You are on page 1of 4

Anak menunjukkan diagnosis infeksi HIV yang terlambat.

Namun hal itu dapat dimak lumi, karena pada anak, gejala sangatlah bervariasi Penderita HIV/AIDS pada bayi dan anak kian meningkat. Bertambahnya prevalensi in i diduga mudahnya jalur penularan: selama kehamilan, persalinan atau selama meny usui. Odha yang tidak mendapat terapi ARV berisiko 15 45 persen anaknya tertula r. Angka tersebut bisa ditekan dengan penggunaan ARV selama kehamilan, metode pe rsalinan operasi sectio cesarean dan pemberian makanan pengganti ASI pada bayi b aru lahir. Sementara diketahui bahwa risiko penularan HIV lewat ASI mencapai 5 2 0 persen. Jalur penularan yang relatif mudah tidak sebanding dengan pengobatannya. Pada aw al kelahiran, diagnosa HIV sangat sulit ditegakkan lantaran si bayi terpapar den gan antibodi dari ibu hingga berusia 18 bulan. HIV pada anak muncul dengan gejala dan tanda yang sangat bervariasi. Kebanyakan si anak mengalami malnutrisi, dan imunosupresi berat, kata Prof. DR. Ismoedijanto, dr, DTM&H, SpA(K-IPT), pada Per nas HIV/AIDS III di Surabaya, awal Februari lalu (table) Derajat 1 (Asimtomatik) Tanpa gejala Limfadenopati generalisata yang persisten Derajat 2 (Ringan) Persisten hepatosplenomegali tanpa sebab yang jelas Erupsi pruritus papular Infeksi jamur pada kuku Angular cheilitis Eritema pada garis gingiva Infeksi wart virus yang luas molluscum contagiosum ulkus pada rongga mulut yang tidak sembuh pembesaran kelenjar parotis tanpa ada sebab yang jelas Herpes zoster Infeksi saluran nafas atas yang kronis (otitis media, otorrhoea, sinusi tis, tonsillitis) Derajat 3 (Lanjut) Moderate malnutrisi diarrhoea kronis (14 days or more) demam lama (lebih dari 37.5 C intermittent atau menetap, selama lebih da ri 1 bulan) kandidiasis oral persisten (setelah umur 68 minggu) Oral hairy leukoplakia Acute necrotizing ulcerative Gingivitis/ periodontitis Limfadenitis TB TB paru Pneumonia bakterial yang kambuhan Gejala intersisial pneumonitis limfoid Bronchiectasis dan infeksi oportunistik paru lain anemia (<8 g/dl), neutropenia (<0.5 x 109/L3) atau thrombositopenia kro nis (<50 x 109/L3) Derajat 4 (Berat) malnutrisi yang tidak membaik dengan terapi standart Pneumocystis pneumonia Infeksi bakteri (e.g. empyema, pyomyositis, infeksi tulang atau sendi,

meningitis) herpes simplex kronis (orolabial, kulit dan visceral selama lebih dari 1 bulan) kandidiasis esophageal/trakea/bronkus/paru TB ekstra paru Kaposi sarcoma Cytomegalovirus: retinitis atau CMV yang lebih dari 1 bulan toxoplasmosis (setelah umur 1 bulan) cryptococcosis ekstra paru (termasuk meningitis) encephalopati HIV endemic mycosis (extrapulmonary histoplasmosis, coccidioidomycosis) infeksi mycobacterium non TB cryptosporidiosis kronis (dengan diarrhoea) isosporiasis kronis non-Hodgkin lymphoma sel B atau serebral leukoencephalopathy progresif HIV-associated nefropati atau HIV-associated cardiomyopati

