You are on page 1of 23

PEDODONSIA 4 BLOK 9 MANIFESTASI ORAL PASIEN HIV

Disusun oleh: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Reisha Mersita Febrisally Purba Fadlun Karimah Amalia Virgita Atika Samy Kencana Khairunnisa Eka Wahyuni Putri A. Mawadara (04111004057) (04111004058) (04111004059) (04111004060) (04111004061) (04111004062) (04111004063) (04111004065) (04111004066)

10. Essya Nova Relensia R (04111004067) 11. Atieka Ully Sandra 12. Maria Sandika Putri (04111004068) (04111004069)

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

MANIFESTASI ORAL PASIEN HIV

1.

Sejarah Istilah HIV Istilah HIV (Human Immunodeficiency Virus) telah digunakan sejak 1986

sebagai nama untuk retrovirus yang diusulkan pertama kali sebagai penyebab AIDS oleh Luc Montagnier dari Perancis, yang awalnya menamakannya LAV (lymphadenopathy-associated virus) dan oleh Robert Gallo dari Amerika Serikat, yang awalnya menamakannya HTLV-III (human T lymphotropic virus type III). Terdapat dua spesies HIV yang menginfeksi manusia, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 adalah yang lebih "virulent" dan lebih mudah menular, dan merupakan sumber dari kebanyakan infeksi HIV di seluruh dunia, sedangkan HIV-2 kebanyakan masih dominan di Afrika Barat. Kedua spesies berawal di Afrika Barat dan Tengah, melompat dari primata ke manusia dalam sebuah proses yang dikenal sebagai zoonosis. HIV-1 telah berevolusi dari sebuah simian immunodeficiency virus (SIV) yang ditemukan dalam subspesies chimpanzee, Pan troglodyte troglodyte.

2.

HIV (Human Immunodeficiency Virus) HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah jenis retrovirus yang

biasanya menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, yaitu sel T CD4 (sejenis sel T), makrofag, dan sel dendritik. HIV secara langsung dan tidak langsung merusak sel T CD4 , padahal sel T CD4 dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh berfungsi dengan baik. Jika HIV membunuh sel T CD4 sampai terdapat kurang dari 200 sel T CD4 per mikroliter (L) darah, kekebalan selular hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome).
+ + + +

Tabel 1. Taksonomi HIV Kingdom Familia Subfamilia Genus Spesies Virus Retroviridae Orthoretrovirinae Lentivirus Human immunodeficience virus 1 Human immunodeficiency virus 2

2.1

Struktur Tubuh HIV Menurut Volker (1993), secara umum struktur HIV dibedakan menjadi

dua bagian, yaitu bagian selubung (envelope) dan bagian inti (core). Pada bagian envelope, tersusun atas lapisan lipid bilayer yang serupa dengan plasma membran pada sel manusia. Lapisan membran ini terdiri dari tiga protein yang melengkapi bagian envelope yaitu: 1) trans-membrane protein; 2) the knob, seperti pada protein permukaan dan bagian luar; 3) matrik protein pada bagian dalam. Bagian kedua dari struktur HIV adalah bagian core (inti). Pada bagian inti ini terdapat dua molekul RNA, dimana setiap RNA dilapisi oleh nucleocapsid protein. Ada tiga enzim yang berasosiasi dengan RNA-NC complex, yaitu enzim reverse transcriptase, integrase, dan protease.

