You are on page 1of 0

8

BAB II
LANDASAN TEORI

II.1. TINJAUAN KEPUSTAKAAN
1. Definisi dan Angka Kejadian Primigravida tua
Primigravida adalah seorang wanita yang hamil untuk pertama kali.
Primipara adalah seorang wanita yang baru pertama kali melahirkan anak
hidup. Primigravida tua adalah seorang wanita yang mencapai usia 35
tahun atau lebih pada saat hamil pertama. Istilah Primigravida tua
digunakan oleh beberapa peneliti. (Suswadi, 2000; Suparman dan
Sembiring, 2002; Mareyke, 2003; Kusumawati, 2006) dan ada yang
menggunakan istilah Elderly Primigravida (Chigoziem, 2008).
Beberapa peneliti menggunakan istilah atau sebutan advanced
maternal age pada wanita hamil pada usia tua 35 tahun atau lebih tanpa
melihat paritas, atau disebut Older Women atau Gravida tua atau Elderly
Gravida atau Older Ages (Cunningham et al, 2007; Jolly, 2000; Luke et al,
2007).
Naqvi dan Naseem (2004) menyebut older primigravida pada ibu
yang hamil pertama pada usia 35 tahun atau lebih (Naqvi dan Naseem,
2004). Pada primigravida tua ada yang menggunakan batasan umur 40
tahun atau lebih bahkan ada yang memakai usia 44 tahun atau lebih
(Suparman dan Sembiring, 2002). Beberapa peneliti menyebutkan
Advanced maternal Age ialah wanita usia 35 tahun atau lebih pada saat
tanggal taksiran melahirkan (Luke dan Brown, 2007; Rajaee, Amirzadeh,
Mirblook, dan Soltani, 2010; Goldman et al, 2005). Di RSUP Manado
istilah yang digunakan adalah primigravida tua yaitu wanita yang pertama
kali hamil pada usia 35 tahun atau lebih (Suparman dan Sembiring, 2002).
Wanita hamil usia 44 tahun atau lebih digolongkan sangat tua (Rajaee,
Amirzadeh, Mirblook, dan Soltani, 2010; Mareyke, 2003).
Dari tahun ke tahun ada kecenderungan terjadi peningkatan jumlah
wanita yang hamil diusia tua dan beberapa peneliti menguraikan beberapa
9

alasan terjadinya kecenderungan ini (Luke dan Brown, 2007; Chigoziem,
2008; Suparman dan Sembiring, 2002; Goldman et al, 2005).
Martin et al (2006) yang melaporkan antara 1980-2004 proporsi
kelahiran pertama pada usia 30 tahun atau lebih meningkat 3 kali lipat
(8,6% menjadi 25,4%), usia 35 tahun atau lebih meningkat 6 kali (1,3%-
8,3%) dan usia 40 tahun atau lebih meningkat 15 kali lipat (0,1-1,5%)
(Luke dan Brown, 2007). Di AS dari tahun 1970 2000 kelahiran hidup
pada wanita usia 35 tahun atau lebih meningkat dari 5 % menjadi 13% dari
seluruh kelahiran hidup (Goldman et al, 2005).

Kecenderungan
peningkatan wanita hamil pertama kali pada usia tua (Elderly
primigravida) dipengaruhi oleh sejumlah faktor yaitu adanya KB yang
efektif, Assisted Reproductive Technology (ART), terlambat kawin,
meningkatnya perceraian yang diikuti re-marriage, tingkat pendidikan
yang tinggi dan peningkatan karier, semuanya menjadi faktor yang
mempengaruhi peningkatan hamil pada usia tua khususnya kehamilan
pertama kali (Chigoziem, 2008; Goldman et al, 2005).
Dalam penelitian tentang karakteristik primigravida tua di RSUP
Manado diperoleh hasil dalam 5 tahun 1997-2001 terdapat 13.632
persalinan di RSUP Manado. Dari seluruh persalinan ini ditemukan 160
primigravida tua (1,17%) dan usia tertua 48 tahun dengan usia rata-rata
untuk seluruh primigravida tua 37,4 tahun. Angka ini lebih rendah dari
angka kejadian di negara maju dan mengutip hasil penelitian Tan dan Tan
Singapura bahwa angka kejadian primigravida tua 1,09% (Suparman dan
Sembiring, 2002).
Ditinjau dari segi pendidikan dan status sosial ekonomi,
primigravida tua ditemukan lebih tinggi dibandingkan primigravida yang
lebih muda. Hal ini menunjang pendapat bahwa primigravida tua terlambat
menikah atau terlambat mempunyai anak oleh karena ingin mencapai
pendidikan yang lebih tinggi (Suparman dan Sembiring, 2002; Chigoziem,
2008).
Dalam penelitian di RSUP Manado 2001-2002, mendapatkan 4630
persalinan, diantaranya 686 kehamilan pada usia 35 tahun atau lebih
10

(14,81%). Jumlah ini cenderung meningkat dari 305 tahun 2001 (2353
kehamilan) menjadi 381 dari 2277 kehamilan di tahun 2002. Paritas 1
31,80% (2001), 30,70% (2002) dari masing-masing 305 dan 381 usia 35
tahun atau lebih. Jadi ditemukan jumlah primitua 31,80% tahun 2001 dan
30,70% tahun 2002 (Mareyke, 2003).

Di RSUP Dr Kariadi Semarang pada periode 1 juli 1998 sampai
dengan 30 juni 1999 terdapat 355 persalinan usia tua 13,8% dan dari
jumlah ini pada usia 35 tahun 89,4% multipara dan pada usia 20- 34
tahun 55,5% primipara (Suswadi, 2000).
Sebagai perbandingan di AS sepertiga pasien yang bersalin adalah
primitua yaitu diatas 35 tahun. Di kanada 12,1% dan Hongaria 21,2%,
Singapura 1,09%. Meksiko dan Mesir masing-masing 3,2% dan 3,1%
(Suparman dan Sembiring, 2002).
Persalinan pada usia tua merupakan proporsi persalinan yang cukup
besar di Nigeria 15%, Senegal 17%, Bangladesh 25%, Srilanka 11% dan
Amerika Serikat 21%. Yusrawati (1999) dikutip oleh Suswadi(2000), di
RS M Djamil Padang ditemukan persalinan pada usia tua sebanyak 12,3%
(Suswadi, 2000).
Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman dan optimal
untuk hamil dan melahirkan adalah 20-30 tahun (Surjaningrat dan
Saifuddin, 2007; Mochtar, 1998).
Sesuai pola dasar kebijakan Program KB antara lain adalah
hendaknya besar keluarga dicapai selama dalam Usia Reproduksi Sehat
yaitu sewaktu umur ibu antara 20-30 tahun. Menunda perkawinan dan
kehamilan sekurang-kurangnya sampai berusia 20 tahun dan mengakhiri
kesuburan pada usia sesudah 30-35 tahun (Mochtar, 1998).
Oleh karena itu, dalam berbagai studi untuk menilai kejadian
penyulit atau luaran kehamilan dan persalinan pada wanita tua, seringkali
dipakai sebagai pembanding wanita hamil kelompok usia reproduksi sehat
20-30 tahun dan bahkan ada yang menggunakan usia 20- 25 tahun a.l
penelitian oleh Chigoziem (2008), dan Suswadi (2000) menggunakan usia
20-34 tahun sebagai kontrol.

