You are on page 1of 25

BAB I PENDAHULUAN

Lepra merupakan salah satu penyakit yang paling menakutkan di negara-negara endemis, dan diperkirakan penderita lepra yang tersebar di seluruh dunia berjumlah sekitar 10 sampai 12 juta. Sepertiganya terancam kecacatan progresif yang menetap, yang masih dikaitkan dengan pengapkiran sosial di sebagian besar negara. Diagnosis dan pengobatan dini yang efektif bermanfaat menurunkan jumlah penderita yang infeksius, sehingga diharapkan dapat mengontrol penyakit. Pendidikan kesehatan mempunyai tujuan untuk meningkatkan pengenalan dan pengetahuan masyarakat tentang lepra, dengan demikian penderita akan mendapatkan perhatian medis secara dini dan kecacatan dapat dicegah, serta menurunkan stigma sosial terhadap lepra. Selain itu, rehabilitasi terhadap penderita yang cacat diperlukan untuk mengurangi beban sosial ekonomi keluarga.

BAB II LAPORAN KASUS Seorang laki-laki, nama Tn. M usia 43 tahun, pedagang buah-buahan datang ke UGD diantar keluarganya (istri dan 2 anak remaja). Penderita tampak sakit berat, tidak bisa jalan dan mengeluh kesakitan. Muka pucat, bibir pucat, pada perabaan panas. Sakit yang dialami ini sudah selama 5 hari dan penderita sudah minum obat panadol dan jamu tolak angin tetapi tidak menolong. Pada pemeriksaan didapatkan tensi 120 mm/Hg, nadi 72 mm, respiratory rate 16/menit, suhu 38,7 C, sclera kuning, Hb 9 gr%.
Klinis didapatkan di daerah lengan, pinggul, dan tungkai suatu nodul- nodul eritema, nyeri raba, edema. Telapak kaki kanan terdapat ulkus ukuran 2x3x0,5 cm.

BAB III PEMBAHASAN Identitas Pasien Nama Umur Pekerjaan : Tuan M : 43 tahun : Pedangan Buah Jenis Kelamin : Laki-laki

Masalah pada Kasus 1. Tidak dapat berjalan dan mengeluh kesakitan selama 5 hari. 2. Muka pucat, bibir pucat, dan panas pada perabaan. 3. Didapatkan nodul- nodul eritem di daerah lengan, pinggul dan tungkai, nyeri raba dan edema. 4. Didapatkan ulkus dengan ukuran 2x3x0,5 cm di telapak kaki kanan. Hipotesis Penyebab Masalah 1. Lepra Lepra adalah penyakit kronik granulomatosa yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, yang secara prinsipal menyerang kulit dan saraf perifer. Kami menghipotesiskan penyakit lepra sebagai salah satu penyakit yang diderita pasien, karena dilihat dari keluhan utama dan gejala klinis yang tampak. Pasien yang tidak dapat berjalan kemungkinan dikarenakan adanya paralisis otot-otot kaki, dan hal tersebut biasanya ditemukan pada pasien lepra yang mengalami gangguan saraf perifer.4 2. Brucellosis Hipotesis yang kedua adalah brucellosis, yang merupakan penyakit sistemik zoonosis, disebabkan oleh bakteri Brucella melitensis, abortus, atau suis. Gejala dari penyakit ini beragam, salah satu di antaranya adalah demam dan adanya nyeri sendi. Pada kasus, pasien dikatakan mengalami perabaan panas, yang mungkin dikarenakan oleh demam.

Dan keluhan pasien yang tidak dapat berjalan mungkin bisa disebabkan karena atralgia yang dialaminya atau nyeri sendi yang hebat.5 3. Chikungunya Hipotesis ketiga adalah chikungunya, yang merupakan penyakit karena infeksi virus dalam genus Alphavirus. Penyakit ini ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk. Gejala klinis dari penyakit ini juga dapat terjadi demam dan nyeri sendi yang biasanya persisten, biasanya juga disertai ruam.6 Penjelasan :