Gambar 1. Ilustrasi skematik struktur HIV (Sumber: Phatologic Basic of Disease)

2.2

Transmisi Virus HIV HIV masuk tubuh ke manusia melalui darah, semen dan sekret vagina

serta transmisi dari ibu ke anak. Terdapat tiga cara penularan HIV. Pertama, adalah melalui hubungan seksual baik secara vaginal, oral maupun anal dengan pengidap HIV. Ini adalah cara yang paling umum terjadi yaitu meliputi 80 90% total kasus sedunia. Kedua, melalui kontak langsung dengan darah, produk darah atau jarum suntik. Hal ini termasuklah transfusi darah yang tercemar, pemakaian jarum suntik yang tidak steril dan penyalahgunaann narkoba dengan jarum suntik yang dipakai bersama-sama dengan penderita HIV. Kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan juga salah satu cara penularan melalui kontak langsung dengan darah. Ketiga, melalui transmisi secara vertikal dari ibu pengidap HIV kepada bayinya, baik itu selama kehamilan, proses kelahiran maupun melalui pemberian ASI. (Sudoyo AW et al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam). 2.3 Patogenesis dan Patofisiologi HIV Patogenesis Awalnya terjadi perlekatan antara gp120 dan reseptor sel CD4, yang memicu perubahan konformasi pada gp120 sehingga memungkinkan pengikatan dengan koreseptor kemokin (biasanya CCR5 atau CXCR4). Setelah itu terjadi penyatuan pori yang dimediasi oleh gp41. Setelah berada di dalam sel CD4, salinan DNA ditranskripsi dari genom RNA oleh enzim reverse transcriptase yang dibawa oleh virus. Ini merupakan proses yang sangat berpotensi mengalami kesalahan. Selanjutnya, DNA ini ditranspor ke dalam nukleus dan terintegrasi secara acak di dalam genom sel pejamu. Virus yang terintegrasi diketahui sebagai DNA provirus. Pada aktivasi sel pejamu, RNA ditranskripsi dari cetakan DNA ini dan selanjutnya di translasi menyebabkan produksi protein virus. Poliprotein prekursor dipecah oleh protease virus menjadi enzim (misalnya reverse transcriptase dan protease) dan protein

struktural. Hasil pecahan ini kemudian digunakan untuk menghasilkan partikel virus infeksius yang keluar dari permukaan sel dan bersatu dengan membran sel pejamu. Virus infeksius baru (virion) selanjutnya dapat menginfeksi sel yang belum terinfeksi dan mengulang proses tersebut.

Gambar 2. Patofisiologi HIV (Sumber: Castillo, 2005)

Patofisiologi Karena peran penting sel T dalam menyalakan semua kekuatan limfosit

dan makrofag, sel T helper dapat dianggap sebagai tombol utama sistem imun. Virus AIDS secara selektif menginvasi sel T helper, menghancurkan atau melumpuhkan sel-sel yang biasanya megatur sebagian besar respon imun. Virus ini juga menyerang makrofag, yang semakin melumpuhkan sistem imun, dan kadang-kadang juga masuk ke sel-sel otak, sehingga timbul demensia (gangguan kapasitas intelektual yang parah) yang dijumpai pada sebagian pasien AIDS. Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun (Djoerban 2008). Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat dan secara klinis tidak menunjukkan gejala, pada waktu itu sebenarnya terjadi replikasi HIV yang sangat tinggi. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, dan untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 setiap hari.

Fase perjalanan infeksi HIV dapat dibagi dalam 3 fase, yaitu : 1) Infeksi Akut Fase ini terdapat pada 40-90% kasus yang merupakan keadaan klinis yang bersifat sementara yang berhubungan dengan replikasi virus pada stadium tinggi dan ekspansi virus pada respon imun spesifik. Proses replikasi tersebut menghasilkan virus-virus baru yang jumlahnya jutaan dan menyebabkan terjadinya viremia yang memicu timbulnya sindroma infeksi akut.