11

Insiden primigravida tua 2,6% di UTH Nigeria dan angka ini lebih
kecil daripada 6,3% yang dilaporkan di Thailand. Faktor ras mungkin
berpengaruh pada kejadian dan luaran kehamilan pada elderly
primigravida (Chigoziem, 2008).
2. Penyulit Persalinan
a. Gambaran umum
Kematian maternal pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5
kali lebih tinggi daripada kematian maternal yang terjadi pada usia 20-
29 tahun. Kematian maternal meningkat pada usia 30-35 tahun. Paritas
1 (baru pertama kali melahirkan) dan paritas lebih tinggi (lebih dari 3)
mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi. Paritas 2-3 paling
aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Risiko pada paritas 1
dapat ditangani dengan asuhan obstetrik lebih baik (Surjaningrat dan
Saifuddin, 2007; Cunningham et al, 2006).
Dalam penelitian pada primigravida tua yang bersalin di RSUP
Manado tahun 1997-2001, janin umumnya letak kepala (90%),
sungsang (14%), letak lintang (2%), dan persalinan aterm 86,3%.
Penyakit terbanyak yang diderita ibu adalah hipertensi 13,75%, KPD
6,25%, inersia uteri 3,75%, dan persalianan prematur 8,1%. Jenis
persalinan kebanyakan seksio sesarea 62,5% baik kelahiran seksio
sesarea dan pervaginam masing-masing bayi sehat 96% dan 91,6%.
BB bayi rata-rata 3081 gram, kelainan kongenital 1,25%, dan IUFD
1,9% (Suparman dan Sembiring, 2002).
Penyulit yang terjadi selama kehamilan dan persalinan
primigravida tua lebih besar dibandingkan primigravida dibawah usia
35 tahun. Hal ini disebabkan oleh kekakuan jaringan panggul yang
belum pernah dipengaruhi oleh kehamilan dan persalinan disamping
adanya perubahan yang terjadi karena proses menuanya jaringan
reproduksi dan jalan lahir (Suswadi, 2000).
Berkowitz (1990) menemukan bahwa usia tua mengalami
penyulit kehamilan dan persalinan yang tinggi seperti kematian
maternal, preeklampsia, eklampsia, diabetes gestasional, plasenta
12

previa, solusio plasenta, IUFD, kelahiran prematur, kelainan bawaan,
KPD, distosia, persalinan lama, inersia uteri, perdarahan postpartum,
dan kesakitan serta kematian perinatal. Seksio sesarea meningkat 1.8
kali lipat dan bayi yang mendapat perawatan NICU 1,4 kali
dibandingkan usia 20-29 tahun (Suswadi, 2000). Prysak 1995 dikutip
oleh Suswadi(2000), telah melakukan penelitian pada usia tua
mendapatkan penyulit kehamilan (preeklampsia, diabetes mellitus
gestasional, perdarahan antepartum, mioma uteri, obesitas, dan asma)
dan penyulit persalinan (kelainan presentasi, seksio sesarea,
perdarahan postpartum, dan pemakaian oksitosin), lebih banyak
dibandingkan usia 25-29 tahun (Suswadi, 2000). Wong (1998)
menemukan hal yang sama, ditambah dengan ketuban pecah dini, kala
II lama, ruptur perineum, retensio plasenta, dan luaran perinatal buruk
pada wanita usia tua dibandingkan dengan wanita usia 25-30 tahun dan
secara statistik tidak ada perbedaan bermakna. Pada kedua kelompok
ini ditemukan kematian perinatal (Suswadi, 2000).
Penelitian di Bandar Abbas Maternity Hospital, untuk
mengetahui pengaruh umur ibu terhadap luaran obstetrik, pada 3
kelompok ibu hamil usia 18 tahun atau kurang (6%), usia 19-34 tahun
(79,7%) dan usia 35 tahun atau lebih 14,3%. Umur ibu mempengaruhi
intensitas his yang menyebabkan meningkatnya seksio sesarea oleh
karena kemajuan persalinan yang gagal. Ditemukan seksio sesarea
tertinggi 31,4 % pada usia 35-39 tahun dan 40,5% pada usia 40 tahun
atau lebih. Dari penelitian ini diperoleh hasil perbedaan yang sangat
bermakna dengan kelompok usia kurang dari 35 tahun. Ibu dengan
usia 35 tahun atau lebih menunjukkan risiko lebih tinggi untuk
komplikasi seksio sesarea (Rajaee, Amirzadeh, Mirblook, dan Soltani,
2010). Hal ini dilaporkan juga oleh beberapa peneliti (Jolly et al, 2000;
Luke dan Brown, 2007).

Penelitian retrospektif di UTH Nnewi Nigeria 1 Juni 2003 -
30 Juni 2008 dan didapatkan kelompok primigravida tua (elderly
primigravida) usia 35 tahun atau lebih 82 orang dan kelompok kontrol
13

wanita primigravida berusia 20-25 tahun 131 orang sesuai kriteria
inklusi. Dari 3189 kelahiran insiden elderly primigravida 2,6% atau 1
dalam 39 kelahiran. Rata-rata umur kasus studi 36 tahun, dan rata-rata
kelompok umur kontrol berusia 23 tahun. Ditemukannya CPD, kala II
lama, dan fetal distress lebih tinggi pada kelompok primigravida tua
p<0,05 sedangkan komplikasi lain-lain tidak ada perbedaan signifikan
p>0,05. Untuk prolonged labour, partus presipitatus dan prolapsus
foeniculi ditemukan pada kelompok primigravida tua, dan tidak
ditemukan pada kelompok usia 20-25 tahun (Chigoziem, 2008).
Perdarahan postpartum primer sangat signifikan berbeda lebih
tinggi pada primigravida tua, dan pada kelompok usia 20-25 tahun
tidak ditemukan retensio plasenta, perdarahan postpartum dan psikosis
puerperal. Pada elderly primigravida risiko abnormalitas jalannya
persalinan meningkat, mungkin sebabnya sekunder oleh karena secara
fisiologis berhubungan dengan umur, seperti menurunnya efisiensi
miometrium dengan lanjutnya umur. Faktor umur tidak semata-mata
satu-satunya faktor yang mempengaruhi dokter untuk mengambil
keputusan tindakan. Dalam penelitiannya disimpulkan bahwa insiden
elderly primigravida di senternya cukup tinggi tetapi mayoritas mereka
melahirkan aterm yang memuaskan, dan dibutuhkan petugas terlatih
serta fasilitas perawatan darurat obstetri selama persalinan dan
kelahiran (Chigoziem, 2008).

