangan tangan atau pada olekranon, namun adakalanya terlihat diatas prominensia tubuh, tendon, atau titik tekanan. Karakteristik nodul ini berkembang sekitar 20% pada penderita artritis reumatoid dan tidak terjadi pada penyakit lain, sehingga membantu dalam menegakkan diagnosis.

Gambar 3. Artritis erosif yang mengenai tulang karpal dan sendi metakarpofalangs

23

Gambar 4. A : Perubahan erosif pada ulna dan distal radius. B : Erosi komplit pada pergelangan tangan

Gambar 5. C : Swelling dan erosi pada sendi MTP 5. D : Nodul subkutaneus multipel pada tangan

CT-Scan Computer tomography (CT) memiliki peranan yang minimal dalam mendiagnosis artritis reumatoid. Walaupun demikian, CT scan berguna dalam memperlihatkan patologi dari tulang, erosi pada sendi-sendi kecil di tangan yang sangat baik dievaluasi dengan kombinasi dari foto polos dan MRI. 24

CT scan jarang digunakan karena lebih rendah dari MRI dan memiliki kerugian dalam hal radiasi. CT scan digunakan sebatas untuk mengindikasikan letak destruksi tulang dan stabilitas tertinggi tulang secara tepat, seperti pada pengaturan pre-operatif atau pada tulang belakang. USG Sonografi dengan resolusi tinggi serta pemeriksaan dengan frekuensi tinggi digunakan untuk mengevaluasi sendi-sendi kecil pada artritis reumatoid. Efusi dari sendi adalah hipoekhoik, sedangkan hipertrofi pada sinovium lebih ekhogenik. Nodul-nodul reumatoid terlihat sebagai cairan yang memenuhi area kavitas dengan pinggiran yang tajam. Erosi tulang dapat terlihat sebagai irregularitas pada korteks hiperekhoik. Komplikasi dari arthritis reumatoid, seperti tenosinovitis dan ruptur tendon, juga dapat divisualisasikan dengan menggunakan ultrasonografi. Hal ini sangat berguna pada sendi MCP dan IP. Tulang karpal dan sendi karpometakarpal tidak tervisualisasi dengan baik karena konfigurasinya yang tidak rata dan lokasinya yang dalam.

Gmabar 6. Erosi (tanda panah) pada sendi metakarpofalangs pada penderita artritis reumatoid (A) bidang longitudinal (B) bidang transverse. M, kaput metakarpal dan P, falangs.

25

Gambar 7. (A) Gambaran normal bagian longitudinal dari sendi metakarpofalangs. (B) Sendi metakarpofalangs pada pasien artritis reumatoid. FP, bantalan lemak; M dan MC,kaput metakarpal; P, falangs; S, sinovitis.

Sonografi telah digunakan dalam mendiagnosis artritis reumatoid dengan tujuan meningkatkan standar yang tepat untuk radiografi konvensional. Ultrasonografi, terkhusus dengan menambahkan amplitude color doppler (ACD) Imaging, juga menyediakan informasi klinis yang berguna untuk dugaan artritis reumatoid. ACD imaging telah diaplikasikan untuk artritis reumatoid dengan tujuan mengevaluasi manifestasi dari hiperemia pada peradangan jaringan sendi. Hiperemia sinovial merupakan ciri patofisiologi yang fundamental untuk artritis reumatoid. MRI Magnetic Resonance Imaging (MRI) menyediakan gambaran yang baik dengan penggambaran yang jelas dari perubahan jaringan lunak, kerusakan kartilago, dan erosi tulang-tulang yang dihubungkan dengan artritis reumatoid.

Gambar 8. koronal T1-weighted pada sendi metakarpofalangs 2-4, memperlihatkan erosi radial yang luas pada kaput metakarpal 2 dan 3.