Nodul- nodul Eritema Terdapat nodul nodul eritema pada lengan, pinggul, tungkai nyeri raba merupakan reaksi lepra, yaitu interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi lepra tersebut adalah E.N.L (Eritema Nodusum Leprosum) yaitu reaksi peradangan yang terjadi pada tempat- tempat basil M. Leprae berada (saraf dan kulit) yang umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Edema Terdapat edema karena lepra yang menyerang organ atau jaringan (misalnya ginjal) karena efek DDS, menjadi hipoproteinemia lalu tekanan osmotik darah terganggu dan menyebabkan cairan dari ekstrasel menuju ke intrasel, lalu terjadilah edema. Ulkus Pada telapak kaki dan tangan terdapat ulkus sebesar 2 x 3 x 0,5 cm yang disebabkan oleh M. Leprae yang bersifat intraselular obligat masuk ke dalam tubuh dan dikenali oleh MHC 2 lalu ke dendritik sel dan terjadi aktivasi naive T cell, dalam hal ini makrofag tidak berperan, aktivasi CD8 yang menyebabkan sel apoptosis lalu nekrosis sel dan pada sel yang terinfeksi tersebut terjadi pelepasan sitokin dan peradangan sel, setelah itu terjadi mekanisme pembekuan darah yang menyebabkan iskemia karena gangguan agregasi trombosit sehingga dilepaskannya protein intrasel yang menyebabkan nasoreseptor terangsang dan penderita merasa nyeri. Namun, pada penderita Lepra biasanya terjadi suatu ulkus neurotrofik jadi pada penderita mengalami

anastesi di kulitnya sehingga trauma yang berkali- kali itu tidak dapat dirasakan dan menimbulkan luka sampai ulkus. Anamnesis Tambahan 1. Apakah ada demam? Sudah berapa lama demamnya? 2. Apakah ada rasa baal? 3. Apakah ada nyeri sendi? Jika ada bagaimana sifat nyerinya? 4. Apakah nyeri diperberat oleh pekerjaan? Apakah nyeri berkurang saat istirahat? 5. Apakah pasien tidak bisa berjalan karena nyeri sendi? Atau karena lemahnya otot? Pemeriksaan Lanjut
Hasil pemeriks aan Tensi : 120 mmHg Nadi : 72 x/mnt RR : 16 x/mnt Suhu : 38,7oC Sclera kuning Hb : 9 mg % Nilai normal interpretasi

120/80 mmHg 60 100 x/mnt 16 24 x/mnt 36,5 37,2 Putih 13,5 18 mg %

Normal Normal Normal karena ada infeksi Efek samping DDS Anemia karena efek obat DDS

Penjelasan Demam

:
Demam biasa terjadi pada infeksi sebagai reaksi fase akut. Dalam Pada keadaan ini,

makrofag menghasilkan beberapa sitokin seperti IL-1, IL-6 dan TNF meningkat dalam sirkulasi dan mencapai beberapa organ.

Hipotalamus memilikki reseptor untuk sitokin ini. Saat reseptor ini teraktivasi, system saraf otonom berespon dengan meningkatkan suhu tubuh melalui prostaglandin. kenaikan suhu akan menghambat replikasi virus dan pathogen-patogen lain. Selain merangsang area pre optic dan organ vaskulosa lamina terminalis, pirogen ini juga dapat merangsang melalui serabut aferen dari abdomen. Hal ini didasarkan pada penyuntikan lipopolisakarida secara intra vena, tetapi pirogen-pirogen tersebut baru muncul dalam darah setelah 30 menit. Terdapat kemungkinan bahwa sel kupfer pada hepar merangsang serabut yang dekat dengan dengan saraf aferen vagus, yang kemudian menjalankan sinyal pirogen melalui nucleus solitaries ke kelompok sel noradrenalin A1 dan A2. Selanjutnya, sinyal ini berproyeksi dari dari traktus noradrenalin ventral ke neuron yang mengatur demam di area pre optic dan OVLT. Noradrenalin yang dilepaskan di daerah tersebut menimbulkan pembentukan PGE2 dan mengakibatkan demam.