Penelitian retrospektif pada 385.120 persalinan tunggal di
North West Thames Region, UK antara tahun 1988-1997
membandingkan luaran kehamilan pada kelompok usia 18-34 tahun
dengan kelompok usia lebih dari 35 tahun dan menyimpulkan bahwa
ibu hamil pada usia tua 35 tahun atau lebih, risiko komplikasinya lebih
tinggi dibandingkan dengan ibu hamil usia muda (Jolly et al,2000).
Suswadi (2000) melaporkan dalam penelitiannya pada
kelompok usia tua yaitu usia 35 tahun atau lebih 42,7% mengalami
penyulit persalinan, sedangkan kelompok pembanding usia 20-34
tahun didapatkan 28,0% Perbedaan antara kedua kelompok ini secara
14

statistik bermakna p<0,05. Tidak dijelaskan menurut paritas. (Suswadi,
2000)
Luke dan Brown (2007) menyimpulkan dalam penelitiannya,
bahwa peningkatan umur ibu berhubungan secara signifikan dengan
peningkatan risiko penyulit kehamilan dan luaran yang berbahaya yang
bervariasi menurut paritas (Luke dan Brown, 2007).

b. Beberapa Penyulit Persalinan pada Primigravida tua
Seperti diuraikan dalam gambaran umum, pada umumnya
peneliti menemukan bahwa kejadian penyulit kehamilan dan
persalinan pada primigravida tua lebih tinggi; dan bagaimana kejadian
jenis-jenis penyulit persalinan terutama yang akan masuk dalam
penelitian ini, akan dipaparkan selanjutnya yaitu :
1) Kelainan his
2) Persalinan Lama
3) Seksio Sesarea
4) Perdarahan pasca persalinan

1) Kelainan His
Kelainan his atau kelainan tenaga adalah salah satu yang
menyebabkan faktor persalinan yang sulit atau distosia. His yang
tidak normal dalam kekuatan atau sifatnya menyebabkan rintangan
pada jalan lahir yang lazim terdapat pada setiap persalinan, dan
bila tidak dapat diatasi, maka persalinan akan mengalami hambatan
atau kemacetan (Martohoesodo dan Sumampouw, 2007).
Terdapat kelainan baik kekuatan maupun sifatnya, sehingga
menghambat kelancaran persalinan (Martohoesodo dan
Sumampouw, 2007; Ambarwati, 2010).
Sifat-sifat his normal (Martohoesodo dan Sumampouw,
2007; Ambarwati, 2010) :
Tonus otot rahim diluar his tidak seberapa tinggi, lalu
meningkat pada waktu his.
15

Kontraksi rahim dimulai pada salah satu tanduk rahim
sebelah kanan atau kiri lalu menjalar keseluruh otot rahim
Fundus uteri berkontraksi lebih dulu (fundal dominan),
lebih lama dari bagian-bagian lain, bagian tengah
berkontraksi agak lebih lambat, lebih singkat dan tidak
sekuat kontraksi fundus uteri bagian bawah (segmen bawah
rahim) dan serviks tetap pasif.
Sifat his dilihat dari lamanya, kuatnya, keteraturannya,
seringnya dan relaksasinya serta sakitnya. His persalinan
yang normal ditandai dengan fundal dominan, simetris,
makin lama, makin kuat, makin sering dan relaksasi baik.
Bila salah satu tanda tersebut tidak dijumpai atau tidak
sesuai, keadaan ini disebut gangguan atau kelainan his.
Jenis-jenis kelainan his :

a) Inersia uteri
Inersia uteri merupakan keadaan dimana his bersifat
biasa dalam arti bahwa fundus berkontraksi lebih kuat dan
lebih dahulu daripada bagian-bagian lain, dan peranan fundus
tetap menonjol. Kelainan terletak dalam hal kontraksi uterus
lebih lemah, singkat dan jarang daripada biasa (dibandingkan
his yang normal). Keadaan umum penderita baik dan rasa
nyeri tidak seberapa (Martohoesodo dan Sumampouw, 2007;
Ambarwati, 2010).
Selama ketuban masih utuh umumnya tidak banyak
bahaya, baik bagi ibu maupun bagi janin, kecuali bila
persalinan terlalu lama, maka morbiditas dan mortalitas ibu
dan janin akan meningkat. Kelemahan his yang timbul sejak
permulaan persalinan disebut inersia uteri primer atau
hypotonic uterine contraction. Ini harus dibedakan dengan his
pendahuluan yang juga bersifat lemah, dan kadang-kadang
menjadi hilang (false labour). Jika kelainan his timbul setelah
berlangsungnya his kuat untuk waktu yang lama, atau
16

kelemahan his yang timbul setelah adanya his yang normal,
maka dinamakan inersia uteri sekunder (Martohoesodo dan
Sumampouw, 2007; Ambarwati, 2010).
Diagnosis inersia uteri paling sulit dalam masa laten; hal
ini diperlukan pengalaman. Kontraksi uterus yang disertai
nyeri tidak cukup untuk membuat diagnosis bahwa persalinan
sudah mulai. Untuk sampai pada kesimpulan ini, diperlukan
kenyataan bahwa sebagai akibat kontraksi itu terjadi
perubahan pada serviks, yakni pendataran dan atau
pembukaan. Kesalahan yang sering dibuat ialah mengobati
seorang penderita untuk inersia uteri padahal persalinan belum
mulai (false labour) (Martohoesodo dan Sumampouw, 2007).
Dalam menghadapi inersia uteri harus diadakan
penilaian yang saksama untuk menentukan sikap yang harus
diambil. Tidak boleh dilakukan tindakan yang tergesa-gesa
untuk mempercepat lahirnya janin. Tidak dapat diberikan
waktu yang pasti, yang dapat dipakai sebagai pegangan untuk
membuat diagnosis inersia uteri, atau untuk memulai terapi
aktif (Martohoesodo dan Sumampouw, 2007).
Dalam buku Panduan praktis pelayanan kesehatan
maternal dan neonatal didiagnosis Inersia uteri apabila
ditemukan his kurang dari 3 his per 10 menit dan lamanya
kurang dari 40 detik. Jika ditemukan his tidak adekuat,
sedangkan disproporsi dan obstruksi dapat disingkirkan,
kemungkinan penyebab persalinan lama adalah inersia uteri
(Saifuddin, Wiknyosastro, dan Waspodo, 2002).
Inersia uteri yang terjadi pada primitua berhubungan
dengan kekakuan jaringan panggul yang belum pernah
dipengaruhi oleh kehamilan dan persalinan, juga terjadinya
proses penuaan pada jaringan reproduksi dan jalan lahir.
Inersia uteri dapat menyebabkan persalinan berlangsung lama
17

sehingga dapat terjadi infeksi intrauterine dan kelelahan pada
ibu (Mareyke, 2003).

b) Hypertonic uterine contraction (coordinated hypertonic
uterine contraction).
His terlampau kuat atau hypertonic uterine contraction
disebut juga tetania uteri menurut Ambarwati (2010).
Sumampouw (2007) mengatakan bahwa ini bukan merupakan
penyebab distosia tetapi merupakan kelainan his. His yang
terlalu kuat dan efisien menyebabkan persalinan selesai dalam
waktu yang sangat singkat (Martohoesodo dan Sumampouw,
2007).
His terlampau kuat atau hypertonic uterine contraction
yang terkoordinasi dapat menyebabkan partus presipitatus
yaitu persalinan selesai dalam waktu kurang dari 3 jam. Sifat
his normal, tonus otot diluar his juga biasa, kelainannya
terletak pada kekuatan his. Kadang-kadang ditemukan
lingkaran retraksi patologis Bandl yaitu antara bagian atas dan
bagian bawah lingkaran retraksi menjadi sangat jelas.
Ligamen rotunda menjadi tegang serta lebih jelas teraba
(Martohoesodo dan Sumampouw, 2007).
Penderita merasa sakit terus menerus dan gelisah
akhirnya bila tidak diberi pengobatan, regangan segmen
bawah uterus melampaui kekuatan jaringan maka terjadilah
ruptur uteri. Tetania uteri adalah his yang terlampau kuat dan
terlalu sering sehingga tidak ada relaksasi rahim
(Martohoesodo dan Sumampouw, 2007; Ambarwati, 2010).