26

Diagnosis awal dan penanganan awal merupakan manajemen utama pada artritis reumatoid. Dengan adanya laporan mengenai sensitivitas MRI dalam mendeteksi erosi dan sinovitis, serta spesifitas yang nyata untuk perubahan edema tulang, hal itu menandakan bahwa MRI merupakan penolong untuk mendiagnosis awal penyakit artritis reumatoid. MRI juga memberikan gambaran yang berbeda pada abnormalitas dari artritis reumatoid, sebagai contoh, erosi tulang, edema tulang, sinovitis, dan tenosinovitis. Diagnosis Banding 1. Gout Arthritis Gout merupakan gangguan metabolik yang ditandai dengan meningkatnya konsentrasi asam urat (hiperurisemia). Gout dapat bersifat primer maupun sekunder. Gout primer merupakan akibat langsung dari pembentukan asam urat tubuh yang berlebihan atau akibat penurunan eksresi asam urat, sedangkan gout sekunder disebabkan oleh pembentukan asam urat yang berkurang akibat proses penyakit lain atau pemakaian obat-obatan tertentu. Pada artritis gout akut, terjadi pembengkakan yang mendadak dan nyeri yang luar biasa, biasanya pada sendi ibu jari kaki, sendi metatarsofalangeal. Artritis bersifat monoartrikular dan menunjukkan tanda-tanda peradangan lokal. Mungkin terdapat demam dan peningkatan sejumlah leukosit. Serangan dapat dipicu oleh pembedahan, trauma, obat-obatan, alkohol, atau stres emosional. Sendi-sendi lain dapat terserang, termasuk sendi jari tangan, lutut, mata kaki, pergelangan tangan, dan siku.

27

Gambar 9. Pembengkakan dan erosi pada sendi PIP-5

2.

Osteoarthritis Osteoartritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak. Penyakit ini bersifat kronik, berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan ditandai oleh adanya deteorisasi dan abrasi rawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru pada permukaan persendian. Gambaran klinis osteoartritis umumnya berupa nyeri sendi, terutama apabila sendi bergerak atau menanggung beban. Nyeri tumpul ini berkurang bila sendi digerakkan atau bila memikul beban tubuh. Dapat pula terjadi kekakuan sendi setelah sendi tersebut tidak digerakkan beberapa lama, tetapi kekakuan ini akan menghilang setelah digerakkan. Kekakuan pada pagi hari, jika terjadi, biasanya hanya bertahan selama beberapa menit, bila dibandingkan dengan kekakuan sendi di pagi hari yang disebabkan oleh artritis reumatoid yang terjadi lebih lama.

28

Tabel 2: Perbandingan artritis reumatoid dengan diagnosa banding berdasarkan temuan radiologi
Gambaran Radiologi Soft tissue swelling Artritis Reumatoid Periartrikular, simetris Subluksasi Mineralisasi Kalsifikasi Celah sendi Erosi Produksi tulang Simetri Lokasi Karakteristik yang membedakan Ya Menurun di periartrikular Tidak Menyempit Tidak Tidak Bilateral, simetri Proksimal ke distal Poliartrikular Tidak biasa Baik Kadang-kadang pada tophi Baik hingga menyempit Punched out dengan garis sklerotik Menjalar ke tepi korteks Asimetri Kaki, pergelangan kaki, tangan dan siku Pembentukan kristal Gout Esentrik, tophi Osteoartritis Intermitten, tidak sejelas yang lain Kadang-kadang Baik Tidak Menyempit Ya, pada intraartikular Ya Bilateral, simetri Distal ke proksimal Seagull appearance pada sendi interfalangeal

Penatalaksanaan Rheumatoid Arhtritis (RA) saat ini belum ada obatnya, kecuali dibebabkan oleh infeksi. Obat yang tersedia hanya mengatasi gejala penyakitnya. Tujuan pengobatan yang dilakukan adalah untuk mengurangi nyeri, mengurangi terjadinya proses inflamasi pada sendi, memelihara, dan memperbaiki fungsi sendi dan mencegah kerusakan tulang (Brunner&Suddarth, 2002). Mengingat keluhan utama penderita Rheumatoid Arhtritis adalah timbulnya rasa nyeri, inflamasi, kekakuan, maka strategi penetalaksanaanya nyeri mencangkup pendekatan farmakologi dan non farmakologi (Williams&Wilkins, 1997). 29