Gejala yang muncul antara lain demam, faringitis, artralgia, mialgia, malaise, mual, muntah, anoreksia, penurunan berat badan. HIV juga dapat menyebabkan kelainan sistem saraf. Tidak ada antibodi spesifik HIV yang dapat terdeteksi pada stadium awal infeksi ini. Seperti yang telah dijelaskan, pada fase infeksi awal ini terjadi interaksi antara gp120 virus dengan reseptor CD4+. Interaksi ini menyebabkan terjadinya ikatan dengan reseptor kemokin yang bertindak sebagai koreseptor spesifik CXCR4 dan CCR5 yang juga terdapat pada membran sel target. Proses internalisasi HIV pada membran sel target juga memerlukan peran gp41 sebagai proses fusi. Peran gp41 tersebut menyebabkan seluruh komponen inti HIV dapat masuk dan mengalami proses internalisasi yang ditandai dengan masuknya inti nukleokapsid ke dalam sitoplasma.

2) Infeksi Laten Pembentukan respon imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam sel dendritik folikuler di pusat germinativum kelenjar limfa menyebabkan virion dapat dikendalikan, gejala akan hilang dan mulai memasuki fase laten. Pada fase infeksi laten ini jarang ditemukan virion di plasma, sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfa dan terjadi replikasi di kelenjar limfa sehingga di dalam darah jumlahnya menurun. Fase ini berlangsung rata-rata sekitar 8-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Tahun ke-8 setelah terinfeksi HIV akan muncul gejala klinis seperti demam, banyak keringat pada malam hari, diare, lesi pada mukosa dan kulit berulang. Selam periode laten HIV dapat berada dalam bentuk provirus yang berintegrasi dengan genom DNA hospes, tanpa mengadakan transkripsi. Ada beberapa faktor yang dapat mengaktivasi proses transkripsi virus tersebut. Monosit pada individu yang terinfeksi HIV cenderung melepaskan sitokin dalam jumlah besar sehingga dapat menyebabkan meningkatnya transkripsi virus. Infeksi beberapa virus dapat meningkatkan transkripsi provirus DNA pada HIV sehingga berkembang menjadi AIDS yaitu HTLV-1, cytomegalovirus, virus herpes simplex, virus Epstein-Barr, adenovirus, papovirus dan virus hepatitis B.

3) Infeksi Kronik Selama fase ini terdapat peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam sirkulasi sistemik dan tidak mampu dibendung oleh respon imun. Terjadi penurunan jumlah limfosit T CD4+ hingga dibawah 300 sel/mm3. Perjalanan penyakit semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS.

Gambar 3. Gambaran waktu CD4 T-cell dan perubahan perkembangan virus berkesinambungan pada infeksi HIV yang tidak diterapi. (Sumber: Bennet, 2011)

2.4

Pembagian Stadium Klinis HIV Menurut WHO Stadium Klinis I Klasifikasi HIV pada stadium ini asimtomatis (tidak menunjukkan gejala),

sehingga memungkinkan segala aktivitas penderita masih bejalan normal. Pada 50% infeksi HIV terjadi Persistent Generalized Lymphadenopathy (PGL). Kelenjar GB dengan diameter lebih dari 1,5 cm pada dua atau lebih tempat di ekstra inguinal selama kurang lebih 3 bulan. Benjolan tidak terasa nyeri bila ditekan, simetris, dan sering mengenai servikal posterior, aksila, oksipital, dan

epitrochlear. Pada tahap ini dapat diperiksa DL dan foto rontgen dada. PGL dapat mengecil secara perlahan selama perjalanan penyakit dan dapat hilang sendiri sebelum timbulnya AIDS, dan tidak ada terapi spesifik untuk PGL.

Persistent generalized lymphadenopathy

Enlarged mastoid lymph gland

Enlarged occipital lymph gland

Enlarged submandibular lymph gland

Enlarged deep posterior cervical lymph glands

Enlarged anterior cervical lymph glands


56

Gambar 4. Persistent Generalized Lymphadenopathy

Stadium Klinis II Pada stadium ini, berat badan menurun <10% dari berat badan semula,

Skala Aktivitas 2: simptomatis, aktivitas normal. Terjadi kelainan kulit dan mukosa ringan seperti: Dermatitis seboroika

Gatal, bersisik dan tampak kemerahan. Pengobatan dapat dilakukan dengan: Higiene perorangan, Anti fungal (selenium, pyrithione Zn, obat azole), Anti inflamasi (salep steroid), Jika berat: keratolitik (as.salisilat).