c) Incoordinated utrine action (incoordinated hypertonic
uterine contraction)
Kelainan his yang disebut incoordinated uterine
contraction, disini sifat his berubah. Tonus otot terus
18

meningkat juga diluar his, dan kontraksinya tidak berlangsung
seperti biasa karena tidak ada sinkronisasi kontraksi antara
bagian-bagiannya. Tidak adanya koordinasi antara kontraksi
bagian atas, tengah dan bawah sehingga menyebabkan his
tidak efisien dalam mengadakan pembukaan (Martohoesodo
dan Sumampouw, 2007; Ambarwati, 2010). Disamping itu
tonus otot uterus menarik menyebabkan rasa nyeri yang lebih
keras dan lama bagi ibu dan dapat pula menyebabkan hipoksia
pada janin. Kelainan his ini disebut juga uncoordinated
hypertonic uterine contraction (Martohoesodo dan
Sumampouw, 2007.
Kadang-kadang pada persalinan lama dengan ketuban
yang sudah lama pecah kelainan his ini menyebabkan spasme
sirkuler setempat sehingga terjadi penyempitan kavum uteri
pada tempat itu. Ini dinamakan lingkaran kontraksi atau
lingkaran konstriksi (constriction ring). Secara teoritis
lingkaran ini dapat terjadi dimana-mana akan tetapi biasanya
ditemukan pada batas antara bagian atas dan segmen bawah
uterus. Lingkaran konstriksi tidak dapat diketahui dengan
pemeriksaan dalam kecuali bila pembukaan sudah lengkap
sehingga tangan dapat dimasukkan ke dalam kavum uteri.
Oleh sebab itu jika pembukaan belum lengkap biasanya tidak
mungkin mengenal kelainan ini dengan pasti (Martohoesodo
dan Sumampouw, 2007; Ambarwati, 2010).
Adakalanya persalinan tidak maju karena kelainan pada
serviks yang dinamakan distosia servikalis. Kelainan ini bisa
primer atau sekunder. Distosia servikalis dikatakan primer
kalau serviks tidak membuka karena tidak mengadakan
relaksasi berhubung dengan incoordinated uterine action.
Pasien biasanya seorang primigravida. Distosia servikalis
dikatakan sekunder jika disebabkan karena kelainan organik.
Kala 1 menjadi lama dan dapat diraba jelas pinggir serviks
19

yang kaku. Jika keadaan ini dibiarkan maka tekanan kepala
terus-menerus dapat menyebabkan nekrosis jaringan serviks
dan dapat mengakibatkan lepasnya bagian tengah serviks
secara sirkuler. Oleh sebab itu setiap wanita yang pernah
mengalami kelainan serviks harus diawasi persalinannya di
RS (Martohoesodo dan Sumampouw, 2007; Ambarwati,
2010).
Etiologi kelainan his terutama ditemukan pada primigravida,
khususnya primigravida tua. Faktor herediter mungkin memegang
peranan pula dalam kelainan his dan juga faktor emosi (ketakutan)
mempengaruhi kelainan his. Sampai seberapa jauh faktor emosi
dan ketakutan mempengaruhi kelainan his belum ada persesuaian
paham antara para ahli. Memang banyak faktor telah disebutkan
sebagai penyebab tetapi umumnya kelainan his apalagi inersia uteri
ini tidak diketahui. Satu sebab yang penting dalam kelainan his
khususnya inersia uteri ialah apabila bagian bawah janin tidak
berhubungan rapat dengan segmen bawah uterus seperti misalnya
pada kelainan letak janin atau pada disproporsi sefalopelvik. Pada
kurang lebih separuh dari kasus, penyebab inersia uteri tidak
diketahui (Martohoesodo dan Sumampouw, 2007; Ambarwati,
2010).
Mareyke (2003) menemukan inersia uteri 2,62% pada tahun
2001 dan 2,88% pada tahun 2002 pada ibu yang melahirkan diusia
35 tahun atau lebih tetapi tidak menjabarkannya menurut paritas
(Mareyke, 2003).
Dalam penelitian Suswadi (2000), inersia uteri sebagai
penyulit persalinan kala I ditemukan 1,9% pada kelompok usia 35
tahun atau lebih dan 2,2% pada kelompok pembanding 20-34
tahun. Perbedaan ini secara statistik tidak bermakna p>0,005
(Suswadi, 2000).

Suparman dan Sembiring (2002) dalam penelitiannya pada
primigravida tua di RSUP Manado, ditemukan penyulit tiga
20

terbanyak adalah hipertensi, ketuban pecah dini, dan inersia uteri
masing-masing 13,75%, 6,25%, dan 3,75% (Suparman dan
Sembiring, 2002).
Ambarwaty (2010) membagi kelainan his :

Inersia uteri
Inersia uteri primer dan sekunder
Tetania uteri
Aksi uterus inkoordinasi (incoordinated uterine action)

2) Persalinan lama
Persalinan lama atau partus lama adalah persalinan yang
berlangsung lebih dari 18 jam yang dimulai dari tanda-tanda
persalinan (Indriyani dan Amiruddin, 2006).

Definisi lain
persalinan lama adalah persalinan yang berlangsung 24 jam pada
primi dan 18 jam pada multigravida. Luke dan Brown (2007)
menggunakan istilah dan batasan prolonged labour lebih dari 20
jam, demikian juga Manuaba (2001) mendefinisikan persalinan
lama atau partus lama adalah persalinan yang berlangsung lebih
dari 24 jam, artinya persalinan harus dapat diselesaikan dalam
waktu 24 jam, juga menyebutkan persalinan terlantar (neglected
labour) adalah persalinan yang disertai komplikasi ibu dan
janinnya, dimana pada umumnya persalinan telah berlangsung
lebih dari 24 jam atau ditolong dengan paksa (Manuaba, 2001).
Menurut Kusumawati (2006) bahwa kata persalinan lama
atau distosia adalah persalinan yang gagal berjalan secara normal
dan menyebabkan kesulitan pada ibu dan bayi, yaitu jika persalinan
tidak lengkap atau selesai dalam 18 jam pada primipara dan 12 jam
pada multipara (Kusumawati, 2006).

Definisi persalinan lama dalam buku Panduan Praktis
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal (2002) adalah
persalinan telah berlangsung 12 jam atau lebih tanpa kelahiran
bayi. Fase laten lebih dari 8 jam (fase laten memanjang dan tidak
21

ada tanda-tanda kemajuan), dilatasi serviks di kanan garis waspada
pada partograf (Saifuddin,Wiknyosastro, dan Waspodo, 2002).
Fase laten memanjang (prolonged latent phase) : diagnosis
dibuat secara retrospektif. Jika fase laten lebih dari 8 jam dan tidak
ada tanda-tanda kemajuan. Diagnosis berdasarkan pembukaan
serviks tidak melewati 4 cm sesudah 8 jam in partu dengan his
yang teratur. Fase aktif memanjang bila pembukaan serviks
melewati kanan garis waspada partograf, frekuensi his kurang dari
3 his per 10 menit lamanya kurang dari 40 detik (inersia uteri),
pembukaan serviks dan turunnya bagian janin tidak maju
sedangkan his baik (disproporsi sefalopelvik), pembukaan serviks
dan turunnya bagian janin yang dipresentasi tidak maju dengan
kaput, terdapat moulage hebat, edema serviks, tanda ruptur uteri
imminens, gawat janin (obstruksi kepala), kelainan presentasi
selain vertex dengan oksiput anterior (malpresentasi/malposisi).
Kala II lama (prolonged expulsive phase) didiagnosis dengan
pembukaan serviks lengkap ibu ingin mengedan tetapi tak ada
kemajuan penurunan (Saifuddin, Wiknyosastro, dan Waspodo,
2002).
Faktor etiologinya yaitu kelainan letak janin, kelainan
panggul, kelainan his, pimpinan partus yang salah, janin besar atau
ada kelainan bawaan, primitua, perut gantung, grandemulti, dan
ketuban pecah dini. Persalinan lama merupakan salah satu
penyebab kematian maternal dan termasuk dalam 5 sebab
kematian. Insiden partus lama menurut beberapa peneliti adalah
2,84,9%.