Penatalaksanaan Farmakologi Dokter harus menyadari bahwa RA merupakan penyakit sistemik dengan onset, perjalanan penyakit dan hasil akhir yang sangat bervariasi. Dokter perlu memberi penerangan pada penderita dan keluarga tentang penyakit ini dan mengajaknya berperan serta dalam penatalaksaan utntuk penyakit ini. Tujuan utama penatalaksanaan penyakit ini ialah menghilangkan rasa nyeri, mengurangi dan menekan inflamasi, mengurangi sekecil mungkin efek samping yang tidak diharapkan, memelihara fungsi otot serta sendi dan akhirnya penderita dapat kembali kepada kehidupan yang diinginkan dan tetap produktif. Penatalaksanaan yang dianjurkan ialah mengikuti piramid pengobatan yang dapat dilihat pada gambar dibawah ini. a. Obat antinflamasi non steroid (OAINS) Sudah menjadi perjanjian bahwa pada setiap pasien artritis reumatoid baru, pengobatannya harus dimulai dengan OAINS, kecuali ada kontra indikasi tertentu. OAINS ini merupakan obat tahap pertama (first line) dan dikenal berbagai jenis yang mempunyai efek analgesik dan antiflamasi yang baik. Obat golongan ini tidak dapat menghentikan/mempengaruhi perjalanan penyakit artritis reumatoid. Dikenal 6 golongan OAINS, yaitu : 1. Golongan salisilat. Sailsilat merupakan obat pilihan pertama karena cukup efektif dan harganya cukup murah. Kekurangannya ialah efek samping pada gasrointestinal yang cukup besar. Efek samping ini dicoba dikurangi dengan membuatnya dalam berbagai bentuk seperti bentuk buffer, bentuktablet bersalut (enteric coated) dan bentuk nonasetilik misalnya diflusinal. Efek samping lainnya seperti gangguan pendengaran, gangguan susunan syaraf pusat, inhibisi agregrasi trombosit dan gangguan test faal hati. Untuk hal ini bila sarana memungkinkan perlu memonitor terus kadar salisilat darah, sehingga tetap pada kadar yang aman. 2. Golongan indol

30

Indometasin (beredar di Indonesia), sulindak dan tolmetin (tidak beredar di Indonesia). 3. Golongan turunan asam propionat : ibuprofen, naproksen, ketoprofen, diklofenak (beredar di Indonesia), suprofen dan fenoprofen (tidak beredar di Indonesia) 4. Golongan asam antranilik : natrium meklofenamat (beredar di Indonesia). 5. Golongan oksikam: piroksikam, tenoksikam (beredar di Indonesia) 6. Golongan pirazole: fenil dan oksifenbutazon (beredar di Indonesia). Hanya dapat digunakan untuk jangka pendek, tidak lebih dan 2 minggu, karena mempunyai efek penekanan pada sumsum tulang. b. Slow-acting/disease-modifying antirheumatic drugs Obat golongan ini dapat menekan perjalanan penyakit artritis reumatoid, karena itu disebut sebagai obat remitif atau disease-modifying antirheumatic drugs/DMRD. Karena efek kerjanya lambat maka disebut sebagai slowactingantirheumatic drugs/SAARD. Obat golongan ini baru memberikan efek setelah pemakaian selama minimal 6 bulan dan tidak mempunyai efek langsung menekan rasa nyeri dan inflamasi, oleh karena itu sambil menunggu efek obat ini terbentuk, maka biasanya pada awal pengobatan diberikan bersama-sama dengan OAINS untuk mengurangi penderitaan pasien. Bila efek obat SAARD telah terbentuk maka OAINS dapat dikurangi, bahkan dihentikan bila pasien sudah mencapai stadium remisi. Dengan demikian SAARD disebut pula sebagai obat tahap kedua (second-line drug). Indikasi pemberian SAARD terutama ditujukan pada penderita RA yang progresif, yang ditandai dengan bukti radiologik adanya erosi sendi dan destruksi sendi. Karena obat golongan ini sangat toksik dan mempunyai efek samping yang besar, sehingga memerlukan pengawasan yang ketat, maka sebaiknya pemberian obat ini dilakukan oleh seorang dokter spesialis. Obat yang termasuk golongan ini ialah: a. Obat antimalaria : kiorokuin dan hidroksiklorokuin. b. Garam emas c. Penisilamin

31

d. Sulfasalasin e. Obat imunosupresif.