Sclera Kuning Salah satu efek samping dari DDS adalah anemia hemolitik. Heme yang banyak dipecah (hemolisis) mengakibatkan hepar tidak dapat mengkonjugasi seluruh Bilirubin 1 dan B1 ini mengalami regurgitasi ke vaskular yang dapat menyebabkan warna sclera menjadi kuning. Kemungkinan lain adalah efek samping dari pengobatan dengan Klofazimin yang merupakan zat warna dan dideposit terutama pada sel sistem retikuloendotelial, mukosa, dan kulit sehingga menyebabkan sclera berwarna kuning yang mirip ikterus. Anemia Anemia dalam hal ini anemia hemolitik merupakan salah satu efek samping dari pemberian DDS pada penderita lepra, hal ini lah yang menyebabkan terjadinya penurunan Hb sampai kadar 9gr% pada Tn. M. Diagnosis Penatalaksanaan Pada kasus Lepra Multi Basiler, pengobatan utamanya adalah dengan pemberian DDS 12 mg/kg BB setiap hari dengan kombinasi obat lain seperti rifampisin (10mg/kg BB), klofazimin (50mg/hari), protionamid (5-10mg/kg BB) namun obat ini jarang atau tidak dipakai, ofloksasin

(400mg/hari), minosiklin (100mg/hari), klaritromisin (500mg/hari). Kombinasi obat ini diberikan 2-3 tahun dengan syarat bakterioskopos harus sudah negatif. Namun, pada Tuan M setelah dilakukan pengobatan selama 4 bulan, kadar Hb turun menjadi 9gr% yang kemungkinan disebabkan oleh efek samping dari DDS yaitu anemia hemolitik. Oleh karena itu, kelompok kami menyarankan pasien diberikan kombinasi obat alternatif yaitu klofazimin 50mg, ofloksasin 400mg, minosiklin 100mg setiap hari selama 6 bulan. Hal ini sesuai dengan rejimen WHO Expert Committee pada tahun 1998. Sedangkan untuk pengobatan ENL ( Eritema Nodusum Leprosum), obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid antara lain prednison dosis sekitar 15-30 mg sehari. Namun, mengingat efek samping dari pemakaian kortikosteroid jangka panjang, klofazimin dengan dosis tinggi (200-300mg sehari) dapat dijadikan alternatif. Prognosis Ad Vitam Ad Functionam Ad Sanantionam : ad Bonam : Dubia ad Malam : Dubia ad Malam

TINJAUAN PUSTAKA Definisi Lepra (penyakit Hansen) adalah infeksi menahun yang terutama ditandai oleh adanya kerusakan saraf perifer (saraf diluar otak dan medulla spinalis), kulit, selaput lendir hidung, buah zakar (testis) dan mata. Etiologi Mycobacterium leprae, basil tahan asam dan alkohol, 1-8 x 0.2-0.5 mikron, bersifat interselular obligat Epidemiologi Hipotesis 1: Penularan melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Hipotesis 2: inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunas antara 40 hari-40 tahun (rata-rata 3-5 tahun). Kuman ditemukan di kulit, folikel rambut, sputum, kelenjar keringat, dan ASI, urin (jarang). Menyerang semua umur (tersering 25 -35 tahun, dibawah itu jarang), anak lebih rentan. Jenis kelamin sama pada pria dan wanita Faktor Risiko 1. Ras: insiden pada ras kulit hitam lebih tinggi dalam bentuk tuberkuloid; insidens pada ras kulit putih lebih tinggi dalam bentuk lepromatosa 2. Sosioekonomi: lebih banyak pada negara berkembang dan golongan kelas rendah 3. Kebersihan: kurang

4. Genetik: berperan dalam penularan. Penyakit ini tidak diturunkan pada bayi yang dikandung ibu lepra Patogenesis Patogenitas dan daya invasi rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu, kusta dapat disebut penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selulernya daripada intensitas infeksinya.