Papular pruritic eruption (PPE)

Terjadi perubahan pada Lengan, tungkai, pinggang, bokong namun simetris. Dapat dilakukan pengobatan dengan: Steroid topical,

antihistamin, prednison jangka pendek, UVB, UVA .

Gambar 5. Papular pruritic eruption (PPE)

Infeksi jamur kuku (onikomikosis)

Disebabkan oleh T. rubrum, T. mentagrophytes. Pengobatan dengan Itraconazol 200mg/hari selama 6-12 minggu Ulkus oral yang rekuren Cheilitis angularis selama 6-12 minggu, Terbinafin 250mg/hari

Gambar 6. Cheilitis angularis

Herpes zoster (shingle) dalam 5 tahun terakir Moluscum contagiosum

Ulkus aftosa

Gambar 7. Ulkus aftosa Ulkus persisten, nonspesifik. Terapi sistemik dan topikal kortikosteroid cukup berhasil, Topikal tetrasiklin dan talidomid sistemik juga telah digunakan. Linear gingival erythema

Gambar 8. Linear gingival erythema Infeksi saluran napas bagian atas seperti sinusitis bakterial Pembesaran kelenjar parotis (Parotid enlargement)

Gambar 9. Parotid enlargement

Stadium Klinis III Pada stadium ini berat badan menurun >10% dari berat badan semula,

diare kronis yang tidak diketahui penyebabnya berlangsung lebih dari 1 bulan; demam tanpa sebab yang jelas, yang intermiten atau konstan > 1 bulan; TB paru dalam 1 tahun terakir; infeksi bakteri berat (pnemonia, pyomiositis). Skala Aktivitas 3: selama 1 bulan terakhir hanya tinggal di tempat tidur <50% . Kandidiasis oral

Koloni atau kelompok pseudomembran berwarna putih/kuning, yang terdapat dimana saja dalam rongga mulut. Kandidiasis oral ini dapat terlokalisir maupun meluas dan dapat dengan mudah diangkat dengan menggosoknya/mengusapnya. Terdapat beberapa tipe kandidiasis oral yaitu: Eritematus, tampak sebagai bercak kemerahan pada mukosa; Hiperplastik, serupa dengan

pseudomembran tetapi biasanya melekat dengan jaringan; Cheilitis angularis, terdapat lesi pada sudut mulut. Terapi : Langkah 1: Gunakan antifungal topikal Nystatin (1 tablet 100,000 IU setiap 4 jam): dapat dikunyah atau diisap selama 7 hari Nistatin oral suspensi: 100.000 U 3 x sehari selama 7 hari pemakaian Gentian violet 1% dalam larutan air setiap 4 jam selama 1 minggu Amphotericin B (10 mg lozenges 4 x sehari) jika tersedia (isap atau kunyah untuk mempertahankan kontak dgn mukosa mulut)

Langkah 2: Terapi sistemik (diberikan jika tidak ada perbaikan setelah 7 hari terapi topikal dan untuk semua kasus kandidiasis esofageal) Pilihan pertama Fluconazole (200 mg loading dose, selanjutnya 100 mg/hari sampai gejala hilang. Jika tidak ada fluconazole, gunakan Ketoconazole (200-400 mg /hari)

Pilihan kedua Itraconazole (100 mg 2 x sehari, dosis dapat dinaikkan sampai maksimum 400 mg sehari selama 10 -14 hari) Pilihan ketiga Amphotericin B (I.V.) (0.5-1.5 mg/kg per hari) . Gunakan terapi intermiten selama mungkin, untuk memperlambat timbulnya kandida yang resisten

Oral Hairy Leukoplakia Necrotising Gingivitis Necrotizing Ulcerative Periodontal Necrotizing Stomatitis