Wanita hamil usia tua mempunyai risiko persalinan lama
seperti yang dilaporkan Jatmiko 1997 dikutip oleh Suswadi(2000)
bahwa usia tua akan meningkatkan penyulit kala II lama. Suswadi
(2000) di Semarang mengutip Berkowitz dkk (1999) menyatakan
bahwa usia tua mendapatkan risiko 1,6 kali lebih besar terjadi
persalinan kala II memanjang (lebih dari 2 jam) dibandingkan
22

dengan kelompok usia 20-29 tahun. Sedangkan kelompok 30-34
tahun 1,5 kali lebih lama dari 20-29 tahun. Persalinan usia tua
berlangsung lebih lama daripada usia 20-34 tahun (Suswadi, 2000).
Persalinan kala II memanjang pada kelompok usia tua 1,8%
kasus sedangkan kelompok pembanding usia 20-34 tahun sebesar
1,2%. Secara statistik perbedaan ini tidak bermakna p>0,005. Dia
menemukan juga penyulit persalinan kala I yaitu partus tidak maju
5,6% dan 2,8% pada masing-masing kelompok. Pada kala II
ditemukan partus macet 7,8 % dan 7,2%. Pada kedua penyulit yaitu
partus tidak maju di kala I dan partus macet di kala II secara
statistik perbedaan tidak bermakna p>0,005. Kasus-kasus dalam
penelitiannya semuanya kasus rujukan. Menurut Suswadi (2000),
penelitian yang dilakukan oleh Edge (1993) persalinan kala II pada
kelompok usia tua 45 menit lebih lama daripada 20-29 tahun

(Suswadi, 2000).
Kusumawati (2006) menyebutkan penyebab persalinan lama
adalah : Inersia uteri yaitu kekuatan his yang tidak adekuat dari
rahim, posisi dari bayi dalam rahim yang tidak baik/normal, dan
panggul yang tidak cukup untuk lewatnya kepala bayi. Dalam
menangani masalah partus lama atau partus macet seringkali
dilakukan tindakan persalinan operatif dengan bantuan alat-alat
tertentu (Kusumawati, 2006).

Gejala klinik pada ibu yaitu gelisah, lesu, suhu badan
meningkat, berkeringat, nadi cepat, pernapasan cepat dan
meteorismus lokal, terdapat edema vulva, edema serviks, dan
cairan ketuban berbau. Pada janin didapatkan denyut jantung janin
cepat, tidak teratur atau bisa negatif, air ketuban terdapat
mekonium kental kehijau-hijauan, berbau, caput succedaneum
besar, moulage kepala yang hebat, kematian janin dalam
kandungan, dan kematian janin intrapartum (Manuaba, 2001).

Komplikasi yang dapat terjadi seperti infeksi, sepsis, asidosis
dengan gangguan elektrolit, dehidrasi, syok, kegagalan fungsi
23

organ-organ, robekan jalan lahir, fistula buli-buli, vagina, rahim
dan rektum, gawat janin sampai meninggal, lahir asfiksia berat, dan
trauma persalinan (Manuaba, 2001).
Faktor risiko kejadian partus lama di RSIA Siti Fatimah
Makasar tahun 2006 yang menggunakan metode case control study
menemukan 74 kasus persalinan lama (2,89%) dari 2552
persalinan dan 148 partus normal sebagai kelompok kontrol.
Jumlah sampel 222 orang, dimana wanita berusia 35 tahun atau
lebih berjumlah 186 orang (83,8%) dan wanita usia 20-35 tahun
berjumlah 12 orang (5,4%) dari 222 kasus yang diteliti. Ditinjau
dari segi umur, 78,4% (58 orang dari 74 kasus) yang berusia 20-35
tahun mengalami partus lama, dan 86,55% (128 orang dari 148) di
umur 20-35 tahun pada kasus kontrol mengalami partus normal
(Indriyani dan Amiruddin, 2007). Bila ditinjau dari segi paritas,
pada kelompok kasus, partus lama terbanyak pada paritas 1 yaitu
45 orang (60,8 %) dan pada kelompok kontrol paling banyak pada
paritas lebih dari 1 yaitu 102 orang (68,9%). Disimpulkannya
bahwa ibu dengan umur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35
tahun memiliki risiko partus lama 1,766 kali lebih besar
dibandingkan dengan umur 20-35 tahun, tetapi tidak bermakna
secara statistik. Umur ibu yang terlalu muda atau tua dianggap
penting dan ikut menentukan prognosis persalinan, karena dapat
membawa risiko khususnya partus lama (Indriyani, 2006).

Penelitian Siti Mulidah di Purworedjo (2002) yang dikutip oleh
Indriyani (2006), menemukan umur ibu kurang dari 20 tahun atau
lebih dari 35 tahun memiliki risiko 0,58 kali lebih besar mengalami
partus lama dibanding umur 20-35 tahun dan tidak bermakna
secara statistik.

Peneliti lain juga menemukan faktor umur ternyata
tidak ada pengaruhnya terhadap kejadian partus lama.
Dikatakannya kemungkinan ada pengaruh faktor matching dalam
karakteristik sampel yang diteliti (Indriyani dan Amiruddin, 2007).
24

Hasil analisis risiko paritas terhadap kejadian partus lama
oleh Indriyani dan Amiruddin (2006) menyatakan bahwa ibu
dengan paritas 1 memiliki risiko mengalami partus lama 3,441 kali
lebih besar dibandingkan dengan paritas lebih dari 1, dan
perbedaan ini secara statistik bermakna. Dikatakannya ibu paritas 1
cenderung lebih lama mengalami pembukaan lengkap dibanding
ibu dengan paritas lebih dari 1.

Penelitian Sitti Mulidah di
Purworedjo (2002) bahwa paritas 1 cenderung lebih besar risiko
3,45 kali dan bermakna secara statistik. Beberapa peneliti lain tidak
menemukan risiko lebih besar karena perbedaan secara statistik tak
bermakna dari segi umur dan paritas (Indriyani, 2006).

Luke dan Brown membandingkan risiko partus lama (>20
jam) pada primigravida dan multigravida menurut kategori umur.
Disimpulkannya bahwa makin tinggi umur ibu (makin tua ibu)
makin tinggi risiko kelainan persalinan dan persalinan lama (Luke
dan Brown, 2007).