Sementara WHO mengklasifikasikan derajat HIV/AIDS berdasarkan hitung sel CD4. CD 4 bisa sebagai deteksi awal karena jumlahnya yang rendah sebelum gejala klinis p rogresif terjadi. CD4 juga salah satu pertimbangan untuk memberikan terapi ART. Pada anak yang usianya lebih muda kadar CD4-nya lebih tinggi dibanding yang tua atau dewasa. Sumber: WHO 2005 Pemeriksaan CD4 sebaiknya dilakukan sebelum umur 5 tahun, mengingat kadarnya tid ak terlalu bervariasi. Pada umur 5 tahun, baik CD4% maupun kadar CD4 absolute da pat dipakai, namun lebih disarankan kadar CD4 absolut. Kadar CD4 yang rendah pad a kasus imunodefisiensi berat pada anak 1 tahun meningkatkan risiko mortalitas. Pada anak < 1 tahun, terutama < 6 bulan, kadar CD4 kurang bisa diprediksi mortal itasnya. bahkan jika CD4 tinggi, risiko kematian tetaplah tinggi. Pada anak dengan imunodefisiensi parah, diagnosa menggunakan TLC (total lymfocyt e count). TLC menjadi pilihan saat pemeriksaan CD4 tidak tersedia pada anak deng an stadium klinis WHO 2. Pemeriksaan ini tidak bisa digunakan untuk anak tanpa g ejala. TLC juga tidak bisa digunakan untuk monitoring ARV. Rumus TLC = % limfosi t x total jumlah sel darah putih Sumber : WHO 2005 RSU Dr Sutomo tahun 2004-2007 telah merawat 15 anak berusia 3 - 8 tahun, dengan 12 kasus karena transmisi perinatal, 7 diantaranya pada stadium 3, dan 6 diantar anya stadium 4. Kedua belas pasien tersebut mengalami malnutrisi, diare, monilia sis dan 10 orang infeksi saluran nafas. Semua anak tersebut lahir spontan dan me ndapat ASI. Sepuluh ibu diantaranya HIV positif, dua lainnya sudah stadium AIDS. 6 orang ayah mereka HIV positif. Transmisi pada ketiga anak lainnya sulit diket ahui, karena ibu mereka meninggal. Lima ayah yang meninggal, dan dua diantaranya diketahui positif. Jika ditelusuri latar belakang sosial pasien-pasien tersebut, para ibu mereka di antaranya berprofesi sebagai penjual jasa seksual, belum menikah, dan korban per kosaan. Sedangkan ayah diketahui adalah pekerja pabrik yang tidak pernah pulang, pelaut, tukang becak, TKI pulang dari luar negeri dan pengguna narkoba. Jika ditinjau manifestasi klinisnya, menurut Ismoe yang sejak tahun 1995 telah m enjadi anggota panitia Medik untuk HIV AIDS RSU DR Soetomo, pada anak sangatlah bervariasi. Beberapa anak terlihat gejala khas infeksi HIV pada tahun pertamanya . Sedangkan pada anak lainnya cenderung asimptomatik selama lebih dari setahun d