Stadium Klinis IV

Pada stadium ini, akan terlihat berat badan penderita menurun 10%, ditambah diare kronik lebih dari 1 bulan atau demam lebih dari 1 bulan. Batuk dan sesak napas Nyeri Kepala. Biasanya disebabkan oleh: Toxoplasmosis Defisit neurologis dan kejang Meningitis akibat Kriptokokus Pneumonia Cryptosporidosis dengan diare lebih dari satu bulan Cytomegalovirus (CMV) pada organ selain hati, liver, spleen, lymph nodes Herpes simplex virus (HSV) mucocutaneous > 1 bulan, Progressive multifocal leukonenphalopathy (PML) Mikosis dissemina (histoplasmosis, coccidioidmycosis) Kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau paru-paru

Atypical mycobacteriosis dissemina Non-typhoid Salmonella septicemia Extrapulmonary tuberculosis Lymphoma Kaposis Sarcoma (KS) Necrotizing Stomatitis

Selain itu, penderita HIV juga terkena HIV encephalopathy, yaitu gangguan kognitif dan disfungsi motorik yang mengganggu aktivitas hidup sehari-hari dan bertambah buruk dalam beberapa minggu/bulan yang tidak disertai penyakit lain selain disebut diatas. Skala Aktivitas 4: selama 1 bulan terakhir, > 50% hanya tinggal di tempat tidur.

2.5

Manifestasi Oral yang Tampak pada Pasien HIV


1)

Kandidiasis

Gambar 10. Kandidiasis Oral Kandidiasis oral merupakan manifestasi oral yang paling sering terjadi pada anak-anak HIV positif. Macam-macam kandidiasis oral: Kandidiasis Pseudomembranous Multifokal, tidak melekat, plak atau papula putih yang dapat diangkat/diseka dengan tekanan ringan, meninggalkan permukaan yang eritem. Kandidiasis Eritematous Multipel, bercak merah, biasanya pada palatum dan dorsum lidah. Tidak melekat, dan ada rasa sakit terbakar. Kandidiasis Hiperplastik Dapat terjadi pada mukosa pipi dan mukosa lidah. Jenis ini paling susah dibersihkan dibandingkan dengan jenis candidiasis yang lain. Cheilitis Angularis Garis-garis merah atau fisur ulserasi yang menyebar pada sudut mulut.

Gambar 11. Cheilitis Angularis

2)

Infeksi Virus Herpes Simplex (Herpes Simplex Virus)

Prevalensi infeksi HSV pada anak-anak yang terinfeksi HIV berkisar 1,7%-24% kasus. Infeksi HSV pada anak-anak dengan imunokompromais lebih progresif.

Gambar 12. Infeksi Virus Herpes Simpleks

Pasien akan mengalami demam dan malaise, nodus limfatikus bengkak dan lunak serta terdapat lesi perioral pada gingiva, palatum keras, dan vermilion border bibir. Didahului oleh vesikel, lalu lesi ini ruptur menjadi ulser yang iregular dan sakit.

3)

Linear Gingival Erythema

Linear gingival erythema dahulu merupakan HIV gingivitis. Prevalensinya bervariasi, berkisar antara 0 - 48%.

Gambar 13. Linear Gingival Erythema Gambaran klinisnya yaitu: berbentuk pita merah menyala dengan lebar 2-3 mm pada margin gingiva, disertai ptechiae atau lesi merah difus pada attached gingiva dan mukosa mulut. Ada perdarahan selama menyikat

gigi. Perdarahan spontan terjadi pada kasus yang berat. Rasa sakit jarang dikeluhkan oleh pasien.

Tidak diketahui kriteria untuk memastikan diagnostik dari linear gingivitis erythema. Lesi ini sama seperti gambaran klinis yang terjadi pada neutropenia. Karena itu, para klinisi harus melakukan pemeriksaan darah lengkap dan analisis pada sel darah putih untuk memastikan

diagnostiknya.