32

e. Kortikosterioid Penelitian membuktikan bahwa kortikosteroid tidak dapat menghambat progresifitas penyakit artritis reumatoid, sehingga penggunaan kortikosteroid harus dibatasi. Memang pada awalnya penderita merasa tertolong dengan menggunakan kortikosteroid karena gejala nyeri dan inflamasi berkurang, tetapi ternyata perjalanan penyakit berlangsung terus, erosi dan destruksi sendi berjalan terus, sehingga deformitas yang terjadipun tidak dapat dihindan. Dengan kata lain kortikosteroid hanya bersifat simptomatik dan tidak menyembuhkan (not curative). Kortikosteroid perlu segera diberikan pada keadaan penyakit yang berat yang ditandai dengan panas, anemia, berat badan menurun, neuropati, vaskulitis, perikarditis, pleuritis, skleritis dan sindroma Felty. Pada keadaan ini diberikan dosis tinggi, yang segera dilakukan penurunan dosis bertahap (tapering) bila gejala sudahberkurang. Pada penderita RA yang tidak responsif dengan OAINS atau mempunyai kontradikasi mutlak terhadap OAINS, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah (5-7,5 mg/hari) dalam jangka pendek dan diberikan selang-seling (alternate day), sambil menunggu kerja obat SAARD menjadi efektif. Pada keadaan vaskulitis sangat berat maka untuk keselamatan hidup perlu diberikan kortikosteroid megadose. Pemberian suntikan kortikosteroid intraartikuler dapat dipertimbangkan pada pasien RA yang pada 1-2 sendinya masih tetap meradang, pemberian hanya boleh beberapa kali dalam 1 tahun (kira-kira 4x/tahun), dengan jarak waktu 1 suntikan dengan suntikan yang lain tidak boleh terlalu dekat. Mengkombinasikan beberapa tipe pengobatan dengan menghilangkan nyeri. Obat anti infalamasi yang dipilih sebagai pilihan pertama adalah aspirin dan NSAID dan pilihan ke dua adalah kombinasi terapi terutama Kortikosteroid (Bruke&Laramie, 2000). Pada beberapa kasus pengobatan bertujuan untuk memperlambat proses dan mengubah perjalanan penyakit dan obat-obatan yang digunakan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut (Williams&Wilkins, 1997).

33

Pengobatan dengan Aspirin dan Asetaminofen diberikan untuk menghindari terjadinya infalamasi pada sendi dan menggunakan obat NSAIDs untuk menekan prostaglandin yang menyebabkan timbulnya peradangan dan efek samping obat ini adalah iritasi pada lambung (Meiner & Leuckenotte, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Gotzsche & Johansen (1998), penggunaan obat ini dapat menurunkan ambang nyeri mencapai 0.25% sampai dengan 2.24%, tetapi obat ini mempunyai suatu efek lebih besar dibanding anti inflamatori selama penggunaan jangka panjang. Pemberian kortikosteroid digunakan untuk mengobati gejala Rheumatoid Arthritis saja seperti nyeri pada sendi, kaku sendi pada pagi hari, lemas, dan tidak nafsu makan. Cara kerja obat Kortokosteroid dengan Efek samping jangka pendek menekan sistem kekebalan tubuh Kortikosteroid adalah

sehingga reaksi radang pada penderita berkurang (Handono&Isbagyo, 2005). menggunakan pembengkakan, emosi menjadi labil, efek jangka panjang tulang menjadi keropos, tekanan darah menjadi tinggi, kerusakan arteri pada pembuluh darah, infeksi, dan katarak. Penghentian pemberian obat ini harus dilakukan secara bertahap dan tidak boleh secara mendadak (Bruke&Laramie, 2000). Bagi penderita RA erosif, persisten, bedah rekonstruksi merupakan indikasi jika rasa nyeri tidak dapat diredakan dengan tindakan konservatif. Prosedur bedah mencangkup tindakan Sinovektomi (eksisi membran sinovial), Tenorafi (penjahitan tendon), Atrodesis (operasi untuk menyatukan sendi), dan Artroplasti (operasi untuk memperbaiki sendi). Namun operasi tidak dilakukan pada saat penyakit masih berada dalam stadium akut (Brunner&Suddarth, 2002).

