Professional Documents
Culture Documents
KECENDRUNGAN SEJARAH
Sepanjang sejarah Indonesia, kemungkinan-kemung kinan tersebut melekat
secara silih berganti. Ketika dakwah Islam mulai menampakan wajahnya hingga
terbentuk kesatuan sosio kultural yang bercorak Islam di Nusantara, ternyata
telah dapat menciptakan realitas baru walaupun tidak mendasar dan menyeluruh.
Saat ini pembangunan di Indonesia telah menuju ke tahap industrialisasi,
sedangkan rasio Sumber Daya Insaninya belumlah memadai sekali, baik
proporsi maupun kualitasnya, sehingga kemungkinan timbulnya letupan-letupan
1 Makalah disampaikan pada acara Konferensi International Dakwah dan Media Masa,
di Tripoli, Libia, 20-23 Maret 1998.
1
Afifi Fauzi Abbas, Dakwah Islam dan Masyarakat Indonesia
2
Afifi Fauzi Abbas, Dakwah Islam dan Masyarakat Indonesia
SIKAP DAKWAH
Dalam konteks sosial, kecendrungan sejarah seperti itu bagaimana sikap dakwah
Islam menghadapinya ?
Jawaban terhadap pertanyaan ini akan menentukan kebijaksanaan dakwah Islam.
Dakwah dapat bersikap positif dalam arti menguatkan kecendrungan itu. Akan
tetapi dakwah juga dapat besikap negatif dalam arti menolak atau bersikap ahistoris
dalam arti berada di atas kejadian-kejadian sejarah.
Kiranya dalam sejarah umat manusia, Islam pernah memainkan peranan yang
amat menentukan ketika ia membangkitkan ilmu-ilmu empiris yang membawa
kemajuan-kemajuan kepada dunia sampai sekarang. Jika orang mengatakan dunia
modern adalah anak dari renaisance Eropa, orangpun harus ingat bahwa renaisance
itu adalah anak dari perkembangan ilmu pengetahuan Islam zaman klasik. Dengan
logika sejarah ini kita memahami dunia modern adalah sebagai kelanjutan dari
sejarah peradaban yang dibangun oleh Islam.
Untuk menghadapi masalah-masalah ke depan diperlukan pemikiran yang jernih
dan menyeluruh. Itu berarti akan menentukan metode dakwah kita, yang bukan saja
ditujukan untuk membentuk pribadi-pribadi muslim yang sanggup bertahan
terhadap benturan-benturan sejarah, tetapi juga harus sanggup menciptakan sebuah
dunia yang sesuai dengan gambaran Islam. Sikap dakwah secara makro ini
selanjutnya harus pula disertai dengan pemikiran dakwah secara mikro dengan
mempertimbangkan masalah yang konkrit, seperti perbedaan lingkungan, kelas
sosial, budaya, kecerdasan, usia dsb.
PERKEMBANGAN KEAGAMAAN
Sementara akidah Islam tidak berubah, bangunan keagamaan dan
pelembagaannya berkembang secara substansial. Misalnya saja timbul ilmu tafsir
dan ilmu-ilmu bantunya sebagai puncak dari usaha manusia untuk memahami
kembali agama, adalah contoh bagaimana bangunan keagamaan itu berkembang.
Perkembangan substansial lainnya adalah pelembagaan agama ke dalam badan-
badan kemasyarakatan, seperti gerakan-gerakan tarekat, lembaga politik dan lembaga-
3
Afifi Fauzi Abbas, Dakwah Islam dan Masyarakat Indonesia
CORAK KEAGAMAAN
Untuk menyoroti gejala-gejala keagamaan di Indonesia, baik yang substansial
maupun yang simbolikal, diperlukan konsep tentang corak keagamaan, yaitu
bagaimana agama itu dihayati, dinampakan keluar dan dilaksanakan dalam
perbuatan. Variasi-variasi muncul karena pengaruh lingkungan, ekologis, sosial
dan kultural. Secara tipologis corak keagamaan dapat digolongkan kedalam
penekanan-penekanan ajaran-ajarannya. Penonjolan satu segi lebih dari segi
lainnya adalah alasan mengapa satu corak itu timbul.
Corak pertama adalah esoteris. Penonjolan segi esoteris, yaitu suasana asyik
maksyuk pada hubungan antara manusia dan Allah, menjadikan tipe ini beroleh
pengikut. Sufisme dan pelembagaannya dalam terekat adalah contoh jelas
bagaimana hubungan vertikal itu menjadi amat penting dalam kehidupan agama.
Beberapa gejala sosial yang timbul adalah adanya hirarki orang-orang saleh,
hubungan yang rapat antara guru dan murid, solidaritas sosial dan keagamaan
yang kuat sesama warga tarekat, mengakibatkan tertutupnya ruang lingkup sosial
dan keagaman kaum sufi, karena perbuatan ke dalam (ke dalam jiwa dan ke dalam
kelompok)l ebih penting daripada perbuatan ke luar kehidupan sosial.
Corak kedua adalah estetis, yaitu yang mementingkan aspek emosi. Kepuasan
perasaan beragama timbul dari akibat nyanyi bersama, mengadakan upacara-upacara
dan hubungan personal sesama umat. Jika sikap khusyuk adalah ciri dari sufisme,
maka sikap haru adalah ciri dari corak estetis. Jika sufisme itu personal sifatnya,
maka corak estetis itu bersifat interpersonal. Lingkup sosial menjadi terbuka dan
dapat dengan mudah nampak dari luar. Hasil dari hubungan dengan sesama warga
didukung oleh keharusan untuk selalu bersama yaitu perasaan komunal.
4
Afifi Fauzi Abbas, Dakwah Islam dan Masyarakat Indonesia
Corak ketiga adalah etis, yaitu yang mementingkan urusan kemasyarakatan sebagai
perwujudan langsung dari cita-cita tertib dan susila agama. Ia terbuka luas ke luar
dan bersifat ekspansif. Mengurus persoalan umat dan manusia tidak saja sebagai unit
keagamaan, tetapi juga sebagai unit sosial. Tipe ini melahirkan pribadi-pribadi
rasional yang mampu membangun organisasi-organisasi sosial, politik, ekonomi
dll. Umat tidak lagi sebagai satuan rasa, tetapi merupakan satuan urusan. Waktu
yang dipergunakan untuk mengolah rasa diperpendek untuk disalurkan guna
kepentingan kemasyarakatan. Bukan komunalisme yang dipentingkan tetapi
tanggung jawab peroranganlah yang menjadi dasar masyarakat.
5
Afifi Fauzi Abbas, Dakwah Islam dan Masyarakat Indonesia