3) Seksio Sesarea
Istilah yang disebut oleh Mochtar (1998) selain seksio
sesarea disebut juga dengan Operasi Kaisar atau Sectio Caesarea.
Istilah section caesarea berasal dari perkataan Latin caedere yang
artinya memotong. Pengertian ini dijumpai dalam Roman law (lex
regia) dan Emperors law (Lex Caesarea) yaitu undang-undang
yang menghendaki supaya janin dalam kandungan ibu-ibu yang
meninggal harus dikeluarkan dari dalam rahim. Jadi seksio sesarea
tidak ada hubungan sama sekali dengan Julius Caesar (Mochtar,
1998).
Dewasa ini seksio sesarea jauh lebih aman daripada dahulu,
karena kemajuan antibiotika, transfusi darah, anestesi dan teknik
operasi yang lebih sempurna. Karena itu saat ini ada
kecenderungan untuk melakukan operasi ini tanpa dasar indikasi
yang cukup kuat. Perlu diingat seorang wanita yang telah
25

mengalami operasi pasti akan menimbulkan cacat dan parut pada
rahim, yang dapat membahayakan kehamilan dan persalinan
berikutnya, walaupun bahaya tersebut relatif kecil (Mochtar, 1998).
Seksio sesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan
membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut
atau vagina; atau seksio sesarea adalah suatu histerotomia untuk
melahirkan janin dari dalam rahim (Mochtar, 1998). Definisi lain
seksio sesarea ialah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus (Husodo L, 2007).

Indikasi Seksio Sesarea : plasenta previa sentralis dan
lateralis (posterior), panggul sempit, disproporsi sevalopelvik,
ruptur uteri mengancam, partus lama, partus tak maju, distosia
serviks, pre-eklampsi dan hipertensi, riwayat seksio sesarea
sebelumnya, dan malpresentasi janin (kesempitan panggul pada
letak lintang maupun letak bokong, semua primigravida dengan
letak lintang maupun letak bokong, janin besar, presentasi dahi dan
muka serta presentasi rangkap bila reposisi tidak berhasil), gemeli
bila janin pertama letak lintang atau presentasi bahu, bila terjadi
interlock, gawat janin dan sebagainya (Mochtar, 1998; Manuaba,
2001).
Jenis-jenis Seksio Sesarea : Seksio sesarea abdominalis dan
seksio sesarea vaginalis. Seksio sesarea abdominalis ada dua jenis
yaitu transperitonealis dan ekstraperitonealis. Seksio sesarea
ekstraperitonealis yaitu tanpa membuka peritoneum parietalis
dengan demikian tidak membuka kavum abdominal. Seksio sesarea
transperitonealis ada 2 yaitu seksio sesarea klasik korporal
(membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira
sepanjang 10 cm) dan seksio sesarea ismika atau profunda
(membuat sayatan melintang-konkaf pada segmen bawah rahim
kira-kira 10 cm) (Mochtar, 1998).
Penelitian mengenai penyulit kehamilan dan penyulit
persalinan pada wanita hamil usia tua, memasukkan seksio sesarea
26

sebagai salah satu penyulit kehamilan dan penyulit persalinan
(Suswadi, 2000).
Cunningham et al (2006) mengutip Ventura et al (2000)
menemukan bahwa 1 diantara setiap 10 wanita Amerika yang
melahirkan di Amerika setiap tahunnya, pernah menjalani seksio
sesarea. Dengan semakin tinggi angka seksio sesarea maka United
State PH Service pada tahun 1991 menetapkan suatu target angka
seksio sesarea keseluruhan sebesar 15% untuk tahun 2000.
American College of Obstetricians and Gynecologists task force on
cesarean delivery rates (2000) telah merekomendasikan dua
patokan untuk Amerika Serikat pada 2010 :
Angka seksio sesarea sebesar 15,5% pada wanita nullipara
dengan usia kehamilan 37 minggu atau lebih dengan janin
tunggal presentasi kepala.
Angka kelahiran pervaginam dengan riwayat seksio sesarea
sebesar 37% pada wanita dengan usia kehamilan 37 minggu
atau lebih janin tunggal, presentasi kepala dan riwayat satu
kali seksio sesarea transversal rendah. (Cunningham et al,
2006)
Manuaba (2001) mengemukakan beberapa data kejadian
seksio sesarea sebagai berikut: USA 25-30%, Dublin Inggris 4-5%,
Jakarta: RS pemerintah 12-15%, semi swasta 15-17%, swasta
penuh 25-30%. Menjelang tahun 2000 diharapkan seksio sesarea
hanya mencapai 15%, sehingga perlu dipikirkan bagaimana
menurunkannya (Manuaba, 2001).
Suparman dan Sembiring (2002) menemukan angka seksio
sesarea pada primigravida tua 62,5% di RSUP Manado tahun
1997-2001 dimana data ini lebih tinggi dari laporan peneliti lain.
Dikemukakannya bahwa tingginya angka seksio sesarea pada
primigravida tua disebabkan oleh adanya berbagai komplikasi yang
menyertai kehamilan seperti gawat janin, hipertensi, diabetes, dan
kelainan plasenta. Kekerapan dilakukannya seksio sesarea pada
27

primigravida tua di RSUP Manado disebabkan adanya kebijakan
untuk melakukan seksio sesarea pada primigravida tua meskipun
tidak disertai dengan komplikasi lainnya (Suparman dan
Sembiring, 2002).

Penyebab meningkatnya angka seksio sesarea sebesar 4 kali
lipat (tahun 1965 sd 1988) belum sepenuhnya diketahui, tetapi
beberapa penjelasan dikemukakan sebagai berikut : 1) Terjadi
penurunan paritas: dan hampir separuh wanita hamil adalah
nullipara. Dengan demikian dapat diperkirakan terjadi peningkatan
jumlah seksio sesarea atas indikasi-indikasi terdapat pada wanita
nullipara. 2) Wanita yang melahirkan berusia tua. Frekuensi seksio
sesarea meningkat seiring dengan pertambahan usia ibu. 3) faktor-
faktor lain seperti pemantauan janin secara elektronik, presentasi
bokong, tuntutan malpraktek faktor sosioekonomi dan demografi
(Cunningham et al, 2006; Gondo dan Sugiharta, 2010).
Bobrowski dan Bottoms mengemukakan bahwa pada 8746
wanita hamil, hasil akhir penelitiannya ditemukan usia dan paritas
mempengaruhi insiden gangguan persalinan dan seksio sesarea
selain diabetes (Cunningham et al, 2006).

Naqvi dan Naseem (2004) membandingkan komplikasi, cara
persalinan dan luaran perinatal antara primigravida tua dan
primigravida muda periode Januari 2001-Desember 2002 pada 156
elderly primigravida. 30,76% dari primigravida tua melahirkan
dengan seksio sesarea dibandingkan dengan primigravida muda
hanya 16,02% dan perbedaan ini bermakna. Dikemukakannya
bahwa meningkatnya kejadian seksio sesarea pada primigravida
tua, terutama berhubungan dengan komplikasi obstetrik (Naqvi dan
Naseem, 2004).

Angka seksio sesarea meningkat pada usia tua berhubungan
dengan faktor risiko yang dihadapi seperti hipertensi, diabetes,
prematuritas, gawat janin, plasenta previa, dll. Faktor-faktor yang
mempengaruhi peningkatan angka seksio sesarea sangat kompleks
28

seperti perbedaan fisiologi pada wanita usia tua serta proses
dilatasi serviks yang berbeda antara wanita usia tua dengan usia
muda. Gordon dkk (1991) dikutip oleh Suswadi (2000)
menyatakan persalinan seksio sesarea meningkat 1,6 kali pada usia
tua dibandingkan kelompok usia 20-29 tahun (Suswadi, 2000).

Suswadi (2000) mengemukakan bahwa akhir-akhir ini para
ahli memiliki sikap liberal dalam penanganan persalinan primitua,
misalnya dengan seksio sesarea oleh karena cara ini dianggap lebih
aman untuk kasus-kasus risiko tinggi. Namun demikian,
berdasarkan umur saja tindakan seksio sesarea tidak dapat
dibenarkan (Suswadi, 2000).