Gejala Penyakit Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan: bila basil M. leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis tergantung pada sistem imunitas selular (SIS) penderita. SIS baik pada gambaran klinis tuberkuloid, dan sebaliknya kearah lepromatosa. Untuk Masalah Pengobatan. Kusta PB adalah dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan kulit. Kusta MB adalah dengan BTA positif. Sehingga harus diobati dengan rejimen MBT-MB. Lesi diawali bercak putih bersisik halus pada bagian tubuh, tidak gatal, kemudian membesar dan meluas. Jika saraf sudah terkena, pasien mengeluh kesemutan/baal pada bagian tertentu, atau kesukaran menggerakkan anggota badan, berlanjut kekakuan sendi. Rambut dan alis dapat rontok. Pada penyakit kusta, kelainan saraf merupakan kelainan yang sering muncul. Mengenai saraf perifer, yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan nyeri atau tidak. Bagi tipe ke

arah lepromatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedangkan bagi tipe tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf. Gejala-gejala kerusakan saraf: 1. N. ulnaris a. Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis b. Clawing kelingking dan jari manis c. Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial 2. N. medianus a. Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah b. Tidak mampu adduksi ibu jari c. Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah d. Ibu jari kontraktur e. Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral 3. N. radialis a. Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk b. Tangan gantung (wrist drop) c. Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan 4. N. poplitea lateralis a. Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis b. Kaki gantung (foot drop) c. Kelemahan otot peroneus 5. N. tibialis posterior

a. Anestesia telapak kaki b. Claw toes c. Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis 6. N. fasialis a. Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus b. Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir 7. N. trigeminus a. Anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata Kerusakan mata pada kusta juga dapat berupa kerusakan primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat paralisis N. orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan. Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis. Selain itu, menurut klasifikasi Ridley-Jopling 1962 :

I: intermedinate; tidak termasuk dalam spectrum TT: Tuberkuloid polar (bentuk stabil); tuberkuloid 100% jadi tidak akan berpindah tipe.

Ti: Tuberkuloid indefinite; tipe campuran tubeculoid dan lepromatosa (Tuberkuloid lebih banyak)

BT: Borderline Tuberkuloid; tipe campuran, tapi Tuberkuloid lebih banyak

BB: Mid Borderline; tipe campuran (50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa) BL: Borderline Lepromatosa; tipe campuran, tapi lepromatosa lebih banyak Li: Lepromatosa indefinite; tipe campuran tuberkuloid dan lepromatosa (lepromatosa lebih banyak)

LL: Lepromatosa polar (bentuk stabil); lepromatosa 100% jadi tidak akan berpindah tipe.

Selain tipe TT dan LL, tipe lain masih bisa pindah ke bentuk tipe lain. Zona Spektrum Kusta Menurut Macam Klasifikasi. Klasifikasi Ridley dan Jopling Madrid WHO Puskesmas Zona Spektrum Kusta TT BT BB BL LL Tuberkuloid Borderline Lepromatosa Pausi Basiler (PB) Multi Basiler (MB) PB MB WHO PB mengandung sedikit basil (I, TT, BT) MB mengandung banyak basil (LL, BL, BB).

Ridley-Jopling 1960 Tipe I Tipe TT Tipe BT Tipe BL Tipe LL Banyak dipakai untuk penelitian dan pengobatan PB (I, TT, BT) dengan Indeks bakteri (IB) <2+. MB (LL, BL, BB) dengan IB >2+.