Penatalaksanaan Non Farmakologi Tindakan non farmakologi mencangkup intervensi perilaku-kognitif dan penggunaan agen-agen fisik. Tujuannya adalah mengubah persepsi penderita

34

tentang penyakit, mengubah perilaku, dan memberikan rasa pengendalian yang lebih besar (Perry&Potter, 2006). a. Terapi Modalitas Diit makanan merupakan alternatif pengobatan non farmakologi untuk penderita Rheumatoid Arhtritis (Burke&Laramie, 2000). Prinsip umum untuk memperoleh diit seimbang bagi pederita dengan Rheumatoid Arhtritis adalah penting di mana pengaturan diit seimbang pada penderita akan menurunkan kadar asam urat dalam darah. Umumya penderita akan mudah menjadi terlalu gemuk disebabkan oleh aktivitas penderita rendah. Bertambahnya berat badan dapat menambah tekanan pada sendi panggul, lutut, dan sendi-sendi pada kaki (Price&Wilson, 1995). Diit dan terapi yang berfungsi sebagai pengobatan bagi penderita Rheumatoid Arhtritis seperti mengkonsumsi jus seledri dan daun salada, kubis, bawang putih, bawang merah, dan wortel (Nainggolan, 2006). Menurut Syamsul (2007) penderita dapat mengkonsumsi buah musiman yaitu anggur, ceryy, sirsak, aprikort, dan buah tin serta sebaiknya hindari makanan seperti lobak, buncis, kacang tanah, adas, dan tomat. Mengkonsumsi minyak ikan yang mengandung Omega 3 seperti ikan salmon, tuna, sarden, dan makarel akan mengurangi dan menghilangkan kekakuan pada sendi di pagi hari dan pembengkakan. 1 gram minyak ikan yang dikonsumsi dapat menurunkan pembengkakan dan nyeri pada sendi. Begitu pula dengan mengkonsumsi multivitamin setiap hari yang mempunyai sifat anti inflamasi dan anti oksidan sangat bermanfaat bagi penderita Rheumatoid Arhtritis (Eliopoulus, 2005). Adapun makanan yang sebaiknya dihindari oleh penderita Rheumatoid Arhtritis seperti minuman alkohol, bersoda dan kafein, tinggi protein, jeroan (hati,ginjal), makanan laut, seafood, gorengan, emping, dan kuah daging atau daging merah serta merokok. Akan tetapi makanan yang bersumber dari hewani seperti, ikan tawar sangat penting dalam mencegah dan mengobati Rheumatoid Arhtritis (Junaidi, 2002). Dalam mengkonsumsi makanan pada

35

lansia dengan Rheumatoid Arhtritis, jumlah proteinnya harus dibatasi sebesar 20-40 gram/hari (Eliopoulus, 2005). b. Kompres Panas Dan Dingin Serta Massase Penelitian membuktikan bahwa kompres panas sama efektifnya dalam mengurangi nyeri (Brunner&Suddarth. 2002). Pilihan terapi panas dan dingin bervariasi menurut kondisi penderita, misalnya panas lembab menghilangkan kekakuan pada pagi hari, tetapi kompres dingin mengurangi nyeri akut dan sendi yang mengalami peradangan (Perry&Potter, 2006). Namun pada sebagian penderita, kompres hangat dapat meningkatkan rasa nyeri, spasme otot, dan volume cairan sinovial. Jika proses inflamsi bersifat akut, kompres dingin dapat di coba dalam bentuk kantung air dingin atau kantung es (Doenges & Moorhouse, 2000). Massase dengan menggunakan es dan kompres menggunakan kantung es sangat efektif menghilangkan nyeri. Meletakkan es di atas kulit memberikan tekanan yang kuat, diikuti dengan massase melingkar, tetap, dan perlahan. Lokasi pengompresan yang paling efektif berada di dekat lokasi aktual nyeri, serta memakan waktu 5 sampai 10 menit dalam mengkompres dingin (Perry&Potter, 2006). c. Olah Raga Dan Istirahat Penderita Rheumatoid Arhtritis harus menyeimbangkan kehidupannya dengan istirahat dan beraktivitas. Saat lansia merasa nyeri atau pegal maka harus beristirahat (Brunner&Suddarth, 2002). Istirahat tidak boleh berlebihan karena akan mengakibatkan kekakuan pada sendi. Latihan gerak ( Range of Motion) merupakan terapi latihan untuk memelihara atau meningkatkan kekuatan otot (Brunner&Sudarth,2002). Otot yang kuat membantu dan menjaga sendi yang terserang penyakit Rheumatoid Arhtritis (Bruke & Laramie, 2000). Ketidakaktifan penderita dapat menimbulkan dekondisioning oleh karena itu tindakan untuk membangun kertahankan fisik harus dilaksanakan dengan latihan kondisioning seperti berjalan kaki, senam, berenang atau bersepeda, dan berkebun dilakukan secara bertahap dan dengan pemantauan