Menurut Flatt K (2010), peningkatan angka seksio sesarea
dalam 2 dekade ini telah mendapat perhatian serius. Frekuensi
seksio sesarea di negara berkembang sesuai laporan WHO adalah
10%-15%. Di UK mencapai 20% tahun 2004, Kanada 22,5%
(2001-2002) dan di USA 30,2% (2005), meningkat sebanyak 46%
dari tahun 1996. Peningkatan ini memberi implikasi pada ibu, bayi,
tenaga kesehatan dan pengambil kebijakan. Risiko seksio sesarea
masih berhubungan seputar anestesi dan kesukaran untuk
menghentikan perdarahan, infeksi, kesembuhan luka dan risiko
kehamilan berikut seperti malpresentasi, plasenta previa dan
ruptura uteri.

Beberapa peneliti di UK menganalisa data yang
dikumpulkan selama periode 1980-2005 melalui scottish morbidity
record menyimpulkan bahwa terdapat hubungan linear antara
risiko seksio sesarea dan umur tua dengan kehamilan pertama dan
peningkatan risiko ini berhubungan dengan adanya kecenderungan
keterlambatan melahirkan anak pertama. Mereka membuat
hipotesis bahwa adanya kecenderungan ini sebagai hasil dari efek
biologis dari usia ibu dengan kontraktilitas uterus. Untuk
pembuktiannya beberapa peneliti ini melakukan biopsi uterus dari
62 wanita (mixed parity) yang dilakukan seksio sesarea elektif.
Mereka menemukan bahwa umur tua mempunyai hubungan
29

dengan kemunduran fungsi uterus yang dibuktikan dengan
pengurangan derajat kontraksi spontaneus dan tipe dari kontraksi
spontan. Dengan demikian studi ini membuktikan bahwa makin tua
usia berhubungan dengan makin tinggi frekuensi seksio sesarea
(Flatt, 2010). Makin tua umur ibu makin meningkat risiko seksio
sesarea primer (Luke dan Brown, 2007).
Chigoziem (2008) mendapatkan seksio sesarea pada
kelompok elderly primigravida lebih tinggi daripada kelompok
primigravida muda. Dan indikasi terbanyak adalah CPD dan secara
statistik perbedaan ini bermakna, sedangkan indikasi lain seksio
sesarea adalah fetal distress, malpresentasi dan gagal induksi.
Indikasi seksio sesarea pada 2 kelompok ini berbeda (Chigoziem,
2008).
Rajaee, Amirzadeh, Mirblook, dan Soltani (2010)
menemukan persalinan dengan tindakan seksio sesarea pada ibu
yang berumur 35 tahun atau lebih 31,4% pada 35-39 tahun dan
40,5% pada usia >40 tahun, 21,7% pada usia < 35 tahun dan
perbedaan ini sangat bermakna p=0,001. Jadi tindakan seksio
sesarea terbanyak pada umur ibu 35 tahun atau lebih. Tetapi bila
diteliti dengan uji statistik mengenai luaran terhadap 2940 wanita
hamil tidak ditemukan hubungan umur ibu secara umum dengan
frekuensi seksio sesarea; akan tetapi makin tua umur ibu mungkin
dapat berpengaruh pada intensitas kontraksi uterus yang dapat
meningkatkan seksio sesarea karena persalinan yang tidak maju
(Rajaee, Amirzadeh, Mirblook, dan Soltani, 2010).

Goldman et al (2005) menemukan persentase kelahiran
dengan seksio sesarea menurut umur ibu yaitu <35 tahun 21,7%,
35-39 tahun 31,4 % dan umur >40tahun 40,5%. Perbedaan ini
sangat bermakna p<0,001. Dia mengemukakan bahwa dalam
penelitiannya mayoritas dari ibu yang berumur tua 35 tahun atau
lebih melahirkan aterm tanpa luaran persalinan yang jelek
(Goldman et al, 2005).
30

4) Perdarahan Pascapersalinan
Perdarahan pascapersalinan (atau perdarahan postpartum)
adalah perdarahan pervaginam yang melebihi 500 ml setelah
bersalin (Saifuddin, Wiknyosastro, dan Waspodo, 2002;
Martohoesodo dan Abdullah, 2007). Secara tradisional, perdarahan
postpartum didefinisikan sebagai hilangnya 500 ml atau lebih
darah setelah kala tiga persalinan selesai. Hampir separuh wanita
yang melahirkan pervaginam mengeluarkan darah dalam jumlah
tersebut atau lebih, apabila diukur secara kuantitatif. Hal ini setara
dengan pengeluaran darah 1000 ml pada seksio sesarea, 1400 ml
pada histerektomi sesarea elektif, dan 3000-3500 ml untuk
histerektomia darurat (Cunningham et al, 2006).
Sekitar 5% wanita yang melahirkan pervaginam kehilangan
lebih dari 1000 ml darah. Jumlah darah yang diperkirakan keluar
sering hanya separuh jumlah sebenarnya. Jadi dengan patokan
jumlah 500 ml perdarahan postpartum terjadi pada sekitar 5%
kelahiran (Cunningham et al, 2006).

Perdarahan postpartum primer
terjadi dalam 24 jam pertama dan sekunder sesudah itu (Saifuddin,
Wiknyosastro, dan Waspodo, 2002).

Perdarahan postpartum sekunder disebut juga perdarahan
postpartum lanjut (Cunningham et al, 2006). Dalam buku panduan
praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal mengemukakan
bahwa terdapat beberapa masalah mengenai definisi perdarahan
pasca persalinan. Perkiraan kehilangan darah biasanya tidak
sebanyak yang sebenarnya, kadang-kadang hanya setengah dari
sebenarnya. Darah tersebut bercampur dengan cairan amnion atau
dengan urin. Darah juga tersebar pada spons, handuk, dan kain
didalam ember dan di lantai. Volume darah yang hilang juga
bervariasi akibatnya sesuai dengan kadar hemoglobin ibu. Seorang
ibu dengan kadar Hb normal akan dapat menyesuaikan diri
terhadap kehilangan darah yang akan berakibat fatal pada yang
anemia (Saifuddin, Wiknyosastro, dan Waspodo, 2002).
31

Pelepasan plasenta selalu terjadi perdarahan karena sinus-
sinus maternalis ditempat insersinya pada dinding uterus terbuka.
Biasanya perdarahan itu tidak banyak, sebab kontraksi dan retraksi
otot-otot uterus menekan pembuluh-pembuluh darah yang terbuka,
sehingga lumennya tertutup kemudian pembuluh darah tersumbat
oleh bekuan darah. Seorang wanita sehat dapat kehilangan 500 ml
darah tanpa akibat buruk (Martohoesodo dan Abdullah, 2007).