Klasifikasi menurut Ridley-Jopling berikut ini didasarkan atas gambaran klinis, bakteriologis, imunologis dan histologist : 1) Lepra tipe Indeterminate (I) Lepra tipe Indeterminate ditemukan pada anak yang kontak dan kemudian menunjukkan 1 atau 2 makula hipopigmentasi yang berbeda-beda ukurannya dari 20 sampai 50 mm dan dapat dijumpai di seluruh tubuh. Makula memperlihatkan hipoestesia dan gangguan berkeringat. Hasil tes lepromin mungkin positif atau negatif. Sebagian besar penderita sembuh spontan, namun jika tidak diobati, sekitar 25% berkembang menjadi salah satu tipe determinate. 2) Lepra tipe Determinate a) Lepra tipe Tuberkuloid (TT) Manifestasi klinis lepra tipe TT berupa 1 sampai 4 kelainan kulit. Kelainan kulit tersebut dapat berupa bercak-bercak hipopigmentasi yang berbatas tegas, lebar, kering, serta hipoestesi atau anestesi dan tidak berambut. Kadang kala ditemukan penebalan saraf kulit sensorik di dekat lesi, atau penebalan pada saraf predileksi seperti n. auricularis magnus. Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam negatif, sedangkan tes lepromin memperlihatkan hasil positif kuat. Hal ini menunjukkan adanya imunitas seluler terhadap Mycobacterium leprae yang baik. b) Lepra tipe Borderline-Tuberkuloid (BT) Kelainan kulit pada lepra tipe ini mirip dengan lepra tipe TT, namun biasanya lebih kecil dan banyak serta eritematosa dan batasnya kurang jelas. Dapat dijumpai lesi-lesi satelit. Dapat mengenai satu saraf tepi atau Iebih, sehingga menyebabkan kecacatan yang luas. Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif pada penderita lepra BT (very few sampai 1+). Tes lepromin positif. c) Lepra tipe Borderline-Borderline (BB) Kelainan kulit berjumlah banyak tidak simetris dan polimorf. Kelainan kulit ini dapat berupa makula, papula dan bercak dengan bagian tengah hipopigmentasi dan hipoestesi serta

berbentuk anuler dan mempunyai lekukan yang curam (punched out). Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif, dengan indeks bakteriologis 2+ dan 3+. Tes lepromin biasanya negatif. Lepra tipe BB sangat tidal( stabil. d) Lepra tipe Borderline-Lepromatosa (BL) Kelainan kulit dapat berjumlah sedang atau banyak, berupa makulaatau bercak-bercak eritematosa dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi dengan ukuran yang berbeda-beda dan tepi yang tidak jelas, dan juga papula, nodul serta plakaL Kelainan saraf ringan. Hasil pemeriksaan apusan kulit untuk basil tahan asam positif kuat, dengan indeks bakteriologis 4+ sampai 5+. Tes lepromin negatif. e) Lepra tipe Lepromatosa (IL) Kelainan kulit berupa makula hipopigmentasi atau eritematosa yang berjumlah banyalc, kecil-kecil, dan simetris dengan sensasi yang normal, permukaannya halus serta batasnya tidak jelas, dan papula. Saraf tepi biasanya tidak menebal, karena baru terserang pada stadium lanjut. Dapat terjadi neuropati perifer. Mukosa hidung menebal pada stadium awal, menyebabkan sumbatan hidung dan keluarnya duh tubuh hidung yang bercampur darah. Lama-kelamaan sel-sel lepra mengadakan infiltrasi, menyebabkan penebalan kulit yang progresif, sehingga menimbulkan wajah singa, plakat, dan nodul. Nodul juga dapat terjadi pada mukosa palatum, septum nasi dan sklera. Alis dan bulu mata menjadi tipis, serta bibir, jarijari Langan dan kaki membengkak. Dapat terjadi iritis dan keratitis. Kartilago dan tulang hidung perlahan-lahan mengalami kerusakan, menyebabkan hidung pelana. Jika laring terinfiltrasi oleh sel lepra, maka akan timbul suara serak. Akhirnya testis mengalami atrofi, dan kadang kala mengakibatkan ginekomastia. Hasil pemeriksaan asupan kulit untuk basil tahan asam positif, dengan indeks bakteriologis 5+ sampai 6+. Tes lepromin selalu negatif. Diagnosis 1. Berdasarkan gambaran klinis (terpenting dan sederhana), bakterioskopis, dan histopatologis. 2. Tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe (3 minggu) sehingga bisa ditentukan pengobatan yang tepat.