4)

Pembesaran Kelenjar Parotis (Parotid Enlargement)

Pembesaran kelenjar parotis terjadi pada 10-30% anak-anak yang terinfeksi HIV. Test HIV dianjurkan pada anak-anak dengan

pembengkakan kelenjar parotis. Gambaran klinis yang tampak yaitu adanya pembengkakan jaringan lunak difus bilateral atau unilateral, wajah tampak tidak normal, serta dapat disertai rasa sakit.

Gambar 14. Pembesaran kelenjar parotis

5)

Stomatitis Aftosa Rekuren

Stomatitis aftosa rekuren terjadi hampir pada 2-6% pada populasi orang dewasa yang terinfeksi HIV dan lebih sering terjadi pada anak-anak yang terinfeksi HIV, khususnya disebabkan karena obat-obatan seperti didanosine (ddI) yang dapat menginduksi terjadinya lesi.

Gambar 15. Stomatitis Aftosa Rekuren

Beberapa bentuk stomatitis aftosa rekuren berdasarkan ukuran, jumlah, dan durasi lesi, yaitu: Stomatitis aftosa minor rekuren Berbentuk ulser kecil dengan diameter < 5 mm, ditutupi lapisan pseudomembran dan dikelilingi oleh halo eritematous. Stomatitis aftosa mayor rekuren Gambaran klinis sama dengan stomatitis aftosa minor rekuren, tetapi ukurannya lebih besar dengan diameter 1-2 cm, dan timbul selama beberapa minggu, terasa sakit serta mengganggu pengunyahan dan penelanan. Stomatitis aftosa herpetiform rekuren Berupa stomatitis aftosa yang kecil-kecil berkelompok, diameter 1-2 mm, cenderung terjadi pada lokasi yang mengganggu proses makan dan bicara.

6)

Necrotizing ulcerative gingivitis (NUG)

Gambar 16. NUG

Destruksi pada satu atau lebih dari papila interdental disertai dengan nekrosis, ulserasi. Destruksi ini terbatas hanya pada margin gingiva. Pada tahap akut (acute necrotizing ulcerative gingivitis), jaringan gingiva tampak merah menyala dan bengkak, disertai oleh jaringan nekrotik abuabu kekuningan yang mudah berdarah. Gejala yang dirasakan pasien yaitu mudah berdarah saat menyikat gigi, sakit, dan adanya halitosis. Diagnosis NUG ditentukan secara klinis. Terdapat respon terhadap pemberian antibiotik sistemik dan local debridement. Gejala menghilang bertahap diatas 3-4 minggu, tetapi sering rekuren. NUG dapat muncul pada tahap awal dari necrotizing ulcerative periodontitis.

7)

Necrotizing ulcerative periodontitis (NUP)

Gambaran klinis NUP yaitu terjadi nekrosis jaringan lunak yang parah serta terjadi dekstruksi perlekatan periodontal dan tulang dalam waktu singkat. Selain itu, terjadi perdarahan gingiva spontan atau berdarah saat menyikat gigi, serta terasa sakit pada tulang rahang. Pada kasus berat, tulang rahang dapat terbuka.

Gambar 17. Necrotizing ulcer periodontitis pada pasien HIV

Pada NUP ini juga terdapat pembentukan poket karena hilangnya jaringan lunak ataupun jaringan keras. Destruksi jaringan dapat meluas sampai ke mucogingival junction. NUP bersifat kronis, ulserasi akan terlihat selama periode aktif tetapi tidak terlihat pada periode tidak aktif.