36

(Brunner&Suddarth, 2002). Dengan berolahraga, penderita Rheumatoid Arhtritis akan menurunkan nyeri sendi, mengurangi kekauan, meningkatkan kelenturan otot, meningkatkan daya tahan tubuh, tidur menjadi nyenyak, dan mengurangi kecemasan. Lansia melakukan olahraga dengan diit secara seimbang berdasarkan penelitian Jong et al (2000), kepada 217 lansia selama 17 minggu menemukan terjadi perbedaan antara lansia yang melakukan olahraga dengan lansia yang tidak berolahraga dapat menurunkan berat badan 0.5 kg sampai dengan 1.2 kg dengan P Value = 0.02 dan dapat terhindar dari kekauan dan nyeri pada sendi (Syamsul, 2007). Adanya nyeri, pembatasan gerak, keletihan, maupun malaise dapat menggangu istirahat oleh karena itu penderita sebaiknya menggunakan kasur atau matras yang keras dengan meninggikannya sesuai kebutuhan, mengambil posisi yang nyaman saat tidur atau duduk di kursi, gunakan bantal untuk menyokong sendi yang sakit dalam mempertahankan posisi netral, ataupun memberikan massase yang lembut (Doenges&Moorhouse, 2000). Mencegah ketidaknyamanan akibat stress aktivitas atau stress akibat menanggung beban berat pada sendi, penggunaan verban tekan, bidai, dan alat bantu mobilitas seperti tongkat, kruk, dan tripod dapat membantu mengurangi rasa nyeri dengan membatasi gerakan (Brunner&Suddarth, 2002). d. Sinar Inframerah Cara yang lebih modern untuk menhilangkan rasa sakit akibat rematik adalah penyinaran menggunakan sinar inframerah. Meskipun umumnya dilakukan di tempat-tempat fisioterapi, penyinaran tidak boleh melampaui 15 menit dengan jarak lampu dan bagian tubuh yang disinari sekitar 1 meter. Harus diperhatikan juga agar kulit di tempat rasa sakit tadi tidak sampai terbakar (Syamsul, 2007).

e. Aspek Psikososial

37

Oleh karena RA merupakan penyakit kronik, sering menyebabkan gangguan psikis dan keputusasaan penderita. Hal ini perlu diantisipasi dokter agar penderita tetap mematuhi pengobatan yang diberikan, baik obat-obatan maupun terapi fisik. Aspek sosial perlu pula diperhatikan, karena penderita harus menyesuaikan pekerjaan dan kehidupan sehari-harinya dengan penyakit yang dideritanya, mungkin sekali penderita perlu mengganti jenis pekerjaannya atau merubah kebiasaan hidupnya. f. Terapi Komplementer 1. Menggunakan obat-obatan dari herbal Brithis Journal of Clinical Pharmacology melaporkan hasil penelitian menyatakan bahwa 82 % lansia dengan Rheumatoid Arhtritis mengalami perbedaan nyeri dan pembengkakan dengan menggunakan obat-obatan dari herbal (Eliopoulus, 2005). Beberapa jenis herbal yang bisa membuat mengurangi dan menghilangkan nyeri pada Rheumatoid Arhtritis misalnya jahe dan kunyit, biji seledri, daun lidah buaya, aroma terapi, rosemary, atau minyak juniper yang bisa menghilangkan bengkak pada sendi (Syamsul, 2007). 2. Accupresure Merupakan latihan untuk mengurangi nyeri pada Rheumatoid Arthritis. Accrupresure memberikan tekanan pada alur energi disepanjang jalur tubuh. Tekanan yang diberikan pada alur energi yang terkongesti untuk memberikan kondisi yang sehat pada penderita ketika titik tekanan di sentuh, maka dirasakan sensasi ringan dengan denyutan di bawah jari-jari. Mula-mula nadi dibeberapa titik akan terasa berbeda, tetapi karena terusmenerus dipegang nadi akan menjadi seimbang, setelah lembut (Syamsul, 2007). 3. Relaxasi Progresive Dapat diberikan dengan pergerakan yang dilakukan pada keseluruhan otot, trauma otot extrim secara berurutan dengan gerakan peregangan dan pelemasan. Realaxasi progresiv dilakukan secara berganitan. Terapi ini titik tersebut seimbang dilanjutkan dengan menggerakan nadi-nadi tersebut dengan

38

memilki tujuan untuk mengurangi ketegangan pada otot khususnya otot-otot extremitas atas, bawah, pernapasan, dan perut serta melancarkan sistem pembuluh darah dan mengurangi kecemasan penderita (Syamsul, 2007). g. Pembedahan Pembedahan dapat bersifat preventif atau reparatif. Pembedahan preventif antara lain dengan melakukan sinovektomi untuk mencegah bertambah rusaknya sendi yang terserang. Pembedahan reparatif terutama untuk mengoreksi deformitas yang terjadi antara lain dengan melakukan artroplasti.