3. Pemeriksaan secara klinis, harus dilihat semua kelainan pada seluruh tubuh dengan inspeksi, palpasi, dan penggunaan alat (jarum, kapas, tabung reaksi-air panas, air dingin, pensil tinta, dll). 4. Pemeriksaan secara histopatologis, bergantung dimana biopsi dilakukan. Pemeriksaan Kulit Lokalisasi: Seluruh tubuh Efloresensi/sifat: 1. Tipe I. makula hipopigmentasi berbatas tegas; anestesi dan anhidrasi; pemeriksaan bakteriologi (-); tes lepromin (+). 2. Tipe TT. Makula eritematosa bulat atau lonjong, permukaan kering, batas tegas, anestesi, bagian tengah sembuh; pemeriksaan bakteriologi (-); tes lepromin (+) kuat 3. Tipe BT. Makula eritematosa tak teratur, batas tak tegas, kering, anestesi, mula-mula ada tanda kontraktur; pemeriksaan bakteriologi (+/-); tes lepromin (+/-) 4. Tipe BL. Makula infiltrat merah mengkilat, tak teratur, batas tak tegas; pembengkakan saraf; pemeriksaan bakteriologi ditemukan banyak basil; tes lepromin (-) 5. Tipe LL. Infiltrat difus berupa nodul simetri, permukaan mengkilat; saraf terasa sakit, anestesi; pemeriksaan bakteriologi positif kuat; tes lepromin (-). Selain pemeriksaan kulit harus diperiksa/ dipalpasi saraf tepi (n. ulnaris, radialis, aurikularis magnus dan poplitea); mata (lagoftalmus); tulang (kontraktur atau absorbsi); dan rambut (alis mata, kumis, dan pada lesi sendiri). Apakah terdapat pembesaran, konsistensi, dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superficial yang dapat dan perlu diperiksa Pada kelainan saraf lebih terlokalisasi cenderung ke tipe tuberkuloid, sedang pada kelainan saraf bilateral dan menyeluruh cenderung ke tipe lepromatosa. Pemeriksaan Pembantu

1. Pemeriksaan anestesi dengan jarum (rasa nyeri), kapas (rasa raba) atau air panas (suhu) 2. Tes keringat dengan pensil tinta; pada kulit normal ada bekas tinta (tes Gunawan), sedang pada lesi akan hilang 3. Pemeriksaan histopatologi: perlu untuk klasifikasi penyakit 4. Pemeriksaan bakteriologi untuk menentukan indeks bakteriologi (IB) dan indeks morfologi (IM). Pemeriksaan ini penting untuk menentukan pengobatan dan adanya resistensi pengobatan Deformitas pada kusta, dibagi: 1. Deformitas primer akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan sekitar (kulit, mukosa traktus respiratorius, tulang jari, wajah) 2. Deformitas sekunder akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tapi karena kerusakan saraf. Kerusakan mata pada kusta dapat primer maupun sekunder. Primer dapat menyebabkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan rusaknya N. fasialis yang dapat membuat paralisis N. orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, lalu mengakibatkan lagoftalmus, lalu kerusakan bagian mata yang lain, dan berakhir kebutaan. Infiltrasi granuloma kedalam adneksa kulit, terdiri kelenjar keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis. Pemeriksaan Histopatologik Akan ditemukan makrofag pada pemeriksaan, hal ini disebabkan salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau ada kuman (M. leprae) masuk, maka akan bergantung kepala Sistem Imunitas Seluler (SIS) orang itu. Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses

imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada di dalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline, terdapat campuran unsur-unsur tersebut. Pemeriksaan Serologik Pemeriksaan serologic kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis. Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Di samping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit, misalnya pada narakontak serumah. Macam-macam pemeriksaan serologic kusta ialah: 1. Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination) 2. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay) 3. ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick) Diagnosis Banding