8)

Necrotizing stomatitis (NS)

Necrotizing stomatitis ini bersifat akut dan merupakan lesi ulseronekrotik yang sangat sakit pada mukosa mulut. Tulang dibawahnya dapat terbuka, lesi dapat berpenetrasi meluas ke jaringan disekitarnya.
9)

Xerostomia

Pada penderita HIV, keadaan rongga mulutnya kering (xerostomia) karena menurunnya kecepatan aliran saliva. Xerostomia dapat disertai dengan atau tanpa pembengkakan parotis.
10)

Sarkoma Kaposi dan Limfoma non-Hodgkins

Gambar 18. Sarkoma Kaposis Kanker yang berhubungan dengan HIV seperti Sarkoma kaposis dan Limfoma non-Hodgkins sangat jarang terjadi pada anak-anak yang terinfeksi HIV. Angka kejadian kurang dari 2% kasus.
11)

Hairy leukoplakia

Hairy leukoplakia ini disebabkan oleh virus Epstein Barr. Pada anak-anak, jarang terjadi hairy leukoplakia.

Gambar 19. Hairy leukoplakia

Hairy leukoplakia ini merupakan lesi putih yang tidak dapat diangkat, permukaan tidak rata, dan bilateral pada lateral lidah. Dapat timbul pada permukaan ventral dan dorsal lidah, tetapi jarang terjadi pada mukosa bukal. Adanya virus Epstein-Barr pada lesi ini, ditentukan dengan pemeriksaan histopatologik dan hibridisasi DNA in situ.

DAFTAR PUSTAKA

1. 2. 3.

Mandal, Bibhat K., Wilkins, Edmund G.L., Dunbar, Edward M., Mayon-White, Richard T. Lecture Notes: Penyakit Infeksi. Jakarta: Erlangga. 2008 Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC. 2001. Djoerban, Zubairi, Djauzi Samsuridjal. HIV/AIDS di Indonesia. W. Sudoyo, Aru, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FK UI 2007; 1803-1808.

4.

Husein N, Lumempouw S, Ramli Y, Herqutanto. Uji validitas dan reliabilitas montreal cognitive assesment versi Indonesia ( MoCA-Ina) untuk skrining gangguan fungsi kognitif. Neurona. 2010 ; 27 (4) ; 15-22

5.

Mamidi A, DeSimone J. Pomerantz R. Central nervous system infections in individuals with HIV-1 infection. J NeuroVirol.2002; 8 : 158-67.

6.

Karn J HIV volume 1 ; virology and immunology (e-book). USA : Oxford University Press; 2007 (cited 2011 May 23) Available from:

http://books.google.co.id/books. 7. Roitt.I, Brostoff J, Male D. Immunology. 6th ed. Mosby.London. 2001. Hal 317-319. 8. National Institute of Allergy ang Infectious Diseases. Mechanism and Pathogenesis of Pediatric HIV-1 Infection. 1998.

http://grants.nih.gov/grants/guide/pa-files/PA-98-048.html 9. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Cellular and Molecular Immunology.. 4th ed. W.B.Saunders Company. PhiladelphiaToronto. 2000. Hal. 455-465. 10. Gomez FR. Dental Considerations for the Paediatric AIDS/HIV Patient. Oral Disease. 2002.; 8 (Suppl.2): 49-54.

11. Dunston BC, Depaola LG. Oral Manifestations of Pediatric HIV Infection. Indian Pediatrics. 2002; 39:57-63.

ttp://www.numedx.com/article.aspx?NewsCategoryID=95 12. Gomez FR, Flaitz C, Catapano P, et all. Classification, Diagnostic Criteria, and Treatment Recommendations for Orofacial Manifestations in HIVinfected Pediatric Patients. Journal of Paediatric Dentistry. 1999, 23(2): 8596. 13. Leggott PJ. Oral Manifestation in Pediatric HIV Infection. Proceedings of the Second International Workshop on the Oral Manifestations of HIV Infection January 31 February 3, 1993.San Fransisco,California. Quintessence Publishing Co, Inc. 1993; 234-239 14. Vaseliu N, Kamiru H, Kabue. M. Oral Manifestation of HIV Infection, 2010.

You might also like