Menjelang aterm, diperkirakan bahwa sekitar 600 ml/mnt
darah mengalir melalui ruang antarvilus. Dengan terlepasnya
plasenta, arteri-arteri dan vena uterus yang mengangkut dari dan ke
plasenta terputus secara tiba-tiba. Di bagian tubuh lain hemostasis
tanpa ligasi bedah bergantung pada vasospasme intrinsik dan
pembentukan bekuan darah lokal. Di tempat implantasi plasenta,
yang paling penting untuk hemostasis adalah kontraksi dan retraksi
miometrium untuk menekan pembuluh darah dan menutup
lumennya. Potongan plasenta atau bekuan darah besar yang
melekat akan menghambat kontraksi dan retraksi miometrium yang
efektif sehingga hemostasis di tempat implantasi terganggu
(Cunningham et al, 2006).
Perdarahan postpartum yang fatal dapat terjadi akibat uterus
hipotonik walaupun mekanisme koagulasi ibu cukup normal.
Sebaliknya, apabila miometrium di tempat implantasi atau
didekatnya berkontraksi dan beretraksi dengan kuat, kecil
kemungkinan terjadi perdarahan fatal dari tempat implantasi
plasenta walaupun mekanisme pembekuan darah sangat terganggu
(Cunningham et al, 2006).
Sebab-sebab perdarahan postpartum primer (Saifuddin,
Wiknyosastro, dan Waspodo, 2002; Martohoesodo dan Abdullah,
2007) :
1. atonia uteri
2. perlukaan jalan lahir
3. terlepasnya sebagian plasenta dari uterus
32

4. Retensio plasenta
5. trauma persalinan : ruptur uteri
6. Gangguan pembekuan darah
Sebab-sebab perdarahan postpartum sekunder (Manuaba,
2001) :
1. Sisa plasenta
2. Infeksi menimbulkan subinvolusi bekas implantasi plasenta
3. Trauma persalinan, bekas SC pembuluh darah terbuka
Kadang-kadang perdarahan disebabkan oleh kelainan proses
pembekuan darah akibat dari hipofibrinogenemia (solusio plasenta,
retensi janin mati dalam uterus, emboli air ketuban). Sebab
terpenting adalah atonia uteri yang diakibatkan oleh partus lama,
pembesaran uterus yang berlebihan, multiparitas, dan anestesi.
Atonia juga timbul karena penanganan salah persalinan kala III
dengan memijat uterus dan mendorongnya kebawah dalam usaha
melahirkan plasenta padahal sebenarnya belum terlepas dari uterus
(Martohoesodo dan Abdullah, 2007).
Cunningham et al (2006) mengemukakan beberapa faktor
predisposisi perdarahan postpartum yaitu atonia uteri (miometrium
hipotonus) disebabkan faktor anestesi umum, gangguan perfusi
miometrium, overdistensi uterus (janin besar kembar hidramnion),
setelah persalinan lama, setelah partus presipitatus, setelah induksi
oksitosin atau augmentasi persalinan, paritas tinggi, atonia uteri
pada kehamilan sebelumnya, korioamnionitis, retensi jaringan
plasenta, laserasi jalan lahir, ruptur uteri dan gangguan koagulasi
(Cunningham et al, 2006).

Penelitian analisa faktor-faktor yang mempengaruhi
perdarahan postpartum dini di RS Sardjito Yogyakarta tahun 1988-
2002 diperoleh hasil bahwa insiden perdarahan postpartum tiap
tahunnya berfluktuasi dan mempunyai kecenderungan mengalami
peningkatan setiap 2 tahun. Faktor-faktor risiko yang yang diteliti
adalah paritas, ketuban pecah dini, preeklampsia eklampsia,
33

anemia, partus lama, induksi/stimulasi dan overdistensi uterus.
Ditemukannya bahwa faktor risiko yang berpengaruh terhadap
kejadian perdarahan postpartum dini adalah multiparitas 3 atau
lebih, ketuban pecah dini dan anemia. Akumulasi faktor risiko 3
atau lebih meningkatkan risiko hampir 5 kali dibandingkan dengan
2 faktor risiko (Herianto, 2003).
Suswadi (2000) menemukan kejadian perdarahan
postpartum pada kelompok usia tua 1.8 kali lebih besar dibanding
kelompok 20-34 tahun, meningkatnya kejadian tersebut karena
atonia uteri dan rest plasenta. Multiparitas merupakan salah satu
faktor predisposisi. Penelitian ini tidak mempertimbangkan faktor
perancu yang tidak dianalisis seperti paritas. Ia mengutip juga hasil
penelitian Prysak(1995) yang menemukan pada usia tua 2.5 kali
lebih besar dari usia 25-29 tahun (Suswadi, 2000).
Jolly et al (2000), menemukan dalam penelitiannya bahwa
komplikasi perdarahan postpartum pada usia 35-40 tahun 8,6%,
umur > 40 tahun 17,99% dan usia 18-34 tahun 11,24%. Jumlah
perdarahan postpartum pada wanita tertua adalah lebih dari 1000
ml (Jolly et al, 2000).
Faktor perlukaan jalan lahir dapat merupakan penyebab
perdarahan pasca persalinan seperti yang dilaporkan oleh beberapa
peneliti diatas. Luka-luka yang luas dan berbahaya dapat terjadi.
Robekan perineum terjadi hampir pada semua persalinan pertama.
Robekan perineum bisa terjadi digaris tengah dan bisa menjadi
luas. Robekan perineum tingkat satu apabila hanya kulit perineum
dan mukosa vagina yang robek. Pada robekan tingkat dua apabila
otot perineum, kulit perineum, dan mukosa vagina yang robek,
pada robekan tingkat tiga atau robekan totalis muskulus sfinkter
ani eksternum ikut terputus dan pada robekan tingkat empat
dinding depan rektum ikut robek pula (Martohoesodo dan
Abdullah, 2007).
34

Apabila sebagian plasenta lepas dan sebagian lagi belum
maka terjadi perdarahan karena uterus tidak berkontraksi dan
beretraksi dengan baik pada batas antara dua bagian itu. Apabila
sebagian besar plasenta sudah lahir, tetapi sebagian kecil masih
melekat pada dinding uterus dapat timbul perdarahan dalam masa
nifas Apabila terjadi perdarahan pasca persalinan dan plasenta
belum lahir perlu diusahakan untuk melahirkan plasenta dengan
segera. Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin
lahir dinamakan retensio plasenta. Sebabnya plasenta belum lepas
dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas akan tetapi belum
dilahirkan. Jika plasenta belum lepas sama sekali tidak terjadi
perdarahan tetapi jika lepas sebagian terjadi perdarahan yang
merupakan indikasi untuk mengeluarkannya (Martohoesodo dan
Abdullah, 2007).


















35

Usia Reproduksi
Sehat (20-30 tahun)
Usia tua
( 35 tahun)
II.2. Kerangka Teoritis































Primigravida
Penyulit Persalinan :
1. Kelainan His
2. Persalinan Lama
3. Seksio Sesarea
4. Perdarahan
Pascapersalinan
Kekakuan
jaringan
panggul
Proses menua
Jaringan reproduksi,
miometrium, dan
jalan lahir
36

II.3. Kerangka Konsep













II.4. HIPOTESIS
H1 : Ada perbedaan kejadian penyulit persalinan pada primigravida tua
dengan primigravida usia reproduksi sehat
H2 : Ada perbedaan kejadian kelainan his pada primigravida tua dengan
primigravida usia reproduksi sehat
H3 : Ada perbedaan kejadian persalinan lama pada primigravida tua dengan
primigravida usia reproduksi sehat
H4 : Ada perbedaan kejadian seksio sesarea pada primigravida tua dengan
primigravida usia reproduksi sehat
H5 : Ada perbedaan kejadian perdarahan pascapersalinan pada primigravida
tua dengan primigravida usia reproduksi sehat

Primigravida usia
reproduksi sehat
Primigravida usia
reproduksi sehat
Primigravida Tua

Primigravida Tua

Penyulit Persalinan :
1. Kelainan his
2. Persalinan lama
3. Seksio sesarea
4. Perdarahan
pascapersalinan
Tanpa Penyulit
Persalinan

You might also like