Dilihat dari adanya makula hipopigmentasi, daerah anestesi, pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan BTA, ada pembengkakan/pengerasan saraf tepi atau cabang-cabangnya 1. Tipe I (makula hipopigmentasi): tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea, dermatitis seboroika atau dengan liken simpleks kronik 2. Tipe TT (makula eritematosa dengan pinggir meninggi): tinea korporis, psoriasis, lupus eritematosa tipe discoid, atau pitiriosis rosea 3. Tipe BT, BB, BL (infiltrate merah tak berbatas tegas): selulitis, erisipelas, atau psoriasis. 4. Tipe LL (bentuk nodul): LES, dermatomiosis, atau erupsi obat. Penatalaksanaan Prognosis baik jika diagnosis penyakit ditegakkan secara dini dan diberikan pengobatan yang tepat. Penderita memerlukan rasa simpati dan reasuransi (karena stigma lepra masih ada) dan pendidikan untuk memastikan kecukupan dan kerja sama dalam pengobatan medis. Hospitalisasi dalam jangka waktu pendek selama 1 sampai 2 minggu dapat bermanfaat untuk penderita lepromatosa yang tertekan jiwanya dan yang mempunyai anak kecil yang tinggal bersamanya. Pengasingan penderita tidak perlu, karena masa penularan berlangsung hanya beberapa hari setelah pengobatan dengan rifampisin dimulai dan biasanya kurang dari 3 bulan setelah dapson atau klofazimin diberikan. 1) Pengobatan lepra tipe pausibasiler Ini meliputi lepra tipe Indeterminate, TT dan BT. Penderita diobati dengan dapson 100 mg sehari dan rifampisin 600 mg (atau 450 mg jika berat badan kurang dari 35 kg) sekali sebulan selama 6 bulan. Pedoman pengobatan ini dianjurkan untuk penderita lepra pausibasiler, lepra pausibasiler yang kambuh setelah diobati dengan dapson dan penderita yang mendapatkan monoterapi dapson namun tidak lengkap 2 tahun. 2) Pengobatan lepra multibasiler

Ini meliputi lepra tipe BB, BL dan LL. Penderita ini diberikan pengobatan tripel (Tabel 1) sekurang-kurangnya selama 2 tahun atau sampai hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam negatif. Penderita lepra tipe LL dapat memerlukan pengobatan lebih dari 5 tahun untuk memperoleh basil pemeriksaan usapan kulit negative. Ada dua tujuan utama kemoterapi untuk lepra multibasiler, yaitu : Mencegah penularan infeksi di masyarakat Mengobati penderita.

Tabe1 1. Pengobatan Tripel Dapson 100 mg/hari + Rifampisin 600 mg sekali sebulan (Di samping itu di Singapura Rifampisin diberikan dengan dosis 600 mg/hari selama 1 minggu untuk kasus-kasus baru dan relaps) + Etionamid atau protionamid 250-375 mg/hari atau Klofazimin 50 mg/hari atau 100 mg setiap selang sehari dan 300 mg sebulan sekali. Pemberian kombinasi obat mempunyai tujuan tambahan, yaitu mencegah timbulnya strain M. leprae yang resisten terhadap obat. Diberikan pada semua penderita lepra multibasiler, termasuk : Penderita lepra yang diagnosisnya barn ditegakkan, yang belum mendapatkan pengobatan. Penderita yang mempunyai respon yang baik terhadap pemberian monoterapi dapson. Penderita yang mengalami relaps selama atau setelah pemberian monoterapi dapson.

3) Komplikasi MDT (terapi kombinasi) Penderita yang diberi MDT harus diawasi secara ketat terhadap reaksi dan toksisitas obat. Perlu dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan dasar (tabel 2) dan pemeriksaan transaminase serum ulangan setiap bulan untuk mendeteksi adanya hepatitis (akibat rifamnpisin, tionamid dan dapson meskipun lebih jarang), serta kadar hemoglobin dan hitung retikulosit untuk mengetahui adanya hemolisis (akibat dapson) dan hitung trombosit untuk mendeteksi adanya trombositopenia.