an bertahan hingga beberapa tahun. Gejala dan Manifestasi Klinis Manifestasi klinis bervariasi, dipengaruhi juga oleh lokasi geografis. Pasien ya ng tinggal di negara berkembang pada umumnya menunjukkan gejala yang lebih jelas Endemisitas dan pengetahuan masyarakat setempat tentang HIV penting untuk mendu kung diagnosis awal dan manajemen yang dibutuhkan. Penurunan asupan makanan bukan penyebab ketidaknormalan metabolik yang nampak pa da infeksi HIV. Metabolisme protein dan lipid pada pasien ini tidak normal lagi. Respon terhadap nutrisi telah kacau. Kebanyakan anak yang menderita infeksi HIV mengalami malnutrisi yang parah, hanya 3 yang malnutrisi ringan. Intervensi nut risi telah dilakukan, namun peningkatan berat badan tidak tercapai secara adequa t sama sekali. Hampir semua anak, kecuali satu orang dengan HIV stadium I tidak menunjukkan gej ala klinis. Empat anak mengalami sepsis yang dari pemeriksaan kuman menunjukkan infeksi Acinetobacter, Klebsiella pneumonia, Escheriscia coli 1-11, Staphylococ cus coagulase negative serta sensitif dengan antibiotik: cefotaxim, ceftriaxon, meronem, amikin. Limfadenopati ditemukan pada 12 anak. Hepatomegali terdapat pad a 8 anak. Secara epidemiologi, pasien HIV/AIDS di negara berkembang 90 persen mengalami di are kronis. Namun sulit dibuktikan penyebabnya pada hampir separuh kasusnya. Pad a pemeriksaan feses menunjukkan adanya lendir dan netrofil, namun tidak didapatk an darah. Seperti ditemukan pada pasien di RSU Dr Soetomo, dehidrasi terjadi pad a salah satu pasien. Ada sebelas orang mengalami moniliasis oral. Dan dua orang mengalami malabsorbsi lemak. E Coli patogen ditemukan pada 2 pasien. Terapi yang dilakukan adalah rehidrasi, antibiotik, vitamin A dan probiotik. ARV diberikan pada 5 orang dan diare kronisnya membaik. Namun diare masih tetap terjadi pada a nak yang belum diterapi dengan ARV. Penyakit lain, seperti gangguan pernafasan, Pneumocystic Carinii Pneumonia (PCP) masih menjadi tersangka utama penyebab morbiditas di negara industri. Insiden P CP pada anak cukup rendah ditemukan di negara-negara Afrika, kepulauan Karibia d an India. Pneumonia bakterial lebih banyak terjadi di India dan negara tropis la innya. Mungkin mencerminkan infeksi bakteri yang cukup tinggi di negara tropis d an mungkin juga karena terbatasnya sarana diagnosis untuk PCP. Pemberian profila ksis untuk neonatus pada ibu yang positif mencegah kematian pada anak tersebut. Di RSU DR Soetomo, penyakit paru dan saluran nafas yaitu Bronkopneumonia ditemuk an pada 3 anak, PCP pada 6 anak dan Tuberculosis pada 3 anak. Dari pengamatan kulit, kelainan yang didapatkan dari pasien-pasien HIV yang namp ak adalah xerosis cutis, impetigo crustosa, prurigo von hebra, furunculosis, der matosis dan crustae. Manifestasi klinis lain yang muncul adalah exanthem karena virus, meningitis, keterlambatan motorik, anemia, jaundice, recurrent otitis, ch oroiditis kronis, gonitis TB, efusi pericardium, clubbing finger, pigeon chest, microcephali dan myodegeneratif cordis. Sepsis Selain berbagai infeksi dan manifestasi penyakit di atas, dr. Boerhan Hidajat ya ng juga panitia medik HIV AIDS dari RSU DR Soetomo menjelaskan bahwa anak ODHA a kan rawan sekali jatuh pada kondisi sepsis. Dari segi patofisiologi, HIV terjadi karena adanya gangguan pada sistim kekebalan yang diakibatkan oleh adanya gangg uan baik pada fungsi maupun jumlah dari sel imun. Menurut Boerhan, gangguan sist em kekebalan ini sering terjadi bertahap, kecuali pada bayi yang sering terjadi secara cepat. Gangguan sistem kekebalan ini dapat memicu kerentanan terjadinya b erbagai macam infeksi maupun keganasan. Kondisi imunodefisien yang paling menonj

ol adalah berkurangnya sel limfosit CD4 baik dalam jumlah maupun persentasenya. Perhitungan jumlahnya sangat berguna sebagai petanda prognostik serta untuk mera mal risiko progresivitas dari suatu infeksi oportunistik, serta respons terhadap pengobatan yang diberikan. Perhitungan jumlah CD4 harus dikombinasi dengan juml ah kopi virus yang terdapat dalam plasma serta gejala klinik yang ada, sebagai g ambaran kebenaran penanganannya. Penderita HIV yang terkena infeksi mempunyai resiko yang tinggi terhadap beberap a kuman tertentu. Kuman yang sering diketemukan pada penderita AIDS-anak dengan sepsis: Salmonella nontifoid, Streptococus pneumonia, Staphylococus epidermidis, Escherichia coli, Enterococus faecalis dan Campylobacter jejuni. Sedangkan peny akit yang sering terkait dengan kejadian sepsis pada penderita AIDS anak: pneuma nia, infeksi saluran kemih (ISK), gastroenteritis, serta bakteremia akibat pemas angan kateter. Dalam hal ini pengenalan terhadap infeksi serta pengobatannya seca ra dini sangat menentukan keberhasilan pengobatannya, jelas Boerhan. (Iffa/Surabaya) http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=448

You might also like