Gambar 10. Artroplastia

Komplikasi Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit ( disease modifying antirhematoid drugs, DMARD ) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada arthritis reumatoid.

39

Komplikasi saraf yang terjadi memberikan gambaran jelas , sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi artikuler dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis. Prognosis Beberapa tampakan klinis pada pasien artritis reumatoid nampaknya memiliki nilai prognostik. Remisi dari aktivitas penyakit cenderung lebih banyak terjadi pada tahun pertama. Jika aktivitas penyakit berlangsung lebih dari satu tahun biasanya prognosis buruk. Wanita kulit putih cenderung memiliki sinovitis yang lebih persisten dan lebih erosif dibanding pria. Harapan hidup rata-rata orang dengan artritis reumatoid memendek 3-7 tahun dari orang normal. Peningkatan angka mortalitas tampaknya terbatas pada pasien dengan penyakit sendi yang lebih berat, sehubungan dengan infeksi dan perdarahan gasrointestinal. Faktor yang dihubungkan dengan kematian dini mencakup disabilitas, durasi dan tingkat keparahan penyakit, penggunaan glukokortikoid, umur onset, serta rendahnya status sosio-ekonomi dan pendidikan.

40

KESIMPULAN 1) Rheumatoid arthritis adalah inflamasi sistemik kronik yang menyerang beberapa sendi dan termasuk gangguan auto-imun (hipersensitivitas tipe III). Proses inflamasi ini terutama mempengaruhi lapisan sendi (membran sinovial), tetapi dapat juga mempengaruhi organ tubuh lainnya. 2) Faktor risiko rheumatoid arthritis yaitu transfusi darah, usia, jenis kelamin (perempuan : laki-laki = 2: 1), faktor genetik, suku, rokok dan kopi. 3) Gejala umum yang terjadi adalah pada sendi terjadi pembengkakan, warna kemerahan, terasa hangat, bila ditekan terasa lunak dan disertai rasa sakit. 4) Dasar diagnosis rheumatoid arthritis antara lain anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, foto polos, USG, CT-Scan, MRI. 5) Diagnosis banding rheumatoid arthritis yaitu gout arthritis dan osteoarthritis 6) Penatalaksaannya yaitu dengan NSAIDs, DMARD, Glukokortikoid, dan operasi.

41

DAFTAR PUSTAKA Lipsky, Peter E. Rheumatoid Arthritis. In: Kasper LK, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, and Jameson JL, editors. Harrisons Principles of Internal Medicine 16th ed. New York: McGraw-Hill; 2005.p.1968-76 Kent PD and Matteson EL, editors. Clinical Feature and Differential Diagnosis. In: St.Clair EW, Pisetsky DS, and haynes BF, editors. Rheumatoid Arthritis 1 st ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.11-23 Snaith, Michael L. ABC of Rheumatology 3rd ed. London: BMJ Books; 2004.p.50-5 Sommer OF, Kladosek A, Weiller V, Czembirek H, Boeck M, and Stiskal S. Rheumatoid Arthritis: A Practical Guide to State-of-the-Art Imaging, Image Interpretation, and Clinical Implications. Austria: RadioGraphics; 2005.p.381-398 Eisenberg RL and Johnson NM, editors. Comprehensive Radiographic Pathology 4th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2003.p.1134-5 Coote A and Haslam P, editors. Crash Course Rheumatology and Orthopaedics 1 st ed. New York : Mosby; 2004.p.51-9 Waugh A and Grand A, editors. Rose and Wilson Anatomy and Physiology in Health and Illness 9th ed. Edinburg: Churchill Livingstone; 2001.p.414-5 Cothran Jr RL and Matinez S, editors. Radiographic Findings. In: St.Clair EW, Pisetsky DS, and haynes BF, editors. Rheumatoid Arthritis 1 st ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.80-9

42

You might also like