Komplikasi yang serius akibat rifampisin meskipun jarang adalah renal shut down (nekrosis tubuler atau nefritis interstisialis), mungkin akibat reaksi imunologis. Komplikasi rifampisin yang jarang lainnya adalah kolaps yang mendadak seperti renjatan anafilaksis segera setelah minum obat. Pada kasus seperti ini pemberian rifanipisin harus dihentikan Sindrom 'flu' akibat rifampisin dapat diobati secara simtomatis tanpa menghentikan pengbatan. Neuritis juga dapat terjadi segera setelah sebuah dosis rifampisin yang diberikan. Tabel 2. Pemeriksaan dasar Hitung sel darah lengkap Laju Endap Darah Pemeriksaan fungsi hati SGPT Urinalisis Foto toraks Tes lepromin 4) Reaksi M. leprae Reaksi ini memerlukan terapi imunosupresi tam"ahan. Path reaksi tipe I (reversal) yang dapat terjadi pada lepra tipe non polar (BT, BB dan BLi, dapat diberikan prednisolon dengan dosis 30 sampai 45 mg/hari, kemudian diturunkan perlahan-lahan selama beberapa minggu sampai dosis pemeliharaan 10 sampai 20 mg dalam waktu 4 sampai 12 bulan. Klofazimin untuk pengobatan reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang atau tidak pernah dipakai, begitu juga dengan taliwdomid tidak efektif terhadap reaksi reversal. Pada reaksi tipe II (eritema nodosum leprosum) yang dapat terjadi pada penderita lepra tipe LL, talidomid merupakan obat pilihan kecuali pada wanita pramenopause. Pengobatan alternatif untuk reaksi ini adalah klofazimin 200 sampai 300 mg/hari kemudian diturunkan perlahan-lahan, atau prednisolon 30 sampai 45 mg/hari yang kemudian diturunkan secara cepat. Kelainan mata seperti iritis biasanya diobati dengan tetes mata steroid dan atropin.

5) Tindakan-tindakan umum Fisioterapi secara dini clan teratur perlu dilakukan pada penderita dengan kelemahan otot untuk mencegah kontraktur dan mempersiapkan penderita menjalani transplantasi tendon untuk mengembalikan fungsi anggota gerak. Lagoftalmus dapat dikoreksi dengan bedah plastik. Penderita sebaiknya diberitahu bagaimana cara melindungi dan merawat tangan dan kaki yang anestesi untuk mencegah trauma, infeksi sekunder dan hilangnya jaringan yang dapat menyebabkan kecacatan yang menetap. 6) Pengawasan penderita setelah kemoterapi dihentikan WHO menyarankan untuk tetap melanjutkan pengawasan selama 4 tahun untuk penderita tipe pausibasiler dan 8 tahun untuk lepra tipe multibasiler setelah pemberian kemoterapi dihentikan. 7) Pemeriksaan kontak Penderita sebaiknya diberitahu untuk membawa keluarganya yang kontak untuk menjalani pemeriksaan pada saat diagnosis ditegakkan dan dalam waktu 6 sampai 12 bulan selama penyakit masih aktif, karena masa inkubasi bervariasi dari 2 sampai 20 tahun. Anggota keluarga kontak diberi saran untuk memeriksakan diri secepatnya setelah menemukan adanya tanda-tanda kelainan kulit atau gangguan saraf sensoris. Prognosis Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus kronik, prognosis kurang baik.

BAB IV DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2008, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI 2. Siregar R.S. 2005. Atlas Berwarna- Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC 3. Ellard GA. Growing points in leprosy research 4 - recent advances in chemotherapy of leprosy. Leprosy Rev 1974; 45:31.
4. Lewis FS. Leprosy. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1104977-

overview. Accessed at February 3, 2011.


5. Al-Nassir W. Brucellosis. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/213430-

overview. Accessed at February 3, 2011. 6. Centers for Disease Control and Prevention. Chikungunya. Available at: http://www.cdc.gov/ncidod/dvbid/chikungunya/. Accessed at February 3, 2011.

BAB V PENUTUP Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan penunjang, dan gejala klinis yang didapat pada pasien, kami menyimpulkan bahwa Tuan M menderita penyakit infeksi Lepra atau Kusta. Penatalaksaan yang dilakukan telah disampaikan pada bab sebelumnya dan untuk prognosis pasien ini masih baik jika ditangani dengan cepat dan tepat.

Seorang Laki-Laki dengan Keluhan Tidak Bisa Jalan dan Kesakitan

KELOMPOK VI

030.06.192 PAULA DEWI 030.07.205 PUTRI BALQIS 030.07.213 RENITA RAMADHANI 030.08.255 VIVI PUSPITASARI 030.09.245 SUSI INDRAWAN 030.09.247 SYAFINA WARDAH

030.09.249 SYLVIA ALVIODITA 030.09.251 TASYA RAHMANI 030.09.253 TEZAR ANDREAN B. 030.09.255 THIEA ARANTXA 030.09.259 UTAMI NINGSIH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI Jumat, 4 Februari 2011

You might also like